Anda di halaman 1dari 9

MATERI: AQIDAH

Pengantar
Keyakinan (al-yaqiin) adalah suatu sikap yang ditunjukkan oleh manusia saat ia merasa
cukup tahu dan menyimpulkan bahwa dirinya telah mencapai kebenaran. Keyakinan merupakan
dasar dari setiap gerak dan aktivitas hidup manusia. Manusia memerlukan suatu bentuk keyakinan1.
Keyakinan itu akan melahirkan tata nilai guna menopang hidup dan budayanya. Karena itu manusia
secara fitri membutuhkan keyakinan hidup yang dapat menjadi pegangan dan sandaran bagi dirinya.
Tetapi, sebuah keyakinan dianut bukan hanya karena dia kebutuhan, melainkan juga keyakinan itu
merupakan kebenaran. Demikian pula cara berkeyakinan harus pula benar. Menganut keyakinan
yang salah bukan saja tidak dikehendaki akan tetapi bahkan berbahaya.
Kata yang sejalan dengan keyakinan adalah aqidah. Aqidah artinya ketetapan yang tidak
ada keraguan pada orang yang mengambil keputusan. Kata ini diambil dari kata dasar al-‘aqdu yang
bermakna ar-rabth (ikatan), al-Ibraamal-ihkam (pengesahan), at-tawatstsuq (menjadi kokoh, kuat),
asy-syaddu biquwwah (pengikatan dengan kuat), at-tamaasuk (pengokohan) dan al-itsbaatu
(penetapan). Al ‘aqdu (ikatan) lawan kata dari al-hallu (penguraian, pelepasan). Dan kata tersebut
diambil dari kata kerja „aqadahu atau ya'qiduhu (mengikatnya), „aqdan (ikatan sumpah), dan
‘uqdatun nikah (ikatan menikah)2.
Disebabkan keyakinan itu bersifat mengikat dan sangat diperlukan dalam kehidupan, maka
dalam kenyataan kita temui bentuk-bentuk keyakinan yang beraneka ragam di kalangan
masyarakat3. Karena bentuk-bentuk keyakinan itu berbeda satu dengan yang lain, maka sudah tentu
ada dua kemungkinan: kesemuanya itu salah atau salah satu saja di antaranya yang benar.
Disamping itu masing-masing bentuk keyakinan mungkin mengandung unsur-unsur kebenaran dan
kepalsuan yang campur baur.
Sekalipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa keyakinan itu melahirkan nilai-nilai.
Nilai-nilai itu kemudian melembaga dalam tradis-tradisi yang diwariskan turun temurun dan mengikat
anggota masyarakat yang mendukungnya. Karena kecenderungan tradisi untuk tetap
mempertahankan diri terhadap kemungkinan perubahan nilai-nilai, maka dalam kenyataan ikatan
ikatan tradisi sering menjadi penghambat perkembangan peradaban dan kemajuan manusia.
Disinilah keyakinan diperlukan sebagai sumber tata nilai guna menopang peradaban
manusia. Namun, nilai-nilai turunan dari keyakinan itu tidak boleh melembaga dalam tradisi yang
membeku dan mengikat, karena justru akan merugikan peradaban. Oleh karena itu, pada dasarnya,
guna perkembangan peradaban dan kemajuannya, manusia harus selalu bersedia meninggalkan

1 “...karena manusia diciptakan (bersifat) lemah.” (Q.S. 4:28)


2 “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia
menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja...” (Q.S. 5:89)
3 “Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki,
niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya
kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu
diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan.” (Q.S. 5:48)
setiap bentuk keyakinan dan tata nilai yang salah, dan menganut keyakinan yang sungguh-sungguh
yang merupakan kebenaran.
Maka satu-satunya sumber dan pangkal nilai itu haruslah kebenaran itu sendiri. Kebenaran
yang merupakan asal dan tujuan segala kenyataan. Kebenaran yang mutlak adalah dari Allah. Ini
berarti manusia menyadari, bahwa dirinya adalah makhluk lemah yang membutuhkan pertolongan,
bimbingan dan perlindungan dari sesuatu yang diyakini sebagai yang serba Maha4.
Insan: Hakikat Manusia
Manusia merupakan makhluk Allah5 yang memiliki sturuktur ciptaan paling sempurna dari
pada makhluk–makhluk lainnya6. Manusia dalam defenisi yang menggunakan ukuran fisis-biologis
ini, dikenal dengan istilah basyar. Basyar dinyatakan dalam al-Qur‟an sebanyak 36 kali dan tersebar
dalam 26 surat7. Secara etimologi basyar berarti kulit kepala, wajah, atau tubuh yang menjadi
tempat tumbuhnya rambut.
Penamaan ini menunjukkan makna bahwa secara biologis yang mendominasi manusia
adalah pada kulitnya8. Pada aspek ini terlihat perbedaan umum biologis manusia dengan hewan
yang lebih didominasi oleh bulu atau rambut. Makna etimologis dapat dipahami bahwa manusia
merupakan makhluk yang memiliki segala sifat kemanusiaan dan keterbatasan, seperti makan,
minum kebahagiaan dan sebagainya. Bahkan, bila manusia dan hewan dibandingkan dari segi
perbuatan nistanya, maka manusia lebih inferior dari hewan (dalam arti bisa lebih jahat dan kejam).
Manusia yang lemah keyakinan, tergesa-gesa, putus asa, melampaui batas, kikir, tamak
dan bakhil, serta berbagai tendensi negatif manusia lainnya, itu merupakan representasi dari
manusia dalam arti basyar. Basyar adalah makhluk yang sekedar ada (being). Artinya, manusia
dalam kategori basyar adalah makhluk statis, tidak mengalami perubahan, berkaki dua yang berjalan
tegak di muka bumi. Manusia tipe basyar belum mampu melepaskan diri dari penjara-penjara
manusia (the prisons of man), terutama penjara natural-instingtualnya.
Selain sisi yang lebih bersifat material dan bertendensi negatif, manusia juga memiliki sisi
yang bersipat spiritual dan bertendensi positif. Manusia dalam kondisi perpaduan aspek material dan
spiritual, jiwa dan raga, dikenal dengan istilah insan. Kata insan digunakan dalam al-Qur‟an untuk
menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raganya 9. Insan berarti manusia
dalam arti yang sebenarnya. Insan tidak menunjuk pada manusia biologis. Insan lebih terkait dengan
kualitas luhur kemanusiaan. Kategori insan ini menujukkan,kepemilikan manusia akan potensia
untuk mencapai tingkatan kemanusiaan yang lebih tinggi.

4 “Kebenaran itu dari Tuhanmu, maka janganlah sekali-kali engkau (Muhammad) termasuk orang-orang yang ragu.”
(Q.S. 2:147)
5 “Dia menciptakan manusia.” (Q.S. 55:3), Lihat juga Q.S. 17:70
6 “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (Q.S. 95:4)
7 Muhammad Fu‟ad Abdul Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fadz al-Qur’an al-Karim, Tanpa Kota, Darul Fikri, 1992,
hal. 153-154.
8 Samsul Nizar, M.A., Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta, Ciputat Pers, 2002,
hal. 2 .
9 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung, Mizan, 1996, hal.
280.
Kata insan yang berasal dari kata al-uns yang dinyatakan dalam al-Qur‟an sebanyak 65 kali
dan tersebar dalam 43 surat10. Insan secara etimologis berarti harmonis, lemah lembut, tampak atau
pelupa11. Insan adalah makhluk yang menjadi (becoming). Ia terus-menerus maju menuju ke
kesempurnaan. Karakter “menjadi” ini membedakan manusia dengan fenomena lain di alam.
Insan memiliki tiga sifat pokok, yaitu kesadaran diri, kemauan bebas dan kreativitas.
Pertama, kesadaran diri12. Kesadaran diri merupakan pengalaman tentang kualitas dan esensi
dirinya, dunia dan hubungan antara dirinya dan dunia serta alam. Makin tinggi kesadaran akan tiga
unsur tersebut, makin cepat manusia bergerak ke arah tahap-tahap yang lebih tinggi dari proses
menjadinya. Kesadaran itu membuat manusia bisa mengambil jarak dengan diri dan alam sehingga
manusia tertuntun untuk mencipta sesuatu yang bukan alam.
Kedua, kemauan bebas. Kemauan bebas tampak dalam kebebasan memilih13. Pilihannya
bisa saja bertentangan dengan insting naturalnya, masyarakatnya, atau dorongan-dorongan
psikologisnya. Termasuk dalam memilih keyakinan yang mungkin saja dianggap mengekang insting
basyariah manusia, Kebebasan memungkinkan manusia untuk melakukan evolusi ke tingkat
tertinggi kemanusiaannya menerobos sekat-sekat alam, masyarakat, sejarah dan egonya.
Ketiga, kreativitas atau daya cipta14. Potensi kreatif insan memungkinkannya menjadi
makhluk yang mampu mencipta benda, barang dan alat, dari yang paling kecil sampai yang kolosal,
karya-karya industri dan seni yang tak disediakan alam. Penciptaan dan pembuatan barang tersebut
dilakukan insan karena alam tak menyediakan semua yang dibutuhkannya. Manusia merubah
kehidupannya, memperbaiki kesehariannya, dan membangun peradabannya karena potensi ini.
Wujud kongkrit tiga sifat insan tersebut adalah ilmu. Ilmu membebaskan manusia dari
kerangkeng alam, sejarah dan masyarakat dan mencapai derajat yang tinggi15. Dengan ilmu, insan
mengetahui hukum-hukum yang berlaku di alam, masyarakat dan sejarah16. Meskipun manusia lahir
dalam keadaan tidak memiliki pengetahuan tentang sesuatu apapun, namun Allah memberi alat
untuk memperoleh pengetahuan berupa fuad (hati dan akal), pendengaran dan penglihatan (panca
indera). Maksudnya agar kita kembali pada tujuan diciptakannya, yakni beribadah dan bersyukur
kepada Allah SWT17.
Tauhid: Hakikat Kebenaran
Dengan potensi berpengetahuan yang dimilikinya, manusia mampu menyadari posisinya
sebagai insan yang memiliki potensialitas untuk berkembang menjadi pada derajat mulia (aqram)

10 Muhammad Fu‟ad Abdul Baqi, Op. Cit., hal. 119-120


11 Quraish Shihab, Loc. Cit., hal. 280.
12 “(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata, Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.” (Q.S. 2:156)
13 “Dan katakanlah (Muhammad), „Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; barang siapa menghendaki (beriman)
hendaklah dia beriman, dan barangsiapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir‟...” (Q.S. 18:29)
14 “...Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka
sendiri...” (Q.S. 13:11)
15 “...niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi
ilmu beberapa derajat...” (Q.S. 58:11)
16 “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi ulil
albab.” (Q.S. 3:190), Lihat juga Q.S. 39:21, 12:111, 38:43, 38:29, dan Q.S. 40:53-54
17 “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberimu
pendengaran, penglihatan dan hati nurani, agar kamu bersyukur.” (Q.S. 16:78)
dan taqwa (ittaqa’)18. Namun pada saat yang sama, manusia juga menyadari ketidakmampuannya
mengaktualkan semua potensi tersebut tanpa tuntunan, panduan dan arahan dari kekuatan serba
Maha yang menguasai dirinya. Maka manusia membutuhkan keyakinan yang benar.
Perkara keyakinan tertuang dalam suatu sistem keyakinan atau ideologi. Tiap-tiap sistem
keyakinan memiliki konsepsi tersendiri dalam mengantarkan pengikutnya pada pemahaman dan
kepercayaan terhadap tuhan. Pertama, sistem keyakinan yang obyeknya didasarkan pada sesuatu
yang nyata. Kebenaran diukur melalui indera dan pengalaman. Sistem ini disebut kebenaran ilmiah.
Secara filosofis kebenaran ilmiah memiliki kelemahan karena tidak dapat menjelaskan sisi
kehidupan yang berada di luar pengalaman inderawinya.
Salah satu di antaranya adalah mengenai Tuhan. Tuhan tak dapat diyakini keberadaannya
lewat bantuan sistem keyakinan ilmiah. Selain obyeknya, metodenya juga rapuh karena setiap teori
yang diklaim sebagai kebenaran baru sekaligus mengandung keraguan. Manusia tak dapat
berpegang teguh pada prinsip yang di dalamnya mengandung kebenaran dan keraguan sekaligus,
karena hal itu bukan keyakinan, melainkan persangkaan saja. Al Qur‟an menegaskan bahwa
persangkaan tak dapat mengantarkan manusia pada kebenaran19.
Kedua, sistem keyakinan yang didasarkan pada doktrin literal. Sistem ini dapat ditemukan
dalam semua agama. Pada dasarnya, sistem keyakinan literal mengingkari arti pentingnya akal
sebagai sarana verifikasi kebenaran. Baginya, kebenaran adalah sesuatu yang sudah jadi secara
sempurna dan harus diterima tanpa perlu menyadarinya terlebih dahulu. Akibat sistem keyakinan
literal, manusia potensial melarikan diri dari kenyataan dan tantangan zaman setelah telanjur
mendikotomi antara doktrin ketundukan pada ayat suci dengan peran-peran peradaban manusia.
Termasuk dalam kategori ini adalah keyakinan yang didasarkan pada kebiasaan budaya yang
diwarisi dari nenek moyang yang tidak sesuai dengan petunjuk Tuhan20.
Islam mengajarkan sistem keyakinan yang disebut Tauhid. Tauhid berbeda dengan dua
sistem keyakinan di atas karena cara pandangnya terhadap eksistensi (wujud). Tauhid merupakan
konsepsi sistem keyakinan yang mengajarkan bahwa Allah SWT adalah zat Yang Maha Esa, sebab
dari segala sebab dalam rantai kausalitas. Ajaran Tauhid membenarkan bahwa manusia dibekali
fitrah21 yaitu suatu potensi alamiah berupa akal sebagai bekal untuk memilih sikap yang paling tepat
serta untuk mengenali dan memverifikasi kebenaran dan kesalahan (haq dan bathil) secara sadar.
Manusia meyakini Tuhan dengan metode yang berbeda-beda.
Pada sistem keyakinan lainnya, “Yang Maha” atau yang dirumuskan sebagai Tuhan, hanya
dijelaskan berdasarkan persepsi dan alam pikir manusia sendiri. Sedangkan dalam konsepsi Tauhid,
selain pencarian akal manusia sendiri sebagai alat mendekati kebenaran mutlak, juga melalui wahyu

18 “...Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa...” (Q.S. 49:13)
19 “Dan mereka tidak mempunyai ilmu tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti dugaan, dan sesungguhnya
dugaan itu tidak berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.” (Q.S. 53:28)
20 “Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutlah apa yang telah diturunkan Allah”, mereka menjawab, “(Tidak!) Kami
mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami (melakukannya).” Padahal, nenek moyang mereka itu
tidak mengetahui apapun, dan tidak mendapat petunjuk.” (Q.S. 2:170), Lihat juga Q.S. 5:103
21 “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus pada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah
menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah, (Itulah) agama yang lurus ,
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Q.S. 30 30)
di mana Tuhan menyatakan dan menjelaskan diri-Nya kepada manusia22. Jadi, Tauhid memberi
tuntunan berupa wahyu Allah melalui para nabi. Pola penerimaan yang demikian ini, berarti
kemampuan persepsi dan bangunan ilmiah yang dimiliki manusia berada di bawah otoritas Tuhan.
Karena itu, memahami kehadiranNya, tidak hanya berarti melakukan aktivitas kontemplatif
tetapi sekaligus juga berarti “penyerahan diri”. Penyerahan diri ini dapat dimengerti sebagai upaya
melakukan tazkiyatun nafs, membebaskan diri dari aksi, tradisi, dan nilai-nilai moral yang polusif,
terutama akibat dari pengaruh materialisme. Pada saat yang sama, membuang semua dorongan,
motivasi dan tujuan-tujuan serta perbuatan-perbuatan yang tidak diridhoiNya.
Tauhid merupakan inti ajaran yang disampaikan pada seluruh manusia di setiap zaman. Ini
berarti bahwa ajaran Tauhid adalah ajaran universal. Tauhid merupakan misi utama seluruh nabi
dan rasul yang diutus Allah SWT. Mereka menyampaikan risalah tauhid sesuai dengan tingkat
peradaban masyarakatnya23. Syari‟at Tuhan silih berganti disempurnakan setiap kali nabi dan rasul
diutus untuk mempersiapkan Datangnya nabi dan rasul penutup. Tauhid yang disampaikan oleh
Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir yang dijanjikan Allah, dinyatakan dalam dua kalimat
syahadat, yaitu; Asyhadu an lâ ilâha illallâh, Wa asyhadu anna Muhammadan Rasûlullâh. Artinya,
aku bersaksi bahwasanya tiada ilah selain Allah dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah
rasul Allah.
Persaksian bahwa Allah merupakan ilah, di kehidupan dunia yang dilakukan secara sadar,
dikenal dengan istilah tauhid uluhiyah. Tak semua manusia mendapatkan hidayah untuk
mengikrarkan tauhid ini, meskipun setiap manusia telah menyatakan syahadat sebelum ia
dilahirkan24. Persaksian sebelum manusia lahir ke dunia, dikenal dengan istilah tauhid rububiyah,
pengakuan bahwa Allah adalah rab sekalian alam.
Persaksian syahadat itu mengakibatkan manusia harus meniadakan sesembahan, tempat
bergantung dari segala sesuatu yang dipertuhankan. Syahadat menuntut adanya tauhid mulkiyah,
bahwa Allah-lah yang merajai dan memerintah seluruh alam ini25, dan Allah tidak ingin
dipersekutukan dalam pemerintahannya26. Ini juga berarti bahwa dimensi syahadat adalah
pengakuan dan ketundukan. Namun jika manusia diajak untuk tunduk dan berserah diri penuh

22 “Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan laksanakanlah shalat untuk
mengingat Aku.” (Q.S. 20:14)
23 “Dan ada beberapa rasul yang telah Kami kisahkan mereka kepadamu sebelum-nya dan ada beberapa rasul (lain)
yang tidak Kami kisahkan mereka kepadamu. Dan kepada Musa, Allah berfirman langsung. Rasul-rasul itu adalah
sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah
Allah setelah rasul-rasul itu diutus. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (Q.S. 4:164-165)
24 “Dan (ingatlah), ketika tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul
(Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yg demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: “sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang orang yg lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (Q.S.
7:172)
25 “Allah yang memiliki apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Celakalah bagi orang-orang yang kafir karena
siksaan yang sangat berat.” (Q.S. 14:2), Lihat juga Q.S. 2:258
26 “Yang memiliki kerajaan langit dan bumi, tidak mempunyai anak, tidak ada sekutu baginya dalam kekuasaan(Nya),
dan Dia menciptakan segala sesuatu, lalu menetapkan ukuran-ukurannya dengan tepat.” (Q.S. 25:2), Lihat juga Q.S.
67:1
kepada perintah Allah, sebagian manusia menolaknya. Pengakuan yang tak dibarengi dengan
ketundukan pada ketentuan dan hukum Allah, pada hakikatnya adalah kecacatan Tauhid27.
Allah SWT menurunkan wahyu melalui Jibril sejak Adam as. sampai Muhammad SAW,
dalam bentuk shuhuf, ataupun dalam bentuk kitab. Wahyu-wahyu sebelum diturunkannya Al Qur‟an
dibawa oleh para rasul sebagai petunjuk bagi kaum dan kurun tertentu, untuk menata sistem
kehidupan di zamannya masing-masing, sedangkan Al Qur‟an diturunkan sebagai petunjuk seluruh
manusia dan berlaku sepanjang masa. Selain sebagai petunjuk, Al Qur‟an juga sebagai kitab
penjelas atas petunjuk dan pembeda (haq dan batil), serta pembenar dan penyempurna kitab-kitab
sebelumnya28, sehingga Al Qur‟an mengandung ajaran yang sempurna dan terjaga keaslian dan
kelestariannya sampai hari kiamat29.
Kandungan Al Qur‟an yang amat penting terletak pada misi dan seruan kepada manusia
untuk beriman, beribadah serta beramar ma‟ruf nahi mungkar. Al Qur‟an juga dinyatakan sebagai
kitab yang memberi petunjuk, pembeda, pengingat, pembawa berita gembira, pembawa syari‟at
yang lurus dan pedoman bagi manusia. Al Qur‟an diklaim bahwa dirinya adalah kitab yang
membawa misi pembebasan bagi manusia dari kegelapan menuju cahaya30. Itulah sebabnya
manusia diperintah Allah agar menerima Al Qur‟an tanpa keraguan31.
Kandungan Al Qur‟an tidak hanya memuat ajaran tauhid dan peribadatan, tetapi Al Qur‟an
juga memberikan persepsi tentang masalah-masalah kosmologi, sejarah, fenomena sosial,
membicarakan suatu entitas tertentu secara mondial, misalnya tentang langit dan bumi dengan
detail atau rinci. Kelengkapan Al Qur‟an ini diimbangi dengan seruan Allah pada manusia agar hati
dan akalnya senantiasa dimanfaatkan dalam segala hal dan digunakan untuk memikirkan
permasalahan intelektual32. Al Qur‟an menunjukan kelengkapan ajaran dan misi yang diperuntukan
bagi manusia, sehingga Allah berkenan menurunkan sejarah kenabian dan kerasulan di dalamnya,
berikut dengan konsekuensi penerimaan dan penolakannya.
Semua nabi menyampaikan ajaran tauhid tanpa pemaksaan, namun dengan penyampaian,
pengajaran dan peringatan, serta memberikan janji tentang kesucian diri kepada manusia33.
Keyakinan akan bimbingan oleh para nabi disebut dengan doktrin kenabian. Kenabian ini amat
penting karena dalam kenyataan hidupnya, manusia ternyata tidak senantiasa mampu menjaga dan

27 “Barang siapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.” (Q.S.
5:44), Lihat juga Q.S. 5:45 dan Q.S. 5:47
28 “Orang-orang kafir dari golongan ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan
meninggalkan (agama mereka) sampai datang kepada mereka bukti yang nyata, (yaitu) seorang rasul dari Allah
(Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang suci (Al Quran) Di dalamnya terdapat (isi) kitab-kitab
yang lurus (benar).” (Q.S. 98:1-3)
29 “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Quran, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.” (Q.S. 15:9)
30 “Alif, Laam Raa. (Ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu (Muhammad) agar engkau mengeluarkan manusia
dari kegelapan kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Mahaperkasa
lagi Maha Terpuji.” (Q.S. 14:1)
31 “Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (Q.S. 2:2)
32 “Maka tidak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga hati (akal) mereka dapat memahami, telinga mereka
dapat mendengar?” (Q.S. 22:46)
33 “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas antara jalan yang benar dengan
jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah
berpegang (teguh) kepada buhul tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui.” (Q.S. 2:256)
mengembangkan jati diri untuk kembali kepada fitrahnya secara mandiri, bahkan tidak jarang
manusia tenggelam dalam noda dan dosa serta kekafiran.
Penyampai risalah yang memiliki otoritas sebagai uswatun hasanah34, harus menyampaikan
risalahnya kepada manusia secara langsung agar dapat dipraktekkan di kehidupan manusia.
Perilaku kehidupan manusia yang diridhoi Allah SWT diajarkan oleh Islam dalam konsep kesaksian
syahadah rasulnya. Maka kedudukan nabi, rasul dan Muhammad sebagai penutupnya tidak cuma
penyampai risalah dan menjadi uswatun hasanah, akan tetapi juga sebagai acuan dan sumber
syari‟ah setelah wahyu35.
Tauhid Sebagai Cara Pandang Terhadap Tuhan, Manusia dan Alam
Menurut Al Quran, eksistensi Tuhan benar-benar fungsional. Dia pencipta dan pemelihara
alam semesta dan manusia. Dia memberi petunjukkepada manusia dan akan mengadilinya nanti,
baik secara individual maupun secara kolektif dengan keadilan yang penuh belas kasih 36. Dalam
pandangan tauhid, Tuhan adalah dimensi yang menyebabkan adanya dimensi-dimensi lain. Dia
memberikan arti dan kehidupan kepada segala sesuatu. Dia serba meliputi37, secara harfiah Dia
adalah tak terhingga dan hanya dia sajalah yang tak terhingga.
Dalam dimensi lain, manusia adalah ciptaan Allah dari tanah38 dengan disertai visi
pengabdian yang kemudian menjadi kualifikasi manusia sebagai mahluk yang paling mulia, paling
sempurna dan paling cerdas. Visi pengabdian ini adalah sebagai khalifah39 dan abdullah40. Sebagai
khalifah, manusia menjadi wakil Allah dalam mengelola alam seisinya untuk keutuhan dan
kesejahteraan semua mahluk. Kekhalifaan akan menjadi kemuliaan yang mempertinggi harkat dan
derajat manusia ketika ia mampu menjadi abid (hamba), yakni mengabdi kepadaNya.
Bahwa pengabdian manusia akan menjadi ukuran bagi derajat kemanusiaannya, maka
perjuangan moral, merupakan tantangan abadi manusia yang tidak berkesudahan. Dalam
perjuangan ini, Allah berpihak kepada manusia asalkan ia melakukan usaha-usaha yang diperlukan.
Manusia harus melakukan usaha karena diantara ciptaan-ciptaan Allah, manusia memiliki posisi
yang unik, ia diberi kebebasan berkehendak agar manusia dapat menyempurnakan misinya sebagai
kalifah untuk menciptakan tatanan sosial yang bermoral di muka bumi41. Tugas ini harus
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah atas keberhasilan dan kegagalannya 42.

34 “Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S. 33:21)
35 “...Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah...”
(Q.S. 59:7)
36 Fazlur Rahman, Tema Pokok Al Qur‟an (Bandung, Pustaka), 1983. Hal. 1.
37 “...Kursi-Nya meliputi langit dan bumi...” (Q.S. 2:255)
38 “Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang
diberi bentuk.” (Q.S. 15:26), Lihat juga Q.S. 15:28, 6:2, dan Q.S. 7:12.
39 “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang
khalifah di bumi...” (Q.S. 2:30)
40 “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Q.S. 51 : 56)
41 “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang
ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Q.S. 3:104)
42 “Maka apakah kamu mengira, bahwa Kami menciptakan kamu main-main (tanpa ada maksud), dan bahwa kamu
tidak akan dikembalikan kepada Kami.” (Q.S. 23:115)
Alam semesta juga diciptakan Allah bukan sekedar main-main, melainkan sebuah bukti
Maha Pengasih dan Pemurah Allah untuk manusia. Pada prinsipnya alam semesta adalah muslim,
karena segala sesuatu yang berada di dalamnya menyerah kepada kehendak Allah dan bertasbih
kepadaNya43. Diciptakannya alam semesta memang diperuntukkan bagi manusia dan untuk
kesejahteraan manusia. Tetapi dalam mempergunakan atau mengelola alam semesta ini tetap harus
berpijak pada amanah Allah bahwa semua dimensi aktivitas manusia hanya untuk kemaslahatan
dan kemanfaatan semua mahluk.
Kekayaan alam yang melimpah ruah, akan sia-sia jika manusia tidak mau
mempergunakannya, atau mempergunakannya tetapi tidak dengan aturan dan perhitungan
kelestarian dan keseimbangan alam. Eksploitasi alam yang tidak terkendali sebenarnya merugikan
manusia itu sendiri44, karena manusia tergantung pada alam. Namun ketergantungan ini hanya
bersifat biologis, dalam arti manusia membutuhkan alam dalam melangsungkan kehidupannya
seperti makan, udara, air, sinar matahari, dan sebagainya.
Dengan demikian, manusia yang yang bertauhid memiliki pandangan yang integral terhadap
alam, manusia dan Tuhan sebagai entitas penyelenggara kehidupan. Yaitu bahwa manusia tidak
dapat bertahan tanpa adanya alam semesta, dan manusia beserta alam semesta tidak akan ada jika
Allah tidak menghendaki. Demikian juga kebesaran dan kekuasaan Allah sulit dipahami tanpa
melalui ayat-ayatNya, baik ayat qawliyah (Al Qur‟an) maupun ayat kawniyah (alam semesta).
Implementasi Tauhid Dalam Tatanan Sosial
Sebagai manusia yang bertauhid, setiap perilakunya akan diilhami dari semangat tauhid
yang dihayatinya. Persoalan kemanusiaan seperti terjadinya peperangan, penghisapan sesama
manusia dan eksploitasi alam merupakan ketidaksadaran manusia akan makna keberadaan dirinya.
Ketika tumbuh kesadaran tauhid, maka tidak mungkin ada manusia yang menjadikan tuhan-tuhan
lain bagi dirinya.
Sebaliknya, ketika manusia percaya terhadap kekuatan lain, maka sebenarnya jatuhlah
martabat kemanusiaannya. Ketinggian dan kesempurnaan manusia sudah tidak bermakna lagi.
Lebih-lebih ketika manusia telah dapat dimobilisir oleh hawa nafsunya. Demikian pula dengan
kesadaran untuk saling menghargai sesama manusia, sesama mahluk dan mengolah alam ini
dengan sebaik-baiknya, adalah implementasi dari makna tauhid yang telah tertanam dalam diri
manusia.
Begitu sentralnya peranan tauhid dalam menjaga eksistensi manusia dan kelangsungan
alam ini, sehingga Allah sangat mengecam manusia yang tidak merespon jiwa tauhid yang sudah
tertanam dalam dirinya sejak sebelum ia lahir, sehingga Allah sampai menyatakan tidak akan
mengampuni dosa mempersekutukan Allah dengan kekuatan-kekuatan lain. Orang yang demikian
disebut musyrik, sedang perbuatannya disebut syirik.

43 “Maka mengapa mereka mencari agama yang lain selain agama Allah, padahal apa yang di langit dan di bumi
berserah diri kepada-Nya, baik dengan suka maupun terpaksa, dan hanya kepada-Nya mereka dikembalikan.” (Q.S.
3:83), Lihat juga Q.S. 61:1.
44 “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah
merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
(Q.S. 30:41)
Jadi, tauhid ini dapat bermakna dua dimensi, yakni dimensi individual dan dimensi sosial.
Dalam dimensi individual, tauhid dapat diimplementasikan dalam bentuk kepercayaan diri,
kesungguhan dalam menjalankan segala aktivitas, sikap prograsif dan kreatid, serta keteguhan atau
istiqomah dalam memegang sebuah prinsip. Sedangkan dalam tata sosial dapat diimplementasikan
dalam bentuk-bentuk keadilan, penghargaan dan pemeliharaan hak-hak azasi manusia,
pemeliharaan antar kepentingan masyarakat dan finalnya, adalah terjaganya tatanan kehidupan
yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Bagi pemuda muslim, tauhid bukan sebuah keyakinan yang mati, melainkan tetap hidup
sepanjang masa. Dan tugas pemuda muslimlah untuk menguraikan, menderivasikan, dan
mengubahnya menjadi sebuah energi yang mampu menopang pembangunan peradaban.
Peradaban tidak mungkin terwujud jika kita masih terbelenggu oleh pemahaman yang kerdil, sempit
dan pasif terhadap kedalaman makna tauhid sebagai esensi ajaran Islam.
Janji-janji Islam untuk mengentaskan perbudakan, kemiskinan, penjajahan dan kebodohan,
tidak akan terwujud dan tetap berupa janji jika kita masih terbelenggu oleh kekerdilan tersebut.
Tugas di hadapan kita terbentang luas. Kini saatnya bagi kita untuk memulai membangun
peradaban rabbani dengan landasan tauhid yang kokoh, dalam, luas dan tentu saja bersih.

Anda mungkin juga menyukai