Abstrak:
Pendekatan dengan menggunakan Kaidah ushul merupakan suatu cara untuk memahami
suatu masalah yang dilihat dari sudut manfaat, sehingga dengan cara ini akan memungkinkan
kita mengetahui makna al-Qur’an. Pendekatan terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan
menggunakan kaidah ushul, biasanya digunakan pada ayat-ayat yang diturunkan oleh Allah di
Madinah, di mana isinya menyangkut syariah Islam dengan macam-macam cabangnya.
Pendekatan kaidah ushul dalam memahami masalah yang berkaitan dengan perintah, baik sunat
maupun wajib, kadang-kadang dapat dilihat dari sejauhmana urgensinya dalam kehidupan,
khususnya yang menyangkut masalah ibadah.
yang wajib, maka dapat berubah menjadi haram. “Lafaz itu terdiri dari makrifah dan
Sebaliknya, perbuatan yang pada mulanya bersifat nakirah. Maka setiap isim makrifah yang
mubah, jika hal itu dianggap sebagai suatu cara memiliki afrad (bagian-bagian)
untuk melaksanakan perbuatan sunat atau wajib, menunjukkan makna umum, dan setiap
perbuatan tersebut diperintahkan untuk lafaz nakirah, nafi, nahi, syarat, istifham
dilaksanakan, sehingga status hukumnya pun akan atau matan sejenisnya menunjukkan
berubah menjadi sunat atau wajib. Dengan kata makna umum baik ia dalam bentuk isim
lain, hukum perbuatan mubah dapat berubah-ubah ataupun fi’il” (Al-Sabt, 1421H: 548).
sesuai dengan akibat yang ditimbulkannya.
Perkembangan berpikir manusia senantiasa Penjelasan Kaidah
disertai oleh wahyu yang dapat memecahkan Kaidah ini amat luas cakupannya. Kaidah
persoalan yang dihadapi manusia (al-Qattan, ini juga meliputi beberapa kaidah lainnya, yaitu:
1994: 10). a) Setiap isim ma’rifah yang memiliki afrad
Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa (unit-unit/bagian-bagian) menunjukkan
sesungguhnya pendekatan kaedah ushul dalam makna umum” (Al-Sabt, 1421H: 549).
memahami masalah yang berkaitan dengan Misalnya, firman Allah:
perintah, baik sunat maupun wajib, kadang-
§¯¨ ©DW)=\B °O¯PXq W3VW% WV] ÕC\-°XT
kadang dapat dilihat dari sejauhmana urgensinya
dalam kehidupan, khususnya yang menyangkut Artinya: Dan bagi orang yang takut
masalah ibadah. Hal ini merupakan pendekatan akan saat menghadap Tuhannya ada
yang dilakukan oleh ulama-ulama fikih agar dua syurga (QS. al-Rahman: 46).
memudahkan umat Islam menjalankan syariat
agamanya. Keumuman ayat ini meliputi jin dan
manusia. Jin dan manusia di sini disebut
Al-’Amm dan Al-Khass dengan afrad (unit/bagian).
1. Kaidah Al-’Amm
Al-’Amm secara bahasa berarti al-Syamil b) “Isim jama’ bersifat mutlak, baik ia
(general, komprehensif). Dan secara istilah dima’rifahkan dengan alim lam ataupun
berarti “suatu lafadz yang pengertiannya idhafah. Dengan syarat tidak terikat
meliputi seluruh yang diperkirakan termasuk batasan”. Misalnya, firman Allah:
kedalamnya, tanpa batas”.
Al-‘am adalah “lafadz-lafadz yang WÛÜ°-°À[ÙXT °Än~¸XT °Än~ r¯Û WDSÁ°Ý=Äc WÛÏ°
menunjukkan tercakup dan termasuk di
p °VÅf XT ¥< ¨CWÃ WÛÜ°Ù\ÈÙXT [ÁÙkWÓÙ
dalamnya semua satuan-satuan yang ada
dalam lafadz itu dengan tanpa menghitung
§ª¬¨ |ÚÜ°=¦ÔUÀ-Ù
ukuran tertentu dari satuan-satuan tersebut”
(Khalaf, 1997: 319). Artinya: “(yaitu) orang-orang yang
menafkahkan (hartanya), baik di waktu
Kaidah Pertama lapang maupun sempit, dan orang-
orang yang menahan amarahnya dan
mema’afkan (kesalahan) orang. Allah
menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan” (QS. Ali Imran: 134).
Artinya: “Bila isim nakirah terletak pada c. Contoh dari al-nakirah al-syarthiyyah
kalimat (yang menggunakan) nafi, nahi, ( ƨȈǗǂnjdz¦ ¨ǂǰǼdz¦).
syarat atau istifham menunjukkan makna
§«¨ #m°-W*Ôv% ·mÔU¦y SÅSÁWcXT SÁªmØÈÄc <RWcXÄ ØTWmWc D¯XT
umum” (Al-Sabt, 1421H: 560; Al-Sa’adi,
2002: 202). Artinya: “Dan jika mereka (orang-
orang musyrikin) melihat suatu tanda
Kaidah ini merupakan kaidah kebahasaan (mukjizat), mereka berpaling dan
yang juga disepakati oleh para ahli ushul dan berkata: “(Ini adalah) sihir yang terus
ahli tafsir atau ulum al-Qur’an (al-Qaththan: menerus” (QS. al-Qamar: 2).
214; al-Suyuthi: 43; Ibn Hazm: 187).
a. Contoh dari al-nakirah al-manfiyyah
( ƨȈǨǼŭ¦ ¨ǂǰǼdz). Adapun apabila lafaz nakirah itu
berada di dalam kalimat itsbat (kalimat
ǺÊ Ìȇďƾdz¦ ĿÊ ǽÈȦǂǯÌ Ê¤ Èȏ positif), maka dia tidak bersifat umum,
Artinya:”Tidak ada paksaan dalam kecuali terdapat qarinah padanya.
agama” (al-Amidi: 252). Contohnya adalah dalam firman-Nya
berikut:
yakni sapi (baqarah) mana saja (al-Zuhaili, dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
1986: 248). sesudah dibayar hutangnya. (Tentang)
orang tuamu dan anak-anakmu, kamu
Kaidah Kedua tidak mengetahui siapa di antara mereka
yang lebih dekat (banyak) manfaatnya
bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Bijaksana” (QS. al-Nisa’: 11).
“Ditetapkan oleh Syari’ bahwa bila hukum
diungkapkan secara mutlak dalam bentuk Kata saudara pada ayat di atas meliputi
muzakkar dan tidak dihubungkan dengan saudara laki-laki dan saudara perempuan.
mu’annats, maka hukum tersebut meliputi
untuk laki-laki dan perempuan”. Kaidah Ketiga
Penjelasan Kaidah
Lafaz jama’ terdiri dari muzakkar dan “Perintah bagi seseorang dari umat Islam
mu’annats. Ditinjau dari segi dilalahnya berlaku umum terhadap yang lain, kecuali
terbagi kepada empat, yaitu: ada dalil yang menyebutkannya berlaku
1. Lafaz yang dilalah dikhususkan untuk khusus”.
masing-masing, seperti kata rijal untuk
muzakkar dan nisa’ untuk mu’annats. Penjelasan Kaidah
Tidak boleh memasukkan dilalah yang Al-Syathibi menjelaskan, setiap dalil syar’i
satu kepada yang lain kecuali ada dalilnya. dimungkinkan untuk diambil secara
2. Lafaz umum yang meliputi keduanya, tidak keseluruhan, baik ia berbentuk kulli ataupun
ada tanda kekhususannya, seperti kata al- juz’i, kecuali ada dalil yang
nass, al-ins, dan al-basyar. mengkhususkannya. Ini merupakan kaidah
3. Lafaz yang menurut asalnya meliputi cabang dari keumuman syari’at bagi seluruh
keduanya, dan tidak dikhususkan kepada mukallaf, karena kesamaan mereka di hadapan
salah satunya kecuali ada penjelasan, hukum taklifi, kecuali ada dalil khusus yang
seperti; ma dan man. mesti dirujuknya.
4. Lafaz yang menggunakan tanda ta’nits Ahli ushul berbeda pendapat tentang
pada mu’annats, dan dihilangkan pada khitab al-wahid (perintah yang diberikan
muzakkar, seperti muslimin untuk kepada seseorang); apakah ia merupakan
muzakkar dan muslimat untuk mu’annats. bentuk umum yang menunjukkan
Bagian inilah yang dimaksudkan oleh keumuman hukum. Perbedaan tersebut
kaidah di atas. terjadi pada satu keadaan, bukan perbedaan
hakiki. Menurut Hanabilah, khitab al-wahid
Penerapan Kaidah merupakan bentuk umum. Sedangkan
Firman Allah; menurut ulama lainnya (ulama Syafi’iah,
Artinya: “...jika yang meninggal itu Malikiah, dsb), khitab al-wahid tidak
mempunyai beberapa saudara, Maka menunjukkan dilalah umum, karena lafaz
ibunya mendapat seperenam. (Pembagian- al-wahid tidak meliputi yang lain, maka ia
pembagian tersebut di atas) sesudah bukanlah bentuk umum. Namun, mereka
c) Tidak ada dalil atau qarinah yang mengerjakan perbuatan keji yang
menujukkan bahwa hal itu berlaku umum terang. Itulah hukum-hukum Allah,
atau khusus. Hukum sejenis ini Maka Sesungguhnya Dia telah berbuat
mengandung pengertian umum. zalim terhadap dirinya sendiri. kamu
tidak mengetahui barangkali Allah
Penerapan Kaidah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal
a) Hukum umum yang juga meliputi Nabi yang baru” (QS. al-Thalaq: 1).
SAW, misalnya:
Artinya: “Hai orang-orang yang d) Hukum yang diarahkan kepada Nabi, dan
beriman, bersabarlah kamu dan tidak terdapat dalil bahwa hal itu berlaku
kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah umum atau khusus. Misalnya;
bersiap siaga (di perbatasan Artinya: “Hai Nabi, bertakwalah
negerimu) dan bertakwalah kepada kepada Allah dan janganlah kamu
Allah, supaya kamu beruntung” (QS. menuruti (keinginan) orang-orang
Ali Imran: 200). kafir dan orang-orang munafik.
Sesungguhnya Allah adalah Maha
b) Hukum yang diarahkan kepada Nabi, mengetahui lagi Maha Bijaksana”
terdapat dalil yang mengkhususkan buat (QS. al-Ahzab: 1).
dirinya. Contoh:
Artinya: “Hai rasul, sampaikanlah apa Kaidah Keenam
yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan
(apa yang diperintahkan itu, berarti)
kamu tidak menyampaikan amanat-
Nya. Allah memelihara kamu dari
(gangguan) manusia. Sesungguhnya “Perintah umum yang diikuti taqyid
Allah tidak memberi petunjuk kepada (pembatasan) dengan pengecualian, sifat
orang-orang yang kafir” (QS. al- atau satu hukum. Hal itu tidak berlaku
Maidah: 68). kecuali terhadap sebagian orang yang
dijelaskan oleh ungkapan umum tersebut.
c) Hukum yang diarahkan kepada Nabi, Apakah maksud keumuman perintah
terdapat dalil bahwa hal itu bukan khusus berlaku khusus tersebut wajib atau tidak?”
buat dirinya. Contoh: (Al-Sabt, 1421H: 581).
Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu
menceraikan istri-istrimu Maka Penjelasan Kaidah
hendaklah kamu ceraikan mereka pada Bila sebuah perintah pada awalnya bersifat
waktu mereka dapat (menghadapi) umum, kemudian di akhirnya berubah kepada
iddahnya (yang wajar) dan hitunglah sifat khusus, seakan ia berbicara tentang
waktu iddah itu serta bertakwalah sebagian afradnya, maka yang lebih arjah (kuat)
kepada Allah Tuhanmu. janganlah adalah bahwa hukum awal tetap pada
kamu keluarkan mereka dari rumah keumumannya, dan kalimat akhirnya menjadi
mereka dan janganlah mereka bayan (penjelas) bagi sebagian hukum
(diizinkan) ke luar kecuali mereka pertama.
tertentu (khusus) dapat dikategorikan kepada Asbab al-nuzul (sebab-sebab turunnya ayat)
tiga bentuk, antara lain; pertama, qarinahnya yang dikemukakan oleh para mufasir hanya
menunjukkan makna umum, maka ia berlaku sebuah perumpamaan untuk menjelaskan
umum secara keseluruhan; Kedua, qarinahnya lafaz, bukan makna lafaz dan terbatas pada
menunjukkan makna khusus, maka ia berlaku sebab tersebut. Bila dinyatakan bahwa ayat ini
khusus secara keseluruhan; dan ketiga, tidak diturunkan karena ini dan ini, maka
ada qarinah yang menunjukan umum atau maksudnya adalah hal tersebut termasuk ke
khusus, maka ia kembali kepada kaidah dasar, dalam maksud ayat itu dan merupakan
yaitu hukum didasarkan kepada keumuman sebagian maksud ayat. Al-Qur’an diturunkan
lafaz, bukan kepada kekhususan sebab (Al- sebagai hidayah bagi umat era awal dan
Sabt, Jilid 2, 1421H: 593). mutakhir dimana dan kapanpun.
Hal ini didasarkan pada beberapa alasan, Kaidah yang sama dapat ditemukan pada
antara lain (Al-Sabt, Jilid 2, 1421H: 594): literatur tafsir lainnya, dengan menggunakan
kata tunggal pada kata al-alfaz dan al-asbab,
ǺÊ ǷÊ §Ƣ Ê Ç
È ǏÈ È ¢ ÅȐƳÉ °È Àċ È¢ : ÉǾǼÌǟÈ ÉǾċǴdz¦ ȄÈ Ǔ°È ®ȂÉǠLjÌ ǷÈ ǺÊ Ìƥ¦ ǺÊ ǟÈ yaitu; al-lafz dan al-sabab. Abd Al-Rahman
Ê Ç̈
È dzÈ̄ ǂÈǯÈ ǀÈ Èǧ -ǶǴLJ ǾȈǴǟ ƅ¦ ȄǴǏ- Œċ
Ibn Nashir Al-Sa’adi (Juz 1, 2000: 7; al-
Ǯ ċ ÊǼdz¦ ȄÈƫÈƘÈǧ ÅƨÈǴºƦ̺Éǫ È¢ǂÈǷ¦Ì Syanqithi, Juz 5, 1995: 180) mengungkapkan
Àċ ʤ DzÊ ȈÌċǴdz¦ ǺÈ ǷÊ ƢǨÅÈdz±ÉÂÈ °Ê ƢȀċ
È ºǼdz¦ ľÊÈ ǂÈÈǗ È̈ÈȐǐċ dz¦ ǶÊ ÊǫÈ¢) ƪ Ì ÈdzDŽÊ ÌǻÉƘÈǧ ÉǾÈdz kaidah ini dalam bentuk jamak. Kaidah
È Èǫ (Ǻȇ Ê Ê Ê̄ ÊdzÈ̄ ©Ƣ
È Ê ÈƠďȈLjċ dz¦ ő
Ê Ê Ì
È ǂÊ ǯ¦ǀċ Ǵdz ÃǂÈǯÌ Ǯ
¾Ƣ tersebut adalah;
È Ì ǿǀÌ Éȇ ©ƢÈǼLjÈ Èū¦
ǺÌ ǷÊ ƢÈđÊ DzÈ ǸÊ ǟÈ ǺÌ ǸÈ Êdz »: ¾Ƣ È Èǫ ǽÊ ǀÊ ǿÈ ńÈÊ¢ ÉǾċǴdz¦ ¾Ȃ
È LJÉ °È ƢÈȇ : DzÉ ƳÉ ǂċdz¦ §ƢƦLJȋ¦ ´Ȃǐş ȏ ·ƢǨdzȋ¦ ¿ȂǸǠƥ ¨ŐǠdz¦
.« ŕÊ ǷċÉ¢ Kaidah ini selain disepakati oleh para ahli
tafsir, juga disepakati oleh para ahli ushul (al-
Selain mengemukan landasan normatif, al- Shan’ani, Juz 1, 1986: 293; al-Subki, Juz 2,
Sabt juga mengemukakan landasan teoretis, 1991: 136; al-Zarkasyi, Juz 2, 2000: 352; al-
antara lain; Hanbali, Juz 1, 1956: 241; al-Razi, Juz 4,
1) Syari’at berlaku umum untuk seluruh 1400H: 77; al-Hasan, Juz 1, t.th: 110; al-
mukallaf. Syathibi, Juz 6, 1997: 448). Dalam hal ini
2) Bila hukum umum yang diturunkan karena dikecualikan ulama-ulama dari kalangan
sebab tertentu dibatasi pada kasus tersebut, mazhab Syafi’iah. Mereka justru sebaliknya,
maka akan banyak hukum syar’i yang akan berpegang pada kaidah berikut (al-Subki, Juz
hilang. 2, 1991: 140; al-Zarkasyi, Juz 2, 2000: 252;
3) Terdapat ketentuan bahwa pada dasarnya al-Hanbali, Juz 1, 1956: 241):
hukum umum tetap berlaku umum hingga
terdapat sesuatu yang mengkhususkannya. ǚǨǴdz¦ ¿ȂǸǠƥ ȏ ƤƦLjdz¦ ´Ȃǐş ¨ŐǠdz¦
Asbab al-nuzul bukanlah pengkhususan Artinya: Suatu ungkapan dimaknai dengan
terhadap hukum umum. kekhususan sebab, bukan kepada
4) Ungkapan umum dimaksudkan tidak lain keumuman lafaz.
kecuali sebagai kewajiban umum (Al-Sabt,
Jilid 2, 1421H: 595). Bagi Syafi’iah, tidak boleh beramal dengan
nash umum selama tidak ditemukan nash
Sejalan dengan pendapat al-Sabt di atas, khusus. Mereka menggunakan metodologi
al-Sa’adi (Juz 1, 2000: 64) menjelaskan bahwa qiyas dalam pemberlakukan hukum karena
sebab khusus (khusus al-sabab) kepada yang terbagi empat macam, yaitu:
lainnya. 1) Syar’iyy, contohnya bersuci (thaharah)
Sedangkan menurut ulama lain, sebagai syarat bagi sahnya shalat.
pemberlakuan hukum pada kasus-kasus yang 2) ‘Aqliyy (rasional), seperti hidup (al-hayah)
disebutkan al-Qur’an termasuk kepada hukum menjadi syarat bagi pengetahuan (al-‘ilm).
qath’i, sedangkan pemberlakuannya kepada 3) ‘Adiyy (kebiasaan), seperti tangga menjadi
yang lain termasuk kepada hukum zhanni. syarat untuk naik ke atas loteng.
Disinilah diberlakukannya qiyas (Sa’adi, Juz 4) Lughawiyy (kebahasaan), seperti
1, 2000: 8). perkataan: “jika engkau berdiri maka aku
berdiri” (in qumta qumtu); demikian juga
2. Kaidah Al-Khas perkataan: “Engkau kucerai bila engkau
Al-Khas adalah lafadz yang menunjukkan kelaur dari rumah”. Pembahasan mengenai
perseorangan tertentu, seperti “Muhammad”: al-mukhashshish al-muttashil difokuskan
atau menunjukkan jenis, seperti laki-laki; atau pada item terakhir ini, yaitu kebahasaan
menunjukkan beberapa satuan yang terbatas, (lughawiyy) (al-Zarkasyi, Juz 3, 2000: 328-
seperti tiga belas, seratus, sebuah masyarakat, 329).
sekumpulan, sekelompok, dan lafaz-lafaz lain
yang menunjukkan bilangan beberapa satuan, Istisna’ adalah uangkapan yang memiliki
tetapi tidak mencakup satuan-satuan tersebut bentuk kalimat yang bersambung, di mana
(Khalaf, 1997: 342). sesuatu yang disebutkan tersebut bukanlah
dimaksudkan oleh ungkapan pertama
Kaidah (sebelumnya) (Al-Sabt, 1421H: 612).
Yang dimaksud dengan shifat di sini ialah
dalam pengertiannya yang ma’nawi, bukan
na’t dengan kekhususannya (al-Zarkasyi, Juz
3, 2000: 341). Seperti firman Allah:
“Bila dikemukakan ungkapan memiliki RR<°%ØUv% RWVXq ÄmcmÔUW*VÙ >V¼\\ <°%ØUÄ% #W)V CW%XT
syarat, pengecualian, sifat, tujuan, atau Artinya: “Dan barangsiapa membunuh
isyarat dengan zalika, setelah beberapa seorang mumin karena tersalah (hendaklah)
kata atau kalimat yang di’athafkan, maka ia memerdekakan seorang hamba sahaya
ia berlaku untuk seluruhnya kecuali ada yang beriman” (QS. al-Nisa’: 92).
alasan tertentu”.
Imam al-Razi (Juz 4, 1400H: 69)
Penjelasan Kaidah menyatakan apakah shifat itu terletak setelah
Al-mukhashshish al-muttashil terbagi pada sesuatu, sebagaimana contoh di atas,
empat macam yaitu, al-istitsna’, al-syarth, al- ataupun karena salah satunya memiliki
shifah, dan al-ghayah (al-Amidi, vol. 2: 350; hubungan dengan yang lain, seperti
al-Zarkasyi, Juz 3, 2000: 273). Al-Syath yang perkataan:
dimaksud di sini adalah syarat secara bahasa.
Ini merupakan mukhassis yang bersambung ®ƢǿDŽdz¦ ƢȀǬǨdz¦ dždzƢƳÂ ƢǸǴǠdz¦ ¿ǂǯ¢
(al-muttashil) ((al-Amidi, vol. 2: 350; al- “Hormatilah ulama dan bergaullah
Mardawi, vol. 5: 2529). Syarat (al-syarth) dengan fuqaha yang zuhud.”
Yang dimaksud dengan ghayah ialah perintahnya kepada kita dalam bahasa Arab.
nihayah, tharf, atau maqtha’. Lafaznya ialah Tidak ada yang berhak untuk mengurangi
ilaa (ń¤ ) dan hattaa (ŕƷ) (al-Razi, Juz 4, keluasan cakupan lafaz mutlak tersebut,
1400H: 65; al-Zarkasyi, Juz 3, 2000: 344). kecuali ada dalil yang membatasinya. Lafaz
Seperti dalam firman Allah: mutlak dimaksudkan bahwa ia mencakup
banyak afrad (bagian-bagian) dengan satu
C
] °% ùXk×)] ŽÙkVcÙ Ä1ÅV WÛÜWR.Wc ³/\O SÈXnÖXT SÉ ÅXT lafaz tertentu.
Artinya: “(Beberapa hari yang ditentukan
mÕH[ÝÙ ]C°% °jXSÔy)] ¦½ÙkVcÙ
itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di
Artinya: “Dan makan minumlah hingga dalamnya diturunkan (permulaan) Al
terang bagimu benang putih dari benang Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
hitam, yaitu fajar” (QS. al-Baqarah: 187). penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk
itu dan pembeda (antara yang hak dan
Demikian juga dalam firman-Nya: yang bathil). karena itu, Barangsiapa di
antara kamu hadir (di negeri tempat
SÉ ¦ÙÎVÙ ®QSQ ¡ rQ¯ Ô2È)Õ-É Vl¯ ßSÄ<W%XÄ |ÚÏ° SM{iU
Wc tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah
ia berpuasa pada bulan itu, dan
©°ÙWm\-Ù rQ¯ ×1ÅWc°iØcU XT ×1Å\FSÄBÄT Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya
apabila kamu hendak mengerjakan shalat, berpuasa), sebanyak hari yang
maka basuhlah mukamu dan tanganmu ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
sampai dengan siku” (QS. al-Maidah: 6). lain. Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki
Di dalam ayat di atas, membasuh tangan kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu
itu tidak seluruh tangah, tetapi ditakhsis mencukupkan bilangannya dan
dengan batasan (ghayah), yaitu hanya sampai hendaklah kamu mengagungkan Allah
siku (ila al-marafiq) (al-Zuhaili, Vol. 1, 1986: atas petunjuk-Nya yang diberikan
263). kepadamu, supaya kamu bersyukur” (QS.
al-Baqarah: 185).
Al-Mutlaq dan Al-Muqayyad
Kaidah Pertama Ungkapan “maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain”, bersifat mutlak.
Tidak ada batasan tentang hal itu, apakah ia
“Pada dasarnya ungkapan bersifat harus berturut-turut atau boleh dipisah-pisah.
muthlaq tetap pada kemutlakannya hingga Yang diwajibkan di sini hanyalah masalah
ada yang membatasinya (taqyid)”. bilangan, dan tidak ada nash lain yang
membatasinya. Nash ini tetap pada
Penjelasan Kaidah kemutlakannya. Maka qadha puasa dapat
Bila suatu lafaz nash bersifat mutlak, maka memilih antara berturut-turut atau dipisah-
wajib diamalkan menurut kemutlakannya, pisah. Pendapat yang mensyaratkan keharusan
kecuali bila diperoleh dalil yang berturut-turut adalah pendapat yang marjuh
membatasinya. Karena Allah menurunkan (lemah).
Ä °V[& ÀsÕiRNÚ [×É ×Wc ³/\O Ô2Å\yTÃÄÃq SÁ¯ ÙVU% YXT ¥sÕiRNÚ Ayat pertama tentang kaffarat sumpah
dengan puasa tiga hari tanpa dibatasi dengan
¸RWcÕi°ÝVÙ °O¦yÚ q C°K% s?lU à°O¯ ØTU ²c®p' 1Å=°% WD[ CX.VÙ berturut-turut. Ayat kedua tentang kaffarat
zhihar yang dibatasi dengan berpuasa dua bulan
\Ì*\-V" C\-VÙ Ø/ÅÊ<°%U Vl¯
VÙ ¾É6 ØTU RV\i_ ØTU $4Xj° C°K% berturut-turut. Sedangkan ayat ketiga sanksi haji
tamattu’ yang dibatasi dengan berpuasa secara
Õi¦IVf ×1 C\-VÙ ¥sÕiRNÚ ]C°% Xn\ÙjW*Ôy \-VÙ §FMSVÙ rQ¯ ®QWmØ.ÄÈÙ¯
terpisah-pisah, yaitu tiga hari di saat
\Ú °" ×1È)ØÈ\BXq Vl¯ R\È×\yXT §FMSVÙ r¯Û 4cU °RV:Q U2 Ä3Xk¦¡VÙ
pelaksanaan haji dan tujuh hari setelah pulang.
Menurut al-Sabt (1421H: 624), tidak
s¯n¦±\O Ä ÊØFU ÕCÅWc ×1 C\-° \°Vl ¸
V°%[ ¸QXn_WÃ diragukan lagi bahwa sumpah lebih dekat
kepada zihar dari pada haji tamatthu’, karena
Àic°i[ DU ßSÀ-Q ÕÃXT SÁ"XT °4WmSVÙ °iªHÔ\-Ù keduanya merupakan kaffarat. Maka
membatasi puasa kaffarat sumpah dengan
§ª²¯¨ ª!V°ÈÙ berturut-turut mengikuti puasa kaffarat zihar.
Hukum potong tangan disyari’atkan karena “Apabila masa (terjadi) sesuatu sangat
perbuatan mencuri. Mencuri di sini disebut penting untuk disebutkan, maka kejadian
‘illat hukum, sekalipun lafaznya menunjukkan itu lebih penting dari pada waktunya” (Al-
hal itu secara jelas, tetapi ia dapat dipahami Sabt, 1421H: 633).
dari makna kalimat tersebut.
Penjelasan Kaidah
Kaidah Kedua Kaidah ini termasuk ke dalam bahasan
mafhum al-muwafaqah al-aulawi. Apabila
sebuah perintah dikeluarkan maka ia menuntut
“Suatu hukum yang dikaitkan terhadap untuk disebutkan masanya. Menyebutkan
sifat (‘illat) tertentu, maka ia menguat kejadian itu lebih utama dari menyebutkan
sejalan dengan kuatnya sifat tersebut, waktunya. Jika di antara keduanya ada sesuatu
sebaliknya hukum tersebut gugur karena yang mengikat, maka yang dimaksud adalah
hilangnya sifat itu”. urgensitas kejadian itu.
“Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit menyebutkan sifat tersebut. Berpegang
satu bagian dari bagian-bagian itu, kepadanya, bukan kepada yang lain.
kemudian panggillah mereka, niscaya Kondisi ini merupakan hal-hal yang tidak
mereka datang kepadamu dengan segera.” boleh berlebihan dalam mafhum
dan ketahuilah bahwa Allah Maha mukhalafah.
Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. al- Adapun mafhum mu’tabarah antara lain;
Baqarah: 260). 1. Mafhum sifat.
2. Mafhum taqsim.
Kaidah Kedua 3. Mafhum syarat.
4. Mafhum ghayah (tujuan).
5. Mafhum al-adad (jumlah).
6. Mafhum istisna (pengecualian).
7. Mafhum hashar (pembatasan). Hal ini
“Bila hukum disebutkan setelah sifat yang ditunjukkan oleh;
mungkin mu’tabar, maka tidak boleh a. Istisna’ setelah nafi.
menyimpangkannya” (Al-Sabt, 1421H: b. Dhamir Fashal yang terletak di antara
634). mubtada’ dan khabar.
c. Hashar mubtada’ pada khabar.
Penjelasan Kaidah d. Mendahulukan ma’mul dari amilnya
Sebelumnya telah dijelaskan, bila syari’ atau mendahulukan yang seharusnya
mengungkapkan suatu hukum yang diikuti dikemudiankan.
dengan ‘illat yang menunjukkan bahwa hukum e. Mafhum “innama”
tersebut ditetapkan karenanya”. 8. Mafhum hal.
Di antara kedua kaidah itu terdapat 9. Mafhum waktu dan tempat.
kemiripan. Perbedaan keduanya adalah kaidah
yang lalu menghendaki adanya kaitan antara Kaidah Ketiga
hukum dan illatnya. Ini adalah prinsip
mendasar dalam tasyri’. Sedangkan kaidah
yang tengah dijelaskan ini dimaknai bahwa
sifat (‘illat) yang berpengaruh atau mu’tabar
harus diperhatikan dalam memahami makna “Bila sesuatu dikhususkan dengan
dan menetapkan hukum. menyebutkan pujian atau celaan, atau
Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan lainnya, maka ia tergolong mafhum
beberapa hal, antara lain; mu’tabarah. Bila demikian, maka tidak
1. Mengeluarkan sifat (‘illat) yang tidak layak untuk tidak diperhatikan”.
sesuai.
2. Berpegang kepada sifat-sifat (‘illat) yang Penerapan Kaidah
berpengaruh.
§ª®¨ WDSÈSÁHÔUS54 k®W%×SWc ×1®M®Jq CWà ×1ÆM;¯ +Z[
3. Tidak boleh mendiamkan sifat-sifat yang
disebutkan berdasarkan hal yang sesuai Artinya: “sekali-kali tidak, Sesungguhnya
dengan kejadian atau jawaban terhadap mereka pada hari itu benar-benar tertutup
pertanyaan dan sebagainya terhadap dari (rahmat) Tuhan mereka (QS. al-
keadaan yang tidak dikehendaki ketika Muthaffifin: 15).
Tertutup di sini berarti azab, maka tidak al-Razi, Muhammad ibn Amr ibn al-Husain. (1400
tertutup rahmat Allah bagi siapa saja yang H). Al-Mahshul fi Ilm al-Ushul. Juz 4.
tidak diazab Allah. Kalaulah hal itu berlaku Riyadh: Jami’ah al-Imam Muhammad ibn
untuk seluruhnya tidak lah berarti azab. Imam Su’ud al-Islamiah.
Malik menjelaskan; “ketika Allah menutupi al-Sa’adi, Abd al-Rahman ibn Nashir. (2000).
rahmat terhadap musuhnya, maka jelaslah bagi Tafsir al- Karim al-Rahman fi Tafsir
wali-wali-Nya”. Menurut al-Syafi’i; ayat ini Kalam al-Mannan. Juz 1. Damaskus:
menjadi dalil bahwa para wali Allah (mukmin) Muassisah al- Risalah.
akan melihat Allah pada hari Kiamat dengan ———-. (2002). Al-Qawa’id wa al-Ushul al-
pandangan mereka (Al-Sabt, 1421H: 640). Jami’ah wa al-Furuq wa al-Taqasim al-
Badi’iah al-Nafi’ah. T.tp: Maktabah al-
Sunnah.
Daftar Kepustakaan al-Sabt, Khalid Utsman. (1421 H). Qaqa’id al-
Tafsir Jam’an wa Dirasatan. Madinah:
al-Amidi, Muhammad. al-Ihkam fi al-Ushul al- Dar ibn al-Affan.
Ahkam. vol. 2. al-Shan’ani, Muhammad ibn Ismail al-
al-Baghdadi, Ila’ al-Din ibn Muhammad ibn A m i r. ( 1 9 8 6 ) . U s h u l a l - F i q h a l -
Ibrahim. (1979). Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani M u s a m m a I j a b a t a l - S a i l S y a rh
al-Tanzil. Juz 2. Beirut: Dar al- Fikr. Bughyat al-Amal. Juz 1. Beirut:
al-Baihaqi, Imam. (1344 H). al- Sunan al-Kubra Muassasah al-Risalah.
wa fi Zailihi al-Jauhar al-Naqi. Juz 8. al-Subki, Taj al-Din Abd al-Wahab ibn Ali ibn
Haidar Abad: Majelis Dirasah al- Ma’arif Abd al-Kafi. (1991). Al-Asybah wa al-
al-Nizamiyah. Nazhair. Juz 2. Beirut: Dar al-Kutub al-
al-Bukhari, Imam. (1422 H). Al-Jami’ al-Musnad ‘Ilmiah.
al-Shahih al-Mukhtashar min Umur al-Syafi’i, Muhammad ibn Umar ibn Husain al-
Rasulillah SAW wa Sunanih wa Ayyamih. Razi. (2002). Mafatih al- Ghaib min al-
Juz 1. Dar Thauq al-Najah. Qur’an al- Karim. Juz 1. Beirut: Dar al-
al-Hanbali, Abu Hafidz Umar ibn Ali ibn “Adil al- Kutub al-‘ilmiah.
Damsyiqi. (1998). al-Lubab fi Ulum al- al-Syathibi, Imam. (1997). Al-Muwafaqat. Juz 6.
Kitab. Juz 2. Beirut: Dar al- Kutb al- ‘ilmiah. Dar Ibn Affan.
al-Hanbali, Ali ibn Abbas al-Ba’li. (1956). Al- al-Zarkasyi, Badr al-Din Muhammad ibn Bahadur
Qawa’id wa al-Fawaid al-Ushuliah wa Ma ibn Abdillah. (2000). Bahr al-Muhith fi
Yata’allaq biha min al-Ahkam. Juz 1. Kairo: Ushul a-Fiqh. Juz 2. Beirut: Dar al-Kutub
Mathba’at Al-Sunnah Muhammadiah. al-‘Ilmiah.
al-Nadwi, Ali Ahmad. (1994). al- Qawa’id al- al-Zarqani,Muhammad Abd al-”Azhim. (t.th).
Fiqhiyyah: Mafhumuha, Nasyatuha, Manahil al- Irfan fi Ulum al- Qur’an. Juz
Tathawwiruha, Muallafatuha, Adillatuha, 1. Isa al-Babi al-Halabi wa Syirkuh.
Muhimmatuha, Tathbiqatuha. Dimsyaq: al-Zuhaili, Wahbah. (1986). Ushul al-Fiqh al-
Dar al- Qalam. Islamy. vol 1. Beirut: Dar al-Fikr.