Anda di halaman 1dari 13

Kaban, Penyelesaian Sengketa Waris Tanah Adat pada Masyarakat Adat Karo 453

PENYELESAIAN SENGKETA WARIS TANAH ADAT PADA MASYARAKAT


ADAT KARO
Maria Kaban*

Departemen Hukum Perdata, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,


Jalan Universitas Nomor 4, Kota Medan, Sumatera Utara, 20155

Abstract
Disputes are inevitable. Disputes can occur in almost all aspects of life . In Karo communities, disputes are
generally associated with the object of inheritance . Land as one of the objects of inheritance is considered
to have more value in Karo communities . Therefor disputes that occur are usually associated with land
ownership . Due to the disputes that happens is still in the realm Karo local law, then Karo customary law
and existing national laws should be taken into account.
Keywords: disputes, inheritance, land, local law, karo.

Intisari
Sengketa merupakan hal yang tidak terelakkan dalam kehidupan bermasyarakat. Sengketa dapat terjadi
dalam hampir seluruh aspek kehidupan. Pada masyarakat adat Karo sengketa yang terjadi pada umumnya
berkaitan dengan objek waris. Tanah sebagai salah satu objek waris dianggap memiliki nilai “lebih”
dalam masayarakat adat Karo. Untuk itu sengketa waris adat yang terjadi biasanya berkaitan dengan
kepemilikan tanah. Dikarenakan sengketa waris yang terjadi masih dalam ranah masyarakat adat, maka
dalam penyelesaiannya juga tetap memperhatikan hukum adat dan hukum nasional yang ada.
Kata Kunci: sengketa, waris, tanah, adat, karo.

Pokok Muatan
A. Pendahuluan . ..................................................................................................................................... 454
B. Pembahasan ....................................................................................................................................... 455
1. Sengketa Waris Tanah Adat .......................................................................................................... 455
2. Upaya Penyelesaian Sengketa Waris Tanah Adat pada Masyarakat Adat Karo ........................... 457
C. Penutup .............................................................................................................................................. 464

*
Alamat korespondensi: mariakabans@yahoo.com.
454 MIMBAR HUKUM Volume 28, Nomor 3, Oktober 2016, Halaman 453-465

A. Pendahuluan untuk mempertahankan garis keturunan dari pihak


Pluralisme hukum waris di Indonesia ibu, apabila seorang suami meninggal maka harta
membuktikan bahwa hingga saat ini belum ada pencaharian seorang suami tidak akan diwaris oleh
unifikasi hukum waris di Indonesia melainkan anak-anaknya sendiri melainkan oleh saudara-
masih berlaku hukum waris adat, hukum waris saudaranya sekandung beserta keturunan saudara-
agama Islam dan hukum waris KUHPerdata Eropa. saudara perempuan sekandung.4
Hal ini merujuk pada peraturan peralihan Pasal 2 Penguasaan dan pemilikan atas tanah oleh
UUD 1945 yang memberlakukan peraturan hukum masyarakat hukum adat, oleh Van Vollenhoven
pada zaman Belanda selama belum ada dibentuk disebut sebagai beschikkingsrecht. Masyarakat
peraturan hukum yang baru menurut UUD ini. hukum adat dalam hal ini berfungsi sebagai penga­
Hukum Waris Adat adalah salah satu aspek was ketertiban dan keamanan penggunaan hak
hukum dalam lingkup permasalahan Hukum Adat ulayat. Hak penggunaan tanah adat yang diberikan
yang meliputi norma-norma yang menetapkan harta Masyarakat hukum adat dapat memberikan hak
kekayaan baik yang materiil maupun yang imaterial, kepada anggota masyarakat hukum adat ataupun
yang mana dari seorang tertentu dapat diserahkan masyarakat di luar masyarakat hukum adatnya
kepada keturunannya serta yang sekaligus juga untuk memanfaatkan tanah adat dengan syarat
mengatur saat, cara dan proses peralihannya dari harus mematuhi peraturan ketua adat dan hak-hak
harta dimaksud.1 Bentuk harta kekayaan materiil komunal yang terdapat dalam tanah adat tersebut.
dapat berupa tanah, perhiasan, senjata, dan lain-lain, Dengan kata lain hak-hak perseorangan atas
sedangkan bentuk harta kekayaan imaterial dapat tanah adat itu dibatasi oleh hak ulayat. Apabila
berupa nama kebesaran. Dalam masyarakat adat, dikemudian hari bidang tanah tersebut dikerjakan
yang menurut sistem kekerabatannya terdiri atas (1) terus menerus oleh warga persekutuannya dan
masyarakat dengan sistem kekerabatan patrilineal, kemudian diberikan tanda pembatasan maka hasil
(2) masyarakat dengan sistem kekerabatan dari tanah tersebut hanya dapat dikuasai oleh
matrilineal, (3) masyarakat dengan sistem keke­ warga yang membuka dan mengerjakan tanah
rabatan parental, proses peralihan harta waris tersebut sehingga ia mempunyai hak milik atas
berbeda-beda. Seperti pada masyarakat patrilineal, tanah tersebut. Apabila warga persekutuan yang
apabila terjadi putus perkawinan karena suami wafat mengerjakan tanah itu memutuskan dirinya dari
maka istri berkewajiban tetap mengurus semua persekutuan hak atas tanah itu akan hilang dan
harta perkawinan yang ditinggalkan beserta anak- kembali dikuasai oleh persekutuan. Menurut Ter
anaknya.2 Sedangkan pada masyarakat parental, Haar hubungan antara kepentingan perseorangan
jika terjadi putus perkawinan karena suami atau istri dan kepentingan persekutuan adalah timbal balik
wafat maka suami atau istri yang hidup meneruskan dan mempunyai daya kekuatan yang sama.
tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga Dalam hal tanah adat tersebut telah menjadi
yang mengurus harta perkawinan dan anak-anak hak milik dari warga masyarakat adat maka apabila
dengan memperhatikan adanya pesan (“amanah”, warga masyarakat tersebut meninggal dunia dengan
“wasiat”, Islam; “Weling”, Jawa) dari yang wafat meninggalkan ahli waris maka hak milik ini dapat
ketika hidupnya.3 Kemudian pada masyarakat diwariskan kepada ahli waris dari si pewaris.
matrilineal, dikenal dengan perkawinan semendo Sesuai dengan judul penelitian yang difokuskan
(semenda), yaitu bentuk perkawinan yang bertujuan pada penyelesaian sengketa waris tanah adat pada

1
Tolib Setiady, 2008, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), Penerbit Alfabeta, Bandung, hlm. 281.
2
Hilman Hadikusuma, 1990, Hukum Perkawinan Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 188.
3
Ibid., hlm. 188-189.
4
Tolib Setiady, Op. cit., hlm. 289.
Kaban, Penyelesaian Sengketa Waris Tanah Adat pada Masyarakat Adat Karo 455

masyarakat adat karo maka penelitian ini dibatasi dalam ruang lingkup pene­litian hukum,
oleh waris tanah adat pada masyarakat karo yang istilah sengketa (dispute) telah menjadi
istilah baku dalam praktik hukum.6
mempunyai sistem kekerabatan patrilineal (garis
keturunan dari pihak bapak). Dari beberapa pengertian sengketa
yang telah diuraikan di atas maka dapat
B. Pembahasan ditarik kesimpulan bahwa sengketa adalah
1. Sengketa Waris Tanah Adat perselisihan yang terjadi antara dua belah
a. Definisi Sengketa piahk atau lebih yang terakumulasi hingga
Menurut kamus umum Bahasa Indo­ para pihak yang tidak terlibat dalam
ne­sia, sengketa adalah pertengkaran; perban­ perselisihan tersebut mengetahui akan adanya
tahan, pertikaian; perselisihan; percederaan, sengketa tersebut.
dan perkara.5 Sedangkan menurut badan b. Definisi Waris Adat
arbitrase perdagangan berjangka komoditi, Waris adalah proses beralihnya harta
sengketa adalah suatu pertentangan atas kekayaan dari si pewaris kepada ahli waris.
kepentingan, tujuan dan/ atau pemahaman Dalam hukum adat, proses peralihan harta
antara 2 (dua) pihak atau lebih. Sengketa akan kekayaan ini dapat terjadi pada saat pewaris
menjadi masalah hukum apabila pertentangan telah meninggal dunia, ataupun sebelum
tersebut menimbulkan perebutan hak, pewaris meninggal dunia, yang diwariskan
pembelaan atau perlawanan terhadap hak adalah harta milik pewaris yang dapat
yang dilanggar, dan/atau tuntutan terhadap berwujud maupun tidak berwujud. Peralihan
kewajiban atau tanggungjawab. harta kekayaan yang terjadi setelah pewaris
Sengketa atau penggunaannya dalam meninggal dunia disebut wasiat sedangkan
bahasa inggris disebut dengan conflict men­ peralihan harta kekayaan sebelum pewaris
dapat persepsi ganda oleh kalangan para meninggal dunia disebut hibah.
sarjana. Beberapa sarjana berpendapat bah­ Menurut I Gede A.B Wiranata harta
wa antara sengketa dan conflict memberi­ warisan dapat dibagi menjadi beberapa yaitu:
kan nuansa yang berbeda dalam cara Pertama, Harta warisan adalah harta
pende­fenisiannya. Sengketa dipersamakan kekayaan dari pewaris yang telah wafat,
dengan dispute dalam bahasa inggris yang baik harta itu telah dibagi atau masih
dalam keadaan tidak terbagi-bagi.
mem­punyai arti adanya perselisihan atau
Istilah ini dipakai untuk membedakan
perbedaan pandangan yang telah diketahui dengan harta yang didapat seseorang
oleh pihak-pihak yang tidak terlibat dalam bukan dari peninggalan pewaris,
perselisihan tersebut. Dalam hal pengertian melainkan didapat sebagai hasil usaha
pencaharian sendiri di dalam ikatan
konflik, Nurnaningsih berpendapat:
atau di luar ikatan perkawinan. Jadi,
Sedangkan konflik merupakan perse­ warisan atau harta warisan adalah
lisihan yang belum diketahui oleh harta kekayaan seseorang yang telah
pihak-pihak yang tidak terlibat di wafat. Kedua, Harta asal adalah semua
dalam perselisihan tersebut dan harta kekayaan yang dikuasai dan
mencakup perselisihan yang bersifat dimiliki pewaris sejak mula pertama,
laten, oleh karena itu konflik mem­ baik berupa harta peninggalan ataupun
punyai ruang lingkup yang lebih luas harta bawaan yang dibawa masuk ke
daripada sengketa, namun dalam peng­ dalam perkawinan dan kemungkinan
gunaannya secara ilmiah, khususnya ber­tam­bah selama perkawinan. Keti­
5
W.J.S Poerwadarminta, 1999, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 916
6
Nurnaningsih Amriani, 2011, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, Raja Grafindo Press, Jakarta, hlm. 12.
456 MIMBAR HUKUM Volume 28, Nomor 3, Oktober 2016, Halaman 453-465

ga, Harta peninggalan adalah harta benda semasa seseorang masih hidup.
ini menunjukkan harta warisan yang Lembaga yang dipakai dalam hal ini
belum terbagi atau tidak terbagi-bagi ialah Hibah.9
disebabkan salah seorang pewa­ris
masih hidup. Misalnya harta pening­ Sistem pewarisan hukum adat menga­
galan ayah yang telah wafat yang nut sistem aliran air, dimana yang pertama
masih dikuasai ibu yang masih hidup kali mendapatkan warisan adalah ahli waris
atau sebaliknya harta peninggalan ibu keturunan ke bawah yaitu anak, cucu, dan
yang telah wafat, tetapi masih dikuasai
ayah yang masih hidup. Termasuk seterusnya ke bawah (golongan ke-1).
di dalamnya ialah harta pusaka. Apabila keturunan ke-1 tidak ada (terdinding)
Keempat, Harta pusaka. Harta ini maka warisan akan jatuh kepada orang tua
dikategorikan ke dalam harta pusaka pewaris (golongan ke-2). Apabila keturunan
tinggi dan harta pusaka rendah. Harta
golongan ke-1 dan ke-2 terdinding maka
pusaka tinggi berasal dari zaman
leluhur, yang disebabkan keadaannya, warisan akan jatuh pada saudara pewaris
kedudukannya, sifatnya tidak patut , beserta keturunannya (golongan ke-3),
tidak pantas, dan tidak dapat dibagi- kemu­dian dengan terdindingnya ahli waris
bagi. Kelima, Harta perkawinan
go­longan ke-1, ke-2 dan ke-3 maka warisan
Harta ini menunjukkan semua harta
kekayaan yang dikuasai atau dimiliki akan jatuh kepada golongan ke-4 yaitu kakek
oleh semua istri disebabkan adanya dan nenek pewaris.
ikatan perkawinan.7 Unsur penting dalam pewarisan antara
Soepomo merumuskan hukum adat waris lain adanya pewaris, ahli waris dan harta
adalah sebagai berikut: peninggalan, tanpa terpenuhinya salah satu
unsur di atas maka, proses pewarisan tidak
Hukum Adat Waris memuat peraturan-
peraturan yang mengatur proses akan terjadi. Sistem pewarisan adat sangat
me­ne­ruskan serta meng-over-kan tergantung dari sistem kekerabatan yang
barang-barang harta benda dan barang- berlaku oleh masing-masing masyarakat
barang yang tidak terwujud benda adat seperti sistem kekerabatan patrilineal,
(immaterielle goederen) dari suatu
angkatan manusia (generatie) kepada matrilineal, dan bilateral. Hukum adat waris
turunannya. (proses itu telah dimulai mengenal adanya tiga sistem kewarisan,
dalam waktu orangtua masih hidup. yaitu: Pertama, Sistem kewarisan indivi­
Proses tersebut tidak menjadi akut oleh dual, Sistem pewarisan dimana setiap
sebab orangtua meninggal dunia).8
waris mendapatkan pembagian dari harta
Sedangkan menurut Bushar Muhammadd peninggalan untuk dapat dimiliki menurut
menyebutkan sebagai berikut: bagiannya masing-masing. Sistem kewarisan
Hukum waris adalah serangkaian ini terdapat pada masyarakat jawa, batak,
peraturan yang mengatur penerusan Sulawesi, dan lainnya. Kedua, Sistem
dan peng-over-an harta peninggalan kewarisan kolektif. Sistem kewarisan kolektif
atau harta warisan dari sesuatu generasi
ke generasi lain, baik mengenai benda adalah sistem pewarisan dimana sekelompok
material maupun imaterial. Bahwa ahli waris secara bersama-sama merupakan
hukum waris dimaksud mencakup secara badan hukum, dimana harta tersebut
pula persoalan-persoalan, tindakan- disebut sebagai Harta Pusaka tidak boleh
tindakan mengenai pelimpahan harta
dibagi-bagikan pemiliknya di antara para

7
I Gede A.B Wiranata, 2005, Hukum Adat Indonesia Perkembangannya dari Masa ke Masa, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 20.
8
Tolib Setiady. Op. cit., hlm. 281.
9
Ibid., hlm. 282.
Kaban, Penyelesaian Sengketa Waris Tanah Adat pada Masyarakat Adat Karo 457

ahli waris dimaksud dan hanya boleh dibagi- tanah adat /tanah ulayat/tanah hak pertuanan
bagikan pemakaiannya saja kepada mereka adalah suatu lingkungan tanah yang hidup
itu seperti dalam masyarakat matrilineal. dalam kekuasaan masyarakat adat yang sah.11
Ketiga, Sistem kewarisan mayorat. Sistem Tanah adat ini dapat berupa kolam, sawah,
kewarisan mayoran adalah sistem kewarisan lahan kosong, hutan, pantai, dan lain-lain.
seorang anak menerima warisan berupa Pada masyarakat adat pada umumnya
sebagian besar atau keseluruhan, sistem terdapat tanah-tanah yang dikuasai oleh
kewarisan ini terdapat di Bali dimana terdapat masyarakat yang bersangkutan yang diatur
hak mayorat anak laki-laki yang tertua dan di menurut hukum adatnya masing-masing.
tanah semendo dimana terdapat hak mayorat Mengenai masyarakat hukum, Soerjono
anak perempuan tertua. Soekanto mengemukakan:
c. Definisi Tanah Adat Dalam masyarakat Indonesia terda­
Tanah mempunyai peranan penting pat persekutuan-persekutuan. Ada
bagi masyarakat hukum adat. Tanah adalah per­sekutuan (dahulu) dimana warga­
nya mempunyai hubungan kekera­
tempat tinggal, bercocok tanam, tempat
batan yang erat dan berdasarkan
dimana anggota masyarakat adat dikuburkan, keturunan satu nenek moyang, ada
serta tanah merupakan tempat tinggalnya juga pesekutuan yang tidak berdasar
makhluk gaib dan roh-roh para leluhur. Di hubungan kekeluargaan, tetapi berdasar
samping itu, tanah juga bersifat tetap dalam daerah atau wilayah yang didiami, dan
ada persekutuan yang dasarnya tidak
artian tidak berubah-ubah meskipun apapun hanya hubungan kekerabatan akan
yang terjadi tanah tersebut akan tetap. Dilihat tetapi juga daerah atau wilayah yang
dari lapangan hukum harta kekayaan pun, didiami. Persekutuan tersebut baik
tanah merupakan harta benda tetap yang yang pertama maupun yang kedua
atau yang ketiga mempunyai warga
dapat diwariskan kepada ahli waris dari si
yang teratur, yang agak tetap, yang
pemilik tanah tersebut. mempunyai pemerintahan sendiri
Berdasarkan penjelasan di atas dapat (kepala dan pembantunya), mempunyai
kita simpulkan bahwa antara masyarakat harta material dan inmaterial sendiri,
persekutuan ini adalah dalam suasana
hukum adat dengan tanah mempunyai
rakyat dapat disebut persekutuan
keterikatan religio magis yang membuat hukum. Selanjutnya dalam persekutuan
tanah mempunyai bidang pengaturan tersebut ada keterikatannya dengan
sendiri berupa hukum tanah dalam hukum tanah desanya yaitu daerahnya,
adat. Hubungan yang serta dan bersifat mengikat kelompok-kelompok yang
tinggal disitu dan yang tidak mem­
religio magis ini menyebabkan persekutuan punyai hubungan kekeluargaan men­
memperoleh hak untuk menguasai tanah jadi suatu persekutuan hukum suatu
dimaksud, memanfaatkannya tanah itu, kesatuan (genelaogis).12
memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan dan 2. Upaya Penyelesaian Sengketa Waris
atau pohon-pohonan yang hidup di atas tanah Tanah Adat Pada Masyarakat Adat Karo
tersebut serta juga berburu binatang-binatang Masyarakat adat Karo merupakan
yang hidup di situ.10 Tanah yang dikuasai masyarakat hukum yang memiliki sistem hukum
oleh masyarakat hukum adat disebut juga adatnya sendiri yang diakui dan dihormati dalam

10
Tolib Setiady, Ibid., hlm. 312.
11
Djamanat Samosir, 2013, Hukum Adat Indonesia Eksistensi Dalam Dinamika Perkembangan Hukum di Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung,
hlm. 103.
12
Soerjono Soekanto, 1985, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, hlm. 67.
458 MIMBAR HUKUM Volume 28, Nomor 3, Oktober 2016, Halaman 453-465

sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia. garis keturunan dari kebapakan mempunyai
Berbicara mengenai masalah berarti berbicara karakteristik: (1) Stelsel perkawinan di Karo bersifat
mengenai hukum adat Karo, hal ini disebabkan eksogami, perkawinan berlainan marga atau di luar
hubungan yang begitu erat antara masyarakat adat marga. Sebabnya secara empiris dapat diterangkan
Karo dengan tanahnya. Begitu eratnya hubungan bahwa satu marga dianggap satu keturunan atau
antara tanah dengan masyarakat adat Karo sehingga satu klan, sehingga perkawinan satu marga tidak
tanah dalam suku Karo mempunyai aturan mengenai diperkenankan. Dari sudut lain stelsel perkawinan
hukum tanah adat dan menjadi salah satu objek tersebut berakibat bahwa si wanita yang kawin telah
waris oleh masyarakat adat Karo. masuk marga/klan suaminya dan terlepas dari marga/
Dalam masyarakat adat Karo pada umumnya, klan keluarganya semula. Jadi tegasnya perkawinan
terdapat pengkategorian terhadap tanah, yakni: itu berakibat lepasnya si wanita dari marga/klan
Pertama, Taneh kuta (village land), Taneh kuta ayahnya dan masuk keluarga/klan suaminya. Dan
adalah tanah yang dimiliki oleh desa tertentu sebagai yang lepas itu sebenarnya adalah wanita itu bersama
pembeda dari kampung lain, termasuk di dalamnya hak dan kewajibannya dari marga/klan orangtuanya
tanah terbuka, kuburan, dan tanah kosong.13 sendiri. (2) Persekutuan hukum marga. Hampir
Kedua, Taneh kesain (ward land), Konsep taneh seluruh marga di Karo mempunyai persekutuan
kesain merujuk kepada kawasan perkampungan, hukum yang dikepalai oleh “bangsa taneh”/”anak
sebagai contoh, taneh Rumah Berneh menunjukkan taneh” dari marga itu yaitu “simatek”/mendirikan
bahwa tanah tersebut milik Kesain Rumah Berneh. “kuta”/kampung pada mulanya.16
Ketiga, Taneh nini (grandfather`s land), Konsep a. Penyelesaian Sengketa Melalui
taneh nini digunakan untuk tanah yang yang telah Runggun.
ditanami pertama kali oleh bapa (bapak/ayah), Pada masa sekarang ini peradilan
nini (kakek), nini nai (leluhur). Tanah ini dipunyai adat berangsur-angsur hilang, runggun kuta/
oleh anggota dari garis kekerabatan patrilineal. kesain, runggun urung, runggun sibayak,
Kelompok patrilineal dan anggotanya memiliki dan runggun sibayak berempat sudah tidak
ikatan yang sakral kepada tanah leluhurnya yang dipakai lagi dalam menyelesaikan masa­
harus dipertahankan dengan tidak melepaskannya lah. Runggun yang masih dipakai saat ini
kepada orang lain. Tanah seperti ini pada umumnya hanyalah runggun keluarga dan umumnya
diwariskan dari ayah kepada anak laki-lakinya, dan runggun ini sering dipakai dalam nereh-
untuk kemudian akan selalu berada dalam keluarga empo17, penguburan, pindah rumah, perce­
atau kelompok kekerabatan patrilineal.14 Keempat, raian, penggantian nama, dan juga dalam
Taneh kalimbubu (land of the kalimbubu),15 Konsep menyelesaikan masalah. Runggun dalam
taneh kalimbubu digunakan untuk tanah yang masyarakat Karo mempunyai makna yang
diberikan oleh kalimbubu kepada anak beru. Pada luas tidak hanya digunakan untuk menye­
taneh kalimbubu, kalimbubu harus dilibatkan dalam lesaikan masalah saja, oleh karena itu
setiap keputusan yang berkaitan dengan taneh tidaklah etis untuk mendefinisikan runggun
kalimbubu. sebagai lembaga penyelesaian sengketa antar
Sistem pewarisan dalam masyarakat adat masyarakat adat Karo. Runggun baik dalam
Karo didasarkan pada garis keturunan ayah kegunaannya sebagai lembaga penyelesaian
(patriarchaat). Masyarakat Karo yang menarik masalah maupun dalam kegunaannya yang

13
Herman Slaats and Karen Portier, 1992, Traditional Decisioin-Making and Law. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 99.
14
Ibid., hlm. 106.
15
Herman Slaats and Karen Portier, Op. cit., hlm. 98.
16
Sarjani Tarigan, 2014, Sekilas Sejarah Pemerintahan Taneh Karo Simalem, SiBNB Press, Medan, hlm. 137.
17
Nereh adalah mengawinkan anak perempuan, Empo adalah mengawinkan anak laki-laki.
Kaban, Penyelesaian Sengketa Waris Tanah Adat pada Masyarakat Adat Karo 459

lain tetap memiliki susunan yang sama yaitu tujuan mereka diundang dalam runggun
adanya kalimbubu, anak beru, dan senina yang kemudian akan dijawab oleh anak beru
yang diwujudkan dalam konsep sangkep si yang diwakili oleh anak beru cekoh baka.
telu. Baik kalimbubu, anak beru, dan senina akan
Menurut Runtung, dibandingkan mempunyai pembicaranya masing-masing.
dengan forum masyarakat mufakat lainnya Acara runggun pada umumnya akan dipandu
maka runggun mempunyai beberapa ciri oleh anak beru cekoh baka.
khas yang penting yaitu:18 (1) Runggun itu Herman Slaats dan Karen Portier
adalah merupakan musyawarah sangkep mendeskripsikan tugas anak beru, senina,
si telu secara lengkap, yang berarti para dan kalimbubu dalam runggun yaitu: (1)
peserta runggun harus dapat mencerminkan Kelompok senina menjelaskan permasalahan
wakil-wakil dari masing-masing kelompok yang akan didiskusikan dan menilai masukan
kekeluargaan senina, anak beru, dan yang diajukan untuk menyelesaikan masalah.
kalimbubu. Suatu runggun tidak akan dimulai (2) Kelompok anak beru berkewajiban
apabila salah satu dari kelompok tersebut memberikan cara-cara penyelesaian masalah.
belum terwakili. (2) Dalam forum runggun (3) Kelompok kalimbubu menyetujui
hanya orang-orang yang telah menikah masukan yang diajukan kepada mereka.20
(kawin) saja yang dimintakan pendapatnya. Kebanyakan runggun untuk menyelesaikan
Proses diadakannya runggun pada permasalahan akan diadakan pada sore hari.
umumnya sama adalah dimulai dengan Runggun berdasarkan jenis masalah yang
adanya niat/keinginan para pihak untuk didiskusikan terbagi atas 2 yaitu: Pertama,
membawa permasalahan ke runggun, niat ini Runggun yang membicarakan masalah
kemudian didiskusikan dengan anak beru19 bukan sengketa dapat berupa runggun untuk
terdekat untuk menentukan waktu dan tempat membicarakan berbagai persiapan pelak­
diadakannya runggun serta permasalahan sanaan pesta adat perkawinan (erdemu
apa yang akan disampaikan di runggun nanti. bayu), masuk rumah baru (mengket rumah),
Setelah diskusi dengan anak beru selesai, menabalkan nama anak yang baru lahir
maka anak beru kemudian memanggil anak (erbahan gelar), memutuskan tanggal pe­
beru lain untuk menginformasikan rencana lak­sanaan pesta tahunan (kerja tahun),
diadakannya runggun dan berbagi tugas mem­bicarakan berbagai pembangunan dan
mempersiapkan hal-hal yang diperlukan pe­me­liharaan sarana dan prasarana desa
untuk diadakannya runggun. Setelah per­ dan lain-lain. Kedua, Runggun yang mem­
siapan selesai maka anak beru akan bicarakan penyelesaian sengketa adalah
mengundang kalimbubu dan senina agar runggun yang membicarakan penyelesaian
datang untuk runggun. sengketa yang terjadi dalam masyarakat baik
Sebelum memulai runggun biasanya sengketa keluarga, sengketa antar sesame
akan diadakan acara makan terlebih dahulu. warga desa, sengketa antar warga desa yang
Setelah acara makan selesai, kalimbubu satu dengan warga desa yang lain.21
akan membuka percakapan dengan bertanya

18
Runtung, 2002, Keberhasilan dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif : Studi Mengenai Masyarakat Perkotaan Batak Karo di
Kabanjahe dan Brastagi, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, hlm. 182.
19
Masyarakat Karo mempunyai tingkatan anak beru yaitu: anak beru tua kuta/kesain, anak beru tua jabu, anak beru cekoh baka, anak beru
jabu, anak beru cekoh baka tutup, anak beru jabu, anak beru niampu, dan anak beru singukuri.
20
Herman Slaats and Karen Portier, Op. cit., hlm. 52.
21
Runtung, Op. cit.,, hlm. 184.
460 MIMBAR HUKUM Volume 28, Nomor 3, Oktober 2016, Halaman 453-465

b. Penyelesaian Sengketa Melalui karo, keadaan ini disebut dengan selok


Perumah Begu. (possessed)), pada tahap ini Guru Sibaso
Perumah Begu adalah upaya penye­ akan meminjamkan tubuhnya untuk dimasuki
lesaian sengketa dimana begu22 akan dipanggil roh orang mati, dalam hal ini Guru Sibaso
melalui ritual tertentu guna menyelesaikan akan menjadi spirit medium/shaman antara
sengketa yang terjadi. Umumnya roh orang roh dengan orang yang hidup. Berikutnya
yang telah meninggal dunia ini diang­ roh orang mati tadi akan berbicara kepada
gap sebagai orang yang bijaksana serta pihak yang bersengketa melalui Guru Sibaso
mempunyai hubungan yang dekat dengan guna menyelesaikan sengketa mereka.
pihak yang bersengketa sehingga mengetahui Selama prosesi ritual, Guru Sibaso akan
letak permasalahan para pihak. Perumah memainkan dua peran penting, yaitu sebagai
begu bagi orang yang telah meninggal dunia ‘master of ceremony’ atau pemimpin utama
dilakukan pada malam pertama setelah mayat ritual dan juga berperan sebagai ‘story
dikebumikan. Medium perantara antara roh teller in dramatical ritual’ Guru Sibaso
orang mati dengan pihak yang bersengketa sebagai penceritera kembali kisah hidup dari
adalah Guru Sibaso.23 Guru Sibaso pada orang yang baru meninggal.26 Dilihat dari
umumnya terdiri dari seorang wanita atau fungsinya Guru Sibaso dalam masyarakat
beberapa wanita yang memiliki kemampuan adat dipandang sebagai konsultan (biak
untuk berhubungan dengan roh orang yang penungkunen) dimana warga akan meminta
telah meninggal. penjelasan mengenai nasehat-nasehat atas
Dalam hal mengundang Guru Sibaso permasalahan mereka. Nasehat terutama
untuk datang ke rumah terlebih dahulu sangat dibutuhkan dalam kasus konflik antar
dipersiapkan Belo Penahanen yang berisi: warga atau antar kerabat. Jika kasus terjadi
(1) Belo Sempedi (satu ikat daun sirih); dalam lingkup kerabat dekat, Guru Sibaso
(2) Timbako sepangpang (satu gulungan akan menyarankan diadakannya perumah
tembakau kering); (3) Gambir (gambir); (4) dibata dan disusul dengan perumah begu pada
Pinang (buah pinang); (5) Kapur24 (kapur) malam harinya dengan hanya melibatkan
Para pihak yang bersengketa akan berkumpul kerabat dekat yang bersengketa.27 Dengan
di rumah dimana akan dilaksanakan ritual selesainya ritual perumah begu, maka Guru
perumah begu, disertai dengan sembuyak25, Sibaso tersebut harus diantarkan sampai ke
anak beru, senina, dan kalimbubu. Dalam rumahnya.
ritual perumah begu, kesenian dan tari Sifat masyarakat adat Karo yang
berperan untuk mengundang roh tersebut religio-magis ditunjukkan dalam ritual pe­
datang. rumah begu. Beberapa ritual yang melibatkan
Pada saat melakukan ritual perumah Guru Sibaso yang cenderung dilakukan oleh
begu, maka roh orang mati tadi akan masyarakat Karo antara lain perumah begu28,
memasuki tubuh Guru Sibaso (bagi orang raleng tendi29, erpangir ku lau30, ataupun
22
Begu adalah roh mahluk hidup yang telah mati, dapat berupa hewan peliharaan, manusia, maupun hewan liar.
23
Guru Sibaso adalah guru atau orang pintar atau dengan kata lain dukun yang mengetahui hal-hal magis.
24
Sarjani Tarigan, 2011, Kepercayaan Orang Karo Tempoe Doeloe, Si B N B Press, Medan, hlm. 44.
25
Sembuyak adalah orang yang masih satu marga dan masih satu cabang dengan kita tapi sudah lain kesain atau kampung.
26
Sri Alem Sembiring, “Guru Si Baso Dalam Ritual Orang Karo : Bertahannya Sisi Tradisonal dari Arus Modernisasi”, Jurnal Etnovisi, Vol. 1,
No. 3, Desember 2005, hlm. 127.
27
Ibid., hlm. 129.
28
Ritual pemanggilan roh orang mati ke dalam rumah.
29
Ritual pemanggilan jiwa bagi seseorang sakit agar sembuh dari sakitnya.
30
Ritual mandi di sungai dengan tujuan mendapat rejeki, sembuh dari penyakit, untuk menaikkan martabat anak beru, kalimbubu, dan seninanya,
serta agar orang lain menghormatinya.
Kaban, Penyelesaian Sengketa Waris Tanah Adat pada Masyarakat Adat Karo 461

perumah dibata (perumah jenujung)31. hakim di atas, hanya penetapan yang berasal
c. Penyelesaian Sengketa Melalui dari permohonan. Penetapan merupakan
Pengadilan Negeri. pernyataan hakim yang dituangkan dalam
Pengadilan Negeri merupakan bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim
lembaga formal yang paling dekat dengan dalam sidang terbuka untuk umum sebagai
masyarakat dalam struktur hukum formal hasil dari pemeriksaan perkara permohonan
untuk menegakkan keadilan. Keadaan ini (voluntair). Oleh karena ruang lingkup
menempatkan Pengadilan Negeri Kabanjahe permasalahan dibatasi hanya mengenai
dalam posisi yang harus tanggap atas nilai- sengketa, maka penetapan tidak akan diulas
nilai yang berkembang di masyarakat Karo. lebih lanjut.
Keadilan yang dijanjikan oleh lembaga Dengan masuknya perkara ke
pengadilan ini terbuka untuk segala go­ pengadilan maka baik senina, kalimbubu,
longan masyarakat (equality of justice). anak beru, maupun penetua adat tidak dapat
Masyarakat Karo umumnya memperlakukan lagi campur tangan dalam menyelesaikan
pengadilan sebagai lembaga terakhir untuk masalah. Menurut Perma No. 1 Tahun 2008
menyelesaikan sengketa mereka, terutama yang telah diubah dengan Perma No. 1 Tahun
dalam hal waris. Menurut masyarakat Karo 2016 Pasal 1 butir (2) dan (3), yang bisa menjadi
adalah hal yang sangat memalukan apabila mediator dalam penyelesaian sengketa di
permasalahan harta warisan dibawa ke pengadilan adalah hakim karir dan hakim non
pengadilan. Hal ini dikarenakan dengan karir. Hakim non karir ini harus memenuhi
mengajukan sengketanya ke pengadilan maka persyaratan mempunyai sertifikat mediator
mereka akan menyerahkan penyelesaiannya yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung,
kepada pihak ketiga yang menurut mereka oleh karena itu, baik senina, kalimbubu, anak
tidak akan mengetahui akar permasalahan beru, maupun penetua adat tidak dapat lagi
dari sengketa mereka, namun dikarenakan camur tangan dalam menyelesaikan masalah.
runggun dianggap tidak lagi dapat Namun dengan dimasukkannya mediasi ke
memberikan jalan keluar permasalahan, maka pengadilan, kesempatan berdamai bagi para
diajukanlah sengketa tadi ke pengadilan. pihak sengketa terbuka lagi walaupun bentuk
Produk hakim dari hasil pemeriksaan perdamaian yang ditawarkan oleh pihak
perkara di persidangan ada 3 (tiga) bentuk pengadilan tidak mengikutsertakan runggun
yaitu: (a) Putusan suatu pernyataan yang oleh di dalamnya.
hakim sebagai pejabat yang diberi wewenang d. Penyelesaian Sengketa di Pengadilan
itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan Berbentuk Putusan
mengakhiri atau menyelesaikan suatu Dalam menyelesaikan sengketa waris
perkara atau sengketa antara para pihak.32 tanah adat di PN Kabanjahe bentuk penye­
(b) Penetapan atau putusan declaratoir yaitu lesaian sengketa yang sering dijumpai adalah
suatu putusan yang bersifat menetapkan, putusan. Menurut Sudikno Mertokusumo,
menerangkan saja.33 (c) Akta Perdamaian putusan hakim adalah suatu pernyataan yang
adalah surat penyelesaian perselisihan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi
bersifat final and binding.34 Dari ketiga produk wewenang itu, diucapkan di persidangan dan

31
Ritual pemanggilan roh penjaga badan seseorang.
32
Sudikno Mertokusumo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm. 174.
33
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 2002, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, hlm.
10.
34
H.P Panggabean, Op. cit., hlm. 209.
462 MIMBAR HUKUM Volume 28, Nomor 3, Oktober 2016, Halaman 453-465

bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu keadaan hukum yang baru, misalnya
suatu perkara atau sengketa antara para putusan yang menyatakan seseorang jatuh
pihak.35 Sesuai dengan ketentuan Pasal 189 pailit. (3) Putusan Condemnatoir, putusan
Rbg dan Pasal 178 HIR yaitu: (1) Hakim dalam yang berisi penghukuman, misalnya pihak
waktu bermusyawarah karena jabatannya, tergugat dihukum untuk menyerahkan
harus mencukupkan alasan-alasan Hukum, sebidang tanah berikut bangunan yang ada
yang mungkin tidak dikemukakan oleh kedua di atasnya untuk membayar hutangnya.
belah pihak; (2) Ia wajib mengadili segala Kedua, Putusan Sela (Putusan interlokutoir)
bagian gugatan. (3) Ia dilarang menjatuhkan adalah putusan yang dijatuhkan sebelum
keputusan atas perkara yang tidak digugat, putusan akhir yang diadakan dengan tujuan
atau meluluskan lebih dari apa yang digugat. untuk memungkinkan atau mempermudah
Berdasarkan Pasal 189 Rbg dan Pasal kelanjutan pemeriksaan perkara. Putusan sela
178 HIR, apabila pemeriksaan perkara selesai, selalu tunduk pada putusan akhir karena tidak
Majelis hakim karena jabatannya melakukan berdiri sendiri dan akhirnya dipertimbangkan
musyawarah untuk mengambil putusan yang pula pada putusan akhir, hakim tidak terikat
akan diajukan. Proses pemeriksaan dianggap pada putusan sela, bahkan hakim dapat
selesai apabila telah menempuh tahap jawaban mengubahnya sesuai dengan keyakinannya.37
dari tergugat sesuai dari Pasal 121 HIR, Pasal Putusan sela tidak dapat dimintakan banding
113 Rv, yang dibarengi dengan replik dari kecuali bersama-sama dengan putusan
penggugat berdasarkan Pasal 115 Rv, maupun akhir. Dalam hukum acara dikenal macam
duplik dari tergugat, dan dilanjutkan dengan putusan sela yaitu: (1) Putusan Preparatuir,
proses tahap pembuktian dan konklusi. Jika putusan persiapan mengenai jalannya
semua tahapan ini telah tuntas diselesaikan, pemeriksaan untuk melancarkan segala
Majelis menyatakan pemeriksaan ditutup dan sesuatu guna mengadakan putusan akhir;
proses selanjutnya adalah menjatuhkan atau (2) Putusan Interlocutoir, putusan yang
pengucapan putusan. isinya memerintahkan pembuktian karena
Ada berbagai jenis putusan hakim putusan ini menyangkut pembuktian maka
dalam pengadilan, antara lain:36 Pertama, putusan ini akan mempengaruhi putusan
Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri akhir; (3) Putusan Incidental, putusan yang
pemeriksaan di persidangan, baik telah berhubungan dengan insiden yaitu peristiwa
melalui semua tahapan pemeriksaan maupun yang menghentikan prosedur peradilan
yang tidak/belum menempuh semua tahapan biasa. (3) Putusan Provisional, putusan yang
pemeriksaan. Macam-macam putusan menjawab tuntutan provisi yaitu permintaan
akhir adalah sebagai berikut: (1) Putusan pihak yang berperkara agar diadakan tindakan
Declaratoir, putusan yang sifatnya hanya pendahulu guna kepentingan salah satu pihak
menerangkan, menegaskan suatu keadaan sebelum putusan akhir dijatuhkan.
hukum semata, misalnya menerangkan bahwa e. Penyelesaian Sengketa di Pengadilan
A adalah ahli waris dari B dan C. (2) Putusan Berbentuk Mediasi
Constitutif, putusan yang sifatnya meniadakan Mediasi sengketa waris tanah adat
suatu keadaan hukum atau menimbulkan pada PN Kabanjahe adalah mediasi yang

35
Sudikno Mertokusumo, Loc. cit.
36
R. Subekti, 1989, Hukum Acara Perdata, Binacipta, Bandung, hlm. 129.
37
Iqbal Albanna, “Putusan Hakim dan Eksekusi”, pn-nunukan.go.id, diakses tanggal 7 Maret 2016.
Kaban, Penyelesaian Sengketa Waris Tanah Adat pada Masyarakat Adat Karo 463

melibatkan mediator dalam pelaksanaannya. dengan waktu yang ditentukan. Mengingat


Mediasi adalah suatu proses penyelesaian pentingnya mediasi dalam proses beracara,
sengketa dimana para pihak yang bersengketa maka ketidak hadiran tergugat tidak meng­
memanfaatkan bantuan pihak ketiga yang halangi pelaksanaan mediasi. Hakim atau
independen untuk bertindak sebagai mediator kuasa hukum berkewajiban mendorong para
(penengah) dengan menggunakan berbagai pihak untuk berperan langsung atau aktif
prosedur, teknik, dan ketrampilan untuk dalam proses mediasi. Adanya kewajiban
membantu para pihak dalam menyelesaikan menjalankan mediasi, membuat hakim
sengketa mereka melalui perundingan. dapat menunda proses persidangan perkara.
Proses mediasi dipimpin oleh mediator Dalam menjalankan mediasi, para pihak
dan dilaksanakan di ruangan mediasi bebas memilih mediator yang disediakan
dengan mempertemukan para pihak yang oleh pengadilan atau mediator di luar
bersengketa. Mediator menurut Pasal 1 pengadilan. Mediator tidak hanya berperan
angka (5) Perma No. 1 Tahun 2008 tentang sebagai fasilitator saja melainkan harus
Prosedur Mediasi di Pengadilan adalah pihak berperan secara langsung dan aktif dalam
yang bersifat netral dan tidak memihak, menyelesaikan sengketa para pihak dan
yang berfungsi membantu para pihak dalam menemukan berbagai kemungkinan untuk
mencari berbagai kemungkinan dalam penyelesaian sengketanya.
penyelesaian sengketa. Sebagai pihak ketiga Menurut Pasal 4 PERMA No. 1 Tahun
yang netral dan tidak memihak, mediator 2008, ruang lingkup objek penanganan
harus melaksanakan fungsinya berdasarkan lem­baga mediasi adalah semua sengketa
kehendak para pihak. perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat
Mediator dalam mediasi di PN Kaban­ pertama kecuali kasus dalam bidang hukum
jahe terbagi 2 yaitu: (1) Hakim Mediator perselisihan hubungan industrial, hukum
Bersertifikat, Mediator Hakim adalah hakim perlindungan konsumen, serta hukum per­
pada pengadilan yang ditunjuk untuk menjadi saingan usaha. Putusan perdamaian mem­
hakim mediator dan hakim yang telah punyai kekuatan eksekutorial sebagaimana
mendapat pelatihan mediator bersertifikat. diuraikan dalam Pasal 1858 KUHPerdata,
Jumlah hakim mediator di PN Kabanjahe Pasal 130 HIR/154 RBg yaitu: (a) Pasal 1858
ada 3 (tiga) orang. Hakim yang menjadi ayat (1) KUHPerdata: segala perdamaian
mediator bukanlah hakim yang menagani mempunyai di antara pihak suatu kekuatan
perkara yang sedang dimediasikan, tetapi seperti suatu putusan Hakim dalam tingkat
hakim-hakim lainnya di PN Kabanjahe. (2) penghabisan. (b) Pasal 130 ayat (2) HIR:
Mediator Bersertifikat Non-Hakim, Mediator Jika perdamaian yang demikian itu dapat
bersertifikat non-hakim adalah mediator dicapai, maka pada waktu sidang diperbuat
bukan hakim yang telah mendapat pelatihan sebuah akta tentang itu, dalam mana kedua
mediator bersertifikat oleh lembaga yang belah pihak dihukumkan akan menepati
mendapat akreditasi oleh Mahkamah Agung perjanjian yang diperbuat itu, surat mana
RI. akan berkekuatan dan akan dijalankan
Mediasi sebagai proses beracara di sebagai putusan yang biasa. (b) Pasal 130
pengadilan mengikat hakim untuk mewajib­ ayat (3) HIR: Putusan yang sedemikian tidak
kan para pihak melaksanakan mediasi sesuai diizinkan banding.38

38
Nurnaningsih Amriani, Op. cit., hlm. 103.
464 MIMBAR HUKUM Volume 28, Nomor 3, Oktober 2016, Halaman 453-465

Proses mediasi dapat berlangsung 40 putusan perkara wajib menyebutkan bahwa


(empat puluh) hari sejak mediator dipilih perkara yang bersangkutan telah diupayakan
oleh para pihak atau setelah ditunjuk oleh perdamaian melalui mediasi dengan menye­
ketua majelis hakim dan dapat diperpanjang butkan nama mediator untuk perkara yang
14 (empat belas) hari lagi sesuai dengan bersangkutan.39
kesepakatan para pihak. Selama proses Bila para pihak tidak mencapai
mediasi berlangsung, mediator berkewajiban kesepakatan dalam masa 40 (empat puluh)
menyiapkan jadwal mediasi, mendorong hari sejak para pihak memilih mediator,
para pihak secara langsung berperan dalam maka mediator wajib menyampaikan secara
proses mediasi, dan bila dianggap perlu tertulis bahwa proses mediasi telah gagal,
dapat melakukan  kaukus. Kaukus adalah dan memberitahukan kegagalan mediasi
pertemuan secara terpisah yang dilakukan kepada hakim. Segera setelah menerima
Mediator dengan salah satu pihak yang pemberitahuan tersebut, maka hakim melan­
berperkara tanpa diketahui lawan. Tujuan jutkan pemeriksaan perkara sesuai dengan
kaukus ini untuk membicarakan hal-hal yang ketentuan hukum acara yang berlaku. Apabila
bersifat rahasia kepada mediator sehingga mediasi dinyatakan gagal maka menurut Pasal
dapat menjadi bahan pertimbangan bagi 19 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2008 segala
mediator untuk memahami permasalahan pernyataan dan pengakuan para pihak dalam
dan menemukan penyelesaian sengketa yang proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai
dapat diterima para pihak. alat bukti dalam proses persidangan perkara
Dalam proses mediasi, mediator dapat yang bersangkutan atau perkara lainnya.
melibatkan ahli seorang atau lebih untuk Hal ini bertujuan agar proses mediasi tidak
memberikan penjelasan atau pertimbangan disalahgunakan oleh pihak yang beritikad
yang dapat membantu menyelesaikan per­ tidak baik untuk menjebak lawan dengan
bedaan pendapat para pihak. Pelibatan ahli berpura-pura ingin berdamai, padahal mereka
atas dasar persetujuan para pihak dan biaya memiliki niat yang tidak baik, sehingga
untuk jasa ahli juga ditanggung oleh para dengan demikian proses mediasi ini dapat
pihak berdasarkan kesepakatan mereka. digunakan untuk melindungi pihak yang
Akibat hukum dari tidak dipatuhinya keha­ beritikad tidak baik.40
rusan proses mediasi tersebut ditentukan
dalam ketentuan Pasal 2 ayat (3) dan ayat (4) C. Penutup
PERMA No. 1 Tahun 2008 yang menyatakan Berdasarkan penjelasan yang sudah
sebagai berikut: Pertama, Tidak menempuh disam­paikan di atas diketahui bahwa ada 3 cara
prosedur mediasi berdasarkan peraturan ini yang ditempuh oleh masyarakat adat Karo dalam
merupakan pelanggaran terhadap ketentuan menyelesaikan sengketa waris tanah adatnya antara
Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 RBg lain: (1) Penyelesaian sengketa melalui runggun; (2)
yang mengakibatkan putusan batal demi Penyelesaian sengketa melalui Perumah Begu; (3)
hukum. Kedua, Hakim dalam pertimbangan Penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Negeri.

39
Rachmadi Usman, Op. cit., hlm. 74.
40
Nurnaningsih Amriani, Op. cit., hlm. 102.
Kaban, Penyelesaian Sengketa Waris Tanah Adat pada Masyarakat Adat Karo 465

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku University Press, Yogyakarta.


Amriani, Nurnaningsih, 2011, Mediasi Alternatif Soekanto, Soerjono, 1985, Meninjau Hukum Adat
Penyelesaian Sengketa Perdata di Indonesia, Rajawali, Jakarta.
Pengadilan, Raja Grafindo Press, Jakarta. Subekti, R., 1989, Hukum Acara Perdata, Binacipta,
Hadikusuma, Hilman, 1990, Hukum Perkawinan Bandung.
Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung. Sutantio, Retnowulan dan Oeripkartawinata,
Mertokusumo, Sudikno, 1993, Hukum Acara Iskandar, 2002, Hukum Acara Perdata Dalam
Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta. Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung.
Setiady, Tolib, 2008, Intisari Hukum Adat Indonesia
(Dalam Kajian Kepustakaan), Penerbit B. Hasil Penelitian
Alfabeta, Bandung. Runtung, 2002, Keberhasilan dan Kegagalan
Poerwadarminta, W.J.S., 1999, Kamus Umum Penyelesaian Sengketa Alternatif : Studi
Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Mengenai Masyarakat Perkotaan Batak
Wiranata, I Gede A.B., 2005, Hukum Adat Indonesia Karo di Kabanjahe dan Brastagi, Disertasi,
Perkembangannya dari Masa ke Masa, Citra Program Pascasarjana Universitas Sumatera
Aditya Bakti, Bandung. Utara, Medan.
Samosir, Djamanat, 2013, Hukum Adat Indonesia
Eksistensi Dalam Dinamika Perkembangan C. Artikel dalam Jurnal
Hukum di Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung. Sembiring, Sri Alem, “Guru Si Baso Dalam Ritual
Sarjani Tarigan, 2011, Kepercayaan Orang Karo Orang Karo : Bertahannya Sisi Tradisonal
Tempoe Doeloe, Si B N B Press, Medan dari Arus Modernisasi”, Jurnal Etnovisi, Vol.
_____________, 2014, Sekilas Sejarah 1, No. 3, Desember 2005.
Pemerintahan Taneh Karo Simalem, SiBNB
Press, Medan. D. Artikel Internet
Slaats, Herman and Portier, Karen, 1992, Traditional Albanna, Iqbal, “Putusan Hakim dan Eksekusi”, pn-
Decisioin-Making and Law. Gadjah Mada nunukan.go.id, diakses tanggal 7 Maret 2016.

Anda mungkin juga menyukai