Anda di halaman 1dari 6

TINJAUAN PUSTAKA

Suhu Lingkungan dan Suhu Tubuh Ayam

Di Indonesia yang beriklim tropis, suhu lingkungan di dataran rendah, di

musim kemarau dapat mencapai suhu 33-35ºC. Ayam broiler akan berproduksi

optimal pada suhu 18 - 21ºC. Suhu yang ada di dalam kandang, pada dasarnya

adalah berupa panas lingkungan yang berasal dari matahari dan dari panas yang

dikeluarkan oleh tubuh ayam. Tingginya suhu lingkungan di daerah tropis pada

siang hari dapat mencapai 34ºC dapat mengakibatkan terjadinya penimbunan panas

dalam tubuh, sehingga ternak mengalami cekaman panas. Ayam broiler termasuk

hewan homeothermis dengan suhu nyaman 24ºC, akan berusaha mempertahankan

suhu tubuhnya dalam keadaan relative konstan antara lain melalui peningkatan

frekuensi pernafasan dan jumlah konsumsi air minum serta penurunan konsumsi

ransum (Miller dkk, 1993; Sugito dan Delima, 2009).

Pada suhu lingkungan di atas suhu normal, produksi panas tubuh meningkat

karena ayam tidak dapat mengontrol hilangnya panas dengan menguapkan air dari

pori-pori keringat, akhirnya cara yang dilakukan ialah melalui pernafasan yang

cepat, dangkal atau suara terengah-engah (panting). Panting tidak dapat digunakan

sebagai alat mengontrol hilangnya panas untuk waktu tak terbatas, seandainya suhu

lingkungan tidak turun atau panas tubuh yang berlebihan tidak dibuang, maka ayam

akan mati karena hyperthermy (kelebihan suhu) (Fuller dan Rendon, 1977).

Keadaan lingkungan di luar tubuh dapat mempengaruhi lingkungan di

dalam tubuh, maka apabila temperatur udara meningkat, temperatur tubuh juga

akan sedikit meningkat. Namun sebagai hewan homoioterm, ayam akan berusaha
mengembalikan temperatur tubuhnya ke temperatur normal, sebab semua reaksi

biokimiawi di dalam tubuh akan optimal pada temperatur tertentu (Rosita, 2015)

Kemampuan mempertahankan temperatur tubuh dalam kisaran yang normal

merupakan kegiatan yang sangat mempengaruhi reaksi biokimiawi dan proses

fisiologis dalam kaitannya dengan metabolisme tubuh ayam, kegiatan ini akan

mempengaruhi perubahan yang terjadi pada temperatur tubuh ayam. Pada masing-

masing periode pertumbuhan, temperatur tubuh ayam petelur berbeda-beda, karena

temperatur tubuh tidak mungkin menunjukkan suatu derajat panas yang tetap.

Ayam petelur tidak memiliki kelenjar keringat, sehingga jalur utama untuk menjaga

keseimbangan temperatur adalah pelepasan panas melalui saluran pernafasan

dengan cara panting, melebarkan sayap, melalui air minum, dan lain-lain seperti

yang terlihat pada gambar 1.

Gambar 1. Diagram zona temperatur pada ayam


Apabila ternak merasa tertekan atau adanya perubahan kondisi lingkungan

yang ekstrim, maka ternak akan menjadi tidak tenang dan akan menimbulkan

aktivitas berlebih. Hal ini dapat diperlihatkan dengan adanya perubahan fisiologis

yang ditunjukkan oleh perubahan hematologis ternak, antara lain perubahan jumlah

eritrosit, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin (Rosita, 2015; Fuller dan Rendon,

1977).

Keadaan Stres Panas pada Ayam

Respon tubuh hewan terhadap stres panas merupakan suatu kesatuan respon

dari sistem saraf, sistem hormon dan sistem pertahanan tubuh. Pada ayam yang

menderita stres panas melepaskan berbagai jenis senyawa biokimia, seperti

beberapa jenis hormon glukokortiroid dan sitokin. Sitokin yang dilepaskan

memegang peran penting dalam upaya tubuh mempertahankan homeostasis akibat

stres (Huang dkk., 2003). Keberadaan peningkatan hormon glukokortikoid dapat

menyebabkan gangguan pembentukan sel-sel imun dan gangguan pembentukan

berbagai sitokin yang diperlukan untuk respon imun (Mashaly dkk., 2004).

Respon fisiologi tubuh akibat adanya stres panas diawali dengan

pembentukan CRH (Corticotropin Releasing Hormone) pada hipotalamus dan

CRH ini akan menstimulasi pembentukan ACTH pada hipofisa anterior yang

kemudian ACTH ini menginduksi pembentukan glukokortikoid pada kelenjer

adrenal korteks. Pelepasan glukokortikoid menimbulkan berbagai efek terhadap

metabolism normal tubuh (Sugito, 2007). Tingginya kadar hormon ini akan

berdampak terhadap ransangan sekresi medulla adrenal, pada bagian korteks

adrenal akan memacu terjadinya perubahan perubahan pada sel-sel darah. Aktivitas
leukosit akan menjadi lebih lambat (lazy leucocyte syndrome) dan peningkatan

rasio heterofil dan limposit yang meningkat terhadap sirkulasi darah ayam yang

terpapar stres panas (Sulistyonigsih, 2004 ; Virden and Kidd, 2009; Kusnadi, 2008).

Pengaruh Stres Panas pada Haematologi Ayam

- Sel darah merah (eritrosit)

Toha (2009) menyatakan stres panas dapat menurunkan jumlah eritrosit,

leukosit, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit pada ayam. Perubahan tersebut

disebabkan karena terlalu banyak cairan tubuh yang dikeluarkan, sehingga terjadi

perubahan bentuk yang tidak normal pada eritrosit dan menyebabkan hemoglobin

yang terikat akan terlepas. Jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin akan meningkat

pada temperatur lingkungan rendah dan akan menurun pada temperatur lingkungan

yang tinggi (Rosita, 2015; Nurfaizin dkk, 2014). Perubahan ini memungkinkan

masih dalam keadaan normal apabila peningkatan temperatur tidak terlalu ekstrim,

namun perubahan yang sangat signifikan dapat terjadi jika temperatur dan

kelembaban sangat tinggi. Perubahan hematologis dapat mengubah proporsi

hematokrit yang dapat menyebabkan nilai hematokrit ikut menurun. Hal ini

disebakan karena nilai hematokrit normal sebanding dengan jumlah eritrosit dan

kadar hemoglobin. Jika jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin berubah, persentase

jumlah hematokrit juga ikut berubah (Altan dkk., 2000).

Peningkatan hemoglobin, hematokrit disebabkan oleh lepasnya

katekolamin (epineprin/norepineprin). Menurut Rosmalawati (2008) hemoglobin

adalah pigmen eritrosit berisi darah yang tersusun atas protein konjugasi dan protein

sederhana. Hemoglobin diproduksi oleh sel darah merah yang disintesis dari asam
asetat (acetic acid) dan glycine menghasilkan porphyrin. Porphyrin

dikombinasikan dengan besi menghasilkan satu molekul heme. Empat molekul

heme dikombinasikan dengan molekul globin yang merupakan protein globular

yang terdiri dari empat rantai asam-asam amino membentuk hemoglobin. Nilai

hematokrit sangat tergantung pada jumlah eritrosit, karena eritrosit merupakan

massa sel terbesar dalam darah (Virden dkk, 2007). Peningkatan ataupun

penurunan nilai hematokrit dalam darah akan berdampak pada viskositas darah.

Semakin besar persentase hematokrit maka viskositas darah akan semakin

meningkat. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai hematokrit yaitu kerusakan

eritrosit (eritrositosis), penurunan produksi eritrosit atau dipengaruhi oleh jumlah

dan ukuran eritrosit (Wardhana dkk., 2001).

- Sel darah putih (leukosit)

Leukosit terbagi menjadi granulosit (neutrofil, basofil, eosinofil),

agranulosit (limfosit, monosit), dan sel plasma. Jumlah leukosit bervariasi

tergantung jenis hewan (Dellmann dan Brown 1992). Stres panas dapat

menyebabkan gangguan pembentukan sel-sel darah putih (leukosit) (Cooper &

Washburn 1998; Virden and Kidd, 2009; Kusnadi, 2009). Peningkatan sel-sel

heterofil dan penurunan sel-sel limfosit sehingga rasio antara heterofil dan limfosit

meningkat (Aengwanich & Chinrasri, 2002; Bedanova dkk., 2003). Peningkatan

rasio heterofil:limfosit selalu digunakan sebagai indikator yang akurat akibat

cekaman panas yang kronis pada ayam (Bedanova dkk., 2003). Stres panas dapat

menyebabkan terjadinya leukositosis. Hal ini disebabkan oleh peningkatan jumlah

neutrofil (neutrofilia). Neutrofilia ini terjadi akibat adanya induksi glukokortikoid


pada jalur pembentukan dan pelepasan neutrofil cadangan pada sumsum tulang

(Blecha, 2000).

Anda mungkin juga menyukai