Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Schistosomiasis juga dikenal sebagai bilharziasis, merupakan penyakit

infeksi kecacingan yang disebabkan oleh cacing trematoda dari famili

schistosomatidae, dan genus Schistosoma (Satrija et al., 2015). Schistosomiasis

adalah salah satu penyakit zoonosis yang terabaikan (negleted disease) yang

terdapat di daerah beriklim tropis maupun sub-tropis. Penyakit Infeksi yang

disebabkan oleh cacing Schistosoma ini, dapat menginfeksi manusia dan hewan

mamalia, diantaranya yaitu sapi (Bos sundaicus), kerbau (Bubalus bubalis), kuda

(Equus cabalus), anjing (Canis familiaris), babi (Sus. Sp), musang (Vivera

tangalunga), rusa (Carvus timorensis), dan berbagai jenis tikus (Rattus exulans,

R.marmosurus, R norvegicus, R palallae) (Hadidjaja, 2011). Schistosomiasis juga

merupakan penyakit infeksi kecacingan pada manusia yang mempunyai

permasalahan dalam diagnosisnya, karena tidak menunjukkan gejala yang nyata.

Menurut laporan WHO pada tahun 2015, penyakit schistosomiasis telah

menginfeksi kurang lebih 240 juta penduduk di dunia, dan terdapat sekitar 700

juta penduduk yang tinggal di daerah endemis schistosomiasis (WHO, 2015).

Secara global, ditemukan kematian sebanyak 200.000 orang per tahunnya karena

schistosomiasis. Prevalensi setiap tahunnya bervariasi, tergantung pada karakter

fokus dari epidemiologi. Schistosomiasis di Asia ditemukan di China, Jepang,

Philipina, Indonesia, Vietnam, Loas, Thailand, dan Kamboja (WHO, 2013).

Schistosomiasis di Indonesia pertama kali ditemukan oleh Muller dan

Tesch pada tahun 1937 yang disebabkan oleh Schistosoma japonicum dengan

1
2

hospes perantara yaitu keong Oncomelania. Keong pertama kali ditemukan di

daerah persawahan, danau Lindu pada tahun 1971 oleh Carney et al., dan

diidentifikasi sebagai Oncomelania hupensis lindoensis (Gunawan et al., 2014).

Di Indonesia, schistosomiasis pada manusia hanya ditemukan di Sulawesi

Tengah yaitu di daerah dataran tinggi Lembah Napu, Lindu, dan Bada. Sulawesi

Tengah merupakan satu-satuya provinsi dari 34 provinsi di Indonesia yang

endemik schistosomiasis. Penyakit ini terdapat di dua Kabupaten dari 11

Kabupaten yang ada di Sulawesi Tengah, tepatnya di Kabupaten Sigi dan

Kabupaten Poso (Profil Dinkes Provinsi Sulteng, 2013). Pengobatan

schistosomiasis di Sulawesi Tengah, sudah dilakukan sejak tahun 1982 yaitu

dengan praziquantel yang diberikan secara masal oleh Depertemen Kesehatan

melalui Subdirektorat Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan

Lingkungan Pemukiman (Subdit, P2M & PLP).

Loka Penelitian dan Pengembangan Pengendalian Penyakit Bersumber

Binatang (Litbang P2B2) Donggala, Sulawesi Tengah menemukan hingga akhir

tahun 2006, kurang lebih terdapat 560 titik fokus atau tempat perindukan keong.

Sejumlah 380 titik fokus di Lembah Napu dan 180 titik fokus di dataran tinggi

Lindu (Nurwidayati dan Kurniawan, 2007). Prevalensi Schistosomiasis

mengalami fluktuasi pada tahun 2001-2010, prevalensi terendah yaitu 0,70% pada

tahun 2003, dan prevalensi tertinggi yaitu 5,68 % pada tahun 2010. Pada tahun

2012 prevalensi schistosomiasis di Napu sebesar 1,4 4 %. Dari 15 Desa yang

diperiksa di Dataran Tinggi Napu, terdapat 12 desa yang memiliki prevalensi di

atas standar WHO yaitu 1% (Erlan et al., 2014).


3

Pada tahun 2013 survei yang dilakukan pada 15 desa di Lembah Napu

terkait schistosomiasis, dilaporkan bahwa dari sampel tinja yang dikumpulkan

sebanyak 10.569 dari 13.658 total penduduk, ditemukan sekitar 205 (1,9%) yang

positif telur Schistosoma japinicum (Profil Dinkes Provinsi Sulteng, 2013).

Kegiatan survei yang dilakukan oleh P2B2 Donggala, dalam program rutin

pemberantasan dan pengendalian penyakit schistosomiasis pada tahun 2013

semester I (Januari-Juni) di Napu Kec. Lore Utara, dari jumlah penduduk 4886

orang yang diperiksa, terdapat 338 orang (6,92%) yang terinfeksi oleh satu atau

lebih jenis cacing. Infeksi kecacingan yang ditemukan di Kec. Lore Utara bukan

hanya S.japonicum, tetapi ada juga terdapat infeksi kecacingan usus atau yang

sering disebut Soil Transmitted Helminth (STH) yang disebabkan oleh beberapa

jenis cacing. Jenis cacing yang termasuk dalam STH yaitu Ascaris lumbricoides,

Hookworm, Tricuris trichiura. Hasil survei tersebut menunjukkan infeksi

Schistosoma japonicum sebesar 1,62% (79 orang), infeksi Ascaris lumbricoides

sebesar 2,37% (116 0rang), infeksi Hookworm sebesar 2,15 (115 orang), dan

infeksi Tricuris trichiura sebesar 0,29% (14 orang) (Nurwidayati, et al., 2015).

Berdasarkan data yang diperoleh dari Laboratorium Pengendalian dan

Pemberantasan Penyakit Schistosomiasis di Sulawesi Tengah, penderita

schistosomiasis yang paling banyak terdapat di desa Dodolo, dimana banyak

terdapat titik-titik fokus penyebaran keong Oncomelania hupensis linduensis,

yang merupakan hospes perantara dari cacing Schistosoma japonicum

(Nurwidayati dan Kurniawan, 2007).


4

Hasil pemeriksaan yang telah dilakukan secara mikroskopis dengan

metode kato-katz pada tahun 2015 semester II, di Desa Dodolo Kecamatan Lore

Utara, dari jumlah penduduk sebanyak 378 orang, terdapat 12 orang yang

dinyatakan positif terinfeksi oleh cacing Schistosoma japonicum. Pemeriksaan

rutin semester I tahun 2016, dari jumlah penduduk 378 orang, hanya 296 orang

yang mengumpulkan feses. Hasil pemeriksaan menunjukkan 19 orang positif

terinfeksi oleh cacing Schistosoma japonicum, 2 orang postif Ascaris

lumbricoides, dan 1 orang positif Hookworm.

Berdasarkan hasil pemeriksaan dengan metode Kato-Katz dari 19 yang

positif Schistosoma japonicum, 12 orang diantaranya adalah kasus lama yang

positif pada tahun 2015, dan 7 orang lainnya merupakan kasus baru. Hal ini

menunjukkan bahwa proses pengobatan yang dilakukan tidak berjalan dengan

baik. Praziquantel merupakan obat yang efektif untuk pengobatan

schistosomiasis. Namun, upaya yang telah dilakukan dalam pengobatan

schistosomiasis tidak dilakukan pengawasan dalam minum obat, sehingga orang

yang sudah dinyatakan positif dan kemudian diberikan obat Praziquantel tidak

diketahui dengan pasti apakah obat tersebut diminum atau tidak.

Program pengendalian dan pemberantasan schistosomiasis memiliki target

eleminasi yaitu pada tahun 2020, dengan harapan bisa menurunkan prevalensi

<1% sesuai dengan standar WHO. Upaya yang telah dilakukan dalam

pemberantasan schistosomiasis pada awalnya menyangkut kegiatan-kegiatan

survei, penelitian dan uji coba lapangan dengan tujuan untuk lebih mengetahui
5

situasi penyakit, faktor-faktor penularan yang berperan dan metode

pemberantasan apa yang dapat dilakukan (Ditjend P2M&PL, 1997).

Dinas kesehatan provinsi Sulawesi Tengah mulai melakukan program

kegiatan rutin untuk penanggulangan dan pemberantasan pada daerah fokus keong

yang merupakan hospes perantara dari cacing schistosoma japonicum pada tahun

1982. Kegiatan rutin lainnya yaitu seperti, pemberian obat kepada penderita

schistosomiasis, perbaikan sanitasi lingkungan, dan pemberian edukasi tentang

pola hidup sehat dan bersih (PHBS) kepada masyarakat setempat, khususnya pada

masyarakat yang tinggal di daerah endemik schistosomiasis, yang dilakukan

secara infasif di daerah Lindu dan Napu (Sudomo, 2008).

Pemeriksaan secara mikroskopis, dengan metode Kato-Katz juga

merupakan kegiatan rutin yang dilakukan oleh Dinkes Provinsi Sulteng setiap

tahunnya, untuk mendeteksi keberadaan telur cacing Schistosoma japonicum.

Pemeriksaan rutin yang dilakukan oleh Dinkes Provinsi Sulteng, jika hanya

dideteksi menggunakan mikroskop dengan metode Kato-Katz, untuk melihat

keberadaan telur dari cacing Schistosoma japonicum, dimana intensitas atau

jumlah telur cacing sudah rendah akan sulit dideteksi menggunakan mikroskop

(Satrija et al, 2008).

Metode Kato-Katz memiliki kekurangan yaitu tingkat sensitifitasnya yang

rendah dalam mendeteksi infeksi dengan intensitas yang ringan. Sehingga untuk

menunjang program pengendalian dan pemberantasan penyakit schistosomiasis

dibutuhkan alat diagnostik yang lebih sensitif dan spesifik, agar penemuan

penderita cepat dan tepat, sehingga pengobatan yang diberikan juga tepat dan
6

dapat menurunkan jumlah penderita yang dinyatakan positif terinfeksi oleh

Schistosoma japonicum di daerah endemik Sulawesi Tengah.

Pemeriksaan molekuler dengan metode PCR (Polymerase Chain Reaction)

menjadi salah satu pilihan, sebagai alat diagnostik untuk schistosomiasis yang

direkomendasikan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO, 2010). Metode PCR

memiliki tingkat sensitifitas yang tinggi, karena dengan 1 DNA saja dapat

diamplifikasi dan akan menghasilkan 106-109 kali jumlah DNA target awal,

sehingga akan lebih mudah untuk dideteksi, walaupun jumlah telur dari cacing

Schistosoma japonicum rendah yaitu <5 telur per gram tinja.

Metode PCR menggunakan beberapa tingkatan suhu dan dengan bantuan

enzim Taq Polymerase untuk mengamplifikasi DNA. Proses PCR terdiri dari tiga

tahapan, yaitu denaturasi, penempelan primer (annealing), dan pemanjangan

rantai DNA (extension). Denaturasi merupakan proses pemisahan untai ganda

DNA menjadi dua untai tunggal DNA pada suhu 90o-95°C selama 3-5 menit.

Annealing merupakan proses penempelan primer dengan suhu 50°-60°C selama

±1 menit. Extension merupakan reaksi polimerisasi atau pemanjangan rantai DNA

pada suhu 72°C selama 5-7 menit (Elrod dan William, 2011).

Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan “Diagnosis Molekuler

Schistosomiasis pada Sampel Feses Penduduk desa Dodolo, Lembah Napu Kab.

Poso Sulawesi Tengah, Indonesia. Telur Schistosoma japonicum dideteksi secara

molekuler, dengan metode PCR menggunakan urutan primer (forward 5’-TCT

AAT GCT ATT GGT TTG AGT-3’) dan (reverse 5’-TTC CTT ATT TTC ACA

AGG TGA-3’) dengan band target pada 230 bp. SjR2 (Retrotransposon)
7

merupakan DNA target utama dari primer tersebut yang bisa dideteksi dari sampel

feses (Fung et al., 2012).

B. Perumusan Masalah

Rumusan masalah yang dapat dibuat berdasarkan latar belakang tersebut

adalah ingin melihat bagaimana hasil pemeriksaan yang dilakukan dengan

metode PCR (Polymerase Chain Reaction) terhadap sampel feses awetan

menggunakan etanol 96% dari penduduk desa Dodolo, yang dibandingkan

dengan hasil pemeriksaan menggunakan metode Kato-Katz.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui hasil pemeriksaan yang dilakukan secara molekuler dengan metode

PCR (Polymerase Chain Reaction) dan membandingkan hasil pemeriksaan yang

dilakukan secara mikroskopis dengan metode Kato-Katz.

D. Keaslian Penelitian

Penelitian yang berhubungan dengan ”Diagnosis molekuler

Schistosomiasis Pada Sampel Feses Penduduk Desa Dodolo Kecamatan Lore

Utara, Lembah Napu Kabupaten Poso Sulawesi Tengah Indonesia” belum pernah

dilakukan. Beberapa penelitian yang serupa, yaitu sebagai berikut :


8

1. Penelitian yang dilakukan oleh Pontes et al., (2003) di Brazil yang berjudul

“Comparison of a Polymerase Chain Reaction and The Kato-Katz technique

for diagnosing infection with Schistosoma mansoni”, berbeda tempat dan

species yang akan diteliti. Untuk species yang akan diteliti yaitu Schistosoma

japonicum yang dilakukan di desa Dodolo, Kec Napu, Sulawesi Tengah, di

Indonesia. Persamaan yang akan dilakukan dalam penelitian ini, yaitu

menggunakan metode kato-katz dan membandingkan hasil pemeriksaan

dengan metode PCR.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Fung et al., (2012) yang berjudul “Field

Evaluation of a PCR Test for Schistosoma japonicum Egg Detection in Low-

Prevalence Regions of China”, berbeda tempat dan sampel yang akan

digunakan, yaitu menggunakan sampel feses yang diambil dari manusia yang

berada di desa Dodolo, Kab. Napu Sulawesi Tengah di Indonesia. Persamaan

penelitian yang akan dilakukan yaitu menggunakan PCR dalam mendeteksi

Schistosoma japonicum.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Satrija et al., (2015) yang berjudul “Deteksi

Antigen Eksekretori-Sekretori Schistosoma japonicum dengan Metode ELISA

pada Penderita Schistosomiasis di Napu, Sulawesi Tengah”, berbeda metode

yang digunakan, yaitu pada penelitian ini menggunakan metode ELISA

sedangkan penelitian yang akan dilakukan menggunakan metode PCR.

Persamaan dari penelitian ini yaitu untuk tempat penelitian, sama-sama

berada di Napu Sulawesi Tengah, namun hanya diambil di satu desa saja,

yaitu di desa Dodolo.


9

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa informasi

kepada program pengendalian dan pemberantasan penyakit schistosomiasis untuk

menggunakan alat serta metode dengan tingkat sensitifitas yang tinggi dan akurat

dalam melakukan pemeriksaan atau penegakan diagnosa. Penemuan penderita

lebih cepat akan berdampak pada penanganan dan pengobatan yang cepat, serta

dapat mengurangi dan menurunkan jumlah penderita schistosomiasis.

Anda mungkin juga menyukai