Anda di halaman 1dari 45

REFERAT

OBAT GENERAL ANESTESI


Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan
Pendidikan Program Profesi Dokter Stase Anestesi
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing :
dr. Damai Suri, Sp.An

Diajukan Oleh:
Rosyid
Prasetyo J510170015
Reza Meilianie P J510170022
Laela Nurrochmah J510170077

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017

LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
OBAT GENERAL ANESTESI

Diajukan Oleh :
Rosyid Prasetyo J510170015
Reza Meilianie P J510170022
Laela Nurrochmah J510170077

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Anestesi Program Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari

Pembimbing :
dr. Damai Suri, Sp.An (..................................)

Dipresentasikan di hadapan :

i
dr. Damai Suri, Sp.An (..................................)

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul ................................................................................................. i


Lembar pengrsahan........................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN
I. 1 . Latar Belakang ................................................................................... 1
I. 2 Tujuan ................................................................................................ 2
BAB II. FARMAKOLOGI OBAT-OBATAN ANESTESI
II. 1 Anestesi Inhalasi ................................................................................ 4
A. Eter……………………………………………………………..… 4
B. Halotan …………...……………………………………………… 4
C. Enfluran ….………………………………………………………. 5
D. Desfluran ………………………………………………………… 6
E. Isofluran …………………………………………………………. 6
F. Sevofluran …………………………………………………….…. 7
G. Metoksifluran ……………………………………………………. 8
H. Nitrous Oksida ....………………………………………………… 8
I. Xenon ……………………………………………………………. 9
II. 2 Anestesi Intravena ............................................................................. 9
A. Propofol …………………………………………………………. 10

1
B. Etomidate ……………………………………………………..… 15
C. Barbiturate …………………………………………...………….. 15
D. Benzodiazepine …………………………………………………. 18
E. Ketamin ……………………………………………………...….. 24
II. 3 Analgetik ………………………………………………………….. 33
A. Morfin ………………………………………………………….. 35
B. Meperidin ………………………………………………………. 40
C. Fentanyl ………………………………………………………… 41
D. Tramadol ……………………………………………………….. 45
II. 4 Relaksan …………………………………………………………... 45
A. Suksinilkolin……………………………………………….……. 48
B. Pankuronium bromide …………………………………….……. 49
C. Vecuronium ………………………………………………….…. 49
D. Atracurium ……………………………………………………… 50

BAB III. KESIMPULAN …………………………………………………… 54

Daftar Pustaka...................................................................................................55

2
BAB I
PENDAHULUAN

I. 1. Latar Belakang
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani ᄃ an-"tidak, tanpa" dan aesthētos,
"persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan
rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan
rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes
Sr ᄃ pada tahun 1846 yang artinya tidak ada rasa sakit.1
Anestesi menurut arti kata adalah hilangnya kesadaran rasa sakit, namun obat anestasi
umum tidak hanya menghilangkan rasa sakit akan tetapi juga menghilangkan kesadaran. Pada
operasi-operasi daerah tertentu seperti operasi pada bagian perut, maka selain hilangnya rasa
sakit dan kesadaran, dibutuhkan juga relaksasi otot yang optimal agar operasi dapat berjalan
dengan lancar.2
Obat anestesi yang baik harus memenuhi trias anestesi yaitu, efek hipnotik, efek
analgesia dan efek relaksasi otot. Akan tetapi, dari berbagai obat anestesi hanya eter yang
memiliki trias anestesia. Oleh karena itu anestesi modern saat ini menggunakan obat-obat
selain eter, maka anestesi diperoleh dengan menggabungkan berbagai macam obat.2
Obat anestesi dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu anestesi lokal yang merupakan
penghilang rasa sakit tanpa disertai hilang kesadaran dan anestesi umum sebagai penghilang
rasa sakit yang disertai hilangnya kesadaran. Semua zat anestesi umum menghambat susunan
saraf secara bertahap, mula-mula fungsi yang kompleks akan dihambat dan yang paling akhir
adalah medula oblongata yang mengandung pusat vasomotor dan pusat pernafasan yang vital.
Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter menjadi 4 stadium, yaitu stadium
analgesia, stadium delirium, stadium pembedahan dan stadium paralisis medulla.1
Obat anestetik lokal adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan
secara lokal pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Obat ini bekerja pada setiap bagian
saraf. Pemberian anestetik lokal pada kulit akan menghambat transmisi impuls sensorik,
sebaliknya pemberian anestetik lokal pada batang saraf menyebabkan paralisis sensorik dan
motorik di daerah yang dipersarafinya. Mekanisme kerja anestetik lokal adalah mencegah
konduksi dan timbulnya impuls saraf. Tempat kerjanya terutama di membran sel.1
Prinsip dasar farmakologi obat anestetik, meliputi transfer membran, absorbsi,
metabolisme, distribusi dan eliminasi obat. Pada anestetik lokal, peristiwa farmakologik ini
lebih sederhana tanpa mempengaruhi pusat kesadaran di SSP.1
Kepentingan utama farmakologi anestetik secara klinis adalah dalam menentukan
dosis yang optimal untuk suatu obat, dimana dalam selang dosis tersebut obat akan

3
mempunyai efek terapi tanpa menimbulkan efek toksik. Seberapa besar jumlah yang
diperlukan ditentukan dengan menentukan tingkat konsentrasi minimal yang dapat
menimbulkan efek separuh dari efek terapi yang diharapkan, dan tingkat konsentrasi
maksimal yang umumnya ditentukan pada jumlah konsentrasi obat.3

I. 2. Tujuan
Tujuan penulisan tinjauan pustaka ini antara lain untuk memenuhi salah satu
penilaian kognitif pada masa Kepaniteraan Klinik di bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
di RSUP KARANGANYAR. Selain itu, tujuan penulisan tinjauan pustaka ini juga untuk
menambah pengetahuan bagi penulis dan bagi pembaca terutama mengenai obat-obat
anestesi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II. 1. Anestesi Inhalasi


Obat anestesia inhalasi adalah obat anestesia yang berupa gas atau cairan mudah
menguap, yang diberikan melalui pernafasan pasien. Campuran gas atau uap obat anestesia
dan oksigen masuk mengikuti udara inspirasi, mengisi seluruh rongga paru, selanjutnya
mengalami difusi dari alveoli ke kapiler sesuai dengan sifat fisik masing-masing gas.2
Anestesi inhalasi adalah obat yang paling sering digunakan pada anestesia umum.
Penambahan sekurang-kurangnya 1% anestetik volatil pada oksigen inspirasi dapat
menyebabkan keadaan tidak sadar dan amnesia, yang merupakan hal yang penting dari
anestesia umum. Bila ditambahkan obat intravena seperti opioid atau benzodiazepin, serta
menggunakan teknik yang baik, akan menghasilkan keadaan sedasi/hipnosis dan analgesi
yang lebih dalam. Kemudahan dalam pemberian (dengan inhalasi sebagai contoh) dan efek
yang dapat dimonitor membuat anestesi inhalasi disukai dalam praktek anestesia umum.
Tidak seperti anestetik intravena, kita dapat menilai konsentrasi anestesi inhalasi pada
jaringan dengan melihat nilai konsentrasi tidal akhir pada obat-obat ini. Sebagai tambahan,
penggunaan gas volatil anestesi lebih murah penggunaanya untuk anestesia umum. Hal yang

4
harus sangat diperhatikan dari anestesi inhalasi adalah sempitnya batas dosis terapi dan dosis
yang mematikan. Sebenarnya hal ini mudah diatasi,dengan memantau konsentrasi jaringan
dan dengan mentitrasi tanda-tanda klinis dari pasien. 2
Obat anestesi inhalasi biasanya dipakai untuk pemeliharaan pada anestesi umum,
akan tetapi juga dapat dipakai sebagai induksi, terutama pada pasien anak-anak. Gas anestesi
inhalasi yang banyak dipakai adalah isofluran dan dua gas baru lainnya yaitu sevofluran dan
desfluran. sedangkan pada anak-anak, halotan dan sevofluran paling sering dipakai.
Walaupun dari obat-obat ini memiliki efek yang sama (sebagai contoh : penurunan tekanan
darah tergantung dosis), namun setiap gas ini memiliki efek yang unik, yang menjadi
pertimbangan bagi para klinisi untuk memilih obat mana yang akan dipakai. Perbedaan ini
harus disesuaikan dengan kesehatan pasien dan efek yang direncanakan sesuai dengan
prosedur bedah. 2

A. Eter
Eter merupakan obat anestesi inhalasi yang orisinal dibuat oleh Valerius Cardus pada
tahun 1540, dengan memanaskan etil alkohol dengan asam sulfur dibawah suhu 130 oC. Eter
tidak berwarna , mudah menguap, dan berbau khas. Eter tidak bereaksi dengan soda lime,
mudah terbakar atau meledak, dan dapat terurai oleh cahaya, panas, atau udara.4
Secara farmakologi klinis, eter mempengaruhi sejumlah fungsi sistem organ tubuh.
Eter mampu meningkatkan denyut nadi, merangsang simpatis, dan mendepresi vagal. Aritmia
jarang terjadi. Frekuensi napas bertambah pada permulaan anestesi, dan kemudian melambat.
Sekresi saluran napas meningkat. Tekanan intrakranial juga meningkat akibat dilatasi
pembuluh darah otak.5
Rangsangan sentral simpatis menimbulkan peningkatan katekolamin plasma, dengan
konsekuensi peningkatan denyut jantung, produksi glikogen bertambah, disertai peningkatan
kadar gula darah. Mual dan muntah dapat merupakan komplikasi saluran cerna akibat
menurunnya otot tonus gastrointestinal. Relaksasi otot sangat baik pada penggunaan eter.5
Keuntungan penggunaan eter adalah harganya yang murah dan mudah didapat, tidak
perlu digabung dengan obat anestesi lain, karena memenuhi trias anestesi. Penggunaan alat
dan metode sederhana memungkinkan eter sangat portabel. Batas keamanan eter juga cukup
lebar sehingga mudah digunakan.3
Kelemahan eter antara lain sifatnya yang mudah terbakar dan meledak, bau yang
tidak enak dan iritatif, hipersekresi kelenjar ludah, serta menyebabkan hiperglikemia dan
mual muntah.3

B. Halotan

5
Halotan merupakan anestetik umum inhalasi dengan nama IUPAC 2-bromo-2-kloro-
1,1,1-trifluoroetan. Halotan merupakan satu dari dua agen anestetik inhalasi yang terdaftar
dalam formulasi WHO 2004 untuk anestesi induksi dan pemeliharaan, selain eter.
Perbedaannya adalah, halotan merupakan agen anestetik yang bersifat terfluorinasi.2
Halotan memiliki karakter fisik bersih, tidak berwarna, tidak mudah terbakar, dan
tidak iritatif. Titik didih 50,30C. Dekomposisi dapat terjadi setelah pemajanan sinar, dan
untuk menghindari hal ini, halotan perlu ditambahkan timol 0,01%.2
Untuk induksi anestesi, halotan diberikan dengan konsentrasi 2 – 4% v/v pada
dewasa, dan 1,5–2 % v/v pada anak-anak, dan diberikan bersama oksigen atau campuran
oksigen-nitrous oksida. Induksi dapat dimulai dengan konsentrasi 0,5% v/v dan secara
bertahap dititrasi dengan meningkatkan dosis ke level tertentu. Untuk dosis pemeliharaan
dewasa dan anak-anak adalah 0,5– 2 % v/v. Untuk orang tua, dosis dapat dikurangi.4
Penggunaan halotan perlu mempertimbangkan fisiologis hepar, karena halotan secara
bermakna dapat memicu hepatitis fulminan. Halotan juga bersifat mendepresi miokardial
sehingga menyebabkan bradikardi dan hipotensi. Peningkatan sensitivitas terhadap
katekolamin mampu menyebabkan aritmia jantung. Efek samping lainnya adalah PONVS
(Postoperative nausea, vomiting, and Shivering), peningkatan tekanan intrakrnial, penurunan
aliran darah renal dan GFR, hipertermia. 5

C. Enfluran
Enfluran merupakan eter terhalogenasi yang telah digunakan sebagai anestesi
inhalasi sejak dikembangkan tahun 1963. enfluran memiliki nama kimia 1-kloro-1,1,2,-
trifluoroetil-difluorometil-eter. Memiliki titik didih pada 56,5oC. Nilai MAC adalah 1,68.
Induksi dengan enfluran terjadi secara cepat dan lancar. Jarang terdapat mual dan muntah.
Pemulihan paska anestesi enfluran juga cepat.2
Enfluran berbentuk cair pada suhu kamar, mudah menguap dan berbau enak.
Enfluran merupakan anestesi poten, mendepresi SSP dan menimbulkan efek hipnotik. Pada
konsentrasi inspirasi 3-3,5% dapat timbul perubahan pada EEG, berupa gelombang
epileptiform. Pada anestesi yang dalam dapat menimbulkan penurunan tekanan darah
disebabkan depresi pada miokard. Selain itu, enfluran juga mendepresi napas dengan
menurunkan volume tidal. Pada otot, terjadi efek relaksasi sedang dan efek ini meningkatkan
kinerja obat-obat relaksan otot. Enfluran tidak memiliki efek hepatotoksik atau nefrotoksik.
Namun, beberapa literatur melaporkan adanya efek nefrotoksik dan kegagalan ginjal akut
akibat metabolit yang dihasilkan oleh metabolisme enfluran.5

D. Desfluran

6
Desfluran (2,2,2-trifluoro-1-fluoroetil-difluorometil eter) merupakan etil metil eter
berfluorinasi yang digunakan sebagai agen pemelihara anestesi umum. Bersama dengan
sevofluran, penggunaannya mulai menggantikan isofluran, meskipun harganya lebih mahal.
Desfluran memiliki onset kerja yang sangat singkat dan kelarutan dalam darahnya sangat
rendah.1
Kelemahan desfluran adalah potensinya yang kurang kuat, perih, dan harga yang
mahal. Desfluran juga dapat menyebabkan takikardi dan iritasi saluran napas bila digunakan
pada konsentrasi lebih dari 10%. Desfluran menunjukkan reaksi dengan CO2 pada sirkuit
anestesi.1
Desfluran sangat stabil dan tahan terhadap degradasi soda lime dan hepar. Eksresi
dari florida organic dan inorganik minimal. Konsentrasi rata-rata setelah pemberian 1.0 MAC
(minimum alveolar concentration)/jam desflurane adalah kurang dari 1 mmol/L. Paparan
lama desflurane berkaitan dengan fungsi ginjal normal.5

E. Isofluran
Isofluran merupakan isomer dari enfluran dengan efek-efek samping yang minimal.
Isofluran memiliki nama kimia 2-kloro-2-(difluorometoksi)-1,1,1- trifluoro-etan, merupakan
eter berhalogenasi yang digunakan untuk anestesi inhalasi. Karakteristik fisik isofluran antara
lain titik didih 48,5 OC, nilai MAC 1,15 vol %.2,3
Mekanisme terkait sifat anestetik masih belum sepenuhnya dipahami, namun diduga
terdapat interaksi isofluran dengan berbagai reseptor pada transmisi sinaptik. Isofluran
mengikat reseptor GABA, reseptor glutamat, dan reseptor glisin, serta menghambat konduksi
kanal kalium. Penghambatan glisin akan membantu menghambat fungsi motorik. Aktivasi
kalsium ATPase akan meningkatkan permeabilitas membran.3
Seperti anestesi inhalasi yang lain, isofluran juga mendepresi napas.Volume tidal dan
frekuensi napas dapat menurun menimbulkan dilatasi bronkus, sehingga baik untuk kasus
penyakit paru obstruksi menahun.5
Depresi terhadap jantung minimal dibandingkan enfluran dan halotan. Pada beberapa
kasus dapat menyebabkan takikardi. Isofluran memiliki efek relaksasi otot yang baik dan
berpotensiasi dengan obat relaksan otot, namun tidak terlalu merelaksasi otot uterus pada
kasus obstetri.5
Berbeda dengan enfluran, obat ini tidak menimbulkan perubahan gambaran
epileptiform pada EEG, serta tidak begitu mempengaruhi aliran darah otak. Metabolisme
yang minimal menyebabkan obat ini aman bagi fungsi hepar dan ginjal.5

F. Sevofluran

7
Sevofluran memiliki nama kimia fluorometil heksafluoroisopropil eter, merupakan
agen anestesi inhalasi berbagu manis, tidak mudah meledak, yang merupakan hasil fluorinasi
metil isopropil eter. Sevofluran memiliki titik didih 58,6 oC dan nilai MAC 2 vol%.
Penggunaan sevofluran dapat diberikan bersama oksigen dan N2O. Onset kerja obat sangat
cepat, dan konsentrasinya dalam darah relatif rendah.5
Sevofluran dapat membentuk 2 senyawa hasil degradasi selama anestesi dilakukan,
yaitu senyawa A dan senyawa B, yang pembentukannya akan meningkat terutama bila suhu
terlalu tinggi atau sodalime telah rusak. Senyawa A dapat menyebabkan nekrosis renal pada
tikus, sedangkan pada manusia, derajat kerusakan jaringan ginjal masih sedang dalam
penelitian. Dengan memperhatikan hal ini, sevofluran dianjurkan diberikan dengan minimum
aliran gas 2 liter/menit, karena aliran yang rendah akan memicu peningkatan temperatur
sodalime.2

G. Metoksifluran
Methoxyfluran merupakan obat anestesi yang pada tahun 1960 dan 1970an kontra
indikasi terhadap pasien dengan penyakit ginjal karena biotransformasinya menjadi
nephrotoksik, florida inorganik, dan asam oksalik. Enfluran juga mengalami biotransformasi
menjadi florida inorganik tetapi kadar setelah 2-4 jam anastesi hanya 19 mM pada pasien
dengan penyakit ginjal ringan sampai dengan sedang, secara signifikan nilainya lebih rendah
dari ambang nephrotoksis yaitu 50 mM, sehingga dengan kadar ini florida tidak
menyebabkan gangguan ginjal lebih lanjut. Kadar fluorida dari isofluran adalah 3-5 mM dan
hanya 1 sampai 2 mM setelah halotan, sehingga obat-obat tersebut tidak potensial
nephrotoksik.1

H. Nitrous Oksida
Nitrous oksida merupakan gas inhalan yang digunakan sebagai agen pemelihara
anestesi umum. Penggunaan nitrous oksida bersama dengan oksigen atau udara. Efek anestesi
nitrous oksida menurun bila digunakan secara tunggal, sehingga perlu pula penambahan agen
anstetik lainnya dengan dosis rendah. Nitrous oksida memiliki efek analgetik yang baik.
Penggunaan campuran nitrous oksida dengan oksigen 50:50 v/v disebut entonox, yang
digunakan sebagai analgesi daripada anestesi.2
N2O diserap dengan cepat dalam tubuh, yaitu 1 liter/menit dalam menit pertama.
Terdapat 3 fase pengambilan N2O berdasarkan saturasi arteri, yaitu pertama, dalam 5 menit
mencapai 50% saturasi; kedua, dalam 30-90 menit mencapai 90% saturasi; dan dalam 5 jam

8
mencapai saturasi penuh. Dalam 100 mL darah dapat terlarut 47mL N2O, dan hampir
seluruhnya dikeluarkan kembali melalui paru.5
N2O nerupakan zat anestesi lemah, menimbulkan efek analgesia dan hipnotik lemah.
Efek kardiovaskular minimal, sehingga perubahan pada frekuensi jantung, irama dan curah
jantung maupun EKG juga minimal. Pernapasan tidak banyak dipengaruhi. Depresi napas
terjadi pada pemakaian N2O tanpa oksigen. Sensitivitas laring dan trakea terhadap
manipulasi menurun.3
Pada sistem lain, seperti gastrointestinal, sistem urologi, dan reproduksi tidak banyak
dipengaruhi. Tidak terjadi relaksasi otot atau perubahan terhadap fungsi endokrin dan
metabolik.3

I. Xenon
Meskipun jarang digunakan dan kurang popular, xenon merupakan unsur gas mulia
yang stabil dan dapat digunakan sebagai agen anestesi umum. Terdapat dua mekanisme yang
diduga menyebabkan unsur ini memiliki sifat anestesi. Pertama, adanya penghambatan
pompa kalsium ATP-ase, yang menyebabkan hilangnya kalsium sel, termasuk membran sel
sinaptik. Pendapat kedua mengatakan bahwa xenon memiliki interaksi nonspesifik dengan
lipid membran.3
Xenon memiliki nilai MAC 71 vol%, menyebabkan unsur ini lebih poten 50%
dibanding N2O. Penggunaan bersama oksigen akan meminimalisir risiko hipoksia. Tidak
seperti N2O, xenon tidak termasuk gas rumah kaca, sehingga lebih aman untuk lingkungan.3

II. 2. Anestetik Intravena


Obat anestesi intravena adalah obat anestesi yang diberikan melalui jalur intravena,
baik obat yang berkhasiat hipnotik atau analgetik maupun pelumpuh otot. Setelah berada
didalam pembuluh darah vena, obat-obat ini akan diedarkan ke seluruh jaringan tubuh
melalui sirkulasi umum, selanjutnya akan menuju target organ masing-masing dan akhirnya
diekskresikan sesuai dengan farmakodinamiknya masing-masing.6
Anestesi yang ideal akan bekerja secara cepat dan baik serta mengembalikan
kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan. Selain itu batas keamanan
pemakaian harus cukup lebar dengan efek samping yang sangat minimal. Tidak satupun obat
anestesi dapat memberikan efek samping yang sangat minimal. Tidak satupun obat anestesi
dapat memberikan efek yang diharapkan tanpa efek samping, bila diberikan secara tunggal.7

A. Propofol
Propofol adalah zat subsitusi isopropylphenol (2,6 diisopropylphenol) yang
digunakan secara intravena sebagai 1% larutan pada zat aktif yang terlarut, serta mengandung

9
10% minyak kedele, 2,25% gliserol dan 1,2% purified egg phosphatide. Obat ini secara
struktur kimia berbeda dari obat sedatif-hipnotik yang digunakan secara intravena lainnya.
Penggunaan propofol 1,5 – 2,5 mg/kgBB (atau setara dengan thiopental 4-5 mg/kgBB atau
methohexital 1,5 mg/kgBB) dengan penyuntikan cepat (< 15 detik) menimbulkan turunnya
kesadaran dalam waktu 30 detik. Propofol lebih cepat dan sempurna mengembalikan
kesadaran dibandingkan obat anestesia lain yang disuntikan secara cepat. Selain sepat
mengembalikan kesadaran, propofol memberikan gejala sisa yang minimal pada SSP. Nyeri
pada tempat suntikan lebih sering apabila obat disuntikan pada pembuluh darah vena yang
kecil. Rasa nyeri ini dapat dikurangi dengan pemilihan tempat masuk obat di daerah vena
yang lebih besar dan penggunaan lidokain 1%.2
Propofol relatif bersifat selektif dalam mengatur reseptor gamma aminobutyric acid
(GABA) dan tampaknya tidak mengatur ligand-gate ion channel lainnya. Propofol dianggap
memiliki efek sedatif hipnotik melalui interaksinya dengan reseptor GABA. GABA adalah
salah satu neurotransmiter penghambat di SSP. Ketika reseptor GABA diaktivasi, penghantar
klorida transmembran meningkat dan menimbulkan hiperpolarisasi di membran sel post
sinaps dan menghambat fungsi neuron post sinaps. Interaksi propofol (termasuk barbiturat
dan etomidate) dengan reseptor komponen spesifik reseptor GABA menurunkan
neurotransmitter penghambat. Ikatan GABA meningkatkan durasi pembukaan GABA yang
teraktifasi melaui chloride channel sehingga terjadi hiperpolarisasi dari membran sel.1
Propofol didegradasi di hati melalui metabolisme oksidatif hepatik oleh cytochrome
P-450. Namun, metabolisme tidak hanya dipengaruhi hepatik tetapi juga ekstrahepatik.
Metabolisme hepatik lebih cepat dan lebih banyak menimbulkan inaktivasi obat dan terlarut
air sementara metabolisme asam glukoronat diekskresikan melalui ginjal. Propofol
membentuk 4-hydroxypropofol oleh sitokrom P450. Propofol yang berkonjugasi dengan
sulfat dan glukoronide menjadi tidak aktif dan bentuk 4 hydroxypropofol yang memiliki 1/3
efek hipnotik. Kurang dari 0,3% dosis obat diekskresikan melalui urin. Waktu paruh propofol
adalah 0,5-1,5 jam tapi yang lebih penting sensitive half time dari propofol yang digunakan
melalui infus selama 8 jam adalah kurang dari 40 menit. Maksud dari sensitive half time
adalah pengaruh minimal dari durasi infus karena metabolisme propofol yang cepat ketika
infus dihentikan sehingga obat kembali dari tempat simpanan jaringan ke sirkulasi. Propofol
mirip seperti aldentanil dan thiofentanil yang memiliki efek singkat di otak setelah pemberian
melalui intravena. 8
Propofol menjadi pilihan obat induksi terutama karena cepat dan efek
mengembalikan kesadaran yang komplit. Infus intravena propofol dengan atau tanpa obat

10
anestesia lain menjadi metode yang sering digunakan sebagai sedasi atau sebagai bagian
penyeimbang atau anestesi total iv. Penggunaan propofol melalui infus secara terus menerus
sering digunakan di ruang ICU. 1
a. Induksi Anestesia
Dosis induksi propofol pada pasien dewasa adalah 1,5-2,5 mg/kgBB intravena
dengan kadar obat 2-6 μg/ml menimbulkan turunnya kesadaran yang bergantung pada usia
pasien. Mirip seperti barbiturat, anak-anak membutuhkan dosis induksi yang lebih besar tiap
kilogram berat badannya yang mungkin disebabkan volum distribusi yang besar dan
kecepatan bersihan yang lebih. Pasien lansia membutuhkan dosis induksi yang lebih kecil
(25% - 50%) sebagai akibat penurunan volume distribusi dan penurunan bersihan plasma.
Kesadaran kembali saat kadar propofol di plasma sebesar 1,0 – 1,5 μg/ml. Kesadaran yang
komplit tanpa gejala sisa SSP merupakan karakter dari propofol dan telah menjadi alasan
menggantikan thiopental sebagai induksi anestesi pada banyak situasi klinis.
b. Sedasi Intravena
Sensitive half time dari propofol walau diberikan melalui infus yang terus menerus,
kombinasi efek singkat setara memberikan efek sedasi. Pengembalian kesadaran yang cepat
tanpa gejala sisa serta insidens rasa mual dan muntah yang rendah membuat propofol
diterima sebagai metode sadasi. Dosis sedasinya adalah 25-100μg/kgBB/menit secara
intravena dapat menimbulkan efek analgesik dan amnestik. Pada beberapa pasien, midazolam
atau opioid dapat dikombinasikan dengan propofol melalui infus. Sehingga intensitas nyeri
dan rasa tidak nyaman menurun.
Propofol yang digunakan sebagai sedasi selama ventilasi mekanik di ICU pada
beberapa populasi termasuk pasien post operasi (bedah jantung dan bedah saraf) dan pasien
yang mengalami cedera kepala. Propofol juga memiliki efek antikonvulsan, dan amnestik
Setelah pembedahan jantung, sedasi propofol mengatur respon hemodinamik post operasi
dengan menurunkan insiden dan derajat takikardia dan hipertensi. Asidosis metabolik,
lipidemia, bradikardia, dan kegagalan myokardial yang progresif pada beberapa anak yang
mendapat sedasi propofol selama penanganan gagal napas akut di ICU.
c. Maintenance Anestesia
Dosis tipikal anestesia 100-300 μg/kgBB/menit iv sering dikombinasikan dengan
opioid kerja singkat. Walaupun propofol diterima sebagai anestesi prosedur bedah yang
singkat, tetapi propofol lebih sering digunakan pada operasi yang lama ( < 2 jam)
dipertanyakan mengingat harga dan efek yang sedikit berbeda pada waktu kembalinya

11
kesadaran dibandingkan standar teknik anestesi inhalasi. Anestesi umum dengan propofol
dihubungkan dengan efek yang minimal pada rasa mual dan muntah post operasi,
pengembalian kesadaran.
Dibandingkan thiopental, propofol menurunkan prevalensi wheezing setelah induksi
dengan anestesia dan intubasi trakea pada pasien tanpa riwayat asma dan pasien dengan
riwayat asma. Formula baru propofol yang menggunakan metabisulfit sebagai pengawet.
Metabisulfit menimbulkan bronkokontriksi pada pasien asma. Pada studi di hewan, propofol
tanpa metabisulfit menimbulkan stimulus ke nervus vagus yang menginduksi
bronkokonstriksi dan metabisulfit sendiri dapat meningkatkat kurang responnya saluran
pernapasan. Setelah intubasi trakea, pasien dengan riwayat merokok, resistensi saluran
pernapasan meningkat pada pasioen yang mendapat propofol dan metabisulfit serta ethyl
enediaminetetraacetic (EDTA). Sehingga penggunaan bahan pengawet propofol
meningkatkan risiko terjadinya bronkokonstriksi. Propofol yang menginduksi
bronkokonstriksi pernah dilaporkan pada psien dengan riwayat alergi dan penggunaan
Diprivan® yang mengandung susu kedele, gliserin, egg lechitin , sodium edetate.
Pada sistem saraf pusat, propofol menurunkan Cerebral Metabolism Rate terhadap
oksigen (CRMO2), aliran darah, serta tekanan intra kranial (TIK). Penggunaan propofol
sebagai sedasi pada pasien dengan lesi yang mendesak ruang intra kranial tidak akan
meningkatkan TIK. Dosis besar propofol mungkin menyebabkan penurunan tekanan darah
yang diikuti penurunan tekanan aliran darah ke otak. Autoregulasi cerebral sebagai respon
gangguan tekanan darah dan aliran darah ke otak yang mengubah PaCO2 tidak dipengaruhi
oleh propofol. Akan tetapi, aliran darah ke otak dipengaruhi oleh PaCO2 pada pasien yang
mendapat propofol dan midazolam. Propofol menyebabkan perubahan gambaran
electroencephalograpic (EEG) yang mirip pada pasien yang mendapat thiopental. Propofol
tidak mengubah gambaran EEG pasien kraniotomi. Mirip seperti midazolam, propofol
menyebabkan gangguan ingatan yang mana thipental memiliki efek yang lebih sedikit serta
fentanyl yang tidak memiliki efek gangguan ingatan.
Pada siste kardiovaskular, propofol lebih menurunkan tekanan darah sistemik
daripada thiopental. Penurunan tekanan darah ini juga dipengaruhi perubahan volume kardiak
dan resistensi pembuluh darah. Relaksasi otot polos pembuluh darah disebabkan hambatan
aktivitaas simpatis vasokontriksi. Suatu efek negatif inotropik yang disebabkan penurunan
avaibilitas kalsium intrasel akibat penghambatan influks trans sarcolemmal kalsium.
Stimulasi langsung laringoskop dan intubasi trakea membalikan efek propofol terhadap

12
tekanan darah. Propofol juga menghambat respon hipertensi selama pemasangan laringeal
mask airway. Pengaruh propofol terhadap desflurane mediated sympathetic nervous system
activation masih belum jelas.
Ditemukan bradikardia dan asistol setelah pemberian propofol telah pada pasien
dewasa sehat sebagai propilaksis antikolinergik. Risiko bradycardia-related death selama
anestesia propofol sebesar 1,4 / 100.000. Bentuk bradikardi yang parah dan fatal pada anak di
ICU ditemukan pada pemberian sedasi propofol yang lama. Anestesi propofol dibandingkan
anestesi lain meningkatkan refleks okulokardiak pada pembedahan strabismus anak selama
pemberian antikolonergik.
Pada system pernafasan, terdapat risiko apnea sebesar 25-35% pada pasien yang
mendapat propofol. Pemberian agen opioid sebagai premedikasi meningkatkan risiko ini.
Stimulasi nyeri pada saat pembedahan juga meningkatkan risiko apnea. Infus propofol
menurunkan volume tidal dan frekuensi pernapasan. Respon pernapasan menurun terhadap
keadaan peningkatan karbon diokasida dan hipoksemia. Propofol menyebabkan
bronkokontriksi dan menurunkan risiko terjadinya wheezing pada pasien asma. Konsetrasi
sedasi propofol menyebabkan penurunan respon hiperkapnia akibat efek terhadap
kemoreseptor sentral.
Pada Hepar dan ginjal, propofol tidak menggangu fungsi hepar dan ginjal yang
dinilai dari enzim transamin hati dan konsentrasi kreatinin. Infus propofol yang lama
menimbulkan luka pada sel hepar akibat asidosis laktat, bradidisritmia, dan rhabdomyolisis.
Infus propifol yang lama menyebabkan urin yang berwarna kehijauan akibat adanya rantai
phenol. Namun perubahan warna urin ini tidak mengganggu fungsi ginjal. Namun ekskresi
asam urat meningkat pada pasien yang mendapat propofol yang ditandai dengan urin yang
keruh, terdapat kristal asam urat, pH dan suhu urin yang rendah.

B. Etomidate
Etomidate merupakan agen anestetik intravena kerja cepat yang digunakan sebagai
induksi dan sedasi dalam prosedur operasi singkat, seperti reduksi dislokasi sendi dan
kardioversi. Etomidate merupakan derivat imidazol yang mengalami karboksilasi, dengan
potensi anestesi dan amnesi. Pada dosis tipikal, etomidate bekerja dalam rentang 5 – 10 menit
dan memiliki waktu paruh 2-5 menit dan akan habis setelah 75 menit. Etomidate mengikat
kuat protein plasma dan dimetabolisme oleh enzim esterase plasma dan hepatik.9
Dosis anestetik induksi rata-rata untuk dewasa adalah 0,3 mg/Kg intravena, dengan
dosis tipikal antara 20-40 mg. Dosis inisial adalah 0,2 – 0,6 mg/Kg dengan masa kerja 30-60
menit. Dosis pemeliharaan adalah 5-20 μg/Kg/menit intravena. Seperti halnya anestesi umum

13
lainnya, etomidate menyebabkan hilangnya kesadaran. Untuk prosedur kardioversi, dosis
yang digunakan adalah 10 mg dan pemberian ini dapat diulang. 9

C. Barbiturat
Barbiturat selama beberapa saat telah digunakan secara ekstensif sebagai hipnotik
dan sedatif. Namun sekarang, kecuali untuk beberapa penggunaan yang spesifik, barbiturat
telah banyak digantikan dengan benzodiazepine yang lebih aman, pengecualian fenobarbital,
yang memiliki anti konvulsi yang masih banyak digunakan. Secara kimia, barbiturat
merupakan derivat asam barbiturat. Asam barbiturat (2,4,4-trioksoheksahidropirimidin)
merupakan hasil reaksi kondensasi antara ureum dengan asam malonat.10
Efek utama barbiturat ialah depresi SSP. Semua tingkat depresi dapat dicapai, mulai
dari sedasi, hipnosis, koma sampai dengan kematian. Efek antiansietas barbiturat
berhubungan dengan tingkat sedasi yang dihasilkan. Efek hipnotik barbiturat dapat dicapai
dalam waktu 20-60 menit dengan dosis hipnotik. Tidurnya menyerupai tidur fisiologis, tidak
disertai mimpi yang mengganggu. Efek anastesi umumnya diperlihatkan oleh golongan
tiobarbital dan beberapa oksibarbital untuk anastesi umum. Untuk efek antikonvulsi
umumnya diberikan oleh berbiturat yang mengandung substitusi 5-fenil misalnya
fenobarbital.10
Barbiturat berkerja pada seluruh SSP, walaupun pada setiap tempat tidak sama
kuatnya. Dosis nonanastesi terutama menekan respon pasca sinap. Penghambatan hanya
terjadi pada sinaps GABA-nergik. Walaupun demikian efek yang terjadi mungkin tidak
semuanya melalui GABA sebagai mediator. Barbiturat memperlihatkan beberapa efek yang
berbeda pada eksitasi dan inhibisi transmisi sinaptik. Kapasitas berbiturat membantu kerja
GABA sebagian menyerupai kerja benzodiazepine, namun pada dosis yang lebih tinggi dapat
bersifat sebagai agonis GABA-nergik, sehingga pada dosis tinggi barbiturat dapat
menimbulkan depresi SSP yang berat.10
Pada susunan saraf perifer, barbiturat secara selektif menekan transmisi ganglion
otonom dan mereduksi eksitasi nikotinik oleh esterkolin. Efek ini terlihat dengan turunya
tekanan darah setelah pemberian oksibarbital IV dan pada intoksikasi berat.10
Pada pernafasan, barbiturat menyebabkan depresi nafas yang sebanding dengan
besarnya dosis. Pemberian barbiturat dosis sedatif hampir tidak berpengaruh terhadap
pernafasan, sedangkan dosis hipnotik menyebabkan pengurangan frekuensi nafas. Pernafasan
dapat terganggu karena : (1) pengaruh langsung barbiturat terhadap pusat nafas; (2)
hiperefleksi N.vagus, yang bisa menyebabkan batuk, bersin, cegukan, dan laringospasme
pada anastesi IV. Pada intoksikasi barbiturat, kepekaan sel pengatur nafas pada medulla

14
oblongata terhadap CO2 berkurang sehingga ventilasi paru berkurang. Keadaan ini
menyebabkan pengeluaran CO2 dan pemasukan O2 berkurang, sehingga terjadilah
hipoksia.10
Pada sistem kardiovaskular, barbiturat dosis hipnotik tidak memberikan efek yang
nyata. Frekuensi nadi dan tekanan darah sedikit menurun akibat sedasi yang ditimbulkan oleh
berbiturat. Pemberian barbiturat dosis terapi secara IV dengan cepat dapat menyebabkan
tekanan darah turun secara mendadak. Efek kardiovaskular pada intoksikasi barbiturat
sebagian besar disebabkan oleh hipoksia sekunder akibat depresi nafas. Selain itu pada dosis
tinggi dapat menyebabkan depresi pusat vasomotor diikuti vasodilatasi perifer sehingga
terjadi hipotensi.6,7
Pada saluran cerna, Oksibarbiturat cenderung menurunkan tonus otot usus dan
kontraksinya. Pusat kerjanya sebagian diperifer dan sebagian dipusat bergantung pada dosis.
Dosis hipnotik tidak memperpanjang waktu pengosongan lambung dan gejala muntah, diare
dapat dihilangkan oleh dosis sedasi barbiturat.6,7
Pada hepar, barbiturat menaikan kadar enzim, protein dan lemak pada
retikuloendoplasmik hati. Induksi enzim ini menaikan kecepatan metabolism beberapa obat
dan zat endogen termasuk hormone stroid, garam empedu, vitamin K dan D.10
Pada ginjal, barbiturat tidak berefek buruk pada ginjal yang sehat. Oliguri dan anuria
dapat terjadi pada keracunan akut barbiturat terutama akibat hipotensi yang nyata.10
Barbiturat secara oral diabsorpsi cepat dan sempurna dari lambung dan usus halus
kedalam darah. Secara IV barbiturat digunakan untuk mengatasi status epilepsi dan
menginduksi serta mempertahankan anastesi umum. Barbiturat didistribusi secara luas dan
dapat melewati plasenta, ikatan dengan protein plasma sesuai dengan kelarutan dalam lemak;
tiopental yang terbesar.10
Barbiturat yang mudah larut dalam lemak, misalnya tiopental dan metoheksital,
setelah pemberian secara IV, akan ditimbun di jaringan lemak dan otot. Hal ini akan
menyebabkan kadarnya dalam plasma dan otak turun dengan cepat. Barbiturat yang kurang
lipofilik, misalnya aprobarbital dan fenobarbital, dimetabolisme hampir sempurna didalam
hati sebelum diekskresi di ginjal. Pada kebanyakan kasus, perubahan pada fungsi ginjal tidak
mempengaruhi eliminasi obat. Fenobarbital diekskresi ke dalam urine dalam bentuk tidak
berubah sampai jumlah tertentu (20-30 %) pada manusia.1
Penggunaan barbiturat sebagai hipnotik sedatif telah menurun secara nyata karena
efek terhadap SSP kurang spesifik yang telah banyak digantikan oleh golongan
benzodiazepine. Penggunaan pada anastesi masih banyak obat golongan barbiturat yang
digunakan, umumnya tiopental dan fenobarbital.10

15
Tiopental :
• Di gunakan untuk induksi pada anestesi umum.
• Operasi yang singkat (reposisi fraktur, insisi, jahit luka).
• Sedasi pada analgesik regional
• Mengatasi kejang-kejang pada eklamsia, epilepsi, dan tetanus
Fenobarbital :
• Untuk menghilangkan ansietas
• Sebagai antikonvulsi (pada epilepsi)
• Untuk sedatif dan hipnotik
Barbiturat tidak boleh diberikan pada penderita alergi barbiturat, penyakit hati atau
ginjal, hipoksia, penyakit Parkinson. Barbiturat juga tidak boleh diberikan pada penderita
psikoneurotik tertentu, karena dapat menambah kebingungan di malam hari yang terjadi pada
penderita usia lanjut.2
Efek samping penggunaan barbiturat, antara lain:
• Hangover, yaitu residu depresi SSP setelah efek hipnotik berakhir. Dapat terjadi
beberapa hari setelah pemberian obat dihentikan. Efek residu mungkin berupa vertigo,
mual, atau diare. Kadang kadang timbul kelainan emosional dan fobia.
• Eksitasi paradoksal, Pada beberapa individu, pemakaian ulang barbiturat (terutama
fenoberbital dan N-desmetil barbiturat) lebih menimbulkan eksitasi dari pada depresi.
idiosinkrasi ini relatif umum terjadi diantara penderita usia lanjut dan lemah.
• Rasa nyeri, Barbiturat sesekali menimbulkan mialgia, neuralgia, artalgia, terutama pada
penderita psikoneurotik yang menderita insomnia. Bila diberikan dalam keadaan nyeri,
dapat menyebabkan gelisah, eksitasi, dan bahkan delirium.
• Alergi, Reaksi alergi terutama terjadi pada individu alergik. Segala bentuk
hipersensitivitas dapat timbul, terutama dermatosis. Jarang terjadi dermatosis
eksfoliativa yang berakhir fatal pada penggunaan fenobarbital, kadang-kadang disertai
demam, delirium dan kerusakan degeneratif hati.
• Reaksi obat, Kombinasi barbiturat dengan depresan SSP lain misal etanol akan
meningkatkan efek depresinya; Antihistamin, isoniasid, metilfenidat, dan penghambat
MAO juga dapat menaikkan efek depresi barbiturat.
• Intoksikasi barbiturat dapat terjadi karena percobaan bunuh diri, kelalaian, kecelakaan
pada anak-anak atau penyalahgunaan obat. Dosis letal barbiturat sangat bervariasi.
Keracunan berat umumnya terjadi bila lebih dari 10 kali dosis hipnotik dimakan
sekaligus. Dosis fatal fenobarbital adalah 6-10 g, sedangkan amobarbital, sekobarbital,
dan pentobarbital adalah 2-3 g. kadar plasma letal terendah yang dikemukakan adalah
60 mcg/ml bagi fenobarbital, dan 10 mcg/ml bagi barbiturat dengan efek singkat.2

D. Benzodiazepin

16
Benzodiazepin adalah obat yang memiliki lima efek farmakologi sekaligus, yaitu
anxiolisis, sedasi, anti konvulsi, relaksasi otot melalui medula spinalis, dan amnesia
retrograde. Benzodiazepine banyak digunakan dalam praktik klinik. Keunggulan
benzodiazepine dari barbiturate yaitu rendahnya tingkat toleransi obat, potensi
penyalahgunaan yang rendah, margin dosis aman yang lebar, rendahnya toleransi obat dan
tidak menginduksi enzim mikrosom di hati. Benzodiazepin telah banyak digunakan sebagai
pengganti barbiturat sebagai premedikasi dan menimbulkan sedasi pada pasien dalam
monitorng anestesi. Dalam masa perioperatif, midazolam telah menggantikan penggunaan
diazepam. Selain itu, benzodiazepine memiliki antagonis khusus yaitu flumazenil.11
Golongan benzodiazepine yang sering digunakan oleh anestesiologi adalah
Diazepam (valium), Lorazepam (Ativan) dan Midazolam (Versed), diazepam dan lorazepam
tidak larut dalam air dan kandungannya berupa propylene glycol. Diazepam tersedia dalam
sediaan emulsi lemak (Diazemuls atau Dizac), yang tidak menyebakan nyeri atau
tromboplebitis tetapi hal itu berhubungan bioaviabilitasnya
yang rendah, midazolam merupakan benzodiazepin yang larut air yang tersedia dalam larutan
dengan PH 3,5.2
Efek farmakologi benzodiazepine merupakan akibat aksi gamma-aminobutyric acid
(GABA) sebagai neurotransmitter penghambat di otak. Benzodiazepine tidak mengaktifkan
reseptor GABA melainkan meningkatkan kepekaan reseptor GABA terhadap
neurotransmitter penghambat sehingga kanal klorida terbuka dan terjadi hiperpolarisasi post
sinaptik membran sel dan mendorong post sinaptik membran sel tidak dapat dieksitasi. Hal
ini menghasilkan efek anxiolisis, sedasi, amnesia retrograde, potensiasi alkohol, antikonvulsi
dan relaksasi otot skeletal 11
Efek sedatif timbul dari aktivasi reseptor GABAA sub unit alpha-1 yang merupakan
60% dari resptor GABA di otak (korteks serebral, korteks serebelum, thalamus). Sementara
efek ansiolotik timbul dari aktifasi GABA sub unit aplha-2 (Hipokampus dan amigdala).11
Perbedaan onset dan durasi kerja diantara benzodiazepine menunjukkan perbedaan
potensi (afinitas terhadap reseptor), kelarutan lemak (kemampuan menembus sawar darah
otak dan redistribusi jaringan perifer) dan farmakokinetik (penyerapan, distribusi,
metabolisme dan ekskresi). Hampir semua benzodiazepine larut lemak dan terikat kuat
dengan protein plasma. Sehingga keadaan hipoalbumin pada cirrhosis hepatis dan chronic
renal disease akan meningkatkan efek obat ini. 11
Benzodiazepin menurunkan degradasi adenosin dengan menghambat tranportasi
nuklesida. Adonosin penting dalam regulasi fungsi jantung (penurunan kebutuhan oksigen

17
jantung melalui penurunan detak jantung dan meningkatkan oksigenasi melalui vasodilatasi
arteri korener) dan semua fungsi fisiologi proteksi jantung. 11
Kelelahan dan mengantuk adalah efek samping yang biasa pada penggunaan lama
benzodiazepine. Sedasi akan menggangu aktivitas setidaknya selama 2 minggu. Penggunaan
yang lama benzodiazepine tidak akan mengganggu tekanan darah, denyut jantung, ritme
jantung dan ventilasi. Namun penggunaannya sebaiknya hati-hati pada pasien dengan
penyakit paru kronis. 1
Penggunaan benzodiazepine akan mengurangi kebutuhan akan obat anestesi inhalasi
ataupun injeksi. Walaupun penggunaan midazolam akan meningkatkan efek depresi napas
opioid dan mengurangi efek analgesiknya. Selain itu, efek antagonis benzodiazepine,
flumazenil, juga meningkatkan efek analgesik opioid. 1

Contoh Preparat Benzodiazepin

a. Midazolam11

Midazolam merupakan benzodiazepine yang larut air dengan struktur cincin


imidazole yang stabil dalam larutan dan metabolisme yang cepat. Obat ini telah
menggantikan diazepam selama operasi dan memiliki potensi 2-3 kali lebih kuat. Selain itu
affinitas terhadap reseptor GABA 2 kali lebih kuat dibanding diazepam. Efek amnesia pada
obat ini lebih kuat diabanding efek sedasi sehingga pasien dapat terbangun namun tidak akan
ingat kejadian dan pembicaraan yang terjadi selama beberapa jam.
Larutan midazolam dibuat asam dengan pH < 4 agar cincin tidak terbuka dan tetap
larut dalam air. Ketika masuk ke dalam tubuh, akan terjadi perubahan pH sehingga cincin
akan menutup dan obat akan menjadi larut dalam lemak. Larutan midazolam dapat dicampur
dengan ringer laktat atau garam asam dari obat lain.
Midazolam diserap cepat dari saluran cerna dan dengan cepat melalui sawar darah
otak. Namun waktu equilibriumnya lebih lambat dibanding propofol dan thiopental. Hanya
50% dari obat yang diserap yang akan masuk ke sirkulasi sistemik karena metabolisme porta
hepatik yang tinggi. Sebagian besar midazolam yang masuk plasma akan berikatan dengan
protein. Waktu durasi yang pendek dikarenakan kelarutan lemak yang tinggi mempercepat
distribusi dari otak ke jaringan yang tidak aktif begitu juga dengan klirens hepar yang cepat.
Waktu paruh midazolam adalah antara 1-4 jam, lebih pendek daripada waktu paruh
diazepam. Waktu paruh ini dapat meningkat pada pasien tua dan gangguan fungsi hati. Pada
pasien dengan obesitas, klirens midazolam akan lebih lambat karena obat banyak berikatan

18
dengan sel lemak. Akibat eliminasi yang cepat dari midazolam, maka efek pada CNS akan
lebih pendek dibanding diazepam.
Midazolam dimetabolisme dengan cepat oleh hepar dan enzim cytochrome P-450
usus halus menjadi metabolit yang aktif dan tidak aktif. Metabolit utama yaitu 1-
hidroksimidazolam yang memiliki separuh efek obat induk. Metabolit ini dengan cepat
dikonjugasi dengan asam glukoronat menjadi 1-hidroksimidazolam glukoronat yang
dieskresikan melalui ginjal. Metabolit lainnya yaitu 4-hidroksimidazolam tidak terdapat
dalam plasma pada pemberian IV.
Midazolam menurunkan kebutuhan metabolik oksigen otak dan aliran darah ke otak
seperti barbiturat dan propofol. Namun terdapat batasan besarnya penurunan kebutuhan
metabolik oksigen otak dengan penambahan dosis midazolam. Midazolam juga memiliki
efek yang kuat sebagai antikonvulsan untuk menangani status epilepticus.
Penurunan pernapasan dengan midazolam sebesar 0,15 mg/kg IV setara dengan
diazepam 0,3 mg/kg IV. Pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis memiliki resiko lebih
besar terjadinya depresi pernapasan walaupun pada orang normal depresi pernapasan tidak
terjadi sama sekali. Pemberian dosis besar (>0,15 mg/kg) dalam waktu cepat akan
menyebabkan apneu sementara terutama bila diberikan bersamaan dengan opioid.
Benzodiazepine juga menekan refleks menelan dan penuruna aktivitas saluran napas bagian
atas.
Midazolam 0,2 mg/kg IV sebagai induksi anestesi akan menurunkan tekanan darah
dan meningkatkan denyut jantung lebih besar daripada diazepam 0,5 mg/kg IV dan setara
dengan thiopental 3-4 mg/kg IV. Penurunan tekanan darah disebabkan oleh penurunan
resistensi perifer dan bukan karena gangguan cardiac output. Efek midazolam pada tekanan
darah secara langsung berhubungan dengan konsentrasi plasma benzodiazepine.
Midazolam sering digunakan sebagai premedikasi pada pasien pediatrik sebagai
sedasi dan induksi anestesia. Midazolam juga memiliki efek antikonvulsan sehingga dapat
digunakan untuk mengatasi kejang grand mal.
Sebagai premedikasi midazolam 0,25 mg/kg diberikan secara oral berupa sirup (2
mg/ml) kepada anak-anak untuk memberiksan efek sedasi dan anxiolisis dengan efek
pernapasan yang sangat minimal. Pemberian 0,5 mg/kg IV 10 menit sebelum operasi
dipercaya akan memberikan keadaan amnesia retrograd yang cukup.
Midazolam dosis 1-2,5 mg IV (onset 30-60 detik, waktu puncak 3-5 menit, durasi 15-
80 menit) efektif sebagai sedasi selama regional anestesi. Dibanding dengan diazepam,
midazolam memiliki onset yang lebih cepat, amnesia yang lebih baik dan sedasi post operasi
yang lebih rendah namun waktu pulih sempurna tetap sama. Efek samping yang ditakutkan

19
dari midazolam adalah adanya depresi napas apalagi bila diberikan bersama obat penekan
CNS lainnya.
Induksi anestesi dapat diberikan midazolam 0,1-0,2 mg/kg IV selama 30-60 detik.
Walaupun thiopental memberikan waktu induksi lebih cepat 50-100% dibanding midazolam.
Dosis yang digunakan akan semakin kecil apabila sebelumnya diberikan obat penekan CNS
lain seperti golongan opioid. Pasien tua juga membutuhkan lebih sedikit dosis dibanding
pasien muda.
Midazolam dapat diberikan sebagai tambahan opioid, propofol dan anestesi inhalasi
selama rumatan anestesi. Pemberian midazolam dapat menurunkan dosis anestesi inhalasi
yang dibutuhkan. Sadar dari post operasi dengan induksi midazolam akan lebih lama 1-2,5
kali dibanding penggunaan thiopental sebagai induksi.
Pemberian jangka panjang midazolam secara intravena (dosis awal 0,5-4 mg IV dan
dosis rumatan 1-7 mg/jam IV) akan mengakibatkan klirens midazolam dari sirkulasi sistemik
lebih bergantung pada metabolisme hepatik. Efek farmakologis dari metabolit akan
terakumulasi dan berlangsung lebih lama setelah pemberian intravena dihentikan sehingga
waktu bangun pasien menjadi lebih lama. Penggunaan opioid dapat mengurangi dosis
midazolam yang dibutuhkan sehingga waktu pulih lebih cepat. Waktu pulih akan lebih lama
pada pasien tua, obese dan gangguan fungsi hati berat.
Gerakan pita suara paradoks adalah penyebab nonorganik obstruksi saluran napas
atas dan stridor sebagai manifestasi post operasi. Midazolam 0,5-1 mg IV mungkin efektif
untuk mengatasinya.

b. Diazepam12

Diazepam adalah benzodiazepine yang sangat larut lemak dan memiliki durasi kerja
yang lebih panjang dibanding midazolam. Diazepam dilarutkan dengan pelarut organik
(propilen glikol, sodium benzoate) karena tidak larut dalam air. Larutannya pekat dengan pH
6,6-6,9.Injeksi secara IV atau IM akan menyebabkan nyeri.
Diazepam cepat diserap melalui saluran cerna dan mencapai puncaknya dalam 1 jam
(15-30 menit pada anak-anak). Kelarutan lemaknya yang tinggi menyebabkan Vd diazepam
besar dan cepat mencapai otak dan jaringan terutama lemak. Diazepam juga dapat melewati
plasenta dan terdapat dalam sirkulasi fetus.
Ikatan protein benzodiazepine berhubungan dengan tingginya kelarutan lemak.
Diazepam dengan kelarutan lemak yang tinggi memiliki ikatan dengan protein plasma yang
kuat. Sehingga pada pasien dengan konsentrasi protein plasma yang rendah, seperti pada
cirrhosis hepatis, akan meningkatkan efek samping dari diazepam.

20
Diazepam mengalami oksidasi N-demethylation oleh enzim mikrosom hati menjadi
desmethyldiazepam dan oxazepam serta sebagian kecil temazepam. Desmethyldiazepam
memiliki potensi yang lebih rendah serta dimetabolisme lebih lambat dibanding oxazepam
sehingga menimbulkan keadaan mengantuk pada pasien 6-8 jam setelah pemberian.
Metabolit ini mengalami resirkulasi enterohepatik sehingga memperpanjang sedasi.
Desmethyldiazepam diekskresikan melalui urin setelah dioksidasi dan dikonjugasikan dengan
asam glukoronat.
Waktu paruh diazepam orang sehat antara 21-37 jam dan akan semakin panjang pada
pasien tua, obese dan gangguan fungsi hepar serta digunakan bersama obat penghambat
enzim sitokrom P-450. Dibandingkan lorazepam, diazepam memiliki waktu paruh yang lebih
panjang namun durasi kerjanya lebih pendek karena ikatan dengan reseptor GABAA lebih
cepat terpisah.
Waktu paruh desmethyldiazepam adalah 48-96 jam. Pada penggunaan lama diazepam
dapat terjadi akumulasi metabolit di dalam jaringan dan dibutuhkan waktu lebih dari
seminggu untuk mengeliminasi metabolit dari plasma.
Diazepam hampir tidak menimbulkan efek depresi napas. Namun, pada penggunaan
bersama dengan obat penekan CNS lain atau pada pasien dengan penyakit paru obstruktif
akan meningkatkan resiko terjadinya depresi napas.
Diazepam pada dosis 0,5-1 mg/kg IV yang diberikan sebagai induksi anestesi tidak
menyebabkan masalah pada tekanan darah, cardiac output dan resistensi perifer. Begitu juga
dengan pemberian anestesi volatile N2O setelah induksi dengan diazepam tidak
menyebabkan perubahan pada kerja jantung. Namun pemberian diazepam 0,125-0,5 mg/kg
IV yang diikuti dengan injeksi fentanyl 50 µg/kg IV akan menyebabkan penurunan resistensi
vaskuler dan penurunan tekanan darah sistemik.
Pada otot skeletal, diazepam menurunkan tonus otot. Efek ini didapat dengan
menurunkan impuls dari saraf gamma di spinal. Keracunan diazepam didapatkan bila
konsentrasi plasmanya > 1000ng/ml.
Penggunaan diazepam sebagai sedasi pada anestesi telah digantikan oleh midazolam.
Sehingga diazepam lebih banyak digunakan untuk mengatasi kejang. Efek anti kejang
didapatkan dengan menghambat neuritransmitter GABA. Dibanding barbiturat yang
mencegah kejang dengan depresi non selektif CNS, diazepam secara selektif menghambat
aktivitas di sistem limbik, terutama di hippokampus.

c. Lorazepam11

21
Lorazepam memiliki struktur yang sama dengan oxazepam, hanya berbeda pada
adanya klorida ekstra pada posisi orto 5-phenyl moiety. Lorazepam lebih kuat dalam sedasi
dan amnesia dibanding midazolam dan diazepam sedangkan efek sampingnya sama.
Lorazepam dikonjugasikan dengan asam glukoronat di hati menjadi bentuk inaktif
yang diekskresikan di ginjal. Waktu paruhnya lebih lama yaitu 10-20 jam dengan ekskresi
urin > 80% dari dosis yang diberikan. Karena metabolismenya tidak dipengaruhi oleh enzim
mikrosom di hati, maka metabolismenya tidak dipengaruhi oleh umur, fungsi hepar dan obat
penghambat enzim P-450 seperti simetidin. Namun onset kerja lorazepam lebih lambat
dibanding midazolam dan diazepam karena kelarutan lemaknya lebih rendah.
Lorazepam diserap baik bila diberikan secara oral dan IM dan mencapai konsentrasi
puncak dalam 2-4 jam dan terus bertahan efeknya selama 24-48 jam. Sebagai premedikasi,
digunakan dosis oral 50µg/kg (maks 4 mg) yang akan menimbulkan sedasi yang cukup dan
amnesia selama ± 6 jam. Penambahan dosis akan meningkatkan sedasi tanpa penambahan
efek amnesia. Lorazepam tidak bermanfaat pada operasi singkat karena durasi kerja yang
lama.
Onset kerja lambat lorazepam merupakan kekurangan lorazepam bila digunakan
sebagai induksi anestesi, sedasi selama regional anestesi dan sebagai anti kejang. Lorazepam
akan bermanfaat bila digunakan sebagai sedasi pada pasien yang diintubasi.

d. Oxazepam11

Oxazepam merupakan metabolit aktif dari diazepam. Durasi kerjanya lebih pendek
dibanding diazepam karena di sirkulasi akan dikonjugasi dengan asam glukoronat menjadi
metabolit inaktif. Waktu paruhnya 5-15 jam dan tidak dipengaruhi oleh fungsi hepar atau
pemberian simetidin. Absorbsi oral oxazepam sangat lambat sehingga tidak bermanfaat pada
pengobatan insomnia dengan kesulitan tidur. Namun bermanfaat pada insomnia memiliki
periode tidur yang pendek atau sering terbangun di malam hari.

e. Alprazolam11

Alprazolam memiliki efek mengurangi kecemasan pada pasien dengan kecemasan


atau serangan panik. Alprazolam merupakan alternatif untuk premedikasi pengganti
midazolam.

E. Ketamin
Ketamin adalah suatu “rapid acting non barbiturat general anesthethic” termasuk
golongan fenyl cyclohexylamine dengan rumus kimia 2-(0-chlorophenil) 2 (methylamino)

22
cyclohexanone hydrochloride. Pertama kali diperkenalkan oleh Domino dan Carsen pada
tahun 1965. Ketamin mempuyai efek analgesi yang kuat sekali akan tetapi efek hipnotiknya
kurang (tidur ringan) yang disertai penerimaan keadaan lingkungan yang salah (anestesi
disosiasi).13
Ketamin merupakan zat anestesi dengan aksi satu arah yang berarti efek analgesinya
akan hilang bila obat itu telah didetoksikasi/dieksresi, dengan demikian pemakaian lama
harus dihindarkan. Anestetik ini adalah suatu derivat dari pencyclidin suatu obat anti psikosa.
Induksi ketamin pada prinsipnya sama dengan tiopental. Namun penampakan pasien pada
saat tidak sadar berbeda dengan bila menggunakan barbiturat. Pasien tidak tampak “tidur”.
Mata mungkin tetap terbuka tetapi tidak menjawab bila diajak bicara dan tidak ada respon
terhadap rangsangan nyeri. Tonus otot rahang biasanya baik setelah pemberian ketamin.
Demikian juga reflek batuk. Untuk prosedur yang singkat ketamin dapat diberikan secara
iv/im setiap beberapa menit untuk mencegah rasa sakit.13
Ketamin bersifat non-kompetitif phenycyclidine di reseptor N-Methyl D Aspartat
(NMDA). Ketamin juga memiliki efek pada resetor lain termasuk reseptor opioid, reseptor
muskarinik, reseptor monoaminergik, kanal kalsium tipe L dan natrium sensitif voltase. Tidak
seperti propofol dan etomidate, katamin memiliki efek lemah pada reseptor GABA. Mediasi
inflamasi juga dihasilkan lokal melalui penekanan pada ujung saraf yang dapat mengaktifasi
netrofil dan mempengaruhi aliran darah. Ketamin mensupresi produksi netrofil sebagai
mediator radang dan peningkatan aliran darah. Hambatan langsung sekresi sitokin inilah yang
menimbulkan efek analgesia.12
Reseptor NMDA (famili glutamate reseptor) adalah ligand gated ion channel yang
unik dimana pengaktifannya memerlukan neurotransmiter eksitatori, glutamat dengan glisin
sebagai coagonis obligatnya. Ketamin menghambat aktifasi reseptor NMDA oleh glutamat,
menurunkan pelepasan glutamat dari post sinaps, efek potensiasi dari neurotransmiter
penghambat, gama aminobutyric acid. Interaksi dengan phencyclidine menyebabkan efek
stereoselektif dimana isomer S(+) memiliki afinitas terbesar. 12
Ketamin dilaporkan memiliki interaksi dengan reseptor opioid mu, delta, dan kappa.
Namun, studi lain menyatakan ketamin memiliki efek antagonis pada reseptor mu namun
memiliki efek agonis pada reseptor kappa. Ketamin juga berinteraksi dengan reseptor sigma,
walaupun reseptor ini masih belum jelas apakah merupakan reseptor opioid dan ikatannya
masih lemah. 12
Aksi antinosiseptif ketamin dihubungkan efeknya terhadap penurunan jalur
penghambat nyeri monoaminergik. Anestesia ketamin sebagian berantagonis dengan obat

23
antikolinergik. Sebagai kenyataannya, ketamin memiliki efek dengan gejala antikolinergik
(delirium emergensi, bronkodilatasi, aksi simpatomimetik) sehingga efek antagonis terhadap
reseptor muskarinik lebih tampak nyata daripada efek agonisnya. 12
Farmakokinetik ketamin mirip seperti thiopental yang memiliki aksi kerja singkat,
memiliki aksi kerja yang relatif singkat, kelarutan lemak yang tinggi. pK ketamin adalah 7,5
pada pH yang fisiologik. Konsentrasi puncak ketamin terjadi pada 1 menit post injeksi
ketamin secara intravena dan 5 menit setelah injeksi intramuskular. Ketamin tidak terlalu
berikatan kuat dengan protein plasma namun secara cepat dilepaskan ke jaringan misalnya
ke otak dimana konsentrasinya 4-5 kali dari pada konsetrasi di plasma. Kelarutan yang tinggi
di dalam lemak (5-10 kali lebih tinggi dari pada thiopental) memudahkan ketamin melewati
sawar darah di otak. Ketamin menginduksi peningkatan aliran darah ke otak yang
memfasilitasi distribusi obat ini ke otak ditambah sifatnya yang mempermudah melewati
sawar darah otak. Ketamin diredistribusi dari otak dan jaringan lain yang memiliki
konsentrasi tinggi ketamin ke jaringan lain yang memiliki konsetrasi ketamin yang lebih
rendah. Ketamin memiliki hepatic clearance yang tinggi (1 liter per menit), dan Vd yang
besar (3 liter/kgBB) sehingga waktu paruhnya sekitar 2-3 jam. Rasio ekstraksi yang tinggi di
hati disebabkan perubahan aliran darah ke hati. 12
Ketamin dimetabolisme secara ekstensif oleh enzim microsomal hati. Bagian
terpenting dari metabolisme ini adalah demetilasi ketamin oleh sitokrom p-450 sehingga
terbentuk norketamin. Pada hewan, norketamin lebih kuat 1/5 – 1/3 daripada ketamin.
Metabolit aktif ini lah yang juga menambah efek panjang ketamin, terutama pada dosis yang
diulang atau administrasi lewat infus. Norketamin sering terhidroxilasi kemudian
berkonjugasi sehingga lebih larut dalam air dan metabolisme dengan glukoronidase
diekskresikan di ginjal. Penggunaan infus ketamin <4% memungkinkan ketamin
diekskresikan di urin sebagai bentuk yang tak diubah. Ekskresi lewat feses ditemukan <5%.
Penggunaan yang sering menstimulasi enzim yang memetabolismenya sehingga sering terjadi
toleransi terhadap efek analgesia ketamin. Selain terjadi peningkatan toleransi ketamin terjadi
pula efek ketergantungan ketamin. 12
Ketamin adalah obat yang memiliki efek analgesia pada pemberian dengan dosis
subanestesia dan menimbulkan induksi pada pemberian intravena dan dosis yang lebih besar.
Ketamin juga memiliki efek menurunkan refleks batuk, laringospasm yang disebabkan
ketamine induced salivary secretions. Glycopyrrolatr lebih disukai daripada atropin dan
scopolamin karena dapat melewati sawar darah otak dan meningkatkan insiden delirium
emergensi. 12

24
Intensitas analgesia pada dosis subanestesia yakni 0,2 – 0,5 mg/kgBB secara
intravena. Konsentrasi plasma ketamin memiliki efek analgesia lebih rendah dari pada
pemakaian secara oral daripada intramuskular yang dinilai dari konsentrasi norketamin akibat
metabolisme awal di hati yang terjadi pada pemakaian secara oral. Efek analgesia ini lebih
nyata pada nyeri somatik dibandingkan nyeri viseral. Efek ketamin ini disebabkan
aktifitasnya pada talamus dan sistem limbik yang bertanggung jawab terhadap interpretasi
nyeri. Dosis yang lebih rendah dapat juga digunakan sebagai tambahan analgesia opioid.
Sum-sum tulang belakang bertanggung jawab terhadap nyeri yang disebabkan
sentuhan dan perpindahan posisi saat proses operasi. Aktifasi reseptor NMDA di sum-sum
tulang belakang terjadi pada kornu dorasal. Reseptor NMDA merupakan reseptor dari asam
amino eksitatori yang penting terhadap proses nyeri dan modulasi nyeri. Penghambatan
reeptor NMDA oleh obat seperti obat ketamin, dextromethorpan, magnesium berguna untuk
tatalaksana nyeri termasuk penurunan konsumsi analgesia. S(+) memiliki afinitas 4 kali dari
pada isomer R(-), efek anagesi 2 kali lebih tinggi daripada recemik ketamin. Pada proses
persalinan, ketamin memiliki efek analgesi tanpa mendepresi janin. Perubahan
neurobehavioral lebih rendah pada bayi yang dilahirkan secara per vaginam dibandingkan
bayi yang lahir dengan anestesia epidural, namun lebih tinggi dari pada bayi yang dilahirkan
dengan anestesia thiopental-N2O. Dosis sedasi post operasi pada pasien jantung lansia adalah
2-4 mg/kgBB/jam. Penggunaan nya sebagai tatalaksana nyeri kronik tergolong moderate-
lemah sehingga tidak direkomendasikan.
Efek ekstradural analgesia masih dipertanyakan. Walaupun ketamin pernah
dilaporkan memiliki interaksi dengan reseptor opioid, namun afinitas terhadap reseptor nya
10.000 kali lebih rendah dari pada morfin. Sehingga efek ekstradural baik efek spinal maupun
efek sistemik saling berinteraksi dengan anestesi lokal yang mempengaruhi kanal ion sodium.
Sehingga efek epidural ketamin lebih rendah namun pada pemakaian yang dikombinasikan
dengan obat opiod memiliki efek sinergis.
Induksi ketamin didapatkan dari pemakaian ketamin 1-2 mg/kgBB secara intravena
dan 4-8 mg/kgBB pada pemakaian secara intramuskular. Suntikan ketamin tidak
menimbulkan nyeri dan iritasi pada vena. Dosis yang lebih besar meningkatkan metabolisme
katamin. Kesadaran hilang 30-60 detik setelah pemakaian secara intravena dan 2-4 menit
pemakaian secara intramuskular. Penurunan kesadaran sebading atau berbeda sedikit
terhadap penurunan refleks faring dan laring. Pengembalian kesadaran terjadi 10-20 menit
seletal dosis induksi ketamin, namun orientasi kembali sepenuh nya setelah 60-90 menit.

25
Amnesia terjadi pada menit ke 60- 90 setelah pemulihan kesadaran namun ketamin tidak
menimbulkan amnesia retrograde.
Karena aksi kerjanya cepat, ketamin pernah digunakan secara intramuskular pada
anak dan padaa pasien yang mengalami gangguan retardasi mental. Ketamin digunakan
sebagai obat pada pasien luka bakar, debridemen, skin-grafting. Keuntungan penggunaan
ketamin adalah mampu memberikan efek analgesia yang baik serta mampu mempertahankan
ventilasi spontan. Toleransi mungkin terjadi pada pasien luka bakar yang mendapat ulangan
dosis ketamin, anestesia interval cepat.
Induksi anestesia pada pasien hipovolemik memberikan efek positif terhadap
stimulasi kardiovaskular. Namun, seperti semua obat anestesia, bisa saja menyebabkan
depresi myokardiak, terutama jika penyimpanan katekolamin endogen berkurang dan respon
saraf simpatis berubah. 12
Penggunaan ketamin pada pasien PJK meningkatkan kebutuhan oksigen otot jantung
yang berhubungan dengan efek simpatomimetik ketamin. Hilangnya refleks kardioprotektif
yang hilang sering dihubungkan dengan racemik ketamin terutama pada pasien yang
memiliki riwayat PJK. Penggunaan diazepam 0,5mg/kgBB intravena dan ketamin 0,5
mg/kgBB diikuti infus ketamin 15-30 μg/kgBB/menit sering digunakan pada pasien yang
memiliki riwayat PJK. Kombinasi propofol dan ketamin menimbukan efek hemodinamik
yaang lebih stabil daripada kombinasi propofol dan fentanil ketika menghindari efek
emergensi yang disertai penggunaan ketamin dengan dosis yang lebih. 12
Keuntungan ketamin pada resistensi saluran napas disebabkan bronkodilatasi yang
disebabkan obat sangat berguna pada induksi cepat pasien asma. Ketamin harus diperhatikan
penggunaannya atau dihindari pada pasien hipertensi pulmonal atau sistemik dan pada pasien
dengan peningkatan TIK. Nistagmus sering terjadi pada pemakaian ketamin.

II. 4. Analgetik
Obat analgetik adalah obat yang mempunyai efek menghilangkan atau mengurangi
nyeri tanpa disertai hilangnya kesadaran atau fungsi sensorik lainnya. Obat analgesik bekerja
dengan meningkatkan ambang nyeri, mempengaruhi emosi (sehingga mempengaruhi persepsi
nyeri), menimbulkan sedasi atau sopor (sehingga nilai ambang nyeri naik) atau mengubah
persepsi modalitas nyeri. Pada dasarnya obat analgesik dapat digolongkan ke dalam analgesik
golongan narkotik dan analgesik golongan non-narkotik. Narkotik adalah bahan atau zat yang
punya efek mirip Morfin yang menimbulkan efek narkosis (keadaan seperti tidur). Analgesik

26
opiat adalah obat yang mempunyai efek analgesik kuat tetapi tidak menimbulkan efek
narkosis dan adiksi sebagaimana Morfin, maka nama analgesik narkotik kurang tepat.5
Definisi nyeri menurut The International Association for the Study of Pain adalah
pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang disertai oleh kerusakan
jaringan secara potensial dan aktual. Nyeri sering dilukiskan sebagai suatu yang berbahaya
(noksius, protofatik) atau yang tidak berbahaya (non-noksius, epikritik) misalnya sentuhan
ringan, kehangatan, tekanan ringan.11
Nyeri dirasakan apabila reseptor-reseptor nyeri spesifik teraktivasi. Nyeri dijelaskan
secara subjektif dan objektif berdasarkan lama atau durasi, kecepatan sensasi dan letak.11
Mekanisme terjadinya nyeri melewati 4 tahapan yaitu: 11
• Transduksi
Kemudian terjadi perubahan patofisiologis karena mediator-mediator
nyerimempengaruhi juga nosiseptor diluar daerah trauma sehingga lingkaran nyerimeluas.
Selanjutnya terjadi proses sensitisasi perifer yaitu menurunnya nilai ambang rangsang
nosiseptor karena pengaruh mediator-mediator tersebut di atas dan penurunan pH jaringan.
Akibatnya nyeri dapat timbul karena rangsang yang sebelumnya tidak menimbulkan nyeri
misalnya rabaan. Sensitisasi perifer ini mengakibatkan pula terjadinya sensitisasi sentral yaitu
hipereksitabilitas neuron pada korda spinalis, terpengaruhnya neuron simpatis dan perubahan
intraseluler yang menyebabkan nyeri dirasakan lebih lama. Rangsangan nyeri diubah menjadi
depolarisasi membrane reseptor yang kemudian menjadi impuls syaraf.
• Transmisi
Transmisi adalah proses penerusan impuls nyeri dari nosiseptor saraf perifer
melewati kornu dorsalis, korda spinalis menuju korteks serebri. Transmisi sepanjang akson
berlangsung karena proses polarisasi, sedangkan dari neuron presinaps ke pasca sinaps
melewati neurotransmitter.
• Modulasi
Modulasi adalah proses pengendalian internal oleh sistem saraf, dapat meningkatkan
atau mengurangi penerusan impuls nyeri. Hambatan terjadi melalui sistem analgesia endogen
yang melibatkan bermacam-macam neurotansmiter antara lain golongan endorphin yang
dikeluarkan oleh sel otak dan neuron di korda spinalis. Impuls ini bermula dari area
periaquaductuagrey (PAG) dan menghambat transmisi impuls pre maupun pasca sinaps di
tingkat korda spinalis. Modulasi nyeri dapat timbul di nosiseptor perifer medula spinalis atau
supraspinalis.
• Persepsi
Persepsi adalah hasil rekonstruksi susunan saraf pusat tentang impuls nyeri yang
diterima. Rekonstruksi merupakan hasil interaksi sistem saraf sensoris, informasi kognitif

27
(korteks serebri) dan pengalaman emosional (hipokampus dan amigdala). Persepsi
menentukan berat ringannya nyeri yang dirasakan.
II. 4. 1. Opioid
Opioid ialah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan
reseptor Morfin. Opioid sering digunakan dalam anestesi untuk mengendalikan nyeri saat
pembedahan dan nyeri pasca pembedahan. Bahkan terkadang digunakan untuk anestesi
narkotik total pada pembedahan jantung. Opium adalah getah candu. Opiat adalah obat yang
dibuat dari opium. Analgesik opioid digolongkan dalam 3 kelompok, di antaranya adalah
agonis opiat, antagonis opiat dan kombinasi.14
Reseptor opioid sebenarnya tersebar luas di seluruh jaringan sistem saraf pusat, tetapi
lebih terkonsentrasi di otak tengah yaitu di sistem limbik, thalamus, hipotalamus, korpus
striatum, sistem aktivasi retikular dan di korda spinalis yaitu substansia gelatinosa dan
dijumpai pula di pleksus saraf usus. Molekul opioid dan polipeptida endogen (metenkefalin,
beta-endorfin, dinorfin) berinteraksi dengan reseptor morfin dan menghasilkan efek. Reseptor
Opioid diidentifikasikan menjadi 5 golongan, yaitu : 14
• Reseptor μ (mu) : μ-1, analgesia supraspinal, sedasi. Reseptor μ-2, analgesia spinal, depresi
nafas, euphoria, ketergantungan fisik, kekakuan otot.
• Reseptor δ (delta) : analgesia spinal, epileptogen.
• Reseptor κ (kappa): κ-1 analegsia spinal. Reseptor κ-2 tak diketahui. Reseptor κ-3 analgesia
supraspinal.
• Reseptor σ (sigma) : disforia, halusinasi, stimulasi jantung.
• Reseptor є (epsilon) : respons hormonal.

A. Morfin14
Morfin adalah bentuk pertama agonis opioid dan pembanding bagi opioid lainnya.
Pada manusia, morfin menghasilkan analgesi, euforia, sedasi, dan mengurangi kemampuan
untuk berkonsentrasi, nausea, rasa hangat pada tubuh, rasa berat pada ekstremitas, mulut
kering, dan pruritus, terutama di wilayah kulit sekitar hidung. Morfin tidak menghilangkan
penyebab nyeri, tetapi meningkatkan ambang nyeri dan mengubah persepsi berbahaya yang
dialami tidak sebagai nyeri. Efek analgesia akan optimal apabila morfin diberikan sebelum
stimulus nyeri timbul.
Morfin diabsorbsi dengan baik setelah pemberian IM, dengan onset antara 15 -30
menit dan efek tertinggi antara 45-90 menit serta durasinya sekitar 4 jam. Morfin tidak
diserap secara baik melalui pemberian oral. Morfin biasa diberikan secara IV selama masa
operasi. Efek puncak setelah pemberian morfin IV lebih lambat dibandingkan dengan opioid
lain seperti fentanyl, yaitu sekitar 15-30 menit.

28
Pemberian cepat IV tidak memiliki pengaruh farmakologis karena lambatnya obat
menembus sawar darah otak. Konsentrasi CSF puncak morfin antara 15-30 menit setelah
pemberian IV dan menurun lebih lambat dibandingkan konsentrasi plasma. Analgesia cukup
mungkin membutuhkan rumatan konsentrasi plasma morfin paling tidak 0,05µg/ml. Pada
pasien yang dipindahkan biasanya membutuhkan analgesia post operatif yang cukup, dengan
dosis morfin total antara 1,3-2,7 mg/jam. Hanya sebagian kecil pemberian morfin dapat
mencapai CNS. Diperkirakan <0,1% morfin yang diberikan IV memasuki CNS pada waktu
puncak konsentrasi plasma.
Morfin dimetabolisme melalui dua jalur, yaitu hepatik dan ekstra hepatik. Morfin
dikonjugasikan dengan asam glukoronat di hepatik sedangkan jalur ekstra hepatik lebih
banyak terjadi di ginjal. Sekitar 75-85% dari morfin yang diberikan akan menjadi morfin 3
glukoronat dan 5-10% menjadi morfin 6 glukoronat (rasio 9:1). Sekitar 5% morfin akan
mengalami demetilasi menjadi normomorfin dan sebagian kecil diproses menjadi kodein.
Metabolit morfin akan dieliminasi melalui urin, sekitar 7-10% diekskresikan melalui empedu.
Morfin 3 glukoronat dapat dideteksi dalam urin setelah 72 jam pemberian. Sejumlah kecil
morfin (1-2%) ditemukan dalam urine tanpa perubahan.
Metabolisme ginjal memegang peranan utama dalam metabolisme morfin. Hal ini
menjelaskan mengapa tidak terjadi penurunan klirens morfin plasma pada pasien sirosis
hepatis atau pada fase anhepatik pasien transplantasi hati. Hal ini dimungkinkan karena
terjadinya peningkatan metabolisme morfin di ginjal pada pasien dengan gangguan hati.
Sebaliknya pada pasien gagal ginjal, ekskresi morfin glukoronat akan terganggu dan
menyebabkan akumulasi metabolit morfin dan depresi napas yang tak terduga pada dosis
opioid kecil. Ikatan morfin glukoronat juga dapat dirusak oleh monoamin oksidase inhibitor
yang akan menyebabkan efek morfin yang berlebihan bila kedua obat diberikan bersamaan.
Efek samping morfin juga terdapat pada agonis opioid lain, walaupun insiden dan
besarnya tidak sama. Efek samping morfin dijelaskan berdasarkan sistem dan gejala yang
ditimbulkannya.
a. Sistem kardiovaskuler
Efek samping pada sistem kardiovaskuler dapat disebabkan oleh beberapa
mekanisme berbeda. Kelainan pada penggunaan morfin dapat terjadi karena respon dari
sistem simpatik. Morfin akan menurunkan pengaruh sistem simpatik pada jaringan perifer
sehingga terjadi penurunan venous return, cardiac output dan tekanan darah. Morfin juga
dapat menyebabkan bradikardi akibat peningkatan aktivitas vagal sehingga terjadi penurunan
tekanan darah. Morfin menimbulkan efek depresi langsung pada SA node dan memperlambat
konduksi impuls jantung melalui AV node. Penggunaan opioid (morfin) sebagai premedikasi

29
dan sebelum induksi (fentanyl) bertujuan menurunkan denyut jantung selama penggunaan
gas anestesi inhalasi.
Penurunan tekanan darah dan pelepasan histamin karena opioid sangat bervariasi
kejadian dan derajatnya. Untuk meminimalisir beratnya pelepasan histamin karena morfin
dan penurunan tekanan darah dapat dilakukan, (a) pembatasan kecepatan infus morfin
menjadi 5 mg/menit, (b) pesien diposisikan dalam keadaan supine atau kepala lebih rendah,
dan (c) optimisasi cairan intravasculer. Sedangkan pada penggunaan fentanyl dan sufentanyl
tidak terjadi pelepasan histamin.
b. Pernapasan
Semua agonis opioid akan menimbulkan depresi pernapasan dengan semakin
besarnya dosisnya dan jenis kelamin dari pasien. Agonis opioid bekerja pada reseptor µ2
yang menekan pusat pernapasan di batang otak. Tingkat depresi napas yang ditimbulkan
seiring dengan analgesik yang didapatkan dan pengurangan terhadap depresi napas juga akan
mengurangi analgesik yang didapatkan.
Opioid mendepresi pernapasan dengan mengurangi reaksi pusat pernapasan terhadap
karbon dioksida dan pergeseran kurva respon karbon dioksida ke kanan. Opioid juga
mengganggu pusat pernapasan di pons dan medula sehingga menyebabkan pernapasan yang
pendek dan dalam. Opioid juga menekan aktivitas silia dari jalan napas sesuai dengan dosis
yang diberikan. Resistensi jalan napas meningkat baik karena efek langsung morfin pada otot
polos bronkus juga karena pelepasan histamin.
c. Penekanan batuk
Opioid menekan batuk melalui gangguan pada pusat batuk yang berbeda dengan
pusat pernapasan. Penekanan batuk terberat terjadi pada opioid yang mengalami subsitusi
besar pada posisi karbon nomor 3 (kodien). Penekanan batuk dihasilkan juga oleh isomer
opioid dektrotatory (dekstromethorphan) yang tidak memiliki efek analgesia.
d. Sistem saraf
Opioid harus digunakan secara hati-hati pada pasien trauma kepala karena (a)
hubungannya dengan kesulitan sadar, (b) miosis yang ditimbulkan, dan (c) penekanan
pernapasan yang akan meningkatkan tekanan intra kranial jika PaCO2 meningkat. Cedera
kepala juga dapat merusak sawar darah otak sehingga meningkatkan sensitivitas otak
terhadap opioid.
Pemberian dosis besar dan cepat opioid secara intravena menyebabkan kekakuan otot
dada dan perut. Hal ini dapat mengganggu ventilasi paru dan penekanan jalan napas yang
mengganggu venous return. Penghambatan pelepasan stria gamma aminobutyric acid dan
peningkatan produksi dopamin merupakan penyebab peningkatan tonus otot skeletal.

30
Miosis disebabkan oleh eksitasi pada sistem saraf otonom pada komponen nukleus
Edinger-Westphal pada saraf occulomotor. Efek ini dapat dilawan dengan pemberian atropin
dan keadaan hipoksemia arterial yang besar.
e. Sedasi
Pemberian dosis kecil morfin menyebabkan sedasi sebelum onset analgesia terjadi.
Karenanya, tidur tidak dapat menjadi patokan kecukupan dosis analgesia yang diberikan.
f. Sistem biliar
Opioid menyebabkan spasme otot polos biliaris dan menyebabkan peningkatan
tekanan intabiliar yang dihubungkan dengan stress epigastrik atau kolik biliar. Nyeri ini
sangat mirip dengan iskemik miokard. Naloxone dapat mengurangi nyeri akibat spasme
biliar tapi tidak pada iskemik miokard, sedangkan nitrogliserin akan menghilangkan nyeri
akibat keduanya. Glucagon 2 mg IV dapat mengurangi spasme biliar namun tidak
mengurangi efek analgesik dari opioid seperti pada pemberian naloxone. Pada dosis
analgesik, fentanyl, morfin, meperidine dan pentazocine meningkatkan tekanan intra biliar
sebanyak 99%, 53%, 61% dan 15%.
g. Traktus gastrointestinal
Pemberian morfin, meperidine dan fentanyl akan menyebabkan spasme otot polos
saluran pencernaan yang dapat menyebabkan konstipasi, kolik biliar dan perlambatan
pengosongan lambung.
h. Nausea dan vomitting
Opioid akan menimbulkan mual dan muntah karena stimulasi langsung pada wilayah
pemicu kemoreseptor di dasar ventrikel keempat. Efek mual muntah juga dapat ditimbulkan
oleh stimulasi reseptor dopamin karena peningkatan sekresi dan perlambatan pengosongan isi
saluran cerna.
i. Sistem genitourinarius
Morfin meningkatkan tonus dan aktivitas peristaltik ureter. Hal ini menyebabkan
terjadinya keadaan urinary urgency pada pasien. Namun pada keadaan yang sama tonus
spingter vesika meningkat sehingga terjadi kesulitan pengosongan urin. Efek morfin dapat
diatasi dengan pemberian anti kolinergik.
j. Perubahan kulit
Morfin menyebabkan dilatasi pembuluh darah kulit. Kulit wajah, leher dan dada
biasanya menjadi merah dan panas. Hal ini disebabkan oleh pelepasan histamin.
k. Plasenta
Morfin dapat melewati plasenta dan masuk ke dalam aliran darah neonatus.
Karenanya depresi pada neonatus dapat terjadi pada pemberian opioid selama persalinan.
Pemberian morfin memiliki efek yang lebih besar daripada pemberian meperidine. Pada
pemberian yang lama dapat terjadi adiksi intrauterin pada bayi.
B. Meperidin (phetydin)14

31
Meperidine adalah agonis opioid sintetik pada reseptor mu dan kappa yang
diturunkan dari fenilpiperidine. Ada beberapa analog dari meperidine termasuk fentanyl,
sufentanyl, alfentanyl dan remifentanyl. Secara struktur, meperidine mirip dengan atropin dan
memiliki efek anti spasmodik yang ringan. Namun, secara farmakalogi efek meperidine sama
dengan morfin.
Potensi meperidine sekitar sepersepuluh dari morfin, dimana dosis 80-100 mg IM
meperidine sama dengan 10 mg morfin. Durasi kerja meperidine sekitar 2-4 jam, lebih
pendek daripada morfin. Pada dosis analgesik yang sama, meperidine memiliki efek samping
yang sama dengan morfin. Meperidin diserap lebih baik melalui saluran cerna dibandingkan
morfin, walaupun hanya setengahnya yang efektif dibandingkan dengan pemberian IM.
Metabolisme di hati memegang peranan besar, 90% obat akan mengalami demetilasi
menjadi normeperidine dan dihidrolisis menjadi asam meperidinic. Ekskresi melalui urin
tergantung pada pH, pada pH yang asam meperidine akan lebih banyak diekskresikan secara
utuh.
Normeperidine memiliki waktu paruh 15 jam (35 jam pada gagal ginjal) dan dapat
dideteksi pada urin hingga 3 hari setelah pemberian. Metabolit ini memiliki efek analgesia
separuh daripada meperidine namun menimbulkan stimulasi pada CNS. Toksisitas
normeperidine berupa myoklonus dan kejang timbul pada pasien dengan pemberian lama
obat dan pada pasien gagal ginjal.
Meperidine digunakan sebagai analgesik selama proses persalinan dan post operasi.
Meperidine akan bekerja secara baik apabila diberikan secara intra tekal. Konsentrasi
analgesik palsma meperidine sangat bervariasi diantara pasien. Konsetrasi plasma meperidine
sekitar 0,7 µg/mL akan memberikan analgesia yang cukup pada post operasi. Dosis total yang
diberikan antara 12-36 mg/jam.
Meperidine juga efektif mencegah menggigil akibat penggunaan oksigen yang
berlebihan. Efek ini karena stimulasi reseptor kappa dan agonis reseptor alpha2 yang
membantu efek anti menggigil. Keuntungan lain meperidine adalah pemberian oral. Namun
meperidine tidak memiliki efek anti diare dan antitussif seperti morfin. Sehingga penggunaan
meperidine pada bronkoskopi kurang baik. Meperidine tidak boleh diberikan dalam dosis
besar karena efek inotropic negatif pada jantung dan pelepasan histamin.
Efek samping yang timbul antara lain hipotensi ortostatic akibat kompensasi reflek
saraf simpatik. Meperidin lebih sering meningkatkan denyut jantung daripada bradikardi.
Delirium dan kejang juga terjadi akibat akumulasi normeperidine di dalam CNS. Serotonin
sindrom (hipertensi tidak stabil, takikardi, diaforesis, hipertermi, confusion, delirium dan

32
hiperreflek) dapat terjadi bila meperidine diberikan pada pasien yang mendapat obat-obatan
antidepressant (MAO inhibitor, fluoxetine).
Efek depresi napas dan tranport melewati plasenta meperidine lebih berat
dibandingkan morfin. Namun efek konstipasi dan retensi urin lebih rendah dibanding morfin.
Meperidine lebih memiliki efek seperti atropin dibandingkan morfin. Midriasis, mulut kering,
peningkatan denyut jantung lebih banyak terjadi pada meperidine. Efek otonom karena
ketergantungan meperidine lebih rendah dibandingkan morfin. Namun waktu toleransinya
lebih pendek dibandingkan morfin.

C. Fentanil
Fentanil adalah sebuah analgesik opioid yang potent. Nama kimiawinya adalah N-
Phenyl-N-(1-2-phenylethyl-4-piperidyl) propanamide. Pertama kali disintesa di Belgia pada
akhir tahun 1950. Fentanil memiliki besar potensi analgesik 80 kali lebih baik daripada
Morfin, dikenalkan pada praktek kedokteran pada tahun 1960-an sebagai anestesi intravena
dengan nama merek dagang Sublimaze®. Kemudian dikenalkan juga analog dari Fentanil
yaitu alfentanil (Alfenta®) dan Sufentanil (Sufenta®) di mana Sufentanil memiliki potensi
lebih baik daripada Fentanil yakni sebesar 5 sampai 10 kali, dan Sufentanil ini biasanya
digunakan di dalam operasi jantung.15
Saat ini, Fentanil digunakan untuk anestesi dan analgesik. Sebagai contoh,
Duragesic® adalah Fentanil transdermal dalam bentuk koyo yang digunakan untuk terapi
nyeri yang kronis, dan Actiq® adalah Fentanil yang larut perlahanlahan di dalam mulut, di
mana obat ini efektif untuk terapi nyeri pada pasien yang menderita kanker. Carfentanil
(Wildnil®) adalah analog dari Fentanil dengan potensi analgesik 10.000 kali lebih besar
dibandingkan dengan Morfin, dan obat ini digunakan dalam praktik dokter hewan untuk
melumpuhkan hewan-hewan yang berukuran besar.15
Fentanil terutama bekerja sebagai agonis reseptor μ. Seperti Morfin, Fentanil
menimbulkan analgesia, sedasi, euphoria, depresi nafas dan efek sental lain. Efek analgesia
Fentanil serupa dengan efek analgesik Morfin. Efek analgesic Fentanil mulai timbul 15 menit
setelah pemberian per oral dan mencapai puncak dalam 2 jam. Efek analgesik timbul lebih
cepat setelah pemberian subkutan atau intramuskulus yaitu dalam 10 menit, mencapai puncak
dalam waktu 1 jam dan masa kerjanya 3-5 jam. Efektivitas Fentanil 75-100 μg parenteral
kurang lebih sama dengan Morfin 10 mg. Karena bioavaibilitas oral 40-60 % maka efektifitas
sebagai analgesik bila diberikan peroral setengahnya dari bila diberikan parenteral.15
Fentanil dalam dosis ekuianalgesik menimbulkan depresi napas sama kuat dengan
Morfin dan mencapai puncaknya dalam 1 jam setelah suntikan IM. Kedua obat ini

33
menurunkan kepekaan pusat nafas terhadap CO2 dan mempengaruhi pusat napas yang
mengatur irama napas dalam pons. Berbeda dengan Morfin, Fentanil terutama menurunkan
tidal volume, sehingga efek depresi nafas oleh Fentanil tidak disadari. Depresi napas oleh
Fentanil dapat dilawan oleh Nalokson dan antagonis opioid lain.15
Pemberian Fentanil secara sistemik menimbulkan anestesi kornea, dengan akibatnya
menghilangnya reflek kornea. Berbeda dengan Morfin, Fentanil tidak mempengaruhi
diameter pupil dan refleks pupil. Seperti Morfin dan Metadon, Fentanil meningkatkan
kepekaan alat keseimbangan yang merupakan dasar timbulnya mual, muntah dan pusing pada
mereka yang berobat jalan. Seperti Morfin dan Metadon, Fentanil tidak berefek antikonvulsi.
Fentanil menyebabkan penglepasan ADH.15
Pada sistem kardiovaskular, pemberian dosis terapi Fentanil pada pasien yang
berbaring tidak mempengaruhi kardiovaskular, tidak menghambat kontraksi miokard dan
tidak mengubah gambaran EKG. Penderita berobat jalan mungkin menderita sinkop disertai
penurunan tekanan darah, tetapi gejala ini cepat hilang jika penderita berbaring. Sinkop
timbul pada penyuntikan cepat Fentanil IV karena terjadi vasodilatasi perifer dan
penglepasan Histamine. Seperti Morfin, Fentanil dapat menaikkan kadar CO2 darah akibat
depresi napas; kadar CO2 yang tinggi ini menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak
sehingga timbul kenaikan tekanan cairan serebrospinal.15
Efek spasmogenik Fentanil terhadap lambung dan usus kecil lebih lemah daripada
Morfin. Kontraksi propulsif dan non-propulsif saluran cerna berkurang, tetapi dapat timbul
spasme secara tiba-tiba serta peninggian tonus usus. Seperti Morfin, Kodein dan Metadon,
Fentanil lebih aman daripada Morfin, tetapi lebih kuat daripada Kodein dalam menimbulkan
spasme saluran empedu. Fentanil tidak menimbulkan konstipasi sekuat Morfin, sehingga
Fentanil tidak berguna untuk pengobatan simtomatik diare.15
Fentanil dapat menghilangkan bronkhospasme oleh Histamin dan Metakolin, namun
pemberian dosis terapi Fentanil tidak banyak mempengaruhi otot bronchus normal. Dalam
dosis besar justru dapat menimbulkan bronkokonstriksi. Setelah pemberian Fentanil dosis
terapi, peristaltik ureter berkurang. Hal ini disebabkan berkurangnya produksi urine akibat
dilepaskannya ADH dan berkurangnya laju filtrasi glomerulus.15
Fentanil sedikit sekali merangsang uterus dewasa yang tidak hamil. Aktivitas uterus
hamil tua tidak banyak dipengaruhi oleh Fentanil, dan pada uterus yang hiperaktif akibat
Oksitosin, Fentanil meningkatkan tonus, menambah frekuensi dan intensitas kontraksi uterus.
Jika Fentanil diberikan sebelum pemberian oksitoksin, obat ini tidak mengantagonis efek
oksotosin. Dosis terapi Fentanil yang diberikan sewaktu partus tidak memperlambat

34
kelangsungan partus dan tidak mengubah kontraksi uterus. Fentanil tidak mengganggu
kontraksi atau involusi uterus pasca persalinan dan tidak menambah frekuensi perdarahan
pasca persalinan.15
Fentanil larut dalam lemak dan menembus sawar jaringan dengan mudah. Setelah
suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir sama dengan Morfin,
tetapi fraksi terbesar dirusak oleh paru ketika pertama kali melewatinya. Dimetabolisir oleh
hati dengan N-dealkilasi dan hidroksilasi serta sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urine.6
Beberapa indikasi penggunaan Fentanil, yaitu :
• Nyeri hebat karena luka bakar.
• Pasien-pasien yang alergi dengan Morfin.
• Nyeri hebat karena fraktur tulang.
• Nyeri non-traumatik seperti batu pada ginjal.
• Pasien-pasien yang menderita kanker.
Beberapa kontra indikasi penggunaan Fentanil, yaitu: 15
• Adanya gangguan atau depresi pernafasan.
• Hipotensi yang tidak terkoreksi.
• Alergi terhadap zat-zat narkotik.
• Pasien-pasien dengan curiga klinis cedera kepala, dada, atau cedera perut.
Anestesi atau sedasi Dosis: 1-3 μg/kg/dose (maksimal : 50 μg) IV or IM Bisa diulang
(dengan dosis yang sama) Kebanyakan pasien memerlukan 3-5 dosis Fentanil (3-5 μg/kg).
Untuk Dewasa, dosis fentanil Transdermal (Duragesic®), memperhatikan: jumlah yang
diperbolehkan : 25, 50, 75, 100 μg/hour, onset untuk berefek penuh hanya setelah 24 jam, dan
mengganti koyo Fentanil setiap 3 hari sekali. Untuk tablet Transmucosal (Actiq®),
memperhatikan: jumlah yang diperbolehkan : 200, 400, 800, 1200, 1600 μg, Dosis maksimal
4 tablet sehari.15
Fentanil bisa menyebabkan depresi pernafasan, sediakan selalu peralatan resusitasi.
Bisa menyebabkan mual dan atau muntah. Dosis tinggi bisa menyebabkan kekakuan otot
yang menimbulkan kesulitan ventilasi. Dosis Fentanil 100 μg ekuivalen dengan 10 mg
Morfin.15

D. Tramadol14
Tramadol merupakan analgesik yang bekerja secara sentral dengan berikatan pada
reseptor mu dan berikatan lemah pada reseptor kappa dan delta. Potensi analgesik tramadol
5-10 kali lebih lemah daripada morfin.
Tramadol dengan dosis 3 mg/kg dapat diberikan secara oral, IM atau IV untuk
mengatasi nyeri sedang hingga berat. Keuntungan pemberian tramadol adalah tidak adanya
depresi napas, dan tidak menyebabkan ketergantungan pada obat serta memiliki toksisitas
organ yang rendah. Selain itu, efek perlambatan pengosongan lambung juga lebih rendah
dibanding opioid lain dan efek sedasi yang minimal.

35
Kerugian penggunaan tramadol antara lain interaksinya dengan antikoagulan
koumadin dan kemungkinan terjadinya kejang pada pasien epilepsi. Tramadol juga
mendorong timbulnya mual dan muntah pada pemberian perioperatif.

II. 5. Relaksan
Obat relaksan otot adalah obat yang digunakan untuk melemaskan otot rangka atau
untuk melumpuhkan otot. Biasanya digunakan sebelum operasi untuk mempermudah suatu
operasi atau memasukan suatu alat ke dalam tubuh. Obat relaksan otot yang beredar di
Indonesia terbagi dalam dua kelompok obat yaitu obat pelumpuh otot dan obat pelemas otot
yang bekerja sentral.4
Relaksasi otot skeletal dapat terjadi dengan anestesi inhalasi yang dalam, blok syaraf
regional atau dengan obat yang memblok pertemuan neuromuskular. Golongan obat yang
disebut terakhir ini sering disebut sebagai obat pelumpuh otot, dimana obat ini dapat
menimbulkan paralisis dari otot skeletal tanpa menyebabkan amnesia, tidak sadar dan juga
tidak menimbulkan analgesi.16
Berdasarkan mekanisme kerja obat pelumpuh otot pada pertemuan neuromuskular,
obat ini dapat digolongkan dalam dua golongan. Golongan obat yang menimbulkan
depolarisasi, secara fisik menyerupai asetilkolin (ACh) sehingga akan terikat pada reseptor
ACh dan menimbulkan potensial aksi dari otot skeletal karena terbukanya kanal natrium.
Namun tidak seperti ACh obat ini tidak langsung dimetabolisme oleh asetilkolin esterase,
sehingga konsentrasinya di celah sinap akan
menetap lebih lama yang akan menghasilkan pemanjangan depolarisasi dari lempeng
pertemuan otot skeletal. Adanya potensial aksi pada lempeng pertemuan otot skeletal ini akan
menyebabkan potensial aksi pada membran otot, yang akan membuka kanal sodium dalam
waktu tertentu. Setelah tertutup kembali kanal ini tidak dapat terbuka kembali sebelum terjadi
repolarisasi dari lempeng motorik, yang disini tidak juga akan terjadi sebelum obat yang
menyebabkan depolarisasi meninggalkan reseptor yang didudukinya. Sementara itu setelah
kanal sodium di peri junctional tertutup, otot akan kembali pada posisi relaksasi dan akan
berlanjut sampai obat golongan ini dihidrolisis oleh enzim pseudo cholinesterase yang
terdapat di plasma dan di hati. Umumnya proses ini berlangsung dalam waktu yang singkat
sehingga tidak dibutuhkan obatspesifik untuk melawan efek relaksasi dari obat golongan
depolarisasi ini. 4,17
Obat golongan non-depolarisasi juga terikat pada reseptor ACh namun tidak
menyebabkan terbukanya kanal natrium sehingga tidak terjadi kontraksi otot skeletal, karena
tidak timbul potensial aksi pada lempeng akhir motorik. Obat golongan ini akan menetap

36
pada reseptor ACh (kecuali Atracurium dan Mivacurium) sampai terjadi redistribusi,
metabolisme ataupun eliminasi obat ini dari dalam tubuh, dapat juga dengan pemberian obat
yang bersifat melawan daya kerja obat ini. Caramelawannya dengan menekan fungsi
asetilkolinesterase sehingga meningkatkan konsentrasi ACh, untuk dapat berkompetisi dalam
menduduki reseptor ACh dan menghilangkan efek blok yang ditimbulkan oleh obat golongan
non-depolarisasi.4,16
Jumlah obat bebas dalam sirkulasi adalah faktor yang sangat berpengaruh dalam
menentukan jumlah obat yang dapat mencapai target organ. Begitu obat diberikan, secara
intravena, maka konsentrasinya dalam sirkulasi ditentukan oleh jumlah dan dosis obat yang
diberikan, kecepatan pemberian dan kecepatan sirkulasi. Faktor lain yang juga berpengaruh
adalah banyaknya obat yang diikat oleh protein plasma, dimana semakin banyak yang terikat
oleh protein plasma semakin sedikit obat yang akan berdifusi keluar dari sirkulasi menuju
tempat kerjanya di pertemuan neuromuskular. 16
Kecepatan perpindahan obat dari sirkulasi ke pertemuan neuromuscular dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Pertemuan neuromuskular secara umum mendapat perfusi yang lebih
cepat dibandingkan otot secara keseluruhan. Ini terjadi karena tidak banyaknya membran
yang harus dilalui untuk mencapai tempat kerja dari obat ini, begitu keluar dari kapiler obat
langsung berada di post junctional membrane dan langsung ke terminal motorik. Jadi hanya
diperlukan penyebaran ke ruang ekstraselular, tanpa harus melewati membran sel.4
Penurunan konsentrasi obat dalam sirkulasi terbagi dalam dua fase. Setelah
pemberian konsentrasi menurun secara cepat karena proses distibusi ke berbagai jaringan,
diikuti oleh fase lambat yang terjadi karena pengeluaran obat melalui ginjal dan empedu.
Karena obat pelumpuh otot sangat mudah terionisasi dalam sirkulasi yang mana akan
menjadikannya sulit untuk melewati membran sel, hal ini membuatnya mempunyai nilai
volume distribusi yang kecil. VD pada awal pemberian adalah 80-140 ml/kg, sedangkan pada
keadaan stabil (VD ss) adalah 200-450 ml/kg. Ini menunjukkan bahwa obat pelumpuh otot
tidak tersebar secara luas dalam tubuh. Sebagai perbandingan dapat dilihat obat yang sangat
larut dalam lemak (sehingga mudah menembus membran sel) seperti thiopenthal yang
mempunyai VD ss mencapai 2 liter / kg.4,17
Pengeluaran obat pelumpuh otot dari sirkulasi terjadi melalui tiga proses. Yang
pertama adalah biotransformasi. Succinylcholine dan atracurium adalah contoh obat yang
dimetabolisme secara langsung di plasma oleh pseudocholineesterase, pancuronium dan
vecuronium dimetabolisme di hati, sedangkan +-tubocurarine dan gallamine dikeluarkan

37
dalam bentuk utuh. Ekskresi melalui ginjal dan empedu adalah proses berikutnya untuk
mengeluaran obat-obat tersebut dari sirkulasi dan kemudian keluar dari dalam tubuh.16,17

Tabel 1. Obat pelumpuh otot golongan depolarisasi dan non depolarisasi.

A. Succinylcholine
Succinylcholine mengalami hidrolisis secara cepat oleh plasma cholinesterase
menjadi succinylmonocholine, yang mempunyai efek blok sangat lemah ( + 1/20 efek
succicylcholine ) dan selanjutnya dalam waktu yang lebih lama menjadi asam suksinil dan
kolin, waktu paruhnya sekitar 2-4 menit.1.11. Yang perlu dicatat adalah peningkatan ataupun
penurunan aktifitas dari plasma cholinesterase tidak mempengaruhi mula kerja dan lama
kerja dari obat ini secara bermakna. Sering kali timbul anggapan bahwa metabolisme dari
obat inilah yang mengakhiri efek blok otot skeletal, pada kenyataannya tidaklah demikian.
Metabolisme yang terjadi di plasma hanya menentukan jumlah obat yang dapat mencapai

38
tempat kerja, dan di tempat kerjanya obat ini akan menimbulkan blok yang akan terus
berlangsung sampai obat tersebut kembali keluar dari tempat kerjanya.16,17
Dosis yang diperlukan untuk menimbulkan blok pada 95 % penderita (ED95) pada
otot adductor pollicis adalah 0,3 - 0,5 mg / kg. Sedangkan dosis efektif yang menimbulkan
efek pada 50 % penderita (ED50) adalah 0,2 - 0,3 mg / kg. Pada kedua keadaan tersebut,
pemberian obat anestesi inhalasi akan menyebabkan penurunan dosis. Mula kerja obat ini
dengan dosis subparalisis (kurang dari 0,3 - 0,5 mg/kg) sekitar 1,5-2 menit. Dosis yang lebih
besar ( 1-1,5 mg/kg ) akan menimbulkan efek dalam waktu 1 menit. Mula kerjanya lebih
cepat berefek pada diafragma dan otot laring, serta akan lebih cepat pada anak-anak dari pada
dewasa. Lama kerjanya dengan dosis 1 mg/kg adalah 10-12 menit.4,16

B. Pancuronium bromide
Pancuronium bromide adalah pelumpuh otot golongan non-depolarisasi dengan mula
kerja yang lambat dan masa kerja panjang. Masa kerja obat golongan ini ditentukan oleh
konsentrasinya di plasma yang akan menurun sampai batas minimal yang dapat menimbulkan
efek blok pada otot skeletal.16,17
Pancuronium diberikan dengan dosis 0,1 mg/kg. 15-40 % dari jumlah yang diberikan
akan mengalami proses deasetilisasi menjadi 3-OH, 17-OH, atau 3,17-OH pancuronium.
Obat ini sebagian besar diekskresi dalam bentuk asalnya, 46% melalui urine dan 5-10%
melalui empedu setelah 24 jam pertama. Sisanya dieksrkresi melalui urine setelah diubah
menjadi metabolit hasil diasetilisasi.16,17
3-OH adalah metabolit yang paling poten, dimana mempunyai potensi setengah dari
pancuronium dan juga mempunyai T1/2 sama dengan pancuronium. ED95 dari pancuronium
adalah 60 m g/kg dan sebagaimana pelumpuh otot nondepolarisasi yang lain, mula kerjanya
bertambah singkat pada bayi dan anak-anak.4

C. Vecuronium
Vecuronium mempunyai rumus bangun yang menyerupai pancuronium, namun
mempunyai masa kerja yang lebih singkat, sekitar setengah kali masa kerja pancuronium
(lihat tabel 2). Metabolisme dilakukan di hati dengan ekskresi utamanya melalui empedu dan
sebagian kecil melalui urine. Ekskresi melalui urine pada 24 jam pertama adalah 15% dari
jumlah obat yang diberikan, persentase yang kecil disini
menunjukkan vecuronium lebih aman digunakan pada penderita kelainan fungsi ginjal
dibandingkan dengan pancuronium.17
Dosis awal yang dibutuhkan adalah 0,1 mg/kg dan dapat ditingkatkan sampai 0,3
mg/kg, namun dosis 0,15 mg/kg sudah cukup untuk memberikan efek blok dengan mula kerja

39
1-2 menit setelah pemberian sebagai sarana intubasi trakhea. ED95 dari obat ini adalah 50 m
g/kg dan akan mempunyai mula kerja yang lebih singkat pada anak-anak, namun akan
memanjang pada bayi dan orang tua karena adanya penurunan bersihan plasma. Masa
kerjanya dengan dosis pemeliharaan 0,1 mg/kg adalah 23 menit. Tidak ditemukan adanya
efek kumulasi yang dapat memperpanjang blok otot yang ditimbulkan dengan pemberian
berulang sebesar 25% dari dosis awal, atau sebagai alternatif dapat diberikan secara terus
menerus melalui infus dengan dosis 1-2 m g/kg.16,17

D. Atracurium
Atracurium adalah obat pelumpuh otot dengan masa kerja yang relatif singkat, ini
disebabkan karena pengubahan bentuk quaternary ammonium menjadi tertiary amine yang
terjadi secara spontan dalam plasma (dikenal dengan reaksi Hoffman). Reaksi ini meningkat
bila terjadi kenaikan pH darah, misalnya pada penderita dengan hiperventilasi. Reaksi lain
yang berperan dalam penurunan konsentrasi atracurium dalam sirkulasi adalah hidrolisis ester
oleh plasma esterase. Pada kenyataannya reaksi hidrolisis ester merupakan cara metabolisme
utama dari atracurium, namun reaksi Hoffman memberikan suatu keamanan pada pemakaian
atracurium untuk penderita dengan kelainan fungsi hati maupun ginjal.16
Atracurium diekskresi melalui empedu sekitar 55% dari dosis yang diberikan dan
sisanya dikeluarkan melalui urine setelah 7 jam sejak pertama kali diberikan. Waktu paruhnya
adalah 20 menit.11. ED95 obat ini adalah 200m g/kg dengan efek blok maksimal dicapai
setelah 5-6 menit.1. Dosis 0,5 mg/kg diperlukan untuk intubasi trakhea dengan efek
maksimal dicapai setelah 30-60 detik setelah pemberian intravena. Dosis awal yang
dibutuhkan untuk menimbulkan relaksasi otot adalah 0,25 mg/kg dan dilanjutkan dengan
dosis pengulangan sebesar 0,1 mg/kg setiap 10-20 menit atau dengan pemberian perinfus
sebanyak 5-10 m g/kg.17

40
BAB III
KESIMPULAN

Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr ᄃ pada tahun
1846 yang artinya tidak ada rasa sakit. Anestesi menurut arti kata adalah hilangnya kesadaran
rasa sakit, namun obat anestasi umum tidak hanya menghilangkan rasa sakit akan tetapi juga
menghilangkan kesadaran.
Obat anestesi yang baik harus memenuhi trias anestesi yaitu, efek hipnotik, efek
analgesia dan efek relaksasi otot. Akan tetapi, dari berbagai obat anestesi hanya eter yang
memiliki trias anestesia. Karena anestesi modern saat ini menggunakan obat-obat selain eter,
maka anestesi diperoleh dengan menggabungkan berbagai macam obat.
Obat anestesi dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu anestesi lokal yang merupakan
penghilang rasa sakit tanpa disertai hilang kesadaran dan anestesi umum sebagai penghilang
rasa sakit yang disertai hilangnya kesadaran. Semua zat anestesi umum menghambat susunan
saraf secara bertahap, mula-mula fungsi yang kompleks akan dihambat dan yang paling akhir
adalah medula oblongata yang mengandung pusat vasomotor dan pusat pernafasan yang vital.
Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter menjadi 4 stadium, yaitu stadium
analgesia, stadium delirium, stadium pembedahan dan stadium paralisis medulla.
Obat anestesi dapat diberikan melalui berbagai cara seperti : inhalasi, intravena dan
pemberian lokal. Obat anestesi inhalasi terdiri dari eter, halotan, enfluran, desfluran,
isofluran, sevofluran, metoksifluran, nitous oksida dan xenon. Di Indonesia yang paling
sering digunakan adalah isofluran, sevofluran dan nitous oksida. Obat anestesi intravena
sendiri yang paling sering digunakan adalah propofol, golongan benzodiazepine dan ketamin.

41
DAFTAR PUSTAKA

1. Katzung, Bertram G. Basic and Clinical Pharmacology 10th edition. Singapore


: Mc Graw Hill Lange. 2007. p.401-17.
2. Mangku, Gde.; Senapathi, Tjokorda Gde Agung Senaphati. Obat-obat
anestetika. Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi. Jakarta : Indeks Jakarta.
2010. p.5-10, p23-86.
3. Barash, Paul G.; Cullen, Bruce F.; Stoelting, Robert K. Basic principles of
clinical pharmacology. Dalam Clinical Anesthesia 5 th edition. Lippincott
Williams & Wilkins. 2006. p.801-65.
4. Bevan David R, Donati Francois. Muscle relaxants and clinical monitoring.
In: Healy Thomas EJ, Cohen Peter J, editors. Wylie and Churchill-Davidson’s
A Practice of Anaeshtesia. London: Edward Arnold, 1994; p147-71.
5. Dachlan R. Farmakologi obat-obat anestesia. Dalam Anestesiologi FKUI.
Editor: Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S, Dachlan R. Bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif FKUI, Jakarta, 1989
6. Santoso S, Hadi RD. Farmakologi dan Terapi, Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Indonesia., Jakarta, 1995: p124-139
7. Latief, Said A.; Suryadi, Kartini A,; Dachlan, M. Ruswan. Petunjuk Praktis
Anestesiologi Edisi 3. Jakarta : Fakultas Kedokteran Indonesia. 2007. p.48-53.
8. Wikipedia. Propofol. 2006 (diakses dari http://en.wikipedia.org/wiki/
Propofol.html, tanggal 1 November 2011)
9. 1Wikipedia. Etomidate. 2008 (diakses dari http://en.wikipedia.org/wiki/
etomidate.html, tanggal 1 November 2011)
10. Kedokteran dan Linux. Barbiturat. 2007. (Diakses dari
www.medlinux.blogspot.com, tanggal 1 November 2011)
11. Tjay TH, Rahardja K. Sedativa dan Hipnotika. In : Obat-obat Penting Edisi
Ke-5. Jakarta : Gramedia; 2002, p364-72
12. Stoelting RK, Hillier SC. Nonbarbiturate Intravenous Anesthetic Drugs. In :
Pharmacology & Physiology in Anestetic Practice 4th Edition. Philadelphia :
Lipincott William & Wilkins; 2006, p153-78
13. Kedokteran dan Linux. Ketamin. 2009. (Diakses dari
www.medlinux.blogspot.com, tanggal 1 November 2011)

42
14. Stoelting RK, Hillier SC. Opioid Agonists and Antagonists. In :
Pharmacology & Physiology in Anestetic Practice 4th Edition. Philadelphia :
Lipincott William & Wilkins; 2006, p87-126, p140-53
15. Zunilda SB, Setiawati Arini, Suyatna FD. Pengantar farmakologi. Dalam:
Ganiswara Sulistia G, editor. Farmakologi dan terapi edisi 4. Jakarta: Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995; p1-23.
16. Miller RD. Pharmacokinetics of muscle relaxants and their antagonists. In :
Roberts C Prys, Hug CC Jr, editors. Pharmocokinetics of anaesthesia. London:
Blackwell Scientific Publications, 1984; p246-69.
17. Clarke RSJ, Hunter AR. Neuromusculas blocking agents. In : Dundee John w,
Clarke R S J, McCaughey William. Clinical Anaesthetic Pharmacology.
London: Churchill Livingstone, 1991; p295-313.

43

Anda mungkin juga menyukai