Disusun Oleh :
Kelompok 6
‘AISYIYAH BANDUNG
Jl. K. H. Ahmad Dahlan No. 6 Bandung
1
KATA PENGANTAR
ٱلر ۡح َٰم ِن ه
ٱلر ِح ِيم ِب ۡس ِم ه
ٱَّللِ ه
Assalammuallaikum wr.wb
Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang mana telah
melimpahkan rahmatnya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
menegenai analisa kasus “Euthanasia” ini dengan lancar dan tanpa hambatan sedikitpun.
Allah Maha Besar.
Namun, kami menyadari kalau kami adalah manusia biasa yang tak pernah luput
dari kekurangan demikianpun apa yang kami buat ini. Kami banyak berharap kritik dan
saran dari pembaca sehingga kami dapat menyempurnakan laporan-laporan yang akan
kami buat kedepannya. Kiranya dapat berguna bagi pendidikan kesehatan khususnya bagi
perawat dan pembaca.
Adapun tujuan kami membuat analisa kasus ini yaitu untuk menyelesaikan tugas
kuliah Asuhan Keperawatan Spiritual Muslim.
Kelompok 6
i
DAFTAR ISI
Halaman
A. Pengertian ..................................................................................................... 4
B. Jeni-Jenis Euthanasia .................................................................................... 4
C. Dilema Etik Euthanasia Di Beberapa Negara ............................................... 6
D. Beberapa Aspek Yang Mengtur Euthanasia di Indonesia .............................. 8
E. Sudut Pandang Islam Terhadap Euthanasia .................................................. 11
F. Pro dan Kontra Kasus Euthanasia ................................................................. 16
G. Solusi Pengambilan Keputusan Kasus Dilema Etik ..................................... 18
H. Prinsip-prinsip Moral Keperawatan .............................................................. 22
A. Kasus ............................................................................................................. 23
B. Pembahasan .................................................................................................. 23
A. Kesimpulan ................................................................................................... 31
B. Saran .............................................................................................................. 32
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak pasien untuk mati, yang seringkali dikenal dengan istilah euthanasia,
sudah kerap dibicarakan oleh para ahli. Namun masalah ini akan terus menjadi
bahan perdebatan, terutama jika terjadi kasus-kasus menarik. Untuk itulah
masalah skenario pertama mengenai kasus euthanasia sangat menarik untuk
dibahas.
1
Profesi keperawatan mempunyai kontrak sosial dengan masyarakat, yang
berarti masyarakat memberi kepercayaan kepada profesi keperawatan untuk
memberikan pelayanan yang dibutuhkan. Konsekuensi dari hal tersebut
tentunya setiap keputusan dari tindakan keperawatan harus mampu
dipertanggung jawabkan dan dipertanggung gugatkan dan setiap penganbilan
keputusan tentunya tidak hanya berdasarkan pada pertimbangan ilmiah semata
tetapi juga dengan mempertimbangkan etika.
Etika adalah peraturan atau norma yang dapat digunakan sebagai acuan
bagi perlaku seseorang yang berkaitan dengan tindakan yang baik dan buruk
yang dilakukan seseorang dan merupakan suatu kewajiban dan
tanggungjawanb moral. (Nila Ismani, 2001)
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
2
g. Mengetahui peran perawat dalam menciptakan soulusi pada kasus
dilemma etik Euthanasia
C. Manfaat Penulisan
3
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian Euthanasia
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti indah, bagus,
terhormat atau gracefully and with dignity dan Thanatos yang berarti mati.
Jadi secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik.
Sedangkan secara harafiah, euthanasia tidak dapat diartikan sebagai
pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa seseorang.
Kata euthanasia terdiri dari dua kata dari bahasa Yunani eu (baik)
dan thánatos (kematian). Jadi secara harafiah euthanasia berarti mati yang
layak atau mati yang baik (good death) atau kematian yang lembut. Beberapa
kata lain yang berdasar pada gabungan dua kata tersebut
misalnya: Euthanatio: aku menjalani kematian yang layak,
atau euthanatos (kata sifat) yang berarti “mati dengan mudah“, “mati dengan
baik” atau “kematian yang baik”. (K. Bertens, 2001)
B. Jenis-Jenis Euthanasia
4
Pandangan yang mengelompokkan euthanasia sebagai aktif dan pasif
mendasarkannya pada cara euthanasia itu dilakukan.
2. Euthanasia pasif, baik atas permintaan atau pun tidak atas permintaan
pasein. Yaitu ketika dokter atau tenaga kesehatanlain secara sengaja tidak
(lagi) memberikan bantuan medis yang mana dapat memperpanjang hidup
kepada pasien (dengan catatan bahwa perawatan rutin yang optimal untuk
mendampingi atau membantu pasiendalam fase terakhirnya tetap
diberikan) (KartonoMuhammad, 1992:31)
5
seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan
yang keliru oleh siapapun juga. Hal ini terjadi apabila seseorang yang
tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan,
misalnya hanya seorang wali dari pasien dan mengaku memiliki hak untuk
mengambil keputusan bagi pasien tersebut.
(Billy, 2008)
C. Dilema Etik
Dilema etik merupakan suatu masalah yang sulit dimana tidak ada
alternatif yang memuaskan atau suatu situasi dimana alternatif yang
memuaskan dan tidak memuaskan seanding. Dalam dilema etik tidak ada yang
benar atau salah. Untuk membuat keputusan yang etis seseorang harus
tergantung pada pemikiran yang rasional dan bukan emosional (Thomson &
Thomson, 1985; CNA, 2002).
1. Belanda
6
sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri
penderitaannya.
3. Republik Ceko
7
Indonesia sendiri belum terdapat payung hukum yang mengatur secara
khusus perihal euthanasia. Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang
kesehatan dan kode etik kedokteran tidak mengatur perihal euthanasia.
1. Aspek Hukum
Untuk jenis euthanasia aktif maupun pasif tanpa perintah, beberapa pasal
yang berhubungan dengan euthanasia adalah :
Pasal 340 KUHP : “Barang siapa dengan sengaja den direncanakan lebih
dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan
direncanakan (moord) dengan hukuman mati atau penjara selama-lamanya
seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun”.
8
Selanjutnya dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan
kalangan kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia :
Pasal 345 KUHP : ”Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain
untuk membunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau
memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara selama-
lamanya empat tahun.
Pasal 356 (3) KUHP yang juga mengancam terhadap “Penganiayaan yang
dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan
kesehatan untuk dimakan atau diminum”. Selain itu patut juga
diperhatikan adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304
dan Pasal 306 (2).
Hak azasi manusia (HAM) selalu dikaitkan dengan hak hidup, hak damai
dan sebagainya. Tapi tidak tercantum jelas adanya hak seseorang untuk mati.
Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran HAM, terbukti dari
9
aspek hukum euthanasia yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam
pelaksanaan euthanasia. Sebenarnya, dengan dianutnya hak untuk hidup layak
dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk
mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan
atau lebih jelas lagi dari segala penderitaan yang hebat. Euthanasia aktif jelas
melanggar, UU RI No. 39 tahun 1999 tentang HAM, yaitu Pasal 4, Pasal 9
ayat 1, Pasal 32, Pasal 51, Pasal 340, Pasal 344, dan Pasal 359.
4. Aspek Agama
Kelahiran & kematian merupakan hak prerogatif Tuhan dan bukan hak
manusia sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak
untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Atau dengan
kata lain, meskipun secara lahiriah atau tampak jelas bahwa seseorang
menguasai dirinya sendiri, tapi sebenarnya ia bukan pemilik penuh atas
dirinya. Ada aturan-aturan tertentu yang harus kita patuhi & kita imani sebagai
aturan Tuhan.
Jadi, meskipun seseorang memiliki dirinya sendiri, tetapi tetap saja ia tidak
boleh membunuh dirinya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli agama secara
tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter dapat
dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan dengan
memperpendek umur seseorang. Orang yang menghendaki euthanasia,
walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang-kadang dalam keadaan
sekarat dapat dikategorikan putus asa dan putus asa tidak berkenan di hadapan
10
Tuhan.Tetapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar
bugar dan tentunya sangat tidak ingin mati dan tidak sedang dalam
penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama
yang satu ini. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya
bila dikaitkan dengan usaha medis dapat menimbulkan masalah lain.
Oleh sebab itu, ketika kita melakukan perlindungan terhadap nyawa atau
jiwa manusia, sebenarnya kita juga sedang menegakkan hukum agama,
sekalipun wujud materinya sudah berbentuk hukum positif atau hukum
negara. (Ismail: 2005).
Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut
merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat
menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22:66; 2:243). Oleh
karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada
teks dalam Al Quran ataupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri.
Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, “Dan
belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan
dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”. (QS 2:195),
dan dalam ayat lain disebutkan “Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri,”
(QS 4;29), yang makna langsungnya adalah “Janganlah kamu saling
11
berbunuhan”. Dengan demikian seorang Muslim (Dokter) yang membunuuh
seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya
sendiri. Eutanasia dalam ajaran Islam dsebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut
(euthanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan
sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan
meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif.
Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait 1981,
dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya
euthanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing)
dalam apapun juga.
1. Euthanasia Aktif
“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang
lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)
12
pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak pidana
(jarimah) dan dosa besar. Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya
dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan
dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam
(Khilafah), sesuai firman Allah :
Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di
antaranya dalam keadaan bunting, berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i
(Al-Maliki, 1990: 111). Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau
dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram
emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700
gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki, 1990: 113). Tidak
dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan
melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan
kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di
balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau
manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif,
pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan
Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW
bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik
kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang
13
menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan
musibah yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
2. Euthanasia Pasif
14
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat.
Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat
wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan
bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu
membolehkan tidak berobat. Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu
Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW
lalu berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering
tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk
kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan
akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia
menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu
dia berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku
kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka
Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari).
15
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu
kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang
hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti
menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –
setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram
bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter
tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab
mengenai tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili, 1996:500; Utomo,
2003:182).
Jika euthanasia atau suntik mati dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia,
memang akan berbeda pendapat dalam menjawabnya antara pro dan kontra
terhadap pelaksanaan euthanasia atau suntik mati tersebut. Hak asasi manusia
bisa dikatakan sebagai momok yang seakan sangat menakutkan bagi setiap
orang, karena segala sesuatu selalu akan dihubungkan dengan otonomi
kemanusiaan itu sendiri. Akhirnya sulit menentukan apa sebenarnya makna
yang dikehendaki oleh hak asasi manusia. Jika melihat kasus di negara Inggris
yang telah melegalkan euthanasia atau suntik mati pada prinsipnya bukan
16
merupakan kesepakatan bulat dikalangan pemerintahannya, karena disatu sisi
masih ada yang menolaknya dengan alasan terkait dengan hak asasi manusia.
Dilihat dari sudut pandang caring terkait empat prinsip etik – otonomi, non
maleficence ( tidak merugikan orang lain), beneficence (memaksimalkan
manfaat dan meminimalkan kerugian) dan justice (keadilan) menjadi topik
bahan diskusi. Ada yang mendukung, akan tetapi ada juga yang menolak
tindakan eutanasia ini (Toon Quaghebeur, et.al, 2009).
17
perawatan yang maksimal, termasuk didalamnya adalah eutanasia (Oduncu,
2003). Farsides (1996) menekankan eutanasia bukanlah tanda dari kegagalan
perawatan, karena eutanasia merupakan bagian dari moral, walau alternatif
pengobatan yang lain ada. Dan Kuhse (1997) berpendapat eutanasia
merupakan bentuk perawatan yang spesialis.
18
dengan euthanasia. Dan euthanasia ini termasuk kedalam masalah etik (Enes
& de Vries, 2004; Georges & Grypdonck, 2002; Hutchinson, 1990; Lorensen,
Davis, Konishi & Bunch, 2003).
Alternatif yang dapat diberikan pada pasien disini oleh seorang perawat
dengan memberikan informasi akan euthanasia (Hutchinson, 1990), atau
19
melalui komunikasi antara pasien, keluarga, tim medis dan lainnya. Dan
perawat disini memberikan informasi berkaitan dengan hal tersebut (Redman
& Fry, 2000). Alternatif yang lain dengan mendiskusikan terapi yang
diberikan pada pasien dengan dokter yang menangani sehingga didapatkan
informasi yang lengkap dan jelas sebelum pasien memutuskan euthanasia
(Wurzbach, 1999). Tentunya didalam teknik perawatan juga harus
diperhatikan seperti perhatian, sentuhan, pemberian informasi merupakan hal
yang penting didalam perawatan paliatif terhadap pasien. Yang nantinya
dapat mempengaruhi pengambilan keptusan yang dibuat. Didalam
memikirkan alternative penyelesaian masalah etik perawat memperhatikan
tiga faktor yaitu : (a) fokus akan kebutuhan pasien, (b) Meyakini perawat
mempunyai kewajiban terhadap pasiennya, (c) Mempunyai perasaan untuk
menyelesaikan masalah etik pasiennya (Sleutel, 2000; Wurzbach, 1999).
Terkadang perawat berperilaku fokus hanya pada dirinya (Sleutel, 2000), tidak
mempunyai kekuatan dan pasif (Ahern & McDonald, 2002) sehingga tidak
mau terlibat dengan masalah etik yang terjadi pada pasiennya. Termasuk
disini masalah euthanasia, terlihat seperti lampu kecil yang tidak ada
alternative untuk menyelesaikannya (Lutzan & Schreiber, 1998). Perawat
dapat berperan disini untuk mengkompromikan tindakan yang dilakukan,
mengkritis hal-hal yang tidak masuk akal, atau mencari penyelesaian yang
baik (Woods, 1999). Dan hal ini dilakukan dengan pendekatan interpersonal
dan organisasional (Ceci, 2004). Termasuk kedalamnya perawatan pasien
terminal sebelum keputusan euthanasia dibuat.
4. Memilih alternative
Diperoleh melalui diskusi dengan teman kerja, atasan, hal ini akan
membantu didalam sensitivitas akan masalah etik yang ada dan
penyelesaiannya (Fry et al., 2002; Hart, Yate, Clinton & Windsor, 1998).
Penelitian menunjukkan permasalahan etik yang sebelumnya membantu
didalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan masalah tersebut
(Lorensen et al., 2003). Akan tetapi perlu diperhatikan didalam pengambilan
keputusan ada batasan –batasannya seperti struktur organisasi didalam peran,
kekuatan hubungan dan hal ini berdampak terhadap keputusan perawat
20
didalam penyelesaian masalah etik (Falk Rafael, 1996). Dan yang paling
berperan didalam penyelesaian masalah etik adalah adanya hubungan
interpersonal yang baik antara pasien dan perawat dan juga dengan tenaga
kesehatan lainnya(Bergum, 2004). Hal ini akan membuat penyelesaian
masalah etik menjadi efektif termasuk kedalamnya kasus euthanasia.
5. Melaksanakan keputusan
6. Mengevaluasi
Dalam tahap evaluasi perlu dilihat kembali apakah hasil yang didapatkan
sesuai dengan keinginan pasien, adanya konflik baru diantara perawat atau
tenaga kesehatan lain. Dalam kenyataan ketika memenuhi kewajiban untuk
merawat pasien dalam menyelesaikan masalah etik sering menyebabkan
menurunnya kualitas kerja yang efektif antara perawat itu sendiri dan juga
berdampak terhadap struktur organisasi.
21
H. Prinsip-Prinsip Moral/Etik Dalam Praktek Keperawatan
1. Autonomi
Autonomi berarti mengatur dirinya sendiri, prinsip moral ini sebagai dasar
perawat dalam memberikan asuhan keperawatan dengan cara menghargai
pasien, bahwa pasien adalah seorang yang mampu menentukan sesuatu bagi
dirinya. Perawat harus melibatkan pasien dalam membuat keputusan tentang
asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien. Aplikasi prinsip moral
otonomi dalam asuhan keperawatan ini contohnya adalah seorang perawat
apabila akan menyuntik harus memberitahu untuk apa obat tersebut, prinsip
otonomi ini dilanggar ketika seorang perawat tidak menjelaskan suatu
tindakan keperawatan yang akan dilakukannya, tidak menawarkan pilihan
misalnya memungkinkan suntikan atau injeksi bisa dilakukan di pantat kanan
atau kiri dan sebagainya. Perawat dalam hal ini telah bertindak sewenang-
wenang pada orang yang lemah.
2. Benefecience
22
sehingga keputusan yang diambil perawat pun yang terbaik bagi pasien dan
keluarga.
Adapun dalam kondisi darurat Allah swt. Berfirman, “ Maka barang siapa
yang terpaksa sedang ia tidak menginginkanya dan tidak pula melampaui
batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang” (Al-An’am : 145) . Begitulah perawat tidak menyelamatkan jiwa
pasien tersebut dalam keadaan terpaksa yaitu tidak memberikan tranfusi yang
sebenarnya bisa menyelamatkan jiwa pasien.
3. Justice
23
Sebagai contoh dari penerapan tindakan justice ini adalah dalam
keperawatan di ruang penyakit bedah, sebelum operasi pasien harus
mendapatkan penjelasan tentang persiapan pembedahan baik pasien di ruang
VIP maupun kelas III, apabila perawat hanya memberikan kesempatan salah
satunya maka melanggar prinsip justice ini. Hukum islam juga mengatur
bahwa manusia itu hendaknya berbuat adil pada sesama. Firman Allah swt :
“Sesungguhnya Allah memerintahkan adil dan berbuat baik” (An-Nahl 90)
4. Veracity
Veracity menurut Chiun dan Jacobs (1997) sama dengan truth telling yaitu
berkata benar atau mengatakan yang sebenarnya. Veracity merupakan suatu
kuajiban untuk mengatakan yang sebenarnya atau untuk tidak membohongi
orang lain atau pasien (Sitorus, 2000). Perawat dalam bekerja selalu
berkomunikasi dengan pasien, kadang pasien menanyakan berbagai hal
tentang penyakitnya, tentang hasil pemeriksaan laboratorium, hasil
pemeriksaan fisik seperti, “berapa tekanan darah saya suster?”, bagaimana
hasil laboratorium saya suster?’ dan sebagainya. Hal-hal seperti itu harusnya
dijawab perawat dengan benar sebab berkata benar atau jujur adalah pangkal
tolak dari terbinanya hubungan saling percaya antar individu dimanapun
berada.
Allah Ta’ala berfirman dalam Al Qur’an (Al Hajj : 30), “Dan jauhilah
perkataan-perkataan dusta”. (Nawawi,1999 : 447)
24
Seorang perawat yang professional dan islami akan berperilaku secara
profesional dan islami juga. Dari Abu Muhammad Al-Hasan bin Ali bin Abi
Thalib ra, ia berkata “Saya menghafal beberapa kalimat dari Rasullullah saw,
yaitu : “Tinggalkanlah apa yang kamu ragukan dan kerjakanlah apa yang tidak
kamu ragukan, sesungguhnya jujur itu menimbulkan ketenangan dan dusta itu
menimbulkan kebimbangan. (HR. Tirmidzi). Tentang berkata jujur dalam
agama islam juga diwajibkan yaitu Allah Ta’ala berfirman : “Hai orang-orang
yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan berkatalah dengan
perkataan yang benar” (Al-Ahzab : 70)
5. Avoiding Killing
25
6. Fedelity
26
BAB III
A. Kasus
Seorang pasien bernama Ny.T datang ke IGD dengan keadaan tidak sadarkan
diri, GCS E : 1 M : 3 V : 2, nampak nafas berat, suara nafas stridor, TTV TD :
80/50 HR : 116 SpO2 85% tanpa O2 saat pertama datang. Menurut keluarga
os menderita Kanker Ovarium Meta Paru sudah di lakukan kemotherapi dan
sinar. Setelah dilakukan pengkajian dan penanganan os di sarankan masuk
ICU karena dengan penurunan kesadaran beresiko terjadi gagal nafas. Namun
saat itu keluarga menolak dengan alasan kasian kepada pasien apabila harus di
pasang alat bantu (ETT) dan kondisi di ruang ICU pasen tidak bisa di tunggu.
Keluarga sudah diberikan penjelasan oleh pihak dokter dan perawat perihal
kondisi pasien saat ini juga proses penatalaksanaan yang akan di lakukan serta
segala resiko yang mungkin saja bisa terjadi, akan tetapi keluarga tetap
menolak dan akhirnya keluarga melakukan pernyatanaan untuk do not
resuscitation (DNR) dengan resiko henti nafas henti jantung bisa saja terjadi
kapan saja dengan kondisi pasien seperti ini.
Pembahasan
1. Pada kasus di atas bila di tinjau dari pengertian euthanasia pasif, dapat di
kategorikan euthanasia pasif, namun masih perlu analisa mendalam
terhadap kasus tersebut, factor-faktor apa saja yang menjadi penyebab
keputusan tersebut di ambil? sudah sesuaikah peran atau tindakan yang
27
dilakukan oleh pihak medis dan keputusan yang akan di ambil keluarga
dalam kasus ini?
Pada tahapan ini perawat harus mampu berkolaborasi dengan tim tenaga
medis lain untuk menidentifikasi masalah etik yang ada, tidak hanya dengan
dr. Jaga di IGD tetapi harus sampai pada dokter spesialis onkologi ataupun
KIC. Perawat juga harus menumpulkan informasi apa factor penyebab adanya
dilem etik tersebut.
28
Didalam mengembangkan alternative untuk menyelesaikan masalah etik
harus diperhatikan hasil yang diterima oleh pasien dan dampak terhadap
perawat itu sendiri. Alternatif yang dipilih berdasarkan tidak ada resiko
terhadap perawat, tidak menimbulkan reaksi yang negative dari pihak lain
(termasuk didalamnya tenaga medis dan administrasi rumah sakit).
Alternatif yang dapat diberikan pada pasien disini oleh seorang perawat
dengan memberikan informasi, atau melalui komunikasi antara pasien,
keluarga, tim medis dan lainnya. Dan perawat disini memberikan informasi
berkaitan dengan hal tersebut, Alternatif yang lain dengan mendiskusikan
terapi yang diberikan pada pasien dengan dokter yang menangani sehingga
didapatkan informasi yang lengkap dan jelas. Tentunya didalam teknik
perawatan juga harus diperhatikan seperti perhatian, sentuhan, pemberian
informasi merupakan hal yang penting didalam perawatan paliatif terhadap
pasien. Yang nantinya dapat mempengaruhi pengambilan keptusan yang
dibuat. Didalam memikirkan alternative penyelesaian masalah etik perawat
memperhatikan tiga faktor yaitu : (a) fokus akan kebutuhan pasien, (b)
Meyakini perawat mempunyai kewajiban terhadap pasiennya, (c) Mempunyai
perasaan untuk menyelesaikan masalah etik pasiennya (Sleutel, 2000;
Wurzbach, 1999). Perawat dapat berperan disini untuk mengkompromikan
tindakan yang dilakukan, mengkritis hal-hal yang tidak masuk akal, atau
mencari penyelesaian yang baik, dan hal ini dilakukan dengan pendekatan
interpersonal dan organisasional (Ceci, 2004). Termasuk kedalamnya
perawatan pasien terminal sebelum keputusan dibuat.
d. Memilih alternative
Diperoleh melalui diskusi dengan teman kerja, atasan, hal ini akan
membantu didalam sensitivitas akan masalah etik yang ada dan
penyelesaianny. Akan tetapi perlu diperhatikan didalam pengambilan
keputusan ada batasan –batasannya seperti struktur organisasi didalam peran,
kekuatan hubungan dan hal ini berdampak terhadap keputusan perawat
didalam penyelesaian masalah etik. Dan yang paling berperan didalam
penyelesaian masalah etik adalah adanya hubungan interpersonal yang baik
29
antara pasien, keluarga dan perawat dan juga dengan tenaga kesehatan
lainnya, sehingga hal ini akan membuat penyelesaian masalah etik menjadi
efektif.
e. Melaksanakan keputusan
f. Mengevaluasi
Dalam tahap evaluasi perlu dilihat kembali apakah hasil yang didapatkan
sesuai dengan keinginan pasien, adanya konflik baru diantara perawat atau
tenaga kesehatan lain. Dalam kenyataan ketika memenuhi kewajiban untuk
merawat pasien dalam menyelesaikan masalah etik sering menyebabkan
menurunnya kualitas kerja yang efektif antara perawat itu sendiri dan juga
berdampak terhadap struktur organisasi.
30
BAB IV
A. Kesimpulan
31
tindakan yang baik dan buruk yang dilakukan seseorang dan merupakan suatu
kewajiban dan tanggungjawanb moral.
B. Saran
1. Institusi Pendidikan
Agar memberikan feedback positif terhadap makalah ini, agar bila terjadi
kesalahan dalam penulisan ataupun kekeliruan dalam isi materi makalah ini
dapat di perbaiki dan tidak menimbulkan salah tafsir datau pro kontra yang
menyebabkan timbulnya masalah baru, sehingga di penulisan kedepan
makalah ini dapat dikembangkan dengan lebih baik.
2. Mahasiswa
32
DAFTAR PUSTAKA
AL-Quran Al Karim
Al-Maliki, Abdurrahman. 1990. Nizham Al-‘Uqubat. Beirut : Darul Ummah.
An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz III. Al-Quds:
Mansyurat Hizb Al-Tahrir.
Audah, Abdul Qadir. 1992. At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islami. Beirut : Muassasah
Ar-Risalah.
Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu.Juz IX (Al
Mustadrak). Damaskus : Darul Fikr.
Hasan, M.Ali. 1995. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah
Kontemporer Hukum Islam. Jakarta : RajaGrafindo Persada.
Kozier B., Erb G., Berman A., & Snyder S.J, (2004), Fundamentals of Nursing
Concepts, Process and Practice 7th Ed., New Jersey: Pearson Education
Line.
Taylor C., Lilies C., & Lemone P. (1997), Fundamentals of Nursing, Philadelphia
: Lippincott
Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah
Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press
Zallum, Abdul Qadim. 1997. Hukm Asy-Syar’i fi Al-Istinsakh, Naql A’dha`, Al-
Ijhadh, Athfaal Al-Anabib, Ajhizatul In’asy At-Tibbiyah, al-Hayah wa al-
Maut. Beirut :Darul Ummah.Zallum, Abdul Qadim. 1998. Beberapa
Problem Kontemporer dalam Pandangan Islam : Kloning, Transplantasi
Organ Tubuh, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan OrganTubuh Buatan,
Definisi Hidup dan
Mati. Bangil : Al Izzah.
Zuhdi, Masjfuk. 1993. Masail Fiqhiyah. Cetakan VI. Jakarta : CV. Haji Masagung
Arifin Rada. 2013. Euthanasia dalam Perspektif Hukum Islam. Jurnal
Perspektif Volume XVIII No. 2 Tahun 2013 Edisi Mei (diakase melalui
http://www.jurnal-perspektif.org/index.php/perspektif/article/view/119
tanggal 19 Maret 2019 19.30)
33
Elmina, Marta A. 1997. Euthanasia Dalam Prespektif Hukum Islam. Jurnal
Fakultas Hukum UI No 8 Vol 5 ( diakses melalui neliti.com
https://www.neliti.com/id/publications/87125/euthanasia-dalam-
perspektif-hukum-islam tanggal 19 Maret 2019 19.30)
Hayati, Nur. 2004. Euthanasia Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Dan
Kaitannya Dengan Hukum Pidana. Lex Jurnalica /Vol. 1 /No.2 /April 2004
(diakses melalui neliti.com/ Repositori Ilmiah Indonesia
https://www.neliti.com/id/publications/12562/euthanasia-dan-hak-asasi-
manusia tanggal 19 Maret 2019 19.35)
Suwarto. 2009. Euthanasia dan Perkembangannya dalam Kitab Undang-Undang
Hukum pidana. Jurnal Hukum Pro Justitia Vo. 27 No 2 (diakses melalui
neliti.com/ Repositori Ilmiah Indonesia
https://www.neliti.com/id/publications/13078/euthanasia-dan-
perkembangannya-dalam-kitab-undang-undang-hukum-pidana tanggal 19
Maret 2019 19.35)
Lisnawaty Badu. 2012. EUTHANASIA DAN HAK ASASI MANUSIA. Jurnal
Legalitas VOL 05, NO 01, 2012 (diakses melalui neliti.com/ Repositori
Ilmiah Indonesia https://www.neliti.com/id/publications/12562/euthanasia-
dan-hak-asasi-manusia tanggal 19 Maret 2019 19.35)
34