Anda di halaman 1dari 14

KEKUASAAN EKSEKUTIF DI INDONESIA MASA ORDE LAMA

Tidak ada satu pun,entitas politik yang kekal di dunia ini. Semunya akan tergilas oleh entitas bernama
perubahan. Bahkan, untuk sebuah perubahan sekalipun. Ia akan selalu berubah, mengikuti perubahan yang
terjadi. Karena sesungguhnya,perubahan adalah perubahan itu sendiri. 1

PENGANTAR

Tak dapat dipungkiri bahwa kehidupan politik di Indonesia saat ini tengah berada

dalam suatu perkembangan yang sangat signifikan. Terdapat angin segar yang telah

membangunkan lelapnya tidur masyarakat Indonesia dari keterpurukan. Betapa tidak,

globalisasi dan medernisasi setidaknya mengafirmasikan bahwa kehidupan politik bangsa

Indonesia tengah memasuki babak baru yakni mulai timbulnya partisipasi politik yang aktif

yang sebagian besarnya berasal dari masyarakat.

Masyarakat kini bukanlah sebuah boneka kaku yang hanya bisa dipermainkan begitu

saja oleh penguasa tetapi masyakat bisa menjadi sebuah bumerang yang mematikan bagi

penguasanya. Ya! sekali lagi hal ini dikarenakan masyarakat mengamini eksistensi dari

sebuah perubahan. Bukan sebuah perubahan yang utopis dengan janji-janji manis yang

menggiurkan saja tetapi masyarakat menuntut adanya sebuah realitas politik, sebuah

perubahan ke arah yang lebih baik lagi, perubahan yang dapat direlisasikan.

Masyarakat Indonesia bertumbuh secara progres bersama dengan perkembangan

kehidupan politik itu sendiri yang penuh dengan intrik dan berbagai macam peristiwa yang

terjadi di dalamnya, entah manis ataupun pahit sekalipun. Bangsa Indonesia masih dalam

taraf perkembangan untuk menemukan bentuk pemerintahan apa yang ideal dan relevan

1
Azian Tamin dan Asran Jalal et.al. , Profil Politik Indonesia Pasca Orde Baru (Jakarta: 2005),hal.1.

1
dengan bangsa Indonesia yang pluralitasnya sangat tinnggi. Itu mengapa politik try and eror

tetap survive dalam ranah kehidupan bangsa Indonesia.

Seperti halnya dengan kekuasaan eksekutif di Indonesia, adalah merupakan bentuk

politik try dan eror yang diterapkan pada bangsa Indonesia. Ada begitu banyak pencapaian

yang patut diacungi jempol hingga penyimpangan yang menjadi sebuah luka yang telah

didalangi oleh kekuasaan ekesekutif kita baik yang terjadi pada saat ini maupun di masa lalu.

Tentunya segala intrik dan skandal yang terjadi pada masa lalu bukanlah hanya

sebatas sejarah politik bagi bangsa kita yang dapat kita hapus dari ingatan kita begitu saja.

Apa yang telah terjadi pada kekuasaan eksekutif kita, entah sebuah pencapaian ataupun

skandal merupakan sebuah pembelajaran politik bagi kita untuk dapat berubah ke arah yang

lebih baik. Untuk itu penulis membuat sebuah makalah kecil dengan judul Kekuasaan

Eksekutif di Indonesia Masa Orde lama untuk memahami apa saja hal-hal yang terjadi pada

kekuasaan eksekutif orde lama.

ISI

KEKUASAAN EKSEKUTIF DALAM AJARAN TRIAS POLITIKA

Biasanya, dalam sistem politik, struktur dibedakan atas kekuasaan

eksekutif,legislatif,dan yudikatif. Ini menurut ajaran trias politika, meskipun tidak banyak

negara yang menerapkan ajaran ini secara murni. Dalam perkembangannya, negara-negara

demokrasi modern cenderung menggunakan asas pembagian kekuasaan dibandingkan dengan

menggunakan asas pemisahan kekuasaan murni sebagaimana diajarkan oleh John Locke,

2
kekuasaan negara dibagi menjadi tiga yakni kekuasaan legislatif,kekuasaan eksekutif,dan

kekuasaan federatif. Masing-masing kekuasaan ini terpisah satu dengan yang lain.2

Kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan melaksanakan undang-undang dan di

dalamnya termasuk kekuasan mengadili. Miriam Budiardjo mengatakan,”Tugas badan

eksekutif menurut tafsiran tradisional trias politika hanya melaksanakan kebijakan-kebijakan

yang telah ditetapkan oleh badan legislatif serta menyelenggarakan undang-undang yang

dibuat oleh badan legislatif”.3

Eksekutif berasal dari bahasa Latin, execure yang berarti melukakan atau

melaksanakan. Kekuasaan eksekutif biasanya dipegang oleh badan eksekutif. Di negara

demokratis, badan eksekutif biasanya terdiri atas kepala negara seperti raja atau presiden.

Badan eksekutif dalam arti luas juga mencakup para pegawai negeri sipil dan militer.

Dalam sistem presidensial mentri-mentri merupakan pembantu presiden dan dipilih

olehnya, sedangkan dalam sistem parlamenter para mentri dipimpin oleh seorang perdana

mentri. 4

Kekuasaan legislatif merupakan kekuasaan membuat peraturan dan undang-undang.

Kekuasaan federatif merupakan kekuasaan yang meliputi segala tindakan yang ditujukan

untuk menjaga keamanan negara dalam hubungannya dengan negara lain, seperti membuat

aliansi dan lain sebagainya.5

Montesquieu menyempurnakan ajaran trias politika ini dengan membagi kekuasaan

pemerintahan menjadi kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Kekuasaan legislatif

merupakan kekuasaan membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif melaksanakan undang-

2
Budi Winarno,Sistem Politik Indonesia Era Reformasi (Yogyakarta:2007), hal. 89-90.
3
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta:2009),hal.295.
4
Ibid.
5
Winarno, Op. Cit.,hal.89.

3
undang, dan kekuasan yudukatif merupakan kekuasaan yang mempunyai kewenangan untuk

mengadili atas pelanggaran undang-undang.

Montesquieu mengemukakan bahwa kemerdekaan hanya dapat dijamin jika masing-

masing kekuasaan ini tidak dipegang oleh satu orang atau dalam satu badan penguasa. Dalam

kaitan ini, ia mengemukakan bahwa jika kekuasaan legislatif disatukan dengan kekuasaan

eksekutif dalam satu tangan individu atau lembaga, maka tidak akan ada kemerdekaan.

Sebaliknya,akan menjadi malapetaka, jika ketiga kekuasaan tadi berada dalam satu tangan,

tidak peduli apakah kekuasaan terseut berada di tangan kaum bangsawan ataukah di tangan

rakyat jelata.6

Apa yang dikatakan Montesquieu setidaknya merupakan gambaran kekuasaan

eksekutif dewasa ini seperti yang dikatakan Austin Ranney dalam Miriam bahwa :

“...jelas dalam perkembangan negara modern bahwa wewenang badan eksekutif dewasa ini jauh lebih
luas daripada hanya melaksanakan Undang-Undang Dasar saja. Kadang malahan dikatakan bahwa
dalam negara modern badan eksekutif sudah mengganti badan legislatif sebagai pembuat kebijaksanaan
yang utama.”7

Perkembangan ini terdorong oleh banyak faktor, seperti perkembangan teknologi, proses

modernisasi yang sudah berjalan jauh,semakin terjalinnya hubungan politik dan ekonomi

antar negara,krisis ekonomi ,dan revolusi sosial. Akan tetapi meluasnya peranan negara

terutama disebabkan karena penyelenggaraan kesejahteraan rakyatnya merupakan tugas

pokok dari setiap negara dewasa ini apalagi jika ia tergolong negara kesejahteraan (welfare

nation).

6
Ibid.hal.90.
7
Budiardjo,Op.Cit.,hal.296.

4
Negara kesejahteraan menjamin bagi warga negaranya tersedianya aspek-aspek

minimal dari pendidkan, pelayanan kesehatan, perumahan, pekerjaan, dan karena itu

kegiatannya mempengaruhi semua aspek kehidupan masyarakat.8

PERKEMBANGAN KEKUASAAN EKSEKUTIF D INDONESIA MASA

ORDE LAMA

Orde lama adalah sebutan bagi orde pemerintahan sebelum orde baru yang dianggap

tidak melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen yang ditandai

dengan diterapkannya Demokrasi Terpimpin di bawah kepemimpinan Soekarno. Presiden

Soekarno sebagai tokoh sentral orde lama adalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan,

bahkan ia bertindak sebagai pemimpin besar revolusi.9

Kekuasaan Eksekutif Masa Demokrasi Kontitusional (1945-1959)

Sistem parlementer yang mulai berlaku sebulan sesudah kemerdekaan diproklamirkan

dan kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Dasar 1949 ,dan1950, ternyata kurang cocok

untuk Indonesia meskipun dapat berjalan secara memuaskan dalam beberapa negara Asia

lain. Persatuan yang dapat digalang untuk salalu menghadapi musuh bersama menjadi kendor

dan tidak dapat dibina menjadi kekuatan-kekuatan konstruktif sesudah kemerdekaan tercapai.

Karena lemahnya benih-benih demokrasi sistem parlementer memberi peluang untuk

dominasi partai-partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Undang-Undang Dasar 1950 menetapkan berlakunya sistem parlementer di mana

badan eksekutif yang terdiri atas presiden sebagai kepala negara konstitusional dan mentri-

8
Ibid.
9
Hassan Saleh, Pendidikan Kewarganegaraan (Jakarta:2009),hal.149.

5
mentrinya mempunyai tanggung jawab politik. Karena fragmentasi partai-partai politik setiap

kabinet berdasarkan koalisi yang berkisar pada pada satu atau dua partai besar dengan

beberapa partai kecil.

Koalisi ternyata kurang mantap dan partai-partai dalam koalisi sewaktu-waktu tidak

segan menarik dukungannya. Di lain phak partai oposisi, tidak mampu berperan sebagai

oposisi yang kontruktif, tetapi hanya menonjolkan segi-segi negatif dari tugas oposisi.

Umumnya kabinet dalam masa pra pemilu yang diadakan pada tahun 1955 tidak dapat

bertahan lebih lama dari rata-rata delapan bulan, dan hal ini menghambat perkembangan

ekonomi dan politik oleh karena pemerintah tidak mendapat kesempatan untuk menjalankan

programnya. Pun pemilu tahun 1955 tidak membawa stabilitas yang diharapakan, bahkan

tidak dapat menghindarkan perpecahan yang paling gawat antara pemerintah pusat dan

beberapa daerah.

Faktor-faktor semacam ini, ditambah dengan tidak adanya anggota-anggota partai-

partai yang tidak tergabung dalam konstituante untuk mencapai konsensus mengenai dasar

negara untuk Undang-undang Dasar baru, mendorong Ir. Soekarno untuk mengeluarkan

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menentukan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar

1945.10 Hal ini menjadi awal dari masa demokrasi terpimpin yang menggantikan masa

demokrasi kontitusional.

Kekuasaan Eksekutif Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965)

Dengan dalih deadlock dan oleh sebab itu kembali ke UUD 1945 yang yang dianggap

satu-satunya jalan keluar, maka kepemimpinan soekarno sebagai kepala negara tidak terbatas,

apalagi MPRS tidak berfungsi, kecuali dalam melegalisasi "kebijakan" yang diambil

presiden, bahkan telah mengangkat Soekarno sebagai presiden seumur hidup, sedangkan
10
Budiardjo,Op.Cit.,hal.128-129.

6
DPR produk Pemilu I dibubarkan melalui Dekrit presiden 5 Juli 1959.11 Dekrit presiden 5

Juli 1959 dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan

politik melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat.12

Mulai Juni 1959 UUD 1945, berlaku kembali dan menurut ketentuan UUD 1945 itu

badan eksekutif terdiri atas seorang presiden,wakil presiden beserta mentri-mentri.

Kekuasaan eksekutif diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab III pasal 4 samapai

dengan 15.13

Mentri-mentri membantu presiden dan diangkat serta dihentikan olehnya. Presiden

dan wakil presiden dipilih oleh MPR dan presiden merupakan “Mandataris” MPR. Ia

bertanggung jawab kepada MPR dan kedudukannya untergeordnet kepada MPR.

Presiden memegang kekuasaan pemerintah selama lima tahun yang hanya dibatasi

oleh peraturan-peraturan dalam UUD 1945 dimana sesuatu hal diperlukan adanya suatu

undang-undang. Selama masa itu presiden tidak boleh dijatuhkan oleh DPR, sebaliknya

presiden tidak mempunyai wewenang untuk membubarkan DPR.

Presiden memerlukan persetujuan dari DPR untuk membentuk Undang-Undang dan

utuk menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian-perjanjian dengan negara lain.

Dalam keadaan memaksa presiden menetapakan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti

Undang-undang, maka peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujauan DPR.

Selain itu presiden berwenang menetapakan Peraturan Pemerintah untuk menalankan

Undang-Undang sebagaiman mestinya dan presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas

angkata darat, angaktan laut, dan udara.

11
Saleh,Op.Cit.,hal.149.
12
Isi dari dekrit ini adalah pembubaran Badan Konstituante hasil pemilu 1955 dan penggantian UUD
sementara 1950 ke UUD 1945.
13
C.S.T. Kansil, Sistem Pemerintahan Indonesia (Jakarta:1981),hal.98.

7
Pada masa demokrasi terpimpin terjadi dominasi dari presiden, terbatasnya peranan

partai politik, berkembangnya pengaruh komunis dan meluasnya peranan ABRI sebagai

unsur sosial politik. Dalam masa demokrasi terpimpin tidak ada wakil presiden. Sesuai

dengan keinginannya untuk memperkuat kedudukannya oleh MPRS ditetapkan sebagai

presiden seumur hidup. Begitu pula dengan pejabat teras dari Legislatif (yaitu pimpinan

MPRS dan DPR Gotong Royong) dan dari badan Yudikatif (yaitu ketua Mahkamah Agung)

diberi status mentri. Dengan demikian jumlah mentri lebih dari seratus.

Saleh mengatakan, “Pancasila dan UUD 1945 merupakan landasan hidup kenegaraan,

tetapi pancasila dan UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen.” Hal itu itu

ditandai dengan adanya berbagai penyimpangan dalam Demokrsi terpimpin14 :

 Pancasila diidentikkan dengan Nasakom

 Produk hukum yang setingkat dengan undang-undang (UU) ditetapkan dalam

bentuk penetapan presiden (penpres) daripada persetujuan

 MPRS mengangkat Soekarno sebagai presiden seumur hidup

 Presiden membubarkan DPR hasil pemilu 1955

 Presiden menyatakan perang dengan Malasya

 Presiden menyatakan Indonesia keluar dari PBB

 Hak Budget tidak jalan15

Penyimpangan-penyimpangan ini juga dijelaskan lebih lanjut oleh Miriam Budiardjo

bahwasannya:

“Undang-undang Dasar 1945 membuka kesempatan bagi presiden untuk bertahan sekurang-kurangnya
lima tahun. Akan tetapi ketetapan MPRS No.III/1963 yang mengangkat Ir.Soekarno sebagai presiden

14
Ibid.hal.150.
15
Hak Budget adalah badan legislatif untuk menentukan besarnya pembelajaan dan pengeluaran (semasa
pemerintahan) seperti pembelian alat-alat negara, biaya rekonstruksi suatu proyek negara yang dapat
mendukung badan legislatif agar semua program yang telah direncanakan dapat terlaksana dengan baik.

8
seumur hidup telah membatalakan pembatasan waktu lima tahun ini (Undang-undang Dasar
memungkinkan seorang presiden untuk dipilih kembali) yang ditentukan oleh Undang-Undang Dasar.
Pada tahun 1960 Ir.Soekarno membubarkan DPR hasil pemilu padahak dalam penjelasan UUD 1945
secara eksplisit dijelaskan presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat demikian”.16

Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong yang mengganti Dewan Perwakilan Rakyat

pilihan rakyat ditonjolkan peranannya sebagai pembantu pemerintah, sedangkan fungsi

kontrol ditiadakan. Bahkan pemimpin DPR dijadikan mentri dan dengan demikian

ditekankan fungsi pembantu presiden, di samping fungsi sebagai wakil rakyat. Hal terakhir

ini mencerminkan telah ditinggalkannya doktrin Trias Politika.17

Penyimpangan lain dalam demokrasi terpimpin adalah campur tangan presiden

dalamm bidang Yudikatif seperti presiden diberi wewenang untuk melakukan intervensi di

bidang yudikatif berdasarkan UUD No.19 tahun 1964 yang jelas bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar 1945 dan di bidang Legislatif berdasarkan Peraturan Presiden No.14

tahun 1960 dalam hal anggota DPR tidak mencapai mufakat mengenai suatu hal atau sesuatu

rancangan Undang-Undang.

Selain itu terjadi penyelewengan di bidang perundang-undangan di mana pelbagai

tindakan pemerintah dilaksanakan melalui Penetapan Presiden (Panpres) yang memakai

Dekrit 5 Juli 1959 sebagai sumber hukum. Tambahan pula didirikan badan-badan ektra

kontitusional seperti front nasional yang ternyata dipakai oleh pihak komunis sebagai arena

kegiatan, sesuai denga taktik komunisme internasional yang menggariskan pembentukan

front nasional sebagai persiapan ke arah terbentuknya demokrasi rakyat.

Partai politik dan pers dianggap menyimpang dari rel revolusi ditutup, tidak

dibenarkan, dan ditutup, sedangkan politik mercusuar di bidang hubungan luar negeri dan

16
Budiardjo, Op. Cit.,hal.130.
17
Doktrin ini menjelaskan adanya pembagian kekuasaan antara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif
sehingga tidak terjadi perebutan kekuasaan dan setiap kekuasaan dapat menjalankan fungsi dan perannya
dengan baik.

9
ekonomi dalam negeri telah menyebabkan keadaan ekonomi menjadi bertambah suram. Pada

masa orde lama terjadi persaingan antara Angkatan Darat, Presiden, dan PKI18. Persaingan ini

mencapai klimaks dengan meletusnya perisiwa Gerakan 30 September 1965 yang dilakukan

oleh PKI. Ketika itu bangsa Indonesia didominasi oleh partai komunis yang sangat kuat.

Awal Orde Baru

Peristiwa Gerakan 30 September PKI19 mengakhiri masa Demorasi Tepimpin yang

dengan demikian masa orde lama pun berakhir. Malalui ketetapan MPRS No.II tahun 1667,

jabatan Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan negara dicabut dari tangan Bung

Karno. Dengan ketetapan MPRS No.XXXXIV tahun 1968, Jendral Soeharto dipilih MPRS

sebagai presiden20. Dengan demikian, masa orde lama berganti dengan masa orde baru

dengan Soeharto sebagai aktor utamanya.

KESIMPULAN

Kekuasaan eksekutif di Indonesia mengalami perkembangan dari masa ke masa.

Sistem pemerintahn presidensial yang diberlakukan pada sistem pemerintahan negara

Indonesia serta demokrasi sebagai alatnya, di mana esensinya adalah kedaulatan di tangan

rakyat, toh masih terdapat banyak intrik dan skandal di dalamnya. Ada begitu banyak defiasi

dan keboborokan yang terjadi dalam kekuasaan eksekutif pada negara Indonesia dari waktu

ke waktu.

18
Saleh,Op.Cit.,hal.150.
19
Ketika Indonesia merasakan dominasi partai komunis, PKI di bawah pimpinan DN Aidit melakukan
pemberontakan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah yang menyebabkan malapetakan nasional,
sehingga bangsa Indonesia harus mengalami penderitaan yang sangat tragis , baik di bidang ekonomi, politik,
sosial, budaya, dan Hankam.
20
Budiardjo,Op.Cit.,hal.311.

10
Tetapi hal ini bukanlah sebatas renungan belaka ataupun sebuah sejarah yang pernah

kita lewati. Segala hal yang telah terjadi pada kekuasaan eksekutif pada masa orde lama

hendaknya menjadi pembelajaran politik bagi kekuasaan eksekutif pada era reformasi

sekarang ini.

Masyarakat Indonesia membutuhkan kekuasaan eksekutif yang menjalankan tugas

fungsi, dan perannya dengan baik, bukan kekuasaan eksekutif yang penuh dengan korupsi,

kolusi, dan nepotisme. Oleh karena itu, dituntut adanya atensi pada setiap kekuasaan dalam

ajaran trias politika untuk dapat menjalankan checks and balances sebagaimana mestinya,

sehingga dari waktu ke waktu kekuasaan eksekutif di Indonesia dapat beradaptasi dengan

perubahan zaman yang semakin modern, menjaga relevansinnya dengan kehidupan modern,

sertra mengadakan transformasi politik ke arah yang lebih baik.

Selain itu juga dituntut kerja sama yang baik antara para stake holder termasuk di

dalamnya adalah masyarakat, untuk dapat memberikan kritik konstruktif yang dapat

membangun kekuasaan eksekutif di negara Indonesia sehingga menjadi lebih efisien, efektif,

responsif,dan berkredibelitas. Bukan kritik destruktif yang malah matikan kinerja kekuasaan

eksekutif di Indonesia.

PENUTUP

Seorang Fisuf Kontemporer bernama Richard Rorty pernah mengatakan bahwa

manusia bukanlah mahkluk yang infalible. Secara tersirat, Richard ingin mengatakan bahwa

tidak ada satu pun manusia di dunia ini yang sempurna. Atas dasar persepsi ini maka penulis

mengamini bahwa makalah ini masih sangat jauh dari sempurna.

11
Sambil tidak beritensi untuk menjadikan substansi dasar ini sebagai kambing hitam,

penulis mengharapkan ketidaksempurnaan makalah ini sebagai proses pembelajaran yang

berkelanjutan baik bagi penulis maupun pembaca. Oleh karena itu, penulis sangat

mengharapkan kritik dan saran instruktif dari pembaca sekalian untuk memperbaiki tulisan

ini dan pengembangannya ke depan.

Diakhir kata, penulis memohon maaf bila dalam makalah ini terdapat kata-kata yang

menyinggung. Penulis meminta maaf atas kesalahan tersebut, semoga dimaafkan.Terima

kasih. Viva Politik.

12
DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo, Miriam.2009.Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Kansil, C.S.T.1981.Sitem Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Aksara Baru

Saleh, Hassan.2009. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Audi Grafika

Tamin, Azian dan Azran Jalal, et. al.2005. Profil Politik Indonesia Pasca Orde Baru. Jakarta:
Pusat Studi Politik Madani Institute

13
14

Anda mungkin juga menyukai