Semester 4
OLEH :
Retno Dyah W. SKp., M.Kep., Ns., Sp.Kep., M.B
PROGRAM S1 KEPERAWATAN
2019
SIROSIS HEPATIS
2.1. Definisi
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir
fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur
hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi karena nekrosis
hepatoseluler. Sirosis hati secara klinis dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Sirosis hati kompensata
Pada sirosis ini, belum ada gejala klinis yang nyata.
b. Sirosis hati dekompensata
Pada sirosis ini, gejala dan tanda klinis sudah jelas. Sirosis hati ini merupakan
kelanjutan dari dari proses hepatitis kronis.
Sedangkan, menurut pembentukan parut dalam hati, sirosis dibagi menjadi tiga tipe:
a. Sirosis portal Laennec (alkoholik, nutrisional)
Pada sirosis ini, jaringan parut secara khas mengelilingi daerah portal. Paling sering
disebabkan oleh alkoholisme kronis dan merupakan tipe sirosis yang pasling sering
ditemukan di negara barat.
b. Sirosis poscanekrotik
Pada sirosis ini, terdapat pita jaringan parut yang lebar sebagai akibat lanjut dari
hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya.
c. Sirosis bilier
Pada sirosis ini, pembentukan jaringan parut terjadi dalam hati di sekitar saluran
empedu. Tipe ini terjadi biasanya akibat obstruksi bilier yang kronis dan infeksi
(kolangitis); insidensinya lebih rendah daripada dua sirosis yang lain.
Bagian hati yang terutama terlibat dalam sirosis terdiri atas ruang portal dan
periportal tempat kanalikuli biliaris dari masing-masing lobules hati bergabung untuk
membentuk saluran empedu daerah hati. Daerah ini menjadi tempat inflamasi dan saluran
empedu akan tersumbat oleh empedu serta pus yang mengental. Hati akan membentuk
saluran empedu yang baru, dengan demikian terjadi pertumbuhan jaringan yang
berlebihan yang terutama terdiri atas saluran empedu yang baru dan tidak berhubungan
yang dikelilingi oleh jaringan parut.
2.2. Epidemiologi
World Health Organization (WHO) tahun 2002 memperkirakan 783 000 pasien di
dunia meninggal akibat sirosis hati. Sirosis hati paling banyak disebabkan oleh
penyalahgunaan alkohol dan infeksi virus hepatitis. Di Indonesia sirosis hati banyak
dihubungkan dengan infeksi virus hepatitis B dan C karena penyalahgunaan alkohol lebih
jarang terjadi dibandingkan negara-negara barat. Sekitar 57%, pasien sirosis hati
terinfeksi hepatitis B atau C. South East Asia Regional Office (SEARO) tahun 2011
melaporkan sekitar 5,6 juta orang di Asia Tenggara adalah pembawa hepatitis B,
sedangkan sekitar 480 000 orang pembawa hepatitis C. Di Indonesia, prevalensi hepatitis
B dan C pada dewasa sehat yang mendonorkan darah masing-masing adalah 2,1% dan
8,8% pada tahun 1995.
2.3. Etiologi
Sebab-sebab sirosis hati dan atau penyakit hati kronik adalah sebagai berikut:
a. Penyakit infeksi
1) Bruselosis
2) Ekinokokus
3) Skistosomasis
4) Hepatitis virus (Hepatitis B, C, D, stiomegalovirus)
b. Penyakit keturunan dan metabolik
1) Defisiensi α1-antitrypsin
2) Sindrom fanconi
3) Galaktosemia
4) Penyakit Gaucher
5) Penyakit simpanan glikogen
6) Hemokromatosis
7) Intoleransi fruktosa herediter
8) Tirosinemia herediter
9) Penyakit Wilson
c. Obat dan toksin
1) Alkohol
2) Amiodaron
3) Arsenic
4) Penyakit perlemakan hati non alkoholik
5) Sirosis biller primer
6) Kolangitis sclerosis primer
d. Penyebab lain atau tidak terbukti
Penyakit usus inflamasi kronis, Fibrosis kistik, Pintas jejunoileal, Sarkoidosis
2.4. Patofisiologi
Konsumsi minuman beralkohol dianggap sebagai faktor penyebab yang utama
sehingga insiden sirosis paling tinggi pada peminum minuman keras. Tidak hanya dari
alkohol, defisiensi gizi dengan penurunan asupan protein turut menimbulkan kerusakan
hati pada sirosis sehingga sirosis juga pernah terjadi pada individu yang tidak memiliki
kebiasaan minum.
Mekanisme terjadinya sirosis alkoholik diawali dengan destruksi hepatosit
berkepanjangan akibat masukan alcohol dan merangsang terjadinya fibrosis perivenular
yang berlanjut menjadi sirosis panlobular. Fibrosis yang terjadi berkontraksi di tempat
cedera dan merangsang pembentukan kolagen. Di daerah periportal dan perisentral
timbul septa jaringan ikat seperti jaring yang akhirnya menghubungkan triad portal
dengan vena sentralis. Jalinan jaringan ikat halus ini mengelilingi massa kecil sel hati
yang masih ada yang kemudian mengalami regenerasi dan membentuk nodulus. Namun,
kerusakan sel yang terjadi melebihi perbaikannya. Penimbunan kolagen terus berlanjut,
ukuran hati mengecil, berbenjol-benjol (nodular) menjadi keras dan terbentuk sirosis
alkoholik.
Faktor lain penyebab sirosis diantaranya termasuk pajanan dengan zat kimia
tertentu (karbon tetraklorida, naftalen, terklorinasi, arsen atau fosfor) atau infeksi
skistosomiastis dua kali lebih banyak daripada wanita dan mayoritas pasien sirosis
berusia 40 – 60 tahun.
Pada sirosis Laennec gambaran patologi hati biasanya mengkerut, berbentuk tidak
teratur dan terdiri dari nodulus sel hati yang dipisahkan oleh pita fibrosis yang padat dan
lebar. Gambaran mikroskopik konsisten dengan gambaran makroskopik. Ukuran nodulus
sangat bervariasi, dengan sejumlah besar jaringan ikat memisahkan pulau parenkhim
regenerasi yang susunannya tidak teratur.
Patogenesis sirosis hati laennec memperlihatkakn adanya peranan sel stelata.
Dalam keadaan normal sel stelata mempunyai peran dalam keseimbangan pembentukan
matrik ekstraselular dan proses degradasi. Pembentukan fibrosis menunjukkan
perubahan proses keseimbangan. Jika terpapar faktor tertentu yang berlangsung secara
terus menerus (misalnya virus hepatitis atau bahan-bahan hepatotoksik), maka sel stelata
akan menjadi sel yang membentuk kolagen. Jika proses berjalan terus maka fibrosis juga
akan berjalan terus di dalam sel stelata, dan jaringan hati yang normal akan diganti oleh
jaringan ikat. Sirosis hepatis biasanya memiliki awitan yang insipidus dan perjalanan
penyakit yang sangat panjang sehingga kadang-kadang melewati rentang waktu 30
tahun/lebih
Liver insult
alcohol ingestion
viral hepatitis
exposure to toxins
Cessation of Liver
alcohol ingestion transplantation
Hepatocyte
Increased damage Pain
WBCs
Nausea Anorexia
Alteration in blood
vomiting
and lymph flow
Liver necrosis
Decreased ADH
and aldosterone
detoxifikasi so Edema
increased levels Palmar Spider Loss of
erytema angiomas body hair
Decreased
androgen and
estrogen Testicular Gynecomastia Menstruasi
detoxification atrophy changes
so increased
level
Decreased Ascites
plasma
Decreased protein Edema
metabolism of
protein and
carbohydrate Hypoglycemia
decreased fat malnutrition
Vitamins
metabolism
Nutrition
Decreased vit K Bleeding
absorption tendency
Bleeding
Decreased precautions
bilirubin
Conjugated and unconjugated Jaundice
metabolism
and/or bilitary hyperbilirubinemia
tree damage or
obtruction Decreased bile in Clay-colored
gastrointestinal tract stools
and increase
urobilirubin Dark urine
Diuretics Fluid restriction
Ascites
Edema
Esophageal
varices
Liver fibrosis Portal Hemorrhoids Bleeding
and scarring hypertension
Superficial
Portacaval abdominal varices
Splenomegaly
shunt
Infection
Anemia Delayed
thrombocytopeni wound healing
a leukopenia
Bleeding
Increased serum
Neomycin ammonia Lactulose
Alterations Foul
in sleep breath
Corticosteroids
KETERANGAN
Clinical manifestations
Pathophysiology
Theatment
Black, Joyce M., Hawks, Jane Hokanson. (2005). Medical Surgical Nursing: Clinical
Management for Positive Outcomes. Philadelphia: Elsevier Sounders.
2.5. Manifestasi Klinik
Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada waktu
pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena penyakit lainnya. Gejala awal
sirosis kompensata meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang,
perasaan perut kembung, mual, berat badan menurunn, pada laki-laki dapat timbul
impotensi, testis mengecil, buah dada membesar, hilangnya dorongan seksualitas.
Bila sudah sirosis dekompensata, gejala lebih menonjol terutama bila timbul
komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi hilangnya rambut badan,
gangguan tidur, dan demam tak begitu tinggi. Mungkin disertai gangguan pembekuan
darah, perdarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih
berwarna seperti teh pekat, muntah darah dan atau melena, serta perubahan mental
meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi sampai koma. Pada mulanya
hati akan membesar, menjadi keras dan ireguler. Akhirnya hati tersebut mengalami
atropi. Temuan klinis sirosis meliputi :
a. Spider angio maspider angiomata
b. Eritema palmaris
c. Perubahan kuku muchrche
d. Hepatomegali
Pada awal perjalanan sirosis, hati cenderung membesar dan sel-selnya dipenuhi
lemak. Saat palpasi teraba hati menjadi keras dan kasar. Nyeri abdomen terjadi akibat
pembesaran hati yang cepat. Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut, ukuran hati
akan berkurang, setelah jaringan parut menyebabkan pengerutan hati, permukaan hati
akan teraba berbenjol-benjol (noduler).
e. Splenomegali
f. Obstruksi Portal dan Asites
Semua darah dari organ digesti akan berkumpul dalam vena porta dan dibawa ke hati.
Karena hati sirotik, tidak memungkinkan perlintasan darah yang bebas, maka aliran
darah tersebut akan kembali ke limpa dan traktus gastrointestinal, sehingga dipenuhi
darah. Menyebabkan dyspepsia kronis dan konstipasi atau diare. Cairan yang kaya
protein dan menumpuk di rongga peritoneal menyebabkan asites.
g. Defisiensi vitamin dan anemia
Karena pembentukan, penggunaan dan penyimpanan vitamin tertentu tidak memadai
(khususnya vitamin A, C dan K), maka tanda-tanda defisiensi sering dijumpai,
khususnya sebagai fenomena hemoragik yang berkaitan dengan defisiensi vitamin K.
h. Varises gastrointestinal
Varises esophagus dapat terjadi pada bagian esifagus yang lebih tinggi atau meluas
sampai ke dalam lambung. Hal ini terjadi karena hipertensi portal akibat obstruksi
pada sirkulasi vena porta, pada hati yang mengalami sirosis. Karena peningkatan
obstruksi pada vena porta, darah vena dari traktus intestinal dan limpa akan mencari
jalan keluar melalui sirkulasi kolateral. Akibat yang ditimbulkan adalah peningkatan
tekanan, khususnya dalam pembuluh darah pada lapisan submukosa esofagus bagian
bawah dan lambung bagian atas. Pembuluh darah kolateral tidak begitu elastic bersifat
rapuh, berkelok-kelok, dan mudah mengalami perdarahan.
2.6. Diagnosis
a. Tes Fungsi liver
Untuk mengkaji fungsi sintesis hati dapat dilakukan pemeriksaan laborat berupa
bilirubin dan albumin atau enzim hati seperti aspartate aminotransferase (AST),
alanine aminotransferase (ALT), alkaline phosphatase (ALP), albumin, and gamma-
glutamyl ranspeptidase (GGTP). Untuk mengkaji fungsi hati dapat melakukan
pemeriksaan laboratorium berupa prothrombin time (PT) or international normalised
ratio (INR). Pada pasien sirosis, biasanya dilakukan pemeriksaan tambahan berupa
full blood count, urea, dan elektrolit. Berikut nilai normal pemeriksaan laboratorium.
Tabel 2.1 Nilai Normal Pemeriksaan Laboratorium
AST atau SGOT dan ALT atau SGPT meningkat tetapi tak begitu tinggi. AST lebih
meningkat daripada ALT, namun bila transaminase normal tidak mengeyampingkan
sirosis. Alkali fosfatase , meningkat kurang dari 2 sampai 3 kali batas normal atas.
Konsentrasi yang tinggi bisa ditemukan pada pasien kolengitis sclerosis primer dan
sirosis bilier primer. GGT, konsentrasi tinggi pada penyakit hati alkoholik kronik,
karena alcohol selain menginduksi GGT microsomal hepatic, juga bisa menyebabkan
bocornya GGT dari hepatosit. Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis hati
kompensata, tetapi bisa meningkat pada sirosis yang lanjut. Albumin, sintesisnya
terjadi di jaringan hati, konsentrasinya menurun sesuai dengan perburukan sirosis.
Globulin, konsentrasinya meningkat pada sirosis. Akibat sekunder dari pintasan,
antigen bakteri dari porta ke jaringan limfoid, selanjutnya menginduksi produksi
immunoglobulin. Waktu protrombin mencerminkan derajat/tingkat disfungsi sintesis
hati, sehingga pada sirosis memanjang. Natrium serum menurun terutama pada sirosis
dengan asites Kelainan hematologi anemia, anemia dengan trombositopenia,
leukopenia, neutropenia akibat splenomegaly kongestif berkaitan dengan hipertensi
porta sehingga hiperslenisme.
b. Tes Biposi
Tes biopsi merupakan gold standard untuk diagnosis dan menentukan macam
gangguan hati, dan mengkaji untuk pengobatan. Kontraindikasi pada pasien
trombositopeni, asites, efusi pleura, ensefalopati hepatikum, bacterial kolangitis,
pasien tidak kooperatif, ekstrahepatic biliary obstruksi.
c. Pemeriksaan radiologis barium meal dapat melihat varises untuk konfirmasi adanya
hipertensi porta.
d. Pemeriksaan hati dengan USG untuk melihat sudut hati, permukaan hati, ukuran,
homogenitas, dan adanya massa. Pada sirosis lanjut, hati mengecil dan nodular,
parenkim irregular, da nada peningkatan ekogenitas parenkim hati. USG juga dapat
untuk melihat asites, splenomegaly, thrombosis vena porta, pelebaran vena porta,
skrining adanya karsinoma hati.
2.7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan perdarahan varises esophagus yaitu dengan resusitasi cairan, transfuse
darah, antibiotic profilaksis, terapi farmakologi vasoaktif, endoskopi.
1. Resusitasi dan koreksi hipovolume
Prosedur awal adalah untuk mengamankan dan melindungi jalan napas, terutama
mencegah terjadinya aspirasi paru. Pasien harus dipantau pulse oksimetrinya, dan
umumnya pasien diberi oksigen tambahan dengan nasal kanul untuk melawan
hilangnya kapasitas angkut oksigen.
Resusitasi pasien meliputi pemberian cairan, transfuse darah, kardiorespirasi, dan
pengobatan penyakit penyerta. Pasien yang mengalami perdarahan massif,
hematemesis aktif, hipkosia, takipnea parah perubahan status mental, maka perlu
dievaluasi perlunya endotrakeal intubasi.
Pada resusitasi cairan, dinilai hipovolumik dan shock untuk menentukan cairan
infuse dan tranfusi serta penyakit penyerta terutama kardiovaskuler. Akses intravena
dua jalur atau lebih, menggunakan ukuran 18 atau lebih. Sejumlah cairan harus
diberikan segera untuk mencegah terjadinya shock hipovolumik atau penurunan perfusi
organ vital. Pengganti plasma dapat berupa cairan koloid berbasis gelatin, albumin,
fresh frozen plasma. Pasien yang mengalami perdarahan aktif menerima setidaknya
500cc normal saline atau kristaloid selama 30 menit pertama untuk menjada tekanan
darah. Infuse cairan meningkat jika tekanan darah gagal menurunkan atau
meningkatkan. Transfusi dengan red packed blood cells diutamakan dengan tujuan
mencapai hematokrit antara 25-30% (hemoglobin sekitar 8g/dL).
Pada kasus perdarahan besar yang tidak terkontrol, balon tamponade sebaiknya
tidak digunakan karena rentan komplikasi seperti aspirasi dengan pneumonia, nekrosis
mukosa esofagus, dan obstruksi saluran udara.
Terapi yang bertujuan menjaga stabilitas hemodinamik dimulai dengan pemberian
komponen vasoaktif dan antibiotic. Diagnostik endoskopi harus dilakukan sesegera
mungkin (dalam 12 jam) terutama pada pasien dengan perdarahan yang signifikan.
Penundaan lebih lama (dalam 24 jam) dapat diberikan jika kasus perdarahan minor.
Algoritma Manajemen Pasien Perdarahan Varises Esofagus
4. Terapi endoskopi
Terapi endoskopi banyak digunakan untuk pengobatan perdarahan varises.
Schlerotherapy terbukti efektif mengendalikan perdarahan akut dan menurunkan
motalitas 42 hari dan juga efektif mencegah perdarahan berulang pada varises. Untuk
mencegah perdarahan berulang, Scleroterapi endoskopi dilakukan setiap 10-14 hari
sampai varises hilang, biasanya membutuhkan 5-6 sesi. Endoskopi Varises Ligasi
(EVL) dilakukan setiap 10 sampai 14 hari sampai varises diberantas, biasanya 3-4 sesi.
5. TIPS
Transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS) dapat digunakan sebagai
intervensi penyelamatan ketika terapi lain telah gagal pada perdarahan varises yang
tidak terkontrol setelah kombinasi terapi dan farmakologi.
F. Bendtsen , A. Krag, S. Møller. 2008 Mini-Symposium: Treatment of acute variceal
bleeding. Journal Digestive and Liver Disease 40 (2008) 328–336
A. PENGKAJIAN
1. Kaji awitan gejala dan faktor pencetus terutama konsumsi alkohol jangka
panjang, terpapar agen toksik, penggunaan obat-obat hepatotoksik
2. Kaji status mental, orientasi terhadap orang, tempat dan waktu
3. Kaji hubungan dengan keluarga dan teman
4. Kaji distensi abdomen, bleeding gastrointestinal, perubahan BB
5. Kaji status nutrisi, antropometri
6. Pantau protein plasma, transferin, serta kadar kreatinin
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan, kemunduran keadaan
umum, dan gangguan rasa nyaman
2. Perubahan status nutrisi berhubungan dengan gastritis kronis, penurunan
motilitas gastrointestinal dan anoreksia
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan gangguan status imunologi,
edema, dan nutrisi yang buruk
4. Resiko injuri berhubungan dengan perubahan mekanisme pembekuan dan
hipertensi portal
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Istirahat
2. Perbaikan status nutrisi
3. Perawatan kulit
4. Pengurangan resiko cedera
D. EVALUASI KEPERAWATAN
Hasil yang diharapkan :
1. Memperlihatkan kemampuan untuk turut serta dalam aktivitas
2. Meningkatkan asupan nutrisi
3. Memperlihatkan perbaikan integritas kulit
4. Tidak menunjukkan cedera
5. Bebas dari komplikasi