Anda di halaman 1dari 38

REFERAT

KERATITIS ET CAUSA VIRAL

Pembimbing:
dr. Ayu S. Bulo Oetoyo, Sp.M, M.Sc

Penyusun:
Yopi Anugrah Wati
030.14.202

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MATA


RSUD BUDHI ASIH
PERIODE 5 NOVEMBER – 7 DESEMBER 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA

1
LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul:

“Keratitis Et Causa Viral”

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik


Ilmu Kesehatan Mata RSUD Budhi Asih periode 5 November – 7 Desember 2018

Disusun oleh :
Yopi Anugrah Wati
030.14.202

Jakarta, November 2018

Mengetahui,

Korpanit Mata RSUD Budhi Asih

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
“Keratitis Et Causa Viral” tepat pada waktunya. Penyusunan referat ini ini
dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan dalam menempuh
kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUD Budhi Asih. Penulis
mengucapkan terima kasih sebesar besarnya kepada:
1. dr. Ayu S. Oetoyo, Sp.M, M.Sc selaku pembimbing dalam penyusunan
referat.
2. Seluruh staff SMF Mata RSUD Bushi Asih.
3. Rekan kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Mata RSUD Budhi Asih.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, hal
tersebut tidak lepas dari segala keterbatasan kemampuan yang peneliti miliki.
Oleh karena itu bimbingan dan kritik yang membangun dari semua pihak
sangatlah diharapkan.

Jakarta, November 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ---------------------------------------------------------- i


KATA PENGANTAR ---------------------------------------------------------------- ii
DAFTAR ISI --------------------------------------------------------------------------- iii

BAB I PENDAHULUAN --------------------------------------------------------- 1

BAB II ANATOMI DAN FISIOLOGI ------------------------------------------- 3


2.1 Anatomi----------------------------------------------------------------------- 3
2.2 Fisiologi ---------------------------------------------------------------------- 7

BAB III MATA MERAH ------------------------------------------------------------ 8


3.1 Konjungtivitis ---------------------------------------------------------------- 8
3.2 Pinguekula ------------------------------------------------------------------- 12
3.3 Pterigium --------------------------------------------------------------- ----- 13
3.4 Episkleritis ------------------------------------------------------- ----------- 14
3.5 Skleritis ----------------------------------------------------------------------- 15
BAB IV KERATITIS ---------------------------------------------------------------- 18
4.1 Definisi ----------------------------------------------------------------------- 18
4.2 Epidemiologi--------------------------------------------------- ------------ 18
4.3 Faktor Risiko ----------------------------------------------------------- ---- 18
4.4 Patofisiologi ----------------------------------------------------------------- 28
4.5 Klasifikasi --------------------------------------------------- ---------------- 20
4.6 Penegakan Diagnosis------------------------------------------------------- 27
4.7 Tatalaksana------------------------------------------------------ ------------ 30
DAFTAR PUSTAKA ---------------------------------------------------------------- 33

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Kornea merupakan bagian mata yang licin mengkilat, transparan dan


tembus cahaya yang menutup bola mata bagian depan. Kornea tidak mempunyai
pembuluh darah sehingga nutrisinya berasal dari homor aquous dan oksigen dari
luar. Secara anatomis kornea terdiri dari lima lapisan, yaitu: Epitel, membran
bowman, stroma, membran descement dan endotel. Kornea juga memiliki fungsi
sebagai media refraksi dan pelindung untuk struktur mata yang berada di segmen
anterior. Untuk itu agar tetap bisa menjalankan fungsinya kornea harus tetap intak
dan tetap transparan, namun ada beberapa hal yang dapat dari fungsi kornea yaitu
suatu peradangan pada kornea yang disebut sebagai keratitis. (1)

Keratitis merupakan suatu kejadian inflamsi pada kornea yang diakibatkan


oleh infeksi mikroorganisme dan non infeksi akibat proses autoimun. Tingginya
angka kebutaan yang diakibatkan oleh keratitis sehingga World Health
Organization (WHO) tahun 1995-2011 memasukkan keratitis menjadi penyebab
kebutaan kelima setelah katarak, glaukoma, degenerasi macula, dan kelainan
refraksi. Keratitis banyak terjadi di Negara-negara dengan iklim tropis dan
Negara-negara yang berkembang salah satunya yaitu di Indonesia keratitis masuk
urutan kelima setelah katarak, glaukoma, kelinan refraksi, dan retina menurut
survey Kesehatan Indera Depkes 1993-1996. (2)

Penyebab keratitis berdasarkan etiologi yaitu dapat dibagi menjadi


keratitis bakterial, keratitis fungal, keratitis parasite, keratitis viral dan non infeksi.
(1,7)
Keratitis yang menular merupakan penyebab utama utama gangguan
penglihatan dan kebutaan, sering mempengaruhi populasi yang terpinggirkan.
Keratitis virus herpes simplex (HSV) mempengaruhi perkiraan 500.000 orang di
Amerika Serikat dan diperkirakan 1,5 juta secara global. Ini adalah penyebab
paling umum unilateral kebutaan kornea menular di banyak negara maju.(3)
Komplikasi yang akan ditimbulkan dari keratitis itu sendiri dapat menyebabkan
ulkus kornea yang merupkan komplikasi tersering pada keratitis yang diakibatkan

1
oleh virus.(1) Oleh karena itu penting untuk unruk mendiagnosis dini sebelum
terjadi komplikasi seperti diatas. Dalam pembahasan ini akan dibahas tentang
keratitis akibat virus.

2
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI KORNEA

2.1 Anatomi(1,4,13,14)

Kornea merupakan suatu jaringan yang transparan dengan ukuran dan


struktur sebanding dengan kristal dari sebuah jam tangan kecil. Transparansi dari
kornea sendiri dikarenakan oleh struktur yang seragam, avaskular, dan
deturgensinya. Sulcus scleralis merupakan kornea yang disisipkan ke dalam
sklera yang membentuk sebuat lekukan lingkaran. Ketebalan korna pada orang
dewasa sekitar 550 um dengan diameter horizontal 12 mm dan diameter vertikal
sekitar 11,5 mm. Ketebalan kornea sentral bervariasi antara individu dan
merupakan penentu utama tekanan intraokular (IOP) diukur dengan teknik
konvensional.

3
Kornea merupakan lapisan yang tidak berpembuluh darah sehingga sumber
nutrisi kornea didapatkan dari pembuluh-pembuluh darah limbus, humor aquous,
air mata. Kornea bagian superfisialis mendapatkan sebagian bear O2 dari
atmosfer. Kornea adalah jaringan yang paling dipersarafi di dalam tubuh, dan
kondisi seperti lecet dan keratopati bulosa dikaitkan dengan nyeri yang ditandai,
fotofobia dan laring refleks; subepithelial dan pleksus saraf stroma yang lebih
dalam keduanya dipersarafi oleh saraf trigeminal cangan ophtalmicus sebagai
saraf sensoris pada kornea.

4
Dari arah anterior ke posterior kornea memiliki beberapa lapisan, yaitu :
1. Lapisan Epitel
Lapisan epitel memiliki lima sampai enam lapis sel. Lapisan pada
kornea akan bergenerasi dalam waktu 7-10 hari yang selanjutnya akan
mengalami involusi, apoptosis, dan deskuamasi. Tebal dari lapisan ini
berskisar 550 um yang terdiri dari epitel tak bertanduk yang tidak
bertumpang tindih, satu laipan sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.
Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke
depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel
gepeng. Sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel
polygonal di depannya melalui desmosome dan macula okluden. Ikatan
ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan
barrier. Sel basal menghasilkan membrane basal yang melekat erat
kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.
2. Lapisan Bowman

5
Lapisan bowman yaitu laipisan jernih aseluler, merupakan bagian
stroma yang berubah. Membran bowman terletak dibawah membran
basal korne yang merupakan kolagen tersusun tidak teratur seperti
stroma dan berasal dari bagian depan stroma. Lapisan membran ini tidak
memiliki daya untuk regenerasi.
3. Stroma
Stroma menyusun sekitar 90% ketebalan dari laipsan kornea. Stroma
terdiri dari jalinan lamela yang merupakan serat kolagen yang tersusun
sejajar satu dengan yang lainnya dengan ukuran lebar sekitar 10-250 um
dan tinggi sekitar 1-2 um. Jalinan lamela berjalan sejajar sehingga
ukuran dan kerapatnnya menjadi jernih secara optis. L amela terletak
didalam zat proteoglikan terhidrasi dengan keratosit sehingga
menghasilkan kolagen dan zat dasar. Sedangkan keratosit itu sendiri
yaitu sel utama di lapisan stroma yang berfungsi untuk sintesis kolagen
dan glikosaminoglikan.
4. Membran Descemet
Membran descemet merupakan membran aseluler dan merupkan batas
antara belakang stroma kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan
membran basalnya. Membran descement yaitu lamina basalis endotel
kornea dengan tampilan yang homogen. Ketebalan membran descemet
sekitar 3 um saat lahir dan terus menebal hingga 10-12 um bersifat
elastik dan berkembang terus seumur hidup.
5. Endotel
Endotel berasal dari mesotelium berlapis satu berbentuk heksagonal dan
besar 20-40 um. Endotel memiliki satu lapis sel dan berperan dalam
mempertahankan deturgesensi stroma kornea. Lapisan endotel rentan
terhadap trauma dan sel akan menghilang dengan berjalannya usia
lanjut. Reparasi endotel terjadi sebagai pembesaran dan pergeseran sel
dengan sedikit pembelahan sel. Akibat dari kegagalan fungsi endotel
mengakibatkan edema kornea.

6
Keberadaan lapisan kornea keenam antara stroma dan membran Descemet
baru-baru ini telah diusulkan, meskipun beberapa ahli percaya ini adalah
kelanjutan dari stroma posterior yang dijelaskan sebelumnya.
2.3 Fisiologi
Kornea memiliki dua fungsi yaitu sebagai pelindung dan jendela yang dapat
dilalui oleh cahaya menuju ke retina. Struktur kornea yang uniform, avaskular dan
deturgesens sehingga menyebabkan cahaya dapat tembus melalui kornea. Pada
keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea atau yang disebut deturgens
dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan juga fungsi dari
sawar epitel dan endotel sehingga transparansi kornea terbentuk. Film air mata
yang menjadi hipertonis diakibatkan oleh penguapan air dari film air mata
prakornea. Proses tersebut dan penguapan langsung merupakan faktor yang
menarik air dari stroma kornea superficial untuk mempertahankan dehidrasi.
Epitel dapat dilalui oleh substansi larut lemak dan stroma dapat dilewati oleh
substansi larut air sehingga apabila ingin memasukkan obat yang dapat menembus
kornea dapat diberikan substansi yang larut keduanya.
Lapisan epitel merupakan sawar pelindung terhadap masuknya
mikroorganisme ke kornea. trauma pada kornea dapat menyebabkan stroma dan
lapisan bowman dapat terinfeksi oleh patogen terutama streptoccoccus
pneumoniae yang merupakan bakteri patogen kornea sejati.
Lesi pada kornea baik superfisial ataupun profundus pada umumnya akan
menimbulkan rasa nyeri dan fotofobia. Nyeri ditimbulkan oleh gesekan antara
palpebra superior dan kornea sedangkan fotofobia terjadi akibat dari kontraksi iris
yang meradang dan nyeri. Dilatasi pembuluh darah iris merupakan fenomena
refleks akibat iritasi ujung saraf kornea.

7
BAB III
MATA MERAH

3.1 Konjungtivitis
Konjungtivitis yaitu peradangan pada konjungtiva dengan mata hiperemis,
keluar cairan dan sekret sampai purulen. Konjuntivitis dapat menyerang ke semua
kelompok umur, akut maupun kronis, yang disebabkan oleh faktor eksogen
maupun endogen.(15)
Klasifikasi konjungtivitis berdasarkan penyebabnya terbagi menjadi :
A. Konjungtivitis Bakteri

Konjungtivitis bakteri ialah peradangan pada konjungtiva akibat bakteri


diphteric, gonococcal, haemophylus aegytius, moraxella. Bentuk dari
konjungtivitis bakteri yaitu akut (hiperakut dan subakut) yang dapat berlagsung <
14 hari dan kronis dapat berlangsung menetap > 4 minggu.
Konjungtivitis bakteri dapat bermanifestasi dalam bentuk iritasi dan pelebaran
pembuluh darah (injeksi) bilateral, eksudat purulen dengan kedua palpebra
melekat saat bangun tidur dan kadang disertai edema palpebra.
B. Konjungtivitis Virus

8
Konjungtivitis virus ialah peradangan konjungtiva akibat berbagai virus
seperti herpes simpleks atau herpes zozter. Gejala yang menyertai konjungtivitis
virus seperti mata merah, nyeri, demam, photofobia, pembesaran getah bening
prearukular, oedem palpebra, mata berair dan dapat disertai faringitis.
C. Konjungtivitis Alergi

Konjungtivitis alergi merupakan reaksi akut konjungtiva akibat reaksi


hipersensitivitas tubuh terhadap alergen. Gejala yang ditimbulakn pada
konjungtivitis alergi berupa kmata merah, berair, gatal dengan bersin
berhubungan dengan cairan hidung dan disertai edema kelopak mata, dan
kejadinnya berulang.

9
D. Konjungtivitis Klamidia

Konjungtivitis klamidia salah satunya yaitu trakoma. Trakoma adalah


salah satu penyakit tertua yang diketahui. Trakoma umumnya bilateral. Penyakit
ini menyebar melalui kontak langsung atau benda pencemar, umumnya dari
anggota keluarga yang lain (saudara, orangtua), yang juga harus diperiksa. Vektor
serangga, khususnya lalat, dapat berperan dalam transmisi. Bentuk akut penyakit
ini lebih infeksius dari pada bentuk sikatriksnya, makin besar inokulumnya makin
berat penyakitnya. Penyebaran sering dihubungkan dengan epidemi konjungtivitis
bakterial dan musim kemarau di negara tropis dan subtropis. Pada saat timbulnya,
trakoma sering menyerupai konjungtivitis bakterial, tanda dan gejala biasanya
terdiri atas berair-mata, fotofobia, nyeri, eksudasi, edema palpebra, kemosis
konjungtiva bulbaris, hiperemia, hipertrofi papilar, folikel tarsal dan limbal,
keratitis superior, pembentukan pannus, dan sebuah nodus preaurikular kecil yang
nyeri tekan.

E. Konjungtivitis Jamur

Konjungtivitis yang disebabkan oleh Candida spp (biasanya Candida


albicans) adalah infeksi yang jarang terjadi umumnya tampak sebagai bercak
putih. Keadaan ini dapat timbul pada pasien diabetes atau pasien yang terganggu
sistem imunnya, sebagai konjungtivitis ulseratif atau granulomatosa.
Kerokan

10
menunjukkan reaksi radang sel polimorfonuklear. Organisme mudah tumbuh pada
agar darah atau media Sabouraud dan mudah diidentifikasi sebagai ragi bertunas
(budding yeast) atau sebagai pseudohifa (jarang).

3.1.2 Tatalaksana Konjungtivitis

Konjungtivitis Terapi

Bakterial Topikal : Antibiotik spectrum luas

Penisilin/tetrasiklin

Konjungtivitis purulent & mukopurulen diberikan larutan


normal salin.

Viral Topikal : Asiclovir

Salep acyclovir 3% (tidak tersedia di USA) 5 kali sehari


salama 10 hari, atau dengan acyclovir oral 400 mg lima kali
sehari selama 7 hari.

Clamydia Tetracycline, 1-1-,5 g/hari per oral dalam empat do- sis

(trakoma) terbagi selama 3-4 minggu. Doxycycline 100 mg per oral


dua kali sehari selam 3 minggu atau erythromycin 1 g per
hari oral dibagi dalam empat dosis selama 3-4 minggu.
Azitromisin untuk anak dan ibu hamil.

Jamur Amphotericin B (3-8 mg/rnL) dalam larutan air (bukan


garam) atau terhadap krim kulit nystatin (100.000 U/g)
empat sampai enam kali sehari.

11
3.2 Pinguekula

Pinguecula adalah kondisi degeneratif konjungtiva yang sangat umum. Ini


ditandai dengan pembentukan bercak putih kekuningan pada konjungtiva bulbar
dekat limbus. Kondisi ini disebut pinguecula, karena kemiripannya dengan lemak,
yang berarti pinguis.
Pinguecula tidak diketahui secara pasti penyebabnya. Namun sering terjadi
lebih pada orang yang terkena sinar matahari terus menerus, debu dan angin.
Pinguekula juga dianggap sebagai prekursor terjadinya pterygium. Proses
terjadinya pinguekula adanya degenerasi elastotik serat kolagen substantia propria
konjungtiva, ditambah dengan pengendapan bahan hialin amorf dalam substansi
konjungtiva. Pinguecula biasanya menyerang mata secara bilateral, stasioner,
yang tampak sebagai bercak segitiga berwarna kekuningan di dekat limbus.
Puncak dari segitiga jauh dari kornnea yang berada pada sisi hidung dan
kemudian sisi temporal. Ketika konjungtiva tersumbat pinguekula akan menonjol
sebagai tonjolan yang avaskular.
Pada pinguekula ini tidak diperlukan terapi namun apabila sering
menimbulkan infeksi dapat diberikan steroid topical lemah (Prednisolon 0,12%)
atau obat anti inflamasi non steroid.

12
3.3 Pterigium

Pterygium (L.Pterygion = sayap) adalah lipatan konjungtiva berbentuk


sayap yang menyatu pada kornea dari kedua sisi dalam fisura interpalpebral.
Sebuah pterygium adalah fibrovascular subepithelial dalam pertumbuhan dari
jaringan konjungtiva bulosa degeneratif di atas limbus ke kornea. Ini biasanya
berkembang pada pasien yang telah hidup di iklim panas dan permukaan yang
kering.
Etiologi pterygium belum diketahui secara pasti. Tetapi penyakit ini lebih
sering terjadi pada orang yang tinggal di iklim panas. Hal ini merupakan respons
terhadap efek jangka panjang dari faktor lingkungan seperti paparan sinar
matahari (sinar ultraviolet), panas kering, angin kencang dan debu.
Patologis pterygium adalah kondisi konjungtiva degeneratif dan
hiperplastik. Jaringan subconjunctival mengalami degenerasi elastotik dan
berproliferasi sebagai jaringan granulasi vaskularisasi di bawah epitel, yang
akhirnya mengganggu kornea. Kemudian epitel kornea, lapisan Bowman dan
stroma superfisial dihancurkan.
Pterygium lebih sering terjadi pada pria lansia yang melakukan pekerjaan
di luar ruangan dapat unilateral atau bilateral. Berbentuk lipatan segitiga
konjungtiva yang mengganggu kornea di area aperture palpebral, biasanya di sisi
hidung, tetapi bisa juga terjadi pada sisi temporal. Pterygium berkembang menjadi
tiga bagian yaitu kepala (bagian apical pada kornea), leher (bagian limnbal),
badan (bagian sclera). Eksisi bedah merupakan satu-satunya terapi yang dapat

13
diindikasikan untuk alasan kosmetik, perkembangan berlanjut yang mengancam
untuk masuk ke area pupil, dan diplopia karena gangguan pada gerakan okular.
3.4 Episkleritis

Episkleritis adalah peradangan lokal jaringan ikat vaskuler penutup sclera


yang terjadi secara rekuren. Biasanya menyerang orang dewasa muda, dua kali
lebih sering terjadi pada wanita dari pada pria, bersifat unilateral pada dua-pertiga
kasus. Kekambuhan sering terjadi dan penyebabnya tidak diketahui. Kelainan
lokal atau sistemik terkait, misalnya rosacea okular, atopi, gout, infeksi, atau
penyakit kolagen-vaskular dijumpai pada sepertiga populasi pasien.

Penyebab dari episkleritis sendiri belum diketahui pasti namun hal ini
berkaitan dengan gout, rosacea, dan psoriasis. Selain itu juga dianggap sebagai
reaksi hipersensitivitas terhadap racun tubercular atau streptokokus endogen.

Episkleritis ditandai dengan kemerahan, ketidaknyamanan ocular ringan,


rasa terbakar, bisa disertai lakrimasi dan fotofobia. Pada pemeriksaan terdapat 2
tipe episkleritis yang diperlihatkan yaitu difus (berbatas pada satu atau dua

14
kuadran) dan nodular (datar berwarna merah muda ungu dikelilingi kemerahan
terletah 2-3 mm dari limbus).

Terapi pada episkleritis dapat diberikan kortikosteroid topical 2-3 jam,


kompres dingin dan NSAID seperti flurbiprofen 300 mg endometachin 25 mg 3
kali sehari.

3.5 Skleritis

Skleritis merupakan peradangan sclera yang kronis yang merupakan


penyakit yang serius sehingga dapat menyebabkan gangguan penglihatan dan
kehilangan mata bila tidak diobati dengan adekuat namun skleritis jarang terjadi
dibandingkan dengan episkleritis. Biasanya terjadi pada usia lanjut 40-70 tahun
dan wanita lebih banyak dari pada laki-laki.

Skleritis terjadi akibat dari suatu kelaian yang ditandai dengan infiltrasi
seluler, destruksi kolagen dan remodeling vascular. Perubahan tersebut terjadi
dimungkinkan diperantarainya proses imunologi atau sebagai akibat dari infeksi.
Keluhan yang sering dirasakan oleh pasien yaitu adanya rasa nyeri yang berat
yang konstan dan tumpul sehinnga membuat pasien terbangun dimalam hari.
Nyeri pada bola mata, ketajaman penglihatan berkurang dan tekanan intraokuler
dapat meningkat. Tanda klinis utama yang dapat dijumpaipada pasien dengan

15
skleritis biasanya bola mata berwarna ungu gelap akibat dilatasi pleksus vascular
profunda di sclera dan episklera. Pada slitlamp dapat dilihat daerah avaskuler
akibat vaskulitis oklusif dan menandakan bahwa prognosis buruk. Nekrosis pada
sclera dinyatakan sebagai skleromalasia perforans dan ditemukan pada pasien
dengan rheumatoid arthritis.

Terapi awal pada skleritis dapat diberikan obat anti inflamasi nonsteroid sistemik
seperti indometasin 75 mg per hari, atau ibuprofen 600 mg per hari. Bila tidak
timbul respon dalam 1-2 minggu atau terjadi penyumbatan maupun kegagalan
perfusi pembuluh besar di substansia propia atau episklera yang tampak secara
klinis maka dapat diberikan prednisone oral 0,5-1,5 mg/kg/hari.
Cychophospamide juga bisa diberikan apabila terdapat anacaman perforasi dan
terapi antimikroba spesifik harus diberikan bila sudah mengetahai mikroba
penyebab.

16
BAB IV
KERATITIS

4.1 Definisi
Keratitis merupakan peradangan yang terjadi pada kornea. Peradangan
kornea dapat di klasifikasikan berdasarkan lapisan kornea yang terkena, yaitu
keratitis superfisialis, dan interstisial dan profunda. Keratitis berdasarkan akibat
atau etiologi dibedakan menjadi keratitis bakterial (streptococci, staphylococci,
pneumonia), viral dibagi menjadi keratitis herpes simpleks dan keratitis varicella
zoster (herpes zozter oftalmikus), jamur atau fungi dan protozoa. (1,3)
4.2 Epidemiologi
Variasi geografi yang luas dari epidemiologi keratitis bakteri dipengaruhi
oleh faktor ekonomi dan iklim. Keratitis jamur terhitung sebanyak 50% dari
seluruh kasus dari kultur keratitis di beberapa negara berkembang. Penelitian yang
dilakukan oleh Marlon M. Ibrahim dkk menunjukkan bahwa angka kejadian
keratitis bakteri di Banglades 82%, India 68,4%, dan yang terendah yaitu di
Taiwan 40%. Perbedaan tersebut dipegaruhi oleh faktor iklim dan lingkungan.
Keratitis jamur dan keratitis bakteri lebih sering terjadi pada musim semi. Hal ini
berhubungan dengan peningkatan aktivitas agrikultur dan/ atau peningkatan
proliferasi dari agen patogen pada periode tersebut. (9)
4.3 Faktor Risiko(10,11,12)
Faktor-faktor terjadinya keratitis dapat dipengaruhi oleh:
 Pemakaian lensa kontak
Faktor resiko paling sering ditemukan pada pasien keratitis adalah
penggunaan lensa kontak semalaman atau berkepanjangan, higienitas dari
lensa kontak yang digunakan (dapat disebabkan kontaminasi dari tempat
penyimpanannya atau dari cairan lensa kontak tersebut)
 Trauma Pembedahan
Riwayat pembedahan pada bola mata maupun kelopak mata sebelumnya,
terutama pembedahan pada kornea, baik pembedahan refraktif atau
keratoplasti merupakan faktor resiko terjadinya keratitis

17
 Penyakit pada bagian permukaan bola mata
Defisiensi film airmata, terpaparnya kornea karena abnormalitas kelopak
mata, penyakit sistemik seperti diabetes mellitus dan status
imunocompromised
 Merokok
Toksin yang berasal dari asap rokok dapat mengiritasi mata secara langsung
atau terserap di dalam lensa kontak dan berperan sebagai suatu iritan yang
dapat menjadi salah satu faktor predisposisi terjadinya suatu infiltrasi pada
kornea.
 Pemakaian kortikosteroid jangka panjang
Kortikosteoid lokal maupun sistemik akan memodifikasi reaksi imun dari
host dengan berbagai mekanisme sehingga mempermudah organisme
oportunistik melakukan invasi dan berkembang pada host
 Benda asing
 Reaksi terhadap obat tetes mata, kosmetik, polusi, atau partikel udara

seperti debu, serbuk sari, jamur atau ragi .

4.4 Patofisiologi(1,3,4)
Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya
dalam perjalanan pembentukan bayangan di retina. Perubahan dalam bentuk dan
kejernihan kornea mengganggu pembentukan bayangan yang baik di retina. Oleh
karenanya, kelainan sekecil apapun di kornea, dapat menimbulkan gangguan
penglihatan. Pelindung yang baik dari invasi mikroorganisme bagi kornea yaitu
epitel kornea. Apabila terjadi trauma pada epitel maka akan mengakibatkan
stroma dan lapisan bowman yang merupakan lapisan avascular akan menjadi
rentan terhadap infeksi dari berbagai mikooganisme sehingga korne akan lebih
mudah teriritasi.
Kornea bagian mata yang avaskuler, bila terjadi infeksi maka proses
infiltrasi dan vaskularisasi dari limbus baru akan terjadi 48 jam kemudian. Badan
kornea, wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma kornea, segera
bekerja sebagai makrofag, kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang
terdapat di limbus dan tampak sebagai injeksi perikornea. Selanjutnya terjadi

18
infiltrasi dari sel-sel mononuklear, sel plasma, leukosit polimorfonuklear (PMN)
yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak sebagai bercak berwarna
kelabu, keruh dengan batas-batas tak jelas dan permukaan tidak licin. Apabila
terjadi terus-menerus dapat terjadi kerusakan epitel hingga terjadi ulkus.
Pada keratitis bakteri adanya gangguan dari epitel kornea yang intak dan
atau masuknya mikroorganisme abnormal ke stroma kornea, akan mengakibatkan
terjadinya proliferasi dan lebih lanjut akan menyebabkan ulkus. Faktor virulensi
dapat menyebabkan invasi mikroba atau molekul efektor sekunder yang
membantu proses infeksi. Beberapa bakteri memperlihatkan sifat adhesi pada
struktur fimbriasi dan struktur non fimbriasi yang membantu penempelan ke sel
kornea. Selama stadium inisiasi, epitel dan stroma pada area yang terluka dan
infeksi dapat terjadi nekrosis. Sel inflamasi akut (terutama neutrofil) mengelilingi
lesi awal dan menyebabkan nekrosis lamella stroma. Difusi produk-produk
inflamasi (meliputi cytokines) di bilik posterior, menyalurkan sel-sel inflamasi ke
bilik anterior dan menyebabkan adanya hipopion. Toksin bakteri yang lain dan
enzim (meliputi elastase dan alkalin protease) dapat diproduksi selama infeksi
kornea yang nantinya dapat menyebabkan destruksi substansi kornea.
Keratitis herpes simplek dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stromal.
Kerusakan terjadi pada pembiakan virus intraepitelial, mengakibatkan kerusakan
sel epitelial dan membentuk tukak kornea superfisial. Pada bentuk stromal terjadi
reaksi imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang yaitu reaksi antigen
antibodi yang menarik sel radang kedalam stroma. Sel radang ini mengeluarkan
bahan proteolitik untuk merusak virus tetapi juga akan merusak jaringan stroma
disekitarnya. Hal ini penting diketahui karena manajemen pengobatan pada yang
epitelial ditujukan terhadap virusnya sedang pada yang stromal ditujukan untuk
menyerang virus dan reaksi radangnya. Perjalanan klinik keratitis dapat
berlangsung lama kaena stroma kornea kurang vaskuler, sehingga menghambat
migrasi limfosit dan makrofag ketempat lesi. Infeksi okuler HSV pada hospes
imunokompeten biasanya sembuh sendiri, namun pada hospes yang secara
imunologik tidak kompeten, perjalanannya mungkin menahun dan dapat merusak.

19
Kornea memiliki banyak serabut nyeri. Lesi superfisial maupun
profundus akan menyebabkan nyeri dan fotofobia. Nyeri yang disebabkan
gangguan pada epitel diperparah dengan gerakan dari kelopak, terutama kelopak
bagian atas dan biasanya nyeri bersifat menetap sampai penyembuhan terjadi.
Kornea merupakan “jendela” mata yang berfungsi sebagai media refraksi. Oleh
karena itu, gangguan pada kornea akan menyebabkan pandangan kabur, terlebih
jika gangguan terletak sentral pada kornea.
Fotofobia yang terjadi pada keratitis disebabkan oleh kontraksi nyeri
akibat inflamasi dari iris. Dilatasi pembuluh darah pada iris merupakan suatu
fenomena refleks yang terjadi bila iritasi pada kornea terjadi terus-menerus. Pada
keratitis herpetic rasa nyari sangat minimal karena terjadi hipestesia dan
merupakan salah satu tanda khas dalam mendiagnosis keratitis ini.
Mata berair dan fotofobia merupakan gejala khas keratitis. Keratitis
tidak menimbulkan sekret, kecuali pada keratitis bakteri yang sudah menjadi
ulkus.
4.5 Klasifikasi Keratitis(2)
Klasifikasi keratitis berdasarkan etiologi yang infeksi dapat dibagi menjadi
keratitis bakteri, keratitis jamur, keratitis virus, dan keratitis protozoa.
Gambaran Klinis Berdasarkan Lapisan
Keratitis epitalialis Mengenai Uji fluoresens Uji plasido
superfisialis kornea didepan (+) (+)
membrane
bowmen
Subepitel Mengenai Uji fluoresen Uji Plasido
kornea dibawah (-) (+)
epitel kornea
Profunda Didalam Didalam stroma Uji fluorescein Uji plasido
stroma kornea (-) (-)
kornea

20
A. Keratitis Bakterial

Keratitis bakteri adalah infeksi pada kornea yang disebabkan oleh


bakteri dan dapat menyebabkan timbulnya rasa sakit, penglihatan menurun,
fotofobia, mata berair atau mengeluarkan sekret yang pada kasus yang parah dapat
menyebabkan hilangnya penglihatan. Keratitis bakteri berkembang dengan cepat
dan kerusakan kornea bisa sempurna dalam 24 - 48 jam jika bakteri penyebabnya
memiliki virulensi yang tinggi. Tingkat keparahan infeksi kornea biasanya
bergantung pada kondisi kornea dan patogenisitas bakteri yang menginfeksi.
Infeksi mungkin terjadi pada pusat kornea atau bagian perifer kornea (bagian yang
paling dekat dengan sklera) atau keduanya. Keratitis dapat mempengaruhi satu
mata atau kedua mata. Keratitis mungkin ringan, sedang, atau parah dan mungkin
terkait dengan inflamasi bagian lain mata.
Spesies yang paling umum yang menyebabkan infeksi adalah
Staphylococcus, diikuti oleh Streptococcus, Pseudomonas, Enterobacteriaceae,
spesies Moraxella, dan Klebsiella pneumoniae. Dalam kelompok pediatrik,
patogen yang paling sering adalah dari genus Pseudomonas dan Staphylococcus.
Pada pengguna lensa kontak, baik bakteri gram positif maupun gram negatif
memiliki potensi yang sama dalam menimbulkan infeksi, walaupun spesies yang
paling umum ditemukan adalah Pseudomonas aeruginosa.
Gejala klinis pada keratitis bakteri tidak khas untuk agen spesifik
tertentu. Manifestasi klinis yang dihasilkan tergantung pada virulensi organisme

21
yang menginfeksi, metode inokulasi, waktu sejak dimulainya inokulasi, kondisi
kornea sebelumnya, terapi antimikroba dan kortikosteroid sebelumnya, serta
faktor host lainnya. Nyeri adalah gejala yang paling umum dari keratitis bakteri.
Gerakan kelopak mata akan meningkatkan rasa sakit. Tajam penglihatan biasanya
berkurang, terlebih bila area yang terlibat berada dalam jalur visual. Fotofobia,
blefarospasme, dan mata berair adalah gejala umum lainnya. Produksi sekret
mungkin terjadi bila infeksi terus-menerus terjadi. Temuan lain mungkin
termasuk hiperemis pada konjungtiva, reaksi papil nonspesifik, dan edema pada
kelopak bawah maupun atas.
B. Keratitis Fungal

Jamur adalah sekelompok mikroorganisme yang memiliki dinding kaku


dan nukleus yang berbeda dengan banyak kromosom yang mengandung DNA dan
RNA. Keratitis jamur jarang terjadi di negara beriklim sedang tetapi merupakan
penyebab utama kehilangan penglihatan di negara-negara tropis dan berkembang.
Meskipun sering berkembang secara diam-diam, keratitis jamur dapat
menimbulkan respons peradangan yang parah bahkan perforasi kornea sering
terjadi, dan pandangan untuk penglihatan sering buruk. Dua jenis jamur utama
menyebabkan keratitis yaitu ragi (genus candida) yang merupakan organisme
uniseluler ovoid yang berkembang biak dengan tunas yang bertanggung jawab
untuk sebagian besar kasus keratitis jamur di daerah beriklim sedang dan jamur
berfilamen (Fusarium dan Aspergillus) merupakan organisme multisel yang

22
menghasilkan proyeksi tubular yang dikenal sebagai hifa. Mereka adalah patogen
yang paling umum di iklim tropis, tetapi tidak jarang di daerah yang lebih dingin
keratitis sering mengikuti arah yang agresif.
Keluhan biasanya timbul lebih lambat dari terjadinya resiko sekitar 3 minggu
kemudian. Keluhan sakit mata hebat, berair dan silau. Pada mata terlihat infiltrat
berhifa dan satelit bila terletak didalam stroma, disertai cincin endotel dengan
plaque bercabang-cabang dengan endotelium plaque, gambaran satelit pada
kornea dan lipatan Descemet.

C. Keratitis Virus
1. Keratitis Herpes Simpleks
Keratitis herpes simpleks terjadi dalam dua bentuk yaitu infeksi primer
dan nfeksi rekurens. Infeksi primer terjadi akibat penularan melalui droplet atau
inokulasi langsung. Bentuk infeksi primer pada mata biasanya blefaritis dan
konjungtivitis folikular. Sedangkan infeksi rekuren terjdi akibat virus yang
dibawa menuju ganglion sensoris masuk ke dermatom tertentu yang menjadi
infeksi laten. Aktivasi dari virus yang masuk ke ganglion tersebut dapat dipicu
oleh demam, perubahan hormonal, radiasi ultraviolet, trauma dan jejas nervus
trigeminus.
Keratitis akibat herpes simpleks terbagi menjadi dua berdasarkan letak lesi
yaitu:
a. Keratitis Epitelial
Keratitis epitelial bermanifestasi secara klinis sebagai keratitis dendritic
aau geografik. Pada epitelial terjadi pembelahan virus di dalam sel epitel
yang mengakibatkan kerusakan sel dan membentuk tukak kornea
superfisial. Keratitis dendritik merupakan keratitis superfisial yang
membentuk garis infiltrate pada permukaan kornea kemudian membentuk
cabang.
 Gejala yang ditimbulkan berupa fotofobia, kelilipan, tajam
penglihatan menurun, konjungtiva hiperemis disertai sensibilitas kornea
yang hipestesia. Karena gejala ringan, pasien terlambat berkonsultasi dan
dapat menjadi tukak kornea. Pada pasien yang mengalami dengan tukak
dendritis dapat sembuh sempurna atau biasanya bisa meninggalkan

23
jaringan parut yang dapat menurunkan tajam penglihatan, bergantung pada
letak aksis visual.

b. Keratitis Stromal
Keratitis stromal dapat di sebablan oleh infeksi ataupun proses imunologi.
Pada Stromal diakibat reaksi imunologik tubuh terhadap virus yang
menyerang. Antigen (virus) dan antibodi (tubuh pasien) bereaksi di dalam
stroma kornea dan menarik sel leukosit dan sel radang lainnya. Sel ini
mengeluarkan bahan proteolitik untuk merusak antigen (virus) yang juga
merusak jaringan stromal di sekitarnya. Gambaran keratitis diskiformis
membentuk kekeruhan infiltrat yang bulat atau lonjong di dalam jaringan
kornea.


24
Gejala yang dapat di timbulkan akibat dari keratitis HSV berupa iritasi,
fotofobia serta mata yang berair. Dapat pula terjadi gangguan penglihatan bila
sudah terjadi atau mengenai kornea bagian sentral. Pasien memiliki riwayat
melepuh (vesikel), demam atau dapat pula gejala infeksi herpes lain, ulkus kornea
dapat terjadi pada herpes rekurens.
2. Keratitis Varicella-Zoster
Keratitis varicella zoster disebabkan oleh virus varicella zoster yang
teraktivasi dan menyebar melalui nervus trigeminuscabang oftalmikus. Dari
infeksi virus ini terjadi dalam dua bentuk yaitu varicella (primer) dan herpes
zoster (rekurens). Pada varisella tidak ditemukan klinis pada mata namun pada
infeksi rekurens sering dijumpai temuan klinis pada mata. Temuan klinis seperti
cacar dipalpebra dan tepi palpebral. Infeksi rekurens pula sering diketemukan
keratouveitis. Pada keratitis HSV rekurens hanya mengenai epitel saja sedngkan
pada keratitis VZV dapat mengenai stroma dan uvea anterior.

25
Manifestasi klinis yang terjadi pada VZV berupa rasa lelah, demam,
malaise dan nyeri kepala ini merupakan fase prodromal. Selain itu terdapat
manifestasi akut dan kronik, adapun manifestasi klinis akut berupa keratitis epitel
akut yang ditandai dengan lesi densritik kecil dan halus, konjungtivitis,
episkleritis, uveitis anterior, keratitis nummular yang ditandai dengan deposit
granular subepitel dikelilingi halo stroma keruh. Adapun manifestasi kronis
berupa neurotropikkeratitis, skleritis, keratitis plak mucus dan degenerasi lipid
pada keratitis nummular.
D. Keratitis Acantamoeba
Acanthamoeba adalah protozoa hidup bebas yang terdapat di dalam air
tercemar yang mengandung bakteri dan materi organik. Infeksi kornea oleh
Acanthamoebn biasanya dihubungkan dengan penggunaan lensa kontak lunak,
termasuk lensa hidrogel silikoru atau lensa kontak rigid (permeabel-gas) yang
dipakai semalaman, untuk memperbaiki kelainan refraksi (orthokeratologi).
Infeksi ini juga ditemukan pada individu bukan pemakai lensa kontak setelah
terpapar air atau tanah yang tercemar.
Gejala awal adalah rasa nyeri yang tidak sebanding dengan temuan
klinisnya, kemerahan, dan fotofobia. Tanda klinis yang khas adalah ulkus kornea
indolen, cincin stroma, dan infiltrat perineural, tetapi sering kali hanya ditemukan
perubahan-perubahan yang terbatas pada epitel kornea.
Gejala yang semakin memberat termasuk nyeri yang hebat, mata berair,
fotofobia, blepharospasm dan penglihatan kabur. Tanda-tanda keratitis
Acanthamoeba berevolusi selama beberapa bulan sebagai keratitis yang
memburuk secara bertahap dengan periode remisi sementara. Presentasi sangat

26
bervariasi, membuat diagnosis menjadi sulit. Lesi awal acanthamoeba keratitis
berupa limbitis, kasar, goresan opak, epitel halus dan kekeruhan subepitelial, dan
radial kerato-neuritis, dalam bentuk infiltrat sepanjang saraf kornea. Kasus lanjut
menunjukkan lesi berbentuk cincin sentral atau paracentral dengan infiltrat stroma
dan defek epitelial atasnya, yang akhirnya tampak sebagai abses cincin, hypopyon
juga bisa hadir.

4.6 Penegakan Diagnosis(4)


Penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan anamnesis, melihat gejala
klinik dan menentukan hasil pemeriksaan mata. Dari hasil anamnesis sering
diungkapkan riwayat trauma, adanya riwayat penyakit kornea, misalnya pada
keratitis herpetik akibat infeksi herpes simpleks yang kambuh. Anamnesis
mengenai pemakaian obat lokal oleh pasien, karena kortikosteroid merupakan
predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi, atau virus terutama keratitis herpes
simpleks.
Pada pasien dengan keratitis biasanya datang dengan keluhan iritasi
ringan, adanya sensasi benda asing, mata merah, mata berair, penglihatan yang

27
sedikit kabur, dan silau (fotofobia) serta sulit membuka mata (blepharospasme).
Penderita akan mengeluh sakit pada mata karena kornea memiliki banyak serabut
nyeri, sehingga amat sensitif. Kebanyakan lesi kornea superfisialis maupun yang
sudah dalam menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit diperberat oleh
kuman kornea bergesekan dengan palpebra. Karena kornea berfungsi sebagai
media untuk refraksi sinar dan merupakan media pembiasan terhadap sinar yang
masuk ke mata maka lesi pada kornea umumnya akan mengaburkan penglihatan
terutama apabila lesi terletak sentral pada kornea.
Dalam mengevaluasi peradangan kornea penting untuk membedakan
apakah tanda yang kita temukan merupakan proses yang masih aktif atau
merupakan kerusakan dari struktur kornea hasil dari proses di waktu yang lampau.
Sejumlah tanda dan pemeriksaan sangat membantu dalam mendiagnosis dan
menentukan penyebab dari suatu peradangan kornea seperti: pemeriksaan sensasi
kornea, lokasi dan morfologi kelainan, pewarnaan dengan fluoresin,
neovaskularisasi, derajat defek pada epithel, lokasi dari infiltrat pada kornea,
edema kornea, keratik presipitat, dan keadaan di bilik mata depan. Tanda-tanda
yang ditemukan ini juga berguna dalam mengawasi perkembangan penyakit dan
respon terhadap pengobatan.
Pemeriksaan diagnostik yang biasa dilakukan adalah :
1. Pemeriksaan tajam penglihatan

Pemeriksaan tajam penglihatan dilakukan untuk mengetahui fungsi
penglihatan setiap mata secara terpisah. Pemeriksaan dapat dilakukan
dengan menggunakan kartu Snellen maupun secara manual yaitu
menggunakan jari tangan. 

2. Uji dry eye

Pemeriksaan mata kering (dry eye) termasuk penilaian terhadap lapis film
air mata (tear film), danau air mata (tear lake), dilakukan uji break up time
tujuannya yaitu untuk melihat fungsi fisiologik film air mata yang
melindungi kornea. Penilaiannya dalam keadaan normal film air mata
mempunyai waktu pembasahan kornea lebih dari 25 detik. Pembasahan
kornea kurang dari 15 detik menunjukkan film air mata tidak stabil. 


28
3. Ofthalmoskop

Tujuan pemeriksaan untuk melihat kelainan serabut retina, serat yang
pucat atropi, tanda lain juga dapat dilihat seperti perdarahan peripapilar.
4. Keratometri (pengukuran kornea)

Keratometri tujuannya untuk mengetahui kelengkungan kornea, tear lake
juga dapat dilihat dengan cara fokus kita alihkan kearah lateral bawah,
secara subjektif dapat dilihat tear lake yang kering atau yang terisi air
mata.
5. Tonometri digital palpasi

Cara ini sangat baik pada kelainan mata bila tonometer tidak dapat
dipakai atau sulit dinilai seperti pada sikatrik kornea, kornea ireguler dan
infeksi kornea. Pada cara ini diperlukan pengalaman pemeriksa karena
terdapat factor subjektif, tekanan dapat dibandingkan dengan tahahan
lentur telapak tangan dengan tahanan bola mata bagian superior.

Dapat pula dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang untuk mengetahui


mikroorganisme penyebabnya, seperti
1. Kerokan kornea
Ini mungkin tidak diperlukan untuk infiltrasi kecil, terutama yang tanpa
cacat epitel dan jauh dari sumbu penglihatan. Kemudian digunakan media
kultur berupa agar darah yang terutama spesifik untuk bakteri dan jamur,
kecuali Neisseria, Haemophilus, dan Moraxella. Dapat digunakan juga
agar coklat untuk bakteri seperti H.influenzae, Neisseria, Moraxella. Agar
Sabouraud digunakan untuk kultur jamur.
2. Pewarnaan Gram, Giemsa, KOH, asam periodik Schiff, methenamine
silver dapat dilakukan untuk mengidentifikasi bakteri, jamur, maupun
virus
3. PCR
Cepat dan sangat sensitif (sampai 90%) dan mungkin merupakan metode
pilihan untuk identifikasi saat ini. Wadah yang mengandung kalsium dapat

29
menghambat aktivitas polimerase sehingga tatacara pengumpulan lharus
dipastikan sebelum pengumpulan spesimen.
4. Biopsi kornea
Diindikasikan pada keratitis jamur yang dicurigai dengan tidak adanya
perbaikan klinis setelah 3-4 hari dan jika tidak terjadi pertumbuhan dari
kerokan setelah seminggu. Blok 2-3 mm harus diambil, mirip dengan
eksisi blok skleral selama trabekulektomi. Jamur filamen cenderung
berkembang biak hanya di anterior membran Descemet dan spesimen
stroma dalam mungkin diperlukan. Blok yang dieksisi dikirim untuk
analisis kultur dan histopatologi.
4.7 Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan keratitis adalah mengeradikasi penyebab keratitis,
menekan reaksi peradangan sehingga tidak memperberat destruksi pada kornea,
mempercepat penyembuhan defek epitel, mengatasi komplikasi, serta
memperbaiki ketajaman penglihatan. Ada beberapa hal yang perlu dinilai dalam
mengevaluasi keadaan klinis keratitis meliputi: rasa sakit, fotofobia, lakrimasi,
rasa mengganjal, ukuran ulkus dan luasnya infiltrat.

A. Keratitis Bakterial
Pada keratitis akibat bakteri dapat diberikan terapi antibiotic topical
berupa:
 Terapi empiris : fluorokuinolon (ofloxacin 0,3%, levofloksasin 0,3%,
gantifloxacin 0,3%) + gentamicin 1,5% atau sefazolin
 Kokus gram positif : vankomisin 5%, fluorokuinolon 0,3%, atau
sefuroksim 0,3%
 Batang gram negative : fluorokuinolon 0,3% atau seftriason 5%
 Mycobacterium : amikacin 2%, klaritromisin 1%.
Terapi lain dapat pula diberikan antibiotic subkonjungtiva abapbila
terdapat kepatuhan berobat yang rendah. Midriatiku dapat diberikan untuk
mencegah terbentuknya sinekia posterior dan mereduksi nyeri. Adapula
antiglaukoma dapat diberikan apabila terdapat komplikasi glaukoma sekunder.
B. Keratitis Jamur

30
Terdapat dua tatalaksana pada keratitis jamur yaitu nonfarmakologis dan
farmakologis. Terapi nonfarmakalogi dapat dilakukan dengan menghentikan
penggunaan lensa kontak dan menggunakan pelindung mata terutama bila
terdapat penipisan atau perforasi kornea. Sedangkan tatalaksana farmakologi
dapat diberikan terapi topical :
 Candida : amfoterisin B 0,25 %, natamisin 5%, atau flukonazol
2%.
 Antibiotic spectrum luas untuk mencegah infeksi sekunder dapat
dipertimbangkan
Serta dapat diberikan fluconazole intrastromal atau subkonjungtiva untuk kasus
yang berat. Antifungi sistemik dapat diberikan pada infeksi jamur yang berat.
C. Keratitis Virus
Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epitelial,
karena virus berlokasi di dalam epitel. Debridement juga mengurangi beban
antigenik virus pada stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea, namun
epitel terinfeksi mudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan aplikator
berujung kapas khusus. Yodium atau eter topikal tidak banyak manfaat dan dapat
menimbulkan keratitis kimiawi. Obat siklopegik seperti atropi 1 % atau
homatropin5% diteteskan kedalam sakus konjugtiva, dan ditutup dengan sedikit
tekanan. Pasien harus diperiksa setiap hari dan diganti penutupnya sampai defek
korneanya sembuh umumny adalah 72 jam.
Pengobatan tambahan dengan anti virus topikal mempercepat pemulihan
epitel. Terapi obat topikal tanpa debridement epitel pada keratitis epitel memberi
keuntungan karena tidak perlu ditutup, namun ada kemungkinan pasien
menghadapi berbagai keracunan obat.
1. Herpes Simpleks
Tatalaksana pada keratitis akibat HSV berdasarkan bentuk yaitu pada
keratitis epitel diberikan terapi topical seperti acyclovir 3% atau gel gansiklofir
diberikan 5 kali sehari. Bila terjadi ulkus densritik dapat dilakukan debridement.
Toksisitas dapat ditandai dengan erosi pungtata superfisial, epitel terlipat,
konjungtivitis volikuler. Adapun tatalaksana berdasarkan keratitis disciform yaitu

31
dapat diberikan terapi awal dengan steroid topical (prednisolone 1% atau dapat
pula diberikan deksametasone 0,1%. Terapi tersebut diberikan secara tapering off.
Selain itu dapat diberikan antiviral. Adapun tatalaksana ulkus neurotropic yaitu
dengan memenejemen terutama dengan menatalaksana defek eptel, steroid topical
bila dibutuhkan.
2. Varicella Zoster
Pada tatalaksana VZV dapat diberikan asiclovir oral 800 mg perhari
selama 7-10 hari, antiviral topical tidak efektif, steroid topical digunakan pada
pasien dengan keratitis nummular, keratitis intertisial, dan keratitis disciform.
D. Keratitis Acantomoeba
Tatalaksana pada keratitis ini dapat dilakukan debridement epitel untuk
tahap awal. Terapi obat pada kasus ini dapat dimulai dengan larutan isethionate
propamidine topical 1% secara intensif dan salah satu dari larutan
polyhexamethylene biguanide 0,01-0,02% dan tetes mata neomycin forte.
Kortikosteroid dapat diberikan untuk mengendalikan reaksi radang di dalam
kornea. Keratoplasti dapat dilakukan pada penyakit yang telah lanjut untuk
menghentikan progesivitas infeksi atau setelah mengalami resolusi dan terbentuk
jaringan parut untuk memulihkan penglihatan.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2015
2. Sitorus RS et al editors. Buku Ajar Oftalmologi. Jakarta:Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2017
3. White ML,Chodos J. Herpes Simplex Virus Keratitis:A Treatment Guaidline.
American Academy Of Ophtalmology.2014
4. Riordon-Eva P, Whitcher JP. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Edisi
17. Indonesia: EGC. 2010
5. Tanto C et al editors. Kapita Selekta Kedokteran. Ed 4. Jakarta:Media
Aesculapius.2014:373-7
6. Sherrwood, Lauralee. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem. Ed 8.
Jakarta:EGC.2013
7. Austin A, Lietman T, Nussbaumer JR. Update On The Management Of
Infection Keratitis. American Academy Of
Ophtalmology.2017:124(11);1678-86
8. Azher TM, Yin XT, Taijirouz D, Huang AJW,Stuart PM. Herpes Simplex
Keratitis:Challenges In Diagnosis And Clinical Managenet. Clinical
Oftalmologi.2017:11;185-191
9. Ibrahim MM, Vanini R, et al. Epidemiology and medical protection of
microbial keratitis on southeast Brazil. Brazil: Arq Bras Oftalmol. 2011; 74
(1): 7-12 

10. Wahyudi F, Wahdini S. Tingkat Pengetahuan Mengenai Faktor Risiko
Acanthamoeba Keratitis Pada Pengguna Lens Kontak Dan Hubungannya
Dengan Karakteristik Mahasiswa FKUI.Depatemen FKUI.2014
11. King AL, et al. Predisposing Factors, Microbial Characteristics, And Clinical
Outcome Of Microbial Keratitis In A Teriary Centre In Hongkong:A-Year
Experience. Hindawi Jounal Of Ophtalmology.2015
12. Gebremariam TT, Alemu TA, Daba KT. Bacteriology And Risk Factors Of
Bacterial Kertitis in Ethiopia.IMedPub Journal.2015:9(5);1-5

33
13. Kunski’s. Clinical Ophtalmology.Ed 8. Elsevier.2016
14. Kurana AK. Comprehensive Ophtalmology. Ed 4. New Age International
Publisher.2007
15. Insani ML, Adioka IGM, Artini I, Mahendra AN. Karakteristik Dan
Manajemen Konjungtivitis Pasien Rawat Jalan Di Rumah Sakit Indera
Denpasar Periode Januai-April 2014. E-Jurnal Medika 2017:6(7)

34

Anda mungkin juga menyukai