A. TINJAUAN MEDIS
1. Pengertian
Diabetes Mellitus (DM) adalah penyakit metabolik yang kebanyakan
herediter, dengan tanda- tanda hiperglikemia dan glukosuria, disertai
dengan atau tidak adanya gejala klinik akut ataupun kronik, sebagai akibat
dari kuranganya insulin efektif di dalam tubuh, gangguan primer terletak
pada metabolisme karbohidrat yang biasanya disertai juga gangguan
metabolisme lemak dan protein (Tjokronegoro, 2002).
Diabetes Mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada
seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula
(glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif
(Tjokronegoro, 2002).
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang
ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia
(Smelzert, 2002).
Ulkus adalah luka terbuka pada permukaan kulit atau selaput lendir
dan ulkus adalah kematian jaringan yang luas dan disertai invasif kuman
saprofit. Adanya kuman saprofit tersebut menyebabkan ulkus
berbau,ulkus diabetikum juga merupakan salah satu gejala klinik dan
perjalanan penyakit DM dengan neuropati perifer, (Andyagreeni, 2010).
Ulkus Diabetik merupakan komplikasi kronik dari Diabetes Melllitus
sebagai sebab utama morbiditas, mortalitas serta kecacatan penderita
Diabetes. Kadar LDL yang tinggi memainkan peranan penting untuk
terjadinya Ulkus Uiabetik untuk terjadinya Ulkus Diabetik melalui
pembentukan plak atherosklerosis pada dinding pembuluh darah, (zaidah
2005).
Ulkus diabetik merupakan luka terbuka pada permukaan kulit karena
adanya komplikasi makroangiopati sehinggaterjadi vaskuler insusifiensi
dan neuropati, yang lebih lanjut terdapat luka pada penderita yang sering
tidak dirasakan, dan dapat berkembang menjadi infeksi disebabkan oleh
bakteri aerob maupun anaerob (Misnadiarly, 2006).
2. Etiologi
a. Diabetes Mellitus Tipe 1: Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)
Disebabkan karena destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi
insulin absolut.
1) Faktor Genetik
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi
mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah
terjadinya DM tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada
individu yang memiliki tipe antigen HLA.
2) Autoimun
Disebabkan kesalahan reaksi autoimunitas yang menghancurkan
sel beta pankreas. Reaksi autoimunitas tersebut dapat dipicu oleh
adanya infeksi pada tubuh. Ditemukan beberapa petanda imun
(immune markers) yang menunjukkan pengrusakan sel beta
pankreas untuk mendeteksi kerusakan sel beta, seperti "islet cell
autoantibodies (ICAs), autoantibodies to insulin (IAAs),
autoantibodies to glutamic acid decarboxylase (GAD). )", dan
antibodies to tyrosine phosphatase IA-2 and IA-2.
3) Idiopatik
Sebagian kecil diabetes melitus tipe 1 penyebabnya tidak jelas
(idiopatik). (Smelzert, 2002).
b. Diabetes Mellitus Tipe 2: Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus
(NIDDM)
Bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi
insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin
bersama resistensi insulin.
Faktor- faktor resiko:
1) Kelainan Genetik
Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap
diabetes. Ini terjadi karena DNA pada orang diabetes melitus akan
ikut diinformasikan pada gen berikutnya terkait dengan penurunan
produksi insulin.
2) Usia
Umumnya manusia mengalami penurunan fisiologis yang secara
dramatis menurun dengan cepat pada usia di atas 65 tahun.
Penurunan ini yang akan beresiko pada penurunan fungsi endokrin
pankreas untuk memproduksi insulin.
3) Obesitas/ Kegemukan
Obesitas mengakibatkan sel-sel beta pankreas mengalami hipertropi
yang akan berpengaruh pada penurunan hormon insulin.
4) Pola Makan Salah
Kurang gizi atau kelebihan berat badan sama-sama meningkatkan
resiko diabetes. Malnutrisi dapat merusak pancreas, sedangkan
obesitas meningkatkan gangguan kerja atau resistensi insulin. Pola
makan yang tidak teratur dan cenderung terlambat juga akan
berperanan pada ketidakstabilan kerja pankreas.
5) Kurang Gerak
Seiring dengan kemajuan zaman dan perkembangan teknologi yang
semakin memudahkan pekerjaan manusia menyebabkan manusia
makin sedikit melakukan gerak badan sehingga dapat meningkatkan
kadar glukosa darah akibat berkurangnya pemakaian glukosa untuk
metabolisme otot (Smelzert, 2002).
c. Diabetes Mellitus Gestasional
Diabetes mellitus dapat merupakan kelainan herediter dengan cara
insufisiensi atau absennya insulin dalam sirkulasi darah, konsentrasi
gula darah tinggi. Berkurangnya glikogenesis. Diabetes dalam
kehamilan menimbulkan banyak kesulitan, penyakit ini akan
menyebabkan perubahan-perubahan metabolik dan hormonal pada
penderita yang juga dipengaruhi oleh kehamilan. Sebaliknya diabetes
akan mempengaruhi kehamilan dan persalinan (Smelzert, 2002).
Risiko Tinggi DM Gestasional:
1) Umur lebih dari 30 tahun
2) Obesitas dengan indeks massa tubuh 30 kg/m2
3) Riwayat DM pada keluarga (ibu atau ayah)
4) Pernah menderita DM gestasional sebelumnya
5) Pernah melahirkan anak besar > 4.000 gram
6) Adanya glukosuria (Smelzert, 2002).
5. Patofisiologi
Pada manusia bahan bakar itu berasal dari bahan makanan yang kita
makan sehari- hari, yang terdiri dari karbohidrat (gula dan tepung-
tepungan), protein (asam amino), dan lemak (asam lemak). Pengolahan
bahan makanan dimulai dari mulut kemudian ke lambung dan selanjutnya
ke usus. Di dalam saluran pencernaan itu makanan dipecah menjadi
bahan dasar dari makanan itu. Karbohidrat menjadi glukosa, protein
menjadi asam amino dan lemak menjadi asam lemak (Corwin, 2007).
Ketiga zat makanan itu akan diserap oleh usus kemudian masuk ke
dalam pembuluh darah dan diedarkan keseluruh tubuh untuk
dipergunakan oleh organ- organ di dalam tubuh sebagai bahan bakar.
Supaya dapat berfungsi sebagai bahan bakar, zat makanan itu harus
masuk dulu ke dalam sel supaya dapat diolah. Di dalam sel, zat makanan
terutama glukosa dibakar melalui proses kimia yang rumit, yang hasil
akhirnya adalah timbulnya energi. Proses ini disebut metabolisme. Dalam
proses metabolisme itu insulin memegang peran yang sangat penting
yaitu bertugas memasukkan glukosa dalam sel, untuk selanjutnya dapat
digunakan sebagai bahan bakar. Insulin ini adalah salah suatu zat atau
hormone yang dikeluarkan oleh sel beta di pankreas (Corwin, 2007).
Pada diabetes yang jenis diabetes mellitus tipe 2 jumlah insulin
normal, malah mungkin lebih banyak tetapi jumlah reseptor insulin yang
terdapat pada permukaan sel yang kurang. Reseptor insulin ini dapat
diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel. Pada
keadaan tadi jumlah lubang kuncinya yang kurang, sehingga meskipun
anak kuncinya (insulin) banyak, tetapi karena lubang kuncinya (reseptor)
kurang, maka glukosa yang masuk sel akan sedikit, sehingga sel akan
kekurangan bahan bakar (glukosa) dan glukosa di dalam pembuluh darah
meningkat. Dengan demikian keadaan ini sama dengan pada diabetes
mellitus tipe 1 (Corwin, 2007).
Penyebab resistensi insulin pada diabetes mellitus tipe 2 disamping
tidak begitu jelas, tetapi faktor- faktor di bawah ini banyak berperan :
1. Faktor Keturunan (herediter)
2. Obesitas/ kegemukan
3. Kurang berat badan (Corwin, 2007).
Pada diabetes mellitus tipe 2 jumlah sel beta berkurang sampai 50-
60% dari normal. Jumlah sel alfa meningkat, yang menyolok adalah
adanya peningkatan jumlah jaringan amiloid pada sel beta yang disebut
amilin. Baik pada diabetes mellitus tipe 1 maupun pada diabetes mellitus
tipe 2 kadar glukosa darah jelas meningkat dan bila itu melewati batas
ambang ginjal, maka glukosa itu akan keluar melalui urine (Corwin, 2007).
Penyakit diabetes membuat gangguan/ komplikasi melalui kerusakan
pada pembuluh darah di seluruh tubuh, disebut angiopati diabetik.
Penyakit ini berjalan kronis dan terbagi dua yaitu gangguan pada
pembuluh darah besar (makrovaskular) disebut makroangiopati, dan pada
pembuluh darah halus (mikrovaskular) disebut mikroangiopati. Bila yang
terkena pembuluh darah di otak timbul stroke, bila pada mata terjadi
kebutaan, pada jantung penyakit jantung koroner yang dapat berakibat
serangan jantung/ infark jantung, pada ginjal menjadi penyakit ginjal kronik
sampai gagal ginjal tahap akhir sehingga harus cuci darah atau
transplantasi. Bila pada kaki timbul luka yang sukar sembuh sampai
menjadi busuk (gangren). Selain itu bila saraf yang terkena timbul
neuropati diabetik, sehingga ada bagian yang tidak berasa apa-apa/ mati
rasa, sekalipun tertusuk jarum/ paku atau terkena benda panas (Corwin,
2007).
Kelainan tungkai bawah karena diabetes disebabkan adanya
gangguan pembuluh darah, gangguan saraf, dan adanya infeksi. Pada
gangguan pembuluh darah, kaki bisa terasa sakit, jika diraba terasa
dingin, jika ada luka sukar sembuh karena aliran darah ke bagian tersebut
sudah berkurang. Pemeriksaan nadi pada kaki sukar diraba, kulit tampak
pucat atau kebiru- biruan, kemudian pada akhirnya dapat menjadi
gangren/ jaringan busuk, kemudian terinfeksi dan kuman tumbuh subur,
hal ini akan membahayakan pasien karena infeksi bisa menjalar ke
seluruh tubuh (sepsis). Bila terjadi gangguan saraf, disebut neuropati
diabetik dapat timbul gangguan rasa (sensorik) baal, kurang berasa
sampai mati rasa. Selain itu gangguan motorik, timbul kelemahan otot,
otot mengecil, kram otot, mudah lelah. Kaki yang tidak berasa akan
berbahaya karena bila menginjak benda tajam tidak akan dirasa padahal
telah timbul luka, ditambah dengan mudahnya terjadi infeksi. Kalau sudah
gangren, kaki harus dipotong di atas bagian yang membusuk tersebut
(Corwin, 2007).
Gangren diabetik merupakan dampak jangka lama arteriosklerosis
dan emboli trombus kecil. Angiopati diabetik hampir selalu juga
mengakibatkan neuropati perifer. Neuropati diabetik ini berupa gangguan
motorik, sensorik dan autonom yang masing- masing memegang peranan
pada terjadinya luka kaki. Paralisis otot kaki menyebabkan terjadinya
perubahan keseimbangan di sendi kaki, perubahan cara berjalan, dan
akan menimbulkan titik tekan baru pada telapak kaki sehingga terjadi
kalus pada tempat itu (Corwin, 2007).
Gangren diabetik akibat mikroangiopatik disebut juga gangren panas
karena walaupun nekrosis, daerah akral itu tampak merah dan terasa
hangat oleh peradangan, dan biasanya teraba pulsasi arteri di bagian
distal. Biasanya terdapat ulkus diabetik pada telapak kaki. Proses
makroangiopati menyebabkan sumbatan pembuluh darah, sedangkan
secara akut emboli akan memberikan gejala klinis 5 P, yaitu:
1. Pain (nyeri)
2. Paleness (kepucatan)
3. Paresthesia (parestesia dan kesemutan)
4. Pulselessness (denyut nadi hilang)
5. Paralysis (lumpuh), (Price, 2005).
Bila terjadi sumbatan kronik, akan timbul gambaran klinis menurut
pola dari Fontaine, yaitu 4 :
1. Stadium I ; asimptomatis atau gejala tidak khas (semutan atau
geringgingan)
2. Stadium II ; terjadi klaudikasio intermiten
3. Stadium III ; timbul nyeri saat istirahat
4. Stadium IV ; berupa manifestasi kerusakan jaringan karena anoksia
(ulkus), (Price, 2005).
Gangguan sensorik menyebabkan mati rasa setempat dan hilangnya
perlindungan terhadap trauma sehingga penderita mengalami cedera
tanpa disadari. Akibatnya, kalus dapat berubah menjadi ulkus yang bila
disertai dengan infeksi berkembang menjadi selulitis dan berakhir dengan
gangren (Noer, 2004).
Gangguan saraf autonom mengakibatkan hilangnya sekresi kulit
sehingga kulit kering dan mudah mengalami luka yang sukar sembuh.
Infeksi dan luka ini sukar sembuh dan mudah mengalami nekrosis akibat
dari tiga faktor. Faktor pertama adalah angiopati arteriol yang
menyebabkan perfusi jaringan kaki kurang baik sehingga mekanisme
radang jadi tidak efektif. Faktor kedua adalah lingkungan gula darah yang
subur untuk perkembangan bakteri patogen. Faktor ketiga terbukanya
pintas arteri-vena di subkutis, aliran nutrien akan memintas tempat infeksi
di kulit (Noer, 2004).
Poluria, polidipsia dan penurunan berat badan menurun di sebabkan
karena kadar glukosa plasma: >180 mg/dL, gula akan diekskresikan ke
dalam urine (glikogusria). Volume urine meningkat akibat terjadinya
diuersis osmotik dan kehilangan air yang bersifat obligatorik pada saat
yang bersarnaan (poliuria), kejadian ini selanjutnya akan menimbulkan
dehidrasi (hiperosmolaritas), bertambahnya rasa haus dan gejala banyak
minum (Polidipsia), (Noer, 2004).
Glikosuria menyebabkan kehilangan kalori yang cukup besar (4.'1 kal
bagi setiap gram karbohidrat yang diekskresikan keluar), kehilangan ini,
kalau ditambah lagi dengan deplesi jaringan otot dan adiposa, akan
mengakibatkan penurunan berat badan yang hebat kendati terdapat
peningkatan selera makan (polifagia) dan asupan-kalori yang normal atau
meningkat. Sintesis protein akan menurun dalam keadaan tanpa insulin
dan keadaan ini sebagian terjadi akibat berkurangnya pengangkutan
asam amino ke dalam otot (asam amino berfungsi sebagai substrat
glukoneogenik), (Lewis, 2011 dan Noer, 2004).
Jadi, orang yang kekurangan insulin berada dalam keseimbangan
nitrogen yang negatif. Kerja antilipolisi insulin hilang seperti halnya efek
lipogenik yang dimiliknya, dengan demikian, kadar asam lemak plasma
akan meninggi. Kalau kemampuan hati untuk mengakosidasi asam lemak
terlampaui, maka senyawa asam β hidroksibutirat dan asam asetoasetat
akan bertumpuk (ketosis). Mula mula penderita dapat mengimbangi
pengumpulan asam organik ini dengan meningkatan pengeluaran CO2
lewat sistem respirasi, namun bila keadaan ini tidak dikendalikan dengan
pemberian insulin, maka akan terjadi asidosis metabolik dan pasien akan
meninggal dalam keadaan koma diabetik.
6. Manifestasi Klinis
a. Poliuria
Hal ini disebabkan karna kadar gula darah yang tinggi. Jika kadar gula
darah sampai diatas 160-180 mg/ dL, maka glukosa akan sampai ke
air kemih. Jika kadarnya lebih tinggi lagi, ginjal akan membuang air
tambahan untuk mengencerkan sejumlah besar glukosa yang hilang.
Karena ginjal menghasilkan air kemih dalam jumlah yang berlebihan,
maka penderita sering berkemih dalam jumlah yang banyak (poliuria),
(Smelzert, 2002).
b. Polidipsi
Hal ini disebabkan karena pembakaran terlalu banyak dan kehilangan
cairan banyak karena poliuri, sehingga untuk mengimbangi pasien
lebih banyak minum (Smelzert, 2002).
c. Polifagi
Hal ini disebabkan karena sejumlah besar kalori hilang ke dalam air
kemih, sehingga penderita mengalami penurunan berat badan. Untuk
mengkompensasikan hal ini penderita seringkali merasakan lapar yang
luar biasa sehingga banyak makan (polifagi), (Smelzert, 2002).
d. Berat badan menurun
Hal ini disebabkan kehabisan glikogen yang telah dilebur jadi glukosa,
maka tubuh berusama mendapat peleburan zat dari bahagian tubuh
yang lain yaitu lemak dan protein, karena tubuh terus merasakan lapar,
maka tubuh selanjutnya akan memecah cadangan makanan yang ada
di tubuh termasuk yang berada di jaringan otot dan lemak sehingga
pasien dengan DM walaupun banyak makan akan tetap kurus
(Smelzert, 2002).
Gejala lainnya adalah penglihatan kabur, pusing, mual, lemah,
kesemutan, gatal-gatal, berkurangnya ketahanan selama melakukan
olahraga dan luka sulit sembuh. Penderita diabetes yang kurang terkontrol
lebih peka terhadap infeksi. Karena kekurangan insulin yang berat, maka
sebelum menjalani pengobatan penderita diabetes tipe I hampir selalu
mengalami penurunan berat badan. Sebagian besar penderita diabetes
tipe II tidak mengalami penurunan berat badan (Lewis, 2011 dan Price,
2005).
Pada penderita diabetes mellitus tipe I, gejalanya timbul secara tiba-
tiba dan bisa berkembang dengan cepat ke dalam suatu keadaan yang
disebut dengan ketoasidosis diabetikum. Kadar gula di dalam darah
adalah tinggi tetapi karena sebagian besar sel tidak dapat menggunakan
gula tanpa insulin, maka sel- sel ini mengambil energi dari sumber yang
lain. Sel lemak dipecah dan menghasilkan keton, yang merupakan
senyawa kimia beracun yang bisa menyebabkan darah menjadi asam
(ketoasidosis), (Lewis, 2011 dan Price, 2005).
Gejala awal dari ketoasidosis diabetikum adalah rasa haus dan
berkemih yang berlebihan, mual, muntah, lelah dan nyeri perut (terutama
pada anak-anak). Pernafasan menjadi dalam dan cepat karena tubuh
berusaha untuk memperbaiki keasaman darah. Bau nafas penderita
tercium seperti bau aseton. Tanpa pengobatan, ketoasidosis diabetikum
bisa berkembang menjadi koma, kadang dalam waktu hanya beberapa
jam. Bahkan setelah mulai menjalani terapi insulin, penderita diabetes tipe
I bisa mengalami ketoasidosis jika mereka melewatkan satu kali
penyuntikan insulin atau mengalami stres akibat infeksi, kecelakann atau
penyakit yang serius (Lewis, 2011 dan Price, 2005).
Penderita diabetes tipe II, bisa tidak menunjukkan gejala- gejala
selama beberapa tahun. Jika kekurangan insulin semakin parah, maka
akan timbul gejala yang berupa sering berkemih dan sering merasa haus.
Jarang terjadi ketoasidosis. Jika kadar gula darah sangat tinggi (sampai
lebih dari 1.000 mg/ dL, biasanya terjadi akibat stres, misalnya infeksi atau
obat-obatan), maka penderita akan mengalami dehidrasi berat, yang bisa
menyebabkan kebingungan mental, pusing, kejang dan suatu keadaan
yang disebut koma hiperglikemik- hiperosmolar non- ketotik (Lewis, 2011
dan Price, 2005).
7. Komplikasi
a. Komplikasi yang bersifat akut
1) Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan syaraf yang
disebabkan penurunan kadar glukosa darah. Hipoglikemia terjadi
karena pemakaian obat- obatan diabetik yang melebihi dosis yang
dianjurkan sehingga terjadi penurunan glukosa dalam darah (Lewis,
2011 dan Price, 2005).
Glukosa yang ada sebagian besar difasilitasi untuk masuk ke dalam
sel. Tanda- tanda hipoglikemia :
a) Stadium parasimpatik : lapar, mual, tekanan darah menurun
b) Stadium gangguan otak ringan : lemah, lesu, sulit berbicara,
kesulitan menghitung sederhana
c) Stadium simpatik : keringat dingin pada muka terutama di
hidung, bibir atau tangan
d) Stadium gangguan otak berat : koma (tidak sadar) dengan atau
tanpa kejang
2) Koma hiperosmolar nonketotik
Koma ini terjadi karena penurunan komposisi cairan intrasel dan
ekstrasel karena banyak disekresi lewat urin (Lewis, 2011 dan Price,
2005).
3) Ketoasidosis
Minimnya glukosa di dalam sel akan mengakibatkan sel mencari
sumber alternatif untuk dapat memperoleh energi sel. Kalau tidak
ada glukosa maka benda- benda keton akan dipakai sel. Kondisi ini
akan mengakibatkan penumpukan residu pembongkaran benda-
benda keton yang berlebihan yang mengakibatkan asidosis. Pada
pasien yang dalam keadaan ketoasidosis akan mengalami
pernafasan kusmaul, dehidrasi (turgor kulit jelek, lidah dan bibir
kering), kadang- kadang disertai tekanan darah rendah sampai
renjatan dan kesadaran dapat menurun sampai koma (Lewis, 2011
dan Price, 2005).
b. Komplikasi yang bersifat kronik
1) Makroangiopati yang mengenai pembuluh darah sedang dan besar,
pembuluh darah jantung, pembuluh darah tepi, pembuluh darah
otak. Perubahan pada pembuluh darah besar dapat mengalami
atherosklerosis sering terjadi pada DMTII/ NIDDM. Komplikasi
makroangiopati adalah penyakit vaskuler otak, penyakit arteri
koronaria dan penyakit vaskuler perifer (Noer, 2004).
2) Mikroangiopati yang mengenai pembuluh darah kecil, retinopati
diabetika, nefropati diabetik. Perubahan- perubahan mikrovaskuler
yang ditandai dengan penebalan dan kerusakan membran diantara
jaringan dan pembuluh darah sekitar. Terjadi pada penderita DMTI/
IDDM yang terjadi neuropati, nefropati, dan retinopati (Noer, 2004).
a) Nefropati
Gangguan fungsi ginjal merupakan tanda awal kelainan ginjal
pada diabetes mellitus. Perubahan ini akan diikuti peningkatan
fitrasi glomerular, peningkatan aliran plasma ginjal serta
peningkatan permeabilitas glomerulus. Peningkatan
permeabilitas ini pada akhirnya mengakibatkan penumpukan
makro molekul, immunoglobulin pada dinding glomerulosklerosis
(Suyono, 2006).
b) Retinopati
Adalah adanya perubahan dalam retina karena penurunan
protein dalam retina. Perubahan ini dapat berakibat gangguan
dalam penglihatan (Robert, 2002).
c) Neuropati diabetika
Neuropati dapat menyerang saraf perifer, saraf cranial atau
system saraf otonom. Keluhan yang sering adalah berupa
kesemutan, rasa lemah, baal dan hilangnya kepekaan terhadap
sentuhan, nyeri. Pada pasien dengan neuropati autonom diabetic
dapat dijumpai gejala gastrointestinal yang umumnya berupa
mual, rasa kembung, muntah dan diare. Manifestasi neuropati
yang lain adalah hipotensi, adanya keluhan gangguan
pengeluaran keringat serta impotensi (Suyono, 2006).
3) Ulkusi diabetik
Perubahan mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati
menyebabkan perubahan pada ekstremitas bawah. Komplikasinya
dapat terjadi gangguan sirkulasi, terjadi infeksi, gangren, penurunan
sensasi dan hilangnya fungsi saraf sensorik dapat menunjang
terjadinya trauma atau tidak terkontrolnya infeksi yang
mengakibatkan gangren (Syono, 2006).