Peka Siap
Peka Siap
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1
akalkulosa.7 Dari semua warga Amerika Serikat yang menderita kolelitiasis, sekitar
sepertiganya juga menderita kolesistitis akut.8
Faktor risiko kolesistitis umumnya serupa dengan kolelitiasis.9,10 Penyakit
ini lebih sering terjadi pada wanita wanita hamil dan yang mengkonsumsi obat -
obat hormonal. Hal ini mungkin berkaitan dengan kadar progesteron yang tinggi
yang menyebabkan hambatan aliran empedu.
Di Indonesia, walaupun belum ada data epidemiologis penduduk, angka
kejadian kolesistitis dan kolelitiasis umumnya relatif lebih rendah dibandingkan
dengan negara - negara barat. Meskipun dikatakan bahwa pasien kolesistitis akut
umumnya perempuan, gemuk dan berusia di atas 40 tahun, tetapi menuruit Lesman
LA, dkk, hal ini sering tidak sesuai untuk pasien – pasien di negara kita.8
Pasien yang asimptomatik umumnya dapat ditangani secara konsrevatif,
Namun, sekitar 35% pasien dengan kolelitiasis asimptomatik pada akhirnya dapat
mengalami komplikasi atau gejala berulang sehingga memerlukan terapi bedah.
Selama dua dekade terakhir, prinsip umum penanganan batu saluran empedu tidak
banyak mengalami perubahan. Namun, metode terapi yang digunakan sudah
banyak berkembang. Saat ini, kolesistektomi laparoskopik, laparoskopi eksplorasi
duktus biliaris komunis, dan terapi retrograde endoskopik untuk batu duktus biliaris
komunis (CBD) nampak memainkan peranan penting untuk terapi batu saluran
empedu. Namun, terapi pilihan yang utama untuk batu saluran empedu tetap
menggunakan prosedur kolesistektomi.3,9
1.2. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk menjelaskan berbagai aspek yang
berhubungan dengan kolelitiasis dan kolesistitis serta penanggulangan dan
pencegahannya. Pembaca diharapkan dapat memahami dan mengetahui
penatalaksanaan kolelitiasis dan kolesistitis, serta penanggulangan dan
pencegahannya sehingga diharapkan dapat melakukan usaha-usaha promotif,
preventif, kuratif, maupun rehabilitatif terutama di bidang bedah.
2
BAB II
ANATOMI FISIOLOGI
2.1. Anatomi1,4,11
Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear yang
terletak pada permukaan visceral hepar, panjangnya sekitar 7 – 10 cm. Kapasitasnya
sekitar 30-50 cc dan dalam keadaan terobstruksi dapat menggembung sampai 300
cc. Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat
dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hepar yang dimana fundus
berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung rawan costa IX
kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan arahnya keatas,
belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang berjalan dalam
omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus comunis
membentuk duktus koledokus. Peritoneum mengelilingi fundus vesica fellea
dengan sempurna menghubungkan corpus dan collum dengan permukaan visceral
hati.
2.2. Fisiologi1,2,4,12,13
4
Empedu dibentuk oleh sel-sel hati dan ditampung di dalam kanalikuli.
Cairan ini kemudian disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam
septum interlobaris. Saluran ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus hepatikus
kanan dan kiri. Kemudian keduanya membentuk duktus biliaris komunis. Pada
saluran ini sebelum mencapai doudenum terdapat cabang ke kandung empedu yaitu
duktus sistikus yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu sebelum
disalurkan ke duodenum.
Menurut Guyton & Hall, 1997 empedu memiliki dua fungsi penting:
5
Lemak menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa
duodenum, hormon kemudian masuk kedalam darah, menyebabkan kandung
empedu berkontraksi. Pada saat yang sama, otot polos yang terletak pada ujung
distal duktus coledokus dan ampula relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya
empedu yang kental ke dalam duodenum.
Selain kolesistokinin, kandung empedu juga dirangsang kuat oleh serat -
serat saraf yang menyekresi asetilkolin dari sistem saraf vagus dan enterik.
Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase Cephalik dari sekresi cairan
lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan menyebabkan kontraksi dari
kandung empedu. Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke
duodenum dan mengenai Sphincter Oddi. Sehingga pada keadaan dimana kandung
empedu lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar walaupun sedikit.
Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan neurologis maupun
hormonal memegang peran penting dalam perkembangan inti batu.
2.2.2 Komposisi Cairan Empedu11,13
6
Fungsi garam empedu adalah menurunkan tegangan permukaan dari
partikel lemak yang terdapat dalam makanan, sehingga partikel lemak yang besar
dapat dipecah menjadi partikel-partikel kecil untuk dapat dicerna lebih lanjut serta
membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan vitamin yang larut
dalam lemak.
Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan
globin. Heme bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole menjadi bilverdin
yang segera berubah menjadi bilirubin bebas. Zat ini di dalam plasma terikat erat
oleh albumin. Sebagian bilirubin bebas diikat oleh zat lain (konjugasi) yaitu 80%
oleh glukuronide. Bila terjadi pemecahan sel darah merah berlebihan misalnya pada
malaria maka bilirubin yang terbentuk sangat banyak.
Berikut ini adalah tabel komposisi cairan empedu :
Elektrolit – –
7
BAB III
KOLELITIASIS DAN KOLESISTITIS
3.1. Definisi9,10,14
8
3.2. Etiologi9,10,15
9
1. Batu kolesterol
adalah:
a. Jenis kelamin
Batu empedu lebih sering terjadi pada wanita dari pada laki-laki dengan
perbandingan 4 : 1. Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena
kolelitiasis dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen
berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu.16
b. Suku bangsa
Sindroma metabolik terkait obesitas, resistensi insulin, diabetes mellitus tipe II,
hipertensi, dan hiperlipidemia berhubungan dengan peningkatan sekresi
kolesterol hepar dan merupakan faktor risiko utama untuk terbentuknya batu
kolesterol.9
e. Kehamilan
Batu kolesterol lebih sering ditemukan pada wanita yang sudah mengalami lebih
dari satu kali kehamilan. Faktor utama yang diperkirakan turut berperan pada
risiko ini adalah tingginya kadar progesteron selama kehamilan. Progesteron
dapat mengurangi kontraktilitas kandung empedu, sehingga
10
menyebabkan terjadinya retensi yang lebih lama dan pembentukan cairan
empedu yang lebih pekat di dalam kandung empedu.9
f. Stasis cairan empedu
Penelitian pada kembar identik dan fraternal menunjukkan bahwa sekitar 25%
kasus batu kolesterol memiliki predisposisi genetik. Terdapat sekurangnya satu
lusin gen yang berperan dalam menimbulkan risiko ini.19 Dapat terjadi suatu
sindroma kolelitiasis terkait kadar fosfolipid yang rendah pada individu dengan
defisiensi protein transport bilier herediter yang diperlukan untuk sekresi
lecithin.15
2. Batu pigmen hitam dan coklat9
12
Batu pigmen coklat dapat terbentuk bila terjadi stasis intraduktal disertai
kolonisasi bakteri kronik cairan empedu. Di Amerika Serikat, kombinasi ini paling
sering ditemukan pada pasien dengan striktura biliaris paska-pembedahan atau kista
koledokus. Di daerah pertanian Asia Timur, infestasi cacing saluran empedu dapat
menyebabkan striktura biliaris dan memicu terbentuknya batu pigmen coklat di
seluruh saluran bilier intrahepatik dan ekstrahepatik. Kelainan ini, yang disebut
sebagai hepatolithiasis, dapat menyebabkan kolangitis rekuren dan menjadi
predisposisi terjadinya sirosis biliaris dan kolangiosarkoma.
Seperti pada kolelitiasis, penyebab kolesistitis juga berbeda menurut
jenisnya. Faktor risiko untuk terjadinya kolesistitis kakulosa umumnya serupa
dengan kolelitiasis dan meliputi jenis kelamin wanita, kelompok etnik tertentu,
obesitas atau penurunan berat badan yang cepat, obat-obatan (terutama terapi
hormonal pada wanita), kehamilan dan usia. Sementara itu, kolesistitis akalkulosa
berhubungan dengan penyakit yang berhubungan dengan stasis cairan empedu,
seperti penyakit kritis, operasi besar atau trauma/luka bakar berat, sepsis, pemberian
nutrisi parenteral total (TPN) jangka panjang, puasa jangka panjang, penyakit
jantung (termasuk infark miokardium), penyakit sel sabit, infeksi Salmonella,
diabetes mellitus, pasien AIDS yang terinfeksi cytomegalovirus, cryptosporidiosis,
atau microsporidiosis. Pasien dengan imunodefisiensi juga menunjukkan
peningkatan risiko kolesistitis akibat berbagai sumber infeksi lain. Dapat dijumpai
sejumlah kasus kolesistitis idiopatik.10
3.3 Epidemiologi2,3,7,8
13
Sembilan puluh persen kasus kolesistitis terjadi akibat adanya batu duktus
sistikus (kolesistitis kalkulosa), sementara 10% sisanya merupakan kasus
kolesistitis akalkulosa. Dari semua warga Amerika Serikat yang menderita
kolelitiasis, sekitar sepertiganya juga menderita kolesistitis akut.
3.3. Patogenesis
Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang
pada saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan
pembentuknya. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna,
akan tetapi, faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan
metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan
infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu mungkin merupakan yang
paling penting pada pembentukan batu empedu, karena terjadi pengendapan
kolesterol dalam kandung empedu. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat
meningkatkan supersaturasi progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan
unsur tersebut. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian
dalam pembentukan batu, melalui peningkatan dan deskuamasi sel dan
pembentukan mukus.
14
Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus melalui
duktus sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut dapat
menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau komplet sehingga
menimbulkan gejalah kolik empedu. Kalau batu terhenti di dalam duktus sistikus
karena diameternya terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada
disana sebagai batu duktus sistikus.K3[7]
3.3.2 Patofisiologi pembentukan batu empedu
A. Batu Kolesterol9,14,20
Batu kolestrol murni merupakan hal yang jarang ditemui dan prevalensinya
kurang dari 10%. Biasanya merupakan soliter, besar, dan permukaannya halus.
Empedu yang di supersaturasi dengan kolesterol bertanggung jawab bagi lebih dari
90 % kolelitiasis di negara Barat. Sebagian besar empedu ini merupakan batu
kolesterol campuran yang mengandung paling sedikit 75 % kolesterol berdasarkan
berat serta dalam variasi jumlah fosfolipid, pigmen empedu, senyawa organik dan
inorganik lain. Kolesterol dilarutkan di dalam empedu dalam daerah hidrofobik
micelle, sehingga kelarutannya tergantung pada jumlah relatif garam empedu dan
lesitin. Ini dapat dinyatakan oleh grafik segitiga, yang koordinatnya merupakan
persentase konsentrasi molar garam empedu, lesitin dan kolesterol.
Proses fisik pembentukan batu kolesterol terjadi dalam tiga tahap:
15
kolesterol akan relatif tinggi rasio ini bisa mencapai 1 : 13. Pada rasio seperti
ini kolesterol akan mengendap.
Kadar kolesterol akan relatif tinggi pada keadaan sebagai berikut :
o Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun misalnya pada gangguan
ileum terminale akibat peradangan atau reseksi (gangguan sirkulasi
enterohepatik).
o Pemakaian tablet KB (estrogen) sekresi kolesterol meningkat dan kadar
chenodeoxycholat rendah, padahal chenodeoxycholat efeknya melarutkan
batu kolesterol dan menurunkan saturasi kolesterol. Penelitian lain
menyatakan bahwa tablet KB pengaruhnya hanya sampai tiga tahun.
2. Fase Pembentukan inti batu
Inti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau heterogen. Inti batu
heterogen bisa berasal dari garam empedu, calcium bilirubinat atau sel-sel yang
lepas pada peradangan. Inti batu yang homogen berasal dari kristal kolesterol
sendiri yang menghadap karena perubahan rasio dengan asam empedu.
3. Fase Pertumbuhan batu menjadi besar.
Untuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk harus cukup waktu
untuk bisa berkembang menjadi besar. Pada keadaan normal dimana kontraksi
kandung empedu cukup kuat dan sirkulasi empedu normal, inti batu yang sudah
terbentuk akan dipompa keluar ke dalam usus halus. Bila konstruksi kandung
empedu lemah, kristal kolesterol yang terjadi akibat supersaturasi akan melekat
pada inti batu tersebut. Hal ini mudah terjadi pada penderita Diabetes Mellitus,
kehamilan, pada pemberian total parental nutrisi yang lama, setelah operasi
trunkal vagotomi, karena pada keadaan tersebut kontraksi kandung empedu
16
kurang baik.
17
Sekresi mucus yang berlebihan dari mukosa kandung empedu akan mengikat kristal
kolesterol dan sukar dipompa keluar.
B. Batu pigmen2
1. Saturasi bilirubin
18
keadaan infeksi saturasi bilirubin terjadi karena konversi konjugasi bilirubin
menjadi unkonjugasi yang sukar larut. Konversi terjadi karena adanya enzim b
glukuronidase yang dihasilkan oleh Escherichia Coli. Pada keadaan normal
cairan empedu mengandung glokaro 1,4 lakton yang menghambat kerja
glukuronidase.
2. Pembentukan inti batu
Pembentukan inti batu selain oleh garam-garam calcium dan sel bisa juga
oleh bakteri, bagian dari parasit dan telur cacing. Tatsuo Maki melaporkan
bahwa 55 % batu pigmen dengan inti telur atau bagian badan dari cacing ascaris
lumbricoides. Sedangkan Tung dari Vietnam mendapatkan 70 % inti batu adalah
dari cacing tambang.
C. Batu campuran14,20
19
lisolesitin dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung
empedu yang diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi.21
Peradangan yang disebabkan oleh bakteri mungkin berperan pada 50
sampai 85 persen pasien kolesistitis akut. Organisme yang paling sering dibiak dari
kandung empedu para pasien ini adalah E. Coli, spesies Klebsiella, Streptococcus
grup D, spesies Staphylococcus dan spesies Clostridium. Endotoxin yang
dihasilkan oleh organisme – organisme tersebut dapat menyebabkan hilangnya
lapisan mukosa, perdarahan, perlekatan fibrin, yang akhirnya menyebabkan
iskemia dan selanjutnya nekrosis dinding kandung empedu.22
20
parasit kandung empedu. Kolesistitis akalkulus mungkin juga tampak bersama
dengan berbagai penyakit sistemik lainnya (sarkoidosis, penyakit kardiovaskuler,
sifilis, tuberkulosis, aktinomises).4
Selain itu, dapat timbul juga pada pasien yang dirawat cukup lama yang
mendapat nutrisi secara parenteral. Hal ini dapat terjadi karena kandung empedu
tidak mendapatkan stimulus dari kolesistokinin (CCK) yang berfungsi untuk
mengosongkan kantong empedu, sehingga terjadi kondisi statis dari cairan
empedu.23
3.4 Manifestasi Klinis
A. Asimtomatik
Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan gejala
(asimtomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat kolesistitis, nyeri bilier,
nyeri abdomen kronik berulang ataupun dispepsia, mual. Studi perjalanan penyakit
sampai 50 % dari semua pasien dengan batu kandung empedu, tanpa
mempertimbangkan jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25
% dari pasien yang benar-benar mempunyai batu empedu asimtomatik akan
merasakan gejalanya yang membutuhkan intervensi setelah periode waktu 5 tahun.
Tidak ada data yang merekomendasikan kolesistektomi rutin dalam semua pasien
dengan batu empedu asimtomatik.2,5
B. Simtomatik
21
C. Komplikasi
Pada batu duktus koledokus, riwayat nyeri atau kolik di epigastrium dan
perut kanan atas disertai tanda sepsis, seperti demam dan menggigil bila terjadi
kolangitis. Apabila timbul serangan kolangitis yang umumnya disertai obstruksi,
akan ditemukan gejala klinis yang sesuai dengan beratnya kolangitis tersebut.
Kolangitis akut yang ringan sampai sedang biasanya kolangitis bakterial non
piogenik yang ditandai dengan trias Charcot yaitu demam dan menggigil, nyeri
didaerah hati, dan ikterus. Apabila terjadi kolangiolitis, biasanya berupa kolangitis
piogenik intrahepatik, akan timbul 5 gejala pentade Reynold, berupa tiga gejala trias
Charcot, ditambah syok, dan kekacauan mental atau penurunan kesadaran sampai
koma.2
Koledokolitiasis sering menimbulkan masalah yang sangat serius karena
komplikasi mekanik dan infeksi yang mungkin mengancam nyawa. Batu duktus
koledokus disertai dengan bakterobilia dalam 75% persen pasien serta dengan
adanya obstruksi saluran empedu, dapat timbul kolangitis akut. Episode parah
kolangitis akut dapat menyebabkan abses hati. Migrasi batu empedu kecil melalui
ampula Vateri sewaktu ada saluran umum diantara duktus koledokus distal dan
duktus pankreatikus dapat menyebabkan pankreatitis batu empedu. Tersangkutnya
batu empedu dalam ampula akan menyebabkan ikterus obstruktif.20
3.4.3 Manifestasi Kolesistitis
Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut
di sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan suhu
tubuh. Keluhan tersebut dapat memburuk secara progresif. Kadang – kadang rasa
sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60
menit tanpa reda. Berat ringannya keluhan sangat bervariasi tergantung dari adanya
22
kelainan inflamasi yang ringan sampai dengan gangren atau perforasi kandung
empedu. Sekitar 60 – 70% pasien melaporkan adanya riwayat serangan yang
sembuh spontan.8
Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan
penggetaran atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien mengalami
anoreksia dan sering mual. Muntah relatif sering terjadi dan dapat menimbulkan
gejala dan tanda deplesi volume vaskuler dan ekstraseluler. Pada pemeriksaan fisis,
kuadran kanan atas abdomen hampir selalu nyeri bila dipalpasi. Pada seperempat
sampai separuh pasien dapat diraba kandung empedu yang tegang dan membesar.
Inspirasi dalam atau batuk sewaktu palpasi subkosta kudaran kanan atas biasanya
menambah nyeri dan menyebabkan inspirasi terhenti (tanda Murphy).8
Ketokan ringan pada daerah subkosta kanan dapat menyebabkan
peningkatan nyeri secara mencolok. Nyeri lepas lokal di kuadran kanan atas sering
ditemukan, juga distensi abdomen dan penurunan bising usus akibat ileus paralitik,
tetapi tanda rangsangan peritoneum generalisata dan rigiditas abdomen biasanya
tidak ditemukan, asalkan tidak ada perforasi. Ikterus dijumpai pada 20% kasus,
umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila konsentrasi bilirubin
tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatik. Pada pasien
– pasien yang sudah tua dan dengan diabetes mellitus, tanda dan gejala yang ada
tidak terlalu spesifik dan kadang hanya berupa mual saja.8
Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat dibedakan
dengan kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien
dengan keadaan inflamasi kandung empedu akut yang sudah parah walaupun
sebelumnya tidak terdapat tanda – tanda kolik kandung empedu. Biasanya pasien
sudah jatuh ke dalam kondisi sepsis tanpa terdapat tanda – tanda kolesistitis akut
yang jelas sebelumnya.15
23
3.5 Diagnosis 1,4
A. Anamnesis
B. Pemeriksaan Fisik9
Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang
teraba hatidan sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar bilirubin darah
kurang dari 3 mg/dl, gejal ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu
bertambah berat, akan timbul ikterus klinis.
24
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat
terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan
ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar
bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus
koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum
biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut.1
2. Pemeriksaan Radiologis
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas
karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak.
Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium
tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung
empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai
massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam
usus besar, di fleksura hepatika.1
25
3. Pemeriksaan Ultrosonografi (USG)
USG akan menunjukkan batu di kandung empedu dengan sensitivitas dan
spesifisitas > 90 %. Terdapat batu dengan bayangan akustik dan mencerminkan
gelombang ultrasound kembali ke transduser ultrasonik. Karena batu memblokir
bagian dari gelombang suara ke daerah belakang dan menghasilkan bayangan
akustik. 3
26
Gambar 8. Kolelitiasis terlihat hiperekoik dengan bayangan akuistik di bawahnya
4. Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena
relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga
dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan
ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan
hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati.
Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung
empedu.1
27
empedu dipertimbangkan.15
Pemindaian saluran empedu dengan radionuklida (mis. HDA) dapat
memberikan konfirmasi bila pada pemeriksaan pencitraan hanya tampak duktus
kandung empedu tanpa visualisasi kandung empedu.15 Foto polos abdomen tidak
dapat memperlihatkan gambaran kolesistitis akut. Hanya pada 15 % pasien
kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus pandang (radiopak) oleh karena
mengandung kalsium cukup banyak. Kolesistografi oral tidak dapat
memperlihatkan gambaran kandung empedu bila ada obstruksi sehingga
pemeriksaan ini tidak bermanfaat untuk kolesistitis akut. Gambaran adanya
kalsifikasi diffus dari kandung empedu (empedu porselain) menunjukkan adanya
keganasan pada kandung empedu.10
Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebaiknya dikerjakan secara rutin
dan sangat bermanfaat untuk memprlihatkan besar, bentuk, penebalan dinding
kandung empedu, batu dan saluran empedu ekstra hepatik. Nilai kepekaan dan
ketepatan USG mencapai 90 – 95%. Adapun gambaran di USG yang pada
kolesistitis akut diantaranya adalah cairan perikolestik, penebalan dinding kandung
empedu lebih dari 4 mm dan tanda sonographic Murphy. Adanya batu empedu
membantu penegakkan diagnosis.10
Sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan CT scan abdomen dan MRI
dilaporkan lebih besar dari 95%. Pada kolesistitis akut dapat ditemukan cairan
perikolestik, penebalan dinding kandung empedu lebih dari 4 mm, edema subserosa
tanpa adanya ascites, gas intramural dan lapisan mukosa yang terlepas.
Pemeriksaan dengan CT – scan dapat memperlihatkan adanya abses perikolesistik
yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat pada pemeriksaan USG.24
Gambar 6. CT Scan abdomen pada pasien kolesistitis akut menunjukkan adanya batu empedu dan
penebalan dinding kandung empedu.
28
Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 96n
Tc6 Iminodiacetic acid mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari USG tapi teknik
ini tidak mudah. Normalnya gambaran kandung empedu, duktus biliaris komunis
dan duodenum terlihat dalam 30-45 menit setelah penyuntikan zat warna.
Terlihatnya gambaran duktus koledokus tanpa adanya gambaran kandung empedu
pada pemeriksaan kolesistografi oral atau scintigrafi sangat menyokong kolesistitis
akut.8
Gambar 7. Kiri: Scintigrafi normal, HIDA mengisi kandung empedu setelah 45 menit; Kanan:
pada pasien kolesistitis, HIDA tidak mengisi kandung empedu setelah 1 jam 30 menit
29
terjadinya peningkatan morbiditas dan mortalitas pada pasien.
Untuk kolelitiasis, dapat dipertimbangkan kemungkinan adanya patologi
intra-abdominal maupun ekstra-abdominal yang menyebabkan nyeri abdomen
bagian atas. Beberapa penyakit yang perlu dipertimbangkan adalah penyakit ulkus
peptik, pankreatitis (akut atau kronik), hepatitis, dispepsia, gastroesophageal reflux
disease (GERD), irritable bowel syndrome, spasme esofagus, pneumonia, nyeri
dada karena penyakit jantung, ketoasidosis diabetik, apendisitis, striktura duktus
biliaris, kolangiokarsinoma, kolesistitis, atau kanker pankreas.9
Untuk kolesistitis akut, dapat dipertimbangkan diagnosis banding untuk
nyeri perut kanan atas yang tiba – tiba, perlu dipikirkan seperti penjalaran nyeri
saraf spinal, kelainan organ di bawah diafragma seperti appendiks yang retrosekal,
sumbatan usus, perforasi ulkus peptikum, pankreatitis akut, pielonefritis dan infark
miokard. Pada wanita hamil kemungkinannya dapat preeklampsia, appendisitis dan
kolelitiasis. Pemeriksaan lebih lanjut dan penanganan harus dilakukan segera
karena dapat mengancam nyawa ibu dan bayi. Penyakit lain yang dapat
dipertimbangkan antara lain adalah aneurisma aorta abdominal, iskemia mesenterik
akut, dan kolik biliaris.10
3.7 Penatalaksanaan3,9,10
30
melakukan intervensi bedah definitif menggunakan kolesistektomi, meskipun pada
beberapa kasus dapat dipertimbangkan untuk meluruhkan batu menggunakan terapi
medikamentosa. Pada kolelitiasis non-komplikata dengan kolik biliaris,
penanganan medikamentosa dapat menjadi alternatif untuk beberapa pasien
tertentu, terutama yang menunjukkan risiko tinggi bila menjalani operasi.9
A. Penatalaksanaan konservatif
Selain itu, terdapat sejumlah faktor risiko terjadinya komplikasi batu empedu
yang dapat menjadi indikasi untuk menawarkan kolesistektomi elektif
B. Penatalaksanaan Operatif
I. Hipertensi porta
J. Anak-anak
K. Kandidat transplantasi
32
menggunakan koledokoskop. Bila ditemukan adanya batu duktus biliaris
komunis, maka biasanya akan dilakukan ekstraksi intraoperatif. Alternatif lain
yang dapat ditempuh, dokter bedah dapat membuat sebuah fistula antara bagian
distal duktus biliaris dan duodenum di sebelahnya (koledokoduodenostomi),
sehingga batu dapat masuk ke dalam usus dengan aman.
Kolesistektomi yang pertama dilakukan pada akhir tahun 1800an.
Pendekatan operasi terbuka yang dikembangkan oleh Langenbuch masih
menjadi teknik standar sampai akhir tahun 1980an, dimana mulai diperkenalkan
teknik baru berupa kolesistektomi laparoskopik.26,27
33
komplikasi (biasanya terbentuk abses di sekitar batu) akan terjadi dalam jangka
waktu ini.
34
2. Kolesistostomi
Pada pasien yang berada dalam kondisi sakit kritis dengan empiema
kandung empedu dan sepsis, operasi kolesistektomi dapat berbahaya. Pada
kondisi ini, dokter bedah dapat memilih untuk melakukan kolesistostomi, suatu
prosedur minimal invasif yang dilakukan dengan memasang pipa drainase di
kandung empedu. Teknik ini biasanya dapat memperbaiki kondisi klinis pasien.
saat pasien sudah stabil, dapat dilakukan kolesistektomi definitif secara elektif.
Pada beberapa kasus, kolesistostomi juga dapat dilakukan oleh spesialis
radiologi invasif menggunakan panduan dari CT-scan. Pendekatan ini tidak
memerlukan anestesi dan nampak bermanfaat untuk pasien dengan kondisi klinis
yang tidak stabil.
3. Spincterotomi endoskopik
Bila kita tidak dapat segera melakukan pengambilan batu dalam duktus
biliaris komunis, maka dapat digunakan spincterotomi retrograde endoskopik.
Pada prosedur ini, dokter akan melakukan kanulasi duktus biliaris melalui
papilla Vater. Menggunakan spincterotome elektrokauter, dokter akan membuat
insisi dengan ukuran sekitar 1 cm melalui sphincter Oddi dan bagian
intraduodenal dari duktus biliaris komunis, sehingga menghasilkan suatu lubang
yang dapat digunakan untuk mengeksktraksi batu.
35
buruk untuk menjalani kolesistektomi elektif atua pada pasien dengan
prognosis jangka panjang yang buruk
Spincterotomi endoskopik intraoperatif (IOES) selama dilakukannya
kolesistektomi laparoskopik dapat menjadi terapi alternatif untuk spincterotomi
endoskopik preoperatif (POES) dilanjutkan dengan kolesistektomi
laparoskopik; hal ini disebabkan karena IOES memiliki efektivitas dan tingkat
keamanan yang sama dengan POES serta dapat mengurangi lamanya perawatan
di rumah sakit.9
C. Komplikasi Kolesistektomi
A. Terapi konservatif
36
dan septisemia. Golongan ampisilin, sefalosporin dan metronidazol cukup memadai
untuk mematikan kuman – kuman yang umum terdapat pada kolesistitis akut seperti
E. Coli, Strep. faecalis dan Klebsiela, namun pada pasien diabetes dan pada pasien
yang memperlihatkan tanda sepsis gram negatif, lebih dianjurkan pemberian
antibiotik kombinasi.10,15
Berdasarkan rekomendasi Sanford, dapat diberikan ampisilin/sulbactam
dengan dosis 3 gram / 6 jam, IV, cefalosporin generasi ketiga atau metronidazole
dengan dosis awal 1 gram, lalu diberikan 500 mg / 6 jam, IV. Pada kasus – kasus
yang sudah lanjut dapat diberikan imipenem 500 mg / 6 jam, IV. Bila terdapat mual
dan muntah dapat diberikan anti – emetik atau dipasang nasogastrik tube.
Pemberian CCK secara intravena dapat membantu merangsang pengosongan
kandung empedu dan mencegah statis aliran empedu lebih lanjut. Pasien – pasien
dengan kolesistitis akut tanpa komplikasi yang hendak dipulangkan harus
dipastikan tidak demam dengan tanda – tanda vital yang stabil, tidak terdapat tanda
– tanda obstruksi pada hasil laboratorium dan USG, penyakit – penyakit lain yang
menyertai (seperti diabetes mellitus) telah terkontrol. Pada saat pulang,
38
BAB IV
KESIMPULAN
Kolelitiasis adalah penyakit batu saluran empedu. Etiologi, faktor risiko dan
patogenesis untuk kolesistitis umumnya akan berbeda-beda menurut jenis batu
empedu (batu kolesterol dan batu pigmen). Faktor yang berhubungan dengan
kejadian kolelitiasis adalah jenis kelamin, suku bangsa, usia, obesitas, kehamilan,
stasis cairan empedu, obat-obatan dan faktor keturunan.
Kolesistitis merupakan inflamasi pada dinding kandung empedu yang
paling sering disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus akibat adanya kolelitiasis,
yang umumnya disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam.
Faktor risiko kolesistitis umumnya serupa dengan kolelitiasis.
Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan gejala
(asimtomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat kolesistitis, nyeri bilier,
nyeri abdomen kronik berulang ataupun dispepsia, mual. Sementara keluhan yang
agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut di sebelah kanan atas
epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan suhu tubuh. Keluhan tersebut
dapat memburuk secara progresif. Kadang – kadang rasa sakit menjalar ke pundak
atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa reda.
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Kolelitiasis dapat ditangani secara konservatif maupun
secara operatif. Pada batu empedu yang simptomatik, umumnya diindikasikan
untuk melakukan intervensi bedah definitif menggunakan kolesistektomi,
meskipun pada beberapa kasus dapat dipertimbangkan untuk meluruhkan batu
menggunakan terapi medikamentosa. Untuk kolesistitis, dapat diberikan terapi
simptomatik, terapi untuk kelainan yang mendasari serta antibiotik.
39
DAFTAR PUSTAKA
1. Lesmana L. Batu Empedu dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi
3. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000.380- 4.
2. Hunter JG. Gallstones Diseases. In : Schwart’s Principles of Surgery 8th
edition. 2007. US : McGraw-Hill Companies.826-42.
3. Schirmer BD, Winters KL, Edlich RF. Cholelithiasis and cholecystitis. J
Long Term Eff Med Implants. 2005;15(3):329-38.
4. Greenbergen N.J., Isselbacher K.J. Diseases of the Gallbladder and Bile
Ducts, dari Harrison’s Princi-ples of Internal Medicine, Edisi ke-14,
hal.1725-1736, Editor Fauci dkk. Mc Graw Hill, 1998
5. Jacobson I.M. Gallstones, dari Current Diagnosis and Treatment in Gastro-
enterology, Editor Grendell J.H., McQuaid K.R., Friedman S.L., hal. 668-
678, Appleton & Lange , 1996
6. Malet P.F. Complications of Chole- lithiasis, dari Liver and Biliary
Diseases, Edisi II, hal 673-691, Editor Kaplowitz N., Williams & Wilkins,
1996
7. Huffman JL, Schenker S. Acute acalculous cholecystitis - a review. Clin
Gastroenterol Hepatol. Sep 9 2009
8. Sudoyo W. Aru, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I Edisi IV. EGC. Jakarta. 2009.
9. Bloom AA, Katz J. Cholecystitis. Diunduh tanggal : 25 Juli 2013. Dari
[online] http://emedicine.medscape.com/article/171886-overview
10. Heuman DM, Katz J. Cholelithiasis. Diunduh tanggal : 25 Juli 2013. Dari
[online] http://emedicine.medscape.com/article/175667-overview
11. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005. 570-9.
40
12. Price SA, Wilson LM. Kolelitiasis dan Kolesistisis dalam : Patofisiologi.
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, edisi 4. Jakarta : EGC. 1995. 430-
44.
13. Guyton AC, Hall JE. Sistem Saluran Empedu dalam: Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi ke-9. Jakarta: EGC, 1997. 1028-1029.
14. Doherty GM. Biliary Tract. In : Current Diagnosis & Treatment Surgery
13th edition. 2010. US : McGraw-Hill Companies,p544-55.
15. Poupon , osmorduc , o lle P , hr tien , orpechot ,ha ouill res , et al.
Genotype- phenotype relationships in the low- phospholipid associated
cholelithiasis syndrome. A study of 156 consecutive patients. Hepatology. Mar
26 2013
16. Sarr MG, Cameron JL. Sistem empedu dalam : Buku Ajar Bedah.
Esentials of Surgery, edisis ke-2. Jakarta: EGC, 1996. 121-123
17. Garden Jet et al. Gallstone dalam: Principle and Practice of Surgery.
China: Elseiver, 2007. 23.
18. Bateson M. Batu Empedu dan Penyakit Hati. Jakarta: Arcan, 1991. 35-41.
41
25. Sahai AV, Mauldin PD, Marsi V, et al. Bile duct stones and
laparoscopic cholecystectomy: a decision analysis to assess the roles
of intraoperative cholangiography, EUS, and ERCP. Gastrointest
Endosc. 2009;49(3 Pt1):334-43.
26. Binenbaum SJ, Teixeira JA, Forrester GJ, Harvey EJ, Afthinos J,
Kim GJ, et al. Single-incision laparoscopic cholecystectomy using a
flexible endoscope. Arch Surg. 2009;144(8):734-8.
27. Ghazal AH, Sorour MA, El-Riwini M, El-Bahrawy H. Single-step
treatment of gall bladder and bile duct stones: a combined
endoscopic- laparoscopic technique. Int J Surg. Aug 2009;7(4):338-
46.
28. Wilson E, Gurusamy K, Gluud C, Davidson BR. Cost-utility and
value of information analysis of early versus delayed laparoscopic
cholecystectomy for acute cholecystitis. Br J Surg. 2010;97(2):210-
9.
29. Mutignani M, Iacopini F, Perri V, et al. Endoscopic gallbladder
drainage for acute cholecystitis: technical and clinical results.
Endoscopy. 2009;41(6):539-46.
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54