Anda di halaman 1dari 748

DR. WIDYA | DR. YOLINA | DR.

ORYZA
DR. REZA | DR. RESTHIE | DR. CEMARA | DR. RYNALDO

OFFICE ADDRESS:
Jl padang no 5, manggarai, setiabudi, jakarta selatan Medan :
(belakang pasaraya manggarai) Jl. Setiabudi no. 65 G, medan
phone number : 021 8317064 Phone number : 061 8229229
pin BB D3506D3E / 5F35C3C2 Pin BB : 24BF7CD2
WA 081380385694 / 081314412212 WA 082122727364
I L MU
P E N YA K I T
DALAM
1. Syok
• Syok adalah suatu kondisi hipoksia sel dan jaringan akibat
penurunan pengantaran oksigen (oxygen delivery)
dan/atau peningkatan konsumsi oksigen atau utilisasi
oksigen kurang adekuat.
• Terjadi saat adanya kegagalan sirkulasi yang bermanifestasi
sebagai hipotensi (penurunan perfusi jaringan).
• Syok biasanya reversible namun harus dapat dikenali dan
ditatalaksana secepatnya untuk mencegah progresifitas
menjadi disfungsi organ ireversibel.
• Terdapat 4 tipe syok yaitu distributive, kardiogenik,
hipovolemik, dan obstruktif.
1. Syok

Harrison Principles of Internal Medicine


Syok hipovolemik
Tatalaksana Syok Hipovolemik
• Tanda dan gejala syok: pucat/dingin/peningkatan
denyut nadi, penurunan tekanan darah.
• Non-hemorragik: 20 mL/kg normal saline atau
ringer laktat bolus, dapat diulang jika diperlukan.
Pertimbangkan koloid setelah 3 kali bolus NS/RL.
• Hemorragik: Kontrol perdarahan, 20 mL/kg NS/RL
bolus diulang 2-3 kali, dan transfuse PRC jika
diindikasikan.
2. Hipotiroid

• Deficiency of thyroid
hormone.
• Autoimmune thyroid
disease (Hashimoto
disease) is the most
common cause of
hypothyroidism.
2. Penyakit Endokrin
2. Penyakit
Endokrin
Limfosit tersensitisasi oleh antigen tiroid

Sekresi autoantibodi TgAb, TPOAb, TSH-


Rab[block/inhibisi]
Infiltrasi limfosit  folikel limfoid & germinal center

Destruksi parenkim tiroid  tiroksin 

TSH   hipertrofi parenkim, destruksi tetap ada 


struma/tanpa struma  end stage: atrofi

Eutiroid  hipotiroid subklinis  hipotiroid


2. Gambaran Histopatologi Tiroiditis
Hashimoto
• Extensive lymphocytic infiltrate
with germinal center formation
• Lymphocytes are predominantly
T cells and plasma cells
(polyclonal)
• Atrophic follicles with abundant
Hürthle cells / oncocytes but no
/ reduced colloid
• Fibrosis may be increased but
does not extend beyond capsule
• May see giant cells
• Epithelium may have enlarged or
overlapping nuclei with partial
nuclear clearing, large squamous
nests, hyperplastic follicles,
ductal metaplasia

(Am J Surg Pathol 2006;30:774)


Grave’s disease
3. Pneumonia
• Diagnosis pneumonia komunitas:
Infiltrat baru/infiltrat progresif + ≥2 gejala:
1. Batuk progresif
2. Perubahan karakter dahak/purulen
3. Suhu aksila ≥38 oC/riw. Demam
4. Fisis: tanda konsolidasi, napas bronkial, ronkhi
5. Lab: Leukositosis ≥10.000/leukopenia ≤4.500

• Gambaran radiologis:
– Infiltrat sampai konsolidasi dengan “air bronchogram”, penyebaran
bronkogenik & interstisial serta gambaran kaviti.
– Air bronchogram: gambaran lusen pada bronkiolus yang tampak
karena alveoli di sekitarnya menjadi opak akibat inflamasi.

Pneumonia komuniti, pedoman diagnosis & penatalaksanaan di Indoneisa. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003.
Pneumonia
3. Pneumonia
• Community acquired pneumonia:
– Pneumonia yang didapat di masyarakat

• Hospital acquired pneumonia (HAP)


– Pneumonia yang terjadi setelah pasien 48 jam dirawat di rumah sakit dan
disingkirkan semua infeksi yang terjadi sebelum masuk rumah sakit.

• Ventilator associated pneumonia (VAP)


– Pneumonia yang terjadi lebih dari 48 jam setelah pemasangan intubasi
endotrakeal.

• Healthcare associated pneumonia (HCAP), meliputi pasien:


– Pernah dirawat di RS selama 2 hari/lebih dalam waktu 90 hari sebelum awitan
pneumonia,
– Tinggal di panti atau fasilitas rawat jangka panjang ,
– Mendapat antibiotik IV, kemoterapi, atau perawatan luka dalam waktu 30 hari
dari sebelum awitan pneumonia,
– Pasien hemodialisis.
3. Lobar Pneumonia
• Konsolidasi pada
seluruh lobus.
• 95% disebabkan
oleh Streptococcus
pneumonia.
• Terdapat 4 stadium.
4. Hidropneumothorax
• Hydropneumothorax is a term
given to the concurrent
presence of a pneumothorax as
well as a hydrothorax (i.e. air
and fluid) in the pleural space.
• It may arise in various situations
which include
– thoracentesis
– thoracic trauma
– bronchopleural fistula
– oesophagopleural fistula
• The treatment will be
determined according to the
etiology found.
5. Tumor mediastinum
• Tumor mediastinum adalah
tumor yang terdapat di
dalam mediastinum yaitu
rongga antara paru kanan
dan kiri.
• Tumor mediastinum dapat
dipikirkan pada keadaan
klinis lain, misalnya:
– Miastenia gravis, mungkin
menandakan timoma
– Limfadenopati, mungkin
menandakan limfoma
5. Tumor Mediastinum
• Gejala dan tanda tergantung organ yang terlibat
– Batuk, sesak, atau stridor muncul bila terjadi
penekanan atau invasi pada trakea dan/atau bronkus
utama
– Disfagia muncul bila terjadi penekanan atau invasi ke
esofagus
– Sindrom vena kava superior lebih sering terjadi pada
tumor mediastinum ganas
– Suara serak dan batuk kering muncul bila nervis
laryngeal terlibat
– Nyeri dinding dada muncul pada tumor neurogenic
atau penekanan system saraf
Sindrom Vena Kava Superior
• Superior vena cava syndrome (SVCS) is
obstruction of blood flow through the
superior vena cava (SVC).
• It is a medical emergency
• Often manifests in patients with a malignant
disease process within the thorax.
• More than 80% of cases of SVCS are caused by
malignant mediastinal tumors.
Superior Vena Cava Syndrome
SVCS Clinical Presentation
• Dyspnea
• Facial swelling
• Cyanosis
• Plethora(Flushing)
• Mental changes
• Head fullness
• Arm swelling
• Chest pain
• Dysphagia
• Orthopnea
• Hoarseness
Sindrom Vena Kava Superior
6. HEMOSTASIS
Hemostasis („hemo”=blood;; ta=„remain”) is the
stoppage of bleeding, which is vitally important when
blood vessels are damaged.
Following an injury to blood vessels several actions
may help prevent blood loss, including:

Formation of a clot
Hemostasis
1. Fase vaskular: vasokonstriksi
2. Fase platelet: agregasi dan adhesi
trombosit
3. Fase koagulasi: ada jalur
ekstrinsik, jalur intrinsik dan
bersatu di common
pathway
4. Fase retraksi
5. Fase destruksi / fibrinolisis

http://www.bangkokhealth.com/index.php/health/health-
general/first-aid/451-ขบวนการห้ามเลือด-hemostasis.html
Coagulation factors

Components of coagulation factor:


~ fibrinogen factor I
~ prothrombin factor II
~ tissue factor (thromboplastin) factor III
~ Ca-ion (Ca++) factor IV
~ pro-accelerin (labile factor) factor V
~ pro-convertin (stable factor) factor VII
~ anti-hemophilic factor factor VIII
~ Christmas-factor factor IX
~ Stuart-Prower factor factor X
~ plasma tromboplastin antecedent factor XI
~ Hageman factor factor XII
~ fibrin stabilizing factor(Laki-Roland) factor XIII

Kuliah Hemostasis FKUI.


Bleeding Time
• It indicates how well platelets interact with blood vessel
walls to form blood clots.
• BT is the interval between the moment when bleeding
starts and the moment when bleeding stops.
• Used most often to detect qualitative defects of platelets.
• BT is prolonged in purpuras, but normal in coagulation
disorders like haemophilia.
• Purpuras can be due to
– Platelet defects - Thrombocytopenic purpura (ITP & TTP)
– Vascular defects - Senile purpura, Henoch Schonlein purpura
• Platelets are important in preventing small vessel bleeding
by causing vasoconstriction and platelet plug formation.

http://www.indianmedicinalplants.info/articles/BLEEDING-TIME.html
Clotting Time
• CT the interval between the moment when bleeding
starts and the moment when the fibrin thread is first
seen.
• BT depends on the integrity of platelets and vessel
walls, whereas CT depends on the availability of
coagulation factors.
• In coagulation disorders like haemophilia, CT is
prolonged but BT remains normal.
• CT is also prolonged in conditions like vitamin K
deficiency, liver diseases, disseminated intravascular
coagulation, overdosage of anticoagulants etc.

http://www.indianmedicinalplants.info/articles/BLEEDING-TIME.html
PT & APTT
• activated partial thromboplastin time (aPTT)
 untuk mengevaluasi jalur intrinsik kaskade
koagulasi
• prothrombin time (PT)  untuk mengevaluasi
jalur ekstrinsik kaskade koagulasi
http://practical-haemostasis.com/Screening%20Tests/aptt.html
Bleeding

Mild Severe

intervention

stopped
continues

prolonged delayed

Platelet disorder Coagulation disorder


Kuliah Hemostasis FKUI.
Spontaneous bleeding
(without injury)

superficial, multiple deep, solitary


petechiae, hematoma,
purpura, hemarthrosis
ecchymoses

platelet disorder coagulation disorder


Kuliah Hemostasis FKUI.
Simple schematic diagram to diagnose hemostasic disorders

Kuliah Hemostasis FKUI.


Kelainan Pembekuan Darah

http://periobasics.com/wp-content/uploads/2013/01/Evaluation-of-bleeding-disorders.jpg
Bleeding Disorder
6. Hemofilia
• Hemophilia is an inherited
bleeding disorder in which
the blood does not clot
properly.
• Sign and symptom
– Unexplained and excessive
bleeding from cuts or
injuries, or after surgery or
dental work
– Many large or deep bruises
– Unusual bleeding after
vaccinations
– Pain, swelling or tightness in
the joints
– Blood in urine or stool
– Nosebleeds without a known
cause
– In infants, unexplained
irritability
6. Hemofilia
6. Hemofilia
• Hemophilia A, the most common type, is
caused by insufficient clotting factor VIII.
• Hemophilia B, the second most common type,
is caused by insufficient clotting factor IX.
• Hemophilia C, in which signs and symptoms
are often mild, is caused by insufficient
clotting factor XI.
7. Penyakit katup Jantung
7. Penyakit Katup Jantung

Lilly LS. Pathophysiology of heart disease.


7. Penyakit katup Jantung

Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2011.
7. Penyakit katup Jantung

Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2011.
Mitral Regurgitation
Algoritme Tatalaksana MR AHA 2017
8. Demam rematik
• Penyakit sistemik yang terjadi setelah faringitis akibat
GABHS (Streptococcus pyogenes)
• Usia rerata penderita: 10 tahun
• Komplikasi: penyakit jantung reumatik
• Demam rematik terjadi pada sedikit kasus faringitis
GABHS setelah 1-5 minggu
• Pengobatan:
– Pencegahan dalam kasus faringitis GABHS: penisilin/
ampisilin/ amoksisilin/ eritromisin/ sefalosporin generasi I
– Dalam kasus demam rematik:
• Antibiotik: penisilin/eritromisin
• Antiinflamasi: aspirin/kortikosteroid
• Untuk kasus korea: fenobarbital/haloperidol/klorpromazin
Chin TK. Pediatric rheumatic fever. http://emedicine.medscape.com/article/1007946-overview
Behrman RE. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011.
8. Penyakit Jantung Rematik
• Sekuelae demam
reumatik akut yang
tidak di-tx adekuat
• Manifestasi 10-30 th
pasca DRA
• Penyakit jantung
katup
– MS: fusi komisura
 fish mouth
– AI + MS
– AS + AI + MS
Source: Valvular Heart Disease. Lilly LS. Pathophysiology of Heart Disease. 4th ed. 2007.
Sabatine MS. Pocket Medicine. 4th ed. 2011.
Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan laboratorium  menentukan ada tidaknya reuma
aktif/reaktivasi.
• EKG
– Pada insufisiensi mitral yang ringan: Hanya terlihat gambaran P mitral
dengan aksis dan kompleks QRS yang masih normal. Pada tahap lanjut
terlihat aksis yang bergeser ke kiri dan disertai hipertrofi ventrikel kiri.

• Foto toraks
– Kasus ringan tanpa gangguan hemodinamik yang nyata, besar jantung
biasanya normal.
– Keadaan lebih berat: Terlihat pembesaran atrium kiri dan ventrikel kiri,
serta mungkin tanda-tanda bendungan paru. Kadang-kadang terlihat
perkapuran pada anulus mitral.

• Fonokardiografi: Mencatat konfirmasi bising dan mencatat adanya bunyi


jantung ketiga pada insufisiensi mitral sedang sampai berat.

• Ekokardiografi
– Mengevaluasi gerakan katup, ketebalan, serta adanya perkapuran pada
mitral.
– Ekokardiografi Doppler dapat menilai derajat regurgitasi.
9. Proctitis

• Proctitis is an
inflammation of the
lining of the
rectum.
• Proctitis involves an
inflammatory
change of the
rectum (within 15
cm of the dentate
line).
9. Proctitis
Causes
• It may be a side effect of medical treatments like
radiation therapy or antibiotics.
• Proctitis caused by sexually transmitted diseases
(STDs) is transmitted through receptive anal
intercourse and is most commonly due to
gonorrhea and chlamydia.
• Autoimmune disease of the colon, such as Crohn
disease and ulcerative colitis, celiac disease,
chemicals, rectal instrumentation, and trauma to
the anorectal area.
9. Proctitis

Inflammatory bowel disease

• eg. Ulcerative colitis, Crohn’s disease

Infectious causes

• Clostridium dificcile, Salmonella species, gonorrhea

Non-infectious causes

• eg. diversion, ischemia, and radiation


Diagnosis Banding
Diagnosis Karakteristik
Crohn Diare tidak berdarah; nyeri perut tumpul pada
disease kuadran kanan bawah, dipicu atau diperparah
seteah makan, penurunan BB
Colitis Diare dengan atau tanpa darah di feses. Bila
ulcerative inflamasi mengenai rektum, darah terlihat
melapisi feses, tnesmus, urgensi, nyeri rektal, BAB
lendir

Fauci et al. Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2012.
Kolitis ulseratif Crohn’s disease
Inflamasi Mukosa Transmural
Luas area Rectum  proksimal Mulut – anus
Continuous Skip lesion
50% proctosigmoiditis, 30%
left-sided colitis, 20%
pancolitis
Patologi Mukosa rapuh Mukosa tidak rapuh
Ulkus difus Ulkus aphthous
Pseudopolip Cobblestone, fisura
Barium enema Tepi kabur (granularitas Lesi tajam, cobblestone,
mukosa halus) ulkus dan fisura panjang,
Haustra kolon hilang “lead “string sign”
pipe”
Mikroskopik Inflamasi superfisial Inflamasi transmural
PMN Limfosit
Abses kripti Granuloma non-kaseosa
Fibrosis, ulkus, fisura
IBD
• Manifestasi sistemik
IBD:
• Eritema nodosum
• Artritis perifer,
asimetrik,
poliartikular, sendi
besar, ankylosing
spondylitis
• Uveitis/iritis,
episkleritis
• Steatosis hepatik
• Nefrolitiasis
• Low bone mass
• Tromboembolik
Proctitis Treatment
IBD Infectious proctitis Non-infectious

5-ASA topical Salmonella,Yersinia, Self-limited Supportive medical


and oral Campylobacter management
(hydration,
Infliximab is Shigella Usually self-limited, antidiarrhea, steroid
effective in antibiotic include or 5-ASA)
refractory cotrimoxazole (preffered),
ulcerative ampicillin, tetracycline,
proctitis ciprofloxacin can be given

E. Histolytica Metronidazole and


iodoquinol

STD GO: ceftriaxone or cefixime,


Chlamydia: doxycycline

C. difficile Metronidazole or
vancomycin
http://emedicine.medscape.com/article/192910-treatment#d9
10. HIV/AIDS
10. HIV/AIDS
10. Tuberkulosis

Gejala respiratori: batuk ≥2 minggu, batuk darah,


Gejala Klinis sesak napas, nyeri dada. Gejala sistemik: demam,
malaise, keringat malam, turun berat badan

Kelainan paru di lobus superior (apeks & segmen posterior),


PF apeks lobus inferior: suara napas bronkial, amforik, suara
napas melemah, ronki basah, tanda penarikan paru,
diafragma, dan mediastinum

Lesi aktif: Bayangan berawan/nodular di apeks & posterior


Roentgen lobus superior, segmen superior lobus inferior, Kavitas,
Bayangan bercak milier, efusi pleura. Lesi inaktif: fibrotik,
kalsifikasi, schwarte/penebalan pleura.

Tuberkulosis: pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. PDPI: 2006.


Alur Diagnosis TBDan TBResistan Obat Di Indonesia

Terduga TB

Pasien baru, tidak ada riwayat pengobatan TB, tidak ada riwayat kontak erat Pasien dengan riwayat pengobatan TB, pasien dengan riwayat
dengan pasien TB RO, pasien dengan HIV (-) atau tidak diketahui status HIV nya kontak erat dengan pasien TB RO, pasien dengan HIV (+)

Pemeriksaan Klinis dan Pemeriksaan bakteriologis dengan Mikroskop atau Tes Cepat Molekuler (TCM)

Tidak memiliki akses untuk TCM TB Memiliki akses untuk TCM TB

Pemeriksaan Mikroskopis BTA Pemeriksaan TCM TB

MTB Pos, Rif MTB Pos, Rif MTB Pos, Rif MTB Neg
(- -) (+ +) Sensitive Indeterminate Resistance
(+ -)
Tidak bisa
dirujuk
Ulangi Pemeriksaan
TB RRtambahan pada semuaFoto pasien TB
Toraks
TB Terkonfirmasi pemeriksaan yang terkonfirmasi baik secara bakteriologis
(Mengikuti alur
Bakteriologis TCM yangdan
sama
Foto Terapi maupun klinis adalah pemeriksaan HIV
dengan alur
Toraks Antibiotika gula darah. Pemeriksaan lain dilakukan sesuai
pada hasil
Non OAT indikasi misalnya fungsi hati, fungsi pemeriksaan
ginjal, dll)
Pengobatan Mulai Pengobatan TB RO; Lakukan
mikrokopis BTA
pemeriksaan Biakan dan Uji Kepekaan
MTB Pos, Rif MTB Pos, Rif MTB Pos, Rif MTB Neg
(- -) (+ +) Sensitive Indeterminate Resistance
(+ -)
Tidak bisa
dirujuk
Ulangi Foto Toraks
TB RR
TB Terkonfirmasi pemeriksaan (Mengikuti alur
Bakteriologis TCM yang sama
Foto Terapi
dengan alur
Toraks Antibiotika
pada hasil
Non OAT
Mulai Pengobatan TB RO; Lakukan pemeriksaan
Pengobatan
mikrokopis BTA
pemeriksaan Biakan dan Uji Kepekaan
TB Lini 1 negatif (- -) )
OAT Lini 1 dan Lini 2
Gambaran Tidak Mendukung TB;
Mendukung Bukan TB; Cari
TB kemungkinan penyebab Ada Tidak Ada
penyakit lain Perbaikan Perbaikan TB RR; TB Pre TB XDR
Klinis Klinis, ada
TB MDR XDR
faktor risiko
TB TB, dan atas
Terkonfirmasi Bukan TB; Cari pertimbangan
Klinis Lanjutkan Pengobatan
kemungkinan dokter Pengobatan TB RO
TB RO
penyebab dengan Paduan Baru
penyakit lain TB
Terkonfirmasi
Klinis

Pemeriksaan tambahan pada semua pasien TB


yang terkonfirmasi baik secara bakteriologis
maupun klinis adalah pemeriksaan HIV dan
Pengobatan
gula darah. Pemeriksaan lain dilakukan sesuai
TB Lini 1 indikasi misalnya fungsi hati, fungsi ginjal, dll)
Interaksi TB-HIV

• TB mempercepat perjalanan infeksi HIV


• Pasien dgn koinfeksi TB-HIV mempunyai viral
load sekitar 1 log lebih besar daripada pasien
tanpa TB
• Angka mortalitas pada ko-infeksi TB-HIV k.l. 4
x lebih besar daripada pasien dengan hanya
TB sendiri
Interaksi TB-HIV
 HIV merupakan faktor risiko utama
menyebabkan TB aktif
 Jumlah progresi menjadi TB aktif:
 > 40 % pada pasien dengan HIV
 5 % pada pasien tanpa HIV
 Risiko reaktifasi infeksi TB:
 2.5-15 % setiap tahun pada pasien dgn HIV
 < 0.1 % setiap tahun pada pasien tanpa HIV
TB increased HIV viral replication
Patogenesis ko-infeksi TB HIV
M.
tuberculosisis
Relative risk for TB:
HIV neg. = < 10% per lifetime
First HIV pos. ~ 3-7 % per year Re-infection
Infection (exogenous)

Primary
TB
HIV positive Latent
TB
Reactivation
(endogenous)

Progressive Post-primary TB
Primary TB
Diagnosis TB pada orang terinfeksi HIV
• Gejala klinis tidak berbeda dengan pada non HIV
selama immunitas seluler (CD4) memadai.
– Gejala respiratorik (batuk, sesak)
– Gejala sistemik (demam, malaise, BB↓)
• Pada stadium HIV lanjut, sering dijumpai TB ekstraparu
(pleuritis, limfadenopati, meningitis, TB milier)
• Lebih sulit karena:
– Hasil BTA sputum sering negatif
– Gambaran radiologi tidak khas
– Lebih sering TB ekstrapulmonal
– Mirip dengan infeksi oportunistik paru lainnya
– Uji mantoux umumnya negatif
Gambaran Radiologis
• Radiologis dapat tampak normal 7-14% pasien
HIV
• Kelainan radiologis tergantung derajat
imunosupresi
• Fase Awal HIV
– mirip TB pada non HIV  infiltrat lobus atas dengan
atau tanpa kavitas.
• Fase lanjut HIV
– TB ekstra paru, limfadenopati intra thoracic/
mediastinal, infiltrat di lobus bawah dan TB milier
Limfadenopati hilar
Manifestasi Klinis TB pada HIV

Dini (CD4 > 200) Lanjut (CD4< 200)

• Klinis Tipikal Atipikal


• PPD Biasanya (+) Biasanya (-)
• Foto dada Tipikal Atipikal
• Gamb Paru Lobus Atas Lob. bawah/tengah
• TB ekstra paru Jarang Sering/banyak
• Mikobakteremi Tidak ada Ada
• Adenopati hilus/ Tidak ada Ada
mediastinum
• Efusi pleura Jarang Sering
11. HIV

Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2011.


Pemeriksaan HIV Pedoman 2011
• Ketiga tes tersebut dapat
menggunakan reagen tes cepat atau
dengan ELISA.
• Untuk pemeriksaan pertama (A1)
harus digunakan tes dengan
sensitifitas yang tinggi (>99%),
• Pemeriksaan selanjutnya (A2 dan
A3) menggunakan tes dengan
spesifisitas tinggi (>99%).
CD4 and CD8
• There are two main types of T-cells.
– CD4 cells, also called T4 cells, are “helper” cells
• They lead the attack against infections.
– CD8 cells, (T8 cells), are “suppressor” cells that complete the
immune response
• CD8+ cells can also be “killer” cells that kill cancer cells and other
cells that are infected by a virus.
• Normal CD4 range for an HIV negative person is
between 500 and 1600.
• A normal CD8 range is from 150 to 1000
– This test is not really used so much for monitoring HIV.
• CD4/CD8 ratio normal range is between 1 and 2.
– Can evaluate HIV infection
– In study in Zimbabwe, patient with HIV-positive, 99.6% have
CD4/CD8 ratio <1
CD4 and CD8
Monitoring HIV
12. Hepatitis
• Incubation periods for hepatitis A range from 15–45 days (mean, 4 weeks), for
hepatitis B and D from 30–180 days (mean, 8–12 weeks), for hepatitis C from 15–
160 days (mean, 7 weeks), and for hepatitis E from 14–60 days (mean, 5–6 weeks).

• The prodromal symptoms


– Constitutional symptoms of anorexia, nausea and vomiting, fatigue, malaise, arthralgias,
myalgias, headache, photophobia, pharyngitis, cough, and coryza may precede the onset of
jaundice by 1–2 weeks.
– Dark urine and clay-colored stools may be noticed by the patient from 1–5 days before the
onset of clinical jaundice.

• The clinical jaundice


– The constitutional prodromal symptoms usually diminish.
– The liver becomes enlarged and tender and may be associated with right upper quadrant pain
and discomfort. Spleen may enlarge.

• During the recovery phase, constitutional symptoms disappear, but usually some
liver enlargement and abnormalities in liver biochemical tests are still evident.
12. Hepatitis
12. Hepatitis A
• Hepatitis A IgM
antibodies are
usually detectable 3
to 4 weeks after an
initial exposure and
return to normal after
about 8 weeks.
• Hepatitis A IgG
antibodies may begin
to develop 2 weeks
after the IgM
antibodies increase to
a high level.
13. Pellagra/Vitamin B3
Deficiency
• Pellagra is a systemic nutritional wasting disease
caused by a deficiency of vitamin B3 (niacin), an
essential component of several coenzymes.
• Poverty and dietary consumption of corn were the
most frequently observed risk factors.
• Diets based on unfortified maize (corn) are
pellagragenic for the following two reasons
• (1) These diets are low in tryptophan, the amino acid
precursor of niacin.
• (2) any endogenous niacin in untreated corn is bound in
a nonbioavailable form.

http://emedicine.medscape.com/article/985427-overview
13. Pellagra/Vitamin B3
Deficiency
• 4D
• Diarrhea
• Dementia
• Dermatitis
• Death

• Prevented by eating
red meat, enriched and
whole-grain cereals.
13. Pellagra/Vitamin B3
Deficiency
• Treatment
• Nicotinamide or niacin orally is usually effective.
• L-tryptophan (L-trp) is effective in preventing pellagra in
rat model, but its safety for this use in humans is yet to
be established.
• Diet
• Diet high in protein and adequate in calories.
• The addition of meats, milk, peanuts, green leafy
vegetables, whole or enriched grains, and brewers' dry
yeast can enhance the niacin intake.

http://emedicine.medscape.com/article/985427-treatment#d8
Defisiensi Vitamin B
Beriberi - a disease whose symptoms include weight loss,
Vitamin B1 (Thiamine) body weakness and pain, brain damage, irregular heart rate,
heart failure, and death if left untreated
Causes distinctive bright pink tongues, although other
Vitamin B2 (Riboflavin) symptoms are cracked lips, throat swelling, bloodshot eyes,
and low red blood cell count
Pellagra - symptoms included diarrhea, dermatitis, dementia,
Vitamin B3 (Niacin)
and finally death (4D)
Vitamin B5
Acne and Chronic paresthesia
(Pantothenic Acid)
Microcytic anemia, depression, dermatitis, high blood
Vitamin B6
pressure (hypertension), water retention, and elevated levels
(Pyridoxine)
of homocysteine
Causes rashes, hair loss, anaemia, and mental conditions
Vitamin B7 (Biotin)
including hallucinations, drowsiness, and depression
Causes gradual deterioration of the spinal cord and very
Vitamin B12
gradual brain deterioration, resulting in sensory or motor
(Cobalamin)
deficiencies
14. DKA and HHS

Diabetic Ketoacidosis (DKA) Hyperglycemic Hyperosmolar State (HHS)

Plasma glucose >250 mg/dL Plasma glucose >600 mg/dL

Arterial pH <7.3 Arterial pH >7.3

Bicarbonate <15 mEq/L Bicarbonate >15 mEq/L

Moderate ketonuria or ketonemia Minimal ketonuria and ketonemia

Anion gap >12 mEq/L Serum osmolality >320 mosm/L

88
14. Characteristics of DKA and HHS

Diabetic Ketoacidosis (DKA) Hyperglycemic Hyperosmolar State (HHS)

Absolute (or near-absolute) insulin Severe relative insulin deficiency, resulting


deficiency, resulting in in
• Severe hyperglycemia • Profound hyperglycemia and
• Ketone body production hyperosmolality (from urinary free
• Systemic acidosis water losses)
• No significant ketone production or
acidosis
Develops over hours to 1-2 days Develops over days to weeks
Most common in type 1 diabetes, but Typically presents in type 2 or previously
increasingly seen in type 2 diabetes unrecognized diabetes
Higher mortality rate

89
14. Diabetic Ketoacidosis:
Pathophysiology
Unchecked gluconeogenesis  Hyperglycemia

Osmotic diuresis  Dehydration

Unchecked ketogenesis  Ketosis

Dissociation of ketone bodies into Anion-gap metabolic



hydrogen ion and anions acidosis

Often a precipitating event is identified


(infection, lack of insulin administration)

90
Pathogenesis of Hyperglycemic Crises
DKA HHS

Hyperglycemia Dehydration Lipolysis-


osmotic diuresis
Increased FFA

Increased
glucose
Increased
production
ketogenesis
Insulin Counterregulatory
Deficiency Hormones

Decreased
glucose Metabolic
uptake acidosis
Electrolyte Hypertonicity
abnormalities

Umpierrez G, Korytkowski M. Nat Rev Endocrinol. 2016;12:222-232.


Insulin Deficiency

Hyperglycemia Lipolysis

Hyper-
osmolality
Glycosuria FFAs

Δ MS Ketones
Dehydration
Acidosis
Electrolyte
Renal Failure Losses

Shock CV
Collapse 92
Hyperosmolar Hyperglycemic State:
Pathophysiology
Unchecked gluconeogenesis  Hyperglycemia

Osmotic diuresis  Dehydration

• Presents commonly with renal failure


• Insufficient insulin for prevention of hyperglycemia but
sufficient insulin for suppression of lipolysis and ketogenesis
• Absence of significant acidosis
• Often identifiable precipitating event (infection, MI)

93
Diabetic Hyperglycemic Crises

Diabetic Ketoacidosis Hyperglycemic Hyperosmolar State


(DKA) (HHS)

Younger, type 1 diabetes Older, type 2 diabetes

No hyperosmolality Hyperosmolality

Volume depletion Volume depletion

Electrolyte disturbances Electrolyte disturbances

Acidosis No acidosis

94
ADA Diagnostic Criteria for
DKA and HHS
DKA
Parameter Mild Moderate Severe HHS
Plasma glucose, mg/dL >250 >250 >250 >600
Arterial pH 7.25-7.3 7.0-7.24 <7.0 >7.30
Serum bicarbonate, mmol/L 15-18 10 to <15 <10 >15
Serum ketones† Positive Positive Positive Small
Urine ketones† Positive Positive Positive Small
Effective serum osmolality,*
Variable Variable Variable >320
mOsm/kg
Alteration in sensoria or mental
Alert Alert/drowsy Stupor/coma Stupor/coma
obtundation
*Calculation: 2[measured Na+ (mEq/L)] + glucose (mg/dL)/18.
† Nitroprusside reaction method.

ADA. Diabetes Care. 2003;26:S109-S117.


95
Formulas for Estimating
Serum Osmolality and Effective Osmolality

Osmolality Effective Osmolality


2 x [Na+ mEq/L] 2 x [Na+ mEq/L]

+ [glucose mg/dL] / 18 + [glucose mg/dL] / 18

+ [BUN mg/dL] / 2.8

= Sosm (mosm/Kg H2O) = Sosm (mosm/Kg H2O)

AACE Inpatients Glycemic Control Resource Center96


15. Leptospirosis
Infection through the
mucosa or wounded skin

Proliferate in the
bloodstream or
extracellularly within organ

Disseminate
hematogenously to all
organs

Multiplication can cause:


• Hepatitis, jaundice, & hemorrhage in the liver
• Uremia & bacteriuria in the kidney
• Aseptic meningitis in CSF & conjunctival or scleral hemorrhage in the aqueous humor
• Muscle tenderness in the muscles Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed.
15. Leptospirosis
• Anicteric leptospirosis (90%), • Icteric leptospirosis or Weil's
follows a biphasic course: disease (10%), monophasic
– Initial phase (4–7 days): course:
• sudden onset of fever,
• severe general malaise, – Prominent features are renal and
liver malfunction, hemorrhage
• muscular pain (esp calves), and impaired consciousness,
conjunctival congestion,
• leptospires can be isolated from – The combination of a direct
most tissues. bilirubin < 20 mg/dL, a marked 
in CK, &  ALT & AST <200 units is
– Two days without fever follow. suggestive of the diagnosis.
– Second phase (up to 30 days): – Hepatomegaly is found in 25% of
• leptospires are still detectable in cases.
the urine.
• Circulating antibodies emerge, – Therapy is given for 7 days :
meningeal inflammation, uveitis & • Penicillin (1.5 million units IV
rash develop. or IM q6h) or
– Therapy is given for 7 days: • Ceftriaxone (1 g/d IV) or
• Doxycycline 2x100 mg (DOC) • Cefotaxime (1 g IV q6h)
• Amoxicillin 3x500 mg
• Ampicillin 3x500 mg
16. KESEIMBANGAN ASAM BASA
102
ASIDOSIS DAN ALKALOSIS
Respiratory
Acidosis
Respiratory
Alkalosis
Metabolic
Acidosis
Metabolic
Alkalosis
PENYEBAB ASIDOSIS DAN ALKALOSIS
17. HIPERTIROIDISME

Kumar and Clark Clinical Medicine


Human Physiology.
Guyton and Hall textbook of medical physiology.
Hipertiroid Primer & Sekunder

Human Physiology.
Diagnosis Banding Hipertiroidisme
Merupakan penyebab
hipertiroid terbanyak
setelah graves disease.
20.
Radioactive Iodine
Tatalaksana Hipertiroidisme
• Indonesian Clinical Practice Guidelines for Hyperthyroidism
(2012), PTU adalah obat pilihan pada:
– kehamilan trimester pertama,
– krisis tiroid,
– riwayat alergi atau intoleransi obat antitiroid &
– menolak terapi iodin radioaktif atau pembedahan.

• American Thyroid Association & American Association of


Clinical Endocrinologists (2011):
– methimazole should be used in virtually every patient who
chooses antithyroid drug therapy for graves’ disease, EXCEPT
during the first trimester of pregnancy when PTU is preferred, in
the treatment of thyroid storm, and in patients with minor
reactions to methimazole who refuse radioactive iodine therapy
or surgery.
The Indonesian Society of Endocrinology Task Force on Thyroid Diseases. Indonesian Clinical Practice Guidelines for Hyperthyroidism
Hyperthyroidism Management Guidelines, Endocr Pract. 2011;17(No. 3) e3
Dosis Obat Anti Tiroid
• PTU
– Dosis awal PTU 100-200 mg, tiga kali/hari, lalu setelah tes fungsi
tiroid normal dosis diturunkan ke dosis pemeliharaan 50 mg 2-3
kali/hari atau 1 kali/hari

• Methimazole
– Dosis awal metimazol 10-20 mg/hari, setelah tes fungsi tiroid
normal dosis diturunkan menjadi 5-10 mg/hari.
– Waktu paruhnya panjang, dapat diberikan satu kali/hari &
insidens efek samping lebih rendah

• Beta bloker
– Propranolol, 10-40 mg tiap 4-6 jam,
– Atenolol 25-50 mg/hari.

The Indonesian Society of Endocrinology Task Force on Thyroid Diseases. Indonesian Clinical Practice Guidelines for Hyperthyroidism
Methimazole
1. Menurunkan
ambilan & kadar
iodine inorganik di
kelenjar tiroid
2. Setelah dikonversi ke
metimazol (bentuk
aktif) mencegah
enzim peroksidase
melakukan dan
iodinasi gugus tirosil
tiroglobulin dan
kopling iodotirosin
menjadi T4/tiroksin
& T3.
Color atlas of pharmacology. 2nd ed. 2000. http://www.drugbank.ca/drugs/DB00389 https://www.medicines.org.uk/emc/medicine/26934
18. ABSES HEPAR AMOEBA
• Riwayat disentri sebelumnya
• Demam
• Nyeri abdomen kanan atas,
dapat menjalar ke bahu atau
lengan kanan
• Mual muntah
• Hepatomegali
• Ludwig sign (+): menekan sela
iga ke-6 setentang linea axilaris
anterior, terdapat nyeri tekan
Patofisiologi Abses Hepar Amoeba
TATALAKSANA ABSES HEPAR AMOEBA

• Metronidazole 3x750 mg selama 10 hari

• Pertimbangkan aspirasi abses bila:


– Kavitas >5 cm
– Abses hepar lobus kiri (mortalitas tinggi)
– Tidak respons terhadap terapi selama 5-7 hari
– Klinis sulit dibedakan dengan abses hepar piogenik

http://emedicine.medscape.com/article/183920-treatment#d9
19. RHEUMATOID ARTHRITIS
Rheumatoid arthritis (RA)
• Chronic inflammatory disease of unknown etiology
marked by a symmetric, peripheral polyarthritis.
• RA is a systemic disease  extraarticular manifestations.
• 10% of RA have secondary Sjögren's syndrome
(keratoconjunctivitis sicca or xerostomia).
• a score of 6: definite RA.
Boutonnoere deformity caused by Swan neck deformity caused by
flexion of the PIP joint with Hyperextension of the PIP joint with
hyperextension of the DIP joint. flexion of the DIP joint .

Rheumatoid Arthritis
Ulnar deviation of the fingers with wasting of the
Rheumatoid nodules & small muscles of the hands and synovial swelling at
olecranon bursitis. the wrists, the extensor tendon sheaths, MCP & PIP.
• Synovial inflammation
• Hyperplasia (“swelling”),
• autoantibody production
(rheumatoid factor and
anti–citrullinated protein
antibody [ACPA]),
• cartilage and bone
destruction (“deformity”),
• Systemic features,
including cardiovascular,
pulmonary, psychological,
and skeletal disorders.

McInnes IB, et al. N Engl J Med. 2011;365(23):2205-19


PATOFISIOLOGI RHEUMATOID ARTRITIS

http://www.nature.com/nrrheum/journal/vaop/ncurrent/fig_tab/nrrheum.2015.34_F1.html
Kelainan Tulang Pada RA

Current diagnosis & treatment in rheumatology. 2nd ed. McGraw-Hill; 2007.


Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2011.
Ciri OA RA Gout Spondilitis
Ankilosa
Prevalens Female>male, >50 Female>male Male>female, >30 Male>female,
tahun, obesitas 40-70 tahun thn, hiperurisemia dekade 2-3
Awitan gradual gradual akut Variabel
Inflamasi - + + +
Patologi Degenerasi Pannus Mikrotophi Enthesitis
Jumlah Sendi Poli Poli Mono-poli Oligo/poli
Tipe Sendi Kecil/besar Kecil Kecil-besar Besar

Predileksi Pinggul, lutut, MCP, PIP, MTP, kaki, Sacroiliac


punggung, 1st CMC, pergelangan pergelangan kaki & Spine
DIP, PIP tangan/kaki, kaki tangan Perifer besar
Temuan Sendi Bouchard’s nodes Ulnar dev, Swan Kristal urat En bloc spine
Heberden’s nodes neck, Boutonniere enthesopathy
Perubahan tulang Osteofit Osteopenia erosi Erosi
erosi ankilosis
Temuan - Nodul subkutan, Tophi, Uveitis, IBD,
Extraartikular pulmonari cardiac olecranon bursitis, konjungtivitis, insuf
splenomegaly batu ginjal aorta, psoriasis
Lab Normal RF +, anti CCP Asam urat
20. PENDEKATAN DIAGNOSIS ANEMIA

https://online.epocrates.com/diseases/9321/Evaluation-of-anemia/Diagnostic-Approach
Pendekatan Diagnosis Anemia
Berdasarkan Retikulosit

Wintrobe Clinical Hematology. 13 ed.


Anemia Mikrositik Hipokrom

Hoffbrand essential hematology.


Anemia
MCV & MCH ↓

GDT

Besi serum

Besi serum ↑ Besi serum N/↑ Besi serum ↓

Besi sumsum tulang  Pemeriksaan Hb F/A2 Kadar ferritin

Ferritin↓ Ferritin N/↑

Anemia sideroblastik Talasemia, Kelainan Hb Defisiensi besi penyakit kronik


Anemia
Profil Besi

Harrison’s principles of internal medicine.


Faktor Risiko
Anemia Defisiensi
Besi
21. Atresia Duodenum
GIT Congenital Malformation
Disorder Clinical Presentation
Hirschprung Congenital aganglionic megacolon (Auerbach's Plexus)
Fails to pass meconium within 24-48 hours after birth,chronic constipation
since birth, bowel obstruction with bilious vomiting, abdominal distention,
poor feeding, and failure to thrive, Chronic Enterocolitis.
RT:Explosive stools .
Criterion standardfull-thickness rectal biopsy.
Treatment  remove the poorly functioning aganglionic bowel and create
an anastomosis to the distal rectum with the healthy innervated bowel
(with or without an initial diversion)

Anal Atresia Anal opening (-), The anal opening in the wrong place,abdominal
distention, failed to pass meconium,meconium excretion from the fistula
(perineum, rectovagina, rectovesica, rectovestibuler).
Low lesionthe colon remains close to the skin stenosis anus, or the
rectum ending in a blind pouch.
High lesionthe colon is higher up in the pelvis fistula
Hypertrophic Hypertrophy and hyperplasia of the muscular layers of the pylorus
Pyloric functional gastric outlet obstruction
Stenosis Projectile vomiting, visible peristalsis, and a palpable pyloric tumor(Olive
Disorder Clinical Presentation

Oesophagus Congenitally interrupted esophagus


Atresia Drools and has substantial mucus, with excessive oral secretions,.
Bluish coloration to the skin (cyanosis) with attempted feedings
Coughing, gagging, and choking, respiratory distressPoor feeding
Intestine Atresia Malformation where there is a narrowing or absence of a portion
of the intestine
Abdominal distension (inflation), fails to pass stools, Bilious
vomiting

http://en.wikipedia.org/wiki/ http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth
Congenital Malformation
Atresia anii

Duodenal atresia

Intussusception

Hirschprung

http://emedicine.medscape.com/ Learningradiology.om
Ileal atresia. Upright Jejunal atresia: The “triple
radiograph of the abdomen bubble” sign on the erect
Duodenal atresia. Doble demonstrates many dilated plain abdominal
buble sign loops of bowel and air-fluid radiograph.
levels
Atresia Intestin
 Atresia Jejunum merupakan atresia
tersering
 1 per 2,000 live births
 Atresia terjadi karena adanya oklusi
pembuluh darah sebagian atau
seluruhnya yang memperdarahi usus,
terjadi in utero
 Classification--Types I-IV
 Gejala Klinis:
 Muntah hijau
 Distensi Abdomen
 Tidak dapat mengeluarkan
meconium (70%)
http://radiopaedia.org/articles/annular-pancreas

Annular pancreas
• Ventral bud fails to rotate normally, creating a ring of
pancreas which encircles the duodenum
• Rare: 1 in 20,000 births
• Clinical presentation varies
• Duodenal obstruction in neonate (vomiting)
• Asymptomatic until adulthood: pancreatitis of annulus
• Abdominal X-ray: “double bubble” (stomach and dilated
duodenum)difficult to distinguish from atresia
duodenum
• Radiologic exam: MRI/MRCP or CT scan
– Pancreatic tissue is seen to completely or incompletely surround
the 2nd part of duodenum
• Rx: surgery if symptomatic duodenal obstruction
Annular
pancreas:
pathology

Cross-section above:
annular pancreas
surrounding duodenum
https://www.med-ed.virginia.edu/courses/rad/peds/abd_webpages/abdominal15b.html

Hipertrofi Pilorik Stenosis


• Foto Polos Abdomen: • Barium Meal:
– Dapat ditemukan gambaran – Mushroom sign
“single bubble”
– String sign
• Dilatasi dari gaster akibat
udara usus yang tidak dapat – Double tract sign
melewati pilorus
– Gambaran “Caterpillar sign”
• Terjadi akibat hiperparistaltik
pada gaster
22. Hernia
Tipe Hernia Definisi
Reponible Kantong hernia dapat dimasukan kembali ke dalam rongga
peritoneum secara manual atau spontan
Irreponible Kantong hernia tidak adapat masuk kembali ke rongga peritoneum

Inkarserata Obstruksi dari pasase usus halus yang terdapat di dalam kantong
hernia
Strangulata Obstruksi dari pasase usus dan obstruksi vaskular dari kantong
hernia  tanda-tanda iskemik usus: bengkak, nyeri, merah,
demam
Hernia Inkarserata dengan Ileus
Test Keterangan
Finger test Untuk palpasi menggunakan jari telunjuk atau jari kelingking pada anak dapat
teraba isi dari kantong hernia, misalnya usus atau omentum (seperti karet). Dari
skrotum maka jari telunjuk ke arah lateral dari tuberkulum pubicum, mengikuti
fasikulus spermatikus sampai ke anulus inguinalis internus. Dapat dicoba
mendorong isi hernia dengan menonjolkan kulit skrotum melalui anulus
eksternus sehingga dapat ditentukan apakah isi hernia dapat direposisi atau
tidak. Pada keadaan normal jari tidak bisa masuk. Dalam hal hernia dapat
direposisi, pada waktu jari masih berada dalam anulus eksternus, pasien diminta
mengedan. Bila hernia menyentuh ujung jari berarti hernia inguinalis lateralis,
dan bila hernia menyentuh samping ujung jari berarti hernia inguinalis medialis.

Siemen test Dilakukan dengan meletakkan 3 jari di tengah-tengah SIAS dengan tuberculum
pubicum dan palpasi dilakukan di garis tengah, sedang untuk bagian medialis
dilakukan dengan jari telunjuk melalui skrotum. Kemudian pasien diminta
mengejan dan dilihat benjolan timbal di annulus inguinalis lateralis atau annulus
inguinalis medialis dan annulus inguinalis femoralis.
Thumb test Sama seperti siemen test, hanya saja yang diletakkan di annulus inguinalis
lateralis, annulus inguinalis medialis, dan annulus inguinalis femoralis adalah ibu
jari.
Valsava test Pasien dapat diperiksa dalam posisi berdiri. Pada saat itu benjolan bisa saja
sudah ada, atau dapat dicetuskan dengan meminta pasien batuk atau
melakukan manuver valsava.
23. Trauma Buli
• 86% trauma buli berkaitan dg trauma
abdomen (KLL, jatuh dr ketinggian)
• 90% berhubungan dg fraktur pelvis.
• Sebaliknya hanya 9 – 16 % fraktur pelvis yg
disertai ruptur buli.
• 60% mrpk ruptur buli extraperitoneal, 30%
intraperitoneal
MEKANISME CEDERA
• Ruptur intraperitoneal terjadi akibat trauma pada abdomen
bagian bawah atau jg trauma pelvis pada saat buli2 penuh.
• Ruptur extraperitoneal lbh sering berkaitan dg fraktur pelvis
Tanda dan gejala Pemeriksaan radiologis
• Hematuria • Cystography
– dapat merupakan gejala – Kontras > 300 cc
tunggal – Foto pengosongan
– 95% ruptur buli (drainase)
• Nyeri perut bawah. • CT scan cystography
• Kesulitan berkemih
• Pruduksi urin menurun
Trauma buli
• Kontusio buli
– Cedera mukosa tanpa extravasasi urin
• Ruptur interstisial
– Robekan sebagian dinding buli tanpa extravasasi
• Ruptur intraperitoneal
– Tampak kontras mengisi rongga intraperitoneal
• Ruptur extraperitoneal
– Kontras mengisi ruang perivesika dibawah garis
asetabulum
• Hematoma perivesika : tear drop appearance
Sistogram
Ruptur intraperitoneal Ruptur Ekstraperitoneal
Penatalaksanaan
• Pada luka tembus buli2  explorasi + repair
• Ruptur intraperitoneal  explorasi + repair

• Pada trauma tumpul yg hanya menimbulkan


trauma dinding buli yg tidak disertai
extravasasi urin tidak memerlukan tindakan
pembedahan.
Fraktur Penis
• Definisi: fraktur satu atau
dua corpus cavernosum
penis dengan atau tanpa
corpus spongiosum akibat
trauma tumpul.
• Gambaran klinis:
deformitas pada penis
(bengkok), dapat timbul
hematom ataupun nyeri.
• Diagnosis: pemeriksaan
carvenosografi untuk
melihat letak ruptur.
24. Spondilitis TB
25. Trauma Dada
Diagnosis Etiologi Tanda dan Gejala
Hemotoraks Laserasi • Ansietas/ gelisah, takipneu, tanda-tanda syok,
pembuluh darah takikardia, Frothy/ bloody sputum.
di kavum toraks • Suara napas menghilang pada tempat yang
terkena, vena leher mendatar, perkusi dada
pekak.

Simple Trauma tumpul • Jejas di jaringan paru sehingga menyebabkan


pneumotoraks spontan udara bocor ke dalam rongga dada.
• Nyeri dada, dispneu, takipneu.
• Suara napas menurun/ menghilang, perkusi
dada hipersonor
Open Luka penetrasi di • Luka penetrasi menyebabkan udara dari luar
pneumotoraks area toraks masuk ke rongga pleura.
• Dispneu, nyeri tajam, empisema subkutis.
• Suara napas menurun/menghilang
• Red bubbles saat exhalasi dari luka penetrasi
• Sucking chest wound
Diagnosis Etiologi Tanda dan Gejala
Tension Udara yg terkumpul • Tampak sakit berat, ansietas/gelisah,
pneumotoraks di rongga pleura tidak • Dispneu, takipneu, takikardia, distensi
dapat keluar lagi vena jugular, hipotensi, deviasi trakea.
(mekanisme pentil) • Penggunaan otot-otot bantu napas,
suara napas menghilang, perkusi
hipersonor.
Flail chest Fraktur segmental • Nyeri saat bernapas
tulang iga, • Pernapasan paradoksal
melibatkan minimal 3
tulang iga.
Efusi pleura CHF, pneumonia, • Sesak, batuk, nyeri dada, yang
keganasan, TB paru, disebabkan oleh iritasi pleura.
emboli paru • Perkusi pekak, fremitus taktil menurun,
pergerakan dinding dada tertinggal
pada area yang terkena.
Pneumonia Infeksi, inflamasi • Demam, dispneu, batuk, ronki
http://emedicine.medscape.com/article/433779
Flail chest:
FLAIL CHEST • Beberapa tulang iga
• Beberapa garis fraktur pada
satu tulang iga

The first rib is often fractured


posteriorly (black arrows). If multiple
Fraktur segmental dari tulang-tulang iga yang rib fractures occur along the midlateral
berdekatan, sehingga ada bagian dari dinding (red arrows) or anterior chest wall
dada yang bergerak secara independen (blue arrows), a flail chest (dotted
black lines) may result.
http://emedicine.medscape.com/

Treatment
ABC’s dengan c-spine control sesuai indikasi
Analgesik kuat
intercostal blocks
Hindari analgesik narkotik
Ventilation membaik tidal volume meningkat, oksigen darah
meningkat
Ventilasi tekanan positif
Hindari barotrauma
Chest tubes bila dibutuhkan
Perbaiki posisi pasien
Posisikan pasien pada posisi yang paling nyaman dan membantu
mengurangi nyeriPasien miring pada sisi yang terkena
Aggressive pulmonary toilet
Surgical fixation  rarely needed
Rawat inap24 hours observasion
http://emedicine.medscape.com/article/152083-overview
Cardiac Tamponade
Gejala Pemeriksaan Fisik
• Takipnea dan DOE, rest • Takikardi
air hunger • Hypotension shock
• Weakness • Elevated JVP with blunted
• Presyncope y descent
• Dysphagia • Muffled heart sounds
• Batu • Pulsus paradoxus
• Anorexia – Bunyi jantung masih
terdengar namun nadi
• (Chest pain) radialis tidak teraba saat
inspirasi
• (Pericardial friction rub)
http://www.learningradiology.com/archives2007/COW%20274-Pericardial%20effusion/perieffusioncorrect.html

“Water bottle configuration"


bayangan pembesaran jantung
yang simetris
• Dicurigai Tamponade jantung:
– Echocardiography
– Pericardiocentesis
• Dilakukan segera untuk
diagnosis dan terapi
• Needle pericardiocentesis
– Sering kali merupakan pilihan
terbaik saat terdapat kecurigaan
adanya tamponade jantung atau
terdapat penyebab yang
diketahui untuk timbulnya
tamponade jantung

http://emedicine.medscape.com/article/152083-overview
26. Nefrolithiasis
Nyeri Alih
27. Kista Ganglion
• Degenerasi kistik jaringan
periartikuler, kapsul sendi,
atau pembungkus tendo
• Tumor jaringan lunak tersering
pada tangan dan Pergelangan
Tangan  60 %
• Prediposisi dorsal manus
• Menempel pada Kapsul,
tendon, atau tendon sheath
• Wanita > Pria
• 70% terjadi pada dekade 2 - 4
• Terbentuk tunggal dan pada
tempat yang amat spesifik
Informasisehat.files.wordpress.com/2010/05/ganglion-cyst
Tanda dan Gejala Anatomi
• Ada Riwayat Trauma (10%)
• Kista utama bisa tunggal
• Bisa muncul tiba-tiba atau
berkembang dalam hitungan atau multilokul
bulan/tahun
• Tampak halus, putih, dan
• Mengecil dalam keadaan istirahat
• Membesar dengan aktifitas translusen
• Kadangkala bisa menghilang
secara spontan
• Rekurensi sangat jarang
(complete exicion)
• > 50%  eksisi tidak komplit
• Biasanya tidak nyeri, kecuali ada
penekanan pada saraf.
Penanganan Non-Operatif
• Merupakan Metode terapi • Aspirasi Ganglion 
insial pada ganglion efektif pada 20-30%
• Penekanan jari
• Puncture dinding kista
• Injeksi hialuronidase
• Disseksi Tonotome subkutan • Instillasi lidokain dan
• Fiksasi silang dengan jahitan
bethamethasone pada
besar kapsul dan perlekatan
• Pada pediatrik  observasi tendon sheath
• Yakinkan pasien bahwa
ganglion adalah Tumor
jinak
• Ganglion simptomatik
persisten  Operasi
Penanganan Operatif
• eksisi ganglion  prosedur terbuka
• Minimalisasi pembentukan jaringan parut
• Minimalisasi hilangnya ROM
• Arthroscopic approach  efektif, dengan
resiko rekurensi lokal lebih tinggi
28. Peritonitis
• Peritonitis Sekunder
– Bakteri, enzim, atau cairan empedu mencapai
peritoneum dari suatu robekan yang berasal dari traltus
bilier atau GIT
• Peritonitis TB
– Robekan tersebut dapat disebabkan oleh”
• Pankreatitis
• Perforasi appendiks
• Ulkus gaster
• Crohn’s disease
• Diverticulitis
• Komplikasi tifoid
Gambaran radiologis pada peritonitis:
a) adanya kekaburan pada cavum abdomen
b) preperitonial fat dan psoas line menghilang
c) adanya udara bebas subdiafragma atau
d) adanya udara bebas intra peritoneal
Pembahasan Soal
• Jawaban A (Peritonitis generalisata): nyeri perut
memberat ke seuluruh lapang abdomen disertai
rigiditas dan BU menurun.
• Jawaban B (Ulkus gaster): nyeri bersifat regional pada
epigastrium.
• Jawaban C (Abses hepar): biasanya tanpa gejala kecuali
abses pecah dan menyebabkan peritonitis umum.
• Jawaban D (Kolesistitis Akut): dapat menyebabkan
peritonitis lokal di kuadran kanan atas.
• Jawaban E (Appendisitis Akut): nyeri lokal pada
kuadran kanan bawah.
29. Fraktur Terbuka
• Dimana terjadi hubungan dengan lingkungan
luar melalui kulit.
• Terjadi kontaminasi bakteri  komplikasi
infeksi
• Luka pada kulit :
– Tusukan tulang tajam keluar menembus kulit
(from within)
– Dari luar misal oleh peluru atau trauma langsung
(from without)
Tahap –Tahap Pengobatan Fraktur Terbuka
1. Pembersihan luka  irigasi dengan NaCl fisiologis secara mekanis
 mengeluarkan benda asing yg melekat.
2. Eksisi jaringan mati dan tersangka mati (debrideman) pada kulit,
jaringan subkutaneus, lemak, fasia otot dan fragmen tulang yg
lepas.
3. Pengobatan fraktur itu sendirifiksasi interna atau eksterna
4. Penutupan kulit
– Jika diobati dalam periode emas (6 – 7 jam) sebaiknya kulit ditutup
– kulit tegang  tidak dilakukan
5. Pemberian antibakteri
– Antibiotik diberikan sebelum, pada saat dan sesudah operasi
6. Tetanus
Koval, Kenneth J.; Zuckerman, Joseph D.
Handbook of Fractures, 3rd Edition
Choice of fixation
• several options to • No consensus of what
stabilize an open method to use
fracture • Surgeons must make
– splinting, judgment of which
– casting, method is appropriate
– and traction
– external fixation,
– plating, and
– intramedullary nailing
Koval, Kenneth J.; Zuckerman, Joseph D.
Handbook of Fractures, 3rd Edition
30. Fraktur Klavikula
Tipe I: Fraktur mid klavikula (Fraktur 1/3
tengah klavikula)
• Fraktur pada bagian tengah clavicula
• Lokasi yang paling sering terjadi
fraktur, paling banyak ditemui

Tipe II : Fraktur 1/3 lateral klavikula


Fraktur klavikula lateral dan ligament
korako-kiavikula, yang dapat dibagi:
– type 1: undisplaced jika ligament intak
– type 2: displaced jika ligamen korako-
kiavikula ruptur.
– type 3: fraktur yang mengenai sendi
akromioklavikularis.

Tipe III : Fraktur pada bagian proksimal


clavicula. Fraktur yang paling jarang
terjadi
Penatalaksanaan Konservatif
• Undisplaced fraktur dan minimal displaced fraktur diterapi dengan
menggunakan sling, yang dapat mengurangi nyeri.
• Displaced fraktur fraktur dengan gangguan kosmetik diterapi dengan
menggunakan commersial strap yang berbentuk angka 8, untuk menarik
bahu sehingga dapat mempertahankan alignment dan fraktur.
Operatif

Indikasi Operasi • Surgical


• Fraktur terbuka. – Plate Fixation
• Fraktur dengan gangguan – Screw or Pin Fixation
vaskularisasi – Titanium elastic nails
(usually inserted medial to
• Fraktur dengan lateral)
“scapulothorcic
dissociation” (floating
shoulder)
• Fraktur dengan displaced
glenoid neck fraktur.
Komplikasi
Komplikasi dini
• Nyeri dan bengkak
• Pneumotoraks/ hemotoraks
• kerusakan pada pembuluh darah atau saraf ( jarang terjadi)

Komplikasi lanjut
• non-union : jarang terjadi dapat diterapi dengan fiksasi interna dan pencangkokan
tulang yang aman.
• mal-union :
– meninggalkan suatu benjolan, yang biasanya hilang pada waktunya.
– untuk memperoleh basil kosmetik yang baik dan cepat dapat menjalani terapi yang lebih
drastis yaitu fraktur direduksi dibawah anastesi dan dipertahankan reduksinya dengan
menggunakan gips yang mengelilingi dada ( wirass)
• kekakuan bahu sering ditemukan, hanya sementara, akibat rasa takut untuk
menggerakkan fraktur. Jari juga akan kaku dan membutuhkan waktu berbulan-
bulan untuk memperoleh kembali gerakan, kecuali kalau dilatih.
• Brachial plexopathy. Nyeri, penurunan ROM, atau penurunan sensai di lengan dan
bahu akibat adanya gangguan neurologis pleksus brakialis. Dapat terjadi pada
kasus fraktur klavikula malunion sehingga terjadi penekanan pada serabut saraf
brakialis, namun sangat jarang terjadi.
• Osteoporosis
• Atrofi otot-otot gelang bahu akibat kerusakan kronis jaras saraf LMN
31. DVT

Virchow Triads:
(1) venous stasis
(2) activation of blood coagulation
(3) vein damage

Crurales Vein is a common and


incorrect terminology
Superficial vein systems
• Signs and symptoms of
DVT include :
– Pain in the leg
– Tenderness in the calf (this
is one of the most
improtant signs )
– Leg tenderness
– Swelling of the leg
– Increased warmth of the
leg
– Redness in the leg
– Bluish skin discoloration
– Discomfort when the foot
is pulled upward (Homan’s)
http://www.medical-explorer.com/blood.php?022
American College of Emergency Physicians (ACEP)
Trombosis Vena Dalam
• Skoring Wells
– Kanker aktif (sedang terapi dalam 1-6 bulan atau paliatif) (skor 1)
– Paralisis, paresis, imobilisasi (skor 1)
– Terbaring selama > 3 hari (skor 1)
– Nyeri tekan terlokalisir sepanjang vena dalam (skor 1)
– Seluruh kaki bengkak (skor 1)
– Bengkak betis unilateral 3 cm lebih dari sisi asimtomatik (skor 1)
– Pitting edema unilateral (skor 1)
– Vena superfisial kolateral (skor 1)
– Diagnosis alternatif yang lebih mungkin dari DVT (skor -2)
• Interpretasi:
– >3: risiko tinggi (75%)
– 1-2: risiko sedang (17%)
– < 0: risiko rendah (3%)

Sudoyo A dkk. Panduan Diagnosis dan Tatalaksana Trombosis Vena Dalam dan Emboli Paru. 2015
Patient with suspect symptomatic
Acute lower extremity DVT

negative
Venous duplex scan Low clinical probability observe

positive High clinical probability negative

Evaluate coagulogram /thrombophilia/ malignancy


Repeat scan /
Venography
Anticoagulant therapy yes IVC filter
contraindication

No

pregnancy LMWH

OPD LMWH

hospitalisation + warfarin
UFH

Compression treatment
Color duplex scan of DVT

Venogram shows DVT


Diagnosis Etiologi Tanda & Gejala
Deep vein Multipel Nyeri dan edema tungkai, nyeri paha saat
thrombosis dorsofleksi kaki (Homans sign), phlegmasia
cerule dolens, phlegmasia alba dolens
Penyakit berger Merokok Nyeri iskemik/ ulserasi tungkai distal,
tromboplebitis superfisial, parestesia
Acute limb Emboli/ Klaudikasio intermiten, pulsus defisit, bruit
ischemia aterosklerosis arteri femoral, CRT melambat, akral dingin,
dan warna kulit abnormal
Chronic limb Aterosklerosis Nyeri saat istirahat, luka yang tidak kunjung
ischemia sembuh, gangrene
Compartment Luka bakar, Pain, palor, pulselessness, paresthesia, dan
syndrome fraktur paralisis. Nyeri merupakan gejala awal.
Chronic exertional Repetitive Terjadi pada atlet. Lebih sering mengenai
compartment loading/ tungkai bawah. Karakteristik: nyeri saat
syndrome exertional melakukan gerakan/ aktivitas, berkurang saat
activities istirahat. Dapat disertai kelemahan dan
paresthesia dari tungkai yang terlibat.
Insufisiensi Vena Kronik
• Penyakit vena kronik atau chronic venous disease
(CVD)
• abnormalitas fungsi sistem vena akibat inkompetensi
katup vena dengan atau tanpa disertai obstruksi aliran
vena, yang mempengaruhi sistem vena superfisial,
sistem vena profunda, atau keduanya.
• Bisa juga diartikan sebagai kondisi medis yang
ditandai dengan nyeri dan pembengkakan pada
tungkai akibat kerusakan pada katup vena dan
gumpalan darah yang menyebabkan darah
terakumulasi di dalam vena
Etiologi Faktor Risiko

• Kerusakan pada katup • Keadaan yang meningkatkan


dalam pembuluh darah resiko terkena insufisiensi
• Pembentukan gumpalan vena kronis:
darah di salah satu • Perempuan > laki-laki
pembuluh darah dalam • Perokok
utama kaki
• Berdiri untuk waktu yang
• Sindrom post-flebitis yang lama
terjadi akibat komplikasi • Bertambah tua
DVT, suatu kondisi yang
ditandai dengan • Berusia lebih dari 50 tahun
terbentuknya gumpalan • Duduk untuk waktu yang
darah pada vena-vena lama
dalam • Pernah melakukan operasi
besar pada kaki atau tungkai
• Sedang hamil
Patofisiologi
• Pada vena terdapat katup-katup yang mencegah aliran balik
dari darah
• Ketika katup-katup tersebut rusak, darah mulai mengalir ke
belakang akibat gravitasi dan terakumulasi di dalam vena,
terutama vena-vena tungkai
• Kelebihan cairan merembes keluar dari pembuluh
venapembengkakan tungkai
– Kapiler-kapiler pada tungkai pecahpewarnaan coklat kemerahan
pada kulit
• Timbul gejala seperti rasa gatal dan perubahan warna pada
kulit tungkai
• Fase lanjut terbentuk ulkus yang sukar disembuhkan
Gejala Klinik
• Kulit bersisik pada tungkai dan kaki
• Kulit berwarna kecoklatan di dekat mata kaki
• Kulit yang terasa gatal
• Pembengkakan pada mata kaki
• Pembengkakan pada tungkai kaki
• Nyeri
Insufisiensi vena kronis
• Atrophie blanche • Submalleolar Venous Flare
• a particular type of scar arising on the • Incompetence in perforating
lower leg vein valve which results in
• It occurs after a skin injury when the venous hypertension
blood supply is poor. • Causes dilation of the venules
• Venule sometimes forms tiny
bleb that will rupture with
+++bleeding
32. Torsio Testis
33. Initial Assessment
Penderita trauma/multitrauma memerlukan penilaian dan pengelolaan
yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita. Waktu
berperan sangat penting, oleh karena itu diperlukan cara yang mudah,
cepat dan tepat. Proses awal ini dikenal dengan Initial assessment (
penilaian awal ).

Penilaian awal meliputi:


1. Persiapan
2. Triase
3. Primary survey (ABCDE)
4. Resusitasi
5. Tambahan terhadap primary survey dan resusitasi
6. Secondary survey
7. Tambahan terhadap secondary survey
8. Pemantauan dan re-evaluasi berkesinarnbungan
9. Transfer ke pusat rujukan yang lebih baik
ATLS Coursed 9th Edition
Primary Survey
A. Airway dengan kontrol servikal
1. Penilaian
a) Mengenal patensi airway ( inspeksi, auskultasi, palpasi)
b) Penilaian secara cepat dan tepat akan adanya obstruksi
2. Pengelolaan airway
a) Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol servikal in-line
immobilisasi
b) Bersihkan airway dari benda asing bila perlu suctioning dengan alat
yang rigid
c) Pasang pipa nasofaringeal atau orofaringeal
d) Pasang airway definitif sesuai indikasi ( lihat tabell )
3. Fiksasi leher
4. Anggaplah bahwa terdapat kemungkinan fraktur servikal pada
setiap penderita multi trauma, terlebih bila ada gangguan
kesadaran atau perlukaan diatas klavikula.
5. Evaluasi
ATLS Coursed 9th Edition
ATLS Coursed 9th Edition
Cervical in-lin immobilization
Indikasi Airway definitif
B. Breathing dan Ventilasi-Oksigenasi
1. Penilaian
a) Buka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatikan
kontrol servikal in-line immobilisasi
b) Tentukan laju dan dalamnya pernapasan
c) Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali
kemungkinan terdapat deviasi trakhea, ekspansi thoraks simetris
atau tidak, pemakaian otot-otot tambahan dan tanda-tanda cedera
lainnya.
d) Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor
e) Auskultasi thoraks bilateral
2. Pengelolaan
a) Pemberian oksigen konsentrasi tinggi ( nonrebreather mask 11-12
liter/menit)
b) Ventilasi dengan Bag Valve Mask
c) Menghilangkan tension pneumothorax
d) Menutup open pneumothorax
e) Memasang pulse oxymeter
3. Evaluasi
ATLS Coursed 9th Edition
ATLS Coursed 9th Edition
C. Circulation dengan kontrol perdarahan
1. Penilaian
1. Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal
2. Mengetahui sumber perdarahan internal
3. Periksa nadi : kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoksus.
4. Tidak diketemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya
resusitasi masif segera.
5. Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis.
6. Periksa tekanan darah
2. Pengelolaan
1. Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal
2. Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah serta konsultasi pada
ahli bedah.
3. Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil sampel darah untuk
pemeriksaan rutin, kimia darah, tes kehamilan (pada wanita usia subur), golongan
darah dan cross-match serta Analisis Gas Darah (BGA).
4. Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan tetesan cepat.
5. Pasang PSAG/bidai pneumatik untuk kontrol perdarahan pada pasienpasien fraktur
pelvis yang mengancam nyawa.
6. Cegah hipotermia
3. Evaluasi
Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah
D. Disability
1. Tentukan tingkat kesadaran memakai skor
GCS/PTS
2. Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek
cahaya dan awasi tanda-tanda lateralisasi
3. Evaluasi dan Re-evaluasi aiway, oksigenasi,
ventilasi dan circulation.

E. Exposure/Environment
1.Buka pakaian penderita, periksa jejas
2.Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan
tempatkan pada ruangan yang cukup hangat.
ATLS Coursed 9th Edition
34. Hemoroid
35. BPH
BPH

adalah pertumbuhan
berlebihan dari sel-sel
prostat yang tidak ganas.
Pembesaran prostat jinak
diakibatkan sel-sel prostat
memperbanyak diri
melebihi kondisi normal,
biasanya dialami laki-laki
berusia di atas 50 tahun
yang menyumbat saluran
kemih.
NORMAL TIDAK NORMAL
PREVALENSI
 Angka kejadian BPH di Indonesia yang pasti belum pernah
diteliti.
 Penduduk Indonesia yang berusia tua jumlahnya semakin
meningkat, diperkirakan sekitar 5% atau kira-kira 5 juta pria
di Indonesia berusia 60 tahun atau lebih dan 2,5 juta pria
diantaranya menderita gejala saluran kemih bagian bawah
(Lower Urinary Tract Symptoms/LUTS) akibat BPH.
 Prevalensi BPH yang bergejala pada pria berusia 40-49
tahun mencapai hampir 15%, usia 50-59 tahun
prevalensinya mencapai hampir 25%, dan pada usia 60
tahun mencapai angka sekitar 43%.
ETIOLOGI
Umur
Pria berumur lebih dari 50 tahun,
kemungkinannya memiliki BPH adalah 50%.
Ketika berusia 80–85 tahun, kemungkinan
itu meningkat menjadi 90%.

Faktor Hormonal
Testosteron –> hormon pada pria.
Beberapa penelitian menyebutkan karena
adanya peningkatan kadar testosteron pada pria
(namun belum dibuktikan secara ilmiah) .
Hipotesis penyebab timbulnya
hiperplasia prostat

Ketidaksei
Teori mbangan Interaksi Berkurangnya
Teori sel
dihidrotest antara stroma- kematian sel
stem
osteron estrogen- epitel prostat
testosteron
PATOFISIOLOGI

Kelenjar Prostat terdiri Mekanisme BPH secara umum


dari atas 3 jaringan : patofisiologi penyebab hasil dari faktor statik
BPH secara jelas (pelebaran prostat
• Epitel atau secara berangsur-
glandular, stromal belum diketahui
dengan pasti. angsur) dan faktor
atau otot polos, dan dinamik (pemaparan
kapsul. Namun diduga terhadap agen atau
• Jaringan stromal intaprostatik kondisi yang
dan kapsul dihidrosteron (DHT) menyebabkan
ditempeli dengan dan 5α- reduktase tipe konstriksi otot polos
reseptor adrenergik II ikut terlibat. kelenjar.)
α1.
TANDA DAN GEJALA

Tanda klinis terpenting BPH


 Sering kencing adalah ditemukannya
 Sulit kencing pembesaran konsistensi
 Nyeri saat berkemih kenyal, pool atas tidak teraba
 Urin berdarah pada pemeriksaan colok
 Nyeri saat ejakulasi dubur/ digital rectal
 Cairan ejakulasi examination (DRE). Apabila
berdarah teraba indurasi atau terdapat
 Gangguan ereksi bagian yang teraba keras,
 Nyeri pinggul atau perlu dipikirkan kemungkinan
punggung prostat stadium 1 dan 2.
Manifestasi Klinis
Dapat dibagi ke dalam dua kategori :

Obstruktif :
terjadi ketika faktor
dinamik dan atau Iritatif :
faktor statik hasil dari
mengurangi obstruksi yang
pengosongan sudah berjalan
kandung kemih. lama pada leher
kandung kemih.
Diagnosis of BPH
• Symptom assessment
– the International Prostate Symptom Score (IPSS) is recommended as it is used
worldwide
– IPSS is based on a survey and questionnaire developed by the American Urological
Association (AUA). It contains:
• seven questions about the severity of symptoms; total score 0–7 (mild), 8–19 (moderate),
20–35 (severe)
• eighth standalone question on QoL
• Digital rectal examination(DRE)
– inaccurate for size but can detect shape and consistency
• Prostat Volume determination- ultrasonography
• Urodynamic analysis
– Qmax >15mL/second is usual in asymptomatic men from 25 to more than 60 years of
age
• Measurement of prostate-specific antigen (PSA)
– high correlation between PSA and Prostat Volume, specifically Trantitional Zone
Volume
– men with larger prostates have higher PSA levels 1

– PSA is a predictor of disease progression and screening tool for CaP


– as PSA values tend to increase with increasing PV and increasing age, PSA may be
used as a prognostic marker for BPH
Gambaran BNO IVP
Pada BNO IVP dapat ditemukan:
• Indentasi caudal buli-buli
• Elevasi pada intraureter
menghasilkan bentuk J-ureter
(fish-hook appearance)
• Divertikulasi dan trabekulasi
vesika urinaria

“Fish Hook appearance”(di tandai


dengan anak panah)

Indentasi caudal buli-buli


Pada USG (TRUS, Transrectal
Ultrasound)
• Pembesaran kelenjar
pada zona sentral
• Nodul hipoechoid atau
campuran echogenic
• Kalsifikasi antara zona
sentral
• Volume prostat > 30 ml 8

CT Scan:
• Tampak ukuran prostat
membesar di atas ramus superior
simfisis pubis.
Derajat BPH, Dibedakan menjadi 4
Stadium :
 Stadium 1 :
Obstruktif tetapi kandung kemih masih
mengeluarkan urin sampai habis.

 Stadium 2 : masih tersisa urin 60-150 cc.

 Stadium 3 : setiap BAK urin tersisa kira-kira 150 cc.

 Stadium 4 :
retensi urin total, buli-buli penuh pasien tampak
kesakitan urin menetes secara periodik.
Grade Pembesaran Prostat
Rectal Grading
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
• Grade 0 : Penonjolan prostat 0-1 cm ke dalam rectum.
• Grade 1 : Penonjolan prostat 1-2 cm ke dalam rectum.
• Grade 2 : Penonjolan prostat 2-3 cm ke dalam rectum.
• Grade 3 : Penonjolan prostat 3-4 cm ke dalam rectum.
• Grade 4 : Penonjolan prostat 4-5 cm ke dalam rectum.
Kategori Keparahan Penyakit BPH Berdasarkan
Gejala dan Tanda (WHO)
Keparahan Skor gejala AUA Gejala khas dan tanda-tanda
penyakit (Asosiasi Urologis
Amerika)
Ringan ≤7 • Asimtomatik (tanpa gejala)
• Kecepatan urinari puncak < 10 mL/s
• Volume urine residual setelah
pengosongan 25-50 mL
• Peningkatan BUN dan kreatinin
serum
Sedang 8-19 Semua tanda di atas ditambah
obstruktif penghilangan gejala dan
iritatif penghilangan gejala (tanda dari
detrusor yang tidak stabil)
Parah ≥ 20 Semua hal di atas ditambah satu atau
lebih komplikasi BPH
Terapi Farmakologi
 Jika gejala ringan  maka pasien cukup dilakukan
watchful waiting (perubahan gaya hidup).
 Jika gejala sedang  maka pasien diberikan obat
tunggal antagonis α adrenergik atau inhibitor 5α-
reductase.
 Jika keparahan berlanjut  maka obat yang
diberikan bisa dalam bentuk kombinasi keduanya.
 Jika gejala parah dan komplikasi BPH, dilakukan
pembedahan.
Algoritma manajemen terapi BPH
BPH

Menghilangkan gejala Menghilangkan gejala Menghilangkan gejala parah


ringan sedang dan komplikasi BPH

Watchful Operasi
waiting
α-adrenergik α-adrenergik
antagonis atau antagonis dan 5-α
5-α Reductace
Reductace inhibitor inhibitor

Jika respon Jika respon Jika respon Jika respon tidak


berlanjut tidak berlanjut, berlanjut berlanjut, operasi
operasi
antagonis α adrenergik
• Mekanisme kerja : memblok reseptor
adrenergik α 1 sehingga mengurangi faktor
dinamis pada BPH dan akhirnya berefek
relaksasi pada otot polos prostat.
inhibitor 5α- reductase
• Mekanisme kerja dari obat ini adalah
mengurangi volume prostat dengan
menurunkan kadar hormon testosteron.
• 5α-reduktase inhibitor digunakan jika pasien
tidak dapat mentolerir efek samping dari alfa
blocker.
Terapi Non Farmakologi
 Pembatasan Minuman Berkafein
 Tidak mengkonsumsi alkohol
 Pemantauan beberapa obat seperti diuretik,
dekongestan, antihistamin, antidepresan
 Diet rendah lemak
 Meningkatkan asupan buah-buahan dan
sayuran
 Latihan fisik secara teratur
 Tidak merokok
36. ASTIGMATISME - DEFINISI
• Ketika cahaya yang
masuk ke dalam
mata secara paralel
tiudak membentuk
satu titik fokus di
retina.

http://www.mastereyeassociates.com/Portals/60407/images//astig
Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry matism-Cross_Section_of_Astigmatic_Eye.jpg
ASTIGMATISME
• Kornea seharusnya berbentuk hampir sferis
sempurna (bulat)  pada astigmat kornea
berbentuk seperti bola rugby.
• Bagian lengkung yang paling landai dan yang
paling curam mengakibatkan cahaya
direfraksikan secara berbeda dari kedua
meridian  mengakibatkan distorsi bayangan
• Kekuatan refraksi pada horizontal plane
memproyeksikan gambar/ garis vertikal.
• Kekuatan refraksi pada vertical plane
memproyeksikan gambar/ garis horizontal.
• The amount of astigmatism is equal to the
difference in refracting power of the two
principal meridians

http://www.improveeyesighthq.com/Corrective-Lens-Astigmatism.html
KLASIFIKASI :
ETIOLOGI
• Astigmatisme korneal: When
the cornea has unequal curvature
on the anterior surface – 90% PLACIDO
penyebab astigmatisme  bisa
dites dgn tes Placido
(keratoscope)
• Astigmatisme lentikular: When
the crystalline lens has an
unequal on the surface or in its
layers
• Astigmatigma total: The sum of
corneal astigmatism and Astigmatisme korneal akibat trauma
lenticular astigmatism pada kornea. Perhatikan iregularitas
bayangan placido
Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry http://oelzant.priv.at/~aoe/images/galleries/narcism/med/hornhautabrasion/
KLASIFIKASI : HUBUNGAN ANTAR BIDANG MERIDIAN

ASTIGMATISME REGULER

• Kedua bidang meridian


utamanya saling tegak lurus. • Kebanyakan kasus
(meredian di mana terdapat astigmatisme adalah
daya bias terkuat dan terlemah astigmatisme reguler
di sistem optis bolamata).
• Cth: • 3 tipe:
– jika daya bias terkuat berada – are with-the-rule
pada meredian 90°, maka daya – against-the-rule
bias terlemahnya berada pada
meredian 180° – oblique astigmatism
– Jika daya bias terkuat berada
pada meredian 45°, maka daya
bias terlemah berada pada
meredian 135°.
Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry
KLASIFIKASI : HUBUNGAN ANTAR BIDANG MERIDIAN

ASTIGMATISME IREGULER

• When the two principal


meridians are not
perpendicular to each
other
• Curvature of any one
meridian is not uniform
• Associated with trauma,
disease, or degeneration
• VA is often not correctable
to 20/20

Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry


BASED ON FOCAL POINTS RELATIVE TO
THE RETINA
• SIMPLE ASTIGMATISM
– When one of the principal meridians is focused on the retina and
the other is not focused on the retina (with accommodation
relaxed)
– Terdiri dari
• astigmatisme miopikus simpleks
• astigmatisme hipermetrop simpleks
• COMPOUND ASTIGMATISM
– When both principal meridians are focused either in front or
behind the retina (with accommodation relaxed)
– Terdiri dari
• astigmatisme miopikus kompositus
• astigmatisme hipermetrop kompositus
• MIXED ASTIGMATISM
– When one of the principal meridians is focused in front of the
retina and the other is focused behind the retina (with
accommodation relaxed)
BASED ON FOCAL POINTS RELATIVE TO THE
RETINA
1. Simple Myopic Astigmatism
• When one of the principal
meridians is focused in
front of the retina and the
other is focused on the
retina (with accommodation
relaxed)
• Astigmatisme jenis ini, titik A
berada di depan retina,
sedangkan titik B berada tepat
pada retina.

Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry


BASED ON FOCAL POINTS RELATIVE TO THE
RETINA
2. Simple Hyperopic Astigmatism
• When one of the principal
meridians is focused behind
the retina and the other is
focused on the retina (with
accommodation relaxed)
• Astigmatisme jenis ini, titik A
berada tepat pada retina,
sedangkan titik B berada di
belakang retina.

Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry


BASED ON FOCAL POINTS RELATIVE TO THE
RETINA
3. Compound Myopic Astigmatism
• When both principal
meridians are focused in
front of the retina (with
accommodation relaxed)

Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry


BASED ON FOCAL POINTS RELATIVE TO THE
RETINA
4. Compound Hyperopic Astigmatism

• When both
principal
meridians are
focused behind
the retina (with
accommodation
relaxed)
Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry
BASED ON FOCAL POINTS RELATIVE TO THE
RETINA
5. MIXED ASTIGMATISM

• When one of the


principal meridians is
focused in front of the
retina and the other is
focused behind the
retina (with
accommodation relaxed)

Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry


http://www.improveeyesighthq.com/Corrective-Lens-Astigmatism.html
BASED ON RELATIVE LOCATIONS OF PRINCIPAL MERIDIANS OR AXES WHEN
COMPARING THE TWO EYES

SYMMETRICAL ASTIGMATISM

• The principal meridians • Example


or axes of the two eyes – OD: pl -1.00 x 175
are symmetrical (e.g., – OS: pl -1.00 x 005
both eyes are WTR or • Both eyes are WTR
ATR) astigmatism, and the sum of
the two axes equal
• Ciri yang mudah dikenali approximately 180
adalah axis cylindris mata
kanan dan kiri yang bila
dijumlahkan akan bernilai
180° (toleransi sampai 10-
15°).

Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry


BASED ON RELATIVE LOCATIONS OF PRINCIPAL MERIDIANS OR AXES WHEN
COMPARING THE TWO EYES

ASYMMETRICAL ASTIGMATISM

• The principal meridians • Example:


or axes of the two eyes – OD: pl -1.00 x 180
are not symmetrical – OS: pl -1.00 x 090
(e.g., one eye is WTR – One eye is WTR
while the other eye is astigmatism, and the
ATR) other eye is ATR
astigmatism, and the
• The sum of the two sum of the two axes do
axes of the two eyes not equal approximately
does not equal 180
approximately 180

Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry


Toric/Spherocylinder lens pada koreksi
Astigmatisme

They have a different focal power in different meridians.

http://www.oculist.net/downaton502/prof/ebook/duanes/graphics/figures/v1/051a/010f.gif
http://vision.zeiss.com/content/dam/Vision/Vision/International/images/image-text/opticaldesigns_asphere_atorus_atoroidal-surface_500x375.jpg
TIPS & TRIK
• Rumus hapalan ini bisa digunakan untuk menentukan jenis jenis
astigmatisme berdasarkan kedudukannya di retina kalau disoal
diberikan rumus astigmatnya sbb
1. sferis (-) silinder (-)  pasti miop kompositus
2. Sferis (+); silinder (+)  pasti hipermetrop kompositus
3. Sferis (tidak ada); silinder (-) pasti miop simpleks
4. Sferis (tidak ada); silinder (+)  pasti hipermetrop simpleks

• Agak sulit dijawab jika di soal diberikan rumus astigmat sbb:


1. Sferis (-) silinder (+)
2. Sferis (+) silinder (-)
 BELUM TENTU astigmatisme mikstus!!
Harus melalui beberapa tahap penjelasan untuk menemui
jawabannya
cara menentukan jenis astigmatisme berdasarkan kedudukannya di
retina kalau disoal diberi rumus S(-) Cyl(+) atau S(+) Cyl(-)

• PERTAMA, rumus kacamata astigmat adalah

SFERIS ± X SILINDER ±Y x AKSIS Z


• Sferis tidak harus selalu ada, kadang jika tidak ada,
nilai sferis akan dihilangkan penulisannya menjadi
C (silinder) ± .… x …..°
atau menjadi
pl (plano) C (silinder) ± …. x …..°
KEDUA, TRANSPOSISI
• Transposisi itu artinya: notasi silinder bisa ditulis dalam nilai minus atau
plus
• Rumus ini bisa ditransposisikan (dibolak-balik) tetapi maknanya sama.
Cara transposisi:
• To convert plus cyl to minus cyl:
– Add the cylinder power to the sphere power
– Change the sign of the cyl from + to –
– Add 90 degrees to the axis is less than 90 or subtract 90 if the original axis is
greater than 90.
• To convert minus cyl to plus cyl:
– add the cylinder power to the sphere
– Change the sign of the cylinder to from - to +
– Add 90 to the axis if less than 90 or subtract if greater than 90

• Misalkan pada soal OD ∫-4,00 C-1,00 X 1800minus cylinder notation yang


jika ditransposisi maknanya sama dengan ∫-5,00 C+1,00 X 900 (plus cylinder
notation)
KETIGA, CARA MEMBACA
• OD ∫-4,00 C-1,00 X 1800 artinya adalah kekuatan
lensa pada aksis 180 adalah -4.00 D. Kemudian
kita transposisikan menjadi ∫-5,00 C+1,00 X 900
artinya kekuatan lensa pada 90 adalah -5,00 D

• OS ∫-5,00 C-1,00 X 900 artinya adalah kekuatan


lensa pada aksis 90 adalah -5.00 D dan
Kemudian kita transposisikan menjadi ∫-6,00
C+1,00 X 1800 artinya kekuatan lensa pada 180
adalah -6,00 D
http://sdhawan.com/ophthalmology/lens&cataract.pdf E-mail: sdhawan@sdhawan.com

37. Cataract
• Any opacity of the lens or loss of transparency of the lens that causes
diminution or impairment of vision
• Classification : based on etiological, morphological, stage of maturity
• Etiological classification :
 Senile
 Traumatic (penetrating, concussion, infrared irradiation, electrocution)
 Metabolic (diabetes, hypoglicemia, galactosemia, galactokinase deficiency,
hypocalcemia)
 Toxic (corticosteroids, chlorpromazine, miotics, gold, amiodarone)
 Complicated (anterior uveitis, hereditary retinal and vitreoretinal disorder, high myopia,
intraocular neoplasia
 Maternal infections (rubella, toxoplasmosis, CMV)
 Maternal drug ingestion (thalidomide, corticosteroids)
 Presenile cataract (myotonic dystrophy, atopic dermatitis)
 Syndromes with cataract (down’s syndrome, werner’s syndrome, lowe’s syndrome)
 Hereditary
 Secondary cataract
• Morphological classification : • Sign & symptoms:
 Capsular – Near-sightedness (myopia
 Subcapsular shift) Early in the
 Nuclear development of age-related
cataract, the power of the
 Cortical lens may be increased
 Lamellar – Reduce the perception of
 Sutural blue colorsgradual
• Chronological classification: yellowing and opacification of
 Congenital (since birth) the lens
 Infantile ( first year of life) – Gradual vision loss
 Juvenile (1-13years) – Almost always one eye is
 Presenile (13-35 years) affected earlier than the
other
 Senile
– Shadow test +
Klasifikasi morfologi katarak

Oxford American Handbook of Ophthalmology 2011


Oxford American Handbook of Ophthalmology 2011
Oxford American Handbook of Ophthalmology 2011
Oxford American Handbook of Ophthalmology 2011
Ilmu Penyakit Mata Ed 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006

KATARAK-SENILIS
• Katarak senilis adalah kekeruhan lensa yang • 4 stadium: insipien, imatur (In some patients, at
terdapat pada usia lanjut, yaitu usia di atas 50 this stage, lens may become swollen due to
tahun continued hydration  ‘intumescent cataract’),
matur, hipermatur
• Epidemiologi : 90% dari semua jenis katarak • Gejala : distorsi penglihatan, penglihatan
• Etiologi :belum diketahui secara pasti  kabur/seperti berkabut/berasap, mata tenang
multifaktorial: • Penyulit : Glaukoma, uveitis
 Faktor biologi, yaitu karena usia tua dan • Tatalaksana : operasi (ICCE/ECCE)
pengaruh genetik
 Faktor fungsional, yaitu akibat akomodasi
yang sangat kuat mempunyai efek buruk
terhadap serabu-serabut lensa.
 Faktor imunologik
 Gangguan yang bersifat lokal pada lensa,
seperti gangguan nutrisi, gangguan
permeabilitas kapsul lensa, efek radiasi
cahaya matahari.
 Gangguan metabolisme umum
Klasifikasi Katarak Senilis Berdasarkan
Lokasi
Katarak nuklear
• kekeruhan terutama pada nukleus • Akibat myiopic shift,individu dengan
dibagian sentral lensa. presbiopia dapat membaca tanpa
• Terjadi akibat sklerosis nuklear; kacamata (disebut penglihatan
nukleus cenderung menjadi gelap kedua/second sight).
dan keras (sklerosis), berubah dari • Menyebabkan gangguan yang lebih besar
jernih menjadi kuning sampai coklat. pada penglihatan jauh daripada
• Biasanya mulai timbul sekitar usia 60- penglihatan dekat
70 tahun dan progresivitasnya • Bisa terjadi pada pasien diabetes melitus
lambat. dan miopia tinggi
• Pengerasan yang progresif dari • Bisa timbul diplopia monokular (akbibat
nukleus lensa peningkatan indeks perubahan mendadak indeks refraksi
refraksi lensa terjadi perpindahan antara korteks dan nuklear) dan
miopik (myopic shift), dikenal sbg gangguan diskriminasi warna (terutama
miopia lentikularis. biru dan ungu, akibat kuningnya lensa)
Klasifikasi Katarak Senilis Berdasarkan
Lokasi
Katarak kortikal
• Kekeruhan pada korteks lensa ( bisa di • Gejala katarak kortikal adalah
daerah anterior, posterior dan equatorial fotofobia dari sumber cahaya
korteks) fokal yang terus-menerus dan
• Muncul pada usia 40-60 tahun dan diplopia monokular
progresivitasnya lambat. • Kekeruhan dimulai dari celah dan
• Terdapat wedge-shape opacities/cortical vakoula antara serabut lensa oleh
spokes atau gambaran seperti ruji. karena hidrasi oleh korteks.
• Efeknya terhadap fungsi penglihatan • Disebabkan oleh berkurangnya
bervariasi, tergantung dari jarak protein total, asam amnio, dan
kekeruhan terhadap aksial penglihatan
kalium yang dihubungkan dengan
• Katarak kortikal umumnya tidak memberi peningkatan konsentrasi natrium
gejala sampai tingkat progresifitas lanjut dan hidrasi lensa, diikuti oleh
ketika jari-jari korteks membahayakan axis koagulasi protein.
penglihatan (penglihatan dirasakan lebih
baik pada cahaya terang ketika pupil
miosis.)
Klasifikasi Katarak Senilis Berdasarkan
Lokasi
Katarak subkapsular posterior
(katarak cupuliformis)
• Terdapat pada korteks di dekat kapsul • Kadang mengalami diplopia
posterior bagian sentral dan biasanya di monokular.
aksial.
• Sering terlihat pada pasien
• Biasanya mulai timbul sekitar usia 40-60
tahun dan progresivitasnya cepat.
yang lebih muda dibandingkan
dengan pasien katarak nuklear
• Sejak awal, menimbulkan gangguan
/ kortikal.
penglihatan karena adanya keterlibatan
sumbu penglihatan. • Sering ditemukan pada pasien
• Gejala yang timbul adalah fotofobia dan DM, miopia tinggi dan retinitis
penurunan visus dibawah kondisi cahaya pigmentosa, akibat trauma,
terang, akomodasi, atau miotikum. penggunaan kortikosteroid
• Penglihatan dirasakan lebih baik ketika sistemik atau topikal,
pupil midriasis pada malam hari dengan inflamasi, dan paparan radiasi
cahaya yang suram (day blindness) ion.
• Ketajaman penglihatan dekat menjadi
lebih berkurang daripada penglihatan
jauh.
BEDAH KATARAK
Lensa diangkat dari mata (ekstraksi lensa) dengan prosedur intrakapsular atau
ekstrakapsular:
•Ekstraksi Katarak Intrakapsular (EKIK) :
 Mengeluarkan seluruh lensa bersama kapsulnya
 Tidak boleh dilakukan pada pasien usia <40thn, yang masih mempunyai
ligamen hialoidea kapsular
•Ekstraksi Katarak Ekstrakapsular (EKEK):
 Dilakukan pengeluaran isi lensa dengan memecah atau merobek kapsul lensa
anterior sehingga massa lensa dapat keluar melalui robekan tersebut
 Dilakukan pada pasien muda, dengan kelainan endotel, bersama-sama
keratoplasti, implantasi lensa intraokuler posterior, perencanaan implastasi
sekunder lensa intraokuler, kemungkinan akan dilakukan bedah glaukoma,
mata dengan predisposisi terjadinya prolaps badan kaca, sebelumnya pasien
mengalami ablasio retina, mata dengan makular edema, pasca bedah ablasi.
•Fakofragmentasi dan Fakoemulsifikasi : teknik ekstrakapsular menggunakan
getaran ultrasonik untuk mengangkat nukleus dan korteks melalui insisi
lumbus yang kecil

Sidarta Ilyas, Ilmu Penyakit Mata


38. GLAUKOMA KONGENITAL
• 0,01% diantara 250.000 • Klasifikasi lainnya:
penderita glaukoma – Glaukoma kongenital primer
• 2/3 kasus pada Laki-laki dan anomali perkembangan yang
mempengaruhi trabecular
2/3 kasus terjadi bilateral meshwork.
• 50% manifestasi sejak lahir; – Glaukoma kongenital
70% terdiagnosis dlm 6 bln sekunder: kelainan kongenital
pertama; 80% terdiagnosis mata dan sistemik lainnya,
dalam 1 tahun pertama kelainan sekunder akibat
trauma, inflamasi, dan tumor.
• Klasifikasi menurut Schele:
– Glaukoma infantum: tampak
waktu lahir/ pd usia 1-3 thn
– Glaukoma juvenilis: terjadi
pada anak yang lebih besar

Buku ilmu penyakit mata Nana Wijaya & Oftalmologi umum Vaugahn & Asbury
Etiologi
• Barkan suggested incomplete • Primary congenital glaucoma appears
resorption of mesodermal tissue led to result from developmental
to formation of a membrane across
the anterior chamber angle  anomaly of the anterior segment
Barkan's membrane. structures derived from the
– The existence of such a membrane embryonic neural crest cells causing
has not been proved by light or outflow obstruction to aqueous by
electron microscopy.
• Maumenee & Anderson several mechanisms.
demonstrated abnormal anterior • Developmental arrest may result in
insertion (high insertion) of ciliary anterior insertion of iris, direct
muscle over the scleral spur in eyes
with infantile glaucoma. insertion of the ciliary body onto the
– Longitudinal and circular fibers of the trabecular meshwork and poor
ciliary muscles inserted directly onto structural development of the scleral
the trabecular meshwork rather than spur.
the scleral spur and root of the iris
inserts directly to trabecular
meshwork.
– due to a development arrest in the
normal migration of anterior uvea
across the meshwork in the third
trimester of gestation.

R Krishnadas, R Ramakrishnan. Congenital Glaucoma-A Brief Review. Journal of Current


Glaucoma Practice
Patogenesis
 Abnormalitas anatomi trabeluar meshwork  penumpukan
cairan aqueous humor  peninggian tekanan intraokuler 
bisa terkompensasi krn jaringan mata anak masih lembek
sehingga seluruh mata membesar (panjang bisa 32 mm,
kornea bisa 16 mm  buftalmos & megalokornea)  kornea
menipis sehingga kurvatura kornea berkurang

 Ketika mata tidak dapat lagi meregang  bisa terjadi


penggaungan dan atrofi papil saraf optik

Buku ilmu penyakit mata Nana Wijaya & Oftalmologi umum Vaugahn & Asbury
Gejala & Diagnosis
• Tanda dini: fotofobia, • Diagnosis glaukoma
epifora, dan blefarospasme
kongenital tahap lanjut
• Terjadi pengeruhan kornea
dengan mendapati:
• Penambahan diameter
kornea (megalokornea; – Megalokornea
diameter ≥ 13 mm) – Robekan membran
• Penambahan diameter bola descement
mata (buphtalmos/ ox eye) – Pengeruhan difus kornea
• Peningkatan tekanan
intraokuler

Buku ilmu penyakit mata Nana Wijaya & Oftalmologi umum Vaugahn & Asbury
Glaukoma kongenital, perhatikan
Megalocornea adanya pengeruhan kornea dan
buftalmos

http://www.pediatricsconsultant360.com/content/buphthalmos
http://emedicine.medscape.com/article/1196299-overview
Penatalaksanaan
• Penatalaksanaan Congenital glaucoma dititik beratkan pada
pembedahan yang harus dilakukan sesegera mungkin.
• Goniotomy dan trabeculotomy merupakan pilihan utama
pembedahan yang dapat dilakukan pada kasus ini  keduanya
aman, dan komplikasi sangat rendah
• Pembedahan lebih dipilih dibanding terapi medikamentosa karena
masalah compliance, kurangnya informasi mengenai efek obat
terhadap tubuh anak serta respon terapi yang buruk.
• Trabeculoectomy : membuat fistula pada daerah limbus yang
menghubungkan kamera okuli anterior dan ruangan
subkonjungtiva; menembus trabecular meshwork, canal schlem dan
duktus koletikus
– Trabeculectomy merupakan pilihan bila goniotomies atau
trabeculotomies gagal
• Glaucoma drainage implants,  juga dapat menjadi pilihan terapi
Goniotomy
• Goniotomi (memotong
jaringan yg menutup trabekula
atau memotong iris yg
berinsersi pada trabekula)
• Sangat aman bila dilakukan
oleh ahli
• Goniotomy dilakukan bila
transparansi kornea baik dan
sudut bilik mata depan dapat
divisualisasi dengan baik
Trabeculotomy
• Trabeculotomy adalah
pembedahan untuk membuka
sinus venosus sklera (canal
schlem)  mengalirkan aqueous
humor
• Trabeculotomy dilakukan bila
kekeruhan kornea menghambat
visualisasi sudut bilik mata depan
• Faktor yang menurunkan angka
keberhasilan trabeculotomy
adalah glaukoma kongenital yang
disertai dengan kelainan okular
lainnya (Peters, Sturge-Weber,
Aniridia, etc.) serta diamter
kornea > 14 mm.
Glaukoma kongenital

Trabeculotomy

Trabeculotomy+trabeculectomy
39. UVEITIS
•Uveitis :
–inflamasi di uvea
yaitu iris, badan siliar
dan koroid yang
dapat menimbulkan
kebutaan.
–Di negara maju,
10% kebutaan pada
populasi usia
produktif adalah
akibat uveitis
Klasifikasi
• The International Uveitis Study Group (IUSG) dan The
Standardization of Uveitis Nomenclatur (SUN) membagi uveitis
berdasarkan anatomi, etiologi, dan perjalanan penyakit
• Anatomi :
– uveitis anterior, uveitis intermediet, uveitis posterior, dan panuveitis
• Etiologi:
– infeksi (bakteri, virus, jamur, dan parasit), non-infeksi, dan idiopatik.
• Perjalanan penyakit
– Akut (onset mendadak dan durasi kurang dari empat minggu),
– Rekuren (episode uveitis berulang),
– Kronik (uveitis persisten atau kambuh sebelum tiga bulan setelah
pengobatan dihentikan), dan
– Remisi (tidak ada gejala uveitis selama tiga bulan atau lebih)

Sitompul R. Diagnosis dan Penatalaksanaan Uveitis dalam Upaya Mencegah Kebutaan. Jurnal universitas Indonesia. Vol. 4, No. 1, April 2016
Uveitis anterior
• Inflamasi di iris (iritis) dan badan siliar (siklitis).
Bila inflamasi meliputi iris dan badan siliar maka
disebut iridosiklitis
• Etiologi :
– kelainan sistemik seperti spondiloartropati, artritis
idiopatik juvenil, sindrom uveitis fuchs, kolitis ulseratif,
penyakit chron, penyakit whipple, tubulointerstitial
nephritis and uveitis
– Infeksi yang sering menyebabkan uveitis anterior
adalah virus herpes simpleks (VHS), virus varisela
zoster (VVZ), tuberkulosis, dan sifilis.

Sitompul R. Diagnosis dan Penatalaksanaan Uveitis dalam Upaya Mencegah Kebutaan. Jurnal universitas Indonesia. Vol. 4, No. 1, April 2016
Diagnosis Uveitis Anterior
• Gejala Klinis : • Tanda
– mata merah – injeksi siliar akibat vasodilatasi
– visus turun akibat kekeruhan arteri siliaris posterior longus
cairan akuos dan edema kornea dan arteri siliaris anterior yang
walaupun uveitis tidak selalu memperdarahi iris serta badan
menyebabkan edema kornea siliar.
– Nyeri tumpul berdenyut, dan – Bilik mata depan : pelepasan
fotofobia akibat spasme otot sel radang, pengeluaran
siliar dan sfingter pupil protein (cells and flare) dan
– Jika disertai nyeri hebat, perlu endapan sel radang di endotel
kornea (presipitat keratik).
dicurigai peningkatan tekanan
bola mata. – Presipitat keratik halus 
– Spasme sfingter pupil inflamasi nongranulomatosa;
mengakibatkan miosis dan – Presipitat keratik kasar 
memicu sinekia posterior. inflamasi granulomatosa

Sitompul R. Diagnosis dan Penatalaksanaan Uveitis dalam Upaya Mencegah Kebutaan. Jurnal universitas Indonesia. Vol. 4, No. 1, April 2016
Uveitis Intermediet
• Peradangan di pars plana yang sering diikuti vitritis dan uveitis posterior.
• Penyakit tersebut biasanya terjadi pada usia dekade ketiga-keempat dan
20% terjadi pada anak.
• Etiologi:
– Idiopatik (69,1%), sarkoidosis (22,2%), multiple sclerosis (7,4%), dan lyme
disease (0,6%). Selain itu, dapat juga disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis, Toxoplasma, Candida, dan sifilis.
• Gejala :
– Gejala biasanya ringan yaitu penurunan tajam penglihatan tanpa disertai nyeri
dan mata merah, namun jika terjadi edema makula dan agregasi sel di vitreus
penurunan tajam penglihatan dapat lebih buruk.
– Pars planitis berupa bercak putih akibat agregasi sel inflamasi dan jaringan
fibrovaskular (snowbank) yang menunjukkan inflamasi berat dan memerlukan
terapi agresif.
– Komplikasinya adalah edema makula (12-51%), glaukoma (20%), dan katarak
(15-50%)

Sitompul R. Diagnosis dan Penatalaksanaan Uveitis dalam Upaya Mencegah Kebutaan. Jurnal universitas Indonesia. Vol. 4, No. 1, April 2016
Uveitis Posterior
• Peradangan lapisan koroid yang sering melibatkan jaringan sekitar seperti
vitreus, retina, dan nervus optik.
• Etiologi:
– Infeksi paling sering disebabkan oleh T.gondii, M.tuberculosis, sifilis, VHS, VVZ,
cytomegalovirus (CMV), dan HIV.
– Non-infeksi, uveitis posterior disebabkan oleh koroiditis multifokal, birdshot
choroidopathy, sarkoidosis, dan neoplasma
• Gejala klinis :
– Penglihatan kabur yang tidak disertai nyeri, mata merah, dan fotofobia.
– Komplikasi dapat berupa katarak, glaukoma, kekeruhan vitreus, edema
makula, kelainan pembuluh darah retina, parut retina, ablasio retinae, dan
atrofi nervus optik.
– Prognosis uveitis posterior lebih buruk dibandingkan uveitis anterior karena
menurunkan tajam penglihatan dan kebutaan apabila tidak ditatalaksana
dengan baik.

Sitompul R. Diagnosis dan Penatalaksanaan Uveitis dalam Upaya Mencegah Kebutaan. Jurnal universitas Indonesia. Vol. 4, No. 1, April 2016
Panuveitis
• Peradangan seluruh uvea dan struktur
sekitarnya seperti retina dan vitreus.
• Etiologi:
– Penyebab tersering adalah tuberkulosis, sindrom
VKH, oftalmia simpatika, penyakit behcet, dan
sarkoidosis.
– Diagnosis panuveitis ditegakkan bila terdapat
koroiditis, vitritis, dan uveitis anterior

Sitompul R. Diagnosis dan Penatalaksanaan Uveitis dalam Upaya Mencegah Kebutaan. Jurnal universitas Indonesia. Vol. 4, No. 1, April 2016
No. Jenis Keterangan
Pemeriksaan
Penunjang pada
Uveitis
1 Slit lamp menilai segmen anterior injeksi siliar dan episklera, skleritis,
edema kornea, presipitat keratik, bentuk dan jumlah sel di bilik
mata, hipopion serta kekeruhan lensa
2 Oftalmoskop menilai kelainan di segmen posterior seperti vitritis, retinitis, perdarahan
retina, koroiditis dan kelainan papil nervus optik

3 Pemeriksaan bermanfaat pada kelainan sistemik misalnya darah perifer lengkap, laju
laboratorium endap darah, serologi, urinalisis, dan antinuclear antibody
4 Optical coherence merupakan pemeriksaan non-invasif yang dapat memperlihatkan edema
tomography (OCT) makula, membran epiretina, dan sindrom traksi vitreomakula
5 USG B –scan sangat membantu memeriksa segmen posterior mata pada keadaan
media keruh misalnya pada katarak dan vitritis

6 Fundus fluoresen fotografi fundus yang dilakukan berurutan dengan cepat setelah injeksi
angiografi (FFA) zat warna natrium fluoresen (FNa) intravena.
FFA memberikan informasi mengenai sirkulasi pembuluh darah retina dan
koroid, detail epitel pigmen retina dan sirkulasi retina serta menilai
integritas pembuluh darah saat fluoresen bersirkulasi di koroid dan retina.
Penatalaksanaan Uveitis
• Prinsip penatalaksanaan uveitis
1. Menekan reaksi inflamasi
• Kortikosteroid topikal merupakan terapi pilihan untuk
mengurangi inflamasi : 1).prednisolon 0,5%,; 2).
prednisolon asetat 1%; 3). betametason 1% ; 4).
deksametason 0,1%, dan 5). fluorometolon 0,1%.
• Injeksi kortikosteroid periokular diberikan pada kasus yang membutuhkan
depo steroid dan menghindari efek samping kortikosteroid jangka panjang.
• Kortikosteroid sistemik diberikan untuk mengatasi uveitis berat atau uveitis
bilateral
• Imunosupresan dapat dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama pada
penyakit behcet, granulomatosis wegener, dan skleritis nekrotik karena
penyakit tersebut dapat mengancam jiwa. Imunosupresan dibagi menjadi
golongan antimetabolit, supresor sel T, dan sitotoksik.
2. Mencegah dan memperbaiki kerusakan struktur,

Sitompul R. Diagnosis dan Penatalaksanaan Uveitis dalam Upaya Mencegah Kebutaan. Jurnal universitas Indonesia. Vol. 4, No. 1, April 2016
3. Memperbaiki fungsi penglihatan
• Terapi bedah diindikasikan untuk memperbaiki penglihatan.
• Operasi dilakukan pada kasus uveitis yang telah tenang
(teratasi) tetapi mengalami perubahan permanen akibat
komplikasi seperti katarak, glaukoma sekunder, dan ablasio
retina.
• Kortikosteroid diberikan 1-2 hari sebelum operasi dan steroid
intraokular atau periokular dapat diberikan pasca-operasi
• Vitrektomi ditujukan untuk memperbaiki tajam penglihatan
bila kekeruhan menetap setelah pengobatan.
4. Menghilangkan nyeri dan fotofobia.
• NSAID digunakan untuk mengurangi nyeri dan inflamasi sedangkan
siklopegik diberikan untuk mencegah sinekia posterior.
• Obat yang diberikan adalah siklopentolat 0,5-2% dan homatropin

Sitompul R. Diagnosis dan Penatalaksanaan Uveitis dalam Upaya Mencegah Kebutaan. Jurnal universitas Indonesia. Vol. 4, No. 1, April 2016
Anterior Uveitis –
Clinical Pearls
• Four major complications exist
– Cataract
– Secondary glaucoma
– Band keratopathy
– Cystoid macular oedema
• Easy to spot acute by signs & symptoms
• Check patients with associated systemic conditions for chronic
condition, which may be asymptomatic
• Acute condition is most commonly caused by blunt trauma.
Recurrence in such cases is rare
• Any three recurrent acute episodes, with no other explanations,
indicates a systemic cause
40. RETINOPATI DIABETIK
ANAMNESIS

MATA MERAH MATA MERAH MATA TENANG


MATA TENANG VISUS
VISUS NORMAL VISUS TURUN VISUS TURUN
TURUN MENDADAK
• struktur yang PERLAHAN
mengenai media
bervaskuler 
refraksi (kornea, • uveitis posterior • Katarak
sklera konjungtiva •
uvea, atau perdarahan vitreous • Glaukoma
• tidak • Ablasio retina • retinopati
seluruh mata)
menghalangi • oklusi arteri atau vena penyakit sistemik
media refraksi retinal • retinitis
• neuritis optik pigmentosa
• Keratitis
• Konjungtivitis murni • neuropati optik akut • kelainan refraksi
• Keratokonjungtivitis
karena obat (misalnya
• Trakoma • Ulkus Kornea
• mata kering, etambutol), migrain,
• Uveitis
tumor otak
xeroftalmia • glaukoma akut
• Pterigium • Endoftalmitis
• Pinguekula • panoftalmitis
• Episkleritis
• skleritis
RETINOPATI DIABETIK
DM ophthalmic complications : • Diabetic Retinopathy :
Retinopathy (damage to the
• Corneal abnormalities retina) caused by
• Glaucoma complications of diabetes,
which can eventually lead to
• Iris neovascularization
blindness.
• Cataracts
• It is an ocular manifestation of
• Neuropathies systemic disease which affects
• Diabetic retinopathy → up to 80% of all patients who
most common and have had diabetes for 10 years
potentially most blinding or more.
RETINOPATI DIABETIK
• Riwayat DM yang lama, biasa > 20 tahun
• Mata tenang visus turun perlahan
• Pemeriksaan Oftalmoskop
– Mikroaneurisma (penonjolan dinding kapiler)
– Perdarahan dalam bentuk titik, garis, bercak yang letaknya dekat
dengan mikroaneurisma di polus posterior (dot blot hemorrhage)
– Dilatasi vena yang lumennya ireguler dan berkelok
– Hard exudate (infiltrasi lipid ke dalam retina akibat dari peningkatan
permeabiitas kapiler), warna kekuningan
– Soft exudate (cotton wall patches) adalah iskemia retina tampak
sebagai bercak kuning bersifat difus dan warna putih
– Neovaskularisasi
– Edema retina
Klasifikasi Retinopati Diabetik
Nonproliferative Diabetic Retinopathy
• Retinal vascular related abnormalities such as
microaneurysms, intraretinal hemorrhages, venous
dilatation, and cotton wool spot
• Increased retinal vascular permeability  result in
retinal thickening (edema) and lipid deposits (hard
exudate)
• Severe NPDR :
– Venous abnormalities (dilatation, beading and loops),
more severe and extensive vascular leackage (increased
retinal hemorrhage and exudation)
– This patient should be considered candidates for
treatment with panretinal photocoagulation

American Academy of Ophtalmology. Diabetic retinopathy. 2014


Dot blot hemorrhage
Flame-shaped hemorrhage

Microaneurysm / dot blot hemorrhage


Proliferative Diabetic retinopathy
• Neovascularization at the inner surface of retina
induced by more global retinal ischemia.
• Neovaskularisasi near the optic disc and
elsewhere are prone to bleed  vitreous
hemorrhage
• Neovaskularisasi undergo fibrosis and contraction
 epiretinal membrane formation, vitroretinal
traction band, retinal tears and traction or
rhegmatogenosa ablasio retina
American Academy of Ophtalmology. Diabetic retinopathy. 2014
Proliferative diabetic retinopathy
Neovascularization
• Clinically significant macular edema (CSME)
describe retinal thickening and/or adjacent
hard exudates that etiher involve the center of
macula or threaten to invole it
– Center involving
– Non center involving

American Academy of Ophtalmology. Diabetic retinopathy. 2014


Macular edema
Anti-VEGF injection
• Initial treatment choice for center involving macular
edema with possible subsequent or deffered focal
treatment.
• The Diabetec Retinopathy Clinical Research Network
also showed that anti-VEGF with either prompt or
deffered laser photocoagulation was better than either
laser alone or laser combined with triamcinolone
acetonide.
• AntiVEGF theraphy using bevacizumab, ranibizumab, or
ablifibercept is an effective treatment for center
involving significant macular edema
N EU R OLOGI
41. Neuralgia Trigeminal
42. EPIDURAL HEMATOM
• Pengumpulan darah diantara tengkorak dg
duramater. Biasanya berasal dari arteri yg pecah
oleh karena ada fraktur atau robekan langsung.
• Gejala (trias klasik) :
1. Interval lusid.
2. Hemiparesis/plegia.
3. Pupil anisokor.
 Diagnosis akurat dg CT scan kepala : perdarahan
bikonveks atau lentikulerdi daerah epidural.

PERDOSSI. Trauma Kapitis. 2006


EPIDURAL
HEMATOM

Epidural
HEMATOM
HEMATOM EPIDURAL HEMATOM SUBDURAL
SUBARAKHNOID

• Lucid interval • SDH akut : kurang dari • Kaku kuduk


• Kesadaran makin 72 jam • Nyeri kepala
menurun • SDH subakut : 3-21 hr • Bisa didapati
• Late hemiparesis pasca trauma. gangguan kesadaran
kontralateral lesi • SDH khronis : > 21 • Akibat pecah
• Pupil anisokor hari. aneurisme berry
• Babinsky (+) • Gejala: sakit kepala
kontralateral lesi disertai /tidak disertai
• Fraktur daerah penurunan kesadaran
temporal * akibat robekan
* akibat pecah a. bridging vein
meningea media
43. Meningitis TB
• Meningitis adalah radang umum pada arakhnoid dan
piamater yang dapat terjadi secara akut dan kronis.
Sedangkan ensefalitis adalah radang jaringan otak.
• Meningoensefalitis tuberkulosis adalah peradangan
pada meningen dan otak yang disebabkan oleh
Mikobakterium tuberkulosis (TB).
• Penderita dengan meningoensefalitis dapat
menunjukkan kombinasi gejala meningitis dan
ensefalitis.
Patologi
• Meningitis TB tak hanya mengenai meningen tapi juga parenkim dan vaskularisasi
otak. Bentuk patologis primernya adalah tuberkel subarakhnoid yang berisi
eksudat gelatinous.
• Pada ventrikel lateral seringkali eksudat menyelubungi pleksus koroidalis. Secara
mikroskopik, eksudat tersebut merupakan kumpulan dari sel polimorfonuklear
(PMN), leukosit, sel darah merah, makrofag, limfosit diantara benang benang
fibrin.
• Selain itu peradangan juga mengenai pembuluh darah sekitarnya, pembuluh darah
ikut meradang dan lapisan intima pembuluh darah akan mengalami degenerasi
fibrinoid hialin. Hal ini merangsang terjadinya proliferasi sel sel subendotel yang
berakhir pada tersumbatnya lumen pembuluh darah dan menyebabkan infark
serebral karena iskemia.
• Gangguan sirkulasi cairan serebrospinal (CSS) mengakibatkan hidrosefalus
obstruktif (karena eksudat yang menyumbat akuaduktus spinalis atau foramen
luschka, ditambah lagi dengan edema yang terjadi pada parenkim otak yang akan
semakin menyumbat.
• Adanya eksudat, vaskulitis, dan hidrosefalus merupakan karakteristik dari
menigoensefalitis yang disebabkan oleh TB.
Gejala klinis meningitis TB dibagi 3 stadium:
Stadium I : Stadium awal (2-3 minggu)
• Gejala prodromal non spesifik : apatis, iritabilitas, nyeri
kepala, malaise, demam, anoreksia
Stadium II : Intermediate (transisi 1-3 minggu)
• Gejala menjadi lebih jelas: mengantuk, kejang
• Defisit neurologik fokal : hemiparesis, paresis saraf
kranial(terutama N.III dan N.VII, gerakan involunter
• Hidrosefalus, papil edema
Stadium III : Advanced (± 3 minggu setelah gejala awal)
• Penurunan kesadaran
• Disfungsi batang otak, dekortikasi, deserebrasi
Diagnosa pada meningitis TB dapat dilakukan dengan beberapa cara :8
1. Anamnese: ditegakkan berdasarkan gejala klinis, riwayat kontak dengan
penderita TB
2. Lumbal pungsi:
• Gambaran LCS pada meningitis TB : Warna jernih / xantokrom, jumlah
Sel meningkat MN > PMN, Limfositer, protein meningkat, glukosa
menurun <50 % kadar glukosa darah.
• Pemeriksaan tambahan lainnya : Tes Tuberkulin, Ziehl-Neelsen ( ZN ),
PCR
3. Rontgen thorax: TB apex paru, TB milier
4. CT scan otak
• Penyengatan kontras ( enhancement ) di sisterna basalis
• Tuberkuloma : massa nodular, massa ring-enhanced
• Komplikasi : hidrosefalus
5. MRI

Diagnosis dapat ditegakkan secara cepat dengan PCR, ELISA dan aglutinasi
Latex. Baku emas diagnosis meningitis TB adalah menemukan M. tb dalam
kultur CSS. Namun pemeriksaan kultur CSS ini membutuhkan waktu yang
lama dan memberikan hasil positif hanya pada kira-kira setengah dari
penderita
• Regimen terapi: 2RHZE / 7-10RH
• Indikasi Steroid : Kesadaran menurun, defisit
neurologist fokal
• Dosis steroid : Deksametason 10 mg bolus
intravena, kemudian 4 kali 5 mg intravena
selama 2 minggu selanjutnya turunkan
perlahan selama 1 bulan.
CSF Finding in Meningitis

Bamberger DM. Diagnosis, Initial Management, and Prevention of Meningitis. Am Fam Physician. 2010;82(12):1491-1498
44. Migrain

Olesen J et al. The International Classification of Headache Disorders 3rd edition. International Headache Society . 2013
• Migren: nyeri kepala primer dengan kualitas vaskular (berdenyut), diawali
unilateral yang diikuti oleh mual, fotofobia, fonofobia, gangguan tidur dan
depresi
• Penyebab Idiopatik (belum diketahui hingga saat ini) :
• Gangguan neurobiologis
• Perubahan sensitivitas sistem saraf
• Avikasi sistem trigeminalvaskular
• Pada wanita migren lebih banyak ditemukan dibanding pria dengan skala 2:1.

Faktor Predisposisi
• Menstruasi biasa pada hari pertama menstruasi atau sebelumnya/
perubahan hormonal.
• Puasa dan terlambat makan
• Makanan misalnya akohol, coklat, susu, keju dan buahbuahan.
• Cahaya kilat atau berkelip
• Banyak tidur atau kurang tidur
• Faktor herediter
• Faktor kepribadian
Kriteria Diagnosis Migrain
Alur Tatalaksana Migrain Akut

Gilmore B, Michael B. Treatment of Acute Migrain. AAFP Volume 83, Number 3 . 2011
Penatalaksanaan Migrain
• Pada saat serangan pasien dianjurkan untuk menghindari stimulasi
sensoris berlebihan.
• Bila memungkinkan beristirahat di tempat gelap dan tenang dengan
dikompres dingin

Pengobatan Abortif :
1. Analgesik spesifik analgesik khusus untuk nyeri kepala.
– Lebih bermanfaat untuk kasus yang berat atau respon buruk dengan NSAID.
Contoh: Ergotamin, Dihydroergotamin, dan golongan Triptan (agonis selektif
reseptor serotonin / 5-HT1)
– Ergotamin dan DHE  migren sedang sampai berat apabila analgesik non
spesifik kurang terlihat hasilnya atau memberi efek samping.
– Kombinasi ergotamin dengan kafein bertujuan untuk menambah absorpsi
ergotamin sebagai analgesik. Hindari pada kehamilan, hipertensi tidak
terkendali, penyakit serebrovaskuler serta gagal ginjal.

IDI. Panduan praktik klinis bagia dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer. Ed I.2013
2. Analgesik non-spesifik
Yakni: analgesik yang dapat digunakan pada nyeri selain nyeri kepala

Respon terapi dalam 2 jam (nyeri kepala residual ringan atau hilang
dalam 2 jam)
• Aspirin 600-900 mg + metoclopramide
• Asetaminofen 1000 mg
• Ibuprofen 200-400 mg

Terapi Profilaksis (The U.S. Headache Consortium’s)


• Diberikan pada orang yang memiliki KI atau intoleransi terhadap terapiabortif
• Nyeri kepala muncul lebih dari 2 hari/minggu
• Nyeri kepala yang berat dan mempengaruhi kualitas hidup (walau telah diberi
terapi abortif)
• Gejala migrain jarang including hemiplegic migraine, basilar migraine, migraine
with prolonged aura, or migrainous infarction
• Terapi preventif jangka pendek pasien akan terkena faktor risiko yang telah
dikenal dalam jangka waktu tertentu, misalnya migren menstrual.
• Terapi preventif kronis diberikan dalam beberapa bulan bahkan tahun tergantung
respon pasien.
Terapi Profilaksis
Pembahasan Soal
• Jawaban C (migrain tanpa aura) dipilih karena gejala
sakit kepala sebelah dengan kualitas berdenyut dan
tanpa aura yang menyertai.
• Jawaban A (Cephalgia)  Sakit kepala secara umum
tidak spesifik.
• Jawaban B (Migrain dengan aura)  tidak ada aura
yang mendahului sakit kepala.
• Jawaban D (Tension headache)  sakit kepala dengan
kualitas kepala seperti dibebani atau ditarik.
• Jawaban E (Cluster headache)  tipe sakit kepala berat
biasa terjadi secara episodik, dapat disertai mata
merah berair dan rinore.
45. Carpal Tunnel Syndrome
ILM U
PSIK IATR I
46. JENIS WAHAM
Waham Karakteristik
Bizzare keyakinan yang keliru, mustahil dan aneh
Sistematik keyakinan yang keliru atau keyakinan yang tergabung dengan satu
tema/kejadian.
Nihilistik perasaan yang keliru bahwa diri dan lingkungannya atau dunia tidak ada
atau menuju kiamat.
Somatik perasaan yang keliru yang melibatkan fungsi tubuh.
Paranoid termasuk didalamnya waham kebesaran, waham kejaran/presekutorik,
(curiga) waham rujukan (reference), dan waham dikendalikan.
Kebesaran/ keyakinan atau kepercayaan, biasanya psikotik sifatnya, bahwa dirinya
grandiosity adalah orang yang sangat kuat, sangat berkuasa atau sangat besar.
Kejar/ mengira bahwa dirinya adalah korban dari usaha untuk melukainya, atau
persekutorik yang mendorong agar dia gagal dalam tindakannya.
Rujukan/ selalu berprasangka bahwa orang lain sedang membicarakan dirinya dan
delusion of kejadian-kejadian yang alamiah pun memberi arti khusus/berhubungan
reference dengan dirinya
Jenis Waham
Waham Karakteristik
Kendali keyakinan yang keliru bahwa keinginan, pikiran, atau perasaannya
dikendalikan oleh kekuatan dari luar. Termasuk di dalamnya: thought
of withdrawal, thought of broadcasting, thought of insertion.
Thought of waham bahwa pikirannya ditarik oleh orang lain atau kekurangannya.
withdrawal
Thought of waham bahwa pikirannya disisipi oleh orang lain atau kekuatan lain.
insertion
Thought of waham bahwa pikirannya dapat diketahui oleh orang lain, tersiar
broadcasting diudara.
Cemburu keyakinan yang keliru yang berasal dari cemburu patologis tentang
pasangan yang tidak setia.
Erotomania keyakinan yang keliru, biasanya pada wanita, merasa yakin bahwa
seseorang sangat mencintainya.
Pembahasan Soal
• Erotomania
– keyakinan yang keliru, biasanya pada wanita, merasa yakin bahwa
seseorang sangat mencintainya
– Pasien ini merasa suami kakaknya mencintai dirinya dibandingkan
kakaknya
• Pilihan A selalu berprasangka bahwa orang lain sedang
membicarakan dirinya dan kejadian-kejadian yang alamiah pun
memberi arti khusus/berhubungan dengan dirinya
• Pilihan B keyakinan yang keliru bahwa keinginan, pikiran, atau
perasaannya dikendalikan oleh kekuatan dari luar
• Pilihan D keyakinan atau kepercayaan, biasanya psikotik sifatnya,
bahwa dirinya adalah orang yang sangat kuat, sangat berkuasa atau
sangat besar
• Pilihan E kebiasaan mencabuti rambut untuk memperoleh
kenyamanan/ kepuasan.
47. GANGGUAN MENTAL ORGANIK
• Suatu kelompok gangguan jiwa yang disebabkan oleh adanya gangguan
pada jaringan otak atau pada organ lain di luar otak tapi mempengaruhi
fungsi otak

Klasifikasi :
• Dementia
• Delirium
• Sindroma amnestik organik bukan akibat alkohol dan zat psikoaktif lainnya
• Gangguan mental lainnya akibat kerusakan dan disfungsi otak dan
penyakit fisik
• Gangguan kepribadian dan perilaku akibat penyakit, kerusakan dan
disfungsi otak
DELIRIUM
• Delirium: kesadaran fluktuatif, ditandai dengan kesulitan memfokuskan,
mempertahankan, dan mengalihkan perhatian .

• Pedoman diagnostik:
– Gangguan kesadaran & perhatian
– Gangguan kognitif (distorsi persepsi, halusinasi, hendaya daya pikir, daya ingat,
disorientasi)
– Gangguan psikomotor: hipo/hiperaktivitas
– Gangguan siklus tidur-bangun
– Gangguan emosional: depresi, ansietas, lekas marah
– Onset cepat, hilang timbul, kurang dari 6 bulan

• Penyebab:
– SSP: kejang (postictal)
– Metabolik: gangguan elektrolit, hipo/hiperglikemia
– Penyakit sistemik: infeksi, trauma, dehidrasi/ovehidrasi
– Obat-obatan

Maslim R. Buku saku diagnosis gangguan jiwa. Rujukan ringkas dari PPDGJ-III.
Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition.
Diagnosis Delirium (DSM-IV)
Delirium Subtype
• Hyperactive subtype
May be agitated, disoriented, and delusional, and may experience
hallucinations. This presentation can be confused with that of
schizophrenia, agitated dementia, or a psychotic disorder.

• Hypoactive subtype
Subdued, quietly confused, disoriented, & apathetic. Delirium in
these patients may go unrecognized or be confused with
depression or dementia.

• Mixed subtype
Fluctuating between the hyperactive &hypoactive

Delirium. Ondria C, Gleason MD., University of Oklahoma College of Medicine, Tulsa, Oklahoma. Am Fam Physician. 2003
Mar 1;67(5):1027-1034.
Diagnosis Banding Delirium
Diagnosis Karakteristik
Delirium cognitive changes develop acutely and fluctuate. Speech can be confused or
disorganized. Alertness and attention wax and wane

Dementia insidious onset, chronic memory and executive function disturbance, tends not
to fluctuate. Intact alertness and attention but impoverished speech and
thinking

Schizofrenia Onset is rarely after 50. Auditory hallucinations are much more common than
visual hallucinations. Memory is grossly intact and disorientation is rare.
Speech is not dysarthric. No wide fluctuations over the course of a day

Mood Manifest persistent rather than labile mood with more gradual onset. In mania
disorder the patient can be very agitated however cognitive performance is not usually
as impaired. Flight of ideas usually have some thread of coherence unlike
simple distractibility. Disorientation is unusual in mania
Pembahasan Soal
• Pasien di atas mengalami gangguan
kesadaran, disertai dengan adanya uremia dan
kreatinin yang tinggi. Kemungkinan penyebab
gangguan kesadarannya adalah karena
masalah organik yaitu gagal ginjal
• PIlihan A dan B tidak dipilih penyebab
keduanya bukan masalah organik
• Pilihan C dan D tidak dipilih  merupakan
diagnosis axis 2 (gangguan kepribadian).
48. ANSIETAS
Diagnosis Characteristic
Gangguan panik Serangan ansietas yang intens & akut disertai dengan
perasaan akan datangnya kejadian menakutkan.
Tanda utama: serangan panik yang tidak diduga tanpa adanya
provokasi dari stimulus apapun & ada keadaan yang relatif
bebas dari gejala di antara serangan panik.

Gangguan fobik Rasa takut yang kuat dan persisten terhadap suatu objek atau
situasi, antara lain: hewan, bencana, ketinggian, penyakit,
cedera, dan kematian.

Gangguan Gejala emosional (ansietas/afek depresif ) atau perilaku


penyesuaian dalam waktu <3 bulan dari awitan stresor. Tidak
berhubungan dengan duka cita akibat kematian orang lain.

Gangguan cemas Ansietas berlebih terus menerus disertai ketegangan motorik


menyeluruh (gemetar, sulit berdiam diri, dan sakit kepala), hiperaktivitas
otonomik (sesak napas, berkeringat, palpitasi, & gangguan
gastrointestinal), kewaspadaan mental (iritabilita). Terjadj
selama min.6 bulan.
PEDOMAN DIAGNOSIS
GANGGUAN CEMAS MENYELURUH (PPDGJ-III)
• Penderita harus menunjukan anxietas sebagai gejala primer yg
harus berlangsung setiap hari untuk beberapa minggu sampai
beberapa bulan.

• Gejala tersebut mencakup unsur-unsur:


– Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seprti diujung tanduk
dan nasib buruk)
– Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak santai)
– Overaktivitas otonomik (kepala terasa sakit, keringatan, jantung
berdebar-debar, sesak napas, kelujhan lambung, pusing kepala)

• Pada anak-anak sering terlihat kebutuhan berlebihan untuk


ditenangkan & keluhan somatik berulang yg menonjol.

• Adanya gejala lain yg sifatnya sementara, khususnya untuk depresi,


tidak membatalkan diagnosis utama gangguan cemas menyeluruh
selama tidak memenuhi kriteria lengkap dari episode depresif.
Prinsip Tatalaksana Gangguan Cemas
• Gangguan cemas memiliki patofisiologi yang berhubungan
dengan depresi. Oleh karena itu, tatalaksana pada
gangguan cemas serupa dengan tatalaksana depresi.

• Tatalaksana medikamentosa definitif dengan antidepresan.


Namun antidepresan baru efektif mengurangi gejala
setelah diberikan selama 2-4 minggu.

• Obat anxiolytic seperti golongan benzodiazepin hanya


boleh digunakan untuk fase akut karena mengandung efek
adiktif dan tubuh mudah toleransi (butuh dosis makin
tinggi bila digunakan terus menerus).

http://www.medscape.com/viewarticle/762477
Terapi Antidepresan

SSRI sebagai drug of choice dari antidepresan.


Dosis Obat Antidepresan
Pembahasan Soal
• Pasien ini mengalami ketegangan motorik dan otonom
(sulit tidur, nafsu makan menurun, mudah lelah, dada
terasa berdebar-debar, napas sesak)  sering dijumpa
pada gangguan cemas.
• Pilihan B tidak dipilihfobia sosial ditandai dengan
ketakutan/ kecemasan akan dipermalukan di depan
umum
• Pilihan C tidak dipilihgangguan panik muncul dalam
bentuk episode-episode, bukan terus menerus
• Jawaban D tidak dipiih  harus ditemukan PF
abnormal pada psikosomatis
• Pilihan E tidak dipilih tidak nampak episode manic
atau depresi pada pasien.
49. GANGGUAN SOMATOFORM
Diagnosis Karakteristik
Gangguan somatisasi Banyak keluhan fisik (4 tempat nyeri, 2 GI tract, 1
seksual, 1 pseudoneurologis).
Hipokondriasis Keyakinan ada penyakit fisik.

Disfungsi otonomik Bangkitan otonomik: palpitasi, berkeringat,


somatoform tremor, flushing.

Nyeri somatoform Nyeri menetap yang tidak terjelaskan.

Gangguan Dismorfik Preokupasi adanya cacat pada tubuhnya


Tubuh Jika memang ada kelainan fisik yang kecil,
perhatian pasien pada kelainan tersebut akan
dilebih-lebihkan

PPDGJ
Pedoman Diagnosis
Gangguan Dismorfik Tubuh
• Preokupasi dengan bayangan cacat dalam penampilan.
Jika ditemukan sedikit anomali tubuh, kekhawatiran
orang tersebut adalah berlebihan dengan nyata.

• Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna


secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial,
pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.

• Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh


gangguan mental lain (misalnya, ketidakpuasan dengan
bentuk dan ukuran tubuh pada anorexia nervosa).
PPDGJ-III
Pembahasan Soal
• Diagnosis gangguan dismorfik tubuh pada pasien ini atas
dasar
– adanya preokupasi dengan bayangan cacat dalam penampilan
(menganggap bentuk hidungnya tidak sebagus bentuk hidung
adiknya, ingin operasi plastik untuk mempercantik bentuk
hidung).
• Pilihan A tidak tepat somatisasi ditandai dengan adanya
banyak keluhan tanpa kelainan pada pemeriksaan fisik.
• Pilihan B tidak tepathipokondriasis ditandai dengan
keyakinan pasien mengalami 1 diagnosis penyakit meski
semuanya normal.
• Pilihan D dan E tidak tepat  pada gangguan konversi/
disosiasi, keluhan yang dialami adalah keluhan neurologis
dan ada stresor pemicu timbulnya keluhan.
50. FOBIA
• Fobia adalah penolakan berdasarkan
ketakutan terhadap benda atau situasi yang
dihadapi, yang sebetulnya tidak berbahaya
dan penderita mengakui bahwa ketakutan itu
tidak ada dasarnya (DSM IV-TR).

• Terdapat 3 jenis fobia: Agorafobia, fobia sosial,


dan fobia khas/ spesifik.
Jenis Fobia Karakteristik

Agorafobia Kecemasan berada di dalam situasi di mana ia kemungkinan sulit


meloloskan diri atau di mana ia mungkin tidak terdapat pertolongan
jika mendapatkan serangan panik yang tidak diharapkan. Biasanya
situasi yang membuat cemas seperti berada di luar rumah sendirian,
berada di keramaian.

Fobia sosial Ketakutan yang jelas dan menetap situasi sosial atau tampil didepan
orang yang belum dikenal atau situasi yang memungkinkan ia dinilai
oleh orang lain atau menjadi pusat perhatian. Ada perasaan takut
bahwa ia akan berperilaku memalukan atau menampakkan gejala
cemas atau bersikap yang dapat merendahkan dirinya.

Fobia khas/ Ketakutan yang berlebihan dan persisten terhadap objek atau situasi
spesifik spesifik, seperti ketakutan terhadap tempat tertutup ( Claustrophobia),
atau ketakutan terhadap binatang kecil yang menjijikkan seperti tikus,
ulat, dan lain-lain.
Pedoman Diagnosis Agorafobia
• Cemas berlebihan apabila berada di tempat-tempat
atau situasi-situasi yang sangat sulit untuk
menyelamatkan diri atau pertolongan mungkin tidak
bisa didapatkan.

• Situasi-situasi tersebut akan dihindari (membatasi


perjalanan) atau bila dikerjakan akan ditandai dengan
adanya distress atau kecemasan akan kemungkinan
terjadinya satu serangan panik atau gejala-gejala
menyerupai panik, atau sering minta ditemani ditemani
kalau keluar rumah.

DSM-IV
Pembahasan Soal
• Agorafobia
– cemas berlebihan apabila berada di tempat-tempat atau situasi-
situasi yang sangat sulit untuk menyelamatkan diri atau
pertolongan mungkin tidak bisa didapatkan
– Yang dialami pasien initakut bila berada di tengah keramaian
dan pusat perbelanjaan seperti mall
• Pilihan A tidak tepat  fobia sosial merupakan ketakutan
dipermalukan bila menjadi usat perhatian
• Pilihan C tidak tepat  harus didahului peristiwa traumatis.
• Pilihan D tidak tepat  merupakan fobia berada di ruang
tertutup.
• Pilihan E tidak dipilih  serangan panik ditandai dengan
keluhan seperti mau mati (tercekik, sesak napas, dll) yang
datang secara tiba-tiba.
KULIT & KELAMIN,
MIKROBIOLOGI,
PARASITOLOGI
51. Pedikulosis
• Infeksi kulit/rambut pada manusia yang
disebabkan Pediculus

• 3 macam infeksi pada manusia


– Pedikulosis kapitis: disebabkan Pediculus humanus
var. capitis
– Pedikulosis korporis: disebabkan pediculus
humanus var. corporis
– Pedukulosis pubis: disebabkan Phthirus pubis

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Pedikulosis pubis
• Infeksi rambut di daerah pubis dan sekitarnya
• Terutama menyerang dewasa dan dapat menyerang
jenggot/kumis
• Dapat menyerang anak-anak, seperti di alis/bulu mata
dan pada tepi batas rambut kepala
• Termasuk infeksi menular seksual
• Gejala
• Gatal di daerah pubis dan sekitarnya, dapat meluas ke
abdomen/dada, makula serulae (sky blue spot), black dot
pada celana dalam

2016 European Guideline for the Management of Pediculosis


Pubis
Sky Blue Spot/ Macula cerulae
Prinsip Tatalaksana
Based on 2016 European Guideline for the Management of Pediculosis Pubis

• Semua lesi harus diberikan obat topikal


• Kulit harus dingin dan kering agar absorbsi maksimal
• Mencukur pubis tidak perlu, meskipun pada populasi
umum insidens turun karena tidak ada habitat bagi ptirus
pubis
• Mencuci semua pakaian di suhu 50oC atau lebih
• First line: Permethrin cream 1% dan dicuci setelah 10
menit (aman juga untuk kehamilan)termasuk juga kalau
ada lesi di bulu mata
• Second line: Malathion 0.5% dicuci setelah 12 jam
pemakaian
• Terapi lain: Ivermectin topical, Benzyl benzoate lotion 25%
2016 European Guideline for the Management of Pediculosis Pubis
Pedikulosis kapitis
• Infeksi kulit dan rambut kepala
• Banyak menyerang anak-anak dan higiene buruk
• Gejala
• Mula-mula gatal di oksiput dan temporal, karena
garukan terjadi erosi, ekskoriasi, infeksi sekunder
• Diagnosis
• Menemukan kutu/telur, telur berwarna abu-
abu/mengkilat

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Prinsip pemberian terapi pedikulosis kapitis

• First line: Permethrin lotion atau shampoo 1%


• Terapi topikal diberikan sebanyak 2 kali, yaitu pada
hari 0 dan hari 7-10 agar dapat mengeradikasi kutu
dengan sempurna.
• Obat lainnya: Pyrethrins 0.3%-piperonyl butoxide 4%
shampoo, Malathion 0.5% lotion, Benzyl alcohol 5%
lotion, Ivermectin lotion 0.5%, gameksan shampoo
1% (not recommended as a first–line treatment)

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Pedikulosis korporis
• Biasanya menyerang orang dewasa dengan higiene buruk (jarang
mencuci pakaian)
• Kutu melekat pada serat kapas dan hanya transien ke kulit untuk
menghisap darah
• Gejala
• Hanya bekas garukan di badan
• Diagnosis
• Menemukan kutu/telur pada serat kapas pakaian
• Pengobatan
• DOC: Permetrin 1%,
• Gameksan 1%,
• benzil benzoat 25%
• Malathion 0,5%
• pakaian direbus/setrika

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Pengobatan Pedikulosis Korporis
• Improved hygiene and access to regular changes of clean clothes is the
only treatment needed for body lice infestations.
• A body lice infestation is treated by improving the personal hygiene of the
infested person, including assuring a regular (at least weekly) change of
clean clothes.
• Clothing, bedding, and towels used by the infested person should be
laundered using hot water (at least 54°C) and machine dried using the hot
cycle.
• Sometimes the infested person also is treated with a pediculicide;
however, a pediculicide generally is not necessary if hygiene is maintained
and items are laundered appropriately at least once a week.
• If you choose to treat, guidelines for the choice of the pediculicide are the
same as for head lice.
52. Malaria
• Trias Malaria:
- Demam
- Menggigil
- Sakit kepala
• 2016 Clinical Guideline
for Malaria
- Demam ≥ 37.5oC
- Khusus anak: telapak tangan
pucat atau Hb < 8 g/dl
- Tidak ada kombinasi gejala
yang bisa menegakkan kasus
malaria
- Semua kasus suspek harus test
apusan darah tepi atau rapid
test
Malaria
Klasifikasi Malaria
Jenis Malaria Etiologi Keterangan
Malaria Falciparum / Plasmodium falciparum Periode tidak panas tiap 12
malaria tropikana jam, demam muncul tiap 24,
36 atau 48 jam
Malaria ovale Plasmodium ovale • Terutama di daerah Afrika,
sifatnya ringan dan self
limiting
• Tidak panas tiap 36 jam,
demam muncul tiap 48 jam
Malaria vivax / tertiana / Plasmodium vivax Tidak panas tiap 36 jam,
benigna demam muncul tiap 48 jam

Malaria malariae / Plasmodium malariae Tidak panas selama 60 jam,


quartana demam muncul tiap 72 jam
Malaria knowlesi Plasmodium knowlesi Parasit malaria terutama di
monyet, dapat menginfeksi
manusia juga
P. Vivax or P. Ovale?
• Eritrosit yang diinfeksi oleh P. vivax
dapat membesar hingga 11/2 kali
ukuran normal dan bentuknya
mengalami distorsi
• Eritrosit yang diinfeksi ovale hanya Eritrosit normal
dapat membesar hingga 11/4 kali
ukuran normal
• Akan tetapi gambaran multi infeksi
dalam satu eritrosit hanya ditemukan
di infeksi P. ovale, pada infeksi P.
vivax tidak pernah ada
• Selain itu, dari epidemiologinya
infeksi P. vivax lebih banyak daripada
P. ovale
53. Tinea kapitis
• Kelainan pada kulit dan rambut kepala yang
disebabkan oleh dermatofit

• Bentuk klinis:
– Grey patch ringworm (biasanya disebabkan
Microsporum)
• Papul merah yang melebar, membentuk bercak, pucat,
bersisik. Rambut menjadi abu-abu, tidak berkilat, mudah
patah dan tercabut. Lampu Wood: hijau kekuningan.
– Kerion (Microsporum atau Tricophyton)
• Reaksi peradangan berat pada tinea kapitis, pembengkakan
menyerupai sarang lebah dengan sebukan sel radang.
Dapat menimbulkan jaringan parut dan alopesia menetap.
Fluoresensi (+/-)
– Black dot ringworm (biasanya disebabkan
Tricophyton tonsurans dan Trycophyton violaceum)
• Rambut yang terkena infeksi patah pada muara folikel, dan
yang tertinggal adalah ujung rambut yang penuh spora
(black dot). Fluoresensi (-)

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
3 Pola Invasi Rambut pada Tinea Kapitis
E C TO T H R I X E NDOTHRI X
• Fluoresen kuning • Tanpa fluoresen • Fluoresen abu • Tanpa fluoresen
kehijauan terang – M. fulvum kehijauan kusam – T. gourvillii
– Microsporum – M. Gypseum – Trichophyton – T. Soudanense
audouinii – T. Megninii schoenleinii – T. tonsurans
– M. canis – T. Mentagrophytes – T. Violaceum
– M. Ferrugineum – T. Rubrum – T. Yaoundei
– T. verrucosum
Drug of Choice Dermatofita

D E R M ATO F I TA DOC
Tinea Kapitis • Griseofulvin: DOC untuk spesies Microsporum
• Terbinafin: DOC untuk spesies Trichophyton
• Alternatif: Itrakonazol, flukonazol
Tinea barbae, tinea manum, • Mengenai struktur kulit bagian dalam  butuh terapi
Tinea korporis luas sistemik
• DOC: Terbinafin, itrakonazol, flukonazol

Tinea facialis, Tinea korporis, • Mengenai struktur kulit superfisial  terapi topikal
tinea kruris, tinea pedis • DOC: grup alilamin (terbinafin, naftifin)

Tinea Unguium • Oral lebih baik dibanding topikal


• DOC: Terbinafin
Tinea (Umum): Terapi
• Pengobatan topikal (Tabel Terlampir)
Terutama untuk tinea selain tinea kapitis
– Kombinasi asam salisilat (3-6%) dan asam benzoat (6-12%) dalam
bentuk salep ( Salep Whitfield)
– Kombinasi asam salisilat dan sulfur presipitatum dalam bentuk salep
(salep 2-4, salep 3-10)
– Derivat azol : mikonazol 2%, klotrimasol 1%, ketokonazol 2% dll

• Pengobatan sistemik
– Griseofulvin 500 mg sehari untuk dewasa, sedangkan anak-anak 10-25
mg/kgBB sehari
– Lama pemberian griseofulvin pada tinea korporis adalah 3-4 minggu,
diberikan bila lesi luas atau bila dengan pengobatan topikal tidak ada
perbaikan
– Ketokonazol 200 mg per hari selama 10 hari – 2 minggu pada pagi hari
setelah makan

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2015.
Pengobatan Topikal terutama
untuk jenis
• Tinea korporis
• Tinea cruris
• Tinea pedis
• Tinea unguium
Medications Used to Treat Tinea Kapitis
54. Nekatoriasis & Ancylostomiasis
(Cacing Tambang)
• Gejala:
– Mual, muntah, diare &
nyeri ulu hati; pusing,
nyeri kepala; lemas
dan lelah; anemia

DOC: Albendazole 400 mg SD


Alternatif: Mebendazole 2x100mg p.o selama 3 hari atau 500 mg SD
Hamil atau usia < 2 tahun: Pyrantel pamoat 11 mg/kgBB selama 3 hari
Trikuriasis (Cacing Cambuk)
Gejala
• nyeri ulu hati, kehilangan
nafsu makan, diare,
anemia, prolaps rektum
Telur
• Seperti tempayan/ lemon,
memiliki dua kutub
• Ukuran 20-25 mcm dan 50-
55 mcm

DOC: Mebendazole 500 mg SD


Alternatif: Albendazole 400 mg selama 3 hari
Hamil atau usia < 2 tahun: Pyrantel pamoat 11
mg/kgBB selama 3 hari
Oksiuriasis (Cacing Kremi)
• Nama lain: Enterobius
vermicularis

• Gejala
– Gatal di sekitar dubur
(terutama pada malam hari
pada saat cacing betina
meletakkan telurnya), gelisah
dan sukar tidur
– Pemeriksaan: perianal swab
dengan Scotch adhesive tape
DOC: Mebendazole 500 mg SD
Alternatif: Albendazole 400 mg SD
Hamil atau usia < 2 tahun: Pyrantel pamoat 11
mg/kgBB selama 3 hari
2 minggu setelahnya diberikan lagi dosis sama
Askariasis (Cacing Gelang)
• Gejala
– Rasa tidak enak pada perut
(gangguan lambung); kejang
perut, diselingi diare;
kehilangan berat badan; dan
demam.

DOC: Albendazole 400 mg SD


Alternatif: Mebendazole 2x100mg p.o selama 3 hari atau 500 mg SD
Hamil atau usia < 2 tahun: Pyrantel pamoat 11 mg/kgBB selama 3 hari
Taeniasis (Cacing Pita)
• Gejala:
– mual, konstipasi, diare;
sakit perut; lemah;
kehilangan nafsu makan;
sakit kepala; berat badan
turun, benjolan pada
jaringan tubuh
(sistiserkosis)

DOC: Prazikuantel 5-10 mg/kgBB SD (untuk anak ≤ 4 tahun safety dan efficacy belum
jelas)
Alternatif: Albendazole 15 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 2 dosis selama 15 hari
Nama cacing Cacing dewasa Telur Obat

Dinding tebal 2-3 lapis,


Ascaris bergerigi, berisi unsegmented Mebendazole,
lumbricoides ovum pirantel pamoat

kulit radial dan mempunyai 6 Albendazole,


Taenia solium kait didalamnya, berisi onkosfer prazikuantel,
dan embriofor bedah

Pirantel pamoat,
Enterobius ovale biconcave dengan dinding
mebendazole,
vermicularis asimetris berisi larva cacing
albendazole
Ancylostoma
ovale dengan sitoplasma jernih Mebendazole,
duodenale
berisi segmented ovum/ lobus 4- pirantel pamoat,
Necator
8 mengandung larva albendazole
americanus

coklat kekuningan, duri terminal,


Schistosoma
transparan, ukuran 112-170 x Prazikuantel
haematobium
40-70 µm

Tempayan dengan 2 operkulum


Trichuris Mebendazole,
atas-bawah
trichiura Brooks GF. Jawetz, Melnick & Adelberg’s medical microbiology, 23rd ed. McGraw-Hill; 2004.
albendazole
DOC Antihelmintik
JENIS CACING DOC ANTIHELMINTIK Keterangan

1. Albendazol 400 mg SD
Pada infeksi gabungan
2. Mebendazol 2x100 mg selama 3 hari
Ascaris lumbricoides askaris dan cacing tambang
atau 500 mg PO SD
 DOC: Albendazol
3. Pyrantel Pamoat 10-11 mg/kg PO
Cacing Tambang (Ancylostoma 1. Albendazol 400 mg SD PO
Duodenale & Necator Americanus) 2. Mebendazole 2x 100 mg selama 3 hari atau 500 mg SD PO
1. Mebendazol 500 mg SD PO
Trichuris Trichiura
2. Albendazole 400 mg PO selama 3 hari
Schistosoma mansoni, S. DOC: Prazikuantel 40 mg/kg PO dibagi 2 dosis selama satu hari
hematobium, S intercalatum
Schistosoma japonicum, S. mekongi DOC: Prazikuantel 60 mg/kg PO dibagi 3 dosis selama satu hari
Semua rejimen diulang dalam waktu 2 minggu
• Mebendazol 100 mg PO SD
Enterobius vermicularis
• Albendazol 400 mg PO SD
• Pyrantel Pamoat 10-11 mg/kg PO

1. Prazikuantel 5-10 mg/kg SD


Taeniasis (T. Solium & Saginata)
2. Albendazole 15 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 2 dosis selama 15 hari

Cysticercosis (T. Solium) Prazikuantel 50-100 mg/kg/d divided q8hr PO for 14 days
Keterangan: urutan berdasarkan skala prioritas, nomor 1 adalah DOCnya
Albendazole
• Terapi cacing gelang, cacing cambuk, cacing kremi, cacing tambang

• Cara kerja : membunuh cacing, menghancurkan telur & larva cacing dengan
jalan menghambat pengambilan glukosa oleh cacing  produksi ATP
sebagai sumber energi <<  kematian cacing

• Kontra Indikasi:
– Ibu hamil (teratogenik), menyusui
– Gangguan fungsi hati & ginjal, anak < 2 tahun

• Dosis sediaan : 400 mg per tablet.


– Tablet dapat dikunyah, ditelan atau digerus lalu dicampur dengan
makanan

• Efek samping : perasaan kurang nyaman pada saluran cerna dan sakit
kepala, mulut terasa kering
Mebendazole
• Terapi cacing gelang, cacing cambuk, cacing kremi, cacing tambang

• Cara kerja : membunuh cacing, menghancurkan telur & larva cacing dengan
jalan menghambat pengambilan glukosa oleh cacing  produksi ATP
sebagai sumber energi <<  kematian cacing

• Kontra Indikasi:
– Ibu hamil (teratogenik), menyusui
– Gangguan fungsi hati & ginjal, anak < 2 tahun

• Dosis sediaan : 100 mg atau 500 mg per tablet


– Tablet dapat dikunyah, ditelan atau digerus lalu dicampur dengan
makanan

• Efek samping : perasaan kurang nyaman pada saluran cerna dan sakit
kepala, mulut terasa kering
Pirantel Pamoat

• Indikasi: cacing tambang, cacing gelang, dan cacing kremi

• Cara kerja: Melumpuhkan cacing  mudah keluar bersama tinja


• Dapat diminum dalam keadaan perut kosong, atau diminum
bersama makanan, susu, atau jus

• Dosis: Tunggal, sekali minum  11 mg/kg BB, tidak boleh


melebihi 1 gram
– Jika berat badan 50 kg, dosisnya menjadi 500 mg.
– Bentuk sediaannya adalah 125 mg per tablet, 250 mg per
tablet, dan 250 mg per ml sirup
Prazikuantel
• Indikasi: Cacing pita, kista hidatid

• Cara Kerja: Meningkatkan permeabilitas membrane sel


trematoda dan cestoda terhadap kalsium, yang
menyebabkan paralisis, pelepasan, dan kematian (Katzung,
2010).

• Dosis: Dosis tunggal prazikuantel sebesar 5 – 10 mg/ kg

• Efek samping: Nyeri kepala, pusing, mengantuk dan


kelelahan, efek lainnya meliputi mual, muntah, nyeri
abdomen, feses yang lembek, pruritus, urtikaria, artalgia,
myalgia, dan demam berderajat rendah
55. Bakterial Vaginosis
• Bakterial vaginosis: polymicrobial clinical syndromemenyebabkan
jumlah Lactobacillus sp. (flora normal vagina) menurun dan
meningkatnya jumlah bakteri anaerob.
• Etiologi utama: Gardnerella vaginalis, lainnya: Prevotella sp.,
Mobiluncus Sp., Ureaplasma, Mycoplasma, dsb
• Faktor resiko
 BV berhubungan dengan seks multipartner
 Douching
 Jumlah lactobacillus (flora normal vagina) turun
 Semakin sering berhubungan sekssemakin
beresiko
 Semakin jarang berhubungan sekssemakin
rendah resiko

2015 STD Treatment Guideline CDC


Prinsip diagnosis
• Kriteria Amsel:
 Duh tubuh homogen putih keabuan
 Clue cells (dari pemeriksaan Terpenuhi 3 dari 4
mikroskopik)
 pH vagina >4.5
 Whiff test (+): Duh tubuh berbau
Bakterial Vaginosis
amis (fishy odor)sebelum atau
sesudah ditetesi KOH 10%

• Gold standard: Pemeriksaan Gram

2015 STD Treatment Guideline CDC


Prinsip terapi
Based on 2015 STD Treatment Guideline CDC

• Terapi farmakologis direkomendasikan pada wanita


dengan gejala. Asimptomatiktidak perlu terapi
• DOC: Metronidazole
Metronidazole 2 x 500 mg selama 7 hari
Metronidazole gel 0.75% intravaginal 1x1 selama 5 hari
Clindamycin cream 2% intravaginal sebelum tidur
selama 7 hari 1x2 gram p.o selama 2 hari
Tinidazole 1x1 gram p.o selama 5 hari
• Alternatif terapi 2x300 mg p.o selama 7 hari
100 mg intravagina sebelum tidur
Clindamycin selama 3 hari
2015 STD Treatment Guideline CDC
Jika hamil?
Based on 2015 STD Treatment Guideline CDC
• Still the same, DOC: Metronidazole 2x500 mg 7 hari
• Metronidazole melintasi sawar darah plasentatetapi
terbukti tidak teratogenik
• Clindamycin topikal (lihat slide sebelum)bisa
diberikansama superiornya dengan metronidazole
• Selain 2 obat ini tidak disarankanTinidazole harus dihindari

Jika menyusui?
• Tunda menyusui selama 12-24 jam
• Metronidazole 2 gram single dose setelahnya boleh menyusui
2015 STD Treatment Guideline CDC
ILMU
K E S E H ATAN
ANAK
56. Tetanus
• Tetanus: gangguan neuromuskular akut berupa trismus,
kekakuan dan kejang otot disebabkan oleh eksotosin
spesifik Clostridium tetani.
• Akibat komplikasi luka:

Vulnus laceratum Vulnus punctum Combustion Open Luka Otitis Luka


(luka robek) (luka tusuk) (luka bakar) fracture tali media terkontaminasi
pusat
Tanda dan gejala
• Masa inkubasi: bervariasi antara 2 hari atau beberapa minggu
bahkan beberapa bulan, pada umumnya 8 – 12 hari.
• Suhu tubuh normal hingga subfebris
• Tetanus lokal  otot sekitar luka kaku
• Tetanus generalisata
– Trismus: sulit/tidak bisa membuka mulut
– Rhesus sardonicus
– Kaku otot kuduk, perut, anggota gerak
– Sukar menelan
– Opistotonus
• Kejang dalam keadaan sadar dan nyeri hebat.
• Sekujur tubuh berkeringat.
Diagnosis dan Komplikasi

• Diagnosis
– Klinis
– Pewarnaan gram

• Komplikasi
– Anoksia otak
– fraktur vertebra
– Aspirasi, penumonia
– Low intake, Dehidrasi
– Disfungsi otonom: hiper/hipotensi, hiperhidrosis
– Kematian
Medikamentosa Kehamilan: TT
• Didahului dengan skrining untuk mengetahui jumlah dosis dan status) imunisasi TT
yang telah diperoleh selama hidupnya

• Pemberian tidak ada interval maks, hanya terdapat interval min antar dosis TT

• Jika ibu belum pernah imunisasi atau status imunisasinya tidak diketahui, berikan
dosis vaksin (0,5 ml IM di lengan atas) sesuai tabel berikut

Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO


Medikamentosa Kehamilan: TT
• Dosis booster mungkin diperlukan pada ibu yang sudah
pernah diimunisasi. Pemberian dosis booster 0,5 ml IM
disesuaikan dengan jumlah vaksinasi yang pernah
diterima sebelumnya seperti pada tabel berikut:

Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO


Prinsip Tatalaksana Tetanus

1. Pemberian antitoksin tetanus


2. Penatalaksanaan luka
3. Pemberian antibiotika
4. Penanggulangan kejang
5. Perawatan penunjang
6. Pencegahan komplikasi
Tatalaksana tetanus neonatorum
• Ruang isolasi karena suara dan cahaya dapat menimbulkan serangan kejang.
• Diazepam 10 mg/kg/hari secara IV dalam 24 jam atau bolus IV setiap 3-6 jam
(0,1-0,2 mg/kg per kali), maksimum 40 mg/kg/hari
• Human tetanus imunoglobulin 500 U IM atau Antitoksin Tetanus Serum 5000
U IM
• TT 0.5 ml IM di tempat yang berbeda dengan situs injeksi HTIG/ATS
• Metronidazol 30 mg/kg/hari dengan interval setiap 6 jam selama 7-10 hari
atau penisilin prokain 100.000 U/kg dosis tunggal selama 7-10 hari
• Berikan pengobatan untuk infeksi lokal tali pusat
• Bila terjadi spasme berulang atau gagal napas, rujuk ke RS dengan NICU
• Langkah promotif/preventif :
– Pelaksanaan Pelayanan Neonatal Esensial, lakukan pemotongan tali pusat secara
steril
– Tidak mengoles atau menabur sesuatu yang tidak higienis pada tali pusat
– Bila sudah terjadi infeksi tali pusat, berikan pengobatan yang tepat dengan
antibiotik lokal dan sistemik jika diperlukan
Perawatan penunjang

• Tirah baring,
• Oksigen, bersihkan jalan nafas secara teratur,
• Cairan infus dan diet per sonde
• Monitoring kesadaran, TTV, trismus, asupan /
keluaran, elektrolit
• Konsultasikan ke bagian lain bila perlu.
Pencegahan komplikasi

• Anoksia otak dengan


– Pemberian antikejang, sekaligus mencegah
laringospasme,
– Jalan napas yang memadai, bila perlu lakukan intubasi
(pemasangan tuba endotrakheal) atau lakukan
rakheotomi berencana, pemberian oksigen.
• Pneumonia
– membersihkan jalan napas yang teratur, pengaturan
posisi penderita berbaring, pemberian antibiotika.
• Fraktur vertebra: pemberian antikejang yang
memadai.
57. Pertusis
• Batuk rejan (pertusis) adalah penyakit akibat
infeksi Bordetella pertussis dan Bordetella
parapertussis (basil gram -)
• Karakteristik : uncontrollable, violent coughing
which often makes it hard to breathe. After fits of
many coughs needs to take deep breathes which
result in a "whooping" sound.
• Anak yang menderita pertusis bersifat infeksius
selama 2 minggu sampai 3 bulan setelah
terjadinya penyakit
Stadium Pertusis
• Stadium:
– Stadium katarrhal: hidung tersumbat, rinorrhea,
demam subfebris. Sulit dibedakan dari infeksi
biasa. Penularan terjadi dalam stadium ini.
– Stadium paroksismal: batuk paroksismal yang
lama, bisa diikuti dengan whooping atau stadium
apnea. Bisa disertai muntah.
– Stadium konvalesens: batuk kronik hingga
beberapa minggu
Guinto-Ocampo H. Pediatric pertussis. http://emedicine.medscape.com/article/967268-
overview
Diagnosis dan Tatalaksana Pertusis
• Diagnosis :
– Curiga pertusis jika anak batuk berat lebih dari 2 minggu, terutama jika penyakit
diketahui terjadi lokal.
– Tanda diagnostik : Batuk paroksismal diikuti whoop saat inspirasi disertai muntah,
perdarahan subkonjungtiva, riwayat imunisasi (-), bayi muda dapat mengalami
henti napas sementara/sianosis
• Penatalaksanaan :
– Kasus ringan pada anak-anak umur ≥ 6 bulan dilakukan secara rawat jalan
– < 6 bulan, dengan pneumonia, kejang, dehidrasi, gizi buruk, henti napas, atau
sianosis dirawat di RS
• Pemeriksaan penunjang
– Leukosit dan hitung jenis sel: Leukositosis (15.000-100.000/mm3) dengan
limfositosis absolut
– IgG terhadap toksin pertusis: Didapatkan antibodinya (IgG terhadap toksin
pertusis)
Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. 2008
Tatalaksana
• Suportif umum (terapi oksigen dan ventilasi mekanik jika dibutuhkan)
• Observasi ketat diperlukan pada bayi, untuk mencegah/mengatasi
terjadinya apnea, sianosis, atau hipoksia
• Pasien diisolasi (terutama bayi) selama 4 minggu, diutamakan sampai 5-7
hari selesai pemberian antibiotik. Gejala batuk paroksismal setelah terapi
antibiotik tidak berkurang, namun terjadi penurunan transmisi setelah
pemberian terapi hari ke-5
• Belum ada studi berbasis bukti untuk pemberian kortikosteroid, albuterol,
dan beta- 2-adrenergik lainnya, serta belum terbukti efektif sebagai terapi
pertusis.
• Dilakukan penilaian kondisi pasien, apakah terjadi apnea, spel sianotik,
hipoksia dan/ atau dehidrasi.
• Terapi antibiotik: Tujuan farmakoterapi adalah menghilangkan infeksi,
mengurangi morbiditas, dan mencegah kompilkasi.
• Beri imunisasi DPT pada pasien pertusis dan setiap anak dalam keluarga
Penyulit/ Komplikasi
• Pneumonia • Kejang
• Atelektasis • Tanda perdarahan, berupa:
• Ruptur alveoli Epistaksis, melena,
• Emfisema perdarahan subkonjungtiva,
• Bronkiektasis hematom epidural,
• Pneumotoraks perdarahan intrakranial
• Ruptur diafragma
• Meningoensefalitis,
ensefalopati, koma
• Dehidrasi dan gangguan
nutrisi
• Hernia
umbilikalis/inguinalis,
prolaps rekti
Vaksin Pertusis
• Vaksin pertussis whole cell: • Untuk vaksin Td ditambahkan
merupakan suspensi kuman B. perlu booster tiap 10 tahun.
pertussis mati. • Kejadian ikutan pasca imunisasi
• Vaksin pertusis aselular adalah DTP
vaksin pertusis yang berisi – Reaksi lokal kemerahan, bengkak,
komponen spesifik toksin dari dan nyeri pada lokasi injeksi terjadi
Bordettellapertusis. pada separuh (42,9%) penerima
DTP.
• Vaksin pertussis aselular bila – Demam
dibandingkan dengan whole-cell
– Anak gelisah dan menangis terus
ternyata memberikan reaksi lokal menerus selama beberapa jam
dan demam yang lebih ringan, pasca suntikan (inconsolable
diduga akibat dikeluarkannya crying).
komponen endotoksin dan – Kejang demam
debris. – ensefalopati akut atau reaksi
anafilaksis
Vaksin Pertusis
• Kontraindikasi mutlak • Keadaan lain dapat
terhadap pemberian vaksin dinyatakan sebagai
pertusis baik whole-cell perhatian khusus
maupun aselular, yaitu (precaution):
– Riwayat anafilaksis pada – bila pada pemberian pertama
pemberian vaksin dijumpai riwayat
sebelumnya hiperpireksia, keadaan
– Ensefalopati sesudah hipotonik-hiporesponsif
pemberian vaksin pertusis dalam 48 jam, anak menangis
sebelumnya
 terus menerus selama 3 jam
dan riwayat kejang dalam 3
hari sesudah imunisasi DTP.
Jadwal Imunisasi Anak Umur 0 – 18 tahun
Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Tahun 2014
Umur pemberian vaksin
Jenis vaksin Bulan Tahun
Lahir 1 2 3 4 5 6 9 12 15 18 24 3 5 6 7 8 10 12 18
Hepatit
i s B 1 2 3
Polio 0 1 2 3 4 5
BCG 1 kali
DTP 1 2 3 4 5 6 (Td) 7(Td)
Hib 1 2 3 4
PCV 1 2 3 4
Rotavirus
e 1 2 3
Influ nza Ulangan 1 kaliptia tpahun
Campak 1 2 3
MMR 1 2
Tifoid Ulangan tia 3 t ahun
Hepatit
i s A 2 kali, interval 6-12 bulan
Varisela 1 kali
HPV 3 kali

Keterangan 6. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada umur 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali
Cara membaca kolom umur: misal 2 u berarti mu r 2 bul an (60 har i) sd 2 bul an 29 har i (89 har i) dengan interval 2 bulan; pada umur lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali, namun keduanya perlu
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai 1 Januaril 2014 dan dapat diakses pada website IDAI (http : // booster 1 kali pada umur lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada
idai.or.id/public-artices/kl ini k/i mu ni sasi /j adw al-imunisasi-anak-idai.html) anak umur di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
7. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, vaksin rotavirus pentavalen
Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel diberikan 3 kali. Vaksin rotavirus monovalen dosis I diberikan umur 6-14 minggu, dosis ke-2
1. Vaksin hepatit i s B. Paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir dan didahului diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Sebaiknya vaksin rotavirus monovalen selesai
pemberian suntikan vitamin K1. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin hepatit i s B diberikan sebelum umur 16 minggu danatidk melampaui umur 24 minggu. Vaksin rotavirus
dan imunoglobulin hepatit i s B (HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Vaksinasi hepatit i s B pentavalen : dosis ke-1 diberikan umur 6-14 minggu, interval dosis ke-2 dan ke-3, 4-10 minggu;
selanjutnya dapat menggunakan vaksinihepatit Bs mon o valen atau vaksin kombinasi. dosis ke-3 diberikan pada umur kurang dari 32 minggu (interval minimal 4 minggu).
2. Vaksin polio. Pada saat lahir atau pada saat bayi dipulangkan harus diberikan vaksin polio oral 8. Vaksin varisela. Vaksin varisela dapat diberikan setelah umur 12 bulan, terbaik pada umur
(OPV-0). Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3 dan polio booster dapat diberikan vaksin sebelum masuk sekolah dasar. Apabila diberikan pada umur lebih dari 12 tahun, perlu 2 dosis
OPV atau IPV, namun sebaiknya paling sedikit mendapat satu dosis vaksin IPV. dengan interval minimal 4 minggu.
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum 3 bulan, a optiml umur 2 bulan. Apabila 9. Vaksineinflunz a. Vaksineinflunz a diberikan pada umur minimal 6 bulan, diulang
p setia tahun.
diberikan sesudah umur 3 bulan, perlu dilakukan uji tuberkulin. Untuk imunisasi pertama kali (primary immunizatio
n ) pada anak umur kurang dari 9 tahun
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada umur 6 minggu. Dapat diberikan diberi dua kali dengan interval minimal 4 minggu. Untuk anak 6 - < 36 bulan, dosis 0,25 mL.
vaksin DTwP atau DTaP atau kombinasi dengan vaksin lain. Untuk anak umur lebih dari 7 tahun 10. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV dapat diberikan mulai umur 10 tahun. Vaksin
diberikan vaksin Td, dibooster setia p 10 t ahun. HPV bivalen diberikan tiga kali dengan interval 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan
5. Vaksin campak. Vaksin campak keduaa tidk perlu diberikan pada umur 24 bulan, apabila MMR interval 0,2,6 bulan.
sudah diberikan pada 15 bulan.
The difference to 2017
Jadwal Imunisasi Anak Usia 0 – 18 Tahun
Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Tahun 2017
Usia
Imunisasi Bulan Tahun
Lahir 1 2 3 4 5 6 9 12 15 18 24 3 5 6 7 8 9 10 12 18
Hepatitis B 1 2 3 4
Polio 0 1 2 3 4
BCG 1 kali
DTP 1 2 3 4 5 6 (Td/Tdap) 7 (Td)
Hib 1 2 3 4
PCV 1 2 3 4
Rotavirus 1 2 3a
Influenza Ulangan 1 kali setiap tahun
Campak 1 2 3
MMR 1 2
Tifoid Ulangan setiap 3 tahun
Hepatitis A 2 kali, interval 6 – 12 bulan
Varisela 1 kali
HPV 2 atau 3 kalib
Japanese encephalitis 1 2
Dengue 3 kali, interval 6 bulan

Keterangan 5. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan;
Cara membaca kolom usia : misal 2 berarti usia 2 bulan (60 hari) s.d. 2 bulan 29 hari (89 hari) dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai Januari 2017 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak usia di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
Dapat diakses pada website IDAI (http:// idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-anak-idai.html) 6. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14 minggu (dosis
a
Vaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan) pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Batas akhir
b
Apabila diberikan pada remaja usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antibodi pemberian pada usia 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14
setara dengan 3 dosis (lihat keterangan) minggu (dosis pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis kedua dan ketiga diberikan dengan interval 4-10
Optimal Catch-up Booster Daerah Endemis minggu. Batas akhir pemberian pada usia 32 minggu.
7. Vaksineinflunz a. Vaksineinflunz a diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulangp setia tahun. Untuk imunisasi
Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel pertama kali (primary immunizatio
n ) pada anak usia kurang dari 9 tahun diberi dua kali dengan interval minimal 4
1. Vaksin hepatiti s B (HB). Vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir minggu. Untuk anak 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. Untuk anak usia 36 bulan a atau lebih, dosis 0,5 mL.
dan didahului pemberian suntikan vitamin K1 minimal 30 menit sebelumnya. Jadwal pemberian vaksin HB monova- 8. Vaksin campak. Vaksin campak kedua (18 bulan) tidk per l u diberikan apabila sudah mendapatkan MMR.
len adalah usia 0,1, dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin HB dan imunoglobulin hepatit
i s B 9. Vaksin MMR/MR. Apabila sudah mendapatkan vaksin campak pada usia 9 bulan, maka vaksin MMR/MR diberikan
(HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Apabila diberikan HB kombinasi dengan DTPw, maka jadwal pemberian pada pada usia 15 bulan (minimal interval 6 bulan). Apabila pada usia 12 bulan belum mendapatkan vaksin campak, maka
usia 2, 3, dan 4 bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa, maka jadwal pemberian pada usia 2, 4, dan 6 bulan. dapat diberikan vaksin MMR/MR.
2. Vaksin polio. Apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana kesehatan, OPV-0 diberikan saat 10. Vaksin varisela. Vaksin varisela diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik pada usia sebelum masuk sekolah dasar.
bayi dipulangkan. Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3, dan polio booster diberikan OPV atau IPV. Paling se- Apabila diberikan pada usia lebih dari 13 tahun, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu.
dikit harus mendapat satu dosis vaksin IPV bersamaan dengan pemberian OPV-3. 11. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV diberikan mulai usia 10 tahun. Vaksin HPV bivalen diberikan tiga
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum usia 3 bulan, a optiml usia 2 bulan. Apabila diberikan pada kali dengan jadwal 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan jadwal 0,2,6 bulan. Apabila diberikan pada remaja
usia 3 bulan atau lebih, perlu dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antib
o d i setara dengan 3 dosis.
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6 minggu. Dapat diberikan vaksin DTPw atau 12. Vaksin Japanese encephalitis (JE). Vaksin JE diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemis atau turis yang
DTPa atau kombinasi dengan vaksin lain. Apabila diberikan vaksin DTPa maka interval mengikuti rekomendasi vaksin akan bepergian ke daerah endemis tersebut. Untuk perlindungan jangka panjang dapat diberikan booster 1-2 tahun
tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan. Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 berikutnya.
dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12 tahun dan booster Td diberikan setia p 10 t ahun. 13. Vaksin dengue. Diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0, 6, dan 12 bulan.
Perubahan Jadwal Imunisasi Wajib
2014
2016
Hep. B: lahir,1,6 bulan
2017
Polio: lahir, 2,4,6 Hep .B: sama dengan
bulan 2014 Hep .B: lahir, 2,3,4
DPT: 2,4,6 bulan Polio: lahir, 2,3,4 bulan
bulan Polio: lahir, 2,3,4
DPT: 2,3,4 bulan bulan
DPT: 2,3,4 bulan

Plus2 : HiB

2,4,6 bulan 2,3,4 bulan 2,3,4 bulan


DTP
• Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6
minggu.
• Dapat diberikan vaksin DTPw atau DTPa atau kombinasi
dengan vaksin lain.
• Apabila diberikan vaksin DTPa maka interval mengiku
rekomendasi vaksin tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan.
• Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau
Tdap.
• Untuk DTP 6 dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12
tahun dan booster Td diberikan setiap 10 tahun.
DTP Kombinasi

• DTwP + HepB Quadrivalent


• DTwP + HepB + HiB Pentavalent
• DTwP + HepB + HiB + IPV  Hexavalent
• DTaP + HepB + HiB
• DTaP + HepB + HiB + IPV
• DT, Td, Tdap

Note: Huruf kapital = pediatric dose, huruf kecil = adult dose


58. REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Derajat Reaksi Hipersensitivitas
Derajat Reaksi Hipersensitivitas
Urtikaria
• Definisi:
Reaksi vaskular kulit karena berbagai macam sebab
• Tanda dan gejala
- Edema lokal yang timbul cepat
- Menghilang sendirinya dengan
perlahan-lahan
- Berwarna pucat kemerahan
- Permukaannya meninggi dibanding
kulit sekitar
- Disekitarnya dapat dikelilingi halo

Sumber: Buku ajar ilmu penyakit kulit dan kelamin FKUI


Efloresensi

• Eritema, edema, batas


tegas
• Bagian tengah bisa
lebih pucat
• Ukuran: lentikular,
numular, hingga plakat
Sumber: Buku ajar ilmu penyakit kulit dan kelamin FKUI
Prinsip tatalaksana
• Karena ini adalah reaksi atopi menjauhi allergen
penyebab
• Antihistamin, DOC: antihistamin H1 generasi II
- Loratadine 10 mg/hari (usia <6 tahun tidak direkomendasikan)
- Difenhidramine 0.5 mg/kgBB 3-4 kali
• Glukokortikoid (jika tidak berespon terhadap
antihistamin): prednisone

Sumber: Wong HK. Urticaria. emedicine


59. Escherichia Coli
• Termasuk ke dalam enterobacteriaceae
• Gram negative short rods/bacilli
• Most abundant facultative anaerobe in colon and
feces
• Lactose fermenter produces pink colonies in
MacConkey Agar.
• On EMB agar, E. coli produces characteristics
green sheen
• Indole positive: produces indole from tryptophan
• It is motile
Disease caused by E. Coli
• Urinary tract infections (UTI)
• Gram negative rod sepsis
• Neonatal meningitis
• Diarrhea:
– Traveler’s diarrhea (watery diarrhea) ETEC
– Enterohemorrhagic strains of E.coli (i.e. Shiga
toxin-producing E. coli/ EHEC ) causes bloody
diarrhea and hemolytic uremic syndrome (HUS)
– others
Spektrum Diare E. Coli
Noninflammatory Diarrheas
Enterotoxigenic E. coli (ETEC) Rapid onset of watery, nonbloody diarrhea of considerable
volume, accompanied by little or no fever. Diarrhea and other
symptoms cease spontaneously after 24 to 72 hours

Inflammatory Diarrheas

Enteroinvasive E. coli (EIEC) Present most commonly as watery diarrhea. Minority of


patients experience a dysentery syndrome, with fever,
systemic toxicity, crampy abdominal pain, tenesmus, and
urgency

Enteropathogenic E. coli (EPEC) Profuse watery, nonbloody diarrhea with mucus, vomiting and
low-grade fever. Chronic diarrhea and malnutrition can occur.
Usually at < 2 y.o, esp <6 mo (at weaning period)

Shigatoxin-producing E. coli Symptoms ranging from mild diarrhea to severe hemorrhagic


(STEC)/EHEC colitis and hemolytic-uremic syndrome in all ages
Enteroaggregative E. coli (EAggEC) Watery, mucoid, secretory diarrhea with low-grade fever and
little or no vomiting. One third of patients have grossly bloody
stools. The watery diarrhea usually persist ≥14 days
Diarrheagenic Escherichia coli
Enterobacteriaceae (Bakteri Enterik)
• Sifat Enterobacteriaceae (bakteri enterik)
– Berbentuk batang, Gram negatif, tak berspora,
fakultatif anaerob, memfermentasi glukosa,
mereduksi nitrat menjadi nitrit, dan uji oxidase
negatif

• Klasifikasi
– Memfermentasi laktosa dan Non fermentasi
laktosa/sukrosa
Enterobacteriaceae: Alur Pemeriksaan
Tinja, usap dubur, darah, cairan tubuh,
sputum, pus, urin, hapusan tenggorok, dll

KALDU SELENIT

AGAR Eosin Methylene Blue (EMB)

AGAR MacCONKEY

AGAR Salmonela Shigella (SS)

• TSI (Triple Sugar Iron)


• Slant/aerobic
• Butt/anaerobic
• KIA (Kligler Iron Agar)
Media Mc Conkey Salmonella Shigella Agar (SS)
1. Gram negatif, dapat • Salmonella will not ferment lactose, but
memfermentasi laktosa produce hydrogen sulfide (H2S) gas. The
2. Gram negatif, dapat resulting bacterial colonies will appear
memfermentasi laktosa colorless with black centers.
3. Gram positiftidak tumbuh • Shigella do not ferment lactose or produce
koloni hydrogen sulfide gas, so the resulting colonies
4. Gram negatif, tidak dapat will be colorless.
memfermentasi laktosa
Media pertumbuhan E. Coli
• MacConkey Agar: untuk membedakan EHEC
dengan tipe lain. EHEC tidak memfermentasi
sorbitol sehingga tidak ada gambaran koloni
merah.

• Triple Sugar Iron Agar:


mendeteksi bakteri • Eosin Methylene
yang bisa Blue: untuk
memfermentasi mendeteksi bakteri
glukosa, laktosa, yang dapat
sukrosa, dan produksi
gas dan H2S memfermentasi
laktosa
60. Leukemia
CLL CML ALL AML
The bone marrow makes abnormal leukocyte  dont die when they
should  crowd out normal leukocytes, erythrocytes, & platelets. This
makes it hard for normal blood cells to do their work.
Prevalence Over 55 y.o. Mainly adults Common in Adults &
children children
Symptoms & Grows slowly  may Grows quickly  feel sick & go to
Signs asymptomatic, the disease is found their doctor.
during a routine test.
Fever, swollen lymph nodes, frequent infection, weak,
bleeding/bruising easily, hepatomegaly/splenomegaly, weight loss,
bone pain.
Lab Mature Mature granulocyte, Lymphoblas Myeloblast
lymphocyte, dominant myelocyte t >20% >20%, aeur rod
smudge cells & segment may (+)
Therapy Can be delayed if asymptomatic Treated right away
CDC.gov
Sel blas dengan Auer rod pada leukemia Leukemia mielositik kronik
mieloblastik akut

Limfosit matur & smudge cell


Sel blas pada leukemia limfoblastik akut
pada leukemia limfositik kronik
French-American-British (FAB) Classification
61. GENETIC DISORDER
Patau Mental retardation, heart defects, CNS abnormalities, microphthalmia, polydachtyly, a
Syndrome cleft lip with or without a cleft palate, coloboma iris, and hypotonia, Clenched hands
Trisomi 13 (with outer fingers on top of the inner fingers), Close-set eyes, Low-set ears, Single
noninherited palmar crease, microcephaly, Small lower jaw (micrognathia), cryptorchidism, Hernia

Many infants with trisomy 13 die within their first days or weeks of life.

Sindrom cryptorchidism, hypospadias, or micropenis, small testes, delayed or incomplete


Klinefelter puberty, gynecomastia, reduced facial and body hair, and an inability to have biological
47,XXY children (infertility).
noninherited Older children and adults tend to be taller. Increased risk of developing breast cancer
and SLE.
May have learning disabilities and delayed speech; tend to be quiet, sensitive, and
unassertive.

Sindrom Clenched hands, Crossed legs, abnormally shaped head; micrognathia, Feet with a
Edward rounded bottom (rocker-bottom feet), Low birth weight & IUGR, Low-set ears, Mental
Trisomi 18 delay, microcephaly, Undescended testicle, coloboma iris, Umbilical hernia or inguinal
Noninherited hernia, congenital heart disease (ASD, PDA, VSD), kidney problems (i.e: Horseshoe
kidney, Hydronephrosis, Polycystic kidney), severe intellectual disability

It is three times more common in girls than boys. Many individuals with trisomy 18 die
before birth or within their first month.
mikrosefal; hypotonus, Excess skin at the nape of the neck,
Flattened nose, Separated sutures, Single palm crease, Small ears,
small mouth, Upward slanting eyes, Wide, short hands with short
Sindrom fingers, White spots on the colored part of the eye (Brushfield
Down spots), heart defects (ASD, VSD)
Trisomi 21
noninherited Physical development is often slower than normal (Most never
reach their average adult height), delayed mental and social
development (Impulsive behavior, Poor judgment, Short attention
span, Slow learning)

The most common feature is short stature, which becomes evident


by about age 5. Ovarian hypofunction. Many affected girls do not
undergo puberty and infertile.
Sindrom About 30 % have webbed neck, a low hairline at the back of the
turner neck, limfedema ekstrimitas, skeletal abnormalities, or kidney
45 + XO problem, 1/3 have heart defect, such as coarctation of the aorta.
noninherited
Most of them have normal intelligence. Developmental delays,
nonverbal learning disabilities, and behavioral problems are
possible
No unusual physical features, increased risk of learning
disabilities and delayed development of speech and
Jacob Syndrome language skills. Delayed development of motor skills,
47, XYY weak muscle tone (hypotonia), hand tremors or other
involuntary movements (motor tics), and behavioral and
emotional difficulties

Marfan syndrome Mutasi pada fibrillin (protein pada jaringan ikat tubuh).
3 dari 4 kasus A tall, thin build, Long arms, legs, fingers, and toes and
bersifat diturunkan flexible joints, skoliosis, pektus karinatum/ ekskavatum,
Teeth that are too crowded, Flat feet.

Fragile X syndrome Fragile X syndrome is a genetic condition that causes a


Diturunkan secara range of developmental problems including learning
X-linked dominan disabilities and cognitive impairment.

Usually, males are more severely affected by this disorder


than females.
Kelainan genetik yang menngakibatkan tidak adanya
enzim billirubin-UGT yang berfungsi untuk eliminasi
Crigler-Najjar
bilirubin. Akibatnya, muncul gejala klinis akibat
Syndrome
hiperbilirubinemia (ikterus yang segera muncul setelah
lahir) hingga dapat menjadi kernickterus

Pierre-Robin Diturunkan autosomal resesif terkait kromosom X. Tanda


Syndrome berupa micrognathia, glossoptosis, macroglossia,
ankyloglossia. Micrognathia+glossoptosisgangguan
pernapasan berat dan sulit makan. Selain itu terdapat
juga cleft palate di soft maupun hard palate dengan
bentuk U atau V.
62. Malnutrisi Energi Protein
• Malnutrisi: Ketidakseimbangan seluler antara asupan dan kebutuhan
energi dan nutrien tubuh untuk tumbuh dan mempertahankan fungsinya
(WHO)
• Dibagi menjadi 3:
– Overnutrition (overweight, obesitas)
– Undernutrition (gizi kurang, gizi buruk)
– Defisiensi nutrien spesifik
• Malnutrisi energi protein (MEP):
– MEP derajat ringan-sedang (gizi kurang)
– MEP derajat berat (gizi buruk)
• Malnutrisi energi protein berdasarkan klinis:
– Marasmus
– Kwashiorkor
– Marasmik-kwashiorkor

Sjarif DR. Nutrition management of well infant, children, and


adolescents.
Scheinfeld NS. Protein-energy malnutrition.
http://emedicine.medscape.com/article/1104623-overview
Marasmus

 wajah seperti orang tua


 kulit terlihat longgar
 tulang rusuk tampak
terlihat jelas
 kulit paha berkeriput
 terlihat tulang belakang
lebih menonjol dan kulit
di pantat berkeriput
( baggy pant )
Kwashiorkor

 edema
 rambut kemerahan, mudah
dicabut
 kurang aktif, rewel/cengeng
 pengurusan otot
 Kelainan kulit berupa bercak
merah muda yg meluas &
berubah warna menjadi coklat
kehitaman dan terkelupas (crazy
pavement dermatosis)
Marasmik-kwashiorkor
• Terdapat tanda dan gejala klinis marasmus dan
kwashiorkor secara bersamaan
Kriteria Gizi Kurang dan Gizi Buruk
• Z-score → menggunakan • BB/IBW (Ideal Body Weight)
kurva WHO weight-for- → menggunakan kurva CDC
height • ≥80-90%  mild
• <-2 – moderate wasted malnutrition
• <-3 – severe wasted  gizi • ≥70-80%  moderate
buruk malnutrition
• ≤70%  severe
• Lingkar Lengan Atas < 11,5 malnutrition  Gizi Buruk
cm
Kwashiorkor
Protein 

Serum Albumin 

Tekanan osmotik koloid serum 

Edema
Marasmus
Karbohidrat 

Pemecahan lemah + pemecahan protein

Lemak subkutan 

Muscle wasting, kulit keriput

Turgor kulit berkurang


Emergency Signs in Severe
Malnutrition
• Dibutuhkan tindakan resusitasi
• Tanda gangguan airway and breathing :
– Tanda obstruksi
– Sianosis
– Distress pernapasan
• Tanda dehidrasi berat → rehidrasi secara ORAL.
Dehidrasi berat sulit dinilai pada malnutrisi berat.
Terdapat risiko overhidrasi
• Tanda syok : letargis, penurunan kesadaran
– Berikan rehidrasi parenteral (Resusitasi Cairan)
Cause difference
MARASMUS K WA S H I O R K O R
Marasmus is multi nutritional Kwashiorkor occurs due to the lack of
deficiency proteins in a person's diet
Marasmus usually affects very young Kwashiorkor affects slightly older
children children mainly children who are
weaned away from their mother's
milk
Marasmus is usually the result of a Kwashiorkor can occur rapidly
gradual process
10 Langkah Utama Penatalaksaan Gizi Buruk
No Tindakan Stabilisasi Transisi Rehabilitasi Tindaklanjut
H 1-2 H 3-7 H 8-14 mg 3-6 mg 7-26
1. Atasi/cegah hipoglikemia

2. Atasi/cegah hipotermia

3. Atasi/cegah dehidrasi

4. Perbaiki gangguan elektrolit

5. Obati infeksi
6. Perbaiki def. nutrien mikro tanpa Fe + Fe

7. Makanan stab & trans

8. Makanan Tumb.kejar
9. Stimulasi

10. Siapkan tindak lanjut


HIPOGLIKEMIA
• Semua anak dengan gizi • Jika anak tidak sadar, beri
buruk berisiko hipoglikemia larutan glukosa 10% IV
(< 54 mg/dl) bolus 5 ml/kg BB, atau
• Jika tidak memungkinkan larutan glukosa/larutan gula
periksa GDS, maka semua pasir 50 ml dengan NGT.
anak gizi buruk dianggap • Lanjutkan pemberian F-75
hipoglikemia setiap 2–3 jam, siang dan
• Segera beri F-75 pertama, malam selama minimal dua
bila tidak dapat disediakan hari.
dengan cepat, berikan 50 ml
glukosa/ gula 10% (1 sendok
teh munjung gula dalam 50
ml air) oral/NGT.
Ketentuan Pemberian Makan Awal
• Makanan dalam jumlah sedikit tetapi sering dan rendah
osmolaritas serta rendah laktosa
• Berikal secara oral atau melalui NGT, hindari pemberian
parenteral
• Formula awal F-75 diberikan sesuai standar WHO dan
sesuai jadwal makan yang dibuat untuk mencukupi
kebutuhan zat gizi pada fase stabilisasi
• Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan, tetapi pastikan
bahwa jumlah F-75 yang dibutuhkan harus dipenuhi
• Apabila pemberian makan oral tidak mencapai kebutuhan
minimal, berikan sisanya melalui NGT
• Pada fase transisi, secara bertahap ganti F-75 dengan F-
100
Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. 2008
Pemberian Makanan
• Fase stabilisasi (Inisiasi)
– Energi: 80-100 kal/kg/hari
– Protein: 1-1,5 gram/kg/hari
– Cairan: 130 ml/kg/hari atau 100 ml/kg/hari (edema)
• Fase transisi
– Energi: 100-150 kal/kg/hari
– Protein: 2-3 gram/kg/hari
• Fase rehabilitasi
– Energi: 150-220 kal/kg/hari
– Protein: 3-4 gram/kg/hari
HIPOTERMIA (Suhu aksilar < 35.5° C)
• Pastikan bahwa anak berpakaian (termasuk
kepalanya). Tutup dengan selimut hangat dan
letakkan pemanas/ lampu di dekatnya, atau
lakukan metode kanguru.
• Ukur suhu aksilar anak setiap 2 jam s.d suhu
menjadi 36.5° C/lbh.
• Jika digunakan pemanas, ukur suhu tiap
setengah jam. Hentikan pemanasan bila suhu
mencapai 36.5° C
DEHIDRASI
• Jangan gunakan infus untuk rehidrasi, kecuali
pada kasus dehidrasi berat dengan syok.
• Beri ReSoMal, secara oral atau melalui NGT
– beri 5 ml/kgBB setiap 30 menit untuk 2 jam
pertama
– setelah 2 jam, berikan ReSoMal 5–10
ml/kgBB/jam berselang-seling dengan F-75
dengan jumlah yang sama, setiap jam selama 10
jam.
Atasi Infeksi
• Anggap semua anak dengan • Jika ada komplikasi (hipoglikemia,
gizi buruk mengalami infeksi hipotermia, atau anak terlihat
letargis atau tampak sakit berat),
saat mereka datang dan atau jelas ada infeksi 
segera diberi antibiotik. Ampisilin (50 mg/kgBB IM/IV/6
jam selama 2 hari), dilanjutkan
Amoksisilin PO (15 mg/kgBB/8 jam
PILIHAN ANTIBIOTIK
selama 5 hari) ATAU Ampisilin PO
SPEKTRUM LUAS (50 mg/kgBB/6 jam selama 5 hari)
• Jika tidak ada komplikasi sehingga total selama 7 hari,
atau tidak ada infeksi nyata DITAMBAH Gentamisin (7.5
mg/kgBB/hari IM/IV) setiap hari
 Kotrimoksazol PO (25 mg selama 7 hari.
SMZ + 5 mg TMP/kgBB/12
jam selama 5 hari.
• Jika anak tidak membaik dalam waktu 48 jam,
tambahkan Kloramfenikol (25 mg/kgBB IM/IV
setiap 8 jam) selama 5 hari.
• Jika diduga meningitis, lakukan pungsi lumbal
untuk memastikan dan obati dengan
Kloramfenikol (25 mg/kg setiap 6 jam) selama
10 hari.
Mikronutrien
• Asam folat (5 mg pada hari 1, dan selanjutnya 1 mg/hari)
• Seng (2 mg Zn elemental/kgBB/hari)
• Tembaga (0.3 mg Cu/kgBB/hari)
• Ferosulfat 3 mg/kgBB/hari setelah berat badan naik (mulai fase
rehabilitasi)
• Vitamin A diberikan secara oral pada hari ke 1 dengan:

• Jika ada gejala defisiensi vitamin A, atau pernah sakit campak dalam 3
bulan terakhir, beri vitamin A dengan dosis sesuai umur pada hari ke 1, 2,
dan 15.
63. Asfiksia Neonatal

Mathai SS. Management of respiratory distress in the newborn. MJAFI 2007; 63: 269-72.
Hyaline Membrane Disease
• gangguan pernapasan yang disebabkan imaturitas paru dan
defisiensi surfaktan, terutama terjadi pada neonatus usia
gestasi<34 minggu atau berat lahir <1500 gram
• Gejala Klinis
– Sesak, merintih, takipnea, retraksi interkostal dan
subkostal, napas cuping hidung, dan sianosis yang terjadi
dalam beberapa jam pertama kehidupan.
– Bila gejala tidak timbul dalam 8 jam pertama kehidupan,
adanya PMH dapat disingkirkan.
• Lung immaturity  salah satu penyebab Chronic Lung Disease
(bronchopulmonary dysplasia)
• Penyakit membran hialin RESPIRATORY DISTRESS
(PMH) merupakan gangguan SYNDROME (Hyaline
pernapasan yang disebabkan membrane disease)
imaturitas paru dan defisiensi
surfaktan, terutama terjadi
pada neonatus usia gestasi <34
minggu atau berat lahir <1500
gram
• Etiology:
– Defisiensi surfaktan (produksi
dan sekresi menurun)
• Surfactant
– Berperan untuk pengembangan
alveolus
– Komposis utama surfaktan :
• dipalmitoyl phosphatidylcholine
(lecithin)
• Phosphatidylglycerol
• apoproteins (surfactant proteins
SP-A, -B, -C, -D)
• Cholesterol
Hyaline Membrane Disease (Respiratory Distress Syndrome). Nelson Textbook of http://www.netterimages.com/images/vpv/000/000/010/102
Pediatrics 91-0550x0475.jpg
Patomekanisme
HMD
Pathogenesis of hyaline membrane disease
(HMD). Vascular disruption causes leakage of
plasma into the alveolar spaces and layering of
fibrin and necrotic cells arise from type II
pneumocytes (“hyaline membranes”) along the
surface of alveolar ducts and respiratory
bronchioles partially denuded of their normal
cell lining.
Pneumosit sebagai Penghasil
Surfaktan
• Pada dinding alveolus dibedakan atas 2
macam sel:
– sel epitel gepeng ( squamous pulmonary epitheal
atau sel alveolar kecil atau pneumosit tipeI).
– sel kuboid yang disebut sel septal atau alveolar
besar atau pneumosit tipe II.
• Menghasilkan surfaktan untuk menurunkan tegangan
permukaan dan mempertahankan bentuk dan besar
alveolus
Komplikasi

– Septicemia
– Bronchopulmonary dysplasia (BPD)
– Patent ductus arteriosus (PDA)
– Pulmonary hemorrhage
– Apnea/bradycardia
– Necrotizing enterocolitis (NEC)
– Retinopathy of prematurity (ROP)
– Hypertension
– Failure to thrive
– Intraventricular hemorrhage (IVH)
Tatalaksana HMD

• Endotracheal (ET) tube


• Continuous positive airway pressure (CPAP)
• Surfactant replacement
• Broad spectrum antibiotic (Ampicillin) stop if there is no proof
of infection
• Corticosteroid  reduced overall incidence of death or chronic lung
disease
– Early Postnatal Corticosteroids (<96 hours)  not suggested because
risk> benefit (CP, development delay, Hyperglicemia, hypertension, GI
bleeding)
– Moderately Early Postnatal Corticosteroids (7-14 days)  not
suggested because risk> benefit
– Delayed Postnatal Corticosteroids (> 3 weeks)  can be used for
ventilator dependant infants in whom it is felt that steroids are
essential to facilitate extubation.
Distres Pernapasan pada Neonatus
Kelainan Gejala
Sindrom aspirasi Biasanya pada bayi matur, pertumbuhan janin terhambat,
mekonium terdapat staining mekonium di cairan amnion dan kulit, kuku,
atau tali pusar. Pada radiologi tampak air trapping dan
hiperinflasi paru, patchy opacity, terkadang atelektasis.
Respiratory distress Pada bayi prematur, pada bayi dengan ibu DM atau kelahiran
syndrome (penyakit SC, gejala muncul progresif segera setelah lahir. Pada radiologi
membran hyalin) tampak gambaran diffuse “ground-glass” or finely granular
appearance, air bronkogram, ekspansi paru jelek.
Transient tachypnea of Biasanya pada bayi matur dengan riwayat SC. Gejala muncul
newboorn setelah lahir, kemudian membaik dalam 72 jam pasca lahir.
Pada radiologi tampak peningkatan corakan perihilar,
hiperinflasi, lapangan paru perifer bersih.
Pneumonia neonatal Terdapat risiko pneumonia (KPD, demam pada ibu, cairan
amnion berbau, dsb). Gejala meliputi gejala distress dan gejala
sepsis. Gambaran radiologis : Diffuse, relatively homogeneous
infiltrates
Asfiksia perinatal (hypoxic Asidemia pada arteri umbilikal, Apgar score sangat rendah,
ischemic encephalopathy) terdapat kelainan neurologis, keterlibatan multiorgan
KLASIFIKASI HMD

Derajat I, Bercak retikulogranuler dengan air Derajat II, Bercak retikulogranular menyeluruh dengan
bronchogram air bronchogram

Derajat III, Opasitas lebih jelas, dengan Derajat IV, Seluruh lapangan paru terlihat putih (opak),
airbronchogram lebih jelas meluas kecabang di perifer. Tidak tampak airbronchogram, jantung tak terlihat,
Gambaran jantung menjadi kabur. disebut juga “White lung”
Meconium Aspiration Syndrome

Densitas ropey, kasar, patchy luas menyeluruh pada kedua


lapangan paru. Selain itu pada MAS juga bisa ditemukan
• Hiperaerasi paru pada daerah yang mengalami air-trapping
• Efusi pleura minimal (20%).
• pneumotoraks atau pneumomediastinum spontan.
• atelektasis paru emfisema obstruktif.
Transient Tachypnea of Newborn

(a) Fuzzy vessel, fisura interlobaris terisi cairan; (b) densitas bergaris divergen di medial
dengan sedikit efusi kanan. Gambaran paru membaik dalam waktu yang cepat sejalan
dengan perbaikan klinis.
Pneumonia neonatal

Infiltrat inhomogen pada lapang paru kanan atas. Bila terjadi dalam 72 jam
pertama kehidupan, pneumonia neonatal perlu dipikirkan.
64. Gagal Ginjal Akut
• Gagal ginjal akut (GGA)/Acute Kidney Injury (AKI) ialah
penurunan fungsi ginjal mendadak yang
mengakibatkan hilangnya kemampuan ginjal untuk
mempertahankan homeostasis
• Terdapat peningkatan kadar kreatinin darah secara
progresif 0,5 mg/dL per hari dan peningkatan ureum
sekitar 10-20 mg/dL per hari.
• GGA dapat bersifat oligurik dan non-oligurik.
– Oliguria ialah produksi urin <1 ml/kgBB/ jam untuk neonatus
dan <0,8 ml/kgBB/jam untuk bayi dan anak.
Klasifikasi
Patogenesis
Tatalaksana Medikamentosa GGA
• Terapi sesuai penyakit primer • Pemberian diuretik pada GGA
• Bila terdapat infeksi, dosis renal dengan furosemid 1-2
antibiotik disesuaikan dengan mg/kgBB dua kali sehari dan
beratnya penurunan fungsi ginjal dapat dinaikkan secara
• Pemberian cairan disesuaikan bertahap sampai maksimum 10
dengan keadaan hidrasi mg/kgBB/kali. (pastikan
kecukupan sirkulasi dan bukan
• Koreksi gangguan
merupakan GGA pascarenal).
ketidakseimbangan cairan
elektrolit • Bila gagal dengan
medikamentosa, maka
• Natrium bikarbonat untuk
dilakukan dialisis peritoneal
mengatasi asidosis metabolik atau hemodialisis.
sebanyak 1-2 mEq/kgBB/ hari
sesuai dengan beratnya asidosis
65. Diare akut

• Diare akut:
- BAB >3 kali dalam 24 jam
- Konsistensi cair
- Durasi <1 minggu

• Diare kronik: diare karena penyebab apapun


dan berlangsung ≥ 14 hari
Gejala dan tanda dehidrasi
Klasifikasi diare
pada anak
Tanpa dehidrasi

Dehidrasi ringan-sedang
Dehidrasi berat

Terapi zinc
Syok hipovolemik
pada anak
• Jika diare sangat massif
sehingga volume loss
sangat tinggi, anak dapat
mengalami syok
hipovolemik
• Tatalaksana syok akibat
diare pada anak tidak
menggunakan rencana
terapi C melainkan
algoritma tatalaksana
syok hipovolemik anak
66. ASI Eksklusif

Setelah melahirkan, produksi ASI ibu adalah


• 500 ml pada hari pertama sampai ke 5
• 600-690 ml pada minggu kedua
• 750 ml pada bulan 3-5
Kebutuhan ASI bagi bayi 750-1000 ml/hari
Di soal hanya 150-200tidak memenuhi kebutuhan

Sumber: IDAI 2013


Pemberian ASI ideal

• Bayi menyusu 10-12 kali dalam sehari


• Produksi ASI rata-rata 800 ml/hari
• Produksi 90-120 ml total dari 2 payudara
• Umumnya bayi menyusu payudara pertama
75 ml, payudara kedua 50 mll
• Frekuensi menyusu di malam hari (jam 22.00-
04.00) adalah 1-3 kali

Sumber: IDAI 2013


Cara meningkatkan perahan ASI

• Rutin memerah ASI setiap hari dan setiap


menyusui, jika rutin produksi akan terus
meningkat setiap 2 minggu.
• Kompres air hangat dan pijat dengan lembut.
• Menyusui dengan posisi yanng benar

Sumber: IDAI 2013


67. Demam Tifoid
Gejala Klinis:
• Demam persisten
• Nyeri kepala
• Gejala abdomen (biasanya berupa nyeri epigastrium,
diare atau konstipasi), mual, muntah
• Bradikardi relatif,
• Lidah yang tremor dan berselaput
• Meteorismus.
• Hepatomegali, splenomegali

524
Sensitivity of Typhoid Cultures
Spesimen Incubation Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV

Darah Sensitivitas Sensitivitas 40-50%


(GOLD 70% disarankan kultur
STANDARD) feses/urin
Bone Sensitivitas 90%
marrow (setelah 5 hari
antibiotik akan
turun) terlalu
invasif dan tidak
menjadi pilihan
utama
Feses Sensitivitas 20-60%

Urin Sensitivitas 25-30%


Tes Widal:

• Deteksi antibodi terhadap antigien somatik O & flagel H


dari salmonella.
• Diagnosis (+): peningkatan titer >4 x setelah 5-10 hari
dari hasil pertama.
• Antibody O meningkat setelah 6-8 hari, antibodi H
meningkat setelah 10-12 hari.
• Pada daerah endemik, tes widal tunggal tidak reliabel
karena antibodi terhadap H dan O dapat terdeteksi
hingga 1/160 pada populasi normal. Karena itu, sebagian
memakai batas titer H dan/ O ≥ 1/320 sebagai nilai yang
signifikan.
• Sensitivitas 64% dan spesifisitas 76%
Typhidot
• Deteksi IgM dan IgG terhadap outer
membrane protein (OMP) 50 kDa dari
S. typhi.
• Positif setelah infeksi hari 2-3.
• Sensitivitas 79%, spesifisitas 89%

Tubex TF
• Deteksi IgM anti lipopolisakarida O9 dari Salmonella serogroup D (salah satunya
S. typhi).
• Positif setelah hari ke 3-4.
• Sensitivitas 78%, spesifisitas 89%
A Comparative Study of Typhidot and Widal Test in Patients of Typhoid Fever. JIACM 2004; 5(3): 244-6.
68. Club Foot (TEV)
Definisi Tipe
• Club foot / Talipes Equinovarus • Idiopatik : tidak ada kelainan
(TEV)  Deformitas kongenital kongenital yang lain, paling umum
yang rigid  fiksasi kaki pada terjadi.
posisi adduksi, supinasi dan varus. • Postural : deformitas dapat
• 1-2 kasus dalam 1000 kelahiran dikoreksi oleh pemeriksa.
hidup. • Sindromik: berkaitan dgn kelainan
• Pria : Wanita  2 : 1 kongenital e.g. Arthrogryposis,
Etiologi Diastrophic dwarfism.
• Tidak diketahui. • Kondisi neuromuskular:
• Muskular, neurogenik, genetik dan myelomeningocele, CP
connective tissue.

Sumber : Abdelgawad A, Naga O. Pediatric Orthopedics A Handbook for Primary Care Physicians. New York: Springer; 2014.
Club Foot (TEV)

Manifestasi Klinis Manifestasi Klinis


• Deformitas harus rigid (tidak Komponen lain:
dapat diperbaiki oleh pemeriksa). • Cavus of the foot (high arch foot).
• 3 deformitas utama: • Internal tibial torsion of the leg.
 Ankle dan foot equines (plantar • Ukuran kaki dan betis lebih kecil
fleksi dari ankle dan foot). jika dibandingkan sisi
 Hindfoot varus (tumit deviasi ke kontralateral.
arah dalam).
 Forefoot adduction (forefoot Tatalaksana : Ponseti method,
deviasi ke arah dalam jika operatif
dibandingkan dgn hindfoot).

Sumber : Abdelgawad A, Naga O. Pediatric


Orthopedics A Handbook for Primary Care
Physicians. New York: Springer; 2014.
Berbagai spektrum abnormalitas pada kaki neonatus Newborn Foot Abnormalities Newborn Foot Abnormalities
Condition Major Features Condition Major Features

Talipes : a deformity in which the foot is twisted out of normal


position T. Equinovalgus combination
between t. equinus
T. Cavus abnormally high
and t. valgus
longitudinal arch

T. Calcaneovalgus combination
between t.
T. Calcaneus dorsiflexion calcaneus dan t.
valgus
T. Equinovarus combination
(Club Foot) between t. equinus
T. Equinus plantar flexion and t. varus

T. Cavovarus combination
T. Valgus (flat abducted and between t. cavus
foot) everted and t. varus

T. Calcaneocavus combination
between t.
T. Varus abducted and calcaneus and t.
inverted
cavus

T. Equinovalgus combination
between t. equinus
and t. valgus Dorland's Medical Dictionary for Health Consumers. New York : Saunders ;2007
Berbagai spektrum abnormalitas pada kaki neonatus Newborn Foot Abnormalities

Condition Major Features

Claw toes/claw foot Lesser toe with dorsiflexion of the


proximal phalanx on the lesser
metatarsophalangeal (MTP) joint and
concurrent flexion of the proximal
interphalangeal (PIP) and distal
interphalangeal (DIP) joints
69. EKSANTEMA AKUT
Morbili/Rubeola/Campak +toksonomi
• Pre-eruptive Stage
– Demam
– Catarrhal Symptoms – coryza, conjunctivitis
– Respiratory Symptoms – cough
• Eruptive Stage/Stage of Skin Rashes
– Exanthem sign
• Maculopapular Rashes – Muncul 2-7
hari setelah onset
• Demam tinggi yang menetap
• Anoreksia dan iritabilitas
• Diare, pruritis, letargi dan
limfadenopati oksipital
• Stage of Convalescence
– Rash – menghilang sama dengan urutan
munculnya (muka lalu ke tubuh bag bawah)
→ membekas kecoklatan
– Demam akan perlahan menghilang saat
erupsi di tangan dan kaki memudar

• Tindakan Pencegahan :
– Imunisasi Campak pada usia 9 bulan
– Mencegah terjadinya komplikasi berat
Measles Virus Taxonomy

• Species : Measles morbillivirus


• Genus : Morbillivirus Electron Micrograph of
Measles virus
• Family : Paramyxoviridae
• Order : Mononegavirales
• Single-stranded, negative-sense,
enveloped (non-segmented)
RNA virus

3D graphical representation of a
https://www.cdc.gov/measles/about/photos.html spherical-shaped, measles virus
particle
Morbili
• Etiologi: Morbilivirus dari • Prodromal
family Paramyxoviridae – Hari 7-11 setelah eksposure
• Kelompok yang rentan: – Demam, batuk,
– Bayi dan anak usia <5 tahun konjungtivitis,sekret hidung.
– Dewasa >20 tahun
(cough, coryza, conjunctivitis
 3C)
– Wanita hamil
– Imunodefisiensi (HIV, leukemia) • Enanthem  ruam
• Musim: akhir musim dingin/ kemerahan
musim semi • Koplik’s spots muncul 2 hari
• Inkubasi: 8-12 hari sebelum ruam dan bertahan
selama 2 hari.
• Masa infeksius: 1-2 hari sblm
prodromal s.d. 4 hari setelah
muncul ruam
Morbili
KOMPLIKASI DIAGNOSIS & TERAPI
• Otitis Media (1 dari 10 penderita • Diagnosis:
campak pada anak) – manifestasi klinis, tanda
• Diare (1 dari 10 penderita campak) patognomonik bercak Koplik
• Bronchopneumonia (komplikasi – isolasi virus dari darah, urin, atau
berat; 1 dari 20 anak penderita sekret nasofaring
campak) – pemeriksaan serologis: titer
• Encephalitis (komplikasi berat; 1 antibodi 2 minggu setelah
dari 1000 anak penderita campak) timbulnya penyakit
• Pericarditis
• Subacute sclerosing
panencephalitis – late sequellae
due to persistent infection of the
CNS; 7-10 tahun setelahnya; 1:
100,000 orang)
Penatalaksanaan
• Terapi suportif diberikan dengan menjaga cairan tubuh dan
mengganti cairan yang hilang dari diare dan emesis.
• Obat diberikan untuk gejala simptomatis, demam dengan
antipiretik.
• Jika terjadi infeksi bakteri sekunder, diberikan antibiotik.
• Suplementasi vitamin A diberikan pada:
– Bayi usia kurang dari 6 bulan 50.000 IU/hari PO diberi 2 dosis.
– Umur 6-11 bulan 100.000 IU/hari PO 2 dosis.
– Umur di atas 1 tahun 200.000 IU/hari PO 2 dosis.
– Anak dengan tanda defisiensi vitamin A, 2 dosis pertama sesuai
umur, dilanjutkan dosis ketiga sesuai umur yang diberikan 2-4
minggu kemudian.
Konseling & Edukasi
• Edukasi keluarga dan pasien bahwa morbili merupakan penyakit
yang menular.
• Namun demikian, pada sebagian besar pasien infeksi dapat
sembuh sendiri, sehingga pengobatan bersifat suportif.
• Edukasi pentingnya memperhatikan cairan yang hilang dari
diare/emesis.
• Untuk anggota keluarga/kontak yang rentan, dapat diberikan
vaksin campak atau human immunoglobulin untuk pencegahan.
• Vaksin efektif bila diberikan dalam 3 hari terpapar dengan
penderita.
• Imunoglobulin dapat diberikan pada individu dengan gangguan
imun, bayi umur 6 bulan -1 tahun, bayi umur kurang dari 6 bulan
yang lahir dari ibu tanpa imunitas campak, dan wanita hamil.
Rubella
• Togavirus • Asymptomatik hingga
• Yg rentan: orang dewasa 50%
yang belum divaksinasi • Prodromal
• Musim: akhir musim – Anak-anak: tidak bergejala
dingin/ awal musim semi. s.d. gejala ringan
– Dewasa: demam, malaside,
• Inkubasi 14-21 hari nyeri tenggorokan, mual,
• Masa infeksius: 5-7 hari anoreksia, limfadenitis
sblm ruam s.d. 3-5 hari oksipital yg nyeri.
setelah ruam muncul • Enanthem
– Forschheimer’s spots
petekie pada hard
palate
Rubella - komplikasi
• Arthralgias/arthritis pada
org dewasa
• Peripheral neuritis
• encephalitis
• thrombocytopenic purpura
(jarang)
• Congenital rubella
syndrome
– Infeksi pada trimester
pertama
– IUGR, kelainan mata, tuli,
kelainan jantung, anemia,
trombositopenia, nodul kulit.
Roseola Infantum ≈ Exanthem Subitum
• Human Herpes Virus 6 • Demam tinggi 3-4 hari
(and 7) • Demam turun mendadak
• Yg rentan: 6-36 bulan dan mulai timbul ruam
(puncak 6-7 bulan) kulit.
• Musim: sporadik • Kejang yang mungkin
• Inkubasi: 9 hari timbul berkaitan dengan
• Masa infeksius: berada infeksi pada meningens
dalam saliva secara oleh virus.
intermiten sepanjang
hidup; infeksi
asimtomatik persisten.
Scarlet Fever
• Sindrom yang memiliki • Rash : Timbul 12-48 jam
karakteristik: faringitis setelah onset demam. Dimulai
eksudatif, demam, dan rash. dari leher kemudian menyebar
• Disebabkan oleh group Abeta- ke badan dan ekstremitas.
hemolyticstreptococci • Pemeriksaan : Throat culture
(GABHS) positive for group A strep
• Masa inkubasi 1-4 hari. • Tatalaksana : Antibiotik
• Manifestasi pada kulit diawali antistreptokokal minimal 10
oleh infeksi streptokokus hari (Eritromisin atau Penicillin
(umumnya pada G)
tonsillopharynx): nyeri
tenggorokan dan demam
tinggi, disertai nyeri kepala,
mual, muntah, nyeri perut,
myalgia, dan malaise.
Scarlet Fever. http://emedicine.medscape.com/article/1053253-overview
70. Cytomegalovirus Congenital
Infection

• Majority are asymptomatic at birth


• Periventricular calcifications
• IUGR, developmental delay, microcephaly, sensorineural
hearing loss, retinitis, jaundice, hepatosplenomegaly,
thrombocytopenia, hypotonia, lethargy, poor suck
• Preterm infants may appear septic – apnea, bradycardia,
intestinal distension)
• Postnatal infections are generally asymptomatic
Cytomegalic inclusion disease (CID)
• Approximately 10% of infants with congenital
infection have clinical evidence of disease at
birth.
• The most severe form of congenital CMV
infection is referred to as CID.
• CID almost always occurs in women who have
primary CMV infection during pregnancy,
although rare cases are described in women with
preexisting immunity who presumably have
reactivation of infection during pregnancy.
Cytomegalic Inclusion Disease (CID)
• Intrauterine growth restriction,
• Hepatosplenomegaly,
• Hematological abnormalities (particularly thrombocytopenia),
• Various cutaneous manifestations, including petechiae and purpura (ie,
blueberry muffin baby).
• However, the most significant manifestations of CID involve the CNS.
– Microcephaly,
– ventriculomegaly,
– cerebral atrophy,
– chorioretinitis,
– and sensorineural hearing loss
• Intracerebral calcifications typically demonstrate a periventricular distribution
and are commonly encountered using CT scanning (see the image below).
– The finding of intracranial calcifications is predictive of cognitive and audiologic
deficits in later life and predicts a poor neurodevelopmental prognosis.
Tissue invasive disease - infected cells are identified on H & E stain
by characteristic features including a large cell nucleus with peri-
nuclear clearing, and basophilic staining cytoplasmic inclusion
bodies which are often referred to as the “owl’s eye” appearance.
Congenital Toxoplasma Clinical
Presentation
• First Trimester – often results in death
• Second Trimester – classic triad
– Hydrocephalus
– Intracranial calcifications
– Chorioretinitis
• Third Trimester – often asymptomatic at birth
• Symptoms may also include fever, IUGR, microcephaly,
seizure, hearing loss, maculopapular rash, jaundice,
hepatosplenomegaly, anemia, and lymphadenopathy
Herpes Simpleks Congenital Infection
• SEM disease (Localized to skin, eyes, and mucosal)
– Vesicular lesions on an erythematous base
– Keratoconjunctivitis, cataracts, chorioretinitis
– Ulcerative lesions of the mouth, palate, and tongue
• CNS disease
– Seizure, lethargy, irritability, tremor, poor feeding, temperature instability,
full anterior fontanelle
• Disseminated disease
– Multiple organ involvement (CNS, skin, eye, mouth, lung, liver, adrenal
glands)
– May appear septic – fever/hypothermia, apnea, irritability, lethargy,
respiratory distress
– Hepatitis, ascites, direct hyperbilirubinemia, neutropenia, disseminated
intravascular coagulation, pneumonia, hemorrhagic pneumonitis,
necrotizing enterocolitis, meningoencephalitis, skin vesicles
Vesicular lesions on an
erythematous base
Congenital Rubella Syndrome Classic
Triad
• Sensorineural hearing loss is the most common manifestation of congenital
rubella syndrome. It occurs in approximately 58% of patients.
• Ocular abnormalities including cataract, infantile glaucoma, and pigmentary
retinopathy occur in approximately 43% of children with congenital rubella
syndrome.
– Both eyes are affected in 80% of patients, and the most frequent findings are
cataract and rubella retinopathy.
– Rubella retinopathy consists of a salt-and-pepper pigmentary change or a mottled,
blotchy, irregular pigmentation, usually with the greatest density in the macula.
– The retinopathy is benign and nonprogressive and does not interfere with vision (in
contrast to the cataract) unless choroid neovascularization develops in the macula.
• Congenital heart disease including patent ductus arteriosus (PDA) and
pulmonary artery stenosis is present in 50% of infants infected in the first 2
months' gestation.
Rubella Congenital Infection
• Blueberry Muffin” rash due to extramedullary
hematopoiesis
• “Salt and Pepper” retinopathy
• Radiolucent bone disease (long bones)
• IUGR, glaucoma, hearing loss, pulmonic
stenosis, patent ductus arteriosus,
lymphadenopathy, jaundice,
hepatosplenomegaly, thrombocytopenia,
interstitial pneumonitis, diabetes mellitus
Congenital cataract

Blueberry muffin baby Salt pepper retinopathy


Presentation of Congenital Rubella
Syndrome
normality Commonality Early/Delayed Comment

General

Intrauterine growth retardation Common Early ...

Prematurity Uncommon Early ...

Stillbirth Uncommon Early ...

Abortion Uncommon Early ...

Cardiovascular system

Patent ductus arteriosus Common Early May occur with pulmonary artery stenosis

Pulmonary artery stenosis Common Early Caused by intimal proliferation

Coarctation of the aorta Uncommon Early ...

Myocarditis Uncommon Early ...

Ventricular septal defect Uncommon Early ...

Atrial septal defect Uncommon Early ...


normality Commonality Early/Delayed Comment

Eye

Cataract Common Early Unilateral or bilateral


Salt-and-pepper appearance; visual acuity
Retinopathy Common Early
unaffected; frequently unilateral
Cloudy cornea Uncommon Early Spontaneous resolution

Glaucoma Uncommon May be bilateral


Early/Delayed
Microphthalmia Common Early Common in patients with unilateral cataract
Retinopathy with macular scarring and loss of
Subretinal neovascularization Uncommon Delayed
vision
Ear
Usually bilateral; mostly sensorineural; may be
central in origin; rare when maternal rubella
Hearing loss Common
Early/Delayed occurs >4 months' gestation; sometimes
progressive
CNS

Meningoencephalitis Uncommon Early Transient

Microcephaly Uncommon Early May be associated with normal intelligence

Intracranial calcifications Uncommon Early ...

Encephalographic abnormalities Common Early Usually disappear by age 1 y

Mental retardation Common Delayed ...


normality Commonality Early/Delayed Comment

Behavioral disorders Common Delayed Frequently related to deafness

Autism Uncommon Delayed ...


Chronic progressive
Uncommon Delayed Manifest in second decade of life
panencephalitis
Hypotonia Uncommon Early Transitory defect

Speech defects Common Delayed Uncommon in absence of hearing loss

Skin

Blueberry muffin spots Uncommon Early Represents dermal erythropoiesis

Chronic rubelliform rash Uncommon Early Usually generalized; lasts several weeks

Dermatoglyphic abnormalities Common Early ...

Lungs
Generalized; probably immunologically
Interstitial pneumonia Uncommon Delayed
mediated
Liver

Hepatosplenomegaly Common Early Transient

Jaundice Uncommon Early Usually appears in the first day of life

Hepatitis Uncommon Early May not be associated with jaundice


normality Commonality Early/Delayed Comment

Blood

Thrombocytopenia Common Early Transient; no response to steroid therapy

Anemia Uncommon Early Transient

Hemolytic anemia Uncommon Early Transient

Altered blood group expression Uncommon Early ...

Immune system

Hypogammaglobulinemia Uncommon Delayed Transient

Lymphadenopathy Uncommon Early Transient

Thymic hypoplasia Uncommon Early Fatal

Bone
Transient; most common in distal femur
Radiographic lucencies Common Early
and proximal tibia
Large anterior fontanel Uncommon Early ...

Micrognathia Uncommon Early ...


Blueberry Muffin Baby
• The term blueberry muffin baby was initially coined by pediatricians
to describe cutaneous manifestations observed in newborns
infected with rubella during the American epidemic of the 1960s.
• These children had generalized hemorrhagic purpuric eruptions
that on histopathology showed dermal erythropoiesis.
• Since then, congenital infections comprising the TORCH syndrome
and hematologic dyscrasias have classically been associated with
blueberry muffin-like lesion.
• This condition are due to the presence of clusters of blood-
producing cells in the skin (extramedullary erythropoiesis), or
bleeding into the skin (purpura) or spreading cancer (metastases).
Blueberry muffin baby
Blueberry Muffin Baby
Causes of Extramedullary Hematopoeisis
• Infectious
– Rubella, CMV, Syphilis, toxoplasma, HIV
• Hematological
– intracranial bleeding, ABO incompatibility, twin-
twin transfusion, hemangiomatosis
• Malignancy/Proliferative
– Congenital leukemia cutis, cogenital
rhabdomyosarcoma, Langerhans cell histiocytosis
and myelodysplasia
OBSTETRI &
GINEKOLOGI
71. Siklus Menstruasi
& Ovulasi

• Siklus menstruasi terdiri atas 2


komponen yaitu siklus ovarian
dan siklus uterine
• Siklus Ovarian :
• Fase folikular
• Ovulasi
• Fase luteal
• Siklus Uterine :
• Fase menstruasi
• Fase proliferatif
• Fase sekresi
Siklus Ovarian
• Rata – rata berkisar sekitar
28 hari.
• Dimulai saat menarche,
dapat diinterupsi secara
normal oleh kehamilan dan
terhenti saat menopause.
• Terdiri atas 3 fase :
– Fase Follicular :
• Didominasi oleh pertumbuhan
dan pematangan folikel.
– Ovulasi
– Luteal phase
• Dicirikan dengan hadirnya
corpus luteum. Durasi selalu
konstan yaitu 14 hari
Ovulasi
• Ruptur dinding folikel Graff, cairan di dalam
folike dan oocyte keluar dari folikel.
• Dipacu oleh LH surge
• Dua atau lebih folikel dominan dapat
mengalami ovulasi.
• Bila keduanya mengalami fertilisasi  kembar
fraternal atau kembar dizigotik
Fase luteal
• Folikel yang telah pecah akan berubah struktur menjadi
corpus luteum (gland)
• Corpus luteum akan berfungsi sempurna dalam waktu
4 hari post ovulasi.
• Bila tidak terjadi fertilisasi dan implantasi, corpus
luteum akan mengalami degenerasi dalam waktu 14
hari setelah terbentuk
• LH mempengaruhi pembentukan corpus luteum.
• Durasi fase luteal bersifat konstan yaitu 14 hari. Bila
terjadi abnormalitas menstruasi, yang mengalami
pemanjangan atau pemendekan adalah fase folikular
Siklus Uterine
• Menggambarkan perubahan endometrium selama siklus ovarium
• Terdiri atas 3 fase yaitu:
– Fase menstruasi
• Terjadi penurunan hormon estrogen dan progesteron
• Endometrium luruh selama 5-7 hari
– Fase proliferasi
• Endometrium kembali tumbuh (menebal) untuk persiapan
implantasi bila terjadi kehamilan
– Fase sekresi / progestational
• Berbarengan dengan fase luteal.
Siklus uterine
• Fase Menstruasi • Fase Proliferasi
– Terjadi pengeluaran darah serta – Mulai bersamaan dengan hari –
debris endometrium melalui vagina hari terakhir fase folikular ovarium
– Hari pertama menstruasi dihitung – Pada fase ini uterus bersiap untuk
sebagai hari pertama dari siklus menerima ovum yang sudah
baru fertilisasi
– Terjadi bersamaan dengan • Endometrium mulai
berakhirnya fase luteal dari siklus berproliferasi (tumbuh) dengan
ovarium dan awal dari fase folikular dipengaruhi oleh estrogen dari
siklus ovarium folikel yang tumbuh
– Dipicu oleh penurunan hormon – Estrogen mendomniasi fase
esterogen dan progesteron proliferasi dari akhir fase
– Pelepasan prostaglandin uterin  menstruasi hingga ovulasi
vasokontriksi pembuluh darah – Puncak dari kadar esterogen akan
endometrium  kematian dari mencetuskan LH surge  Ovulasi
endometrium  darah menstruasi
Siklus uterine
• Fase sekresi
– Endometrium bersiap untuk mengalami implantasi
– Peningkatan suplay darah endometrium
– Dipicu oleh progesteron
– Bertepatan dengan fase luteal (saat terbentuknya
corpus luteum)
– Progesterone meningkatkan vaskularisasi
endometrium, dan kelenjar endometrium
mensekresikan glycogen secara aktif.
– Jika tidak terjadi fertilisasi dan implantasi, corpus
luteum akan berdegenerasi  akan terjadi lagi fase
folikular dan fase menstrual yang baru
Fern Test (Amniotic Fluid Crystallization Test
for Ruptured Membranes )
• Purpose:
– Detection of fern-type amnoitic fluid crystallization as
an aid in the detection of ruptured amniotic
membranes in pregnant women.
• “Ferning” is not specific for amniotic fluid. Other
fluids (e.g., blood, cervical mucus, semen and some
urine specimens) when dried can also yield
microscopic crystallization in a “fern” pattern
• Ferning is due to the prescence of sodium chloride in
the mucus under estrogen effect.
• When high levels of estrogen are present just before
the ovulation, the cervical mucus forms fern like
pattern due to crystallization of sodium chloride on
mucus fiber.
72. Gangguan Menstruasi
Disorder Definition
Amenorrhea Primer Tidak pernah menstruasi setelah berusia 16 tahun, atau
berusia 14 tahun tanpa menstruasi sebelumnya dan tidak
terdapat tanda-tanda perkembangan seksual sekunder

Amenorrhea Tidak terdapat menstruasi selama 3 bulan pada wanita


Sekunder dengan sklus haid teratur, atau 9 bulan pada wanita dengan
siklus menstruasi tidak teratur
Oligomenorea Menstruasi yang jarang atau dengan perdarahan yang sangat
sedikit
Menorrhagia Perdarahan yang banyak dan memanjang pada interval
menstruasi yang teratur
Metrorrhagia Perdarahan pada interval yang tidak teratur, biasanya diantara
siklus
Menometrorrhagia Perdarahan yang banyak dan memanjang, lebih sering
dibandingkan dengan siklus normal
Gangguan Menstruasi:
Kelainan dan Diagnosis
Gangguan Menstruasi: Etiologi
Penyebab amenore primer:
1. Tertundanya menarke (menstruasi pertama)
2. Kelainan bawaan pada sistem kelamin (misalnya tidak memiliki
rahim atau vagina, adanya sekat pada vagina, serviks yang sempit,
lubang pada selaput yang menutupi vagina terlalu sempit/himen
imperforata)
3. Penurunan berat badan yang drastis (akibat kemiskinan, diet
berlebihan, anoreksia nervosa, bulimia, dan lain lain)
4. Kelainan bawaan pada sistem kelamin
5. Kelainan kromosom (misalnya sindroma Turner atau sindroma
Swyer) dimana sel hanya mengandung 1 kromosom X)
6. Obesitas yang ekstrim
7. Hipoglikemia
Gangguan Menstruasi: Etiologi

Penyebab amenore sekunder:


1. Kehamilan
2. Kecemasan akan kehamilan
3. Penurunan berat badan yang drastis
4. Olah raga yang berlebihan
5. Lemak tubuh kurang dari 15-17%
6. Mengkonsumsi hormon tambahan
7. Obesitas
8. Stres emosional
Algoritma Amenore Primer
Algoritma Amenore Sekunder
Kryptomenorhea
• Merupakan suatu kondisi dimana menstruasi
terjadi namun tidak dapat mengalir keluar akibat
adanya obstruksi

• Hematokolpos: himen yang menonjol dan


berwarna kebiruan akibat berkumpulnya darah
pada belakang himen karena tidak terdapat
lubang keluar (imperforata)
Variasi Bentuk Himen
Himen Imperforata
• Variasi ekstrim dari bentuk himen  bentuk himen tidak
memungkinkan adanya pembukaan himen
– Akibat dari bentuk anatomis tersebut, darah menstruasi tidak dapat
mengalir keluar sehingga dapat menyebabkan penimbunan darah
menstruasi di kavum uteri dan menyebabkan massa abdomen
• Gejala klinis tersering: amenorrhea primer di mana pasien tidak
pernah merasakan menstruasi walaupun gejala menstruasi seperti
nyeri abdomen dapat ditemukan
– Nyeri abdominal siklis (mengikuti siklus menstruasi
• Terapi: Bedah
• Komplikasi
– Hematometra: darah berkumpul di kavum uteri
– Hematosalping: darah berkumpul di tuba falopii
– Endometriosis
– Dapat menimbulkan retensi urin dan infertilitas
Sumber:http://emedicine.medscape.com/article/269050-overview#a03
73. Letak, presentasi, posisi dan
habitus janin
• Letak
– Hubungan antara sumbu panjang fetus terhadap sumbu panjang ibu.
Letak janin yang dapat dijumpai adalah letak lintang (transverse),
longitudinal dan oblique
• Presentasi
– Bagian terbawah janin yang berada/mendekati jalan lahir
– Terdiri atas presentasi kepala, bokong, transversal, ganda, wajah dan
dahi
• Posisi
– Hubungan antara bagian terbawah janin terhadap tubuh ibu. Pada
presentasi kepala yang menjadi penanda adalah vertex. Normalnya
vertex berada di bagian anterior tubuh ibu
• Habitus
– Sikap tubuh janin selama dalam uterus.
– Normalnya sikap janin adalah kepala flexi dan dagu menyentuh
sternum, punggung convex, paha melipat ke arah perut, tungkai flexi
pada lutut,
Malpresentasi Janin
• Malpresentasi adalah semua presentasi janin selain verteks

• Malposisi adalah kelainan posisi kepala janin relatif


terhadap pelvis ibu dengan oksiput sebagai titik referensi

• Posisi normal: oksiput anterior

• Masalah: janin yg dalam keadaan malpresentasi dan


malposisi kemungkinan menyebabkan partus lama atau
partus macet

Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi


Malposisi Oksiput Posterior
• Oksiput berada didaerah posterior dari diameter
transversal pelvis
• Rotasi spontan: 90% kasus
• Persalinan yg terganggu terjadi bila kepala janin tidak
rotasi atau turun
• Pada persalinan dapat terjadi robekan perineum
yang luas/tidak teratur

Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi


Malposisi Oksiput Posterior

• Etiologi usaha penyesuaian kepala terhadap bentuk dan


ukuran panggul

• Pada diameter antero-posterior >tranversa pada panggul


antropoid,atau segmen depan menyempit seperti pada
panggul android, uuk akan sulit memutar kedepan

• Sebab lain: otot-otot dasar panggul lembek pada multipara


atau kepala janin yg kecil dan bulat sehingga tak ada paksaan
pada belakang kepala janin untuk memutar kedepan

Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi


Presentasi Dahi

• Presentasi dahi adalah keadaan dimana kedudukan kepala


berada diantara fleksi maksimal dan defleksi maksimal
• Pada umumnya merupakan kedudukan yg sementara dan
sebagian besar akan berubah menjadi presentasi muka atau
belakang kepala
• Penyebabnya CPD, janin besar, anensefal,tumor didaerah
leher,multiparitas dan perut gantung

Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi


Presentasi Dahi

• Diagnosis pada periksa dalam dapat diraba sutura frontalis,


pakal hidung dan lingkaran orbita. Mulut dan dagu tidak dapat
diraba.
• Biasanya penurunan dan persalinan macet. Konversi kearah
verteks atau muka jarang terjadi. Persalinan spontan dapat
terjadi jika bayi kecil atau mati dgn maserasi
• Bila janin hidup lakukan SC
• Bila janin mati, pembukaan belum lengkapSC
• Bila pembukaan lengkaplakukan embriotomi

Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi


Presentasi Muka
• Disebabkan oleh terjadinya ekstensi yang penuh dari kepala
janin .
• Penolong akan meraba muka, mulut , hidung dan pipi
• Etiologi: panggul sempit,janin besar,multiparitas,perut
gantung,anensefal,tumor dileher,lilitan talipusat
• Dagu merupakan titik acuan, sehingga ada presentasi muka
dengan dagu anterior dan posterior
• Sering terjadi partus lama. Pada dagu anterior kemungkinan
persalinan dengan terjadinya fleksi.

Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi


Presentasi Muka

• Pada presentasi muka dengan dagu posterior


akan terjadi kesulitan penurunan karena
kepala dalam keadaan defleksi maksimal

• Posisi dagu anterior, bila pembukaan lengkap :


- lahirkan dengan persalinan spontan pervaginam
- bila kemajuan persal lambat lakukan oksitosin drip
- bila penurunan kurang lancar, lakukan forsep

Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi


Presentasi Ganda
• Bila ekstremitas (bag kecil janin) prolaps disamping bag terendah
janin

• Persalinan spontan hanya terjadi bila janin kecil atau mati dan
maserasi

• Lakukan koreksi dengan jalan Knee Chest Position,dorong bag yg


prolaps ke atas, dan pada saat kontraksi masukkan kepala memasuki
pelvis.Bila koreksi tidak berhasil lakukan SC

Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi


Presentasi Bokong
• Bila bokong merupakan bagian terendah janin
• Ada 3 macam presentasi bokong: complete breech(bokong
sempurna),Frank breech(bokong murni),footling
breech(presentasi kaki)
• Partus lama merupakan indikasi utk melakukan SC, karena
kelainan kemajuan persalinan merupakan salah satu tanda
disproporsi
• Etiologi
• Multiparitas, hamil kembar,
hidramnion, hidrosefal,
plasenta previa, CPD

Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi


Letak Lintang
• Persalinan akan macet
• Lakukan versi luar bila permulaan inpartu dan ketuban intak
• Bila ada kontraindikasi versi luar lakukan SC
• Lakukan pengawasan adanya prolaps funikuli
• Dapat terjadi ruptura uteri
• Dalam obsteri modern, pada letak
lintang inpartu dilakukan SC
walaupun janin mati

Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi


74-75. Kala Persalinan
PERSALINAN dipengaruhi 3 • PEMBAGIAN FASE / KALA
FAKTOR “P” UTAMA PERSALINAN
1. Power Kala 1
His (kontraksi ritmis otot polos Pematangan dan pembukaan
uterus), kekuatan mengejan ibu, serviks sampai lengkap (kala
keadaan kardiovaskular respirasi pembukaan)
metabolik ibu. Kala 2
2. Passage Pengeluaran bayi (kala
Keadaan jalan lahir pengeluaran)
Kala 3
3. Passanger Pengeluaran plasenta (kala uri)
Keadaan janin (letak, presentasi, Kala 4
ukuran/berat janin, ada/tidak Masa 1 jam setelah partus,
kelainan anatomik mayor) terutama untuk observasi
(++ faktor2 “P” lainnya :
psychology, physician, position)
Kala Persalinan: Sifat HIS
Kala 1 awal (fase laten)
• Tiap 10 menit, amplitudo 40 mmHg, lama 20-30 detik. Serviks terbuka sampai 3 cm
• Frekuensi dan amplitudo terus meningkat

Kala 1 lanjut (fase aktif) sampai kala 1 akhir


• Terjadi peningkatan rasa nyeri, amplitudo makin kuat sampai 60 mmHg, frekuensi 2-4
kali / 10 menit, lama 60-90 detik. Serviks terbuka sampai lengkap (+10cm).

Kala 2
• Amplitudo 60 mmHg, frekuensi 3-4 kali / 10 menit.
• Refleks mengejan akibat stimulasi tekanan bagian terbawah menekan anus dan rektum

Kala 3
• Amplitudo 60-80 mmHg, frekuensi kontraksi berkurang, aktifitas uterus menurun.
Plasenta dapat lepas spontan dari aktifitas uterus ini, namun dapat juga tetap
menempel (retensio) dan memerlukan tindakan aktif (manual aid).
Kala Persalinan: Kala I
Fase Laten
• Pembukaan sampai mencapai 3 cm (8 jam)

Fase Aktif
• Pembukaan dari 3 cm sampai lengkap (+ 10 cm), berlangsung
sekitar 6 jam
• Fase aktif terbagi atas :
1. Fase akselerasi (sekitar 2 jam), pembukaan 3 cm sampai 4
cm.
2. Fase dilatasi maksimal (sekitar 2 jam), pembukaan 4 cm
sampai 9 cm.
3. Fase deselerasi (sekitar 2 jam), pembukaan 9 cm sampai
lengkap (+ 10 cm).
Kala Persalinan: Kala II
• Dimulai ketika pembukaan serviks sudah lengkap (10 cm) dan
berakhir dengan lahirnya bayi

• Gejala dan tanda kala II persalinan


– Dor-Ran  Ibu merasakan ingin meneran bersamaan dengan
terjadinya kontraksi
– Tek-Num  Ibu merasakan adanya peningkatan tekanan pada
rektum dan/atau vaginanya.
– Per-Jol Perineum menonjol
– Vul-Ka  Vulva-vagina dan sfingter ani membuka
– Meningkatnya pengeluaran lendir bercampur darah

• Tanda pasti kala II ditentukan melalui periksa dalam


(informasi objektif)
– Pembukaan serviks telah lengkap, atau
– Terlihatnya bagian kepala bayi melalui introitus vagina
Kala Persalinan: Kala III
• Dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir dengan lahirnya
plasenta dan selaput ketuban

• Tanda pelepasan plasenta


– Semburan darah dengan tiba-tiba: Karena penyumbatan
retroplasenter pecah saat plasenta lepas
– Pemanjangan tali pusat: Karena plasenta turun ke segmen
uterus yang lebih bawah atau rongga vagina
– Perubahan bentuk uterus dari diskoid menjadi globular
(bulat): Disebabkan oleh kontraksi uterus
– Perubahan dalam posisi uterus, yaitu uterus didalam
abdomen: Sesaat setelah plasenta lepas TFU akan naik, hal ini
disebabkan oleh adanya pergerakan plasenta ke segmen
uterus yang lebih bawah
(Depkes RI. 2004. Buku Acuan Persalinan Normal. Jakarta: Departemen Kesehatan)
Persalinan Lama
• Definisi: Waktu persalinan memanjang karena kemajuan
persalinan yang terhambat.

• Definisi berbeda sesuai fase kehamilan, klasifikasi diagnosisnya:


– Distosia pada kala I fase aktif: grafik pembukaan serviks pada partograf
antara garis waspada - garis bertindak/ sudah memotong garis bertindak,
ATAU
– Fase ekspulsi (kala II) memanjang: Bagian terendah janin pada persalinan
kala II tidak maju. Batasan waktu:
• Maks 2 jam untuk nulipara dan 1 jam untuk multipara, ATAU
• Maks 3 jam untuk nulipara dan 2 jam untuk multipara bila
menggunakan analgesia epidural
Kriteria Diagnosis untuk Gangguan proses Persalinan
Partograf
Tujuan Utama Tidak boleh digunakan pada:
• Mencatat hasil observasi 1. Wanita pendek, tinggi
dan menilai kemajuan kurang dari 145 cm
persalinan 2. Perdarahan antepartum
• Mendeteksi apakah 3. Pre-eklampsia – eklampsia
persalinan berjalan normal 4. Persalinan prematur
atau terdapat 5. Bekas sectio sesarea
• penyimpangan, dengan 6. Kehamilan ganda
demikian dapat melakukan 7. Kelainan letak janin
deteksi dini setiap 8. Fetal distress
kemungkinan terjadinya 9. Dugaan distosia karena
partus lama panggul sempit
Partograf: Umum
• Denyut jantung janin: setiap 1⁄2 jam
• Frekuensi dan lamanya kontraksi uterus: setiap
1⁄2 jam
• Nadi: setiap 1⁄2 jam
• Pembukaan serviks: setiap 4 jam
• Penurunan: setiap 4 jam
• Tekanan darah dan temperatur tubuh: setiap 4
jam
• Produksi urin, aseton dan protein: setiap 2-4 jam
Partograf: Pencatatan Kondisi Bayi
• Denyut jantung janin: setiap 1⁄2 jam
– DJJ Normal: 110-160 x/menit

• Menilai Air Ketuban


– U : selaput ketuban utuh (belum pecah)
– J : selaput ketuban telah pecah dan air ketuban jernih
– M : selaput ketuban telah pecah dan air ketuban bercampur mekonium
– D : selaput ketuban telah pecah dan air ketuban bercampur darah
– K : selaput ketuban telah pecah dan air ketuban kering (tidak mengalir lagi)

• Molase Tulang Kepala Janin


– Semakin besar penyusupan semakin besar kemungkinan disporposi kepala panggul. Lambang yang
digunakan:
• 0: tulang –tulang kepala janin terpisah, sutura mudah dipalpasi
• 1: tulang-tulang kepa janin sudah saling bersentuhan
• 2: tulang-tulang kepala janin saling tumpang tindih tapi masih bisa dipisahkan
• 3: tulang-tulang kepala janin saling tumpang tindih dan tidak dapat dipisahkan
Partograf: Kemajuan Persalinan
• Pembukaan Serviks
– Angka pada kolom kiri 0-10  pembukaan serviks
– Menggunakan tanda X pada titik silang antara angka yang sesuai dengan temuan
pertama pembukaan serviks pada fase aktif dengan garis waspada
– Hubungan tanda X dengan garis lurus tidak terputus

• Penurunan bagian terbawah janin


– Tulisan “turunnya kepala” dan garis tidak terputus dari 0-5 pada sisi yang sama
dengan angka pembukaan serviks
– Berikan tanda “●” pada waktu yang sesuai dan hubungkan dengan garis lurus.

• Garis waspada
– Jika pembukaan serviks mengarah ke sebelah kanan garis waspada  waspadai
kemungkinan adanya penyulit persalinan
– Jika persalinan telah berada di sebelah kanan garis bertindak yang sejajar dengan
garis waspada  perlu segera dilakukan tindakan penyelesaian persalinan

• Garis bertindak dan waktu


– Waktu mulainya fase aktif persalinan diberi angka 1-16, setiap kotak: 1 jam yang
digunakan untuk menentukan lamanya proses persalinan telah berlangsung
– Waktu aktual saat pemeriksaan merupakan kotak kosong di bawahnya yang harus
diisi dengan waktu yang sebenarnya saat kita melakukan pemeriksaan
Partograf: Kontraksi Uterus

• Terdapat lima kotak mendatar untuk kontraksi


• Pemeriksaan dilakukan setiap 30 menit, raba
dan catat jumlah dan durasi kontaksi dalam 10
menit
• Misal jika dalam 10 menit ada 3 kontraksi yang
lamanya 20 setik maka arsirlah angka tiga
kebawah dengan warna arsiran yang sesuai
untuk menggambarkan kontraksi 20 detik
(arsiran paling muda warnanya)
Partograf
• Obat-obatan dan cairan yang diberikan
– Catat obat dan cairan yang diberikan di kolom yang
sesuai. Untuk oksitosin dicantumkan jumlah tetesan
dan unit yang diberikan

• Kondisi Ibu
– Catat nadi ibu setiap 30 menit dan beri tanda titik
pada kolom yang sesuai. Ukur tekanan darah ibu tiap
10 menit dan beri tanda ↕ pada kolom yang sesuai.
Temperatur dinilai setiap dua jam dan catat di tempat
yang sesuai

• Volume urine, protein dan aseton


– Lakukan tiap 2 jam jika memungkinkan
76. Penyakit Trofoblastik Gestasional

WHO Classification

Malformations of the
Benign entities that
Malignant neoplasms chorionic villi that are
can be confused with
of various types of predisposed to
with these other
trophoblats develop trophoblastic
lesions
malignacies

Choriocarcinoma Hydatidiform moles Exaggerated placental site

Placental site
Complete Partial Placental site nodule
trophoblastic tumor

Epithilioid trophoblastic
tumors Invasive
Mola Hidatidosa

• Definisi
– Latin: Hidatid  tetesan air, Mola  Bintik

– Mola Hidatidosa menunjukkan plasenta dengan


pertumbuhan abnormal dari vili korionik
(membesar, edem, dan vili vesikular dengan
banyak trofoblas proliferatif)
Mola Hidatidosa: Faktor Risiko

• Usia ibu < 20 tahun atau > 35 tahun


• Pernah mengalami kehamilan mola
sebelumnya
• Risiko meningkat sesuai dengan jumlah
abortus spontan
• Wanita dengan golongan darah A lebih
berpotensi menderita koriokarsinoma, tapi
bukan mola hidatidosa
Mola Hidatidosa: Faktor Risiko

• Usia ibu < 20 tahun atau > 35 tahun


• Pernah mengalami kehamilan mola
sebelumnya
• Risiko meningkat sesuai dengan jumlah
abortus spontan
• Wanita dengan golongan darah A lebih
berpotensi menderita koriokarsinoma, tapi
bukan mola hidatidosa
Mola Hidatidosa: Manifestasi Klinis

TIPE KOMPLIT T I P E PA R S I A L
• Perdarahan pervaginam • Seperti tipe komplit hanya
setelah amenorea lebih ringan
• Uterus membesar secara • Biasanya didiagnosis
abnormal dan menjadi lunak sebagai aborsi inkomplit/
• Hipertiroidism missed abortion
• Kista ovarium lutein • Uterus kecil atau sesuai usia
• Hiperemesis dan pregnancy kehamilan
induced hypertension
• Tanpa kista lutein
• Peningkatan hCG 100,000
mIU/mL
Mola Hidatidosa: Diagnosis
• Pemeriksaan kadar hCG 
sangat tinggi, tidak sesuai usia
kehamilan

• Pemeriksaan USG  ditemukan


adanya gambaran vesikuler atau
badai salju
– Komplit: badai salju
– Partial: terdapat bakal janin dan
plasenta

• Pemeriksaan Doppler  tidak


ditemukan adanya denyut
jantung janin
Mola
Hidatidosa:
Tatalaksana
Tatalaksana Kuret
• Kuretase dengan kuret tumpul
 seluruh jaringan
hasil kerokan di PA
• 7-10 hari sesudahnya 
kerokan ulangan dengan kuret
tajam, agar ada kepastian
bahwa uterus betul-betul
kosong dan untuk memeriksa
tingkat proliferasi sisa-sisa
trofoblas yang dapat
ditemukan
77. Abortus
• Definisi:
– ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum
janin dapat hidup di luar kandungan.
– WHO IMPAC menetapkan batas usia kehamilan
kurang dari 22 minggu, namun beberapa acuan
terbaru menetapkan batas usia kehamilan kurang
dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500
gram
• Diagnosis • Faktor predisposisi :
– Perdarahan pervaginam – Faktor dari janin (fetal) : kelainan
dari bercak hingga genetik (kromosom)
berjumlah banyak – Faktor dari ibu (maternal) : infeksi,
– Perut nyeri dan kaku kelainan hormonal seperti
– Pengeluaran sebagian hipotiroidisme, diabetes mellitus,
produk konsepsi malnutrisi, penggunaan obat-
– Serviks dapat tertutup obatan, merokok, konsumsi
maupun terbuka alkohol, faktor immunologis dan
defek anatomis seperti uterus
– Ukuran uterus lebih kecil didelfis,inkompetensia serviks
dari yang seharusnya (penipisan dan pembukaan
– Diagnosis ditegakkan serviks sebelum waktu in partu,
dengan bantuan umumnya pada trimester kedua)
pemeriksaan ultrasonografi dan sinekhiae uteri karena
sindrom Asherman.
– Faktor dari ayah (paternal):
kelainan sperma
Abortus Imminens Abortus Insipiens Abortus Inkomplit

Abortus Komplit Missed Abortion


Jenis Abortus
Abortus: Tatalaksana Umum
• Lakukan penilaian secara cepat mengenai keadaan umum ibu termasuk
tanda-tanda vital (nadi, tekanan darah, pernapasan, suhu).
• Periksa tanda-tanda syok (akral dingin, pucat, takikardi, tekanan sistolik
<90 mmHg). Jika terdapat syok, lakukan tatalaksana awal syok
• Jika tidak terlihat tanda-tanda syok, tetap pikirkan kemungkinan
tersebut saat penolong melakukan evaluasi mengenai kondisi ibu karena
kondisinya dapat memburuk dengan cepat
• Bila terdapat tanda-tanda sepsis atau dugaan abortus dengan komplikasi,
berikan kombinasi antibiotika sampai ibu bebas demam untuk 48 jam:
– Ampicillin 2 g IV/IM kemudian 1 g diberikan setiap 6 jam
– Gentamicin 5 mg/kgBB IV setiap 24 jam
– Metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam
• Segera rujuk ibu ke rumah sakit .
• Semua ibu yang mengalami abortus perlu mendapat dukungan emosional
dan konseling kontrasepsi pasca keguguran.
• Lakukan tatalaksana selanjutnya sesuai jenis abortus
Tatalaksana Abortus Imminens
• Pertahankan kehamilan.
• Tidak perlu pengobatan khusus.
• Jangan melakukan aktivitas fisik berlebihan atau hubungan
seksual.
• Jika perdarahan berhenti, pantau kondisi ibu selanjutnya
pada pemeriksaan antenatal termasuk pemantauan kadar
Hb dan USG panggul serial setiap 4 minggu. Lakukan
penilaian ulang bila perdarahan terjadi lagi.
• Jika perdarahan tidak berhenti, nilai kondisi janin dengan
USG. Nilai kemungkinan adanya penyebab lain.
Tatalaksana Abortus Insipiens
• Jika usia kehamilan kurang dari 16 minggu: lakukan evakuasi isi uterus (dengaan
AVM) Jika evakuasi tidak dapat dilakukan segera:
– Berikan ergometrin 0,2 mg IM (dapat diulang 15 menit kemudian bila perlu)
– Rencanakan evakuasi segera.
• Jika usia kehamilan lebih dari 16 minggu:
– Tunggu pengeluaran hasil konsepsi secara spontan dan evakuasi sisa hasil konsepsi dari dalam
uterus (lakukan dengan AVM).
– Bila perlu, berikan infus 40 IU oksitosin dalam 1 liter NaCl 0,9% atau Ringer Laktat dengan
kecepatan 40 tetes per menit untuk membantu pengeluaran hasil konsepsi
• Lakukan pemantauan pascatindakan setiap 30 menit selama 2 jam. Bila kondisi ibu
baik, pindahkan ibu ke ruang rawat.
• Lakukan pemeriksaan jaringan secara makroskopik dan kirimkan untuk
pemeriksaan patologi ke laboratorium.
• Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda akut abdomen, dan
produksi urin setiap 6 jam selama 24 jam. Periksa kadar hemoglobin setelah 24
jam. Bila hasil pemantauan baik dan kadar Hb >8 g/dl, ibu dapat diperbolehkan
pulang.
Tatalaksana Abortus Inkomplit
• Jika perdarahan ringan atau sedang dan kehamilan usia kehamilan kurang dari 16
minggu, gunakan jari atau forsep cincin untuk mengeluarkan hasil konsepsi yang
mencuat dari serviks.
• Jika perdarahan berat dan usia kehamilan kurang dari 16 minggu, lakukan evakuasi isi
uterus. Aspirasi vakum manual (AVM) adalah metode yang dianjurkan. Kuret tajam
sebaiknya hanya dilakukan bila AVM tidak tersedia. Jika evakuasi tidak dapat segera
dilakukan, berikan ergometrin 0,2 mg IM (dapat diulang 15 menit kemudian bila perlu).
• Jika usia kehamilan lebih dari 16 minggu, berikan infus 40 IU oksitosin dalam 1 liter NaCl
0,9% atau Ringer Laktat dengan kecepatan 40 tetes per menit untuk membantu
pengeluaran hasil konsepsi.
– Lebih disarankan untuk memakai kuret tajam jika usia kehamilan >16 minggu
• Lakukan evaluasi tanda vital pascatindakan setiap 30 menit selama 2 jam. Bila kondisi ibu
baik, pindahkan ibu ke ruang rawat.
• Lakukan pemeriksaan jaringan secara makroskopik dan kirimkan untuk pemeriksaan
patologi ke laboratorium.
• Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda akut abdomen, dan produksi
urin setiap 6 jam selama 24 jam. Periksa kadar hemoglobin setelah 24 jam. BIla hasil
pemantauan baik dan kadar Hb >8 g/dl, ibu dapat diperbolehkan pulang
Tatalaksana Abortus Komplit
• Tidak diperlukan evakuasi lagi.
• Konseling untuk memberikan dukungan
emosional dan menawarkan KB pasca keguguran.
• Observasi keadaan ibu.
• Apabila terdapat anemia sedang, berikan tablet
sulfas ferosus 600 mg/hari selama 2 minggu, jika
anemia berat berikan transfusi darah.
• Evaluasi keadaan ibu setelah 2 minggu.
78.
Penatalaksanaan laserasi jalan lahir
• Menghindari atau mengurangi dengan menjaga jangan
sampai dasar panggul didahului oleh kepala janin
dengan cepat.
• Kepala janin yang akan lahir jangan ditahan terlampau
kuat dan lama, karena akan menyebabkan asfiksia dan
perdarahan dalam tengkorak janin, dan melemahkan
otot-otot dan fasia pada dasar panggul karena
diregangkan terlalu lama.
• Penatalaksanaan farmakologis:
– Dosis tunggal sefalosporin golongan II atau III dapat
diberikan intravena sebelum perbaikan dilakukan (untuk
ruptur perineum yang berat).
Manajemen Ruptur Perineum
Ruptur perineum harus segera diperbaiki untuk meminimalisir risiko perdarahan,
edema, dan infeksi. Manajemen ruptur perineum untuk masing-masing derajatnya,
antara lain sebagai berikut :
• Derajat I
– Bila hanya ada luka lecet, tidak diperlukan penjahitan. Tidak usah menjahit ruptur
derajat I yang tidak mengalami perdarahan dan mendekat dengan baik.
– Penjahitan robekan perineum derajat I dapat dilakukan hanya dengan memakai catgut
yang dijahitkan secara jelujur (continuous suture) atau dengan cara angka delapan
(figure of eight).
• Derajat II
– Ratakan terlebih dahulu pinggiran robekan yang bergerigi, dengan cara mengklem
masing-masing sisi kanan dan kirinya lalu dilakukan pengguntingan untuk
meratakannya.
– Setelah pinggiran robekan rata, baru dilakukan penjahitan luka robekan.
• Derajat III dan IV
– Dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki dokter spesialis obstetric dan
ginekologi.
79. Epulis Gravidarum
• Pregnancy gingivitis (epulis of pregnancy) : enlargement of gum caused
by growth of the gum capillaries.
• Quite rare gingival disorder occurring in 1.8 to 5% of pregnant women,
and it affects more commonly the anterior region of the upper jaw
• Pathophysiology :
– The progesterone & estrogen receptors are situated in basal and spinous
stratum of the epithelium, and in the connective tissue.
– Progesterone dilates blood vessels, makes them more permeable, and
increases proliferation of capillary vessels.
– Estrogen regulates the proliferation, differentiation, and keratinization of
the gingival tissue. These hormones increase gingival bleeding, cause
gingival growth, and lead to deepening of periodontal pockets as well
Epulis Gravidarum
• Clinical presentation :
– lesion that is pedunculated or
broad based,
– highly vascularized,smooth,
edematous, hemorrhagic,
soft, red with glossy surface
and hardened when it had
been longstanding.
– It could be a single or
multiple well localized
outgrowth, painless or with
dull pain.
– It usually is not bigger than 2
cm in the diameter
80. Fisiologi Menyusui
• Reflek Prolaktin
Bayi mulai menyusu (rangsangan fisik)  sinyal-
sinyal ke kelenjar hipotalamus di otak (hipofise
anterior) untuk menghasilkan hormon prolaktin
 beredar dalam darah dan masuk ke
payudara,memerintahkan alveolus untuk
memproduksi ASI

• Reflek Let Down (Oksitosin)


–Rangsangan isapan bayi  hipofise posterior
 oksitosin  peredaran darah  rahim 
menstimulus kontraksi rahim  masuk ke
payudara untuk memeras ASI
–Juga dipengaruhi beberapa faktor seperti
psikologis ibu yang bahagia melihat bayinya,
mendengar suara bayi,melihat foto bayi,ibu
bahagia karena peran serta ayah. Reflek ini juga
dihambat oleh faktor stress.
81. Hipertensi dalam kehamilan
Definisi
- Tekanan darah ≥140/90 mmHg
- Pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak 4-6 jam
Faktor predisposisi plasenta
- Gemelli - Faktor herediter
- Penyakit trofoblas - Riwayat preeklampsia
- Hidroamnion sebelumnya
- DM - Obesitas sebelum hamil
- Gangguan vaskuler

Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
Hipertensi pada Kehamilan: Patofisiologi

• Faktor Risiko:
– Kehamilan pertama
– Kehamilan dengan vili
korionik tinggi (kembar
atau mola)
– Memiliki penyakit KV
sebelumnya
– Terdapat riwayat genetik
hipertensi dalam
kehamilan

Cunningham FG, et al. William’s obstetrics. 22nd ed. McGraw-Hill.


Hipertensi Kronik
- Hipertensi tanpa proteinuria
- TD ≥140/90 mmHg
- Sebelum hamil pasien sudah memiliki hipertensi, atau
- Pasien sudah memiliki hipertensi saat usia kehamilan masih
<20 minggu

Tatalaksana:
- Jika TD sistolik ≥ 160 mmHg atau TD diastolik ≥ 110 mmHg 
terapi antihipertensi
- Kontraindikasi: ACE-I, ARB, dan thiazide
- Suplementasi kalsium 1.5-2 gram per hari + aspirin 75 mg/hari
mulai dari usia kehamilan 20 minggu
- Jika HR janin <100 x/menit atau > 180x/menit tatalaksana
sebagai gawat janin
- Jika tidak ada komplikasi tunggu sampai aterm

Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
Hipertensi Gestasional
- Hipertensi tanpa proteinuria
- TD ≥140/90 mmHg
- Tidak ada riwayat hipertensi sebelum hamil
- Dapat disertai gejala preeklampsia seperti nyeri ulu hati dan
trombositopenia
- Diagnosis pasti ditegakkan pasca persalinan TD normal
setelah melahirkan

Tatalaksana
- Pantau tekanan darah, urin untuk proteinuria, dan kondisi janin
setiap minggu
- Jika tekanan darah meningkat tatalaksana sebagai
preeklampsia
- Kondisi janin memburuk atau pertumbuhan janin
terhambatrawat untuk pemantauan kesehatan janin
- Jika TD stabil bisa persalinan normal
Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
Preeklampsia Ringan
- TD ≥140/90 mmHg pada usia kehamilan >20 minggu
- Proteinuria 1+ atau protein kuantitatif >300 mg/24 jam

Preeklampsia Berat
- TD >160/110 mmHg pada usia kehamilan >20 minggu
- Proteinuria 2+ atau protein kuantitatif >5 g/24 jam
- Atau disertai kelainan organ lain: trombositopenia (<100.000), hemolisis
mikroangiopati, peningkatan SGOT/SGPT, nyeri abdomen kuadran atas, sakit kepala,
skotoma penglihatan, pertumbuhan janin terhambat, oligohidroamnion
- Peningkatan SGOT/SGPT+trombositopenia HELLP Syndrome

Superimposed preeklampsia
- Sudah ada hipertensi kronik sebelum hamil atau saat usia kandungan <20 minggu
- Proteinuria 1+ atau trombosit <100.000 pada usia kehamilan <20 minggu

Eklampsia
- Kejang umum dan/atau koma
- Ada tanda preeklampsia
- Tidak ada kemungkinan penyebab lain seperti epilepsi, perdarahan subarachnoid, atau
meningitis

Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
Pre Eklampsia & Eklampsia: Kejang
• Pencegahan dan Tatalaksana Kejang
– Bila terjadi kejang perhatikan prinsip ABCD
• MgSO4
– Eklampsia  untuk tatalaksana kejang
– PEB  pencegahan kejang

Depkes RI. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Bakti Husada
• Syarat pemberian MgSO4: Terdapat refleks patella, tersedia
kalsium glukonas, napas> 16x/menit, dan jumlah urin
minimal 0,5 ml/kgBB/jam
• Antihipertensi

• Pertimbangan terminasi kehamilanharus dilahirkan


dalam 12 jam setelah kejang

Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
KONTRASEPSI
Vasektomi
Permanen
Tubektomi

IUD
Berbantu
Kondom/
Barrier
diafragma

Spermisida
Metode Sementara
Kontrasepsi
Implan
MAL
Hormonal Pil/suntik
Pantang
Alami
berkala
Kondar
Senggama
terputus
KB: Metode Barrier

• Menghalangi bertemunya
sperma dan sel telur
• Efektivitas: 98 %
• Mencegah penularan PMS
• Efek samping
– Dapat memicu reaksi alergi
lateks, ISK dan keputihan
(diafragma)
• Harus sedia sebelum
berhubungan
Kontrasepsi Hormonal
No Jenis kontrasepsi Mekanisme Kerja
1 Pil Kombinasi menekan ovulasi, mencegah implantasi,
mengentalkan lendir serviks sehingga sulit dilalui oleh
sperma, dan menganggu pergerakan tuba sehingga
transportasi telur terganggu
2 Pil progestin Supresi ovulasi, menekan puncak LH dan FSH,
meningkatkan kekentalan lendir servix, menurunkan
jumlah dan ukuran kelenjar endometrium, menurunkan
motilitas cilia di tuba falopi
3 Suntik kombinasi menekan ovulasi, mengentalkan lendir
serviks sehingga penetrasi sperma terganggu, atrofi pada
endometrium sehingga implantasi terganggu, dan
menghambat transportasi gamet oleh tuba. Suntikan ini
diberikan sekali tiap bulan
4. Suntik Progestin Kerja utama mencegah ovulasi dengan menekan FSH dan
LH serta LH surge

5. Implan Kombinasi antara supresi LH surge, supresi ovulasi,


mengentalkan lendir servix, mencegah pertumbuhan dan
perkembangan endometrium
Jenis Progestin pada Kontrasepsi
No. Generasi Jenis

1 Generasi pertama • Norethindrone acetate


• Ethynodiol diacetate
• Lynestrenol
• Norethynodrel

2 Generasi kedua • Norgestrel


• Levonorgestrel

3 Generasi ketiga • Desogesthrel


• Gestodene
• Norgestimate

4 Generasi keempat • Drospirenone


• Cyproterone acetate
Pil kontrasepsi kombinasi (esterogen
dan progesteron)

No. Jenis Esterogen Jenis Progesteron

1 Etinil estradiol 30 mcg Levonorgestrel

2 Etinil estradiol 35 mcg Cyproterone acetate

3 Etinil estradiol 30 mcg Drospirenone

4 Etinil estradiol 20 mcg Drospirenone


Metode Hormonal:
Pil & Suntikan Kombinasi
• Jenis Pil Kombinasi
– Monofasik (21 tab): E/P dalam dosis yang
sama, dengan 7 tablet tanpa hormon aktif
(placebo).
– Bifasik (21 tab): E/P dengan dua dosis yang
berbeda, dengan 7 tablet tanpa hormon aktif.
– Trifasik (21 tab) : E/P dengan tiga dosis yang
berbeda, dengan 7 tablet tanpa hormon aktif

• Jenis Suntikan Kombinasi


– 25mg Depo Medroksiprogesteron Asetat + 5
mg Estradiol Sipionat, IM sebulan sekali
– 50mg Noretindron Enantat + 5 mg Estradiol
Valerat, IM sebulan sekali
Metode
Pil dan Hormonal:
Suntikan Progestin
Pil & Suntikan Kombinasi
• Pil Progestin
– Isi 35 pil: 300 µg levonorgestrel atau 350 µg
noretindron
– Isi 28 pil: 75 µg norgestrel
– Contoh
• Micrinor, NOR-QD, noriday, norod (0,35 mg
noretindron)
• Microval, noregeston, microlut (0,03 mg
levonogestrol)
• Ourette, noegest (0,5 mg norgestrel)
• Exluton (0,5 mg linestrenol)
• Femulen (0,5 mg etinodial diassetat)

• Suntikan Progestin
– Depo Medroksiprogesteron Asetat (Depo Provera)
 150mg DMPA, IM di bokong/ 3 bulan
– Depo Norestisteron Enantat (Depo Norissterat) 
200mg Noretdron Enantat,IM di bokong/ 2 bulan
Metode Hormonal: Implan
• Implan (Saifuddin, 2006) • Cara Kerja
– Norplant: 36 mg levonorgestrel dan lama • menekan ovulasi,
kerjanya 5 tahun. mengentalkan lendir
serviks, menjadikan
selaput rahim tipis dan
atrofi, dan mengurangi
– Implanon: 68 mg ketodesogestrel dan lama transportasi sperma
kerjanya 3 tahun.
• Efek Samping
• Serupa dengan
hormonal pil dan
suntikan
– Jadena dan Indoplant: 75 mg
levonorgestrel dengan lama kerja 3 tahun
• Kontra Indikasi
• Serupa dengan
hormonal pil dan
suntikan
KB: Metode IUD
• Cara Kerja
– Menghambat kemampuan sperma
untuk masuk ke tuba falopii
– Mempengaruhi fertilisasi sebelum ovum
mencapai kavum uteri
– Mencegah implantasi hasil konsepsi
kedalam rahim

• Efek Samping
– Nyeri perut, spotting, infeksi, gangguan
haid

• Kontra Indikasi
• Hamil, kelainan alat kandungan bagian dalam, perdarahan vagina yang tidak diketahui,
sedang menderita infeksi alat genital (vaginitis, servisitis), tiga bulan terakhir sedang
mengalami atau sering menderita PRP atau abortus septik, penyakit trofoblas yang
ganas, diketahui menderita TBC pelvik, kanker alat genital, ukuran rongga rahim
kurang dari 5 cm
EPO. (2008). Alat Kontrasepsi Dalam Rahim atau Intra Uterine Device (IUD). Diambil pada tanggal 20 Mei 2008 dari
http://pikas.bkkbn.go.id/jabar/program_detail.php?prgid=2
KB Mantap
Definisi
• Menutup tuba falopii (mengikat dan
memotong atau memasang cincin),
sehingga sperma tidak dapat bertemu
dengan ovum
• oklusi vasa deferens sehingga alur
transportasi sperma terhambat dan
proses fertilisasi tidak terjadi

Efek Samping
• Nyeri pasca operasi

Kerugian
• Infertilitas bersifat permanen
KB: Metode Alami
• Menghitung masa subur
– Periode: (siklus menstruasi terpendek – 18) dan (siklus menstruasi terpanjang -
11)
– Menggunakan 3 – 6 bulan siklus menstruasi

• Mengukur suhu basal


tubuh (pagi hari)
• Saat ovulasi: suhu tubuh
akan meningkat 1-2° C
KB: Metode Alami
• Metode Amenorea Laktasi • Keuntungan khusus bagi
Mekanisme: kesehatan:
– pemberian Air Susu Ibu (ASI) – Mendorong pola menyusui yang
eksklusif untuk menekan ovulasi. benar, sehingga membawa
– Metode ini memiliki tiga syarat – manfaat bagi ibu dan bayi.
yang harus dipenuhi:
• Ibu belum mengalami haid lagi
• Bayi disusui secara eksklusif dan • Risiko bagi kesehatan:
sering, sepanjang siang dan malam – Tidak ada.
• • Bayi berusia kurang dari 6 bulan
• Efek samping:
• Efektivitas: – Tidak ada.
– Risiko kehamilan tinggi bila ibu
tidak menyusui bayinya secara • Mengapa beberapa orang
benar. menyukainya:
– Bila dilakukan secara benar, risiko – Metode alamiah, mendorong
kehamilan kurang dari 1 di antara kebiasaan menyusui, dan tidak
100 ibu dalam 6 bulan setelah perlu biaya.
persalinan.
Kontrasepsi Darurat
• kontrasepsi yang digunakan untuk mencegah kehamilan setelah
senggama tanpa pelindung atau tanpa pemakaian kontrasepsi yang
tepat dan konsisten sebelumnya
• Indikasi penggunaan kontrasepsi darurat misalnya:
– Perkosaan
– Sanggama tanpa menggunakan kontrasepsi
– Pemakaian kontrasepsi tidak benar atau tidak konsisten:
• Kondom bocor, lepas atau salah digunakan
• Diafragma pecah, robek, tau diangkat terlalu cepat
• Sanggama terputus gagal dilakukan sehingga ejakulasi terjadi di vagina atau
genitalia eksterna
• Salah hitung masa subur
• AKDR ekspulsi (terlepas)
• Lupa minum pil KB lebih dari 2 tablet
• Terlambat suntik progesti lebih dari 2 minggu atau terlambat suntik kombinasi
lebih dari 7 hari
• Kontrasepsi darurat dapat bermanfaat bila
digunakan dalam 5 hari pertama, namun lebih
efektif bila dikonsumsi sesegera mungkin.
Kontrasepsi darurat sangat efektif, dengan
tingkat kehamilan <3%.
• Efek samping:
– mual, muntah (bila terjadi dalam 2 jam pertama
sesudah minum pil pertama atau kedua, berikan
dosis ulangan), perdarahan/bercak.
Kontrasepsi Darurat
KB: Kontrasepsi Pasca Persalinan

• Pada klien yang tidak menyusui, masa infertilitas


rata-rata sekitar 6 minggu
• Pada klien yang menyusui, masa infertilitas lebih
lama, namun, kembalinya kesuburan tidak dapat
diperkirakan
• Metode yang langsung dapat digunakan adalah :
Spermisida
Kondom
Koitus Interuptus
KB: Kontrasepsi Pasca Persalinan
Metode Waktu Pascapersalinan Ciri Khusus Catatan

MAL Mulai segera • Manfaat kesehatan bagi • Harus benar-benar ASI


ibu dan bayi eksklusif
• Efektivitas berkurang jika
sudah mulai suplementasi
Kontrasepsi • Jangan sebelum 6- • Akan mengurangi ASI • Merupakan pilihan terakhir
Kombinasi 8mg pascapersalinan • Selama 6-8mg bagi klien yang menyusui
• Jika tidak menyusui pascapersalinan • Dapat diberikan pada klien
dapat dimulai 3mg mengganggu tumbuh dgn riw.preeklamsia
pascapersalinan kembang bayi • Sesudah 3mg
pascapersalinan akan
meningkatkan resiko
pembekuan darah

Kontrasepsi • Bila menyusui, • Selama 6mg pertama • Perdarahan ireguler dapat


Progestin jangan mulai pascapersalinan, progestin terjadi
sebelum 6mg mempengaruhi tumbuh
pascapersalinan kembang bayi
• Bila tidak menyusui • Tidak ada pengaruh pada
dapat segera dimulai ASI
KB: Kontrasepsi Pasca Persalinan
Metode Waktu Pascapersalinan Ciri Khusus Catatan

AKDR • Dapat dipasang • Tidak ada pengaruh • Insersi postplasental


langsung terhadap ASI memerlukan petugas
pascapersalinan • Efek samping lebih terlatih khusus
sedikit pada klien yang
menyusui
Kondom/S • Dapat digunakan Tidak pengaruh terhadap Sebaiknya dengan kondom
permisida setiap saat laktasi dengan pelicin
pascapersalinan
Diafragma Tunggu sampai 6mg • Tidak ada pengaruh • Perlu pemeriksaan dalam
pascapersalinan terhadap laktasi oleh petugas

KB Alamiah • Tidak dianjurkan • Tidak ada pengaruh • Suhu basal tubuh kurang
sampai siklus haid terhadap laktasi akurat jika klien sering
kembali teratur terbangun malam untuk
menyusui
KB: Usia > 35 Tahun
Metode Catatan

Pil/suntik • Tidak untuk perokok


Kombinasi • Dapat digunakan sebagai terapi sulih hormon pada masa
perimenopause
Kontrasepsi • Dapat digunakan pada masa perimenopause (40-50 tahun)
Progestin (implan, • Dapat untuk perokok
pil, suntikan) • Implan cocok untuk kontrasepsi jangka panjang yang belum
siap dengan kontap
AKDR • Tidak terpapar pada infeksi saluran reproduksi dan IMS
• Sangat efektif, tidak perlu tindak lanjut, efek jangka panjang
Kondom • Satu-satunya metode kontrasepsi yang dapat mencegah
infeksi saluran reproduksi dan IMS
• Perlu motivasi tinggi bagi pasangan untuk mencegah
kehamilan
Kontrasepsi Benar-benar tidak ingin tambahan anak lagi
Mantap
84. Kanker Servix
Kanker Serviks: Patogenesis

The
oncogenic
proteins

http://media.jaapa.com/Images/2009/
Kanker Serviks: Faktor Risiko
• Aktivitas Seksual • Faktor Lain
• Jumlah partner seksual • Kehamilan usia dini
• Partner seksual tidak • Multiparitas
disirkumsisi • Sosial ekonomi rendah
• Aktivitas seksual usia dini • Merokok
(< 16 tahun) • Imunosupresi
• Defisiensi nutrisi &
Penyakit Menular Seksual vitamin
• Human papillomavirus • Kontrasepsi oral > 5
• Herpes simplex virus tahun
• Chlamydia trachomatis • Riwayat lesi intraepitelial
• HIV skuamosa
Kanker Serviks: Tanda dan Gejala

• Perdarahan pervaginam
• Perdarahan menstruasi lebih lama dan lebih banyak dari
biasanya
• Perdarahan post menopause atau keputihan >>
• Perdarahan post koitus
• Nyeri saat berhubungan
• Keputihan (terutama berbau busuk + darah)
• Massa pada serviks, mudah berdarah
• Nyeri pada panggul, lumbosakral, gluteus, gangguan
berkemih, nyeri pada kandung kemih dan rektum

Panduan Pelayanan Klinis Kanker Serviks, Komite Penanggulangan Kanker (KPKN) 2015
Kanker Serviks: Stadium
Staging Kanker Serviks
Kanker Serviks: Diagnostik

• Deteksi Lesi Pra Kanker


– Pelayanan Primer: IVA, VILI (Visual inspection with Lugol's
iodine (VILI), a.k.a Schiller's test), sitologi pap smear
– Pelayanan Sekunder: Liquid base cytology
– Pelayanan Tersier: DNA HPV

• Diagnostik
– Pelayanan primer: anamnesis dan pemeriksaan fisik
– Pelayanan Sekunder: kuret endoserviks, sistoskopi, IVP,
foto toraks dan tulang, konisasi, amputasi serviks
– Pelayanan Tersier: Proktoskopi

Panduan Pelayanan Klinis Kanker Serviks, Komite Penanggulangan Kanker (KPKN) 2015
Kanker Serviks
Displasia Serviks
• Perubahan abnormal pada sel di permukaan
serviks, dapat terlihat dari pengamatan
mikroskopik

• Histologi
– Cervical intraepithelial neoplasia (CIN) I
(mild) a benign viral infection
– CIN II (moderate)
– CIN III (severe)

• Sitologi
– low-grade SIL (squamous intraepithelial
lesion)low-grade lesions
– high-grade SIL (HSIL)  high-grade
dysplasia
Tatalaksana Lesi Prakanker
• Tatalaksana lesi pra kanker disesuaikan dengan fasilitas pelayanan kesehatan,
sesuai dengan kemampuan sumber daya manusia dan sarana prasarana yang
ada.
• Pada tingkat pelayanan primer dengan sarana dan prasarana terbatas dapat
dilakukan program skrining atau deteksi dini dengan tes IVA.
• Skrining dengan tes IVA dapat dilakukan dengan cara single visit approach atau
see and treat program, yaitu bila didapatkan temuan IVA positif maka
selanjutnya dapat dilakukan pengobatan sederhana dengan krioterapi oleh
dokter umum atau bidan yang sudah terlatih.
• Pada skrining dengan tes Pap smear, temuan hasil abnormal
direkomendasikan untuk konfirmasi diagnostik dengan pemeriksaan
kolposkopi.
• Bila diperlukan maka dilanjutkan dengan tindakan Loop Excision Electrocauter
Procedure (LEEP) atau Large Loop Excision of the Transformation Zone (LLETZ)
untuk kepentingan diagnostik maupun sekaligus terapeutik.
Deteksi Kanker Serviks: IVA
Metode Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA)
• Pemeriksaan oleh
dokter/bidan/paramedik terhadap leher
rahim yang telah diberi asam
asetat/asam cuka 3-5% secara inspekulo
dengan mata telanjang

• Lesi prakanker jaringan ektoserviks rahim


yang diolesi larutan asam asetoasetat
(asam cuka)  berubah warna menjadi
putih (acetowhite)

• Bila ditemukan lesi makroskopis yang


dicurigai kanker, pengolesan asam asetat
tidak dilakukan dan pasien segera dirujuk
ke sarana yang lebih lengkap

• Pemeriksaan IVA mempunyai


kemampuan yang hampir sama dengan
pemeriksaan sitologi dalam mendeteksi
lesi prakanker serviks
Tes IVA
Tes IVA
Deteksi Kanker Serviks: Pap Smear
Pap Smear
• Sampel sel-sel diambil dari luar serviks dan dari liang serviks dengan
melakukan usapan dengan spatula yang terbuat dari bahan kayu atau
plastik
• Setelah usapan dilakukan, sebuah cytobrush (sikat kecil berbulu halus,
untuk mengambil sel-sel serviks) dimasukkan untuk melakukan usapan
dalam kanal serviks
• Setelah itu, sel-sel diletakkan dalam object glass (kaca objek) dan
disemprot dengan zat untuk memfiksasi, atau diletakkan dalam botol
yang mengandung zat pengawet, kemudian dikirim ke laboratorium
untuk diperiksa
Kanker Serviks: Pembagian
ASC-H: atypical squamous cells cannot exclude high grade
ASC-US: atypical squamous cells of undetermined significance

Papsmear

Accuracy of the Papanicolaou Test in Screening for and Follow-up of Cervical Cytologic Abnormalities: A
Systematic Review
Kavita Nanda, MD, MHS; Douglas C. McCrory, MD, MHSc; Evan R. Myers, MD, MPH; Lori A. Bastian, MD, MPH; Vic
Hasselblad, PhD; Jason D. Hickey; and David B. Matchar, MD
Classification of Pap smear
Class Reagen(WHO) Ruchart Bethesda

Class 1 negative negative Within normal

Class 2 inflammation ------ ASCUS

Class 3 Mild dysplasia CIN-l (HPV) LSIL (HPV)

Mod dysplasia
CIN-ll
Class 4 Seve dysplasia HSIL
CIN-lll
Carcinoma in situ

Class 5 Invasive cancer Invasive cancer Invasive cancer


Lower 1/3 of Epithelium Middle 1/3 of Epithelium > 2/3 of Epithelium

Bethesda (NCI) squamous


LSIL HSIL HSIL
intraepithelial lesion

Cervical intraepithelial
CIN1 CIN2 CIN3
neoplasia

Reagan terminology mild moderate severe/CIS (dysplasia)


PapSmear, Lesi Pra Kanker: Tatalaksana LSIL

Skrining 12
bulan

Observasi
LSIL ulang test 3
bulan

(+) Kolposkopi

LSIL/HSIL

Panduan Pelayanan Klinis Kanker Serviks, Komite Penanggulangan Kanker (KPKN) 2015
PapSmear, Lesi Pra Kanker: Tatalaksana HSIL

(-) Observasi
- Observasi
NIS I DNA HPV
+ Ablasi
NIS II + Ablasi

HSIL Kolposkopi NIS III + Ablasi

Konisasi

Panduan Pelayanan Klinis Kanker Serviks, Komite Penanggulangan Kanker (KPKN) 2015
85. PCOS
• Etiologi
– hiperandrogenisme dan resistensi terhadap insulin

• Gejala PCOS
– Gangguan siklus haid yaitu siklus haid jarang dan tidak teratur
– Gangguan kesuburan dimana yang bersangkutan menjadi sulit
hamil (subfertile)
– Tumbuh bulu yang berlebihan dimuka, dada, perut, anggota
badan dan rambut mudah rontok (hirsutisme)
– Banyak jerawat
– kegemukan (obesitas)
– Pada USG ditemukan banyak kista
di ovarium
PCOS: Pemeriksaan
• Diagnosis USG
– Gambaran seperti roda
pedati
– 12 atau lebih folikel
terlihat jelas di satu
ovarium
– Ukuran satu atau
kedua ovarium
membesar
Manajemen PCOS
Tata laksana PCOS dilakukan secara komprehensif, meliputi:

Edukasi
Menjelaskan pentingnya perubahan gaya hidup untuk memperbaiki gangguan hormonal yang terjadi

Penurunan berat badan


Penurunan indeks massa tubuh sebesar 10% dapat memperbaiki pematangan sel telur

Manajemen resistensi insulin


Pengobatan resistensi insulin dengan metformin dapat memperbaiki pematangan sel telur

Manajemen gangguan haid


Pengaturan siklus haid sangat penting peranannya untuk mencegah penebalan lapisan dinding dalam
rahim. Hal ini dapat dilakukan dengan pemberian metformin, pil kontrasepsi kombinasi atau preparat
progestin

Manajemen infertilitas
Tata laksana lini pertama pada SOPK adalah penurunan berat badan dan perubahan gaya hidup. Tindakan
selanjutnya adalah induksi ovulasi yang dapat dilakukan dengan klomifen sitrat dan atau metformin

Manajemen pertumbuhan rambut dan jerawat


Pemberian pil kontrasepsi atau anti androgen dapat mengobati pertumbuhan jerawat dan rambut yang
berlebihan pada pasien SOPK.
86. PELAYANAN KEBIDANAN DAN
NEONATAL PESERTA JKN
Dilakukan terutama di faskes primer:
• Puskesmas/Puskesmas PONED/Klinik/Dokter
praktik perorangan beserta jejaringnya (Pustu,
Polindes/ Poskesdes)/ Rumah Bersalin/ setara

• Bidan Praktik Mandiri yang menjadi jejaring


faskes tingkat pertama yang bekerja sama dengan
BPJS Kesehatan dan Bidan Praktik Mandiri pada
daerah tidak ada faskes (Berdasarkan SK Kepala
Dinas Kesehatan Kab/Kota setempat)
87. POLA EPIDEMI PENYAKIT
MENULAR
• Common source: satu orang atau sekelompok
orang tertular penyakit dari satu sumber yang
sama, dibagi menjadi:
– Point
– Continuous
– Intermittent

• Propagated: penyakit menular dari 1 orang ke


orang yang lain (sehingga umumnya muncul
penyakit baru dengan jarak 1 masa inkubasi).
Point Source Epidemic
• Terjadi bila sekelompok orang terpapar sumber
penyakit dalam waktu singkat sehingga setiap orang
menjadi sakit dalam waktu hampir bersamaan.

Contoh:
Insidens hepatitis A di
Penssylvania yang terjadi
akibat sayuran yang
mengandung virus hepatitis
A yang dikonsumsi
pengunjung restoran pada
tanggal 6 November.
Continuous Common Source Epidemic
• Terjadi bila paparan terjadi pada jangka waktu yang
panjang sehingga insidens kasus baru terjadi terus
menerus berminggu-minggu atau lebih panjang.

Contoh:
Paparan air yang mengandung
bakteri terjadi terus menerus,
sehingga insidens diare terjadi
berminggu-minggu.
Intermittent Common Source Epidemic
• bila paparan terjadi pada jangka waktu yang
panjang tetapi insidens kasus baru terjadi
hilang timbul.

The period of exposure may


be brief or long. An
intermittent exposure in a
common source outbreak
often results in an epi curve
with irregular peaks that
reflect the timing and extent
of the exposure
Propagated Epidemic
• Penularan dari satu orang ke orang lain
• Pada penyakit yang penularannya melalui kontak atau
melalui vehikulum.

Contoh:
Kasus campak yang satu ke
kasus campak yang lain
berjarak 11 hari (1 masa
inkubasi).
Mixed Epidemic
• Gabungan antara common source epidemic
dan propagated epidemic.
Contoh:
Kasus shigellosis di sebuah festival
musik. Awalnya terjadi penularan
serempak saat festival berlangsung.
Sehingga beberapa hari setelah
festival, kejadian shigellosis meningkat
sangat tinggi (common source
epidemic). Namun satu minggu
kemudian, muncul lagi kasus
shigellosis karena penularan dari satu
orang ke orang lain (propagated
epidemic).
88. PENYAKIT AKIBAT KERJA vs PENYAKIT
BERHUBUNGAN DENGAN KERJA
Penyakit akibat kerja (occupational Penyakit yang berhubungan dengan
disease) pekerjaan (work related disease)
• Penyakit yang mempunyai penyebab • Penyakit yang mempunyai beberapa
yang spesifik atau asosiasi yang kuat agen penyebab, dimana faktor pada
dengan pekerjaan/ lingkungan kerja, pekerjaan memegang peranan barsama
yang pada umumnya terdiri dari satu dengan faktor risiko lainnya dalam
agen penyebab yang sudah diakui (ILO) berkembangnya penyakit yang
• Berkaitan dengan faktor penyebab mempunyai etiologi yang kompleks.
spesifik dalam pekerjaan, sepenuhnya • Penyakit dapat diperberat, dipercepat
dipastikan dan faktor tersebut dapat atau kambuh oleh pemaparan di tempat
diidentifikasi, diukur dan dikendalikan. kerja dan dapat mengurangi kapasitas
(WHO) kerja. Sifat perorangan, lingkungan, dan
• Misal : keracunan Pb, asbestosis, faktor sosial budaya umumnya
silikosis, muskoloskeletal disorder berperanan sebagai faktor resiko.
(MSDS), anthrax, tobacosis, • Misal : asma, hipertensi, TBC
pneumokoniosis
89. Kejadian Epidemiologis Penyakit
• Sporadik: kejadian penyakit tertentu di suatu
daerah secara acak dan tidak teratur.
Contohnya: kejadian pneumonia di DKI
Jakarta.

• Endemik: kejadian penyakit di suatu daerah


yang jumlahnya lebih tinggi dibanding daerah
lain dan hal tersebut terjadi terus menerus.
Contohnya: Malaria endemis di Papua.
• Epidemik dan KLB: Epidemik dan KLB sebenarnya
memiliki definisi serupa, namun KLB terjadi pada
wilayah yag lebih sempit (misalnya di satu
kecamatan saja). Indonesia memiliki kriteria KLB
berdasarkan Permenkes 1501 tahun 2010 (di
slide selanjutnya).

• Pandemik: merupakan epidemik yang terjadi


lintas negara atau benua. Contohnya: kejadian
MERS-COV di dunia tahun 2014-2015.
90. JENIS VARIABEL

Nominal
Kategorik
Ordinal
Variabel
Interval
Numerik
Rasio
VARIABEL ORDINAL

VARIABEL NOMINAL • Data yang diperoleh dengan cara


kategorisasi atau klasifikasi, tetapi
• Data yang diperoleh dengan cara diantara data tersebut terdapat
kategorisasi atau klasifikasi. hubungan.
• Posisi data setara. Misalnya: jenis • Posisi data tidak setara. Misalnya
pekerjaan. tingkat kepuasan pelanggan, dibagi
• Tidak bisa dilakukan operasi menjadi tidak puas, puas, dan sangat
matematika (X, +, - atau : ) puas.
• Tidak bisa dilakukan operasi
matematika (X, +, - atau : )

VARIABEL INTERVAL
VARIABEL RASIO
• data yang diperoleh dengan cara
pengukuran, dimana jarak antar dua titik
• data yang diperoleh dengan cara
pada skala, sudah diketahui. Misalnya
pengukuran, dimana jarak antar dua titik
variabel suhu tubuh dalam Celcius,
pada skala, sudah diketahui.
sudah diketahui bahwa jaraknya antara
• Ada angka nol mutlak. Misalnya tinggi
0-100 derajat Celcius.
badan, berat badan.
• Tidak ada angka nol mutlak
• Bisa dilakukan operasi matematika.
• Bisa dilakukan operasi matematika.
Cara Sederhana Membedakan Variabel
Interval dan Rasio
• Prinsipnya adalah pada variabel rasio, kita dapat merasiokan 2
pengukuran dengan nilai yang sama.

• Contoh variabel rasio:


– Berat (berat benda 40 kg dapat diperoleh dari 2 benda dengan berat
masing-masing 20 kg)
– Gaji (gaji Rp 1.000.000 dapat diperoleh dari 2 orang dengan gaji
masing-masing Rp 500.000)

• Contoh variabel interval:


– Suhu tubuh (Suatu benda dengan suhu 100 derajat C tidak sama
dengan suhu 2 benda yang masing-masing suhunya 50 derajat C)
– Tingkat keasaman/ pH (suatu larutan dengan pH 6 tidak sama
dengan ada 2 larutan yang masing-masing memiliki pH 3 kemudian
dicampur)
91. INSIDENS KESELAMATAN PASIEN
Pasien tidak
cedera
NEAR MISS

Medical
Error
PREVENTABLE
- Kesalahan nakes
Pasien cedera ADVERSE MALPRAKTIK
- Dapat dicegah
- Karena berbuat (commission) EVENT
- Karena tdk berbuat (ommision)
Acceptable
Risk

Process of UNPREVENTABLE Unforseeable


care Pasien cedera Risk
ADVERSE EVENT
(Non error)
Complication
of Disease
Adverse Event
Preventable Adverse Event
• Suatu kejadian yang mengakibatkan cedera yang
tidak diharapkan pada pasien karena suatu
tindakan (commission) atau karena tidak
bertindak (ommision), dan bukan karena
“underlying disease”.

• Adverse event yang menimbulkan akibat fatal,


misalnya kecacatan atau kematian, disebut juga
sentinel event.
Adverse Event
Unpreventable Adverse Event
• Acceptable risk: Kejadian tidak diharapkan yang merupakan risiko
yang harus diterima dari pengobatan yang tidak dapat dihindari.
Contoh: Pasien Ca mammae muntah-muntah pasca kemoterapi

• Unforseeable risk: Kejadian tidak diharapkan yang tidak dapat


diduga sebelumnya. Contoh: Terjadi Steven Johnson Syndrome
pasca pasien minum paracetamol, tanpa ada riwayat alergi obat
sebelumnya.

• Complication of disease: Kejadian tidak diharapkan yang


merupakan bagian dari perjalanan penyakit atau komplikasi
penyakit. Contoh: Pasien luka bakar dalam perawatan mengalami
sepsis.
Kejadian Nyaris Cedera/ Near Miss
• Suatu kejadian akibat melaksanakan suatu tindakan
(commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya
diambil (omission), yang dapat mencederai pasien, tetapi
cedera serius tidak terjadi, karena :
– “keberuntungan” (mis.,pasien terima suatu obat kontra
indikasi tetapi tidak timbul reaksi obat),
– “pencegahan” (suatu obat dengan overdosis lethal akan
diberikan, tetapi staf lain mengetahui dan membatalkannya
sebelum obat diberikan),
– “peringanan” / mitigasi (suatu obat dengan overdosis lethal
diberikan, diketahui secara dini lalu diberikan antidotenya
92. KAIDAH DASAR MORAL

Hanafiah, J., Amri amir. 2009. Etika Kedokteran dan Hukum\Kesehatan (4th ed). Jakarta: EGC.
Berbuat baik (beneficence) Tidak berbuat yang merugikan
(nonmaleficence)
• Selain menghormati martabat manusia,
dokter juga harus mengusahakan agar • Praktik Kedokteran haruslah memilih
pasien yang dirawatnya terjaga keadaan pengobatan yang paling kecil risikonya dan
kesehatannya (patient welfare). paling besar manfaatnya. Pernyataan kuno:
• Pengertian ”berbuat baik” diartikan first, do no harm, tetap berlaku dan harus
bersikap ramah atau menolong, lebih diikuti.
dari sekedar memenuhi kewajiban.
Keadilan (justice)
Menghormati martabat manusia (respect
• Perbedaan kedudukan sosial, tingkat
for person) / Autonomy ekonomi, pandangan politik, agama dan
faham kepercayaan, kebangsaan dan
• Setiap individu (pasien) harus kewarganegaraan, status perkawinan,
diperlakukan sebagai manusia yang serta perbedaan jender tidak boleh dan
tidak dapat mengubah sikap dokter
memiliki otonomi (hak untuk menentukan terhadap pasiennya.
nasib diri sendiri), • Tidak ada pertimbangan lain selain
• Setiap manusia yang otonominya kesehatan pasien yang menjadi perhatian
berkurang atau hilang perlu mendapatkan utama dokter.
perlindungan. • Prinsip dasar ini juga mengakui adanya
kepentingan masyarakat sekitar pasien
yang harus dipertimbangkan
Beneficence
Kriteria
1. Mengutamakan altruism (menolong tanpa pamrih, rela berkorban untuk
kepentingan orang lain)
2. Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia
3. Memandang pasien/keluarga sebagai sesuatu yang tak hanya menguntungkan dokter

4. Mengusahakan agar kebaikan lebih banyak dibandingkan keburukannya


5. Paternalisme bertanggungjawab/berkasih sayang
6. Menjamin kehidupan baik minimal manusia
7. Pembatasan goal based (sesuai tujuan/kebutuhan pasien)
8. Maksimalisasi pemuasan kebahagiaan/preferensi pasien
9. Minimalisasi akibat buruk
10. Kewajiban menolong pasien gawat darurat
11. Menghargai hak-hak pasien secara keseluruhan
12. Tidak menarik honorarium di luar kewajaran
13. Maksimalisasi kepuasan tertinggi secara keseluruhan
14. Mengembangkan profesi secara terus menerus
15. Memberikan obat berkhasiat namun murah
16. Menerapkan golden rule principle
Non-maleficence
Kriteria
1. Menolong pasien emergensi :
Dengan gambaran sbb :
- pasien dalam keadaan sangat berbahaya (darurat) / berisiko
kehilangan sesuatu yang penting (gawat)
- dokter sanggup mencegah bahaya/kehilangan tersebut
- tindakan kedokteran tadi terbukti efektif
- manfaat bagi pasien > kerugian dokter
2. Mengobati pasien yang luka
3. Tidak membunuh pasien ( euthanasia )
4. Tidak menghina/mencaci maki/ memanfaatkan pasien
5. Tidak memandang pasien hanya sebagai objek
6. Mengobati secara proporsional
7. Mencegah pasien dari bahaya
8. Menghindari misrepresentasi dari pasien
9. Tidak membahayakan pasien karena kelalaian
10. Memberikan semangat hidup
11. Melindungi pasien dari serangan
12. Tidak melakukan white collar crime dalam bidang kesehatan
Autonomy
Kriteria
1. Menghargai hak menentukan nasib sendiri, menghargai martabat pasien
2. Tidak mengintervensi pasien dalam membuat keputusan (kondisi elektif)
3. Berterus terang
4. Menghargai privasi
5. Menjaga rahasia pasien
6. Menghargai rasionalitas pasien
7. Melaksanakan informed consent
8. Membiarkan pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan sendiri
9. Tidak mengintervensi atau menghalangi otonomi pasien
10. Mencegah pihak lain mengintervensi pasien dalam mengambil keputusan
termasuk keluarga pasien sendiri
11. Sabar menunggu keputusan yang akan diambil pasien pada kasus non
emergensi
12. Tidak berbohong ke pasien meskipun demi kebaikan pasien
13. Menjaga hubungan (kontrak)
Justice
Kriteria
1. Memberlakukan sesuatu secara universal
2. Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan
3. Memberi kesempatan yang sama terhadap pribadi dalam posisi yang sama
4. Menghargai hak sehat pasien
5. Menghargai hak hukum pasien
6. Menghargai hak orang lain
7. Menjaga kelompok yang rentan
8. Tidak melakukan penyalahgunaan
9. Bijak dalam makro alokasi
10. Memberikan kontribusi yang relative sama dengan kebutuhan pasien
11. Meminta partisipasi pasien sesuai kemampuannya
12. Kewajiban mendistribusikan keuntungan dan kerugian (biaya, beban, sanksi)
secara adil
13. Mengembalikan hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat dan kompeten
14. Tidak memberi beban berat secara tidak merata tanpa alas an tepat/sah
15. Menghormati hak populasi yang sama-sama rentan penyakit/gangguan
kesehatan
16. Tidak membedakan pelayanan pasien atas dasar SARA, status social, dsb
93. LUKA TEMBAK

• Dalam memberikan pendapat atau kesimpulan dalam


visum et repertum, tidak dibenarkan menggunakan istilah
pistol atau revolver; oleh karena perkataan pistol
mengandung pengertian bahwa senjatanya termasuk
otomatis atau semi otomatis, sedangkan revolver berarti
anak peluru berada dalam silinder yang akan memutar jika
tembakan dilepaskan.

• Oleh karena dokter tidak melihat peristiwa


penembakannya, maka yang akan disampaikan adalah;
senjata api kaliber 0,38 engan alur ke kiri dan sebagainya.
Luka Tembak Menempel Erat

• Luka simetris di tiap


sisi
• Jejas laras jelas
mengelilingi lubang
luka
• Tidak akan dijumpai
kelim jelaga atau Luka tembak tempel
Sumber:
kelim tattoo http://emedicine.medscape.com/article/197542
8-overview
Kelim pada Luka Tembak
• Kelim tato: akibat butir mesiu; gambaran bintik-
bintik hitam bercampur perdarahan, tidak dapat
dihapus dengan kain.
• Kelim jelaga: akibat asap; gambaran bintik-bintik
hitam yang dapat dihapus dengan kain.
• Kelim api: akibat pembakaran dari senjata; luka
bakar terlihat dari kulit dan rambut di sekitar luka
yang terbakar.
• Kelim lecet: akibat partikel logam; bentuknya
luka lecet atau luka terbuka yang dangkal
94. PELAPORAN KLB

Alur pelaporan KLB adalah sebagai berikut:

Dinkes Dinkes Kementerian


Masyarakat Puskesmas
Kabupaten Propinsi Kesehatan
Laporan Puskesmas ke Dinas Kesehatan
Laporan W1(Laporan Wabah) Laporan W2
• Isi Laporan: Tempat KLB, Jumlah • Laporan mingguan KLB.
P/M, Gejala/tanda-tanda. • Isi laporan : jumlah penderita dan
• Dalam jangka waktu 24 jam kematian PMTKLB selama satu
setelah mengetahui kepastian minggu yang tercatat di
(hasil pengecekan lapangan) Puskesmas.
adanya tersangka KLB. • Pembuatan laporan setiap
• Selain melalui pos, penyampaian minggu.
isi laporan dapat dilakukan • Pengiriman laporan : setiap
dengan sarana komunikasi cepat Senin/Selasa.
lainnya, sesuai situasi dan kondisi • Pembuat laporan : Kepala
yang ada. Puskesmas.
• Pembuat laporan: Kepala
Puskesmas.
KRITERIA KLB (Permenkes 1501, tahun 2010)
• Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada atau tidak
dikenal pada suatu daerah
• Peningkatan kejadian kesakitan terus-menerus selama 3 (tiga) kurun waktu dalam jam,
hari atau minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya
• Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan periode
sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari, atau minggu menurut jenis penyakitnya
• Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan kenaikan dua
kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata jumlah per bulan dalam tahun
sebelumnya
• Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu) tahun menunjukkan
kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata jumlah kejadian kesakitan
per bulan pada tahun sebelumnya
• Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu) kurun waktu
tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau lebih dibandingkan
dengan angka kematian kasus suatu penyakit periode sebelumnya dalam kurun waktu
yang sama
• Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu periode
menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu periode sebelumnya dalam
kurun waktu yang sama
95. ETIKA KLINIS
• Medical Indication
(terkait prosedur diagnostik dan terapi yang sesuai … dari sisi etik kaidah
yang digunakan adalah beneficence dan nonmaleficence)
• Patient Preference
(terkait nilai dan penilaian pasien tentang manfaat dan beban yang akan
diterimanya … cerminan kaidah otonomi)
• Quality of Life
(aktualisasi salah satu tujuan kedokteran :memperbaiki, menjaga atau
meningkatkan kualitas hidup insani … terkait dengan beneficence,
nonmaleficence & otonomi)
• Contextual Features
(menyangkut aspek non medis yang mempengaruhi pembuatan
keputusan, spt faktor keluarga, ekonomi, budaya … kaidah terkait justice)

Etika Klinis. (Jonsen, siegler & winslade, 2002)


Pertimbangan
Etika Klinis

Albert R. Jonsen. (1998). Clinical


Ethics: A Practical Approach to
Ethical Decisions in Clinical
Medicine. [Fourth Edition].
McGraw Hill
THT-KL
96. Traumatic Tympanic Membrane
perforation

Pathogenesis
• Direct force
– Careless while wax removal
– Skull fracture may tear TM

• Indirect force
– Increase pressure in explosion or discharged firearms
– Barotrauma
• Rapid pressure fluctuations with the inner ear
• Air travel or Scuba diving (decompression sickness)
Clinical presentations
• Otalgia Physical examination
• Bleeding • Tympanic perforation
• Fullness – Central perforation
• Hearing loss: – Marginal perforation
conductive HL or mixed • Blood crust
HL • If skull base fracture is
• Tinnitus occurred with CSF
leakage, clear fluid is
observed.
Diagnosis
• The key point is to exclude whether it
associates with trauma to ossicular chain or to
inner ear.
• The audiometry can provide useful
informations.
– CHL > 40db suspicion for ossicular discontinuity
– Hearing test reveals sensorineural HL, it means
inner ear injury
Managements
• Antibiotic to prevent infection
• Aseptic external auditory canal with alcohol (using
tampon or gauze, do not drop liquids into ear)
• Prevent super respiratory infection
• Prohibit nasal blow (valsalva)
• Prohibit ear drops
• It takes 3-4 weeks to heal the ear drum
• If 3 months later, perforation still exists,
myringoplasty is indicated.
Diagnosis Banding
Barotrauma Trauma Akustik
• Ear pain or damage to the • hearing loss due to single
tympanic membrane exposure to intense sound
caused by rapid changes in stimuli (generally exceed
pressure 140 dB)
• Due to failure of pressure • mechanical tearing of
balancing mechanism intracochleal membranes
between middle ear and and physical disruption of
outer ear cell walls with mixing of
• NOT blast related perilymph and endolymph
• Salah satu penyebab OME • Not associated with
akut tympanic membrane
rupture
97. Vertigo

http://www.aafp.org/afp/2010/0815/p361.html
Penyakit Meniere
• Penyakit Meniere adalah suatu kelainan pada
telinga bagian dalam yang mengakibatkan
gangguan pada pendengaran dan
keseimbangan.
• Ditandai dengan adanya episode vertigo dan
tinnitus dan penurunan pendengaran secara
progresif, bisaanya unilateral.
• Disebabkan oleh dilatasi sistem limfatik yang
berakibat terjadi drainase endolimfa.
Meniere Disease
• Gejala & tanda: Vertigo episodik (beberapa jam), Tuli sensorineural yang
berfluktuasi, tinnitus telinga terasa penuh
Diagnosis
ANAMNESIS PEMERIKSAAN FISIK PEMERIKSAAN PENUNJANG

• Vertigo hilang timbul yang • Diperlukan hanya untuk • audiometri


makin mereda pada menguatkan diagnosis • ENG
serangan berikutnya penyakit ini. • BERA
• Fluktuasi gangguan • Bila dalam anamnesis • Electrocochleography
pendengaran berupa tuli terdapat riwayat fluktuasi
• MRI kepala
saraf pendengaran, sedangkan
pada pemeriksaan • tes gliserin
• Pendengaran membaik
setelah serangan berakhir ternyata terdapat tuli • timpanometri
• Tinnitus saraf, maka kita sudah
dapat mendiagnosis
• Rasa penuh di telinga
penyakit Meniere, sebab
• Menyingkirkan tidak ada penyakit lain
kemungkinan penyebab yang bisa menyebabkan
dari sentral adanya perbaikan dalam
tuli saraf, kecuali pada
penyakit Meniere.
• Pada sebagian kasus
dapat ditemukan
nystagmus
DIAGNOSIS BANDING

tumor N.VIII sclerosis multiple

vertigo posisi
neuritis
paroksisimal jinak
vestibuler
( VPPJ ) / BPPV
Rekomendasi Terapi
• Diet rendah garam < 1500 gr/hari
• Diuretik
– Menurunkan tekanan hidrostatik di telinga dalam
– Membantu mencegah terjadinya gejala namun tidak memiliki efek setelah gejalanya muncul
– Contoh: HCT, asetazolamide
• Histamin agonis
– Contoh: Betahistin
– Menurut penelitian, penggunaan betahistin lebih unggul daripada flunarizine
• Vestibulocochlear supresant agent
– AntihistaminMeclizine
– Obat penenanglorazepam, alprazolam
– Calsium channel blockerFlunarizine
– Hanya dipakai bila dibutuhkan, karena pemakaian jangka lama dapat mengurangi kemampuan
kompensasi vestibular sehingga akan menyebabkan gangguan keseimbangan
• Steroid untuk penyebab autoimun atau alergi
• VasodilatorNiasin
– Memperbaiki alian darah dan pertukaran cairan

Menner. A Pocket Guide to the Ear. Thieme 2003


Betahistine dihydrochloride versus flunarizine. A double-blind study. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1763646
http://emedicine.medscape.com/article/1159069-treatment
98. Otitis Externa

• Malignant otitis externa (necrotizing OE)


– Pada pasien diabetik lansia atau imunokompromais.
– OE dapat menjadi selulitis, kondritis, osteitis,
osteomielitis  neuropati kranial.
– Liang telinga bengkak & nyeri, jaringan granulasi merah
tampak di posteroinferior sambungan kartilago dengan
tulang, di 1/3 dalam.
– Awalnya gatal, lalu cepat menjadi nyeri, sekret (+), &
pembengkakan liang telinga.

– Th/: antibiotik topikal & sistemik, debridemen agresif.

Menner, a pocket guide to the ear. Thieme; 2003.


Diagnostic handbook of otorhinolaryngology.
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
• Otitis externa may extend
distally to the pinna and
proximally to the tympanic
membrane
• Otitis externa can cause
tympanic membrane
erythema, murky and
rigidity due to
inflammation
– pneumatic otoscopy or
tympanometry should be
used to differentiate it from
otitis media

http://www.aafp.org/afp/2012/1201/p1055.html
99. Rhinitis alergi
• Keluhan: serangan bersin berulang, rinore, hidung
tersumbat, mata lakrimasi.
• Pemeriksaan fisik:
– Pada rhinoskopi anterior: mukosa edema, basah,
pucat/livid
– Allergic shiner: bayangan gelap dibawah mata akibat stasis
vena
– Allergic salute: anak menggosok-gosok hidung dengan
punggung tangan karena gatal
– Allergic crease: penggosokan hidung berulang akan
menyebabkan timbulnya garis di dorsum nasi sepertiga
bawah.
• Skin Prick test for diagnosis of Allergic
Rhinitis
• Sensitivity 85%
• Specificity 77%
Rinitis Alergi
100. ADENOID
o Jaringan limfoid di dinding nasofaring
o Letak di dinding posterior, tidak berkapsul
o Bagian dari cincin Waldeyer
o Pada anak sampai pubertas
o Umur 12 tahun mengecil
o Umur 17 – 18 tahun menghilang

Fungsi:
• Sistem pertahanan tubuh pertama (lokal) sal. nafas
• Memproduksi limfosit
• Membentuk antibodi spesifik (Ig)
ADENOIDITIS KRONIS

 Etiologi :  Akibatnya:
– rinolalia oklusa ( bindeng ) krn
– Post nasal drip  sekret koane tertutup
kavum nasi jatuh ke belakang – mulut terbuka utk bernapas 
muka terkesan bodoh ( adenoid
– Sekret berasal dari : sinus face )
maksilaris & ethmoid
– aproseksia nasalisSulit
berkonsentrasi
– Sefalgi
 Gejala klinis : – pilek dan batuk
– nafsu makan menurun
– Disebabkan oleh hipertrofi
adenoid  buntu hidung – oklusio tuba  pendengaran
menurun
– tidur ngorok

745
Pemeriksaan
• Rinoskopi anterior : Adenoid membesar
• Phenomena palatum mole (-)
– Pergerakan palatum molle pada saat pasien diminta untuk
mengucapkan huruf “ i “
– Akan negatif bila
• terdapat massa di dalam rongga nasofaring yang menghalangi pergerakan palatum
molle
• kelumpuhan otot-otot levator dan tensor velli palatini

• Rinoskopi posterior : Adenoid membesar dan tidak hiperemi


 Pemeriksaan tambahan:
– Endoskopi, foto skull lateral soft tissue (adenoid), CTScan

747
Indikasi Adenoidektomi
• Pembesaran menyebabkan obstruksi jalan nafas hidung yang
dapat menyebabkan obstruksi pernafasan, gejala obstructive
sleep apnea, dan pernafasan lewat mulut kronik (dapat
menyebabkan abnormalitas palatum dan gigi-geligi).

• Otitis media rekuren atau persisten pada anak berusia >3-4


tahun.

• Sinusitis kronik dan/atau rekuren.

http://emedicine.medscape.com/article/872216-overview#a10

Anda mungkin juga menyukai