Data Sempro

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 11

EVALUASI PENGOBATAN

Evaluasi hasil kemoterapi harus dilakukan untuk memutuskan apakah


kemoterapi dapat atau tidak dapat diteruskan. Jika dapat diteruskan apakah paduan obat
yang digunakan sama atau perlu diganti dengan paduan obat yang lain.
Evaluasi yang komprehensif meliputi aspek-aspek :
1. Evaluasi respons objektif dan subjektif
2. Evaluasi toksisiti
3. Angka tahan hidup (survival) dan masa tengah tahan hidup
Evaluasi Respons Objektif
a. Ukuran tumor
Ukuran tumor perlu dinilai pada foto toraks dan diambil garis tengah yang
terbesar. UICC telah menetapkan kriteria respons objektif sbb:
• Complete response (CR atau respons komplet), tumor menghilang sama sekali, ditentukan
dengan dua observasi dengan jarak waktu sekurangkurangnya 4 minggu.
• Partial response (PR atau respons sebagian), pengurangan ukuran tumor sebesar 50%
atau lebih, ditentukan melalui dua observasi dengan jarak waktu sekurang-kurangnya 4
minggu, serta tidak ditemukan lesi baru.
• No change (NC) atau stable disease, (SD, tidak berubah) pengurangan ukuran tumor
kurang dari 50% atau penambahan ukuran tumor kurang dari 25%.
• Progressive disease (PD atau perburukan), penambahan ukuran tumor lebih dari 25% atau
timbul lesi baru
Pemanfaatan kriteria WHO untuk menilai respons objektif pada dasarnya sudah memadai
tetapi harus dilakukan dengan benar dan tercatat. Cara penilaian respons objektif
mengalami perkembangan dan perubahan. Penilaian baru yang digunakan adalah dengan
menggunakan kriteria dalam RESPONSE EVALUATE CRITERIA IN SOLID TUMORS
(RECIST). 13,14 Perlunya penilaian atau kriteria baru karena mulai timbul masalah dan
didapatkan beberapa kekurangan penilaian lama ketika digunakan pada beberapa uji klinis.
Masalah itu antara lain :
• Ukuran minimal dan jumlah lesi kadang sangat bervariasi.
• Definisi progresif penyakit ( PD) berdasarkan bertambahnya ukuran satu lesi, sedangkan
yang lain berdasarkan bertambahnya kumulatif ukuran dari sejumlah lesi.
• Berkembangnya teknik CT dan MRI yang dapat menilai ukuran tumor dalam 3 dimensi.
Definisi lesi (tumor) sebagai baseline pada RECIST dikelompokkan pada lesi yang
measurable, nonmeasurable dan truly nonmeasurable.
• Lesi measurable jika diameter lesi secara akurat dapat diukur setidaknya pada
satu dimensi ≥ 20 mm pada tehnik yang CT konvensional atau ≥ 10 mm pada
spiral CT scan.
• Lesi nonmeasurable jika diameter lesi < 20 mm pada teknik konvensional atau < 10 mm
pada spiral CT-scan.
• Lesi truly nonmeasurable antara lain lesi metastasis di tulang, efusi pleura, efusi perikard,
asites, dll. Pembagian atau kriteria respons pada RECIST digunakan sebagai evaluasi pada:
• Evaluasi lesi-lesi target, definisi kriteria RECIST mirip dengan kriteria WHO untuk lesi
measurable yaitu terdiri atas CR jika semua lesi target hilang. PR jika total diameter lesi-lesi
target mengecil ≥ 30% , SD jika tidak masuk kriteria PR / PD dan PD jika total diameter lesi-
lesi target membesar ≥ 20%.
• Evaluasi lesi-lesi nontarget, definisi kriteria RECIST untuk lesi-lesi nontarget adalah CR
jika semua lesi-lesi nontarget hilang dan level tumor marker normal. Incomplete response
(IR) / SD jika satu atau lebih lesi-lesi nontarget menetap dan atau level tumor marker masih
diatas nilai normal. PD jika tampak lesi baru total diameter lesi-lesi target membesar ≥ 20%.
• Evaluasi respons keseluruhan (best overall response), merupakan gabungan evaluasi
lesi-lesi target dan non target dan ada atau tidaknya lesi baru. Pembagian kriteria sama
dengan kriteria WHO yaitu CR, PR, IR/SD atau PR.

b. Lama respons (Duration of Response)


Yang dimaksud ialah periode antara terjadi complete response sampai timbul progressive
disease. Pada penderita yang hanya menunjukkan partial response, yang dicatat hanya
periode overall response. Periode overall response berlangsung dari hari pertama
pengobatan sampai hari observasi pertama timbul progressive disease.
Evaluasi Respons Subjektif / Semisubjektif
a. Keluhan/gejala
Dinilai apakah gejala berkurang, menetap atau bertambah
b. Tampilan (Performance Status=PS)
Setelah pemberian kemoterapi pada umumnya terjadi penurunan nilai
tampilan, tetapi nilai tersebut harus kembali ke nilai sebelum pemberian
obat. Bila tampilan berkurang sampai skala Karnofsky 50 atau skala WHO, maka pemberian
obat yang berikutnya harus ditunda. Dianjurkan menggunakan ukuran tampilan menurut
skala Karnofsky atau WHO atau ECOG.
c. Berat Badan
Dinilai apakah berkurang, menetap atau bertambah

Evaluasi Efek Samping


Secara umum toksisiti akibat kemoterapi dikelompokkan pada toksisiti hematologi dan non-
hematologi. Masing-masing obat mempunyai efek samping yang berbeda sesuai dengan
farmakokinetik dan farmakodinamik obat itu. Semua obat sitostatik mempunyai pengaruh
depresi pada sumsum tulang Beberapa obat mempunyai efek samping yang berhubungan
dengan dosis. Adriamisin mempunyai efek samping pada miokard berupa miokardiopati, bila
telah tercapai dosis maksimal. Siklofosfamid dan ifosfamid dapat menimbulkan sistitis,
sedangkan sisplatin dan karboplatin mempunyai efek toksik pada ginjal dan saraf.
Paklitaksel dan dosetaksel mempunyai efek samping hipersensitiviti serta gangguan
susunan saraf pusat. Alopesia amat sering ditemukan. Gejala gastrointestinal berupa mual
dan muntah disertai rasa lemah dan anoreksia hampir selalu dirasakan sesudah pemberian
kemoterapi. Gemsitabin termasuk obat sitostatik yang kurang menimbulkan gejala
gastrointestinal dan alopesia, walaupun masih menunjukkan depresi sumsum tulang.

Faktor Resiko
A. Usia
Usia merupakan faktor risiko penting terjadinya kanker. Insiden kanker semakin
meningkat seiring bertambahnya usia. Hal tersebut sangat mungkin disebabkan karena
semakin banyaknya pajanan faktor risiko dan kemampuan mekanisme perbaikan sel yang
semakin menurun. Insiden puncak kanker paru terjadi pada usia antara 45-65 tahun. Pada
penelitian S Christine ditemukan bahwa rata-rata umur pada kasus kanker paru adalah
51,73 ± 6,87 tahun dengan mayoritas berusia 40-50 tahun sebanyak 50%, diikuti dengan
usia antara 51-60 tahun sebanyak 40% dan usia 61 – 70 tahun yaitu sebanyak 10%. Alasan
lain mengapa suatu kanker baru muncul di usia tua adalah pertumbuhannya yang
lambat. Perkembangan kanker kadang-kadang sangat lambat dan hanya dapat terdeteksi
pada stadium lanjut. Kanker dapat berkembang bertahun-tahun tanpa disadari (V Kumar,
2007).

Dan pada perempuan 1:20. Perbandingan laki-laki terhadap perempuan adalah 4:1.
Pada suatu penelitian yang dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan diketahui bahwa
berdasarkan jenis kelamin, pada kasus kanker paru ditemukan lebih banyak jenis kelamin
laki-laki sebanyak 73,3% daripada jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 26,7% (Amin Z
et. al., 2007).

B. Paparan Zat Karsinogen pada Pekerja


Asbestos, sering menimbulkan mesotelioma. Setelah suatu masa laten-jarang di bawah
20 tahun, dapat mencapai 40 tahun atau lebih setelah pajanan pertama, dapat timbul
mesotelioma, maligna pleura dan peritoneum. Pajanan asbes merupakan risiko akibat
pekerjaan paling sering untuk kanker paru (Ward J et. al., 2008).
Pekerja yang terpajan debu yang mengandung arsen, krom, uranium, nikel, vinil klorida,
dan gas mustard. Gas radon yang ditemukan secara alami dalam batu, tanah, dan air tanah,
dapat juga meningkatkan risiko (V Kumar, 2007).

C. Merokok
Merokok adalah faktor risiko penyakit paling utama kanker paru. Terdapat hubungan
antara rata-rata jumlah rokok yang dihisap perhari dengan tingginya insiden kanker paru.
Gangguan kesehatan yang dapat disebabkan oleh rokok berasal dari asap primer dan asap
sekunder dari rokok yang dihisap oleh perokok. Dengan demikian penderita tidak hanya
perokok sendiri (perokok aktif) tetapi juga orang yang berada di lingkungan asap rokok
(Environmental Tobacco Smoke) atau disebut dengan perokok pasif (Susanna D, 2003).
Oleh karena itu, terdapat dua jenis perokok, yaitu:
a) Perokok aktif, yaitu orang yang merokok dan menghisap asap rokok primer.
Dikatakan bahwa, 1 dari 9 perokok berat akan menderita kanker paru.
b) Perokok pasif, yaitu orang yang berada di lingkungan asap rokok yang setidaknya
1 hari dalam seminggu menghirup asap yang dihembuskan perokok selama lebih
dari 15 menit/hari. Belakangan, dari laporan beberapa penelitian mengatakan bahwa
perokok pasif pun akan berisiko terkena kanker paru. Anak-anak yang terpapar asap
rokok selama 25 tahun pada usia dewasa akan terkena resiko kanker paru dua kali
lipat dibandingkan dengan yang tidak terpapar, dan perempuan yang hidup dengan
suami/pasangan perokok juga terkena resiko kanker paru 2-3 kali lipat. Diperkirakan
25% kanker paru berasal dari perokok pasif (Amin Z et. al., 2009).
Asap rokok sekunder mengandung nikotin lebih banyak dari pada dalam asap rokok
primer. Dengan kata lain bahwa kadar nikotin yang dilepaskan ke lingkungan lebih banyak
dari pada nikotin yang dihisap oleh perokok. Perbandingan jumlah nikotin dalam asap rokok
sekunder lebih banyak 4-6 kali dari pada yang terdapat dalam asap rokok primer.
Perbedaan ini selain dikarenakan perbedaan dalam pembentukannya, juga disebabkan
karena asap rokok sekunder terus menerus dihasilkan selama rokok menyala walaupun
tidak sedang dihisap. Dengan demikian merokok tidak saja membahayakan bagi si perokok
saja (perokok aktif), tetapi juga bagi orang di sekitarnya (perokok pasif) (Susanna D, 2003).
D. Pengaruh genetik
Pada tahun 1954, Tokuhotu dapat membuktikan adanya pengaruh keturunan yang
terlepas daripada faktor paparan lingkungan. Hal ini akhirnya membuka pendapat tengang
kanker paru dapat diturunkan. Menurut penelitian faktor yang teribatt berkaitan dengan
denen enzim aryl Hidrokarbon Hidroksilase (AHH). Kanker paru lebih banyak terjadi pada
pasien yang aktivitas AHH yang sedang atau tinggi. Hal ini menerangkan pran merokok,
oleh karena enzim AHH memetabolisme benzopyrene serta hidrokarbon polisiklik lainnya
menjadi karsinogen yang lebih reaktif (JR Molina et. al., 2008).

Kanker paru jenis sel kecil (Small Cell Carcinoma)

Kanker paru jenis ini dapat disebut juga “oat cell carcinoma” karena bentuknya
hampir sama dengan bentuk biji gandum. Gambaran histologinya adalah dominasi sel-sel
kecil yang hampir semuanya diisi oleh mukus serta ada sebaran kromatin yang sangat
sedikit tanpa adanya neukoli. Sel yang bermitosis ditemukan banyak sekali dan begitu juga
gambaran nekrosis (Z Amin et. al., 2009). Kanker jenis ini cukup agresif, frekuensinya
berhubungan dengan jarak metastasis dan mempunyai prognosis yang buruk dari semua
kanker paru primer (R Salgia et. al., 2007).

B. Kanker paru jenis bukan sel kecil (Non-small cell carcinoma)


Kanker paru jenis ini dibagi menjadi 3 :
a. Adenomakarsinoma
Karsinoma ini jenis yang kas dengan adanya bentuk formasi glandular dan
cenderung ke arah pembentukan konfigurasi papilari. Biasanya membentuk
musin, sering tumbuh pada bekas rusaknya jaringan paru (scar) (Z Amin et. al.,
2009). Adenomakarsinoma merupakan tumor tersering yang timbul pada
perempuan, bukan perokok, dan pasien berusia <45 tahun (R Salgia et. al.,
2007).

b. Karsinoma sel besar


Tidak ada gambaran diferensiasi skuamosa atau glandular, sel bersifat
anaplastik, tak berdiferensiasi, biasanya disertai oleh infiltrasi sel netrofil (Amin Z
et. al., 2009).

c. Karsinoma sel skuamosa


Karsinoma jenis ini mempunyai ciri khas dengan adanya proses keratinisasi dan
pembentukan “bridge” intraselular. Karsinoma ini timbul di trakea, bronkus paru
tipe sentral,karsinoma skuamosa, tepi tipe yang perifer adalah tipe yang jarang
(Amin Z et. al., 2009).

a. Pemeriksaan sitologi
Pemeriksaan sitologis dikerjakan jika ada keluhan batuk pada penderita.
Tetapi pemeriksaan sitologi tidak selalu menghasilkan hasil yang positif. Pada
kanker paru yang letaknya du sentral, pemeriksaan sputum dapat
menghasilkan hasil yang baik dan juga hasil positif 67-85% pada karsinoma
sel skuamosa. Pemeriksaan sitologi menggunakan bantuan bronkoskopi agar
sel tumor dapat terlihat (Z Amin et. al., 2009). Terdapat tata laksana pada
Lung Cancer Detection Program di New York adalah: saliva atau post nasal
discharge dikeluarkan dahulu. Setelah itu pasien disuruh untuk batuk dalam,
dahak yang keluar langsung difiksasi, hal ini dilakukan sampai 3 hari berturut-
turut, sebaiknya pada pagi hari (Rab Tabrani, 1982).
Terdapat pemeriksaan sitologi lain untuk diagnostik kanker paru yang dapat
dilakukan pada cairan pleura, aspirasi kelenjar getah bening servikal,
supraklavikula, bilasan dan sikatan bronkus pada bronkoskopi (Fuji Chen et.
al., 2008).
b. Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan Histopatologi salah satu diagnosis kanker paru, untuk
mendapatkan spesimen dengan cara biopsi melalui :
1. Bronkoskopi
Bronkoskopi adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan mengambul
jaringan atau bahan agar dapatt dipastikan ada atau tidaknya sel ganas.
Prmeriksaan melihat ada tidaknya masa intrabronkus atau berubahnya
mukosa saluran pernafasan. Tampakan yang abnormal sebaiknya di ikuti
dengan tindakan biopsy tumor atau dinding bronkus, sikatan, bilasan dan
kerokan bronkus (Elisna S et. al., 2011).

- Gambaran radiologis
Gambaran radiologis dibutuhkan untuk menentukan stadium penyakit berdasarkan
sistem TNM. Pemeriksaan radiologis yaitu Foto thoraks PA atau lateral, bisa
menggunakan CT-scan jika dimungkinkan, bone scan, bone survey, USG
abdomen dan Brain-CT juga dibutuhkan untuk menentukan letak kelainan,
metastasis, dan ukuran tumor.
a. Foto thoraks : Pada pemeriksaan foto thoraks PA atau lateral didapatkan
ukuran tumor lebih dari 1 cm. Terdapat tanda yang mendukung keganasan
adalah tei yang ireguler, disertai identasi pleura, tumor satelit tumor,dll. Pada
foto tumor dapat ditemukan jika telah invasi ke dinding dada, metastase
intrapulmuner, efusi pleura, dan efusi perikar.
b. CT-Scan toraks : CT-scan dapatmendeteksi tumor dengan ukuran lebih kecil
dari 1 cm. Dan tanda-tanda kegansan dapat tergambat secara lebih jelas,
bahkan jika adanya penekanan pada bronkus, atelektasi, tumor intrabronkial,
efusi pleura yang tidak masif dan telah terjadi invasi ke mediastinum dan
meski tanpa adanya gejala.
c. Pemeriksaan radiologi lainnya : Brain-CT yang dapat mendeteksi metastase di
tulang kepala atau jaringan otak, bone scan dan/atau bone survey yang dapat
mendeteksi tulang seluruh tubuh. USG abdomen juga dapat melihat ada
tidaknya metastasis di hati, kelenjar adrenal dan organ lain dalam rongga
perut.

10 Petanda Tumor (Tumor Marker)

Penanda tumor (Tumor Marker) adalah zat yang ditemukan dalam tubuh kita
ketika kanker telah ada di dalam tubuh kita. Idealnya, penanda tumor akan selalu ditemukan
dalam darah tetapi dalam jumlah yang lebih tinggi dari normal. Ada beberapa penanda
tumor yang ditemukan di darah, tetapi ada pula penanda tumor yang ditemukan di dalam
urine atau cairan tubuh lainnya. Mereka dapat dibuat oleh sel-sel kanker itu sendiri atau oleh
tubuh kita sebagai suatu respon terhadap kanker atau kondisi lain.

Tindak lanjut perawatan pascaoperasi, kontrol keberhasilan terapi dan deteksi


penyakit berulang adalah indikasi utama untuk penentuan penanda tumor dalam kanker
paru-paru. Tumor Marker yang terdiri atas tes CEA yang bermanfaat untuk pemantauan
terapi. Pengobatan Pemilihan pengobatan kanker paru berdasarkan beberapa faktor seperti
kondisi kesehatan secara keseluruhan dan stadium (tingkat keparahan) kanker.

Tumor Marker CEA (Carcinoembryonic Antigen)


CEA (Carcinoembryonic Antigen) adalah jenis molekul protein yang dapat ditemukan
dalam banyak sel yang berbeda dari tubuh, namun biasanya terkait dengan tumor tertentu
dan janin yang sedang berkembang (John Wiley & Sons, 2002).. CEA biasanya diproduksi
selama pengembangan janin . Produksi CEA berhenti sebelum kelahiran, dan biasanya
tidak hadir dalam darah orang dewasa yang sehat (Thompson Greory E, 2011).
CEA sering diuji dalam darah, dalam cairan tubuh dan jaringan biopsi. Kisaran normal
untuk CEA pada orang dewasa non-perokok adalah <2,5 ng/mL dan untuk perokok <5,0
ng/mL. Jika ada peningkatan CEA maka menunjukkan adanya pertumbuhan kanker atau
kambuhnya kanker. Peningkantan CEA >20 ng/mL sebelum terapi dikaitkan dengan kanker
yang telah menyebar (metastasis) (John Wiley & Sons, 2002).
Konsentrasi CEA sangat tinggi dalam adenokarsinoma dan kanker paru sel besar.
Namun, CEA dapat membantu dalam diagnosis diferensial dari kanker paru-paru bukan sel
kecil. Jika CEA adalah > 10 mg / L dan CA125 > 100 U / mL kehadiran adenokarsinoma
atau karsinoma sel besar sangat mungkin (Molina R, 2003). Kemoterapi dan terapi radiasi
dapat menyebabkan kenaikan CEA sementara dikarenakan adanya kematian sel-sel tumor
dan pelepasan CEA ke dalam aliran darah (John Wiley & Sons, 2002).
Tingkat CEA biasanya kembali ke tingkat mendekati normal dalam waktu 6 minggu
setelah memulai pengobatan jika pengobatan kanker berhasil mengukur jumlah CEA dalam
cairan tubuh lainnya , seperti cairan perut (cairan peritoneal) atau cairan di sekitar otak dan
sumsum tulang belakang (cairan serebrospinal, atau CSF), dapat menentukan apakah
kanker telah menyebar ke bagian tubuh (Thompson Greory E, 2011).
Menurut Lim dkk (2009) menyimpulkan sekalipun CEA tidak spesifik ataupun akurat
untuk skrining namun dalam penelitiannya pada 217 pasien asimptomatik yang kadar CEA
tinggi diikuti selama 2 tahun ternyata 7,4% menderita berbagai keganasan.
CEA biasanya untuk mendeteksi perjalanan penyakit yang progresif dan menunjukkan
prognosis buruk. Sedangkan penurunan kadar CEA menunjukkan respon terapi yang baik.
CEA meningkat pada keganasan bukan hanya pada kanker paru tetapi terdapat
kanker lain, seperti kanker usus besar dan rektum, kanker pankreas, kanker payudara,
kanker ovarium, dan kanker tiroid. CEA juga meningkat pada kondisi jinak, seperti merokok,
infeksi, penyakit inflamasi usus, pankreatitis, dan sirosis hati. CEA penyakit jinak biasanya
tidak menyebabkan peningkatan diatas 10 ng/mL.

2.1.11 Pengobatan

Pengobatan kanker paru merupakan pengobatan yang combined modality therapy (multi-
modaliti terapi). Terdapat macam-macam pengobatan pada kanker paru, yakni :
pembedahan, radioterapi, dan kemoterapi.

A. Pembedahan
Pembedahan merupakan bagian dari combined modality therapy, misalnya didahului
kemoterapi neoadjuvan untuk KPKBSK stage IIIA. Indikasi pada pembedahan pada kanker
paru adalah untuk KPKBSK stage I dan II. Pada pengobatan yang inoperabel maka
radioterapi dan kemoterapi dapat diberikan pada pasien. (Elisna S et. al., 2011)

Prinsip pembedahan adalah sepadat mungkin tumor direseksi lengkap berikut


jaringan KGB intrapulmoner, dengan lobektomi atau pneumonektomi. Tepi sayatan diperiksa
dengan potongan beku untuk memastikan bahwa batas sayatan bronkus bebas tumor. KFB
mediastinum diambil dengan diseksi, serta diperiksa dengan atau secara patologi anatomis.

Sebelum melakukan pembedahan sebaiknya psien diperiksa lebih dahulu faal


parunya. Dan jika tidak mungkin dapat dinilai dari hasil analisis gas darah (AGD) :
Syarat untuk reseksi paru :
1. Resiko ringan untuk pneumonektomi, bila KVP paru kontralateral baik dan
VEP1>60%.
2. Resiko sedang untuk pneumonektomi, bila KVP paru kontralateral ≥35% dan
VEP1>60%.(Elisna S et. al., 2011)
B. Radioterapi
Radioterapi pada kanker paru dapat bersifat kuratif dan paliatif. Pada terapi kuratif,
radioterapi menjadi bagian dari kemoradioterapi neoadjuvan untuk KPKBSK stage IIIA.
Radiasi merupakan salah satu pilihan tindakan darurat yang harus dilakukan untuk
meringankan keluhan yang ada pada pasien, seperti sindrom vena kava superior (SVKS),
nyerti akibat invasi tumor ke dinding dada dan metastase tumor ke otak dan tulang. (Elisna
S et. al., 2011)

Dosis yang diberikan secara umum adalah 5000-6000 cGy, dengan cara pemberian
200 cGy/5x hari perminggu.

A. Syarat standar sebelum penderita diradiasi adalah :


1. Hb> 10g%
2. Trombosit > 100.000/dl.
3. Leukosit > 3000/dl.
B. Bila radiasi dilakukan setelah pembedahan maka ada yang harus diketahui :
- Jenis pembedahan termasuk diseksi kelenjar yang dikerjakan,
- Penilaian batas sayatan oleh dokter spesialis patologi anatomi (PA).
- Radiasi paliatif diberikan unfavourablegroup, yaitu :
1. Tampilan <70.
2. Penurunan Berat Badan > 5% dalam 2 bulan.
3. Fungsi paru buruk.

Jika dikombinasi dengan kemoterapi maka efektifitas radioterapi akan meningkat.


Pemberian radioterapi dosis penuh (full dose 5000-6000 cGy) sebelum pemberian
kemoterapi ataupun setelah siklus kemoterapi selesai (4-6 siklus) diberikan yang biasanya
disebut radioterapi sekuensial. Pemberian radioterapi konkuren atau baisanya dikatakan
pemberian radioterapi bersamaan dengan pemberian kemoterapi yang mengandung sifat
sebagai radiosensitizer, seperti sisplatin, karboplatin, golongan paklitaksel, doktasel, dan
gemsitabin. mendapakan hasil yang baik tetapi terdapat efek samping yang tinggi. Untuk
mengurang efek samping yang berlebihan dianjukan untuk menggunakan obat anti-kanker
golongan paklitaksel, dosetaksel dan gemsitabin (Elisna S et. al., 2011).

2.3.1 Syarat pemberian kemoterapi

Sebelum pasien diberikan kemoterapi, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi
terlebih dahulu, yaitu :

1. Diagnosis yang sudah dipastikan. Jika ahli patologi sulit menentukan jenis yang
pasti, maka bagi kepentingan kemoterapi harus dibedaka antara :
a. Jenis karsinoma sel kecil
b. Jenis sel karsinoma bukan sel kacil, yaitu karsinoma sel skuamosa,
adenokarsinoma, dan karsinoma sel besar.
2. Tampilan ≥ 70-80 skala Karnofsky atau ≤ 2 skala WHO. Bila tampilan <70 atau
usia lanjut, dapat diberikan obat anti-kanker dengan regimen tertentu dan atau
jadwal tertentu.
3. Hb ≥ 10g% pada penderita anemia ringan tanpa perdarahan akut, meski Hb <
10g% tidak perlu transfusi darah segera, sukup diberi terapi sesuai dengan
penyebab anemia.
4. Granulosit ≥ 1500/mm3
5. Trombosit ≥ 100.000/mm
6. Fungsi hati baik.
7. Fungsi ginjal baik (creatinin clearance lebih dari 70 ml/menit) (Elisna S et. al.,
2011).

BAB III

Kanker paru dibagi menjadi 2, yaitu Karsinoma sel kecil (small cell carcinoma) dan
Karsinoma bukan sel kecil (non-small cell carcinoma). Kemudia dilakukan pemeriksaan CEA
(Carcinoembryonic Antigen) agar mengetahui adanya kanker paru. CEA(Carcinoembryonic
Antigen) merupakan penanda untuk tumor seperti kanker paru, neuroblastoma, dan tumor
kasinoid. CEA dapat mendeteksi adanya kanker paru jenis Karsinoma sel kecil(small cell
carcinoma) dan Karsinoma bukan sel kecil (non-small cell carcinoma).

Pengobatan kanker paru terbagi menjadi 3, yaitu pembedahan, kemoterapi, dan


radioterapi.Pada penelitian ini mengamati pengobatan kanker paru yang kemoterapi.
Kemoterapi adalah salah satu obat anti-kanker yang digunakan untuk mengobati kanker
paru. Kemoterapi merupakan suatu terapi sistemik yang diindikasikan untuk malignansi
sitemik yaitu tumor yang telah terbukti atau yang diduga menyebar secara sistemik. Indikasi
pemberian kemoterapi pada penderita kanker paru jenis sel kecil (KPKSK), tanpa atau
dengan gejala dan juga pada penderita kanker paru jenis karsinoma bukan se kecil
(KPKBSK) yang inoperabel (stage IIIB dan IV).

Setelah kemoterapi CEA juga dapat mendeteksi keberhasilan terapi pada pasien
kanker paru. Keberhasilan pemberian kemoterapi dapat dilihat dari berbagai evaluasi hasil.
Evaluasi hasil terdiri dari evaluasi respon obyektif dan subyektif, evaluasi toksisiti, dan angka
tahanan hidup(survival) dan masa tengah tahanan hidup. Evaluasi respon obyektif melihat
dari ukuran tumor. Menurut RECIST yang telah menetapkan kriteria respon objektif, yaitu
complete respons, partial respons, no change (NC) atau stable disease (SD), dan
progressive disease (PD). Setelah evaluasi objektif terdapat juga evaluasi subyektif.
Evaluasi subyektif, yaitu : keluhan atau gejala dinilai apakah keluhan berkurang atau tidak,
melihat tampilan status (skor karnofsky) nilainya menurun ataukah tetap, dan dinilai untuk
berat badan menurun, menetap atau bertambah.
Kemoterapi dan terapi radiasi dapat menyebabkan kenaikan CEA sementara
dikarenakan adanya kematian sel-sel tumor dan pelepasan CEA ke dalam aliran darah.

Jika kemoterapi tidak berhasil diberikan ACE untuk melihat apakah ada metastasis
atau penyebaran ke tempat lain.

Anda mungkin juga menyukai