FILSAFAT
DEFINISI FILSAFAT
Istilah filsafat berasal dari kata ‘Philosophos’ atau pecinta kebijaksanaan. Ini adalah istilah yang
dipilih oleh Sokrates untuk dirinya. Sejarah filsafat mencatatkan bahwa ada dua alasan kenapa istilah ini yang
dipilih: pertama, karena sikap tawadhu Sokrates1 yang selalu mengaku sebagai seorang yang bodoh/jahil.
Kedua, sikap perlawanannya terhadap kaum Sofisme yang suka mengaku sebagai seorang yang bijak.2
Dengan kata lain, dengan istilah philosophos ini seakan-akan Sokrates hendak mengatakan bahwa kaum
Sofisme adalah kelompok yang tidak layak disebut sebagai orang-orang bijak sebab mereka berfilsafat
dengan tujuan materi dan politis. Sokrates menegaskan “bahkan saya yang bisa menolak khayalan-khayalan
mereka dengan dalil hikmah, masih belum layak disebut sebagai ahli hikmah, namun yang bisa dinisbahkan
kepada diriku hanyalah sebutan “pencinta hikmah’. 3
Pada masa Hellenistik klasik ini dan semenjak Sokrates menamakan dirinya sebagai pencinta hikmah
(philosophos) maka filsafat klasik masa lalu dirujuk sebagai kritik Sofisme terhadap kepalsuan berpikir
mereka yang mengingkari hakikat kebenaran realistas. Kritik ini meliputi dalam ilmu fisika, kimia,
kedokteran, geometri, matematika, dan metafisika (ilāhiyyāt). Adapun ilmu-ilmu pendukung seperti nahwu
dan sharaf tidak termasuk dalam wilayah filsafat.4
Berdasarkan hal tersebut maka filsafat klasik dulu adalah istilah yang bersifat umum yang meliputi
dua hal yang besar dari ilmu yakni ilmu teoritis dan ilmu praktis. Oleh karena itu filsafat terbagi dua yaitu
filsafat teoritis yang meliputi matematika, fisika, dan metafisika; dan filsafat praktis yang meliputi ilmu-ilmu
seperti akhlak/etika, managemen keluarga dan politik. Berikut skemanya:
1Sokrates (480-399 M) Seorang filsuf Yunani, lahir di Athena. Dia dikenal sebagai guru yang terkenal dengan
filsafat dan hikmahnya dan dikenal juga sebagai “Sokrates si Bijak”.
2 Kaum Sofisme suka melekatkan istilah Sofis pada diri mereka, sementara Sofis dalam bahasa Yunani berarti
kesepakatan para ahlinya tanpa ada faktanya atau realitasnya. Misalnya kesepakatan para ahli nahwu dalam
bahasa Arab tentang adanya subjek (fā`il) yang bersifat marfū` dan objek (maf`ūl bihi) bersifat manshūb. Hal
seperti ini tidak ada fakta/realitanya selain hanya kesepakatan para ahlinya saja. Adapun ilmu hakikat
(filsafat) adalah ilmu yang berupaya mengungkapkan hakikat-hakikat tetap baik yang diketahui manusia
maupun yang belum diketahuinya. Misalnya daya gravitasi adalah sesuatu yang ada dan bersifat faktual, dan
Newton-lah yang berhasil mengungkapkannya.
Filsafat
Praktis Teoritis
Politik: Terkait
dengan Manajemen Akhlak: Terkait
Masyarakat dan Rumah Tangga: dengan individu
Fisika Matematika Metafisika
bentuk-bentuk Terkait dengan dan tingkah
manajemen/admin Keluarga lakunya
istrasinya
1. Metafisika
Umum (Hukum
Hukum umum wujud secara
Numerik,
materi, Astronomi, mutlak)
Arsitektur/Ilmu
mineralogi, ilmu
Rancang Bangun, 2. Metafisika
bootani dan
Ilmu Bentuk, Musik Khusus
zoologi
(Pengetahuan
wujud Tuhan)
Oleh karena seorang filsuf tidak mungkin menguasai semua pengetahuan di atas karena keluasan wilayah
kajiannya dan kedalaman problematikanya yang sangat variatif maka kajian filsafat membatasi aktivitasnya
pada pembahasan metafisika umum dan khusus yang disebut dengan ilmu universal dan filsafat pertama (al-
`Ilm al-Kulli wa falsafah al-Ūla). Tujuan pemberian nama filsafat ini sebagai ilmu universal dan filsafat
pertama adalah karena ilmu filsafat dianggap sebagai ‘pendahuluan’ atau pintu pertama bagi ilmu-ilmu lain
karena selain ia membahas tentang eksistensi Tuhan dan sifat-sifat-Nya yang mulia, ia juga membahas tema-
tema umum ilmu. Pembahasan seperti ini tidak bisa dilakukan oleh filsafat wujud materi yang lepas dari
kontruksi mental (dzihn) sehingga fisika tidak bisa membahas karakter-karakter materi, kimia tidak bisa
membahas sifat-sifat/kualitas reaksi elemen-elemen atau unsur-unsur dan begitu seterusnya. Namun semua
ilmu ini merujuk kepada filsafat pertama dan ilmu universal dalam prinsip-prinsip kebenarannya, seperti
prinsip ketiadaan kontradiksi, dasar kausalitas, prinsip ketunggalan atau harmoni. Oleh karena itulah, wajar
saja filsafat sering disebut sebagai induk segala ilmu.
Jika metafisika umum membahas makna wujud secara umum maka metafisika khusus membahas
penetapan eksistensi Tuhan dan sifat-Nya.
Subjek kajian filsafat adalah “al-mawjūd bimā huwa mawjūd” atau wujud sebagaimana pada dirinya
sendiri. Dalam konteks ini wujud dikaji hukum-hukumnya secara umum. Misalnya, kajian kausalitas, sebab-
akibat, maka yang dikaji adalah kausalitas yang berlaku secara umum yang meliputi seluruh wujud, bukan
hanya untuk wujud tertentu saja, seperti wujud materi. Misalnya, jika yang dikaji adalah struktur air dengan
tingkat kondesasi, evaporasi dan karakteristik lainnya yang dimilikinya maka ini adalah kajian wujud sebagai
air bukan wujud pada dirinya sendirinya.
Adapun metafisika khusus dalam filsafat adalah pembahasan tentang wujud/eksistensi Tuhan dan
sifat-sifat-Nya.
Dengan demikian, kajian metafisika adalah kajian wujud dalam makna abstrak dan makna material,
bukan sebagaimana yang dipahami oleh sebagian orang bahwa metafisika hanya memahami wujud dalam
makna abstrak saja. Oleh karena itu, dalam pembahasan filsafat terkait kausalitas, wajib dan mungkin,
eternalitas dan temporalitas, aktual dan potensi dan lain sebagainya adalah pembahasan wujud dalam makna
umum.
Pada umumnya, metafisika dipahami berasal dari bahasa Yunani yaitu μετὰ τὰ φυσικά (metà tà
phusike), apa yang dibalik atau sesudah fisika. Istilah ini awalnya digunakan oleh Aristoteles dalam
pembahasannya tentang filsafat. Dalam bukunya tersebut, ia meletakkan pembahasan-pembahasan
yang non-fisika sesudah kajian fisika sehingga disebut sebagai metafisika (kajian sesudah fisika atau mā
warā’a al-thabī’ah).
Signifikansi dan Faidah Filsafat
Di sini lain, manusia sebagai wujud yang mampu melanglang angkasa, menembus bumi, menembus
batas, memecah partikel-partikel kecil, dan menemukan keajaiban-keajaiban, ia juga makhluk yang rentan
akan keputusaasaan dan kebosanan, apabila ia tidak memiliki tujuan sejati yang dirinduinya, tidak punya
pandangan dunia yang jelas terhadap wujud, tidak punya pandangan yang komprehensif dan harmoni
terhadap partikularitas dan keragaman yang ada pada semesta. Jika ini terjadi maka manusia tidak akan
mengerti mengapa ia harus hadir di dunia ini? Kenapa ia juga harus meninggal dunia? Dan kenapa hidup ini
terasa indah pada masa anak-anak dan masa muda namun menjadi getir, pahit dan semakin sulit pada masa
tua?!
Pada saat seperti ini maka kita ingin sekali melepaskan semua kegundahan, keputusaan, kebosanan
dan kebingungan ini dan menggantinya dengan sesuatu yang terang dan jelas. Di sinilah peran filsafat, sebab
ia mampu memberikan jawaban dan penjelasan dari semua pertanyaan-pertanyaan di atas terkait wujud,
semesta dan kehidupan sehingga kita memiliki pemahaman tentang asal-usul kehidupan, tujuan hidup dan
jalan yang harus ditempuh antara awal dan akhir hidup tersebut. Dengan kata lain, filsafat membuka tirai
tauhid, tempat kembali (ma`ād) dan kenabian yang memberikan jalan untuk mencapai akhir hidup yang
benar lewat aturan dan hukum yang diajarkan para nabi. Dengan demikian, manusia tidak akan tersia-siakan
hidupnya dan akan mengerti dari mana asalnya, dimana keberadaannya dan menuju kemana hidupnya.
Oleh karena itu, jika peranan filsafat adalah menyingkapkan kejahilan, menghapuskan kebingungan
dan keputusaan manusia, lalu menggantikannya dengan pemahaman terhadap kemendasaran wujud,
karakteristik dan hakikat wujud maka tidaklah berlebihan apabila kata ilmu dilekatkan pada filsafat sebab
ilmu adalah pancaran cahaya yang mengungkapkan kejahilan agar ditemukannya hakikat kebenaran sejati,
dan inilah yang disedikan oleh filsafat bagi para pengkajinya.
Namun jika kata ilmu dipahami sebagaimana makna ilmu dalam ilmu alam yang hanya menekankan
hasil-hasil eksprimentasi dan bersifat empirik maka tentu ini tidak cocok untuk filsafat sebagaimana juga
makna ini tidak akan bisa dilekatkan pada ilmu sejarah, geografi, fiqih dan ilmu-ilmu kemanusiaan lainnya
yang tidak menekankan pada empirisisme.
Ada banyak metode pencapaian ilmu terhadap objek kajiannya sesuai dengan area dan bidang kajian
sebuah ilmu. Misalnya pada kajian berikut akan terjadi perbedaan yang sangat jelas:
Metode ini adalah metode yang terdiri dari proposisi yang dianggap apriori atau sudah diakui
kebenarannya pada umumnya sehingga individu yang merupakan bagian darinya akan mengikuti hukum
yang dimilikinya. Misalnya, hukum kematian adalah pasti bagi semua manusia maka individu manusia seperti
Budi, Akhwan dan lain sebagainya mestilah akan mengalami mati. Contoh berikut adalah susunan
argumentasinya:
Demikianlah, alur berpikir dalam silogisme ini. Ia akan memberikan kesimpulan yang meyakinkan
jika premis-premis yang mendahuluinya bersifat meyakinkan dan pasti serta susunan alurnya berjalan secara
valid. Para ahli logika menetapkan bahwa pada logika klasik, logika argumentatif atau logika burhāni-lah yang
bisa memenuhi syarat dari silogisme yang meyakinkan tersebut. 6
2. Induktif
Yakni penalaran dari hukum-hukum partikularitas menuju hukum universal. Ada dua macam
induktif yaitu induktif sempurna dan induktif tidak sempurna. Pada yang pertama contohnya adalah
penetapan bahwa seluruh murid di suatu kelas dinyatakan rajin dan bersungguh-sungguh setelah
dilakukannya pengujian pada seluruh murid tersebut, adapun yang kedua contohnya adalah penetapan
bahwa penduduk suatu Negara dinyatakan sebagai penduduk yang baik setelah melakukan pergaulan pada
sebagian dari warga Negara tersebut. Dengan kata lain, pada induktif sempurna dilakukan uji coba secara
menyeluruh lalu ditarik kesimpulannya, sementara induktif non-sempurna dilakukan uji coba pada beberapa
sampel saja yang kemudian ditarik kesimpulan secara generik/menyeluruh.
5 Dalam konteks ini misalnya pandangan adanya pembuat semesta yang sangat hebat yang kemudian
direnungkan lebih jauh menjadi keyakinan akan adanya pengatur semesta yang sangat canggih yakni Allah.
Cara seperti ini adalah metode dasar dari cara berpikir orang Arab untuk menetapkan eksistensi Tuhan.
Mereka mengungkapkannya sebagai berikut “jika jejak onta adalah tanda akan adanya onta, jejak manusia
mengindikasikan adanya manusia; maka bukankah adanya langit yang berbintang dan bumi yang terhampar
menunjukkan adanya Tuhan?!
6 Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, al-Manhaj al-Jadīd fī Ta`līm al-Falsafah, Dār lil mathbū`at, 1418 H/1998 M,
1/100.
3. Representasi/Perumpamaan (Tamtsīl)
Yakni penetapan hukum partikular pada sesuatu kepada hukum partikular untuk sesuatu yang lain
lewat adanya keserupaan atau kesemaan makna secara umum berdasarkan persangkaan. Misalnya seorang
ayah melarang anaknya berteman dengan seseorang tertentu, sebutlah Farid, karena adanya sesuatu sifat
yang tidak diinginkan. Rupanya, si anak tadi tidak saja tidak berteman dengan Farid yang disarankan oleh
ayahnya tetapi juga tidak menemani teman yang dianggapnya memiliki karakter yang sama dengan Farid.
Jadi, si anak tadi menerapkan cara berpikir representasi/pengumpamaan sehingga hukum pada Farid
berlaku juga pada teman si anak tadi yang memiliki kesamaan dengan karakter Farid.
Akhirnya, para pemikir menyatakan bahwa metode penalaran yang bisa memberikan hasil yang
meyakinkan dan pasti adalah metode berpikir demostratif (burhāni) dan induktif sempurna. Adapun induktif
non-sempurna dan berpikir representasi hanya menghasilkan persangkaan dan tidak pasti. Tentu saja, yang
diperlukan dalam penalaran adalah kepastian dan keyakinan bukan persangkaan sebab persangkaan tidak
memberikan kebenaran sedikitpun.
Evaluasi