Anda di halaman 1dari 54

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Kolelitiasis atau batu saluran empedu merupakan penyakit yang umumnya


lebih sering ditemukan di negara maju dan jarang ditemukan di negara-negara
berkembang. Namun, dengan membaiknya keadaan sosial ekonomi, perubahan
menu makanan ala barat serta perbaikan sarana diagnosis khususnya ultrasonografi,
prevalensi penyakit kolelitiasis di negara berkembang cenderung mengalami
peningkatan.1
Kolelitiasis merupakan salah satu masalah gastrointestinal yang paling
sering menyebabkan dilakukannya intervensi bedah. Tiap tahun, dilakukan sekitar
500.000 prosedur kolesistektomi di Amerika Serikat. Kolelitiasis terjadi pada
sekitar 10% populasi usia dewasa di Amerika Serikat, dimana batu empedu
kolesterol ditemukan pada 70% dari semua kasus dan 30% sisanya terdiri atas batu
pigmen dan jenis batu dari sejumlah komposisi lain.2 Angka kejadian batu saluran
empedu ini nampak semaking meningkat seiring bertambahnya usia.3 Penelitian
menggunakan pemeriksaan ultrasonografi menunjukkan bahwa 60-80% pasien
dengan batu saluran empedu umumnya nampak asimtomatik.4,5,6
Faktor risiko untuk pembentukan batu empedu meliputi obesitas, diabetes
melitus, estrogen dan kehamilan, penyakit hemolitik, dan sirosis.3 Manifestasi
klinik dari batu empedu dapat berupa nyeri episodik (kolik bilier), inflamasi akut di
kandung empedu (kolesistitis akut) atau inflamasi di saluran empedu (kolangitis
akut), komplikasi- komplikasi akibat migrasi batu empedu ke dalam koledokus
seperti pankreatitis, obstruksi saluran empedu yang dapat mengganggu fungsi hati
yakni ikterus obstruktif sampai sirosis bilier.6
Kolesistitis didefinisikan sebagai inflamasi kandung empedu yang paling
sering disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus akibat adanya koleitiasis. Sembilan
puluh persen kasus kolesistitis terjadi akibat adanya batu duktus sistikus
(kolesistitis kalkulosa), sementara 10% sisanya merupakan kasus kolesistitis

1
akalkulosa.7 Dari semua warga Amerika Serikat yang menderita kolelitiasis, sekitar
sepertiganya juga menderita kolesistitis akut.8
Faktor risiko kolesistitis umumnya serupa dengan kolelitiasis.9,10 Penyakit
ini lebih sering terjadi pada wanita wanita hamil dan yang mengkonsumsi obat -
obat hormonal. Hal ini mungkin berkaitan dengan kadar progesteron yang tinggi
yang menyebabkan hambatan aliran empedu.
Di Indonesia, walaupun belum ada data epidemiologis penduduk, angka
kejadian kolesistitis dan kolelitiasis umumnya relatif lebih rendah dibandingkan
dengan negara - negara barat. Meskipun dikatakan bahwa pasien kolesistitis akut
umumnya perempuan, gemuk dan berusia di atas 40 tahun, tetapi menuruit Lesman
LA, dkk, hal ini sering tidak sesuai untuk pasien – pasien di negara kita.8
Pasien yang asimptomatik umumnya dapat ditangani secara konsrevatif,
Namun, sekitar 35% pasien dengan kolelitiasis asimptomatik pada akhirnya dapat
mengalami komplikasi atau gejala berulang sehingga memerlukan terapi bedah.
Selama dua dekade terakhir, prinsip umum penanganan batu saluran empedu tidak
banyak mengalami perubahan. Namun, metode terapi yang digunakan sudah
banyak berkembang. Saat ini, kolesistektomi laparoskopik, laparoskopi eksplorasi
duktus biliaris komunis, dan terapi retrograde endoskopik untuk batu duktus biliaris
komunis (CBD) nampak memainkan peranan penting untuk terapi batu saluran
empedu. Namun, terapi pilihan yang utama untuk batu saluran empedu tetap
menggunakan prosedur kolesistektomi.3,9
1.2. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk menjelaskan berbagai aspek yang
berhubungan dengan kolelitiasis dan kolesistitis serta penanggulangan dan
pencegahannya. Pembaca diharapkan dapat memahami dan mengetahui
penatalaksanaan kolelitiasis dan kolesistitis, serta penanggulangan dan
pencegahannya sehingga diharapkan dapat melakukan usaha-usaha promotif,
preventif, kuratif, maupun rehabilitatif terutama di bidang bedah.

2
BAB II
ANATOMI FISIOLOGI

2.1. Anatomi1,4,11

Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear yang
terletak pada permukaan visceral hepar, panjangnya sekitar 7 – 10 cm. Kapasitasnya
sekitar 30-50 cc dan dalam keadaan terobstruksi dapat menggembung sampai 300
cc. Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat
dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hepar yang dimana fundus
berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung rawan costa IX
kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan arahnya keatas,
belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang berjalan dalam
omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus comunis
membentuk duktus koledokus. Peritoneum mengelilingi fundus vesica fellea
dengan sempurna menghubungkan corpus dan collum dengan permukaan visceral
hati.

Gambar 1. Anatomi vesica fellea dan organ sekitarnya.


3
Gambar 2. Anatomi Hepar dan Kandung Empedu 8

2.2. Fisiologi1,2,4,12,13

Salah satu fungsi hati adalah untuk memproduksi cairan empedu,


normalnya antara 600-1200 ml/hari. Kandung empedu (vesica fellea) berperan
sebagai reservoir empedu dan mampu menyimpan sekitar 45-50 ml cairan empedu.
Diluar waktu makan, empedu disimpan untuk sementara di dalam kandung empedu,
dan di sini akan mengalami proses pemekatan. Fungsi primer dari kandung empedu
adalah memekatkan empedu dengan absorpsi air dan natrium. Kandung empedu
mampu memekatkan zat terlarut yang kedap, yang terkandung dalam empedu
hepatik 5-10 kali dan mengurangi volumenya 80-90%.

Untuk membantu proses pemekatan cairan empedu ini, mukosa vesica


fellea mempunyai lipatan-lipatan permanen yang satu sama lain saling
berhubungan. Sehingga permukaanya tampak seperti sarang tawon. Sel- sel thorak
yang membatasinya juga mempunyai banyak mikrovilli.

4
Empedu dibentuk oleh sel-sel hati dan ditampung di dalam kanalikuli.
Cairan ini kemudian disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam
septum interlobaris. Saluran ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus hepatikus
kanan dan kiri. Kemudian keduanya membentuk duktus biliaris komunis. Pada
saluran ini sebelum mencapai doudenum terdapat cabang ke kandung empedu yaitu
duktus sistikus yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu sebelum
disalurkan ke duodenum.
Menurut Guyton & Hall, 1997 empedu memiliki dua fungsi penting:

a. Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak,


karena asam empedu yang melakukan dua hal antara lain: asam empedu
membantu mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar menjadi partikel
yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang disekresikan dalam getah
pankreas, Asam empedu membantu transpor dan absorpsi produk akhir lemak
yang dicerna menuju dan melalui membran mukosa intestinal.
b. Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk
buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir dari
penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk oleh sel- sel
hati.
2.2.1 Pengosongan Cairan Empedu2,13

Kandung empedu mengosongkan simpanan empedu pekatnya ke dalam


duodenum terutama sebagai respon terhadap perangsangan kolesistokinin. Saat
lemak tidak terdapat dalam makanan, pengosongan kandung empedu berlangsung
buruk, tetapi bila terdapat jumlah lemak yang adekuat dalam makanan, normalnya
kandung empedu kosong secara menyeluruh dalam waktu sekitar 1 jam.
Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial
kandung empedu. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak
kedalam duodenum sekitar 30 menit setelah makan. Dasar yang menyebabkan
pengosongan adalah kontraksi ritmik dinding kandung empedu, tetapi efektifitas
pengosongan juga membutuhkan relaksasi yang bersamaan dari sfingter oddi yang
menjaga pintu keluar duktus biliaris komunis kedalam duodenum.

5
Lemak menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa
duodenum, hormon kemudian masuk kedalam darah, menyebabkan kandung
empedu berkontraksi. Pada saat yang sama, otot polos yang terletak pada ujung
distal duktus coledokus dan ampula relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya
empedu yang kental ke dalam duodenum.
Selain kolesistokinin, kandung empedu juga dirangsang kuat oleh serat -
serat saraf yang menyekresi asetilkolin dari sistem saraf vagus dan enterik.
Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase Cephalik dari sekresi cairan
lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan menyebabkan kontraksi dari
kandung empedu. Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke
duodenum dan mengenai Sphincter Oddi. Sehingga pada keadaan dimana kandung
empedu lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar walaupun sedikit.
Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan neurologis maupun
hormonal memegang peran penting dalam perkembangan inti batu.
2.2.2 Komposisi Cairan Empedu11,13

Garam – garam empedu dalam cairan empedu penting untuk emulsifikasi


lemak dalam usus halus dan membantu pencernaan dan absorbsi lemak. Garam
empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen terbesar (90%) cairan
empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam anorganik. Garam
empedu adalah steroid yang dibuat oleh hepatosit dan berasal dari kolesterol.
Pengaturan produksinya dipengaruhi mekanisme umpan balik yang dapat
ditingkatkan sampai 20 kali produksi normal kalau diperlukan.
Ada dua macam garam empedu dari hati, yaitu : Asam deoksikolat dan
Asam kolat. Garam empedu yang masuk ke dalam lumen usus oleh kerja kuman-
kuman usus dirubah menjadi deoxycholat dan lithocholat. Sebagian besar (90 %)
garam empedu dalam lumen usus akan diabsorbsi kembali oleh mukosa usus
sedangkan sisanya akan dikeluarkan bersama feses dalam bentuk lithocholat.
Absorbsi garam empedu tersebut terjadi disegmen distal dari ilium. Sehingga bila
ada gangguan pada daerah tersebut misalnya oleh karena radang atau reseksi maka
absorbsi garam empedu akan terganggu.

6
Fungsi garam empedu adalah menurunkan tegangan permukaan dari
partikel lemak yang terdapat dalam makanan, sehingga partikel lemak yang besar
dapat dipecah menjadi partikel-partikel kecil untuk dapat dicerna lebih lanjut serta
membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan vitamin yang larut
dalam lemak.
Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan
globin. Heme bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole menjadi bilverdin
yang segera berubah menjadi bilirubin bebas. Zat ini di dalam plasma terikat erat
oleh albumin. Sebagian bilirubin bebas diikat oleh zat lain (konjugasi) yaitu 80%
oleh glukuronide. Bila terjadi pemecahan sel darah merah berlebihan misalnya pada
malaria maka bilirubin yang terbentuk sangat banyak.
Berikut ini adalah tabel komposisi cairan empedu :

Komponen Dari hepar Dari kandung empedu


Air 97,5 gr% 95 gr%

Garam empedu 1,1 gr% 6 gr%

Bilirubin 0,04 gr% 0,3 gr%

Kolesterol 0,1 gr% 0,3 – 0,9 gr%

Asam lemak 0,12 gr% 0,3 – 1,2 gr%

Lesitin 0,04 gr% 0,3 gr%

Elektrolit – –

Tabel 1. Komposisi cairan empedu1

7
BAB III
KOLELITIASIS DAN KOLESISTITIS

3.1. Definisi9,10,14

Kolelitiasis adalah istilah medis untuk penyakit batu saluran empedu.


Kolelitiasis disebut juga sebagai batu empedu, gallstone, atau kalkulus biliaris. Batu
empedu merupakan gabungan dari beberapa unsur yang membentuk suatu material
mirip batu yang dapat ditemukan dalam kandung empedu (kolesistolitiasis) atau di
dalam saluran empedu (koledokolitiasis) atau pada kedua-duanya. Koledokolitiasis
biasanya terjadi saat batu empedu keluar dari kandung empedu dan masuk ke
duktus biliaris komunis.

Gambar 3. Batu di dalam kandung empedu dan saluran biliaris.

Kolesistitis didefinisikan sebagai inflamasi pada dinding kandung empedu


yang paling sering disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus akibat adanya
kolelitiasis, yang umumnya disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan
demam.4,7

8
3.2. Etiologi9,10,15

Etiologi, faktor risiko dan patogenesis untuk kolesistitis umumnya akan


berbeda-beda menurut jenis batu empedu (batu kolesterol dan batu pigmen).

9
1. Batu kolesterol

Batu kolesterol berhubungan dengan sejumlah faktor risiko, antara lain

adalah:

a. Jenis kelamin

Batu empedu lebih sering terjadi pada wanita dari pada laki-laki dengan
perbandingan 4 : 1. Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena
kolelitiasis dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen
berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu.16
b. Suku bangsa

Batu empedu memperlihatkan variasi genetik. Kecenderungan membentuk batu


empedu bisa berjalan dalam keluarga10. Di negara Barat penyakit ini sering
dijumpai, di Amerika Serikat 10-20 % laki-laki dewasa menderita batu kandung
empedu. Batu empedu lebih sering ditemukaan pada orang kulit putih
dibandingkan kulit hitam. Batu empedu juga sering ditemukan di negara lain
selain AS, Chile dan Swedia.17
c. Usia

Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.


Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda. Usia rata-rata tersering
terjadinya batu empedu adalah 40-50 tahun.11,18
d. Obesitas

Sindroma metabolik terkait obesitas, resistensi insulin, diabetes mellitus tipe II,
hipertensi, dan hiperlipidemia berhubungan dengan peningkatan sekresi
kolesterol hepar dan merupakan faktor risiko utama untuk terbentuknya batu
kolesterol.9
e. Kehamilan

Batu kolesterol lebih sering ditemukan pada wanita yang sudah mengalami lebih
dari satu kali kehamilan. Faktor utama yang diperkirakan turut berperan pada
risiko ini adalah tingginya kadar progesteron selama kehamilan. Progesteron
dapat mengurangi kontraktilitas kandung empedu, sehingga

10
menyebabkan terjadinya retensi yang lebih lama dan pembentukan cairan
empedu yang lebih pekat di dalam kandung empedu.9
f. Stasis cairan empedu

Penyebab lain dari stasis kandung empedu yang berhubungan dengan


peningkatan risiko batu empedu meliputi cedera medula spinalis, puasa jangka
panjang dengan pemberian nutrisi parenteral total saja, serta penurunan berat
badan cepat akibat restriksi kalori dan lemak yang berat (seperti diet, operasi
gastric bypass).9
g. Obat-obatan

Terdapat sejumlah obat yang berhubungan dengan pembentukan batu kolesterol.


Estrogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau terapi kanker prostat dapat
meningkatkan risiko batu kolesterol dengan meningkatkan sekresi kolesterol
empedu. Clofibrate dan obat hipolipidemia fibrat lain dapat meningkatkan
eliminasi kolesterol hepar hepatik melalui sekresi biliaris dan nampaknya dapat
meningkatkan risiko terbentuknya batu kolesterol. Analog somatostatin nampak
menjadi predisposisi terbentuknya baru empedu dengan mengurangi proses
pengosongan batu empedu.9,10
h. Faktor keturunan

Penelitian pada kembar identik dan fraternal menunjukkan bahwa sekitar 25%
kasus batu kolesterol memiliki predisposisi genetik. Terdapat sekurangnya satu
lusin gen yang berperan dalam menimbulkan risiko ini.19 Dapat terjadi suatu
sindroma kolelitiasis terkait kadar fosfolipid yang rendah pada individu dengan
defisiensi protein transport bilier herediter yang diperlukan untuk sekresi
lecithin.15
2. Batu pigmen hitam dan coklat9

Batu pigmen hitam umumnya terbentuk pada individu dengan metabolisme


heme yang tinggi. Kelainan hemolisis yang berhubungan dengan batu pigmen
meliputi anemia sel sabit, sferositosis herediter, dan beta- thalassemia. Pada
sirosis, hipertensi portal dapat menyebabkan terjadinya splenomegali. Hal ini
kemudian akan menyebabkan sekuestrasi sel darah merah dan menyebabkan
terjadinya peningkatan metabolisme hemoglobin. Sekitar separuh dari semua
11
pasien sirosis nampak memiliki batu pigmen.

12
Batu pigmen coklat dapat terbentuk bila terjadi stasis intraduktal disertai
kolonisasi bakteri kronik cairan empedu. Di Amerika Serikat, kombinasi ini paling
sering ditemukan pada pasien dengan striktura biliaris paska-pembedahan atau kista
koledokus. Di daerah pertanian Asia Timur, infestasi cacing saluran empedu dapat
menyebabkan striktura biliaris dan memicu terbentuknya batu pigmen coklat di
seluruh saluran bilier intrahepatik dan ekstrahepatik. Kelainan ini, yang disebut
sebagai hepatolithiasis, dapat menyebabkan kolangitis rekuren dan menjadi
predisposisi terjadinya sirosis biliaris dan kolangiosarkoma.
Seperti pada kolelitiasis, penyebab kolesistitis juga berbeda menurut
jenisnya. Faktor risiko untuk terjadinya kolesistitis kakulosa umumnya serupa
dengan kolelitiasis dan meliputi jenis kelamin wanita, kelompok etnik tertentu,
obesitas atau penurunan berat badan yang cepat, obat-obatan (terutama terapi
hormonal pada wanita), kehamilan dan usia. Sementara itu, kolesistitis akalkulosa
berhubungan dengan penyakit yang berhubungan dengan stasis cairan empedu,
seperti penyakit kritis, operasi besar atau trauma/luka bakar berat, sepsis, pemberian
nutrisi parenteral total (TPN) jangka panjang, puasa jangka panjang, penyakit
jantung (termasuk infark miokardium), penyakit sel sabit, infeksi Salmonella,
diabetes mellitus, pasien AIDS yang terinfeksi cytomegalovirus, cryptosporidiosis,
atau microsporidiosis. Pasien dengan imunodefisiensi juga menunjukkan
peningkatan risiko kolesistitis akibat berbagai sumber infeksi lain. Dapat dijumpai
sejumlah kasus kolesistitis idiopatik.10
3.3 Epidemiologi2,3,7,8

Kolelitiasis terjadi pada sekitar 10% populasi usia dewasa di Amerika


Serikat, dimana batu empedu kolesterol ditemukan pada 70% dari semua kasus
dan 30% sisanya terdiri atas batu pigmen dan jenis batu dari sejumlah komposisi
lain. Angka kejadian batu saluran empedu ini nampak semaking meningkat seiring
bertambahnya usia. Diperkirakan bahwa sekitar 20% pasien dewasa yang berusia
lebih dari 40 tahun dan 30% yang berusia lebih dari 70 tahun menunjukkan adanya
pembentukan batu saluran empedu. Selama usia reproduksi, rasio wanita
dibandingkan pria adalah sekitar 4:1, sementara pada usia lanjut umumnya angka
kejadian hampir sama pada kedua jenis kelamin.

13
Sembilan puluh persen kasus kolesistitis terjadi akibat adanya batu duktus
sistikus (kolesistitis kalkulosa), sementara 10% sisanya merupakan kasus
kolesistitis akalkulosa. Dari semua warga Amerika Serikat yang menderita
kolelitiasis, sekitar sepertiganya juga menderita kolesistitis akut.
3.3. Patogenesis

3.3.1. Patogenesis Kolelitiasis

Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang
pada saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan
pembentuknya. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna,
akan tetapi, faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan
metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan
infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu mungkin merupakan yang
paling penting pada pembentukan batu empedu, karena terjadi pengendapan
kolesterol dalam kandung empedu. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat
meningkatkan supersaturasi progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan
unsur tersebut. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian
dalam pembentukan batu, melalui peningkatan dan deskuamasi sel dan
pembentukan mukus.

Sekresi kolesterol berhubungan dengan pembentukan batu empedu. Pada


kondisi yang abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan pembentukan
batu empedu. Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan pengendapan kolesterol
adalah : terlalu banyak absorbsi air dari empedu, terlalu banyak absorbsi garam-
garam empedu dan lesitin dari empedu, terlalu banyak sekresi kolesterol dalam
empedu, Jumlah kolesterol dalam empedu sebagian ditentukan oleh jumlah lemak
yang dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis kolesterol sebagai salah satu
produk metabolisme lemak dalam tubuh. Untuk alasan inilah, orang yang mendapat
diet tinggi lemak dalam waktu beberapa tahun, akan mudah mengalami
perkembangan batu empedu.

14
Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus melalui
duktus sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut dapat
menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau komplet sehingga
menimbulkan gejalah kolik empedu. Kalau batu terhenti di dalam duktus sistikus
karena diameternya terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada
disana sebagai batu duktus sistikus.K3[7]
3.3.2 Patofisiologi pembentukan batu empedu

A. Batu Kolesterol9,14,20

Batu kolestrol murni merupakan hal yang jarang ditemui dan prevalensinya
kurang dari 10%. Biasanya merupakan soliter, besar, dan permukaannya halus.
Empedu yang di supersaturasi dengan kolesterol bertanggung jawab bagi lebih dari
90 % kolelitiasis di negara Barat. Sebagian besar empedu ini merupakan batu
kolesterol campuran yang mengandung paling sedikit 75 % kolesterol berdasarkan
berat serta dalam variasi jumlah fosfolipid, pigmen empedu, senyawa organik dan
inorganik lain. Kolesterol dilarutkan di dalam empedu dalam daerah hidrofobik
micelle, sehingga kelarutannya tergantung pada jumlah relatif garam empedu dan
lesitin. Ini dapat dinyatakan oleh grafik segitiga, yang koordinatnya merupakan
persentase konsentrasi molar garam empedu, lesitin dan kolesterol.
Proses fisik pembentukan batu kolesterol terjadi dalam tiga tahap:

1. Supersaturasi empedu dengan kolesterol

Kolesterol, phospolipid (lecithin) dan garam empedu adalah komponen


yang tak larut dalam air. Ketiga zat ini dalam perbandingan tertentu membentuk
micelle yang mudah larut. Di dalam kandung empedu ketiganya
dikonsentrasikan menjadi lima sampai tujuh kali lipat. Pelarutan kolesterol
tergantung dari rasio kolesterol terhadap lecithin dan garam empedu, dalam
keadaan normal antara 1 : 20 sampai 1 : 30. Pada keadaan supersaturasi dimana

15
kolesterol akan relatif tinggi rasio ini bisa mencapai 1 : 13. Pada rasio seperti
ini kolesterol akan mengendap.
Kadar kolesterol akan relatif tinggi pada keadaan sebagai berikut :

o Peradangan dinding kandung empedu, absorbsi air, garam empedu dan


lecithin jauh lebih banyak.
o Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol lebih tinggi sehingga terjadi
supersaturasi.
o Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol (western diet)

o Pemakaian obat anti kolesterol sehingga mobilitas kolesterol jaringan tinggi.

o Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun misalnya pada gangguan
ileum terminale akibat peradangan atau reseksi (gangguan sirkulasi
enterohepatik).
o Pemakaian tablet KB (estrogen) sekresi kolesterol meningkat dan kadar
chenodeoxycholat rendah, padahal chenodeoxycholat efeknya melarutkan
batu kolesterol dan menurunkan saturasi kolesterol. Penelitian lain
menyatakan bahwa tablet KB pengaruhnya hanya sampai tiga tahun.
2. Fase Pembentukan inti batu

Inti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau heterogen. Inti batu
heterogen bisa berasal dari garam empedu, calcium bilirubinat atau sel-sel yang
lepas pada peradangan. Inti batu yang homogen berasal dari kristal kolesterol
sendiri yang menghadap karena perubahan rasio dengan asam empedu.
3. Fase Pertumbuhan batu menjadi besar.

Untuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk harus cukup waktu
untuk bisa berkembang menjadi besar. Pada keadaan normal dimana kontraksi
kandung empedu cukup kuat dan sirkulasi empedu normal, inti batu yang sudah
terbentuk akan dipompa keluar ke dalam usus halus. Bila konstruksi kandung
empedu lemah, kristal kolesterol yang terjadi akibat supersaturasi akan melekat
pada inti batu tersebut. Hal ini mudah terjadi pada penderita Diabetes Mellitus,
kehamilan, pada pemberian total parental nutrisi yang lama, setelah operasi
trunkal vagotomi, karena pada keadaan tersebut kontraksi kandung empedu

16
kurang baik.

17
Sekresi mucus yang berlebihan dari mukosa kandung empedu akan mengikat kristal
kolesterol dan sukar dipompa keluar.
B. Batu pigmen2

Batu pigmen merupakan sekitar 10 % dari batu empedu di Amerika Serikat.


Ada dua bentuk yaitu batu pigmen murni yang lebih umum dan batu kalsium
bilirubinat. Batu pigmen murni lebih kecil (2 sampai 5 mm), multipel, sangat keras
dan penampilan hijau sampai hitam. Batu-batu tersebut mengandung dalam jumlah
bervariasi kalsium bilirubinat, polimer bilirubin, asam empedu dalam jumlah kecil
kolesterol (3 sampai 26%) dan banyak senyawa organik lain. Didaerah Timur, batu
kalsium bilirubinat dominan dan merupakan 40 sampai 60
% dari semua batu empedu. Batu ini lebih rapuh, berwarna kecoklatan sampai
hitam. Bilirubin pigmen kuning yang berasal dari pemecahan heme, aktif
disekresikan ke empedu oleh sel liver. Kebanyakan bilirubin dalam empedu
dibentuk dari konjugat glukorinide yang larut air dan stabil. Tetapi ada sedikit yang
terdiri dari bilirubin tidak terkonjugasi yang tidak larut dengan kalsium.
Patogenesis batu pigmen berbeda dari batu kolesterol. Kemungkinan
mencakup sekresi pigmen dalam jumlah yang meningkat atau pembentukan pigmen
abnormal yang mengendap dalam empedu. Sirosis dan stasis biliaris merupakan
predisposisi pembentukan batu pigmen. Pasien dengan peningkatan beban bilirubin
tak terkonjugasi (anemia hemolitik), lazim membentuk batu pigmen murni. Di
negara Timur, tingginya insiden batu kalsium bilirubinat bisa berhubungan dengan
invasi bakteri sekunder dalam batang saluran empedu yang di infeksi parasit
Clonorchis sinensis atau Ascaris Lumbricoides. E.coli membentuk B-
glukoronidase yang dianggap mendekonjugasikan bilirubin di dalam empedu, yang
bisa menyokong pembentukan kalsium bilirubinat yang tak dapat larut.
Pembentukan batu bilirubin terdiri dari 2 fase :

1. Saturasi bilirubin

Pada keadaan non infeksi, saturasi bilirubin terjadi karena pemecahan


eritrosit yang berlebihan, misalnya pada malaria dan penyakit Sicklecell. Pada

18
keadaan infeksi saturasi bilirubin terjadi karena konversi konjugasi bilirubin
menjadi unkonjugasi yang sukar larut. Konversi terjadi karena adanya enzim b
glukuronidase yang dihasilkan oleh Escherichia Coli. Pada keadaan normal
cairan empedu mengandung glokaro 1,4 lakton yang menghambat kerja
glukuronidase.
2. Pembentukan inti batu

Pembentukan inti batu selain oleh garam-garam calcium dan sel bisa juga
oleh bakteri, bagian dari parasit dan telur cacing. Tatsuo Maki melaporkan
bahwa 55 % batu pigmen dengan inti telur atau bagian badan dari cacing ascaris
lumbricoides. Sedangkan Tung dari Vietnam mendapatkan 70 % inti batu adalah
dari cacing tambang.
C. Batu campuran14,20

Merupakan batu campuran kolesterol yang mengandung kalsium. Batu ini


sering ditemukan hampir sekitar 90 % pada penderita kolelitiasis. batu ini bersifat
majemuk, berwarna coklat tua. Sebagian besar dari batu campuran mempunyai
dasar metabolisme yang sama dengan batu kolesterol.
3.3.3 Patogenesis Kolesistitis7,21,22

Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah


stasis cairan empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu.
Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) sedangkan
sebagian kecil kasus (10%) timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis akut
akalkulus.
Batu biasanya menyumbat duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan
empedu dan terjadi distensi kandung empedu. Distensi kandung empedu
menyebabkan aliran darah dan limfe menjadi terganggu sehingga terjadi iskemia
dan nekrosis dinding kandung empedu. Meskipun begitu, mekanisme pasti
bagaimana stasis di duktus sistikus dapat menyebabkan kolesistitis akut, sampai
saat ini masih belum jelas. Diperkirakan banyak faktor yang dapat mencetuskan
respon peradangan pada kolesistitis, seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol,

19
lisolesitin dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung
empedu yang diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi.21
Peradangan yang disebabkan oleh bakteri mungkin berperan pada 50
sampai 85 persen pasien kolesistitis akut. Organisme yang paling sering dibiak dari
kandung empedu para pasien ini adalah E. Coli, spesies Klebsiella, Streptococcus
grup D, spesies Staphylococcus dan spesies Clostridium. Endotoxin yang
dihasilkan oleh organisme – organisme tersebut dapat menyebabkan hilangnya
lapisan mukosa, perdarahan, perlekatan fibrin, yang akhirnya menyebabkan
iskemia dan selanjutnya nekrosis dinding kandung empedu.22

Gambar 3. Patofisiologi kolesistitis akut.

Kolesistitis akut akalkulus terdapat pada 10 % kasus. Peningkatan resiko


terhadap perkembangan kolesistitis akalkulus terutama berhubungan dengan
trauma atau luka bakar yang serius, dengan periode pascapersalinan yang menyertai
persalinan yang memanjang dan dengan operasi pembedahan besar nonbiliaris
lainnya dalam periode pascaoperatif. Faktor lain yang mempercepat termasuk
vaskulitis, adenokarsinoma kandung empedu yang mengobstruksi, diabetes
mellitus, torsi kandung empedu, infeksi bakteri kandung empedu (misalnya
Leptospira, Streptococcus, Salmonella atau Vibrio cholera) dan infeksi

20
parasit kandung empedu. Kolesistitis akalkulus mungkin juga tampak bersama
dengan berbagai penyakit sistemik lainnya (sarkoidosis, penyakit kardiovaskuler,
sifilis, tuberkulosis, aktinomises).4
Selain itu, dapat timbul juga pada pasien yang dirawat cukup lama yang
mendapat nutrisi secara parenteral. Hal ini dapat terjadi karena kandung empedu
tidak mendapatkan stimulus dari kolesistokinin (CCK) yang berfungsi untuk
mengosongkan kantong empedu, sehingga terjadi kondisi statis dari cairan
empedu.23
3.4 Manifestasi Klinis

3.4.1 Manifestasi Batu Kandung Empedu (Kolesistolitiasis)

A. Asimtomatik

Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan gejala
(asimtomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat kolesistitis, nyeri bilier,
nyeri abdomen kronik berulang ataupun dispepsia, mual. Studi perjalanan penyakit
sampai 50 % dari semua pasien dengan batu kandung empedu, tanpa
mempertimbangkan jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25
% dari pasien yang benar-benar mempunyai batu empedu asimtomatik akan
merasakan gejalanya yang membutuhkan intervensi setelah periode waktu 5 tahun.
Tidak ada data yang merekomendasikan kolesistektomi rutin dalam semua pasien
dengan batu empedu asimtomatik.2,5
B. Simtomatik

Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas.


Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang berlangsung lebih dari 15 menit, dan
kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Kolik biliaris, nyeri
pascaprandial kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak,
terjadi 30-60 menit setelah makan, berakhir setelah beberapa jam dan kemudian
pulih, disebabkan oleh batu empedu, dirujuk sebagai kolik biliaris. Mual dan
muntah sering kali berkaitan dengan serangan kolik biliaris.1

21
C. Komplikasi

Kolesistitis akut merupakan komplikasi penyakit batu empedu yang paling


umum dan sering meyebabkan kedaruratan abdomen, khususnya diantara wanita
usia pertengahan dan manula. Peradangan akut dari kandung empedu, berkaitan
dengan obstruksi duktus sistikus atau dalam infundibulum. Massa yang dapat
dipalpasi hanya ditemukan pada 20% kasus. Kebanyakan pasien akhirnya akan
memerlukan terapi berupa kolesistektomi terbuka atau laparoskopik.2,10
3.4.2 Manifestasi Batu Saluran Empedu (Koledokolitiasis)

Pada batu duktus koledokus, riwayat nyeri atau kolik di epigastrium dan
perut kanan atas disertai tanda sepsis, seperti demam dan menggigil bila terjadi
kolangitis. Apabila timbul serangan kolangitis yang umumnya disertai obstruksi,
akan ditemukan gejala klinis yang sesuai dengan beratnya kolangitis tersebut.
Kolangitis akut yang ringan sampai sedang biasanya kolangitis bakterial non
piogenik yang ditandai dengan trias Charcot yaitu demam dan menggigil, nyeri
didaerah hati, dan ikterus. Apabila terjadi kolangiolitis, biasanya berupa kolangitis
piogenik intrahepatik, akan timbul 5 gejala pentade Reynold, berupa tiga gejala trias
Charcot, ditambah syok, dan kekacauan mental atau penurunan kesadaran sampai
koma.2
Koledokolitiasis sering menimbulkan masalah yang sangat serius karena
komplikasi mekanik dan infeksi yang mungkin mengancam nyawa. Batu duktus
koledokus disertai dengan bakterobilia dalam 75% persen pasien serta dengan
adanya obstruksi saluran empedu, dapat timbul kolangitis akut. Episode parah
kolangitis akut dapat menyebabkan abses hati. Migrasi batu empedu kecil melalui
ampula Vateri sewaktu ada saluran umum diantara duktus koledokus distal dan
duktus pankreatikus dapat menyebabkan pankreatitis batu empedu. Tersangkutnya
batu empedu dalam ampula akan menyebabkan ikterus obstruktif.20
3.4.3 Manifestasi Kolesistitis

Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut
di sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan suhu
tubuh. Keluhan tersebut dapat memburuk secara progresif. Kadang – kadang rasa
sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60
menit tanpa reda. Berat ringannya keluhan sangat bervariasi tergantung dari adanya

22
kelainan inflamasi yang ringan sampai dengan gangren atau perforasi kandung
empedu. Sekitar 60 – 70% pasien melaporkan adanya riwayat serangan yang
sembuh spontan.8
Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan
penggetaran atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien mengalami
anoreksia dan sering mual. Muntah relatif sering terjadi dan dapat menimbulkan
gejala dan tanda deplesi volume vaskuler dan ekstraseluler. Pada pemeriksaan fisis,
kuadran kanan atas abdomen hampir selalu nyeri bila dipalpasi. Pada seperempat
sampai separuh pasien dapat diraba kandung empedu yang tegang dan membesar.
Inspirasi dalam atau batuk sewaktu palpasi subkosta kudaran kanan atas biasanya
menambah nyeri dan menyebabkan inspirasi terhenti (tanda Murphy).8
Ketokan ringan pada daerah subkosta kanan dapat menyebabkan
peningkatan nyeri secara mencolok. Nyeri lepas lokal di kuadran kanan atas sering
ditemukan, juga distensi abdomen dan penurunan bising usus akibat ileus paralitik,
tetapi tanda rangsangan peritoneum generalisata dan rigiditas abdomen biasanya
tidak ditemukan, asalkan tidak ada perforasi. Ikterus dijumpai pada 20% kasus,
umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila konsentrasi bilirubin
tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatik. Pada pasien
– pasien yang sudah tua dan dengan diabetes mellitus, tanda dan gejala yang ada
tidak terlalu spesifik dan kadang hanya berupa mual saja.8
Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat dibedakan
dengan kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien
dengan keadaan inflamasi kandung empedu akut yang sudah parah walaupun
sebelumnya tidak terdapat tanda – tanda kolik kandung empedu. Biasanya pasien
sudah jatuh ke dalam kondisi sepsis tanpa terdapat tanda – tanda kolesistitis akut
yang jelas sebelumnya.15

23
3.5 Diagnosis 1,4

3.5.1 Diagnosis Kolelitiasis

A. Anamnesis

Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asintomatis.


Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran
terhadap makanan berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di
daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya
adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru
menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan- lahan
tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba.
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak
bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan
bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis,
keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam.

B. Pemeriksaan Fisik9

1. Batu kandung empedu

Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti


kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu,
empiema kandung empedu, atau pangkretitis. Pada pemeriksaan ditemukan
nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung
empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita
menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung
jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas.
2. Batu saluran empedu

Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang
teraba hatidan sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar bilirubin darah
kurang dari 3 mg/dl, gejal ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu
bertambah berat, akan timbul ikterus klinis.

24
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat
terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan
ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar
bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus
koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum
biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut.1

2. Pemeriksaan Radiologis
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas
karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak.
Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium
tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung
empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai
massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam
usus besar, di fleksura hepatika.1

Gambar 6. Foto rongent pada kolelitiasis

25
3. Pemeriksaan Ultrosonografi (USG)
USG akan menunjukkan batu di kandung empedu dengan sensitivitas dan
spesifisitas > 90 %. Terdapat batu dengan bayangan akustik dan mencerminkan
gelombang ultrasound kembali ke transduser ultrasonik. Karena batu memblokir
bagian dari gelombang suara ke daerah belakang dan menghasilkan bayangan
akustik. 3

Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi


untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu
intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding
kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh
peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal
kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG
punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih
jelas daripada dengan palpasi biasa. 1

Gambar 7. USG Kandung Empedu Normal


Terlihat kontur, besar dan batas yang normal, dinding tidak menebal. Terletak diantara parenkim
hati lobus kanan pada fossa vesika felea. Ekocairan homogen

26
Gambar 8. Kolelitiasis terlihat hiperekoik dengan bayangan akuistik di bawahnya
4. Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena
relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga
dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan
ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan
hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati.
Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung
empedu.1

3.5.2 Diagnosis Kolesistitis

Diagnosis kolesistitis akut biasanya dibuat beradasarkan riwayat yang khas


dan pemeriksaan fisis. Trias yang terdiri dari nyeri akut kuadran kanan atas,
demam dan leukositosis sangat sugestif. Biasanya terjadi leukositosis yang
berkisar antara 10.000 sampai dengan 15.000 sel per mikroliter dengan pergeseran
ke kiri pada hitung jenis. Bilirubin serum sedikit meningkat [kurang dari 85,5
μmol/L (5mg/dl)] pada 45 % pasien, sementara 25 % pasien mengalami
peningkatan aminotransferase serum (biasanya kurang dari lima kali lipat).

Pemeriksaan alkali phospatase biasanya meningkat pada 25 % pasien


dengan kolesistitis. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase diperlukan untuk
menyingkirkan kemungkinan pankreatitis, namun amilase dapat meningkat pada
kolesistitis. Urinalisis diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan
pielonefritis. Apabila keluhan bertambah berat disertai suhu tinggi dan menggigil
serta leukositosis berat, kemungkinan terjadi empiema dan perforasi kandung

27
empedu dipertimbangkan.15
Pemindaian saluran empedu dengan radionuklida (mis. HDA) dapat
memberikan konfirmasi bila pada pemeriksaan pencitraan hanya tampak duktus
kandung empedu tanpa visualisasi kandung empedu.15 Foto polos abdomen tidak
dapat memperlihatkan gambaran kolesistitis akut. Hanya pada 15 % pasien
kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus pandang (radiopak) oleh karena
mengandung kalsium cukup banyak. Kolesistografi oral tidak dapat
memperlihatkan gambaran kandung empedu bila ada obstruksi sehingga
pemeriksaan ini tidak bermanfaat untuk kolesistitis akut. Gambaran adanya
kalsifikasi diffus dari kandung empedu (empedu porselain) menunjukkan adanya
keganasan pada kandung empedu.10
Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebaiknya dikerjakan secara rutin
dan sangat bermanfaat untuk memprlihatkan besar, bentuk, penebalan dinding
kandung empedu, batu dan saluran empedu ekstra hepatik. Nilai kepekaan dan
ketepatan USG mencapai 90 – 95%. Adapun gambaran di USG yang pada
kolesistitis akut diantaranya adalah cairan perikolestik, penebalan dinding kandung
empedu lebih dari 4 mm dan tanda sonographic Murphy. Adanya batu empedu
membantu penegakkan diagnosis.10
Sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan CT scan abdomen dan MRI
dilaporkan lebih besar dari 95%. Pada kolesistitis akut dapat ditemukan cairan

perikolestik, penebalan dinding kandung empedu lebih dari 4 mm, edema subserosa
tanpa adanya ascites, gas intramural dan lapisan mukosa yang terlepas.
Pemeriksaan dengan CT – scan dapat memperlihatkan adanya abses perikolesistik
yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat pada pemeriksaan USG.24

Gambar 6. CT Scan abdomen pada pasien kolesistitis akut menunjukkan adanya batu empedu dan
penebalan dinding kandung empedu.

28
Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 96n
Tc6 Iminodiacetic acid mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari USG tapi teknik
ini tidak mudah. Normalnya gambaran kandung empedu, duktus biliaris komunis
dan duodenum terlihat dalam 30-45 menit setelah penyuntikan zat warna.
Terlihatnya gambaran duktus koledokus tanpa adanya gambaran kandung empedu
pada pemeriksaan kolesistografi oral atau scintigrafi sangat menyokong kolesistitis
akut.8

Gambar 7. Kiri: Scintigrafi normal, HIDA mengisi kandung empedu setelah 45 menit; Kanan:
pada pasien kolesistitis, HIDA tidak mengisi kandung empedu setelah 1 jam 30 menit

Endoscopic Retrogard Cholangiopancreatography (ERCP) dapat


digunakan untuk melihat struktur anatomi bila terdapat kecurigaan terdapat batu
empedu di duktus biliaris komunis pada pasien yang beresiko tinggi menjalani
laparaskopi kolesistektomi.25
Pada pemeriksaan histologi, terdapat edema dan tanda – tanda kongesti pada
jaringan. Gambaran kolesistitis akut biasanya serupa dengan gambaran kolesistitis
kronik dimana terdapat fibrosis, pendataran mukosa dan sel – sel inflamasi seperti
neutrofil. Terdapat gambaran herniasi dari lapisan mukosa yang disebut dengan
sinus Rokitansky-Aschoff. Pada kasus – kasus lanjut dapat ditemukan gangren dan
perforasi.
3.6 Diagnosis Banding

Diagnosis kolelitiasis dan kolesistitis harus dapat ditegakkan sesegera


mungkin agar dapat dilakukan penanganan sedini mungkin dan menghindari

29
terjadinya peningkatan morbiditas dan mortalitas pada pasien.
Untuk kolelitiasis, dapat dipertimbangkan kemungkinan adanya patologi
intra-abdominal maupun ekstra-abdominal yang menyebabkan nyeri abdomen
bagian atas. Beberapa penyakit yang perlu dipertimbangkan adalah penyakit ulkus
peptik, pankreatitis (akut atau kronik), hepatitis, dispepsia, gastroesophageal reflux
disease (GERD), irritable bowel syndrome, spasme esofagus, pneumonia, nyeri
dada karena penyakit jantung, ketoasidosis diabetik, apendisitis, striktura duktus
biliaris, kolangiokarsinoma, kolesistitis, atau kanker pankreas.9
Untuk kolesistitis akut, dapat dipertimbangkan diagnosis banding untuk
nyeri perut kanan atas yang tiba – tiba, perlu dipikirkan seperti penjalaran nyeri
saraf spinal, kelainan organ di bawah diafragma seperti appendiks yang retrosekal,
sumbatan usus, perforasi ulkus peptikum, pankreatitis akut, pielonefritis dan infark
miokard. Pada wanita hamil kemungkinannya dapat preeklampsia, appendisitis dan
kolelitiasis. Pemeriksaan lebih lanjut dan penanganan harus dilakukan segera
karena dapat mengancam nyawa ibu dan bayi. Penyakit lain yang dapat
dipertimbangkan antara lain adalah aneurisma aorta abdominal, iskemia mesenterik
akut, dan kolik biliaris.10

3.7 Penatalaksanaan3,9,10

3.7.1 Penatalaksanaan untuk Kolelitiasis

Saat ditemukan adanya batu empedu asimptomatik selama melakukan


pemeriksaan pasien, maka umumnya belum perlu dilakukan kolesistektomi
profilaktik karena adanya beberapa faktor. Hanya sekitar 30% pasien dengan
kolelitiasis asimptomatik yang memerlukan operasi selama masa hidup mereka,
dan ini menunjukkan bahwa pada beberapa pasien, kolelitiasis merupakan suatu
kelainan yang relatif ringan dan tidak berbahaya. Pada beberapa pasien ini dapat
dilakukan penanganan konservatif.3,9 Namun, terdapat beberapa faktor yang
menunjukkan kemungkinan terjadinya perjalanan penyakit yang lebih berat pada
pasien dengan batu empedu asimptomatik sehingga perlu dilakukan
kolesistektomi profilaksis. Beberapa faktor ini antara lain adalah pasien dengan
batu empedu yang berukuran besar (>2,5 cm), pasien dengan anemia hemolitik
kongenital atau kandung empedu yang tidak berfungsi, atau pasien yang menjalani
operasi kolektomi.3
Pada batu empedu yang simptomatik, umumnya diindikasikan untuk

30
melakukan intervensi bedah definitif menggunakan kolesistektomi, meskipun pada
beberapa kasus dapat dipertimbangkan untuk meluruhkan batu menggunakan terapi
medikamentosa. Pada kolelitiasis non-komplikata dengan kolik biliaris,
penanganan medikamentosa dapat menjadi alternatif untuk beberapa pasien
tertentu, terutama yang menunjukkan risiko tinggi bila menjalani operasi.9
A. Penatalaksanaan konservatif

Untuk penatalaksanaan konservatif dapat diberikan obat yang dapat


menekan sintesis dan sekresi kolesterol, serta menginhibisi absorbsi kolesterol di
usus. Ursodiol merupakan jenis obat yang paling sering digunakan. Ursodiol (asam
ursodeoksikolat) diindikasikan untuk batu empedu radiolusens yang berdiameter
kurang dari 20 mm pada pasien yang tidak dapat menjalani kolesistektomi. Obat ini
memiliki sedikit efek inhibitorik pada sintesis dan sekresi asam empedu endogen
ke dalam cairan empedu dan nampaknya tidak mempengaruhi sekrresi fosfolipid ke
dalam cairan empedu. Setelah pemberian dosis berulang, obat akan mencapai
kondisi seimbang setelah kurang lebih 3 minggu. Dosis lazim yang digunakan ialah
8-10 mg/kgBB terbagi dalam 2-3 dosis harian. Intervensi ini membutuhkan waktu
6-18 bulan dan umumnya berhasil bila batu berukuran kecil dan murni merupakan
batu kolesterol, serta memiliki angka kekambuhan sebesar 50 % dalam 5 tahun.1,9
Terapi lain yang dapat digunakan adalah Extarcorporal Shock Wave
Lithotripsy (ESWL). Litotripsi pernah sangat populer beberapa tahun yang lalu,
namun saat ini hanya digunakna pada pasien yang benar-benar dianggap perlu
menjalani terapi ini karena biayanya yang mahal. Supaya efektif, ESWL
memerlukan terapi tambahan berupa asam ursodeoksilat.16

Selain itu, terdapat sejumlah faktor risiko terjadinya komplikasi batu empedu
yang dapat menjadi indikasi untuk menawarkan kolesistektomi elektif
B. Penatalaksanaan Operatif

Sebaiknya tidak dilakukan terapi bedah untuk batu empedu asimptomatik.


Risiko komplikasi akibat intervensi pada penyakit asimptomatik nampak lebih
tinggi dari risiko pada penyakit simptomatik. Sekitar 25% pasien dengan batu
empedu asimptomatik akan mengalami gejala dalam waktu 10 tahun. Individu
dengan diabetes dan wanita hamil perlu menjalani pengawasan ketat untuk
menentukan apakah mereka mulai mengalami gejala atau komplikasi. Terdapat
beberapa indikasi untuk melakukan kolesistektomi pada batu empedu asimpomatik,
31
antara lain adalah:
D. Pasien dengan batu empedu besar yang berdiameter lebih dari 2 cm

E. Pasien dengan kandung empedu yang nonfungsional atau nampak mengalami


kalsifikasi (porcelain gallbladder) pada pemeriksaan pencitraan dan pada
pasien yang berisiko tinggi mengalami karsinoma kandung empedu
F. Pasien dengan cedera medula spinalis atau neuropati sensorik yang
mempengaruhi abdomen
G. Pasien dengan anemia sel sabit, dimana kita akan sulit membedakan antara
krisis yang menyebabkan nyeri dengan kolesistitis pada pasien, meskipun masih
asimptomatik.
Beberapa faktor tersebut antara lain adalah:
H. Sirosis

I. Hipertensi porta

J. Anak-anak

K. Kandidat transplantasi

L. Diabetes dengan gejala minor

M.Pasien dengan kalsifikasi kandung empedu

Pada pasien kolelitiasis yang diputuskan akan menjalani terapi operatif,


terdapat beberapa teknik pembedahan yang dapat digunakan:
1. Kolesistektomi

Pengambilan kandung empedu (kolesistektomi) umumnya diindikasikan


pada pasien yang mengalami gejala atau komplikasi akibat adanya batu empedu,
kecuali usia atau kondisi umum pasien tidak memungkinkan dilakukannya
operasi. Pada beberapa kasus empiema kandung empedu, dapat dilakukan
drainase pus sementara dari kandung empedu (kolesistostomi) sehingga
memungkinkan dilakukannya stabilisasi, untuk nantinya dilanjutkan dengan
terapi kolesistektomi elektif.
Pada pasien dengan batu empedu yang dicurigai juga memiliki batu di
saluran empedu, dokter bedah dapat melakukan kolangiografi intraoperatif pada
saat operasi kolesistektomi. Duktus biliaris komunis dapat dieksplorasi

32
menggunakan koledokoskop. Bila ditemukan adanya batu duktus biliaris
komunis, maka biasanya akan dilakukan ekstraksi intraoperatif. Alternatif lain
yang dapat ditempuh, dokter bedah dapat membuat sebuah fistula antara bagian
distal duktus biliaris dan duodenum di sebelahnya (koledokoduodenostomi),
sehingga batu dapat masuk ke dalam usus dengan aman.
Kolesistektomi yang pertama dilakukan pada akhir tahun 1800an.
Pendekatan operasi terbuka yang dikembangkan oleh Langenbuch masih
menjadi teknik standar sampai akhir tahun 1980an, dimana mulai diperkenalkan
teknik baru berupa kolesistektomi laparoskopik.26,27

Kolesistektomi laparoskopik merupakan revolusi terapi minimal invasif,


yang telah mempengaruhi semua area praktek bedah modern. Saat ini,
kolesistektomi terbuka hanya dilakukan pada kondisi tertentu saja. pendekatan
kolesistektomi terbuka dilakukan menggunakan sebuah insisi subkostal kanan
yang besar. Sebaliknya, kolesistektomi laparoskopik menggunakan 4 insisi yang
sangat kecil. Waktu pemulihan dan nyeri paskaoperasi nampak jauh lebih rendah
pada pendekatan laparoskopik.
Saat ini, kolesistektomi laparoskopik biasanya dilakukan di klinik rawat
jalan. Dengan mengurangi waktu rawat inap dan waktu yang terbuang selama
pasien tidak dapat bekerja, pendekatan laparoskopik juga dapat mengurangi
biaya kolesistektomi.9
Pada pedoman penggunaan klinis operasi laparoskopik saluran biliaris yang
dipublikasikan tahun 2010, Society of American Gastrointestinal and
Endoscopic Surgeons (SAGES) menyatakan bahwa pasien dengan kolelitiasis
simptomatik dianggap memenuhi syarat untuk operasi laparoskopik. Pasien
kolelitiasis dengan kolesistektomi laparoskopik tanpa komplikasi dapat
dipulangkan di hari yang sama bila nyeri dan mual paskaoperasi sudah terkendali
dengan baik. Pasien yang berusia lebih dari 50 tahun dapat menunjukkan risiko
yang lebih besar untuk kembali dirawat di rumah sakit.9
Selama melakukan kolesistektomi laparoskopik, seorang dokter bedah
harus mengambil semua batu yang tidak sengaja keluar melalui perforasi pada
kandung empedu. Pada beberapa kasus tertentu, mungkin perlu dilakukan
perubahan menjadi operasi terbuka. Pada pasien dengan batu empedu yang
masuk dan hilang di cavum peritoneum, direkomendasikan untuk melakukan
pemeriksaan follow-up dengan USG selama 12 bulan. Sebagian besar kejadian

33
komplikasi (biasanya terbentuk abses di sekitar batu) akan terjadi dalam jangka
waktu ini.

34
2. Kolesistostomi

Pada pasien yang berada dalam kondisi sakit kritis dengan empiema
kandung empedu dan sepsis, operasi kolesistektomi dapat berbahaya. Pada
kondisi ini, dokter bedah dapat memilih untuk melakukan kolesistostomi, suatu
prosedur minimal invasif yang dilakukan dengan memasang pipa drainase di
kandung empedu. Teknik ini biasanya dapat memperbaiki kondisi klinis pasien.
saat pasien sudah stabil, dapat dilakukan kolesistektomi definitif secara elektif.
Pada beberapa kasus, kolesistostomi juga dapat dilakukan oleh spesialis
radiologi invasif menggunakan panduan dari CT-scan. Pendekatan ini tidak
memerlukan anestesi dan nampak bermanfaat untuk pasien dengan kondisi klinis
yang tidak stabil.
3. Spincterotomi endoskopik

Bila kita tidak dapat segera melakukan pengambilan batu dalam duktus
biliaris komunis, maka dapat digunakan spincterotomi retrograde endoskopik.
Pada prosedur ini, dokter akan melakukan kanulasi duktus biliaris melalui
papilla Vater. Menggunakan spincterotome elektrokauter, dokter akan membuat
insisi dengan ukuran sekitar 1 cm melalui sphincter Oddi dan bagian
intraduodenal dari duktus biliaris komunis, sehingga menghasilkan suatu lubang
yang dapat digunakan untuk mengeksktraksi batu.

Spincterotomi retrograde endoskopik terutama bermanfaat pada pasien dengan


kondisi sakit berat yang mengalami kolangitis ascenderen akibat tersumbatnya
ampulla Vater oleh batu empedu. Indikasi lain untuk melakukan prosedur ini
adalah sebagai berikut:
o Mengambil batu duktus biliaris komunis yang tertinggal selama dilakukannya
prosedur kolesistektomi sebelumnya
o Melakukan pembersihan batu preoperatif dari duktus biliaris komunis untuk
mengeliminasi kebutuhan akan eksplorasi duktus biliaris intraoperatif,
terutama pada kondisi dimana keahlian seorang dokter bedah dalam bidang
eksplorasi laparoskopik duktus biliaris masih terbatas atau pasien
menunjukkan risiko tinggi untuk menggunakan anestesia
o Mencegah rekurensi pankreatitis akut akibat batu empedu atau komplikasi
lain dari koledokolitiasis pada pasien dengan keadaan umum yang terlalu

35
buruk untuk menjalani kolesistektomi elektif atua pada pasien dengan
prognosis jangka panjang yang buruk
Spincterotomi endoskopik intraoperatif (IOES) selama dilakukannya
kolesistektomi laparoskopik dapat menjadi terapi alternatif untuk spincterotomi
endoskopik preoperatif (POES) dilanjutkan dengan kolesistektomi
laparoskopik; hal ini disebabkan karena IOES memiliki efektivitas dan tingkat
keamanan yang sama dengan POES serta dapat mengurangi lamanya perawatan
di rumah sakit.9
C. Komplikasi Kolesistektomi

Komplikasi dini setelah kolesistektomi adalah atelektasis dan gangguan


paru lainnya, pembentukan abses (sering subfrenik), perdarahan eksterna dan
interna, fistula biliaris-enterik dan kebocoran empedu. Ikterus mungkin
mengisyaratkan absorpsi empedu dari suatu sumber intraabdomen akibat kebocoran
empedu atau sumbatan mekanis duktus koledokus oleh batu, bekuan darah
intraduktus atau tekanan ekstrinsik. Untuk mengurangi insidensi komplikasi dini
tersebut secara rutin dilakukan kolangiografi intraoperatif sewaktu
kolesistektomi.15
Secara keseluruhan, kolesistektomi merupakan operasi yang sangat berhasil
yang menghasilkan kesembuhan lengkap atau hampir lengkap atas gejala pada 75
sampai 90 persen pasien. Penyebab paling sering pada gejala pascakolesistektomi
yang menetap adalah adanya gangguan ekstrabiliaris yang tidak diketahui
(misalnya esofagitis refluks, ulkus peptikum, sindrom pascagastrektomi,
pankreatitis atau sindroma usus iritabel). Namun, pada sebagian kecil pasien
terdapat gangguan duktus kandung empedu ekstrahepatik yang menyebabkan
gejala persisten.15
3.7.2 Penatalaksanaan untuk Kolesistitis

A. Terapi konservatif

Walaupun intervensi bedah tetap merupakan terapi utama untuk kolestasis


akut dan komplikasinya, mungkin diperlukan periode stabilisasi di rumah sakit
sebelum kolesistektomi. Pengobatan umum termasuk istirahat total, perbaiki status
hidrasi pasien, pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, koreksi elektrolit, obat
penghilang rasa nyeri seperti petidin dan antispasmodik. Pemberian antibiotik pada
fase awal sangat penting untuk mencegah komplikasi seperti peritonitis, kolangitis

36
dan septisemia. Golongan ampisilin, sefalosporin dan metronidazol cukup memadai
untuk mematikan kuman – kuman yang umum terdapat pada kolesistitis akut seperti
E. Coli, Strep. faecalis dan Klebsiela, namun pada pasien diabetes dan pada pasien
yang memperlihatkan tanda sepsis gram negatif, lebih dianjurkan pemberian
antibiotik kombinasi.10,15
Berdasarkan rekomendasi Sanford, dapat diberikan ampisilin/sulbactam
dengan dosis 3 gram / 6 jam, IV, cefalosporin generasi ketiga atau metronidazole
dengan dosis awal 1 gram, lalu diberikan 500 mg / 6 jam, IV. Pada kasus – kasus
yang sudah lanjut dapat diberikan imipenem 500 mg / 6 jam, IV. Bila terdapat mual
dan muntah dapat diberikan anti – emetik atau dipasang nasogastrik tube.
Pemberian CCK secara intravena dapat membantu merangsang pengosongan
kandung empedu dan mencegah statis aliran empedu lebih lanjut. Pasien – pasien
dengan kolesistitis akut tanpa komplikasi yang hendak dipulangkan harus
dipastikan tidak demam dengan tanda – tanda vital yang stabil, tidak terdapat tanda
– tanda obstruksi pada hasil laboratorium dan USG, penyakit – penyakit lain yang
menyertai (seperti diabetes mellitus) telah terkontrol. Pada saat pulang,

pasien diberikan antibiotik yang sesuai seperti Levofloxasin 1 x 500 mg PO dan


Metronidazol 2 x 500 mg PO, anti-emetik dan analgesik yang sesuai.10,15
B. Terapi bedah

Saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan,


apakah sebaiknya dilakukan secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6 – 8 minggu setelah
terapi konservatif dan keadaaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50 % kasus
akan membaik tanpa tindakan bedah. Ahli bedah yang pro operasi dini menyatakan,
timbul gangren dan komplikasi kegagalan terapi konservatif dapat dihindarkan dan
lama perawatan di rumah sakit menjadi lebih singkat dan biaya daat ditekan.
Sementara yang tidak setuju menyatakan, operasi dini akan menyebabkan
penyebaran infeksi ke rongga peritoneum dan teknik operasi lebih sulit karena
proses infalamasi akut di sekitar duktus akan mengaburkan anatomi.
Namun, kolesistostomi atau kolesistektomi darurat mungkin perlu
dilakukan pada pasien yang dicurigai atau terbukti mengalami komplikasi
kolesistitis akut, misalnya empiema, kolesistitis emfisematosa atau perforasi. Pada
kasus kolesistitis akut nonkomplikata, hampir 30 % pasien tidak berespons terhadap
terapi medis dan perkembangan penyakit atau ancaman komplikasi menyebabkan
operasi perlu lebih dini dilakukan (dalam 24 sampai 72 jam). Komplikasi teknis
37
pembedahan tidak meningkat pada pasien yang menjalani kolesistektomi dini
dibanding kolesistektomi yang tertunda. Penundaan intervensi bedah mungkin
sebaiknya dicadangkan untuk (1) pasien yang kondisi medis keseluruhannya
memiliki resiko besar bila dilakukan operasi segera dan (2) pasien yang diagnosis
kolesistitis akutnya masih meragukan.28

Kolesistektomi dini/segera merupakan terapi pilihan bagi sebagian besar pasien


kolesistitis akut. Di sebagian besar sentra kesehatan, angka mortalitas untuk
kolesistektomi darurat mendekati 3 %, sementara resiko mortalitas untuk
kolesistektomi elektif atau dini mendekati 0,5 % pada pasien berusia kurang dari
60 tahun. Tentu saja, resiko operasi meningkat seiring dengan adanya penyakit pada
organ lain akibat usia dan dengan adanya komplikasi jangka pendek atau jangka
panjang penyakit kandung empedu. Pada pasien kolesistitis yang sakit berat atau
keadaan umumnya lemah dapat dilakukan kolesistektomi dan drainase selang
terhadap kandung empedu. Kolesistektomi elektif kemudian dapat dilakukan pada
lain waktu.29

38
BAB IV
KESIMPULAN

Kolelitiasis adalah penyakit batu saluran empedu. Etiologi, faktor risiko dan
patogenesis untuk kolesistitis umumnya akan berbeda-beda menurut jenis batu
empedu (batu kolesterol dan batu pigmen). Faktor yang berhubungan dengan
kejadian kolelitiasis adalah jenis kelamin, suku bangsa, usia, obesitas, kehamilan,
stasis cairan empedu, obat-obatan dan faktor keturunan.
Kolesistitis merupakan inflamasi pada dinding kandung empedu yang
paling sering disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus akibat adanya kolelitiasis,
yang umumnya disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam.
Faktor risiko kolesistitis umumnya serupa dengan kolelitiasis.
Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan gejala
(asimtomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat kolesistitis, nyeri bilier,
nyeri abdomen kronik berulang ataupun dispepsia, mual. Sementara keluhan yang
agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut di sebelah kanan atas
epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan suhu tubuh. Keluhan tersebut
dapat memburuk secara progresif. Kadang – kadang rasa sakit menjalar ke pundak
atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa reda.
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Kolelitiasis dapat ditangani secara konservatif maupun
secara operatif. Pada batu empedu yang simptomatik, umumnya diindikasikan
untuk melakukan intervensi bedah definitif menggunakan kolesistektomi,
meskipun pada beberapa kasus dapat dipertimbangkan untuk meluruhkan batu
menggunakan terapi medikamentosa. Untuk kolesistitis, dapat diberikan terapi
simptomatik, terapi untuk kelainan yang mendasari serta antibiotik.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Lesmana L. Batu Empedu dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi
3. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000.380- 4.
2. Hunter JG. Gallstones Diseases. In : Schwart’s Principles of Surgery 8th
edition. 2007. US : McGraw-Hill Companies.826-42.
3. Schirmer BD, Winters KL, Edlich RF. Cholelithiasis and cholecystitis. J
Long Term Eff Med Implants. 2005;15(3):329-38.
4. Greenbergen N.J., Isselbacher K.J. Diseases of the Gallbladder and Bile
Ducts, dari Harrison’s Princi-ples of Internal Medicine, Edisi ke-14,
hal.1725-1736, Editor Fauci dkk. Mc Graw Hill, 1998
5. Jacobson I.M. Gallstones, dari Current Diagnosis and Treatment in Gastro-
enterology, Editor Grendell J.H., McQuaid K.R., Friedman S.L., hal. 668-
678, Appleton & Lange , 1996
6. Malet P.F. Complications of Chole- lithiasis, dari Liver and Biliary
Diseases, Edisi II, hal 673-691, Editor Kaplowitz N., Williams & Wilkins,
1996
7. Huffman JL, Schenker S. Acute acalculous cholecystitis - a review. Clin
Gastroenterol Hepatol. Sep 9 2009
8. Sudoyo W. Aru, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I Edisi IV. EGC. Jakarta. 2009.
9. Bloom AA, Katz J. Cholecystitis. Diunduh tanggal : 25 Juli 2013. Dari
[online] http://emedicine.medscape.com/article/171886-overview
10. Heuman DM, Katz J. Cholelithiasis. Diunduh tanggal : 25 Juli 2013. Dari
[online] http://emedicine.medscape.com/article/175667-overview
11. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005. 570-9.

40
12. Price SA, Wilson LM. Kolelitiasis dan Kolesistisis dalam : Patofisiologi.
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, edisi 4. Jakarta : EGC. 1995. 430-
44.
13. Guyton AC, Hall JE. Sistem Saluran Empedu dalam: Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi ke-9. Jakarta: EGC, 1997. 1028-1029.
14. Doherty GM. Biliary Tract. In : Current Diagnosis & Treatment Surgery
13th edition. 2010. US : McGraw-Hill Companies,p544-55.
15. Poupon , osmorduc , o lle P , hr tien , orpechot ,ha ouill res , et al.
Genotype- phenotype relationships in the low- phospholipid associated
cholelithiasis syndrome. A study of 156 consecutive patients. Hepatology. Mar
26 2013
16. Sarr MG, Cameron JL. Sistem empedu dalam : Buku Ajar Bedah.
Esentials of Surgery, edisis ke-2. Jakarta: EGC, 1996. 121-123
17. Garden Jet et al. Gallstone dalam: Principle and Practice of Surgery.
China: Elseiver, 2007. 23.
18. Bateson M. Batu Empedu dan Penyakit Hati. Jakarta: Arcan, 1991. 35-41.

19. Portincasa P, Moschetta A, Palasciano G. Cholesterol gallstone disease.


Lancet. Jul 15 2006;368(9531):230-9.
20. Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Biliary Tract. In :
Sabiston Textbook of Surgery 17th edition. 2004. Pennsylvania : Elsevier.
21. Donovan JM. Physical and metabolic factors in gallstone pathogenesis.
Gastroenterol Clin North Am. 2009;28(1):75-97.
22. Cullen JJ, Maes EB, Aggrawal S, et al. Effect of endotoxin on opossum
gallbladder motility: a model of acalculous cholecystitis. Ann Surg.
2009;232(2):202-7.
23. Sitzmann JV, Pitt HA, Steinborn PA, et al. Cholecystokinin prevents
parenteral nutrition induced biliary sludge in humans. Surg Gynecol Obstet.
2008;170(1):25-31.
24. Kim YK, Kwak HS, Kim CS, Han YM, Jeong TO, Kim IH, et al. CT
findings of mild forms or early manifestations of acute cholecystitis. Clin
Imaging. 2009;33(4):274-80.

41
25. Sahai AV, Mauldin PD, Marsi V, et al. Bile duct stones and
laparoscopic cholecystectomy: a decision analysis to assess the roles
of intraoperative cholangiography, EUS, and ERCP. Gastrointest
Endosc. 2009;49(3 Pt1):334-43.
26. Binenbaum SJ, Teixeira JA, Forrester GJ, Harvey EJ, Afthinos J,
Kim GJ, et al. Single-incision laparoscopic cholecystectomy using a
flexible endoscope. Arch Surg. 2009;144(8):734-8.
27. Ghazal AH, Sorour MA, El-Riwini M, El-Bahrawy H. Single-step
treatment of gall bladder and bile duct stones: a combined
endoscopic- laparoscopic technique. Int J Surg. Aug 2009;7(4):338-
46.
28. Wilson E, Gurusamy K, Gluud C, Davidson BR. Cost-utility and
value of information analysis of early versus delayed laparoscopic
cholecystectomy for acute cholecystitis. Br J Surg. 2010;97(2):210-
9.
29. Mutignani M, Iacopini F, Perri V, et al. Endoscopic gallbladder
drainage for acute cholecystitis: technical and clinical results.
Endoscopy. 2009;41(6):539-46.

42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54

Anda mungkin juga menyukai