ORYZA
DR. REZA | DR. RESTHIE | DR. CEMARA | DR. RYNALDO
OFFICE ADDRESS:
Jl padang no 5, manggarai, setiabudi, jakarta selatan Medan :
(belakang pasaraya manggarai) Jl. Setiabudi no. 65 G, medan
phone number : 021 8317064 Phone number : 061 8229229
pin BB D3506D3E / 5F35C3C2 Pin BB : 24BF7CD2
WA 081380385694 / 081314412212 WA 082122727364
I L MU
P E N YA K I T
DALAM
1. Syok
• Syok adalah suatu kondisi hipoksia sel dan jaringan akibat
penurunan pengantaran oksigen (oxygen delivery)
dan/atau peningkatan konsumsi oksigen atau utilisasi
oksigen kurang adekuat.
• Terjadi saat adanya kegagalan sirkulasi yang bermanifestasi
sebagai hipotensi (penurunan perfusi jaringan).
• Syok biasanya reversible namun harus dapat dikenali dan
ditatalaksana secepatnya untuk mencegah progresifitas
menjadi disfungsi organ ireversibel.
• Terdapat 4 tipe syok yaitu distributive, kardiogenik,
hipovolemik, dan obstruktif.
1. Syok
• Deficiency of thyroid
hormone.
• Autoimmune thyroid
disease (Hashimoto
disease) is the most
common cause of
hypothyroidism.
2. Penyakit Endokrin
2. Penyakit
Endokrin
Limfosit tersensitisasi oleh antigen tiroid
• Gambaran radiologis:
– Infiltrat sampai konsolidasi dengan “air bronchogram”, penyebaran
bronkogenik & interstisial serta gambaran kaviti.
– Air bronchogram: gambaran lusen pada bronkiolus yang tampak
karena alveoli di sekitarnya menjadi opak akibat inflamasi.
Pneumonia komuniti, pedoman diagnosis & penatalaksanaan di Indoneisa. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003.
Pneumonia
3. Pneumonia
• Community acquired pneumonia:
– Pneumonia yang didapat di masyarakat
Formation of a clot
Hemostasis
1. Fase vaskular: vasokonstriksi
2. Fase platelet: agregasi dan adhesi
trombosit
3. Fase koagulasi: ada jalur
ekstrinsik, jalur intrinsik dan
bersatu di common
pathway
4. Fase retraksi
5. Fase destruksi / fibrinolisis
http://www.bangkokhealth.com/index.php/health/health-
general/first-aid/451-ขบวนการห้ามเลือด-hemostasis.html
Coagulation factors
http://www.indianmedicinalplants.info/articles/BLEEDING-TIME.html
Clotting Time
• CT the interval between the moment when bleeding
starts and the moment when the fibrin thread is first
seen.
• BT depends on the integrity of platelets and vessel
walls, whereas CT depends on the availability of
coagulation factors.
• In coagulation disorders like haemophilia, CT is
prolonged but BT remains normal.
• CT is also prolonged in conditions like vitamin K
deficiency, liver diseases, disseminated intravascular
coagulation, overdosage of anticoagulants etc.
http://www.indianmedicinalplants.info/articles/BLEEDING-TIME.html
PT & APTT
• activated partial thromboplastin time (aPTT)
untuk mengevaluasi jalur intrinsik kaskade
koagulasi
• prothrombin time (PT) untuk mengevaluasi
jalur ekstrinsik kaskade koagulasi
http://practical-haemostasis.com/Screening%20Tests/aptt.html
Bleeding
Mild Severe
intervention
stopped
continues
prolonged delayed
http://periobasics.com/wp-content/uploads/2013/01/Evaluation-of-bleeding-disorders.jpg
Bleeding Disorder
6. Hemofilia
• Hemophilia is an inherited
bleeding disorder in which
the blood does not clot
properly.
• Sign and symptom
– Unexplained and excessive
bleeding from cuts or
injuries, or after surgery or
dental work
– Many large or deep bruises
– Unusual bleeding after
vaccinations
– Pain, swelling or tightness in
the joints
– Blood in urine or stool
– Nosebleeds without a known
cause
– In infants, unexplained
irritability
6. Hemofilia
6. Hemofilia
• Hemophilia A, the most common type, is
caused by insufficient clotting factor VIII.
• Hemophilia B, the second most common type,
is caused by insufficient clotting factor IX.
• Hemophilia C, in which signs and symptoms
are often mild, is caused by insufficient
clotting factor XI.
7. Penyakit katup Jantung
7. Penyakit Katup Jantung
Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2011.
7. Penyakit katup Jantung
Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2011.
Mitral Regurgitation
Algoritme Tatalaksana MR AHA 2017
8. Demam rematik
• Penyakit sistemik yang terjadi setelah faringitis akibat
GABHS (Streptococcus pyogenes)
• Usia rerata penderita: 10 tahun
• Komplikasi: penyakit jantung reumatik
• Demam rematik terjadi pada sedikit kasus faringitis
GABHS setelah 1-5 minggu
• Pengobatan:
– Pencegahan dalam kasus faringitis GABHS: penisilin/
ampisilin/ amoksisilin/ eritromisin/ sefalosporin generasi I
– Dalam kasus demam rematik:
• Antibiotik: penisilin/eritromisin
• Antiinflamasi: aspirin/kortikosteroid
• Untuk kasus korea: fenobarbital/haloperidol/klorpromazin
Chin TK. Pediatric rheumatic fever. http://emedicine.medscape.com/article/1007946-overview
Behrman RE. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011.
8. Penyakit Jantung Rematik
• Sekuelae demam
reumatik akut yang
tidak di-tx adekuat
• Manifestasi 10-30 th
pasca DRA
• Penyakit jantung
katup
– MS: fusi komisura
fish mouth
– AI + MS
– AS + AI + MS
Source: Valvular Heart Disease. Lilly LS. Pathophysiology of Heart Disease. 4th ed. 2007.
Sabatine MS. Pocket Medicine. 4th ed. 2011.
Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan laboratorium menentukan ada tidaknya reuma
aktif/reaktivasi.
• EKG
– Pada insufisiensi mitral yang ringan: Hanya terlihat gambaran P mitral
dengan aksis dan kompleks QRS yang masih normal. Pada tahap lanjut
terlihat aksis yang bergeser ke kiri dan disertai hipertrofi ventrikel kiri.
• Foto toraks
– Kasus ringan tanpa gangguan hemodinamik yang nyata, besar jantung
biasanya normal.
– Keadaan lebih berat: Terlihat pembesaran atrium kiri dan ventrikel kiri,
serta mungkin tanda-tanda bendungan paru. Kadang-kadang terlihat
perkapuran pada anulus mitral.
• Ekokardiografi
– Mengevaluasi gerakan katup, ketebalan, serta adanya perkapuran pada
mitral.
– Ekokardiografi Doppler dapat menilai derajat regurgitasi.
9. Proctitis
• Proctitis is an
inflammation of the
lining of the
rectum.
• Proctitis involves an
inflammatory
change of the
rectum (within 15
cm of the dentate
line).
9. Proctitis
Causes
• It may be a side effect of medical treatments like
radiation therapy or antibiotics.
• Proctitis caused by sexually transmitted diseases
(STDs) is transmitted through receptive anal
intercourse and is most commonly due to
gonorrhea and chlamydia.
• Autoimmune disease of the colon, such as Crohn
disease and ulcerative colitis, celiac disease,
chemicals, rectal instrumentation, and trauma to
the anorectal area.
9. Proctitis
Infectious causes
Non-infectious causes
Fauci et al. Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2012.
Kolitis ulseratif Crohn’s disease
Inflamasi Mukosa Transmural
Luas area Rectum proksimal Mulut – anus
Continuous Skip lesion
50% proctosigmoiditis, 30%
left-sided colitis, 20%
pancolitis
Patologi Mukosa rapuh Mukosa tidak rapuh
Ulkus difus Ulkus aphthous
Pseudopolip Cobblestone, fisura
Barium enema Tepi kabur (granularitas Lesi tajam, cobblestone,
mukosa halus) ulkus dan fisura panjang,
Haustra kolon hilang “lead “string sign”
pipe”
Mikroskopik Inflamasi superfisial Inflamasi transmural
PMN Limfosit
Abses kripti Granuloma non-kaseosa
Fibrosis, ulkus, fisura
IBD
• Manifestasi sistemik
IBD:
• Eritema nodosum
• Artritis perifer,
asimetrik,
poliartikular, sendi
besar, ankylosing
spondylitis
• Uveitis/iritis,
episkleritis
• Steatosis hepatik
• Nefrolitiasis
• Low bone mass
• Tromboembolik
Proctitis Treatment
IBD Infectious proctitis Non-infectious
C. difficile Metronidazole or
vancomycin
http://emedicine.medscape.com/article/192910-treatment#d9
10. HIV/AIDS
10. HIV/AIDS
10. Tuberkulosis
Terduga TB
Pasien baru, tidak ada riwayat pengobatan TB, tidak ada riwayat kontak erat Pasien dengan riwayat pengobatan TB, pasien dengan riwayat
dengan pasien TB RO, pasien dengan HIV (-) atau tidak diketahui status HIV nya kontak erat dengan pasien TB RO, pasien dengan HIV (+)
Pemeriksaan Klinis dan Pemeriksaan bakteriologis dengan Mikroskop atau Tes Cepat Molekuler (TCM)
MTB Pos, Rif MTB Pos, Rif MTB Pos, Rif MTB Neg
(- -) (+ +) Sensitive Indeterminate Resistance
(+ -)
Tidak bisa
dirujuk
Ulangi Pemeriksaan
TB RRtambahan pada semuaFoto pasien TB
Toraks
TB Terkonfirmasi pemeriksaan yang terkonfirmasi baik secara bakteriologis
(Mengikuti alur
Bakteriologis TCM yangdan
sama
Foto Terapi maupun klinis adalah pemeriksaan HIV
dengan alur
Toraks Antibiotika gula darah. Pemeriksaan lain dilakukan sesuai
pada hasil
Non OAT indikasi misalnya fungsi hati, fungsi pemeriksaan
ginjal, dll)
Pengobatan Mulai Pengobatan TB RO; Lakukan
mikrokopis BTA
pemeriksaan Biakan dan Uji Kepekaan
MTB Pos, Rif MTB Pos, Rif MTB Pos, Rif MTB Neg
(- -) (+ +) Sensitive Indeterminate Resistance
(+ -)
Tidak bisa
dirujuk
Ulangi Foto Toraks
TB RR
TB Terkonfirmasi pemeriksaan (Mengikuti alur
Bakteriologis TCM yang sama
Foto Terapi
dengan alur
Toraks Antibiotika
pada hasil
Non OAT
Mulai Pengobatan TB RO; Lakukan pemeriksaan
Pengobatan
mikrokopis BTA
pemeriksaan Biakan dan Uji Kepekaan
TB Lini 1 negatif (- -) )
OAT Lini 1 dan Lini 2
Gambaran Tidak Mendukung TB;
Mendukung Bukan TB; Cari
TB kemungkinan penyebab Ada Tidak Ada
penyakit lain Perbaikan Perbaikan TB RR; TB Pre TB XDR
Klinis Klinis, ada
TB MDR XDR
faktor risiko
TB TB, dan atas
Terkonfirmasi Bukan TB; Cari pertimbangan
Klinis Lanjutkan Pengobatan
kemungkinan dokter Pengobatan TB RO
TB RO
penyebab dengan Paduan Baru
penyakit lain TB
Terkonfirmasi
Klinis
Primary
TB
HIV positive Latent
TB
Reactivation
(endogenous)
Progressive Post-primary TB
Primary TB
Diagnosis TB pada orang terinfeksi HIV
• Gejala klinis tidak berbeda dengan pada non HIV
selama immunitas seluler (CD4) memadai.
– Gejala respiratorik (batuk, sesak)
– Gejala sistemik (demam, malaise, BB↓)
• Pada stadium HIV lanjut, sering dijumpai TB ekstraparu
(pleuritis, limfadenopati, meningitis, TB milier)
• Lebih sulit karena:
– Hasil BTA sputum sering negatif
– Gambaran radiologi tidak khas
– Lebih sering TB ekstrapulmonal
– Mirip dengan infeksi oportunistik paru lainnya
– Uji mantoux umumnya negatif
Gambaran Radiologis
• Radiologis dapat tampak normal 7-14% pasien
HIV
• Kelainan radiologis tergantung derajat
imunosupresi
• Fase Awal HIV
– mirip TB pada non HIV infiltrat lobus atas dengan
atau tanpa kavitas.
• Fase lanjut HIV
– TB ekstra paru, limfadenopati intra thoracic/
mediastinal, infiltrat di lobus bawah dan TB milier
Limfadenopati hilar
Manifestasi Klinis TB pada HIV
• During the recovery phase, constitutional symptoms disappear, but usually some
liver enlargement and abnormalities in liver biochemical tests are still evident.
12. Hepatitis
12. Hepatitis A
• Hepatitis A IgM
antibodies are
usually detectable 3
to 4 weeks after an
initial exposure and
return to normal after
about 8 weeks.
• Hepatitis A IgG
antibodies may begin
to develop 2 weeks
after the IgM
antibodies increase to
a high level.
13. Pellagra/Vitamin B3
Deficiency
• Pellagra is a systemic nutritional wasting disease
caused by a deficiency of vitamin B3 (niacin), an
essential component of several coenzymes.
• Poverty and dietary consumption of corn were the
most frequently observed risk factors.
• Diets based on unfortified maize (corn) are
pellagragenic for the following two reasons
• (1) These diets are low in tryptophan, the amino acid
precursor of niacin.
• (2) any endogenous niacin in untreated corn is bound in
a nonbioavailable form.
http://emedicine.medscape.com/article/985427-overview
13. Pellagra/Vitamin B3
Deficiency
• 4D
• Diarrhea
• Dementia
• Dermatitis
• Death
• Prevented by eating
red meat, enriched and
whole-grain cereals.
13. Pellagra/Vitamin B3
Deficiency
• Treatment
• Nicotinamide or niacin orally is usually effective.
• L-tryptophan (L-trp) is effective in preventing pellagra in
rat model, but its safety for this use in humans is yet to
be established.
• Diet
• Diet high in protein and adequate in calories.
• The addition of meats, milk, peanuts, green leafy
vegetables, whole or enriched grains, and brewers' dry
yeast can enhance the niacin intake.
http://emedicine.medscape.com/article/985427-treatment#d8
Defisiensi Vitamin B
Beriberi - a disease whose symptoms include weight loss,
Vitamin B1 (Thiamine) body weakness and pain, brain damage, irregular heart rate,
heart failure, and death if left untreated
Causes distinctive bright pink tongues, although other
Vitamin B2 (Riboflavin) symptoms are cracked lips, throat swelling, bloodshot eyes,
and low red blood cell count
Pellagra - symptoms included diarrhea, dermatitis, dementia,
Vitamin B3 (Niacin)
and finally death (4D)
Vitamin B5
Acne and Chronic paresthesia
(Pantothenic Acid)
Microcytic anemia, depression, dermatitis, high blood
Vitamin B6
pressure (hypertension), water retention, and elevated levels
(Pyridoxine)
of homocysteine
Causes rashes, hair loss, anaemia, and mental conditions
Vitamin B7 (Biotin)
including hallucinations, drowsiness, and depression
Causes gradual deterioration of the spinal cord and very
Vitamin B12
gradual brain deterioration, resulting in sensory or motor
(Cobalamin)
deficiencies
14. DKA and HHS
88
14. Characteristics of DKA and HHS
89
14. Diabetic Ketoacidosis:
Pathophysiology
Unchecked gluconeogenesis Hyperglycemia
90
Pathogenesis of Hyperglycemic Crises
DKA HHS
Increased
glucose
Increased
production
ketogenesis
Insulin Counterregulatory
Deficiency Hormones
Decreased
glucose Metabolic
uptake acidosis
Electrolyte Hypertonicity
abnormalities
Hyperglycemia Lipolysis
Hyper-
osmolality
Glycosuria FFAs
Δ MS Ketones
Dehydration
Acidosis
Electrolyte
Renal Failure Losses
Shock CV
Collapse 92
Hyperosmolar Hyperglycemic State:
Pathophysiology
Unchecked gluconeogenesis Hyperglycemia
93
Diabetic Hyperglycemic Crises
No hyperosmolality Hyperosmolality
Acidosis No acidosis
94
ADA Diagnostic Criteria for
DKA and HHS
DKA
Parameter Mild Moderate Severe HHS
Plasma glucose, mg/dL >250 >250 >250 >600
Arterial pH 7.25-7.3 7.0-7.24 <7.0 >7.30
Serum bicarbonate, mmol/L 15-18 10 to <15 <10 >15
Serum ketones† Positive Positive Positive Small
Urine ketones† Positive Positive Positive Small
Effective serum osmolality,*
Variable Variable Variable >320
mOsm/kg
Alteration in sensoria or mental
Alert Alert/drowsy Stupor/coma Stupor/coma
obtundation
*Calculation: 2[measured Na+ (mEq/L)] + glucose (mg/dL)/18.
† Nitroprusside reaction method.
Proliferate in the
bloodstream or
extracellularly within organ
Disseminate
hematogenously to all
organs
Human Physiology.
Diagnosis Banding Hipertiroidisme
Merupakan penyebab
hipertiroid terbanyak
setelah graves disease.
20.
Radioactive Iodine
Tatalaksana Hipertiroidisme
• Indonesian Clinical Practice Guidelines for Hyperthyroidism
(2012), PTU adalah obat pilihan pada:
– kehamilan trimester pertama,
– krisis tiroid,
– riwayat alergi atau intoleransi obat antitiroid &
– menolak terapi iodin radioaktif atau pembedahan.
• Methimazole
– Dosis awal metimazol 10-20 mg/hari, setelah tes fungsi tiroid
normal dosis diturunkan menjadi 5-10 mg/hari.
– Waktu paruhnya panjang, dapat diberikan satu kali/hari &
insidens efek samping lebih rendah
• Beta bloker
– Propranolol, 10-40 mg tiap 4-6 jam,
– Atenolol 25-50 mg/hari.
The Indonesian Society of Endocrinology Task Force on Thyroid Diseases. Indonesian Clinical Practice Guidelines for Hyperthyroidism
Methimazole
1. Menurunkan
ambilan & kadar
iodine inorganik di
kelenjar tiroid
2. Setelah dikonversi ke
metimazol (bentuk
aktif) mencegah
enzim peroksidase
melakukan dan
iodinasi gugus tirosil
tiroglobulin dan
kopling iodotirosin
menjadi T4/tiroksin
& T3.
Color atlas of pharmacology. 2nd ed. 2000. http://www.drugbank.ca/drugs/DB00389 https://www.medicines.org.uk/emc/medicine/26934
18. ABSES HEPAR AMOEBA
• Riwayat disentri sebelumnya
• Demam
• Nyeri abdomen kanan atas,
dapat menjalar ke bahu atau
lengan kanan
• Mual muntah
• Hepatomegali
• Ludwig sign (+): menekan sela
iga ke-6 setentang linea axilaris
anterior, terdapat nyeri tekan
Patofisiologi Abses Hepar Amoeba
TATALAKSANA ABSES HEPAR AMOEBA
http://emedicine.medscape.com/article/183920-treatment#d9
19. RHEUMATOID ARTHRITIS
Rheumatoid arthritis (RA)
• Chronic inflammatory disease of unknown etiology
marked by a symmetric, peripheral polyarthritis.
• RA is a systemic disease extraarticular manifestations.
• 10% of RA have secondary Sjögren's syndrome
(keratoconjunctivitis sicca or xerostomia).
• a score of 6: definite RA.
Boutonnoere deformity caused by Swan neck deformity caused by
flexion of the PIP joint with Hyperextension of the PIP joint with
hyperextension of the DIP joint. flexion of the DIP joint .
Rheumatoid Arthritis
Ulnar deviation of the fingers with wasting of the
Rheumatoid nodules & small muscles of the hands and synovial swelling at
olecranon bursitis. the wrists, the extensor tendon sheaths, MCP & PIP.
• Synovial inflammation
• Hyperplasia (“swelling”),
• autoantibody production
(rheumatoid factor and
anti–citrullinated protein
antibody [ACPA]),
• cartilage and bone
destruction (“deformity”),
• Systemic features,
including cardiovascular,
pulmonary, psychological,
and skeletal disorders.
http://www.nature.com/nrrheum/journal/vaop/ncurrent/fig_tab/nrrheum.2015.34_F1.html
Kelainan Tulang Pada RA
https://online.epocrates.com/diseases/9321/Evaluation-of-anemia/Diagnostic-Approach
Pendekatan Diagnosis Anemia
Berdasarkan Retikulosit
GDT
Besi serum
Anal Atresia Anal opening (-), The anal opening in the wrong place,abdominal
distention, failed to pass meconium,meconium excretion from the fistula
(perineum, rectovagina, rectovesica, rectovestibuler).
Low lesionthe colon remains close to the skin stenosis anus, or the
rectum ending in a blind pouch.
High lesionthe colon is higher up in the pelvis fistula
Hypertrophic Hypertrophy and hyperplasia of the muscular layers of the pylorus
Pyloric functional gastric outlet obstruction
Stenosis Projectile vomiting, visible peristalsis, and a palpable pyloric tumor(Olive
Disorder Clinical Presentation
http://en.wikipedia.org/wiki/ http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth
Congenital Malformation
Atresia anii
Duodenal atresia
Intussusception
Hirschprung
http://emedicine.medscape.com/ Learningradiology.om
Ileal atresia. Upright Jejunal atresia: The “triple
radiograph of the abdomen bubble” sign on the erect
Duodenal atresia. Doble demonstrates many dilated plain abdominal
buble sign loops of bowel and air-fluid radiograph.
levels
Atresia Intestin
Atresia Jejunum merupakan atresia
tersering
1 per 2,000 live births
Atresia terjadi karena adanya oklusi
pembuluh darah sebagian atau
seluruhnya yang memperdarahi usus,
terjadi in utero
Classification--Types I-IV
Gejala Klinis:
Muntah hijau
Distensi Abdomen
Tidak dapat mengeluarkan
meconium (70%)
http://radiopaedia.org/articles/annular-pancreas
Annular pancreas
• Ventral bud fails to rotate normally, creating a ring of
pancreas which encircles the duodenum
• Rare: 1 in 20,000 births
• Clinical presentation varies
• Duodenal obstruction in neonate (vomiting)
• Asymptomatic until adulthood: pancreatitis of annulus
• Abdominal X-ray: “double bubble” (stomach and dilated
duodenum)difficult to distinguish from atresia
duodenum
• Radiologic exam: MRI/MRCP or CT scan
– Pancreatic tissue is seen to completely or incompletely surround
the 2nd part of duodenum
• Rx: surgery if symptomatic duodenal obstruction
Annular
pancreas:
pathology
Cross-section above:
annular pancreas
surrounding duodenum
https://www.med-ed.virginia.edu/courses/rad/peds/abd_webpages/abdominal15b.html
Inkarserata Obstruksi dari pasase usus halus yang terdapat di dalam kantong
hernia
Strangulata Obstruksi dari pasase usus dan obstruksi vaskular dari kantong
hernia tanda-tanda iskemik usus: bengkak, nyeri, merah,
demam
Hernia Inkarserata dengan Ileus
Test Keterangan
Finger test Untuk palpasi menggunakan jari telunjuk atau jari kelingking pada anak dapat
teraba isi dari kantong hernia, misalnya usus atau omentum (seperti karet). Dari
skrotum maka jari telunjuk ke arah lateral dari tuberkulum pubicum, mengikuti
fasikulus spermatikus sampai ke anulus inguinalis internus. Dapat dicoba
mendorong isi hernia dengan menonjolkan kulit skrotum melalui anulus
eksternus sehingga dapat ditentukan apakah isi hernia dapat direposisi atau
tidak. Pada keadaan normal jari tidak bisa masuk. Dalam hal hernia dapat
direposisi, pada waktu jari masih berada dalam anulus eksternus, pasien diminta
mengedan. Bila hernia menyentuh ujung jari berarti hernia inguinalis lateralis,
dan bila hernia menyentuh samping ujung jari berarti hernia inguinalis medialis.
Siemen test Dilakukan dengan meletakkan 3 jari di tengah-tengah SIAS dengan tuberculum
pubicum dan palpasi dilakukan di garis tengah, sedang untuk bagian medialis
dilakukan dengan jari telunjuk melalui skrotum. Kemudian pasien diminta
mengejan dan dilihat benjolan timbal di annulus inguinalis lateralis atau annulus
inguinalis medialis dan annulus inguinalis femoralis.
Thumb test Sama seperti siemen test, hanya saja yang diletakkan di annulus inguinalis
lateralis, annulus inguinalis medialis, dan annulus inguinalis femoralis adalah ibu
jari.
Valsava test Pasien dapat diperiksa dalam posisi berdiri. Pada saat itu benjolan bisa saja
sudah ada, atau dapat dicetuskan dengan meminta pasien batuk atau
melakukan manuver valsava.
23. Trauma Buli
• 86% trauma buli berkaitan dg trauma
abdomen (KLL, jatuh dr ketinggian)
• 90% berhubungan dg fraktur pelvis.
• Sebaliknya hanya 9 – 16 % fraktur pelvis yg
disertai ruptur buli.
• 60% mrpk ruptur buli extraperitoneal, 30%
intraperitoneal
MEKANISME CEDERA
• Ruptur intraperitoneal terjadi akibat trauma pada abdomen
bagian bawah atau jg trauma pelvis pada saat buli2 penuh.
• Ruptur extraperitoneal lbh sering berkaitan dg fraktur pelvis
Tanda dan gejala Pemeriksaan radiologis
• Hematuria • Cystography
– dapat merupakan gejala – Kontras > 300 cc
tunggal – Foto pengosongan
– 95% ruptur buli (drainase)
• Nyeri perut bawah. • CT scan cystography
• Kesulitan berkemih
• Pruduksi urin menurun
Trauma buli
• Kontusio buli
– Cedera mukosa tanpa extravasasi urin
• Ruptur interstisial
– Robekan sebagian dinding buli tanpa extravasasi
• Ruptur intraperitoneal
– Tampak kontras mengisi rongga intraperitoneal
• Ruptur extraperitoneal
– Kontras mengisi ruang perivesika dibawah garis
asetabulum
• Hematoma perivesika : tear drop appearance
Sistogram
Ruptur intraperitoneal Ruptur Ekstraperitoneal
Penatalaksanaan
• Pada luka tembus buli2 explorasi + repair
• Ruptur intraperitoneal explorasi + repair
Treatment
ABC’s dengan c-spine control sesuai indikasi
Analgesik kuat
intercostal blocks
Hindari analgesik narkotik
Ventilation membaik tidal volume meningkat, oksigen darah
meningkat
Ventilasi tekanan positif
Hindari barotrauma
Chest tubes bila dibutuhkan
Perbaiki posisi pasien
Posisikan pasien pada posisi yang paling nyaman dan membantu
mengurangi nyeriPasien miring pada sisi yang terkena
Aggressive pulmonary toilet
Surgical fixation rarely needed
Rawat inap24 hours observasion
http://emedicine.medscape.com/article/152083-overview
Cardiac Tamponade
Gejala Pemeriksaan Fisik
• Takipnea dan DOE, rest • Takikardi
air hunger • Hypotension shock
• Weakness • Elevated JVP with blunted
• Presyncope y descent
• Dysphagia • Muffled heart sounds
• Batu • Pulsus paradoxus
• Anorexia – Bunyi jantung masih
terdengar namun nadi
• (Chest pain) radialis tidak teraba saat
inspirasi
• (Pericardial friction rub)
http://www.learningradiology.com/archives2007/COW%20274-Pericardial%20effusion/perieffusioncorrect.html
http://emedicine.medscape.com/article/152083-overview
26. Nefrolithiasis
Nyeri Alih
27. Kista Ganglion
• Degenerasi kistik jaringan
periartikuler, kapsul sendi,
atau pembungkus tendo
• Tumor jaringan lunak tersering
pada tangan dan Pergelangan
Tangan 60 %
• Prediposisi dorsal manus
• Menempel pada Kapsul,
tendon, atau tendon sheath
• Wanita > Pria
• 70% terjadi pada dekade 2 - 4
• Terbentuk tunggal dan pada
tempat yang amat spesifik
Informasisehat.files.wordpress.com/2010/05/ganglion-cyst
Tanda dan Gejala Anatomi
• Ada Riwayat Trauma (10%)
• Kista utama bisa tunggal
• Bisa muncul tiba-tiba atau
berkembang dalam hitungan atau multilokul
bulan/tahun
• Tampak halus, putih, dan
• Mengecil dalam keadaan istirahat
• Membesar dengan aktifitas translusen
• Kadangkala bisa menghilang
secara spontan
• Rekurensi sangat jarang
(complete exicion)
• > 50% eksisi tidak komplit
• Biasanya tidak nyeri, kecuali ada
penekanan pada saraf.
Penanganan Non-Operatif
• Merupakan Metode terapi • Aspirasi Ganglion
insial pada ganglion efektif pada 20-30%
• Penekanan jari
• Puncture dinding kista
• Injeksi hialuronidase
• Disseksi Tonotome subkutan • Instillasi lidokain dan
• Fiksasi silang dengan jahitan
bethamethasone pada
besar kapsul dan perlekatan
• Pada pediatrik observasi tendon sheath
• Yakinkan pasien bahwa
ganglion adalah Tumor
jinak
• Ganglion simptomatik
persisten Operasi
Penanganan Operatif
• eksisi ganglion prosedur terbuka
• Minimalisasi pembentukan jaringan parut
• Minimalisasi hilangnya ROM
• Arthroscopic approach efektif, dengan
resiko rekurensi lokal lebih tinggi
28. Peritonitis
• Peritonitis Sekunder
– Bakteri, enzim, atau cairan empedu mencapai
peritoneum dari suatu robekan yang berasal dari traltus
bilier atau GIT
• Peritonitis TB
– Robekan tersebut dapat disebabkan oleh”
• Pankreatitis
• Perforasi appendiks
• Ulkus gaster
• Crohn’s disease
• Diverticulitis
• Komplikasi tifoid
Gambaran radiologis pada peritonitis:
a) adanya kekaburan pada cavum abdomen
b) preperitonial fat dan psoas line menghilang
c) adanya udara bebas subdiafragma atau
d) adanya udara bebas intra peritoneal
Pembahasan Soal
• Jawaban A (Peritonitis generalisata): nyeri perut
memberat ke seuluruh lapang abdomen disertai
rigiditas dan BU menurun.
• Jawaban B (Ulkus gaster): nyeri bersifat regional pada
epigastrium.
• Jawaban C (Abses hepar): biasanya tanpa gejala kecuali
abses pecah dan menyebabkan peritonitis umum.
• Jawaban D (Kolesistitis Akut): dapat menyebabkan
peritonitis lokal di kuadran kanan atas.
• Jawaban E (Appendisitis Akut): nyeri lokal pada
kuadran kanan bawah.
29. Fraktur Terbuka
• Dimana terjadi hubungan dengan lingkungan
luar melalui kulit.
• Terjadi kontaminasi bakteri komplikasi
infeksi
• Luka pada kulit :
– Tusukan tulang tajam keluar menembus kulit
(from within)
– Dari luar misal oleh peluru atau trauma langsung
(from without)
Tahap –Tahap Pengobatan Fraktur Terbuka
1. Pembersihan luka irigasi dengan NaCl fisiologis secara mekanis
mengeluarkan benda asing yg melekat.
2. Eksisi jaringan mati dan tersangka mati (debrideman) pada kulit,
jaringan subkutaneus, lemak, fasia otot dan fragmen tulang yg
lepas.
3. Pengobatan fraktur itu sendirifiksasi interna atau eksterna
4. Penutupan kulit
– Jika diobati dalam periode emas (6 – 7 jam) sebaiknya kulit ditutup
– kulit tegang tidak dilakukan
5. Pemberian antibakteri
– Antibiotik diberikan sebelum, pada saat dan sesudah operasi
6. Tetanus
Koval, Kenneth J.; Zuckerman, Joseph D.
Handbook of Fractures, 3rd Edition
Choice of fixation
• several options to • No consensus of what
stabilize an open method to use
fracture • Surgeons must make
– splinting, judgment of which
– casting, method is appropriate
– and traction
– external fixation,
– plating, and
– intramedullary nailing
Koval, Kenneth J.; Zuckerman, Joseph D.
Handbook of Fractures, 3rd Edition
30. Fraktur Klavikula
Tipe I: Fraktur mid klavikula (Fraktur 1/3
tengah klavikula)
• Fraktur pada bagian tengah clavicula
• Lokasi yang paling sering terjadi
fraktur, paling banyak ditemui
Komplikasi lanjut
• non-union : jarang terjadi dapat diterapi dengan fiksasi interna dan pencangkokan
tulang yang aman.
• mal-union :
– meninggalkan suatu benjolan, yang biasanya hilang pada waktunya.
– untuk memperoleh basil kosmetik yang baik dan cepat dapat menjalani terapi yang lebih
drastis yaitu fraktur direduksi dibawah anastesi dan dipertahankan reduksinya dengan
menggunakan gips yang mengelilingi dada ( wirass)
• kekakuan bahu sering ditemukan, hanya sementara, akibat rasa takut untuk
menggerakkan fraktur. Jari juga akan kaku dan membutuhkan waktu berbulan-
bulan untuk memperoleh kembali gerakan, kecuali kalau dilatih.
• Brachial plexopathy. Nyeri, penurunan ROM, atau penurunan sensai di lengan dan
bahu akibat adanya gangguan neurologis pleksus brakialis. Dapat terjadi pada
kasus fraktur klavikula malunion sehingga terjadi penekanan pada serabut saraf
brakialis, namun sangat jarang terjadi.
• Osteoporosis
• Atrofi otot-otot gelang bahu akibat kerusakan kronis jaras saraf LMN
31. DVT
Virchow Triads:
(1) venous stasis
(2) activation of blood coagulation
(3) vein damage
Sudoyo A dkk. Panduan Diagnosis dan Tatalaksana Trombosis Vena Dalam dan Emboli Paru. 2015
Patient with suspect symptomatic
Acute lower extremity DVT
negative
Venous duplex scan Low clinical probability observe
No
pregnancy LMWH
OPD LMWH
hospitalisation + warfarin
UFH
Compression treatment
Color duplex scan of DVT
E. Exposure/Environment
1.Buka pakaian penderita, periksa jejas
2.Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan
tempatkan pada ruangan yang cukup hangat.
ATLS Coursed 9th Edition
34. Hemoroid
35. BPH
BPH
adalah pertumbuhan
berlebihan dari sel-sel
prostat yang tidak ganas.
Pembesaran prostat jinak
diakibatkan sel-sel prostat
memperbanyak diri
melebihi kondisi normal,
biasanya dialami laki-laki
berusia di atas 50 tahun
yang menyumbat saluran
kemih.
NORMAL TIDAK NORMAL
PREVALENSI
Angka kejadian BPH di Indonesia yang pasti belum pernah
diteliti.
Penduduk Indonesia yang berusia tua jumlahnya semakin
meningkat, diperkirakan sekitar 5% atau kira-kira 5 juta pria
di Indonesia berusia 60 tahun atau lebih dan 2,5 juta pria
diantaranya menderita gejala saluran kemih bagian bawah
(Lower Urinary Tract Symptoms/LUTS) akibat BPH.
Prevalensi BPH yang bergejala pada pria berusia 40-49
tahun mencapai hampir 15%, usia 50-59 tahun
prevalensinya mencapai hampir 25%, dan pada usia 60
tahun mencapai angka sekitar 43%.
ETIOLOGI
Umur
Pria berumur lebih dari 50 tahun,
kemungkinannya memiliki BPH adalah 50%.
Ketika berusia 80–85 tahun, kemungkinan
itu meningkat menjadi 90%.
Faktor Hormonal
Testosteron –> hormon pada pria.
Beberapa penelitian menyebutkan karena
adanya peningkatan kadar testosteron pada pria
(namun belum dibuktikan secara ilmiah) .
Hipotesis penyebab timbulnya
hiperplasia prostat
Ketidaksei
Teori mbangan Interaksi Berkurangnya
Teori sel
dihidrotest antara stroma- kematian sel
stem
osteron estrogen- epitel prostat
testosteron
PATOFISIOLOGI
Obstruktif :
terjadi ketika faktor
dinamik dan atau Iritatif :
faktor statik hasil dari
mengurangi obstruksi yang
pengosongan sudah berjalan
kandung kemih. lama pada leher
kandung kemih.
Diagnosis of BPH
• Symptom assessment
– the International Prostate Symptom Score (IPSS) is recommended as it is used
worldwide
– IPSS is based on a survey and questionnaire developed by the American Urological
Association (AUA). It contains:
• seven questions about the severity of symptoms; total score 0–7 (mild), 8–19 (moderate),
20–35 (severe)
• eighth standalone question on QoL
• Digital rectal examination(DRE)
– inaccurate for size but can detect shape and consistency
• Prostat Volume determination- ultrasonography
• Urodynamic analysis
– Qmax >15mL/second is usual in asymptomatic men from 25 to more than 60 years of
age
• Measurement of prostate-specific antigen (PSA)
– high correlation between PSA and Prostat Volume, specifically Trantitional Zone
Volume
– men with larger prostates have higher PSA levels 1
CT Scan:
• Tampak ukuran prostat
membesar di atas ramus superior
simfisis pubis.
Derajat BPH, Dibedakan menjadi 4
Stadium :
Stadium 1 :
Obstruktif tetapi kandung kemih masih
mengeluarkan urin sampai habis.
Stadium 4 :
retensi urin total, buli-buli penuh pasien tampak
kesakitan urin menetes secara periodik.
Grade Pembesaran Prostat
Rectal Grading
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
• Grade 0 : Penonjolan prostat 0-1 cm ke dalam rectum.
• Grade 1 : Penonjolan prostat 1-2 cm ke dalam rectum.
• Grade 2 : Penonjolan prostat 2-3 cm ke dalam rectum.
• Grade 3 : Penonjolan prostat 3-4 cm ke dalam rectum.
• Grade 4 : Penonjolan prostat 4-5 cm ke dalam rectum.
Kategori Keparahan Penyakit BPH Berdasarkan
Gejala dan Tanda (WHO)
Keparahan Skor gejala AUA Gejala khas dan tanda-tanda
penyakit (Asosiasi Urologis
Amerika)
Ringan ≤7 • Asimtomatik (tanpa gejala)
• Kecepatan urinari puncak < 10 mL/s
• Volume urine residual setelah
pengosongan 25-50 mL
• Peningkatan BUN dan kreatinin
serum
Sedang 8-19 Semua tanda di atas ditambah
obstruktif penghilangan gejala dan
iritatif penghilangan gejala (tanda dari
detrusor yang tidak stabil)
Parah ≥ 20 Semua hal di atas ditambah satu atau
lebih komplikasi BPH
Terapi Farmakologi
Jika gejala ringan maka pasien cukup dilakukan
watchful waiting (perubahan gaya hidup).
Jika gejala sedang maka pasien diberikan obat
tunggal antagonis α adrenergik atau inhibitor 5α-
reductase.
Jika keparahan berlanjut maka obat yang
diberikan bisa dalam bentuk kombinasi keduanya.
Jika gejala parah dan komplikasi BPH, dilakukan
pembedahan.
Algoritma manajemen terapi BPH
BPH
Watchful Operasi
waiting
α-adrenergik α-adrenergik
antagonis atau antagonis dan 5-α
5-α Reductace
Reductace inhibitor inhibitor
http://www.mastereyeassociates.com/Portals/60407/images//astig
Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry matism-Cross_Section_of_Astigmatic_Eye.jpg
ASTIGMATISME
• Kornea seharusnya berbentuk hampir sferis
sempurna (bulat) pada astigmat kornea
berbentuk seperti bola rugby.
• Bagian lengkung yang paling landai dan yang
paling curam mengakibatkan cahaya
direfraksikan secara berbeda dari kedua
meridian mengakibatkan distorsi bayangan
• Kekuatan refraksi pada horizontal plane
memproyeksikan gambar/ garis vertikal.
• Kekuatan refraksi pada vertical plane
memproyeksikan gambar/ garis horizontal.
• The amount of astigmatism is equal to the
difference in refracting power of the two
principal meridians
http://www.improveeyesighthq.com/Corrective-Lens-Astigmatism.html
KLASIFIKASI :
ETIOLOGI
• Astigmatisme korneal: When
the cornea has unequal curvature
on the anterior surface – 90% PLACIDO
penyebab astigmatisme bisa
dites dgn tes Placido
(keratoscope)
• Astigmatisme lentikular: When
the crystalline lens has an
unequal on the surface or in its
layers
• Astigmatigma total: The sum of
corneal astigmatism and Astigmatisme korneal akibat trauma
lenticular astigmatism pada kornea. Perhatikan iregularitas
bayangan placido
Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry http://oelzant.priv.at/~aoe/images/galleries/narcism/med/hornhautabrasion/
KLASIFIKASI : HUBUNGAN ANTAR BIDANG MERIDIAN
ASTIGMATISME REGULER
ASTIGMATISME IREGULER
• When both
principal
meridians are
focused behind
the retina (with
accommodation
relaxed)
Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry
BASED ON FOCAL POINTS RELATIVE TO THE
RETINA
5. MIXED ASTIGMATISM
SYMMETRICAL ASTIGMATISM
ASYMMETRICAL ASTIGMATISM
http://www.oculist.net/downaton502/prof/ebook/duanes/graphics/figures/v1/051a/010f.gif
http://vision.zeiss.com/content/dam/Vision/Vision/International/images/image-text/opticaldesigns_asphere_atorus_atoroidal-surface_500x375.jpg
TIPS & TRIK
• Rumus hapalan ini bisa digunakan untuk menentukan jenis jenis
astigmatisme berdasarkan kedudukannya di retina kalau disoal
diberikan rumus astigmatnya sbb
1. sferis (-) silinder (-) pasti miop kompositus
2. Sferis (+); silinder (+) pasti hipermetrop kompositus
3. Sferis (tidak ada); silinder (-) pasti miop simpleks
4. Sferis (tidak ada); silinder (+) pasti hipermetrop simpleks
37. Cataract
• Any opacity of the lens or loss of transparency of the lens that causes
diminution or impairment of vision
• Classification : based on etiological, morphological, stage of maturity
• Etiological classification :
Senile
Traumatic (penetrating, concussion, infrared irradiation, electrocution)
Metabolic (diabetes, hypoglicemia, galactosemia, galactokinase deficiency,
hypocalcemia)
Toxic (corticosteroids, chlorpromazine, miotics, gold, amiodarone)
Complicated (anterior uveitis, hereditary retinal and vitreoretinal disorder, high myopia,
intraocular neoplasia
Maternal infections (rubella, toxoplasmosis, CMV)
Maternal drug ingestion (thalidomide, corticosteroids)
Presenile cataract (myotonic dystrophy, atopic dermatitis)
Syndromes with cataract (down’s syndrome, werner’s syndrome, lowe’s syndrome)
Hereditary
Secondary cataract
• Morphological classification : • Sign & symptoms:
Capsular – Near-sightedness (myopia
Subcapsular shift) Early in the
Nuclear development of age-related
cataract, the power of the
Cortical lens may be increased
Lamellar – Reduce the perception of
Sutural blue colorsgradual
• Chronological classification: yellowing and opacification of
Congenital (since birth) the lens
Infantile ( first year of life) – Gradual vision loss
Juvenile (1-13years) – Almost always one eye is
Presenile (13-35 years) affected earlier than the
other
Senile
– Shadow test +
Klasifikasi morfologi katarak
KATARAK-SENILIS
• Katarak senilis adalah kekeruhan lensa yang • 4 stadium: insipien, imatur (In some patients, at
terdapat pada usia lanjut, yaitu usia di atas 50 this stage, lens may become swollen due to
tahun continued hydration ‘intumescent cataract’),
matur, hipermatur
• Epidemiologi : 90% dari semua jenis katarak • Gejala : distorsi penglihatan, penglihatan
• Etiologi :belum diketahui secara pasti kabur/seperti berkabut/berasap, mata tenang
multifaktorial: • Penyulit : Glaukoma, uveitis
Faktor biologi, yaitu karena usia tua dan • Tatalaksana : operasi (ICCE/ECCE)
pengaruh genetik
Faktor fungsional, yaitu akibat akomodasi
yang sangat kuat mempunyai efek buruk
terhadap serabu-serabut lensa.
Faktor imunologik
Gangguan yang bersifat lokal pada lensa,
seperti gangguan nutrisi, gangguan
permeabilitas kapsul lensa, efek radiasi
cahaya matahari.
Gangguan metabolisme umum
Klasifikasi Katarak Senilis Berdasarkan
Lokasi
Katarak nuklear
• kekeruhan terutama pada nukleus • Akibat myiopic shift,individu dengan
dibagian sentral lensa. presbiopia dapat membaca tanpa
• Terjadi akibat sklerosis nuklear; kacamata (disebut penglihatan
nukleus cenderung menjadi gelap kedua/second sight).
dan keras (sklerosis), berubah dari • Menyebabkan gangguan yang lebih besar
jernih menjadi kuning sampai coklat. pada penglihatan jauh daripada
• Biasanya mulai timbul sekitar usia 60- penglihatan dekat
70 tahun dan progresivitasnya • Bisa terjadi pada pasien diabetes melitus
lambat. dan miopia tinggi
• Pengerasan yang progresif dari • Bisa timbul diplopia monokular (akbibat
nukleus lensa peningkatan indeks perubahan mendadak indeks refraksi
refraksi lensa terjadi perpindahan antara korteks dan nuklear) dan
miopik (myopic shift), dikenal sbg gangguan diskriminasi warna (terutama
miopia lentikularis. biru dan ungu, akibat kuningnya lensa)
Klasifikasi Katarak Senilis Berdasarkan
Lokasi
Katarak kortikal
• Kekeruhan pada korteks lensa ( bisa di • Gejala katarak kortikal adalah
daerah anterior, posterior dan equatorial fotofobia dari sumber cahaya
korteks) fokal yang terus-menerus dan
• Muncul pada usia 40-60 tahun dan diplopia monokular
progresivitasnya lambat. • Kekeruhan dimulai dari celah dan
• Terdapat wedge-shape opacities/cortical vakoula antara serabut lensa oleh
spokes atau gambaran seperti ruji. karena hidrasi oleh korteks.
• Efeknya terhadap fungsi penglihatan • Disebabkan oleh berkurangnya
bervariasi, tergantung dari jarak protein total, asam amnio, dan
kekeruhan terhadap aksial penglihatan
kalium yang dihubungkan dengan
• Katarak kortikal umumnya tidak memberi peningkatan konsentrasi natrium
gejala sampai tingkat progresifitas lanjut dan hidrasi lensa, diikuti oleh
ketika jari-jari korteks membahayakan axis koagulasi protein.
penglihatan (penglihatan dirasakan lebih
baik pada cahaya terang ketika pupil
miosis.)
Klasifikasi Katarak Senilis Berdasarkan
Lokasi
Katarak subkapsular posterior
(katarak cupuliformis)
• Terdapat pada korteks di dekat kapsul • Kadang mengalami diplopia
posterior bagian sentral dan biasanya di monokular.
aksial.
• Sering terlihat pada pasien
• Biasanya mulai timbul sekitar usia 40-60
tahun dan progresivitasnya cepat.
yang lebih muda dibandingkan
dengan pasien katarak nuklear
• Sejak awal, menimbulkan gangguan
/ kortikal.
penglihatan karena adanya keterlibatan
sumbu penglihatan. • Sering ditemukan pada pasien
• Gejala yang timbul adalah fotofobia dan DM, miopia tinggi dan retinitis
penurunan visus dibawah kondisi cahaya pigmentosa, akibat trauma,
terang, akomodasi, atau miotikum. penggunaan kortikosteroid
• Penglihatan dirasakan lebih baik ketika sistemik atau topikal,
pupil midriasis pada malam hari dengan inflamasi, dan paparan radiasi
cahaya yang suram (day blindness) ion.
• Ketajaman penglihatan dekat menjadi
lebih berkurang daripada penglihatan
jauh.
BEDAH KATARAK
Lensa diangkat dari mata (ekstraksi lensa) dengan prosedur intrakapsular atau
ekstrakapsular:
•Ekstraksi Katarak Intrakapsular (EKIK) :
Mengeluarkan seluruh lensa bersama kapsulnya
Tidak boleh dilakukan pada pasien usia <40thn, yang masih mempunyai
ligamen hialoidea kapsular
•Ekstraksi Katarak Ekstrakapsular (EKEK):
Dilakukan pengeluaran isi lensa dengan memecah atau merobek kapsul lensa
anterior sehingga massa lensa dapat keluar melalui robekan tersebut
Dilakukan pada pasien muda, dengan kelainan endotel, bersama-sama
keratoplasti, implantasi lensa intraokuler posterior, perencanaan implastasi
sekunder lensa intraokuler, kemungkinan akan dilakukan bedah glaukoma,
mata dengan predisposisi terjadinya prolaps badan kaca, sebelumnya pasien
mengalami ablasio retina, mata dengan makular edema, pasca bedah ablasi.
•Fakofragmentasi dan Fakoemulsifikasi : teknik ekstrakapsular menggunakan
getaran ultrasonik untuk mengangkat nukleus dan korteks melalui insisi
lumbus yang kecil
Buku ilmu penyakit mata Nana Wijaya & Oftalmologi umum Vaugahn & Asbury
Etiologi
• Barkan suggested incomplete • Primary congenital glaucoma appears
resorption of mesodermal tissue led to result from developmental
to formation of a membrane across
the anterior chamber angle anomaly of the anterior segment
Barkan's membrane. structures derived from the
– The existence of such a membrane embryonic neural crest cells causing
has not been proved by light or outflow obstruction to aqueous by
electron microscopy.
• Maumenee & Anderson several mechanisms.
demonstrated abnormal anterior • Developmental arrest may result in
insertion (high insertion) of ciliary anterior insertion of iris, direct
muscle over the scleral spur in eyes
with infantile glaucoma. insertion of the ciliary body onto the
– Longitudinal and circular fibers of the trabecular meshwork and poor
ciliary muscles inserted directly onto structural development of the scleral
the trabecular meshwork rather than spur.
the scleral spur and root of the iris
inserts directly to trabecular
meshwork.
– due to a development arrest in the
normal migration of anterior uvea
across the meshwork in the third
trimester of gestation.
Buku ilmu penyakit mata Nana Wijaya & Oftalmologi umum Vaugahn & Asbury
Gejala & Diagnosis
• Tanda dini: fotofobia, • Diagnosis glaukoma
epifora, dan blefarospasme
kongenital tahap lanjut
• Terjadi pengeruhan kornea
dengan mendapati:
• Penambahan diameter
kornea (megalokornea; – Megalokornea
diameter ≥ 13 mm) – Robekan membran
• Penambahan diameter bola descement
mata (buphtalmos/ ox eye) – Pengeruhan difus kornea
• Peningkatan tekanan
intraokuler
Buku ilmu penyakit mata Nana Wijaya & Oftalmologi umum Vaugahn & Asbury
Glaukoma kongenital, perhatikan
Megalocornea adanya pengeruhan kornea dan
buftalmos
http://www.pediatricsconsultant360.com/content/buphthalmos
http://emedicine.medscape.com/article/1196299-overview
Penatalaksanaan
• Penatalaksanaan Congenital glaucoma dititik beratkan pada
pembedahan yang harus dilakukan sesegera mungkin.
• Goniotomy dan trabeculotomy merupakan pilihan utama
pembedahan yang dapat dilakukan pada kasus ini keduanya
aman, dan komplikasi sangat rendah
• Pembedahan lebih dipilih dibanding terapi medikamentosa karena
masalah compliance, kurangnya informasi mengenai efek obat
terhadap tubuh anak serta respon terapi yang buruk.
• Trabeculoectomy : membuat fistula pada daerah limbus yang
menghubungkan kamera okuli anterior dan ruangan
subkonjungtiva; menembus trabecular meshwork, canal schlem dan
duktus koletikus
– Trabeculectomy merupakan pilihan bila goniotomies atau
trabeculotomies gagal
• Glaucoma drainage implants, juga dapat menjadi pilihan terapi
Goniotomy
• Goniotomi (memotong
jaringan yg menutup trabekula
atau memotong iris yg
berinsersi pada trabekula)
• Sangat aman bila dilakukan
oleh ahli
• Goniotomy dilakukan bila
transparansi kornea baik dan
sudut bilik mata depan dapat
divisualisasi dengan baik
Trabeculotomy
• Trabeculotomy adalah
pembedahan untuk membuka
sinus venosus sklera (canal
schlem) mengalirkan aqueous
humor
• Trabeculotomy dilakukan bila
kekeruhan kornea menghambat
visualisasi sudut bilik mata depan
• Faktor yang menurunkan angka
keberhasilan trabeculotomy
adalah glaukoma kongenital yang
disertai dengan kelainan okular
lainnya (Peters, Sturge-Weber,
Aniridia, etc.) serta diamter
kornea > 14 mm.
Glaukoma kongenital
Trabeculotomy
Trabeculotomy+trabeculectomy
39. UVEITIS
•Uveitis :
–inflamasi di uvea
yaitu iris, badan siliar
dan koroid yang
dapat menimbulkan
kebutaan.
–Di negara maju,
10% kebutaan pada
populasi usia
produktif adalah
akibat uveitis
Klasifikasi
• The International Uveitis Study Group (IUSG) dan The
Standardization of Uveitis Nomenclatur (SUN) membagi uveitis
berdasarkan anatomi, etiologi, dan perjalanan penyakit
• Anatomi :
– uveitis anterior, uveitis intermediet, uveitis posterior, dan panuveitis
• Etiologi:
– infeksi (bakteri, virus, jamur, dan parasit), non-infeksi, dan idiopatik.
• Perjalanan penyakit
– Akut (onset mendadak dan durasi kurang dari empat minggu),
– Rekuren (episode uveitis berulang),
– Kronik (uveitis persisten atau kambuh sebelum tiga bulan setelah
pengobatan dihentikan), dan
– Remisi (tidak ada gejala uveitis selama tiga bulan atau lebih)
Sitompul R. Diagnosis dan Penatalaksanaan Uveitis dalam Upaya Mencegah Kebutaan. Jurnal universitas Indonesia. Vol. 4, No. 1, April 2016
Uveitis anterior
• Inflamasi di iris (iritis) dan badan siliar (siklitis).
Bila inflamasi meliputi iris dan badan siliar maka
disebut iridosiklitis
• Etiologi :
– kelainan sistemik seperti spondiloartropati, artritis
idiopatik juvenil, sindrom uveitis fuchs, kolitis ulseratif,
penyakit chron, penyakit whipple, tubulointerstitial
nephritis and uveitis
– Infeksi yang sering menyebabkan uveitis anterior
adalah virus herpes simpleks (VHS), virus varisela
zoster (VVZ), tuberkulosis, dan sifilis.
Sitompul R. Diagnosis dan Penatalaksanaan Uveitis dalam Upaya Mencegah Kebutaan. Jurnal universitas Indonesia. Vol. 4, No. 1, April 2016
Diagnosis Uveitis Anterior
• Gejala Klinis : • Tanda
– mata merah – injeksi siliar akibat vasodilatasi
– visus turun akibat kekeruhan arteri siliaris posterior longus
cairan akuos dan edema kornea dan arteri siliaris anterior yang
walaupun uveitis tidak selalu memperdarahi iris serta badan
menyebabkan edema kornea siliar.
– Nyeri tumpul berdenyut, dan – Bilik mata depan : pelepasan
fotofobia akibat spasme otot sel radang, pengeluaran
siliar dan sfingter pupil protein (cells and flare) dan
– Jika disertai nyeri hebat, perlu endapan sel radang di endotel
kornea (presipitat keratik).
dicurigai peningkatan tekanan
bola mata. – Presipitat keratik halus
– Spasme sfingter pupil inflamasi nongranulomatosa;
mengakibatkan miosis dan – Presipitat keratik kasar
memicu sinekia posterior. inflamasi granulomatosa
Sitompul R. Diagnosis dan Penatalaksanaan Uveitis dalam Upaya Mencegah Kebutaan. Jurnal universitas Indonesia. Vol. 4, No. 1, April 2016
Uveitis Intermediet
• Peradangan di pars plana yang sering diikuti vitritis dan uveitis posterior.
• Penyakit tersebut biasanya terjadi pada usia dekade ketiga-keempat dan
20% terjadi pada anak.
• Etiologi:
– Idiopatik (69,1%), sarkoidosis (22,2%), multiple sclerosis (7,4%), dan lyme
disease (0,6%). Selain itu, dapat juga disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis, Toxoplasma, Candida, dan sifilis.
• Gejala :
– Gejala biasanya ringan yaitu penurunan tajam penglihatan tanpa disertai nyeri
dan mata merah, namun jika terjadi edema makula dan agregasi sel di vitreus
penurunan tajam penglihatan dapat lebih buruk.
– Pars planitis berupa bercak putih akibat agregasi sel inflamasi dan jaringan
fibrovaskular (snowbank) yang menunjukkan inflamasi berat dan memerlukan
terapi agresif.
– Komplikasinya adalah edema makula (12-51%), glaukoma (20%), dan katarak
(15-50%)
Sitompul R. Diagnosis dan Penatalaksanaan Uveitis dalam Upaya Mencegah Kebutaan. Jurnal universitas Indonesia. Vol. 4, No. 1, April 2016
Uveitis Posterior
• Peradangan lapisan koroid yang sering melibatkan jaringan sekitar seperti
vitreus, retina, dan nervus optik.
• Etiologi:
– Infeksi paling sering disebabkan oleh T.gondii, M.tuberculosis, sifilis, VHS, VVZ,
cytomegalovirus (CMV), dan HIV.
– Non-infeksi, uveitis posterior disebabkan oleh koroiditis multifokal, birdshot
choroidopathy, sarkoidosis, dan neoplasma
• Gejala klinis :
– Penglihatan kabur yang tidak disertai nyeri, mata merah, dan fotofobia.
– Komplikasi dapat berupa katarak, glaukoma, kekeruhan vitreus, edema
makula, kelainan pembuluh darah retina, parut retina, ablasio retinae, dan
atrofi nervus optik.
– Prognosis uveitis posterior lebih buruk dibandingkan uveitis anterior karena
menurunkan tajam penglihatan dan kebutaan apabila tidak ditatalaksana
dengan baik.
Sitompul R. Diagnosis dan Penatalaksanaan Uveitis dalam Upaya Mencegah Kebutaan. Jurnal universitas Indonesia. Vol. 4, No. 1, April 2016
Panuveitis
• Peradangan seluruh uvea dan struktur
sekitarnya seperti retina dan vitreus.
• Etiologi:
– Penyebab tersering adalah tuberkulosis, sindrom
VKH, oftalmia simpatika, penyakit behcet, dan
sarkoidosis.
– Diagnosis panuveitis ditegakkan bila terdapat
koroiditis, vitritis, dan uveitis anterior
Sitompul R. Diagnosis dan Penatalaksanaan Uveitis dalam Upaya Mencegah Kebutaan. Jurnal universitas Indonesia. Vol. 4, No. 1, April 2016
No. Jenis Keterangan
Pemeriksaan
Penunjang pada
Uveitis
1 Slit lamp menilai segmen anterior injeksi siliar dan episklera, skleritis,
edema kornea, presipitat keratik, bentuk dan jumlah sel di bilik
mata, hipopion serta kekeruhan lensa
2 Oftalmoskop menilai kelainan di segmen posterior seperti vitritis, retinitis, perdarahan
retina, koroiditis dan kelainan papil nervus optik
3 Pemeriksaan bermanfaat pada kelainan sistemik misalnya darah perifer lengkap, laju
laboratorium endap darah, serologi, urinalisis, dan antinuclear antibody
4 Optical coherence merupakan pemeriksaan non-invasif yang dapat memperlihatkan edema
tomography (OCT) makula, membran epiretina, dan sindrom traksi vitreomakula
5 USG B –scan sangat membantu memeriksa segmen posterior mata pada keadaan
media keruh misalnya pada katarak dan vitritis
6 Fundus fluoresen fotografi fundus yang dilakukan berurutan dengan cepat setelah injeksi
angiografi (FFA) zat warna natrium fluoresen (FNa) intravena.
FFA memberikan informasi mengenai sirkulasi pembuluh darah retina dan
koroid, detail epitel pigmen retina dan sirkulasi retina serta menilai
integritas pembuluh darah saat fluoresen bersirkulasi di koroid dan retina.
Penatalaksanaan Uveitis
• Prinsip penatalaksanaan uveitis
1. Menekan reaksi inflamasi
• Kortikosteroid topikal merupakan terapi pilihan untuk
mengurangi inflamasi : 1).prednisolon 0,5%,; 2).
prednisolon asetat 1%; 3). betametason 1% ; 4).
deksametason 0,1%, dan 5). fluorometolon 0,1%.
• Injeksi kortikosteroid periokular diberikan pada kasus yang membutuhkan
depo steroid dan menghindari efek samping kortikosteroid jangka panjang.
• Kortikosteroid sistemik diberikan untuk mengatasi uveitis berat atau uveitis
bilateral
• Imunosupresan dapat dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama pada
penyakit behcet, granulomatosis wegener, dan skleritis nekrotik karena
penyakit tersebut dapat mengancam jiwa. Imunosupresan dibagi menjadi
golongan antimetabolit, supresor sel T, dan sitotoksik.
2. Mencegah dan memperbaiki kerusakan struktur,
Sitompul R. Diagnosis dan Penatalaksanaan Uveitis dalam Upaya Mencegah Kebutaan. Jurnal universitas Indonesia. Vol. 4, No. 1, April 2016
3. Memperbaiki fungsi penglihatan
• Terapi bedah diindikasikan untuk memperbaiki penglihatan.
• Operasi dilakukan pada kasus uveitis yang telah tenang
(teratasi) tetapi mengalami perubahan permanen akibat
komplikasi seperti katarak, glaukoma sekunder, dan ablasio
retina.
• Kortikosteroid diberikan 1-2 hari sebelum operasi dan steroid
intraokular atau periokular dapat diberikan pasca-operasi
• Vitrektomi ditujukan untuk memperbaiki tajam penglihatan
bila kekeruhan menetap setelah pengobatan.
4. Menghilangkan nyeri dan fotofobia.
• NSAID digunakan untuk mengurangi nyeri dan inflamasi sedangkan
siklopegik diberikan untuk mencegah sinekia posterior.
• Obat yang diberikan adalah siklopentolat 0,5-2% dan homatropin
Sitompul R. Diagnosis dan Penatalaksanaan Uveitis dalam Upaya Mencegah Kebutaan. Jurnal universitas Indonesia. Vol. 4, No. 1, April 2016
Anterior Uveitis –
Clinical Pearls
• Four major complications exist
– Cataract
– Secondary glaucoma
– Band keratopathy
– Cystoid macular oedema
• Easy to spot acute by signs & symptoms
• Check patients with associated systemic conditions for chronic
condition, which may be asymptomatic
• Acute condition is most commonly caused by blunt trauma.
Recurrence in such cases is rare
• Any three recurrent acute episodes, with no other explanations,
indicates a systemic cause
40. RETINOPATI DIABETIK
ANAMNESIS
Epidural
HEMATOM
HEMATOM EPIDURAL HEMATOM SUBDURAL
SUBARAKHNOID
Diagnosis dapat ditegakkan secara cepat dengan PCR, ELISA dan aglutinasi
Latex. Baku emas diagnosis meningitis TB adalah menemukan M. tb dalam
kultur CSS. Namun pemeriksaan kultur CSS ini membutuhkan waktu yang
lama dan memberikan hasil positif hanya pada kira-kira setengah dari
penderita
• Regimen terapi: 2RHZE / 7-10RH
• Indikasi Steroid : Kesadaran menurun, defisit
neurologist fokal
• Dosis steroid : Deksametason 10 mg bolus
intravena, kemudian 4 kali 5 mg intravena
selama 2 minggu selanjutnya turunkan
perlahan selama 1 bulan.
CSF Finding in Meningitis
Bamberger DM. Diagnosis, Initial Management, and Prevention of Meningitis. Am Fam Physician. 2010;82(12):1491-1498
44. Migrain
Olesen J et al. The International Classification of Headache Disorders 3rd edition. International Headache Society . 2013
• Migren: nyeri kepala primer dengan kualitas vaskular (berdenyut), diawali
unilateral yang diikuti oleh mual, fotofobia, fonofobia, gangguan tidur dan
depresi
• Penyebab Idiopatik (belum diketahui hingga saat ini) :
• Gangguan neurobiologis
• Perubahan sensitivitas sistem saraf
• Avikasi sistem trigeminalvaskular
• Pada wanita migren lebih banyak ditemukan dibanding pria dengan skala 2:1.
Faktor Predisposisi
• Menstruasi biasa pada hari pertama menstruasi atau sebelumnya/
perubahan hormonal.
• Puasa dan terlambat makan
• Makanan misalnya akohol, coklat, susu, keju dan buahbuahan.
• Cahaya kilat atau berkelip
• Banyak tidur atau kurang tidur
• Faktor herediter
• Faktor kepribadian
Kriteria Diagnosis Migrain
Alur Tatalaksana Migrain Akut
Gilmore B, Michael B. Treatment of Acute Migrain. AAFP Volume 83, Number 3 . 2011
Penatalaksanaan Migrain
• Pada saat serangan pasien dianjurkan untuk menghindari stimulasi
sensoris berlebihan.
• Bila memungkinkan beristirahat di tempat gelap dan tenang dengan
dikompres dingin
Pengobatan Abortif :
1. Analgesik spesifik analgesik khusus untuk nyeri kepala.
– Lebih bermanfaat untuk kasus yang berat atau respon buruk dengan NSAID.
Contoh: Ergotamin, Dihydroergotamin, dan golongan Triptan (agonis selektif
reseptor serotonin / 5-HT1)
– Ergotamin dan DHE migren sedang sampai berat apabila analgesik non
spesifik kurang terlihat hasilnya atau memberi efek samping.
– Kombinasi ergotamin dengan kafein bertujuan untuk menambah absorpsi
ergotamin sebagai analgesik. Hindari pada kehamilan, hipertensi tidak
terkendali, penyakit serebrovaskuler serta gagal ginjal.
IDI. Panduan praktik klinis bagia dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer. Ed I.2013
2. Analgesik non-spesifik
Yakni: analgesik yang dapat digunakan pada nyeri selain nyeri kepala
Respon terapi dalam 2 jam (nyeri kepala residual ringan atau hilang
dalam 2 jam)
• Aspirin 600-900 mg + metoclopramide
• Asetaminofen 1000 mg
• Ibuprofen 200-400 mg
Klasifikasi :
• Dementia
• Delirium
• Sindroma amnestik organik bukan akibat alkohol dan zat psikoaktif lainnya
• Gangguan mental lainnya akibat kerusakan dan disfungsi otak dan
penyakit fisik
• Gangguan kepribadian dan perilaku akibat penyakit, kerusakan dan
disfungsi otak
DELIRIUM
• Delirium: kesadaran fluktuatif, ditandai dengan kesulitan memfokuskan,
mempertahankan, dan mengalihkan perhatian .
• Pedoman diagnostik:
– Gangguan kesadaran & perhatian
– Gangguan kognitif (distorsi persepsi, halusinasi, hendaya daya pikir, daya ingat,
disorientasi)
– Gangguan psikomotor: hipo/hiperaktivitas
– Gangguan siklus tidur-bangun
– Gangguan emosional: depresi, ansietas, lekas marah
– Onset cepat, hilang timbul, kurang dari 6 bulan
• Penyebab:
– SSP: kejang (postictal)
– Metabolik: gangguan elektrolit, hipo/hiperglikemia
– Penyakit sistemik: infeksi, trauma, dehidrasi/ovehidrasi
– Obat-obatan
Maslim R. Buku saku diagnosis gangguan jiwa. Rujukan ringkas dari PPDGJ-III.
Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition.
Diagnosis Delirium (DSM-IV)
Delirium Subtype
• Hyperactive subtype
May be agitated, disoriented, and delusional, and may experience
hallucinations. This presentation can be confused with that of
schizophrenia, agitated dementia, or a psychotic disorder.
• Hypoactive subtype
Subdued, quietly confused, disoriented, & apathetic. Delirium in
these patients may go unrecognized or be confused with
depression or dementia.
• Mixed subtype
Fluctuating between the hyperactive &hypoactive
Delirium. Ondria C, Gleason MD., University of Oklahoma College of Medicine, Tulsa, Oklahoma. Am Fam Physician. 2003
Mar 1;67(5):1027-1034.
Diagnosis Banding Delirium
Diagnosis Karakteristik
Delirium cognitive changes develop acutely and fluctuate. Speech can be confused or
disorganized. Alertness and attention wax and wane
Dementia insidious onset, chronic memory and executive function disturbance, tends not
to fluctuate. Intact alertness and attention but impoverished speech and
thinking
Schizofrenia Onset is rarely after 50. Auditory hallucinations are much more common than
visual hallucinations. Memory is grossly intact and disorientation is rare.
Speech is not dysarthric. No wide fluctuations over the course of a day
Mood Manifest persistent rather than labile mood with more gradual onset. In mania
disorder the patient can be very agitated however cognitive performance is not usually
as impaired. Flight of ideas usually have some thread of coherence unlike
simple distractibility. Disorientation is unusual in mania
Pembahasan Soal
• Pasien di atas mengalami gangguan
kesadaran, disertai dengan adanya uremia dan
kreatinin yang tinggi. Kemungkinan penyebab
gangguan kesadarannya adalah karena
masalah organik yaitu gagal ginjal
• PIlihan A dan B tidak dipilih penyebab
keduanya bukan masalah organik
• Pilihan C dan D tidak dipilih merupakan
diagnosis axis 2 (gangguan kepribadian).
48. ANSIETAS
Diagnosis Characteristic
Gangguan panik Serangan ansietas yang intens & akut disertai dengan
perasaan akan datangnya kejadian menakutkan.
Tanda utama: serangan panik yang tidak diduga tanpa adanya
provokasi dari stimulus apapun & ada keadaan yang relatif
bebas dari gejala di antara serangan panik.
Gangguan fobik Rasa takut yang kuat dan persisten terhadap suatu objek atau
situasi, antara lain: hewan, bencana, ketinggian, penyakit,
cedera, dan kematian.
http://www.medscape.com/viewarticle/762477
Terapi Antidepresan
PPDGJ
Pedoman Diagnosis
Gangguan Dismorfik Tubuh
• Preokupasi dengan bayangan cacat dalam penampilan.
Jika ditemukan sedikit anomali tubuh, kekhawatiran
orang tersebut adalah berlebihan dengan nyata.
Fobia sosial Ketakutan yang jelas dan menetap situasi sosial atau tampil didepan
orang yang belum dikenal atau situasi yang memungkinkan ia dinilai
oleh orang lain atau menjadi pusat perhatian. Ada perasaan takut
bahwa ia akan berperilaku memalukan atau menampakkan gejala
cemas atau bersikap yang dapat merendahkan dirinya.
Fobia khas/ Ketakutan yang berlebihan dan persisten terhadap objek atau situasi
spesifik spesifik, seperti ketakutan terhadap tempat tertutup ( Claustrophobia),
atau ketakutan terhadap binatang kecil yang menjijikkan seperti tikus,
ulat, dan lain-lain.
Pedoman Diagnosis Agorafobia
• Cemas berlebihan apabila berada di tempat-tempat
atau situasi-situasi yang sangat sulit untuk
menyelamatkan diri atau pertolongan mungkin tidak
bisa didapatkan.
DSM-IV
Pembahasan Soal
• Agorafobia
– cemas berlebihan apabila berada di tempat-tempat atau situasi-
situasi yang sangat sulit untuk menyelamatkan diri atau
pertolongan mungkin tidak bisa didapatkan
– Yang dialami pasien initakut bila berada di tengah keramaian
dan pusat perbelanjaan seperti mall
• Pilihan A tidak tepat fobia sosial merupakan ketakutan
dipermalukan bila menjadi usat perhatian
• Pilihan C tidak tepat harus didahului peristiwa traumatis.
• Pilihan D tidak tepat merupakan fobia berada di ruang
tertutup.
• Pilihan E tidak dipilih serangan panik ditandai dengan
keluhan seperti mau mati (tercekik, sesak napas, dll) yang
datang secara tiba-tiba.
KULIT & KELAMIN,
MIKROBIOLOGI,
PARASITOLOGI
51. Pedikulosis
• Infeksi kulit/rambut pada manusia yang
disebabkan Pediculus
Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Pedikulosis pubis
• Infeksi rambut di daerah pubis dan sekitarnya
• Terutama menyerang dewasa dan dapat menyerang
jenggot/kumis
• Dapat menyerang anak-anak, seperti di alis/bulu mata
dan pada tepi batas rambut kepala
• Termasuk infeksi menular seksual
• Gejala
• Gatal di daerah pubis dan sekitarnya, dapat meluas ke
abdomen/dada, makula serulae (sky blue spot), black dot
pada celana dalam
Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Prinsip pemberian terapi pedikulosis kapitis
Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Pedikulosis korporis
• Biasanya menyerang orang dewasa dengan higiene buruk (jarang
mencuci pakaian)
• Kutu melekat pada serat kapas dan hanya transien ke kulit untuk
menghisap darah
• Gejala
• Hanya bekas garukan di badan
• Diagnosis
• Menemukan kutu/telur pada serat kapas pakaian
• Pengobatan
• DOC: Permetrin 1%,
• Gameksan 1%,
• benzil benzoat 25%
• Malathion 0,5%
• pakaian direbus/setrika
Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Pengobatan Pedikulosis Korporis
• Improved hygiene and access to regular changes of clean clothes is the
only treatment needed for body lice infestations.
• A body lice infestation is treated by improving the personal hygiene of the
infested person, including assuring a regular (at least weekly) change of
clean clothes.
• Clothing, bedding, and towels used by the infested person should be
laundered using hot water (at least 54°C) and machine dried using the hot
cycle.
• Sometimes the infested person also is treated with a pediculicide;
however, a pediculicide generally is not necessary if hygiene is maintained
and items are laundered appropriately at least once a week.
• If you choose to treat, guidelines for the choice of the pediculicide are the
same as for head lice.
52. Malaria
• Trias Malaria:
- Demam
- Menggigil
- Sakit kepala
• 2016 Clinical Guideline
for Malaria
- Demam ≥ 37.5oC
- Khusus anak: telapak tangan
pucat atau Hb < 8 g/dl
- Tidak ada kombinasi gejala
yang bisa menegakkan kasus
malaria
- Semua kasus suspek harus test
apusan darah tepi atau rapid
test
Malaria
Klasifikasi Malaria
Jenis Malaria Etiologi Keterangan
Malaria Falciparum / Plasmodium falciparum Periode tidak panas tiap 12
malaria tropikana jam, demam muncul tiap 24,
36 atau 48 jam
Malaria ovale Plasmodium ovale • Terutama di daerah Afrika,
sifatnya ringan dan self
limiting
• Tidak panas tiap 36 jam,
demam muncul tiap 48 jam
Malaria vivax / tertiana / Plasmodium vivax Tidak panas tiap 36 jam,
benigna demam muncul tiap 48 jam
• Bentuk klinis:
– Grey patch ringworm (biasanya disebabkan
Microsporum)
• Papul merah yang melebar, membentuk bercak, pucat,
bersisik. Rambut menjadi abu-abu, tidak berkilat, mudah
patah dan tercabut. Lampu Wood: hijau kekuningan.
– Kerion (Microsporum atau Tricophyton)
• Reaksi peradangan berat pada tinea kapitis, pembengkakan
menyerupai sarang lebah dengan sebukan sel radang.
Dapat menimbulkan jaringan parut dan alopesia menetap.
Fluoresensi (+/-)
– Black dot ringworm (biasanya disebabkan
Tricophyton tonsurans dan Trycophyton violaceum)
• Rambut yang terkena infeksi patah pada muara folikel, dan
yang tertinggal adalah ujung rambut yang penuh spora
(black dot). Fluoresensi (-)
Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
3 Pola Invasi Rambut pada Tinea Kapitis
E C TO T H R I X E NDOTHRI X
• Fluoresen kuning • Tanpa fluoresen • Fluoresen abu • Tanpa fluoresen
kehijauan terang – M. fulvum kehijauan kusam – T. gourvillii
– Microsporum – M. Gypseum – Trichophyton – T. Soudanense
audouinii – T. Megninii schoenleinii – T. tonsurans
– M. canis – T. Mentagrophytes – T. Violaceum
– M. Ferrugineum – T. Rubrum – T. Yaoundei
– T. verrucosum
Drug of Choice Dermatofita
D E R M ATO F I TA DOC
Tinea Kapitis • Griseofulvin: DOC untuk spesies Microsporum
• Terbinafin: DOC untuk spesies Trichophyton
• Alternatif: Itrakonazol, flukonazol
Tinea barbae, tinea manum, • Mengenai struktur kulit bagian dalam butuh terapi
Tinea korporis luas sistemik
• DOC: Terbinafin, itrakonazol, flukonazol
Tinea facialis, Tinea korporis, • Mengenai struktur kulit superfisial terapi topikal
tinea kruris, tinea pedis • DOC: grup alilamin (terbinafin, naftifin)
• Pengobatan sistemik
– Griseofulvin 500 mg sehari untuk dewasa, sedangkan anak-anak 10-25
mg/kgBB sehari
– Lama pemberian griseofulvin pada tinea korporis adalah 3-4 minggu,
diberikan bila lesi luas atau bila dengan pengobatan topikal tidak ada
perbaikan
– Ketokonazol 200 mg per hari selama 10 hari – 2 minggu pada pagi hari
setelah makan
Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2015.
Pengobatan Topikal terutama
untuk jenis
• Tinea korporis
• Tinea cruris
• Tinea pedis
• Tinea unguium
Medications Used to Treat Tinea Kapitis
54. Nekatoriasis & Ancylostomiasis
(Cacing Tambang)
• Gejala:
– Mual, muntah, diare &
nyeri ulu hati; pusing,
nyeri kepala; lemas
dan lelah; anemia
• Gejala
– Gatal di sekitar dubur
(terutama pada malam hari
pada saat cacing betina
meletakkan telurnya), gelisah
dan sukar tidur
– Pemeriksaan: perianal swab
dengan Scotch adhesive tape
DOC: Mebendazole 500 mg SD
Alternatif: Albendazole 400 mg SD
Hamil atau usia < 2 tahun: Pyrantel pamoat 11
mg/kgBB selama 3 hari
2 minggu setelahnya diberikan lagi dosis sama
Askariasis (Cacing Gelang)
• Gejala
– Rasa tidak enak pada perut
(gangguan lambung); kejang
perut, diselingi diare;
kehilangan berat badan; dan
demam.
DOC: Prazikuantel 5-10 mg/kgBB SD (untuk anak ≤ 4 tahun safety dan efficacy belum
jelas)
Alternatif: Albendazole 15 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 2 dosis selama 15 hari
Nama cacing Cacing dewasa Telur Obat
Pirantel pamoat,
Enterobius ovale biconcave dengan dinding
mebendazole,
vermicularis asimetris berisi larva cacing
albendazole
Ancylostoma
ovale dengan sitoplasma jernih Mebendazole,
duodenale
berisi segmented ovum/ lobus 4- pirantel pamoat,
Necator
8 mengandung larva albendazole
americanus
1. Albendazol 400 mg SD
Pada infeksi gabungan
2. Mebendazol 2x100 mg selama 3 hari
Ascaris lumbricoides askaris dan cacing tambang
atau 500 mg PO SD
DOC: Albendazol
3. Pyrantel Pamoat 10-11 mg/kg PO
Cacing Tambang (Ancylostoma 1. Albendazol 400 mg SD PO
Duodenale & Necator Americanus) 2. Mebendazole 2x 100 mg selama 3 hari atau 500 mg SD PO
1. Mebendazol 500 mg SD PO
Trichuris Trichiura
2. Albendazole 400 mg PO selama 3 hari
Schistosoma mansoni, S. DOC: Prazikuantel 40 mg/kg PO dibagi 2 dosis selama satu hari
hematobium, S intercalatum
Schistosoma japonicum, S. mekongi DOC: Prazikuantel 60 mg/kg PO dibagi 3 dosis selama satu hari
Semua rejimen diulang dalam waktu 2 minggu
• Mebendazol 100 mg PO SD
Enterobius vermicularis
• Albendazol 400 mg PO SD
• Pyrantel Pamoat 10-11 mg/kg PO
Cysticercosis (T. Solium) Prazikuantel 50-100 mg/kg/d divided q8hr PO for 14 days
Keterangan: urutan berdasarkan skala prioritas, nomor 1 adalah DOCnya
Albendazole
• Terapi cacing gelang, cacing cambuk, cacing kremi, cacing tambang
• Cara kerja : membunuh cacing, menghancurkan telur & larva cacing dengan
jalan menghambat pengambilan glukosa oleh cacing produksi ATP
sebagai sumber energi << kematian cacing
• Kontra Indikasi:
– Ibu hamil (teratogenik), menyusui
– Gangguan fungsi hati & ginjal, anak < 2 tahun
• Efek samping : perasaan kurang nyaman pada saluran cerna dan sakit
kepala, mulut terasa kering
Mebendazole
• Terapi cacing gelang, cacing cambuk, cacing kremi, cacing tambang
• Cara kerja : membunuh cacing, menghancurkan telur & larva cacing dengan
jalan menghambat pengambilan glukosa oleh cacing produksi ATP
sebagai sumber energi << kematian cacing
• Kontra Indikasi:
– Ibu hamil (teratogenik), menyusui
– Gangguan fungsi hati & ginjal, anak < 2 tahun
• Efek samping : perasaan kurang nyaman pada saluran cerna dan sakit
kepala, mulut terasa kering
Pirantel Pamoat
Jika menyusui?
• Tunda menyusui selama 12-24 jam
• Metronidazole 2 gram single dose setelahnya boleh menyusui
2015 STD Treatment Guideline CDC
ILMU
K E S E H ATAN
ANAK
56. Tetanus
• Tetanus: gangguan neuromuskular akut berupa trismus,
kekakuan dan kejang otot disebabkan oleh eksotosin
spesifik Clostridium tetani.
• Akibat komplikasi luka:
• Diagnosis
– Klinis
– Pewarnaan gram
• Komplikasi
– Anoksia otak
– fraktur vertebra
– Aspirasi, penumonia
– Low intake, Dehidrasi
– Disfungsi otonom: hiper/hipotensi, hiperhidrosis
– Kematian
Medikamentosa Kehamilan: TT
• Didahului dengan skrining untuk mengetahui jumlah dosis dan status) imunisasi TT
yang telah diperoleh selama hidupnya
• Pemberian tidak ada interval maks, hanya terdapat interval min antar dosis TT
• Jika ibu belum pernah imunisasi atau status imunisasinya tidak diketahui, berikan
dosis vaksin (0,5 ml IM di lengan atas) sesuai tabel berikut
• Tirah baring,
• Oksigen, bersihkan jalan nafas secara teratur,
• Cairan infus dan diet per sonde
• Monitoring kesadaran, TTV, trismus, asupan /
keluaran, elektrolit
• Konsultasikan ke bagian lain bila perlu.
Pencegahan komplikasi
Keterangan 6. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada umur 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali
Cara membaca kolom umur: misal 2 u berarti mu r 2 bul an (60 har i) sd 2 bul an 29 har i (89 har i) dengan interval 2 bulan; pada umur lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali, namun keduanya perlu
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai 1 Januaril 2014 dan dapat diakses pada website IDAI (http : // booster 1 kali pada umur lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada
idai.or.id/public-artices/kl ini k/i mu ni sasi /j adw al-imunisasi-anak-idai.html) anak umur di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
7. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, vaksin rotavirus pentavalen
Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel diberikan 3 kali. Vaksin rotavirus monovalen dosis I diberikan umur 6-14 minggu, dosis ke-2
1. Vaksin hepatit i s B. Paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir dan didahului diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Sebaiknya vaksin rotavirus monovalen selesai
pemberian suntikan vitamin K1. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin hepatit i s B diberikan sebelum umur 16 minggu danatidk melampaui umur 24 minggu. Vaksin rotavirus
dan imunoglobulin hepatit i s B (HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Vaksinasi hepatit i s B pentavalen : dosis ke-1 diberikan umur 6-14 minggu, interval dosis ke-2 dan ke-3, 4-10 minggu;
selanjutnya dapat menggunakan vaksinihepatit Bs mon o valen atau vaksin kombinasi. dosis ke-3 diberikan pada umur kurang dari 32 minggu (interval minimal 4 minggu).
2. Vaksin polio. Pada saat lahir atau pada saat bayi dipulangkan harus diberikan vaksin polio oral 8. Vaksin varisela. Vaksin varisela dapat diberikan setelah umur 12 bulan, terbaik pada umur
(OPV-0). Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3 dan polio booster dapat diberikan vaksin sebelum masuk sekolah dasar. Apabila diberikan pada umur lebih dari 12 tahun, perlu 2 dosis
OPV atau IPV, namun sebaiknya paling sedikit mendapat satu dosis vaksin IPV. dengan interval minimal 4 minggu.
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum 3 bulan, a optiml umur 2 bulan. Apabila 9. Vaksineinflunz a. Vaksineinflunz a diberikan pada umur minimal 6 bulan, diulang
p setia tahun.
diberikan sesudah umur 3 bulan, perlu dilakukan uji tuberkulin. Untuk imunisasi pertama kali (primary immunizatio
n ) pada anak umur kurang dari 9 tahun
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada umur 6 minggu. Dapat diberikan diberi dua kali dengan interval minimal 4 minggu. Untuk anak 6 - < 36 bulan, dosis 0,25 mL.
vaksin DTwP atau DTaP atau kombinasi dengan vaksin lain. Untuk anak umur lebih dari 7 tahun 10. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV dapat diberikan mulai umur 10 tahun. Vaksin
diberikan vaksin Td, dibooster setia p 10 t ahun. HPV bivalen diberikan tiga kali dengan interval 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan
5. Vaksin campak. Vaksin campak keduaa tidk perlu diberikan pada umur 24 bulan, apabila MMR interval 0,2,6 bulan.
sudah diberikan pada 15 bulan.
The difference to 2017
Jadwal Imunisasi Anak Usia 0 – 18 Tahun
Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Tahun 2017
Usia
Imunisasi Bulan Tahun
Lahir 1 2 3 4 5 6 9 12 15 18 24 3 5 6 7 8 9 10 12 18
Hepatitis B 1 2 3 4
Polio 0 1 2 3 4
BCG 1 kali
DTP 1 2 3 4 5 6 (Td/Tdap) 7 (Td)
Hib 1 2 3 4
PCV 1 2 3 4
Rotavirus 1 2 3a
Influenza Ulangan 1 kali setiap tahun
Campak 1 2 3
MMR 1 2
Tifoid Ulangan setiap 3 tahun
Hepatitis A 2 kali, interval 6 – 12 bulan
Varisela 1 kali
HPV 2 atau 3 kalib
Japanese encephalitis 1 2
Dengue 3 kali, interval 6 bulan
Keterangan 5. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan;
Cara membaca kolom usia : misal 2 berarti usia 2 bulan (60 hari) s.d. 2 bulan 29 hari (89 hari) dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai Januari 2017 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak usia di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
Dapat diakses pada website IDAI (http:// idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-anak-idai.html) 6. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14 minggu (dosis
a
Vaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan) pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Batas akhir
b
Apabila diberikan pada remaja usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antibodi pemberian pada usia 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14
setara dengan 3 dosis (lihat keterangan) minggu (dosis pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis kedua dan ketiga diberikan dengan interval 4-10
Optimal Catch-up Booster Daerah Endemis minggu. Batas akhir pemberian pada usia 32 minggu.
7. Vaksineinflunz a. Vaksineinflunz a diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulangp setia tahun. Untuk imunisasi
Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel pertama kali (primary immunizatio
n ) pada anak usia kurang dari 9 tahun diberi dua kali dengan interval minimal 4
1. Vaksin hepatiti s B (HB). Vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir minggu. Untuk anak 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. Untuk anak usia 36 bulan a atau lebih, dosis 0,5 mL.
dan didahului pemberian suntikan vitamin K1 minimal 30 menit sebelumnya. Jadwal pemberian vaksin HB monova- 8. Vaksin campak. Vaksin campak kedua (18 bulan) tidk per l u diberikan apabila sudah mendapatkan MMR.
len adalah usia 0,1, dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin HB dan imunoglobulin hepatit
i s B 9. Vaksin MMR/MR. Apabila sudah mendapatkan vaksin campak pada usia 9 bulan, maka vaksin MMR/MR diberikan
(HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Apabila diberikan HB kombinasi dengan DTPw, maka jadwal pemberian pada pada usia 15 bulan (minimal interval 6 bulan). Apabila pada usia 12 bulan belum mendapatkan vaksin campak, maka
usia 2, 3, dan 4 bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa, maka jadwal pemberian pada usia 2, 4, dan 6 bulan. dapat diberikan vaksin MMR/MR.
2. Vaksin polio. Apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana kesehatan, OPV-0 diberikan saat 10. Vaksin varisela. Vaksin varisela diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik pada usia sebelum masuk sekolah dasar.
bayi dipulangkan. Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3, dan polio booster diberikan OPV atau IPV. Paling se- Apabila diberikan pada usia lebih dari 13 tahun, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu.
dikit harus mendapat satu dosis vaksin IPV bersamaan dengan pemberian OPV-3. 11. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV diberikan mulai usia 10 tahun. Vaksin HPV bivalen diberikan tiga
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum usia 3 bulan, a optiml usia 2 bulan. Apabila diberikan pada kali dengan jadwal 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan jadwal 0,2,6 bulan. Apabila diberikan pada remaja
usia 3 bulan atau lebih, perlu dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antib
o d i setara dengan 3 dosis.
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6 minggu. Dapat diberikan vaksin DTPw atau 12. Vaksin Japanese encephalitis (JE). Vaksin JE diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemis atau turis yang
DTPa atau kombinasi dengan vaksin lain. Apabila diberikan vaksin DTPa maka interval mengikuti rekomendasi vaksin akan bepergian ke daerah endemis tersebut. Untuk perlindungan jangka panjang dapat diberikan booster 1-2 tahun
tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan. Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 berikutnya.
dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12 tahun dan booster Td diberikan setia p 10 t ahun. 13. Vaksin dengue. Diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0, 6, dan 12 bulan.
Perubahan Jadwal Imunisasi Wajib
2014
2016
Hep. B: lahir,1,6 bulan
2017
Polio: lahir, 2,4,6 Hep .B: sama dengan
bulan 2014 Hep .B: lahir, 2,3,4
DPT: 2,4,6 bulan Polio: lahir, 2,3,4 bulan
bulan Polio: lahir, 2,3,4
DPT: 2,3,4 bulan bulan
DPT: 2,3,4 bulan
Plus2 : HiB
Inflammatory Diarrheas
Enteropathogenic E. coli (EPEC) Profuse watery, nonbloody diarrhea with mucus, vomiting and
low-grade fever. Chronic diarrhea and malnutrition can occur.
Usually at < 2 y.o, esp <6 mo (at weaning period)
• Klasifikasi
– Memfermentasi laktosa dan Non fermentasi
laktosa/sukrosa
Enterobacteriaceae: Alur Pemeriksaan
Tinja, usap dubur, darah, cairan tubuh,
sputum, pus, urin, hapusan tenggorok, dll
KALDU SELENIT
AGAR MacCONKEY
Many infants with trisomy 13 die within their first days or weeks of life.
Sindrom Clenched hands, Crossed legs, abnormally shaped head; micrognathia, Feet with a
Edward rounded bottom (rocker-bottom feet), Low birth weight & IUGR, Low-set ears, Mental
Trisomi 18 delay, microcephaly, Undescended testicle, coloboma iris, Umbilical hernia or inguinal
Noninherited hernia, congenital heart disease (ASD, PDA, VSD), kidney problems (i.e: Horseshoe
kidney, Hydronephrosis, Polycystic kidney), severe intellectual disability
It is three times more common in girls than boys. Many individuals with trisomy 18 die
before birth or within their first month.
mikrosefal; hypotonus, Excess skin at the nape of the neck,
Flattened nose, Separated sutures, Single palm crease, Small ears,
small mouth, Upward slanting eyes, Wide, short hands with short
Sindrom fingers, White spots on the colored part of the eye (Brushfield
Down spots), heart defects (ASD, VSD)
Trisomi 21
noninherited Physical development is often slower than normal (Most never
reach their average adult height), delayed mental and social
development (Impulsive behavior, Poor judgment, Short attention
span, Slow learning)
Marfan syndrome Mutasi pada fibrillin (protein pada jaringan ikat tubuh).
3 dari 4 kasus A tall, thin build, Long arms, legs, fingers, and toes and
bersifat diturunkan flexible joints, skoliosis, pektus karinatum/ ekskavatum,
Teeth that are too crowded, Flat feet.
edema
rambut kemerahan, mudah
dicabut
kurang aktif, rewel/cengeng
pengurusan otot
Kelainan kulit berupa bercak
merah muda yg meluas &
berubah warna menjadi coklat
kehitaman dan terkelupas (crazy
pavement dermatosis)
Marasmik-kwashiorkor
• Terdapat tanda dan gejala klinis marasmus dan
kwashiorkor secara bersamaan
Kriteria Gizi Kurang dan Gizi Buruk
• Z-score → menggunakan • BB/IBW (Ideal Body Weight)
kurva WHO weight-for- → menggunakan kurva CDC
height • ≥80-90% mild
• <-2 – moderate wasted malnutrition
• <-3 – severe wasted gizi • ≥70-80% moderate
buruk malnutrition
• ≤70% severe
• Lingkar Lengan Atas < 11,5 malnutrition Gizi Buruk
cm
Kwashiorkor
Protein
Serum Albumin
Edema
Marasmus
Karbohidrat
Lemak subkutan
2. Atasi/cegah hipotermia
3. Atasi/cegah dehidrasi
5. Obati infeksi
6. Perbaiki def. nutrien mikro tanpa Fe + Fe
8. Makanan Tumb.kejar
9. Stimulasi
• Jika ada gejala defisiensi vitamin A, atau pernah sakit campak dalam 3
bulan terakhir, beri vitamin A dengan dosis sesuai umur pada hari ke 1, 2,
dan 15.
63. Asfiksia Neonatal
Mathai SS. Management of respiratory distress in the newborn. MJAFI 2007; 63: 269-72.
Hyaline Membrane Disease
• gangguan pernapasan yang disebabkan imaturitas paru dan
defisiensi surfaktan, terutama terjadi pada neonatus usia
gestasi<34 minggu atau berat lahir <1500 gram
• Gejala Klinis
– Sesak, merintih, takipnea, retraksi interkostal dan
subkostal, napas cuping hidung, dan sianosis yang terjadi
dalam beberapa jam pertama kehidupan.
– Bila gejala tidak timbul dalam 8 jam pertama kehidupan,
adanya PMH dapat disingkirkan.
• Lung immaturity salah satu penyebab Chronic Lung Disease
(bronchopulmonary dysplasia)
• Penyakit membran hialin RESPIRATORY DISTRESS
(PMH) merupakan gangguan SYNDROME (Hyaline
pernapasan yang disebabkan membrane disease)
imaturitas paru dan defisiensi
surfaktan, terutama terjadi
pada neonatus usia gestasi <34
minggu atau berat lahir <1500
gram
• Etiology:
– Defisiensi surfaktan (produksi
dan sekresi menurun)
• Surfactant
– Berperan untuk pengembangan
alveolus
– Komposis utama surfaktan :
• dipalmitoyl phosphatidylcholine
(lecithin)
• Phosphatidylglycerol
• apoproteins (surfactant proteins
SP-A, -B, -C, -D)
• Cholesterol
Hyaline Membrane Disease (Respiratory Distress Syndrome). Nelson Textbook of http://www.netterimages.com/images/vpv/000/000/010/102
Pediatrics 91-0550x0475.jpg
Patomekanisme
HMD
Pathogenesis of hyaline membrane disease
(HMD). Vascular disruption causes leakage of
plasma into the alveolar spaces and layering of
fibrin and necrotic cells arise from type II
pneumocytes (“hyaline membranes”) along the
surface of alveolar ducts and respiratory
bronchioles partially denuded of their normal
cell lining.
Pneumosit sebagai Penghasil
Surfaktan
• Pada dinding alveolus dibedakan atas 2
macam sel:
– sel epitel gepeng ( squamous pulmonary epitheal
atau sel alveolar kecil atau pneumosit tipeI).
– sel kuboid yang disebut sel septal atau alveolar
besar atau pneumosit tipe II.
• Menghasilkan surfaktan untuk menurunkan tegangan
permukaan dan mempertahankan bentuk dan besar
alveolus
Komplikasi
– Septicemia
– Bronchopulmonary dysplasia (BPD)
– Patent ductus arteriosus (PDA)
– Pulmonary hemorrhage
– Apnea/bradycardia
– Necrotizing enterocolitis (NEC)
– Retinopathy of prematurity (ROP)
– Hypertension
– Failure to thrive
– Intraventricular hemorrhage (IVH)
Tatalaksana HMD
Derajat I, Bercak retikulogranuler dengan air Derajat II, Bercak retikulogranular menyeluruh dengan
bronchogram air bronchogram
Derajat III, Opasitas lebih jelas, dengan Derajat IV, Seluruh lapangan paru terlihat putih (opak),
airbronchogram lebih jelas meluas kecabang di perifer. Tidak tampak airbronchogram, jantung tak terlihat,
Gambaran jantung menjadi kabur. disebut juga “White lung”
Meconium Aspiration Syndrome
(a) Fuzzy vessel, fisura interlobaris terisi cairan; (b) densitas bergaris divergen di medial
dengan sedikit efusi kanan. Gambaran paru membaik dalam waktu yang cepat sejalan
dengan perbaikan klinis.
Pneumonia neonatal
Infiltrat inhomogen pada lapang paru kanan atas. Bila terjadi dalam 72 jam
pertama kehidupan, pneumonia neonatal perlu dipikirkan.
64. Gagal Ginjal Akut
• Gagal ginjal akut (GGA)/Acute Kidney Injury (AKI) ialah
penurunan fungsi ginjal mendadak yang
mengakibatkan hilangnya kemampuan ginjal untuk
mempertahankan homeostasis
• Terdapat peningkatan kadar kreatinin darah secara
progresif 0,5 mg/dL per hari dan peningkatan ureum
sekitar 10-20 mg/dL per hari.
• GGA dapat bersifat oligurik dan non-oligurik.
– Oliguria ialah produksi urin <1 ml/kgBB/ jam untuk neonatus
dan <0,8 ml/kgBB/jam untuk bayi dan anak.
Klasifikasi
Patogenesis
Tatalaksana Medikamentosa GGA
• Terapi sesuai penyakit primer • Pemberian diuretik pada GGA
• Bila terdapat infeksi, dosis renal dengan furosemid 1-2
antibiotik disesuaikan dengan mg/kgBB dua kali sehari dan
beratnya penurunan fungsi ginjal dapat dinaikkan secara
• Pemberian cairan disesuaikan bertahap sampai maksimum 10
dengan keadaan hidrasi mg/kgBB/kali. (pastikan
kecukupan sirkulasi dan bukan
• Koreksi gangguan
merupakan GGA pascarenal).
ketidakseimbangan cairan
elektrolit • Bila gagal dengan
medikamentosa, maka
• Natrium bikarbonat untuk
dilakukan dialisis peritoneal
mengatasi asidosis metabolik atau hemodialisis.
sebanyak 1-2 mEq/kgBB/ hari
sesuai dengan beratnya asidosis
65. Diare akut
• Diare akut:
- BAB >3 kali dalam 24 jam
- Konsistensi cair
- Durasi <1 minggu
Dehidrasi ringan-sedang
Dehidrasi berat
Terapi zinc
Syok hipovolemik
pada anak
• Jika diare sangat massif
sehingga volume loss
sangat tinggi, anak dapat
mengalami syok
hipovolemik
• Tatalaksana syok akibat
diare pada anak tidak
menggunakan rencana
terapi C melainkan
algoritma tatalaksana
syok hipovolemik anak
66. ASI Eksklusif
524
Sensitivity of Typhoid Cultures
Spesimen Incubation Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV
Tubex TF
• Deteksi IgM anti lipopolisakarida O9 dari Salmonella serogroup D (salah satunya
S. typhi).
• Positif setelah hari ke 3-4.
• Sensitivitas 78%, spesifisitas 89%
A Comparative Study of Typhidot and Widal Test in Patients of Typhoid Fever. JIACM 2004; 5(3): 244-6.
68. Club Foot (TEV)
Definisi Tipe
• Club foot / Talipes Equinovarus • Idiopatik : tidak ada kelainan
(TEV) Deformitas kongenital kongenital yang lain, paling umum
yang rigid fiksasi kaki pada terjadi.
posisi adduksi, supinasi dan varus. • Postural : deformitas dapat
• 1-2 kasus dalam 1000 kelahiran dikoreksi oleh pemeriksa.
hidup. • Sindromik: berkaitan dgn kelainan
• Pria : Wanita 2 : 1 kongenital e.g. Arthrogryposis,
Etiologi Diastrophic dwarfism.
• Tidak diketahui. • Kondisi neuromuskular:
• Muskular, neurogenik, genetik dan myelomeningocele, CP
connective tissue.
Sumber : Abdelgawad A, Naga O. Pediatric Orthopedics A Handbook for Primary Care Physicians. New York: Springer; 2014.
Club Foot (TEV)
T. Calcaneovalgus combination
between t.
T. Calcaneus dorsiflexion calcaneus dan t.
valgus
T. Equinovarus combination
(Club Foot) between t. equinus
T. Equinus plantar flexion and t. varus
T. Cavovarus combination
T. Valgus (flat abducted and between t. cavus
foot) everted and t. varus
T. Calcaneocavus combination
between t.
T. Varus abducted and calcaneus and t.
inverted
cavus
T. Equinovalgus combination
between t. equinus
and t. valgus Dorland's Medical Dictionary for Health Consumers. New York : Saunders ;2007
Berbagai spektrum abnormalitas pada kaki neonatus Newborn Foot Abnormalities
• Tindakan Pencegahan :
– Imunisasi Campak pada usia 9 bulan
– Mencegah terjadinya komplikasi berat
Measles Virus Taxonomy
3D graphical representation of a
https://www.cdc.gov/measles/about/photos.html spherical-shaped, measles virus
particle
Morbili
• Etiologi: Morbilivirus dari • Prodromal
family Paramyxoviridae – Hari 7-11 setelah eksposure
• Kelompok yang rentan: – Demam, batuk,
– Bayi dan anak usia <5 tahun konjungtivitis,sekret hidung.
– Dewasa >20 tahun
(cough, coryza, conjunctivitis
3C)
– Wanita hamil
– Imunodefisiensi (HIV, leukemia) • Enanthem ruam
• Musim: akhir musim dingin/ kemerahan
musim semi • Koplik’s spots muncul 2 hari
• Inkubasi: 8-12 hari sebelum ruam dan bertahan
selama 2 hari.
• Masa infeksius: 1-2 hari sblm
prodromal s.d. 4 hari setelah
muncul ruam
Morbili
KOMPLIKASI DIAGNOSIS & TERAPI
• Otitis Media (1 dari 10 penderita • Diagnosis:
campak pada anak) – manifestasi klinis, tanda
• Diare (1 dari 10 penderita campak) patognomonik bercak Koplik
• Bronchopneumonia (komplikasi – isolasi virus dari darah, urin, atau
berat; 1 dari 20 anak penderita sekret nasofaring
campak) – pemeriksaan serologis: titer
• Encephalitis (komplikasi berat; 1 antibodi 2 minggu setelah
dari 1000 anak penderita campak) timbulnya penyakit
• Pericarditis
• Subacute sclerosing
panencephalitis – late sequellae
due to persistent infection of the
CNS; 7-10 tahun setelahnya; 1:
100,000 orang)
Penatalaksanaan
• Terapi suportif diberikan dengan menjaga cairan tubuh dan
mengganti cairan yang hilang dari diare dan emesis.
• Obat diberikan untuk gejala simptomatis, demam dengan
antipiretik.
• Jika terjadi infeksi bakteri sekunder, diberikan antibiotik.
• Suplementasi vitamin A diberikan pada:
– Bayi usia kurang dari 6 bulan 50.000 IU/hari PO diberi 2 dosis.
– Umur 6-11 bulan 100.000 IU/hari PO 2 dosis.
– Umur di atas 1 tahun 200.000 IU/hari PO 2 dosis.
– Anak dengan tanda defisiensi vitamin A, 2 dosis pertama sesuai
umur, dilanjutkan dosis ketiga sesuai umur yang diberikan 2-4
minggu kemudian.
Konseling & Edukasi
• Edukasi keluarga dan pasien bahwa morbili merupakan penyakit
yang menular.
• Namun demikian, pada sebagian besar pasien infeksi dapat
sembuh sendiri, sehingga pengobatan bersifat suportif.
• Edukasi pentingnya memperhatikan cairan yang hilang dari
diare/emesis.
• Untuk anggota keluarga/kontak yang rentan, dapat diberikan
vaksin campak atau human immunoglobulin untuk pencegahan.
• Vaksin efektif bila diberikan dalam 3 hari terpapar dengan
penderita.
• Imunoglobulin dapat diberikan pada individu dengan gangguan
imun, bayi umur 6 bulan -1 tahun, bayi umur kurang dari 6 bulan
yang lahir dari ibu tanpa imunitas campak, dan wanita hamil.
Rubella
• Togavirus • Asymptomatik hingga
• Yg rentan: orang dewasa 50%
yang belum divaksinasi • Prodromal
• Musim: akhir musim – Anak-anak: tidak bergejala
dingin/ awal musim semi. s.d. gejala ringan
– Dewasa: demam, malaside,
• Inkubasi 14-21 hari nyeri tenggorokan, mual,
• Masa infeksius: 5-7 hari anoreksia, limfadenitis
sblm ruam s.d. 3-5 hari oksipital yg nyeri.
setelah ruam muncul • Enanthem
– Forschheimer’s spots
petekie pada hard
palate
Rubella - komplikasi
• Arthralgias/arthritis pada
org dewasa
• Peripheral neuritis
• encephalitis
• thrombocytopenic purpura
(jarang)
• Congenital rubella
syndrome
– Infeksi pada trimester
pertama
– IUGR, kelainan mata, tuli,
kelainan jantung, anemia,
trombositopenia, nodul kulit.
Roseola Infantum ≈ Exanthem Subitum
• Human Herpes Virus 6 • Demam tinggi 3-4 hari
(and 7) • Demam turun mendadak
• Yg rentan: 6-36 bulan dan mulai timbul ruam
(puncak 6-7 bulan) kulit.
• Musim: sporadik • Kejang yang mungkin
• Inkubasi: 9 hari timbul berkaitan dengan
• Masa infeksius: berada infeksi pada meningens
dalam saliva secara oleh virus.
intermiten sepanjang
hidup; infeksi
asimtomatik persisten.
Scarlet Fever
• Sindrom yang memiliki • Rash : Timbul 12-48 jam
karakteristik: faringitis setelah onset demam. Dimulai
eksudatif, demam, dan rash. dari leher kemudian menyebar
• Disebabkan oleh group Abeta- ke badan dan ekstremitas.
hemolyticstreptococci • Pemeriksaan : Throat culture
(GABHS) positive for group A strep
• Masa inkubasi 1-4 hari. • Tatalaksana : Antibiotik
• Manifestasi pada kulit diawali antistreptokokal minimal 10
oleh infeksi streptokokus hari (Eritromisin atau Penicillin
(umumnya pada G)
tonsillopharynx): nyeri
tenggorokan dan demam
tinggi, disertai nyeri kepala,
mual, muntah, nyeri perut,
myalgia, dan malaise.
Scarlet Fever. http://emedicine.medscape.com/article/1053253-overview
70. Cytomegalovirus Congenital
Infection
General
Cardiovascular system
Patent ductus arteriosus Common Early May occur with pulmonary artery stenosis
Eye
Skin
Chronic rubelliform rash Uncommon Early Usually generalized; lasts several weeks
Lungs
Generalized; probably immunologically
Interstitial pneumonia Uncommon Delayed
mediated
Liver
Blood
Immune system
Bone
Transient; most common in distal femur
Radiographic lucencies Common Early
and proximal tibia
Large anterior fontanel Uncommon Early ...
• Persalinan spontan hanya terjadi bila janin kecil atau mati dan
maserasi
Kala 2
• Amplitudo 60 mmHg, frekuensi 3-4 kali / 10 menit.
• Refleks mengejan akibat stimulasi tekanan bagian terbawah menekan anus dan rektum
Kala 3
• Amplitudo 60-80 mmHg, frekuensi kontraksi berkurang, aktifitas uterus menurun.
Plasenta dapat lepas spontan dari aktifitas uterus ini, namun dapat juga tetap
menempel (retensio) dan memerlukan tindakan aktif (manual aid).
Kala Persalinan: Kala I
Fase Laten
• Pembukaan sampai mencapai 3 cm (8 jam)
Fase Aktif
• Pembukaan dari 3 cm sampai lengkap (+ 10 cm), berlangsung
sekitar 6 jam
• Fase aktif terbagi atas :
1. Fase akselerasi (sekitar 2 jam), pembukaan 3 cm sampai 4
cm.
2. Fase dilatasi maksimal (sekitar 2 jam), pembukaan 4 cm
sampai 9 cm.
3. Fase deselerasi (sekitar 2 jam), pembukaan 9 cm sampai
lengkap (+ 10 cm).
Kala Persalinan: Kala II
• Dimulai ketika pembukaan serviks sudah lengkap (10 cm) dan
berakhir dengan lahirnya bayi
• Garis waspada
– Jika pembukaan serviks mengarah ke sebelah kanan garis waspada waspadai
kemungkinan adanya penyulit persalinan
– Jika persalinan telah berada di sebelah kanan garis bertindak yang sejajar dengan
garis waspada perlu segera dilakukan tindakan penyelesaian persalinan
• Kondisi Ibu
– Catat nadi ibu setiap 30 menit dan beri tanda titik
pada kolom yang sesuai. Ukur tekanan darah ibu tiap
10 menit dan beri tanda ↕ pada kolom yang sesuai.
Temperatur dinilai setiap dua jam dan catat di tempat
yang sesuai
WHO Classification
Malformations of the
Benign entities that
Malignant neoplasms chorionic villi that are
can be confused with
of various types of predisposed to
with these other
trophoblats develop trophoblastic
lesions
malignacies
Placental site
Complete Partial Placental site nodule
trophoblastic tumor
Epithilioid trophoblastic
tumors Invasive
Mola Hidatidosa
• Definisi
– Latin: Hidatid tetesan air, Mola Bintik
TIPE KOMPLIT T I P E PA R S I A L
• Perdarahan pervaginam • Seperti tipe komplit hanya
setelah amenorea lebih ringan
• Uterus membesar secara • Biasanya didiagnosis
abnormal dan menjadi lunak sebagai aborsi inkomplit/
• Hipertiroidism missed abortion
• Kista ovarium lutein • Uterus kecil atau sesuai usia
• Hiperemesis dan pregnancy kehamilan
induced hypertension
• Tanpa kista lutein
• Peningkatan hCG 100,000
mIU/mL
Mola Hidatidosa: Diagnosis
• Pemeriksaan kadar hCG
sangat tinggi, tidak sesuai usia
kehamilan
Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
Hipertensi pada Kehamilan: Patofisiologi
• Faktor Risiko:
– Kehamilan pertama
– Kehamilan dengan vili
korionik tinggi (kembar
atau mola)
– Memiliki penyakit KV
sebelumnya
– Terdapat riwayat genetik
hipertensi dalam
kehamilan
Tatalaksana:
- Jika TD sistolik ≥ 160 mmHg atau TD diastolik ≥ 110 mmHg
terapi antihipertensi
- Kontraindikasi: ACE-I, ARB, dan thiazide
- Suplementasi kalsium 1.5-2 gram per hari + aspirin 75 mg/hari
mulai dari usia kehamilan 20 minggu
- Jika HR janin <100 x/menit atau > 180x/menit tatalaksana
sebagai gawat janin
- Jika tidak ada komplikasi tunggu sampai aterm
Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
Hipertensi Gestasional
- Hipertensi tanpa proteinuria
- TD ≥140/90 mmHg
- Tidak ada riwayat hipertensi sebelum hamil
- Dapat disertai gejala preeklampsia seperti nyeri ulu hati dan
trombositopenia
- Diagnosis pasti ditegakkan pasca persalinan TD normal
setelah melahirkan
Tatalaksana
- Pantau tekanan darah, urin untuk proteinuria, dan kondisi janin
setiap minggu
- Jika tekanan darah meningkat tatalaksana sebagai
preeklampsia
- Kondisi janin memburuk atau pertumbuhan janin
terhambatrawat untuk pemantauan kesehatan janin
- Jika TD stabil bisa persalinan normal
Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
Preeklampsia Ringan
- TD ≥140/90 mmHg pada usia kehamilan >20 minggu
- Proteinuria 1+ atau protein kuantitatif >300 mg/24 jam
Preeklampsia Berat
- TD >160/110 mmHg pada usia kehamilan >20 minggu
- Proteinuria 2+ atau protein kuantitatif >5 g/24 jam
- Atau disertai kelainan organ lain: trombositopenia (<100.000), hemolisis
mikroangiopati, peningkatan SGOT/SGPT, nyeri abdomen kuadran atas, sakit kepala,
skotoma penglihatan, pertumbuhan janin terhambat, oligohidroamnion
- Peningkatan SGOT/SGPT+trombositopenia HELLP Syndrome
Superimposed preeklampsia
- Sudah ada hipertensi kronik sebelum hamil atau saat usia kandungan <20 minggu
- Proteinuria 1+ atau trombosit <100.000 pada usia kehamilan <20 minggu
Eklampsia
- Kejang umum dan/atau koma
- Ada tanda preeklampsia
- Tidak ada kemungkinan penyebab lain seperti epilepsi, perdarahan subarachnoid, atau
meningitis
Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
Pre Eklampsia & Eklampsia: Kejang
• Pencegahan dan Tatalaksana Kejang
– Bila terjadi kejang perhatikan prinsip ABCD
• MgSO4
– Eklampsia untuk tatalaksana kejang
– PEB pencegahan kejang
Depkes RI. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Bakti Husada
• Syarat pemberian MgSO4: Terdapat refleks patella, tersedia
kalsium glukonas, napas> 16x/menit, dan jumlah urin
minimal 0,5 ml/kgBB/jam
• Antihipertensi
Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
KONTRASEPSI
Vasektomi
Permanen
Tubektomi
IUD
Berbantu
Kondom/
Barrier
diafragma
Spermisida
Metode Sementara
Kontrasepsi
Implan
MAL
Hormonal Pil/suntik
Pantang
Alami
berkala
Kondar
Senggama
terputus
KB: Metode Barrier
• Menghalangi bertemunya
sperma dan sel telur
• Efektivitas: 98 %
• Mencegah penularan PMS
• Efek samping
– Dapat memicu reaksi alergi
lateks, ISK dan keputihan
(diafragma)
• Harus sedia sebelum
berhubungan
Kontrasepsi Hormonal
No Jenis kontrasepsi Mekanisme Kerja
1 Pil Kombinasi menekan ovulasi, mencegah implantasi,
mengentalkan lendir serviks sehingga sulit dilalui oleh
sperma, dan menganggu pergerakan tuba sehingga
transportasi telur terganggu
2 Pil progestin Supresi ovulasi, menekan puncak LH dan FSH,
meningkatkan kekentalan lendir servix, menurunkan
jumlah dan ukuran kelenjar endometrium, menurunkan
motilitas cilia di tuba falopi
3 Suntik kombinasi menekan ovulasi, mengentalkan lendir
serviks sehingga penetrasi sperma terganggu, atrofi pada
endometrium sehingga implantasi terganggu, dan
menghambat transportasi gamet oleh tuba. Suntikan ini
diberikan sekali tiap bulan
4. Suntik Progestin Kerja utama mencegah ovulasi dengan menekan FSH dan
LH serta LH surge
• Suntikan Progestin
– Depo Medroksiprogesteron Asetat (Depo Provera)
150mg DMPA, IM di bokong/ 3 bulan
– Depo Norestisteron Enantat (Depo Norissterat)
200mg Noretdron Enantat,IM di bokong/ 2 bulan
Metode Hormonal: Implan
• Implan (Saifuddin, 2006) • Cara Kerja
– Norplant: 36 mg levonorgestrel dan lama • menekan ovulasi,
kerjanya 5 tahun. mengentalkan lendir
serviks, menjadikan
selaput rahim tipis dan
atrofi, dan mengurangi
– Implanon: 68 mg ketodesogestrel dan lama transportasi sperma
kerjanya 3 tahun.
• Efek Samping
• Serupa dengan
hormonal pil dan
suntikan
– Jadena dan Indoplant: 75 mg
levonorgestrel dengan lama kerja 3 tahun
• Kontra Indikasi
• Serupa dengan
hormonal pil dan
suntikan
KB: Metode IUD
• Cara Kerja
– Menghambat kemampuan sperma
untuk masuk ke tuba falopii
– Mempengaruhi fertilisasi sebelum ovum
mencapai kavum uteri
– Mencegah implantasi hasil konsepsi
kedalam rahim
• Efek Samping
– Nyeri perut, spotting, infeksi, gangguan
haid
• Kontra Indikasi
• Hamil, kelainan alat kandungan bagian dalam, perdarahan vagina yang tidak diketahui,
sedang menderita infeksi alat genital (vaginitis, servisitis), tiga bulan terakhir sedang
mengalami atau sering menderita PRP atau abortus septik, penyakit trofoblas yang
ganas, diketahui menderita TBC pelvik, kanker alat genital, ukuran rongga rahim
kurang dari 5 cm
EPO. (2008). Alat Kontrasepsi Dalam Rahim atau Intra Uterine Device (IUD). Diambil pada tanggal 20 Mei 2008 dari
http://pikas.bkkbn.go.id/jabar/program_detail.php?prgid=2
KB Mantap
Definisi
• Menutup tuba falopii (mengikat dan
memotong atau memasang cincin),
sehingga sperma tidak dapat bertemu
dengan ovum
• oklusi vasa deferens sehingga alur
transportasi sperma terhambat dan
proses fertilisasi tidak terjadi
Efek Samping
• Nyeri pasca operasi
Kerugian
• Infertilitas bersifat permanen
KB: Metode Alami
• Menghitung masa subur
– Periode: (siklus menstruasi terpendek – 18) dan (siklus menstruasi terpanjang -
11)
– Menggunakan 3 – 6 bulan siklus menstruasi
KB Alamiah • Tidak dianjurkan • Tidak ada pengaruh • Suhu basal tubuh kurang
sampai siklus haid terhadap laktasi akurat jika klien sering
kembali teratur terbangun malam untuk
menyusui
KB: Usia > 35 Tahun
Metode Catatan
The
oncogenic
proteins
http://media.jaapa.com/Images/2009/
Kanker Serviks: Faktor Risiko
• Aktivitas Seksual • Faktor Lain
• Jumlah partner seksual • Kehamilan usia dini
• Partner seksual tidak • Multiparitas
disirkumsisi • Sosial ekonomi rendah
• Aktivitas seksual usia dini • Merokok
(< 16 tahun) • Imunosupresi
• Defisiensi nutrisi &
Penyakit Menular Seksual vitamin
• Human papillomavirus • Kontrasepsi oral > 5
• Herpes simplex virus tahun
• Chlamydia trachomatis • Riwayat lesi intraepitelial
• HIV skuamosa
Kanker Serviks: Tanda dan Gejala
• Perdarahan pervaginam
• Perdarahan menstruasi lebih lama dan lebih banyak dari
biasanya
• Perdarahan post menopause atau keputihan >>
• Perdarahan post koitus
• Nyeri saat berhubungan
• Keputihan (terutama berbau busuk + darah)
• Massa pada serviks, mudah berdarah
• Nyeri pada panggul, lumbosakral, gluteus, gangguan
berkemih, nyeri pada kandung kemih dan rektum
Panduan Pelayanan Klinis Kanker Serviks, Komite Penanggulangan Kanker (KPKN) 2015
Kanker Serviks: Stadium
Staging Kanker Serviks
Kanker Serviks: Diagnostik
• Diagnostik
– Pelayanan primer: anamnesis dan pemeriksaan fisik
– Pelayanan Sekunder: kuret endoserviks, sistoskopi, IVP,
foto toraks dan tulang, konisasi, amputasi serviks
– Pelayanan Tersier: Proktoskopi
Panduan Pelayanan Klinis Kanker Serviks, Komite Penanggulangan Kanker (KPKN) 2015
Kanker Serviks
Displasia Serviks
• Perubahan abnormal pada sel di permukaan
serviks, dapat terlihat dari pengamatan
mikroskopik
• Histologi
– Cervical intraepithelial neoplasia (CIN) I
(mild) a benign viral infection
– CIN II (moderate)
– CIN III (severe)
• Sitologi
– low-grade SIL (squamous intraepithelial
lesion)low-grade lesions
– high-grade SIL (HSIL) high-grade
dysplasia
Tatalaksana Lesi Prakanker
• Tatalaksana lesi pra kanker disesuaikan dengan fasilitas pelayanan kesehatan,
sesuai dengan kemampuan sumber daya manusia dan sarana prasarana yang
ada.
• Pada tingkat pelayanan primer dengan sarana dan prasarana terbatas dapat
dilakukan program skrining atau deteksi dini dengan tes IVA.
• Skrining dengan tes IVA dapat dilakukan dengan cara single visit approach atau
see and treat program, yaitu bila didapatkan temuan IVA positif maka
selanjutnya dapat dilakukan pengobatan sederhana dengan krioterapi oleh
dokter umum atau bidan yang sudah terlatih.
• Pada skrining dengan tes Pap smear, temuan hasil abnormal
direkomendasikan untuk konfirmasi diagnostik dengan pemeriksaan
kolposkopi.
• Bila diperlukan maka dilanjutkan dengan tindakan Loop Excision Electrocauter
Procedure (LEEP) atau Large Loop Excision of the Transformation Zone (LLETZ)
untuk kepentingan diagnostik maupun sekaligus terapeutik.
Deteksi Kanker Serviks: IVA
Metode Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA)
• Pemeriksaan oleh
dokter/bidan/paramedik terhadap leher
rahim yang telah diberi asam
asetat/asam cuka 3-5% secara inspekulo
dengan mata telanjang
Papsmear
Accuracy of the Papanicolaou Test in Screening for and Follow-up of Cervical Cytologic Abnormalities: A
Systematic Review
Kavita Nanda, MD, MHS; Douglas C. McCrory, MD, MHSc; Evan R. Myers, MD, MPH; Lori A. Bastian, MD, MPH; Vic
Hasselblad, PhD; Jason D. Hickey; and David B. Matchar, MD
Classification of Pap smear
Class Reagen(WHO) Ruchart Bethesda
Mod dysplasia
CIN-ll
Class 4 Seve dysplasia HSIL
CIN-lll
Carcinoma in situ
Cervical intraepithelial
CIN1 CIN2 CIN3
neoplasia
Skrining 12
bulan
Observasi
LSIL ulang test 3
bulan
(+) Kolposkopi
LSIL/HSIL
Panduan Pelayanan Klinis Kanker Serviks, Komite Penanggulangan Kanker (KPKN) 2015
PapSmear, Lesi Pra Kanker: Tatalaksana HSIL
(-) Observasi
- Observasi
NIS I DNA HPV
+ Ablasi
NIS II + Ablasi
Konisasi
Panduan Pelayanan Klinis Kanker Serviks, Komite Penanggulangan Kanker (KPKN) 2015
85. PCOS
• Etiologi
– hiperandrogenisme dan resistensi terhadap insulin
• Gejala PCOS
– Gangguan siklus haid yaitu siklus haid jarang dan tidak teratur
– Gangguan kesuburan dimana yang bersangkutan menjadi sulit
hamil (subfertile)
– Tumbuh bulu yang berlebihan dimuka, dada, perut, anggota
badan dan rambut mudah rontok (hirsutisme)
– Banyak jerawat
– kegemukan (obesitas)
– Pada USG ditemukan banyak kista
di ovarium
PCOS: Pemeriksaan
• Diagnosis USG
– Gambaran seperti roda
pedati
– 12 atau lebih folikel
terlihat jelas di satu
ovarium
– Ukuran satu atau
kedua ovarium
membesar
Manajemen PCOS
Tata laksana PCOS dilakukan secara komprehensif, meliputi:
Edukasi
Menjelaskan pentingnya perubahan gaya hidup untuk memperbaiki gangguan hormonal yang terjadi
Manajemen infertilitas
Tata laksana lini pertama pada SOPK adalah penurunan berat badan dan perubahan gaya hidup. Tindakan
selanjutnya adalah induksi ovulasi yang dapat dilakukan dengan klomifen sitrat dan atau metformin
Contoh:
Insidens hepatitis A di
Penssylvania yang terjadi
akibat sayuran yang
mengandung virus hepatitis
A yang dikonsumsi
pengunjung restoran pada
tanggal 6 November.
Continuous Common Source Epidemic
• Terjadi bila paparan terjadi pada jangka waktu yang
panjang sehingga insidens kasus baru terjadi terus
menerus berminggu-minggu atau lebih panjang.
Contoh:
Paparan air yang mengandung
bakteri terjadi terus menerus,
sehingga insidens diare terjadi
berminggu-minggu.
Intermittent Common Source Epidemic
• bila paparan terjadi pada jangka waktu yang
panjang tetapi insidens kasus baru terjadi
hilang timbul.
Contoh:
Kasus campak yang satu ke
kasus campak yang lain
berjarak 11 hari (1 masa
inkubasi).
Mixed Epidemic
• Gabungan antara common source epidemic
dan propagated epidemic.
Contoh:
Kasus shigellosis di sebuah festival
musik. Awalnya terjadi penularan
serempak saat festival berlangsung.
Sehingga beberapa hari setelah
festival, kejadian shigellosis meningkat
sangat tinggi (common source
epidemic). Namun satu minggu
kemudian, muncul lagi kasus
shigellosis karena penularan dari satu
orang ke orang lain (propagated
epidemic).
88. PENYAKIT AKIBAT KERJA vs PENYAKIT
BERHUBUNGAN DENGAN KERJA
Penyakit akibat kerja (occupational Penyakit yang berhubungan dengan
disease) pekerjaan (work related disease)
• Penyakit yang mempunyai penyebab • Penyakit yang mempunyai beberapa
yang spesifik atau asosiasi yang kuat agen penyebab, dimana faktor pada
dengan pekerjaan/ lingkungan kerja, pekerjaan memegang peranan barsama
yang pada umumnya terdiri dari satu dengan faktor risiko lainnya dalam
agen penyebab yang sudah diakui (ILO) berkembangnya penyakit yang
• Berkaitan dengan faktor penyebab mempunyai etiologi yang kompleks.
spesifik dalam pekerjaan, sepenuhnya • Penyakit dapat diperberat, dipercepat
dipastikan dan faktor tersebut dapat atau kambuh oleh pemaparan di tempat
diidentifikasi, diukur dan dikendalikan. kerja dan dapat mengurangi kapasitas
(WHO) kerja. Sifat perorangan, lingkungan, dan
• Misal : keracunan Pb, asbestosis, faktor sosial budaya umumnya
silikosis, muskoloskeletal disorder berperanan sebagai faktor resiko.
(MSDS), anthrax, tobacosis, • Misal : asma, hipertensi, TBC
pneumokoniosis
89. Kejadian Epidemiologis Penyakit
• Sporadik: kejadian penyakit tertentu di suatu
daerah secara acak dan tidak teratur.
Contohnya: kejadian pneumonia di DKI
Jakarta.
Nominal
Kategorik
Ordinal
Variabel
Interval
Numerik
Rasio
VARIABEL ORDINAL
VARIABEL INTERVAL
VARIABEL RASIO
• data yang diperoleh dengan cara
pengukuran, dimana jarak antar dua titik
• data yang diperoleh dengan cara
pada skala, sudah diketahui. Misalnya
pengukuran, dimana jarak antar dua titik
variabel suhu tubuh dalam Celcius,
pada skala, sudah diketahui.
sudah diketahui bahwa jaraknya antara
• Ada angka nol mutlak. Misalnya tinggi
0-100 derajat Celcius.
badan, berat badan.
• Tidak ada angka nol mutlak
• Bisa dilakukan operasi matematika.
• Bisa dilakukan operasi matematika.
Cara Sederhana Membedakan Variabel
Interval dan Rasio
• Prinsipnya adalah pada variabel rasio, kita dapat merasiokan 2
pengukuran dengan nilai yang sama.
Medical
Error
PREVENTABLE
- Kesalahan nakes
Pasien cedera ADVERSE MALPRAKTIK
- Dapat dicegah
- Karena berbuat (commission) EVENT
- Karena tdk berbuat (ommision)
Acceptable
Risk
Hanafiah, J., Amri amir. 2009. Etika Kedokteran dan Hukum\Kesehatan (4th ed). Jakarta: EGC.
Berbuat baik (beneficence) Tidak berbuat yang merugikan
(nonmaleficence)
• Selain menghormati martabat manusia,
dokter juga harus mengusahakan agar • Praktik Kedokteran haruslah memilih
pasien yang dirawatnya terjaga keadaan pengobatan yang paling kecil risikonya dan
kesehatannya (patient welfare). paling besar manfaatnya. Pernyataan kuno:
• Pengertian ”berbuat baik” diartikan first, do no harm, tetap berlaku dan harus
bersikap ramah atau menolong, lebih diikuti.
dari sekedar memenuhi kewajiban.
Keadilan (justice)
Menghormati martabat manusia (respect
• Perbedaan kedudukan sosial, tingkat
for person) / Autonomy ekonomi, pandangan politik, agama dan
faham kepercayaan, kebangsaan dan
• Setiap individu (pasien) harus kewarganegaraan, status perkawinan,
diperlakukan sebagai manusia yang serta perbedaan jender tidak boleh dan
tidak dapat mengubah sikap dokter
memiliki otonomi (hak untuk menentukan terhadap pasiennya.
nasib diri sendiri), • Tidak ada pertimbangan lain selain
• Setiap manusia yang otonominya kesehatan pasien yang menjadi perhatian
berkurang atau hilang perlu mendapatkan utama dokter.
perlindungan. • Prinsip dasar ini juga mengakui adanya
kepentingan masyarakat sekitar pasien
yang harus dipertimbangkan
Beneficence
Kriteria
1. Mengutamakan altruism (menolong tanpa pamrih, rela berkorban untuk
kepentingan orang lain)
2. Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia
3. Memandang pasien/keluarga sebagai sesuatu yang tak hanya menguntungkan dokter
Pathogenesis
• Direct force
– Careless while wax removal
– Skull fracture may tear TM
• Indirect force
– Increase pressure in explosion or discharged firearms
– Barotrauma
• Rapid pressure fluctuations with the inner ear
• Air travel or Scuba diving (decompression sickness)
Clinical presentations
• Otalgia Physical examination
• Bleeding • Tympanic perforation
• Fullness – Central perforation
• Hearing loss: – Marginal perforation
conductive HL or mixed • Blood crust
HL • If skull base fracture is
• Tinnitus occurred with CSF
leakage, clear fluid is
observed.
Diagnosis
• The key point is to exclude whether it
associates with trauma to ossicular chain or to
inner ear.
• The audiometry can provide useful
informations.
– CHL > 40db suspicion for ossicular discontinuity
– Hearing test reveals sensorineural HL, it means
inner ear injury
Managements
• Antibiotic to prevent infection
• Aseptic external auditory canal with alcohol (using
tampon or gauze, do not drop liquids into ear)
• Prevent super respiratory infection
• Prohibit nasal blow (valsalva)
• Prohibit ear drops
• It takes 3-4 weeks to heal the ear drum
• If 3 months later, perforation still exists,
myringoplasty is indicated.
Diagnosis Banding
Barotrauma Trauma Akustik
• Ear pain or damage to the • hearing loss due to single
tympanic membrane exposure to intense sound
caused by rapid changes in stimuli (generally exceed
pressure 140 dB)
• Due to failure of pressure • mechanical tearing of
balancing mechanism intracochleal membranes
between middle ear and and physical disruption of
outer ear cell walls with mixing of
• NOT blast related perilymph and endolymph
• Salah satu penyebab OME • Not associated with
akut tympanic membrane
rupture
97. Vertigo
http://www.aafp.org/afp/2010/0815/p361.html
Penyakit Meniere
• Penyakit Meniere adalah suatu kelainan pada
telinga bagian dalam yang mengakibatkan
gangguan pada pendengaran dan
keseimbangan.
• Ditandai dengan adanya episode vertigo dan
tinnitus dan penurunan pendengaran secara
progresif, bisaanya unilateral.
• Disebabkan oleh dilatasi sistem limfatik yang
berakibat terjadi drainase endolimfa.
Meniere Disease
• Gejala & tanda: Vertigo episodik (beberapa jam), Tuli sensorineural yang
berfluktuasi, tinnitus telinga terasa penuh
Diagnosis
ANAMNESIS PEMERIKSAAN FISIK PEMERIKSAAN PENUNJANG
vertigo posisi
neuritis
paroksisimal jinak
vestibuler
( VPPJ ) / BPPV
Rekomendasi Terapi
• Diet rendah garam < 1500 gr/hari
• Diuretik
– Menurunkan tekanan hidrostatik di telinga dalam
– Membantu mencegah terjadinya gejala namun tidak memiliki efek setelah gejalanya muncul
– Contoh: HCT, asetazolamide
• Histamin agonis
– Contoh: Betahistin
– Menurut penelitian, penggunaan betahistin lebih unggul daripada flunarizine
• Vestibulocochlear supresant agent
– AntihistaminMeclizine
– Obat penenanglorazepam, alprazolam
– Calsium channel blockerFlunarizine
– Hanya dipakai bila dibutuhkan, karena pemakaian jangka lama dapat mengurangi kemampuan
kompensasi vestibular sehingga akan menyebabkan gangguan keseimbangan
• Steroid untuk penyebab autoimun atau alergi
• VasodilatorNiasin
– Memperbaiki alian darah dan pertukaran cairan
http://www.aafp.org/afp/2012/1201/p1055.html
99. Rhinitis alergi
• Keluhan: serangan bersin berulang, rinore, hidung
tersumbat, mata lakrimasi.
• Pemeriksaan fisik:
– Pada rhinoskopi anterior: mukosa edema, basah,
pucat/livid
– Allergic shiner: bayangan gelap dibawah mata akibat stasis
vena
– Allergic salute: anak menggosok-gosok hidung dengan
punggung tangan karena gatal
– Allergic crease: penggosokan hidung berulang akan
menyebabkan timbulnya garis di dorsum nasi sepertiga
bawah.
• Skin Prick test for diagnosis of Allergic
Rhinitis
• Sensitivity 85%
• Specificity 77%
Rinitis Alergi
100. ADENOID
o Jaringan limfoid di dinding nasofaring
o Letak di dinding posterior, tidak berkapsul
o Bagian dari cincin Waldeyer
o Pada anak sampai pubertas
o Umur 12 tahun mengecil
o Umur 17 – 18 tahun menghilang
Fungsi:
• Sistem pertahanan tubuh pertama (lokal) sal. nafas
• Memproduksi limfosit
• Membentuk antibodi spesifik (Ig)
ADENOIDITIS KRONIS
Etiologi : Akibatnya:
– rinolalia oklusa ( bindeng ) krn
– Post nasal drip sekret koane tertutup
kavum nasi jatuh ke belakang – mulut terbuka utk bernapas
muka terkesan bodoh ( adenoid
– Sekret berasal dari : sinus face )
maksilaris & ethmoid
– aproseksia nasalisSulit
berkonsentrasi
– Sefalgi
Gejala klinis : – pilek dan batuk
– nafsu makan menurun
– Disebabkan oleh hipertrofi
adenoid buntu hidung – oklusio tuba pendengaran
menurun
– tidur ngorok
745
Pemeriksaan
• Rinoskopi anterior : Adenoid membesar
• Phenomena palatum mole (-)
– Pergerakan palatum molle pada saat pasien diminta untuk
mengucapkan huruf “ i “
– Akan negatif bila
• terdapat massa di dalam rongga nasofaring yang menghalangi pergerakan palatum
molle
• kelumpuhan otot-otot levator dan tensor velli palatini
747
Indikasi Adenoidektomi
• Pembesaran menyebabkan obstruksi jalan nafas hidung yang
dapat menyebabkan obstruksi pernafasan, gejala obstructive
sleep apnea, dan pernafasan lewat mulut kronik (dapat
menyebabkan abnormalitas palatum dan gigi-geligi).
http://emedicine.medscape.com/article/872216-overview#a10