Anda di halaman 1dari 16

SOSIAL POLITIK

“PENGUSAHA KLIEN”

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 4

GD BRYANANDA LAKSMANA (1607521098)


I KOMANG GEDE ARDIA DANA PUTRA (1607521111)
I WAYAN ERLANGGA WIGUNA (1607521132)
I DEWA GEDE WILANTA TINTARA (1607521146)
KOMANG AYU PUSPITA DEWI (1607521152)
NI MADE PADMAWATI (1607521154)
DESAK AYU MELINA PANGASTUTI (1607521158)
NI PUTU TRI UTAMI NINGSIH (1607521160)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan rahmat
Beliaulah kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “PENGUSAHA KLIEN”,
guna melengkapi tugas mata kuliah Sosial Politik.
Tewujudnya makalah sederhana ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak, baik langsung ataupun tidak langsung. untuk itu pada
kesempatan ini dengan segala kerendahan hari dan penuh penghargaan kami mengucapkan
terima kasih kepada teman-teman yang telah memberikan masukan dan sarannya untuk
penyelesaian makalah ini

Kami telah berusaha dengan segenap kemampuan tenaga dan waktu agar makalah ini
dapat diselesaikan dengan baik, namun kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini
masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahan. Untuk itu kami mengharapkan saran dan
kritikan yang bersifat membangun dari pembaca guna kelengkapan dan perbaikan makalah ini
untuk masa-masa yang akan datang.

Harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat dan berguna untuk kita semua,
terima kasih.

Denpasar, 8 Maret 2019

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................................5
2.1 Pengantar...........................................................................................................................5
2.2 Negara Dan Pembangunan................................................................................................5
2.3 Sifat Rezim Orde Baru.......................................................................................................6
2.4 Terbentuknya Pengusaha Klien.........................................................................................7
2.5 Karakteristik Pengusaha Orde Baru...................................................................................7
2.6 Momen-Momen Penting Terbentuknya Patron Bisnis.......................................................9
2.7 Pembangunan Dan Pemerintahan Patronase Bisnis........................................................10
2.8 Tipe Pengusaha Klien......................................................................................................12

BAB III PENUTUP...................................................................................................................14


3.1 Simpulan...........................................................................................................................14
3.2 Saran.................................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................15

BAB I
PENDAHULUAN

3
Kata klien atau client berasal dari kata cliens yang berarti pengikut. Dalam konteks
Pengusaha Klien berarti hubungan antara pengusaha dengan klien atau orang-orang yang
dekat dengan pengambil kebijakan atau pemerintah. Hubungan ini biasanya disertai dengan
imbalan tertentu. Hubungan ini terjadi bahwa disatu sisi pemerintah mengharapkan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tentu hal ini dapat terjadi dengan bantuan para pengusaha
atau penanam modal. Disisi lain pengusaha tentu mengharapkan keuntungan dari kekayaan
yang ia investasikan dengan sebesar-besarnya.

Pada negara berkembang hubungan pengusaha klien ini sangat terlihat jelas. Sebagai
contoh di Indonesia hubungan ini terlihat pada masa pemerintahan Orde Baru. Hubungan ini
juga terjadi Pada masa pemerintahan yang lain. Maka makalah yang kami susun ini akan
dapat memberikan gambaran bagaimana hubungan antara pengusaha dan klien terjadi.
Bagaimana hubungan itu berkembang, karakteristiknya dan tipe pengusaha klien akan dapat
pembaca pahami disini.

BAB II

4
PENGUSAHA KLIEN

2.1 PENGANTAR

Fenomena pengusaha klien dapat dijumpai di berbagai tempat dibelahan dunia ini,
terutama di negara-negara sedang berkembang. Akan tetapi, yang terjadi di Indonesia
tampak jelas keberadaannya jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Seperti yang kita
maklum bahwa di negara yang menganut sistem ekonomi pasar (terbuka) prinsip kompetitif
bagi para pelaku ekonomi sangat diperlukan. Oleh karena itu, dalam melaksanakan
pembangunan ekonominya kehadiran kelompok pengusaha yang mempunyai jiwa
kewiraswastaan dan mandiri sangat diharapkan. Dari kelompok pengusaha yang demikian
ini negara dapat mengandalkannya untuk menjadi tulang punggung perekonomian nasional,
baik untuk berkompetisi dalam skala nasional maupun secara internasional.

Sejak bangsa Indonesia meraih kemerdekaannya hingga saat ini, meskipun telah
diupayakan dengan berbagai kebijakan ekonomi maupun kebijakan politik, kelompok
pengusaha dengan klasifikasi seperti itu belum tampak. Yang muncul adalah jenis pengusaha
yang keberadaannya tergantung pada fasilitas pemerintah atau yang lebih dikenal dengan
pengusaha klien. Analisis fenomena ini dapat dilakukan dengan berbagai sudut pandang.
Namun pada hakikatnya perhatian kita lebih difokuskan untuk melihat keterkaitan antara
negara termasuk di dalamnya para birokrat dan elit politik dengan para pengusaha dalam
melihat kasus yang terjadi di Indonesia, meskipun pengusaha klien juga ada pada masa
sebelum Orde Baru, tetapi penekanan pembahasan lebih banyak dilakukan pada era Orde
Baru.

2.2 NEGARA DAN PEMBANGUNAN

Peran negara sangat menentukan pada fase-fse awal pembangunan, seperti yang telah
dilakukan oleh Jepang atau negara-negara industri maju lainnya. Perbedaannya yang
mendasar adalah bahwa peran negara yang dilakukan oleh negara-negara maju
menghasilkan perekonomian nasional yang kuat, yaitu antara lain didukung oleh
kelompok pengusaha yang mandiri melalui industrialisasi. Sementara itu yang terjadi di
negara berkembang seperti Indonesia, peran negara, baru sampai pada suatu titik di mana
negara melahirkan suatu hubungan patron-klien antara pengusaha birokrasi dengan para
pengusaha.

5
Pengusaha birokrasi sebagai kekuatan yang dominan atau sering disebut sebagai rezim
otoriterisme birokratik, berkaitan erat (mempunyai korelasi positif) dengan proses
pembangunan yang dilaksanakan di negara berkembang.

Terdapat 5 indikator dari suatu rezim birokratik otoriter menurut Guilermo O’Donnell :

1. Tidak berlakunya hipotesis modernisasi dengan demokratisasi.

2. Negara sebagai variabel penting untuk melaksanakan perubahan tanpa dipengaruhi


oleh kekuatan sosial lainnya.

3. Militer sebagai lembaga pendukung ekonomi, yang sebenarnya untuk memperkuat


posisi militer sendiri dalam mewujudkan negara yang kuat.

4. Pentingnya koalisi antara kekuatan dominan yang mendukung rezim tersebut.

5. Memasukkan variabel internasional.

Dibanyak negara, rezim otoriter birokratik muncul sebagai akibat dari adanya krisis
ekonomi. Oleh karena itu, rezim Orde Baru tidak sebatas melakukan pengendalian pada
masalah-masalah politik tetapi juga mencampuri masalah bisnis dan ekonomi.

2.3 SIFAT REZIM ORDE BARU

1. Pemerintah dipegang oleh militer, tidak sebagai diktator pribadi, tetapi sebagai
lembaga yang berkolaborasi dengan teknokrat sipil;

2. Ia didukung oleh pengusaha oligopolistik, yang bersama negara berkolaborasi dengan


masyarakat bisnis internasional;

3. Pengambilan keputusan bersifat birokratik-teknokratik;

4. Massa dimobilisasikan;

5. Untuk mengendalikan oposisi, pemerintah melakukan tindakan represif.

Dengan sifat dan ciri-ciri rezim Orde Baru seperti tersebut diatas, dapat dipahami
bahwa dalam konteks hubungan pengusaha dan pengusaha, akan terwujud suatu sistem
patrimonial di mana pengusaha birokrasi melalui kekuasaan yang dimiliki menjadi patron
terutama bagi kelompok-kelompok pengusaha yang diajak bekerja sama.

6
2.4 TERBENTUKNYA PENGUSAHA KLIEN

Ketika pemerintah Meiji di Jepang akan melakukan industrialisasi pada abad XIX,
kebijaksanaan Pemerintah Meiji adalah untuk memberikan proteksi dan subsidi kepada para
pengusaha agar dapat terbentuk kelompok borjuasi industri nasional. Hal yang sama juga
dilakukan oleh Korea Selatan pada pemerintahan Rhee atau Park Chung Hee pada pertengahan
abad XX ini.

Kedua negara kemudian memang berhasil membentuk suatu negara industri yang berbasis
pada kekuatan kelompok pengusaha yang mandiri. Sementara itu yang terjadi di Indonesia
belum tampak fenomena seperti itu, meskipun kebijakan yang sama telah dilaksanakan.
Kebijaksanaan proteksi dan subsidi yang diberikan pemerintah meskipun telah melahirkan
kelompok kapitalis baru tetapi keberadaannya masih sangat tergantung pada fasilitas pemerintah.
Pengusaha klien yang sejak kelahirannya memang disubsidi oleh pemerintah, dalam
mengoperasikan usahanya diberi dukungan dan proteksi dari berbagai jaringan kekuasaan
pemerintah. Jadi, meskipun pengusaha ini berada di luar birokrasi tetapi keberadannya sangat
tergantung pada birokrasi.

Sejauh ini meskipun Indonesia dinilai cukup berhasil melaksanakan industrialisasi,


perusahaan-perusahaan besar yang tangguh belum lagi muncul. Konglomerasi yang ada dinilai
hanya jago kandang, karena mereka hanya lebih mengandalkan pada permintaan dalam negeri,
tetapi kurang mampu bersaing di pasaran internasional. Hal ini tidak mengherankan karena
konglomerasi yang tumbuh di Indonesia bukan berasal dari seleksi alam, melainkan dari praktik-
praktik patronase politik yang melibatkan para pengusaha dan kalangan elit birokrasi.

2.5 KARAKTERISTIK PENGUSAHA ORDE BARU

Ketika pemerintah Orba yang didukung oleh militer mulai menjalankan kekuasaannya,
kondisi ekonomi Indonesia sangat memprihatinkan karena inflasi mencapai 600%, sedangkan
utang yang macet hinggal $ 2 milyar, dan kegiatan investasi praktis lumpuh.

Langkah pertama yang dilakukan dalam membenahi perekonomian nasional yakni


memberlakukan Undang-undang Penanaman Modal Asing (1967) dan Dalam Negeri (1968).
Kesempatan investasi diberikan kepada siapa saja yang memiliki modal untuk membuat usulan
proyek dengan hanya menyediakan 25% modal, sementara 75% kekurangannya ditutupi dengan
bantuan dana berbunga lunak dari pemerintah. Secara formal, kredit murah ini berlaku bagi siapa
saja, tetapi dalam pelaksanaannya terjadi penyelewengan. Karena fasilitas yang diberikan relatif

7
sedikit, sementara peminatnya jauh lebih banyak, praktis hanya mereka yang mempunyai
hubungan dekat dengan pejabat yang memperoleh fasilitas tersebut. Tercatat, perusahaan yang
sejak lama membina kerja sama dengan Angkatan Darat dan perusahaan negara yang
memperoleh kredit terbesar, sedangkan lebih spesifik individu seperti Liem Siou Liong dan The
Kian Siang (Bob Hasan) memperoleh berbagai kemudahan.

Tahun 1970-an Indonesia mulai dibanjiri modal asing, terutama dari Jepang dalam bentuk
perusahaan patungan. Yang paling banyak diminati oleh para pengusaha pada waktu itu adalah
lisensi impor berbagai kebutuhan bahan pokok. Selain adanya fasilitas atau kemudahan yang
diberikan pemerintah, bidang ini dinilai paling banyak mendatangkan keuntungan. Kegairahan
usaha yang ditambah dengan bom minyak ini telah mengatrol pertumbuhan ekonomi Indonesia
menjadi 7% per tahun dari target 5%.

Dengan keberhasilannya dibidang ekonomi ini pemerintah Orba melalui asisten presiden pada
waktu itu, Sudjono Humardani mulai melakukan kerja sama dengan beberapa pengusaha untuk
menjadi rekanan utama, yakni antara lain Liem Siou Liong dan Bob Hasan. PT Berdikari,
perusahaan TNI AD dengan cepat tumbuh menjadi perusahaan besar. Pada pertengahan 1970-an
disusul oleh perusahaan negara lain yaitu Pertamina yang banyak menikmati keuntungan dari
bom minyak. Bahkan, untuk repelita I dan II Pertamina menjadi tulang punggung perekonomian
nasional.

Selain perusahaan negara seperti Panca Niaga, Kerja Niaga (milik Dep. Perdagangan),
perusahaan yang berkembang pesar adalah perusahaan yang mempunyai akses dengan elit
birokrasi. Ada beberapa perusahaan yang berada di luar lingkungan tetapi tumbuh cukup baik
antara lain adalah Gudang Garam H.M. Samperna dan Bakrie. Namun secara umum pengusaha-
pengusaha yang baru muncul pada era 1970-an lebih banyak ditandai oleh kedekatan
hubungannya dengan elit penguasa. Kemudahan-kemudahan yang diberikan pemerintah melalui
kredit investasi sering dimanfaatkan oleh para pengusaha untuk kepentingan pribadi. Seperti
yang diungkapkan oleh Kwiek Kian Gie, beberapa cara licik yang dimanfaatkan oleh para
pengusaha yaitu :

1. overpricing, yaitu melipatgandakan harga produk impor untuk investasi sehingga seorang
pengusaha dapat memperoleh barang yang dibutuhkan sekaligus, memperoleh
keuntungan dari selisih dana impor yang dibiayai oleh kredit pemerintah;

2. mengeduk pinjaman dari bank sebanyak mungkin;

8
3. memanipulasi pembukuan dan prospektus perusahaan guna menguras dana murah
masyarakat dari bursa saham.

Dengan kondisi seperti di atas, yang muncul sebagai perusahaan nasional berasal dari
lingkaran yang tidak jauh dari patronase politik BUMN jelas sebagai anak kandung pemerintah
akan memperoleh fasilitas yang cukup besar. Namun, kenyataannya bahwa dari sekian banyak
BUMN (ada 420 pada 1987) sebagian besar tidak efisien dalam melakukan kegiatan bisnisnya.
Akar kelemahan dari BUMN ini berasal dari korupnya birokrasi yang mengelolanya. Dengan
kondisi BUMN yang seperti ini, peran pemerintah untuk melahirkan kelompok pengusaha
menjadi sulit.

Disisi lain semakin kuatnya pengusaha klien dapat dilihat dari tampilnya pengusaha instan
yang berasal dari lingkungan keluarga pimpinan pemerintah. Dengan berbekal surat pendirian
perusahaan dari notaris, hanya dalam waktu beberapa tahun mereka mampu membangun
konglomerasi yang bernilai ratusan juta dolar. Kunci kesuksesan mereka terutama pada hal
monopoli dan perlindungan kebijakan pemerintah. Mulai dari cengkeh, angkutan gas lewat laut,
jalan tol, produk plastik, baja, kimia, televisi hingga jasa satelit.

Dari profil konglomerasi yang ada saat ini, secara umum dapat dikelompokkan menjadi :

1. pengusaha yang sejak zaman Sukarno seperti Sudarpo, Hasyim Ning dan sebagainya,
tetapi masih mampu bertahan karena dapat beradaptasi;

2. pengusaha yang dekat dengan elit birokrasi yang terbagi menjadi pertama yang
berasal dari keluarga pejabat dan kedua kebanyakan dari WNI keturunan;

3. pengusaha yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan birokrasi, tetapi


mempunyai hubungan pribadi yang baik dengan keluarga pejabat.

Secara keseluruhan semua kelompok tersebut masih dalam lingkup sebagai pengusaha klien
karena ketergantungannya yang besar terhadap pemerintah.

2.6 MOMEN-MOMEN PENTING TERBENTUKNYA PATRON BISNIS

1. Program Benteng; program ini dimaksudkan untuk membantu mendorong kaum pribumi
agar mereka lebih aktif terjun dalam dunia usaha. Untuk itu, pemerintah memberikan
berbagai macam lisensi dan konsensi kepada pribumi yang berminat dalam dunia usaha.

9
Mereka juga diberi keleluasaan untuk mendapatkan kredit yang murah dari pemerintah
terutama mereka yang tidak mempunyai modal.

2. Pemerintah mengakomodasi kekuatan militer dalam parlemen serta peran politik lainnya
sebagai dampak dari unjuk rasa yang dilakukan militer pada 17 Oktober 1952, dan ini
menjadi momen penting bagi terbentuknya kekuatan bagi militer menuju patronase bisnis.

3. Pemberontakan seperti DII/TII dan PRRI/Permesta mendorong peran militer dalam politik
semakin kuat terutama semenjak dikeluarkannya Undang-Undang Darurat Militer (SOB).

4. UU Darurat Militer tidak hanya memberi peran yang kuat militer dalam politik, juga dalam
bidang ekonomi. Ketika perusahaan Belanda dinasionalisasi, terutama perbankan,
distribusi beras, valuta asing dan ladang-ladang minyak, perwira militer manjadi
pengelolanya. Yang manjalankannya terutama adalah PT Tri Usaha Bhakti.

5. Perubahan peta politik sesudah 1965. Militer sangat mewarnai kehidupan politik di
Indonesia. Penguasaan mereka atas sumber-sumber ekonomi berkembang hampir semua
sektor, seperti PT Berdikari, Firma dan PT Timah, penebangan hutan, pengeboran minyak,
petro kimia, industri baja dan obat-obatan.

6. Pada masa pemulihan ekonomi, Orba mengundang modal asing untuk memperoleh
kepercayaan dari luar negeri. Pengendalian terhadap sektor swasta domestik terus
dilakukan. PT Berdikari digerakkan oleh Suhardiman, Pertamina dipimpin oleh Ibnu
Soetowo yang melakukan investasi di bidang pengeboran minyak, petro kimia, industri
baja, obat-obatan, infrastruktur dan pengembangan pulau Batam. Selanjutnya dibangun
induk koperasi AD, AU, AL dan Kepolisian. Pengelolaan bisnis ini melibatkan sejumlah
pengusaha Tionghoa seperti Bob Hasan, Lim Siou Liong, Sofian Wanandi dan William
Suryadjaya.

7. Kelimpahan uang minyak merupakan lompatan besar dalam pembentukan patronase bisnis.
Kelimpahan minyak menjadikan negara sebagai tulang punggung pembangunan nasional,
antara lain dalam kebijakan ISI (Industri Substitusi Impor) yang membatasi ruang gerak
modal asing.

2.7 PEMBANGUNAN DAN PEMERINTAHAN PATRONASE BISNIS

1. Golongan pengusaha dan pedagang di awal Orba tidak memiliki peran politik. Kekuatan
dominan satu-satunya dalam bidang permodalan dan kepemilikan perusahaan adalah negara

10
yang diwakili para pejabat unsur militer. Kelompok birokrat ini menguasai kekuasaan
negara tetapi juga perusahaan-perusahaan negara. Polisi demikian menempatkan mereka
sebagai patron politik berhadapan dengan pengusaha yang lemah sebagai klien politiknya.

2. Dengan kekuatannya ini, patron politik mengalokasikan kekayaan negara serta memberi
konsensi negara kepada pengusaha klien yang bergantung kepada birokrat politik.
Pengusaha klien ini menjadi konco-konco bisnis para pejabat dan keluarganya. Lewat
pengusaha klien inilah para pejabat terjun dan melibatkan dirinya dalam dunia bisnis guna
memupuk kekayaan pribadinya.

3. Terjunnya para pejabat tinggi ke dalam dunia bisnis tidak memperkuat kedudukan mereka
dalam kekuasaan politik dan birokratis, tetapi juga menjadi pengusaha patron yang
sekaligus memegang kendali politik, misalnya Soeharto.

4. Keberhasilan bisnis di kalangan patron politik tidak ditentukan oleh kemampuan modalnya
memenangkan kompetisi tetapi ditentukan sejauhmana hubungan pengusaha klien dengan
pejabat tinggi yang mengalokasikan konsensi negara kepada mereka. Jelas bahwa konsensi
perusahaan diberikan kepada pengusaha yang dekat hubungannya dengan patron politik.

5. Perusahaan dagang yang dikuasai militer lebih sebagai lembaga untuk mengalokasikan
lisensi-lisensi impor dan pendistribusian kepada pengusaha China dan asing. Kekuatan
ekonomi perwira militer terletak pada akses ilegal ke pasar melalui monopoli-monopoli
negara terhadap aneka ragam kegiatan ekonomi.

6. Para birokrat politik yang terjun dalam dunia bisnis bukanlah kalangan yang memiliki
modal, teknologi dan pengetahuan atau pengalaman mengelola bisnis. Yang mereka miliki
hanyalah lembaga kontrol terhadap sumber-sumber ekonomi. Mereka yang membagi
konsensi dan mengalokasikan lisensi impor kepada pengusaha Cina dan asing yang mau
bersekutu dengan mereka.

7. Persekutuan ini mereka bangun tidak melalui saluran-saluran kebijakan umum yang diatur
dalam sebuah departemen, tetapi melalui hubungan langsung di antara pusat-pusat
kekuasaan dengan kelompok bisnis tertentu. Mereka berhubungan langsung dengan
Soeharto, Ibnu Soetowo atau Ali Moertopo.

8. Untuk konsensi pertambangan dan kehutanan, para birokrat politik yang terjun dalam dunia
bisnis tidak memerlukan dana dari negara, karena perusahaan patungan mereka sepenuhnya

11
didanai oleh modal asing. Di sini terjadi pertukaran konsensi ekonomi yang dikontrol secara
politik dengan imbalan finansial. Para birokrat politik mendapat imbalan finansial dan mitra
asing mengelola dan mengeksploitasinya. (kasus Freeport di Timika).

9. Para pengusaha yang bergantung kepada patron politiknya selalu memanfaatkan patron
mereka untuk memperoleh akses usaha yang lebih luas. Untuk memperoleh kredit yang
besar dan lisensi-lisensi yang mereka perlukan dalam membangun perusahaan mereka
memberikan imbalan pemilikan saham minoritas untuk patron politiknya atau keluarganya.
Serta fraksinya di politik. Misalnya, PT Bogasari yang dibangun dengan mendapatkan
kucuran kredit yang sangat besar berkat hubungan dekat Liem dengan Soeharto. Karena itu
Sudwikatmono ditempatkan sebagai direktur utama, dan saham 4% serta laba 28% laba
Bogasari dibagi untuk Yayasan Dharma Putra Kostrad dan Yayasan Harapan Kita milik Tien
Soeharto.

10. Para birokrat politik yang tumbuh menjadi pengusaha patron tidak berkepentingan dengan
akumulasi modal yang produktif. Yang mereka pentingkan adalah keuntungan sebanyak
mungkin dan dalam tempo yang sesingkat mungkin.

11. Tergantungnya para pengusaha klien pada patron politik bersumber pada posisi politik
patron. Semakin kuat posisi patron, semakin bertambah besar pula perkembangan bisnis
mereka.

12. Dalam hubungannya dengan politik ekonomi perusahaan-perusahaan yang dibangun dalam
patronase bisnis memperoleh fasilitas proteksi tarif yang tinggi dan hak memonopoli untuk
menguasai pasar domestik (contoh mobil Timor).

13. Tujan para pejabat dan keluarga terjun dalam dunia bisnis lebih bertujuan memupuk
kekayaan daripada melakukan investasi besar yang berjangka panjang.

14. Patronase bisnis dibangun dan dipertahankan dengan jaminan politik tanpa demokrasi dan
perlindungan HAM (Suryadi A Radjab, 1999: 36-49).

2.8 TIPE PENGUSAHA KLIEN

1. Government Contractor : berbagai macam kontrak pemerintahan diberikan kepada warga


negara yang sering digunakan untuk mendapakan dukungan dari pengusaha pribumi. Dengan
tersedianya anggaran yang banyak pada era 1970-an, baik dalam industri maupun keuangan
memungkinkan diberikannya proyek industri kepada sektor swasta. Untuk mendapatkan

12
sebuah proyek, dibutuhkan sedikit modal dan teknologi sehingga muncullah kelompok bisnis
yang mendasarkan dirinya sebagai kontraktor. Salah satu syarat utama bagi keberhasilan
seorang kontraktor ialah koneksinya dengan negara. Sebagai akibatnya, kontraktor yang
berkaitan dengan pemerintah adalah mereka yang mempunyai hubungan dengan elit-elit
politk dan birokratik, dan kebanyakan mereka adalah veteran militer.

2. Monopoly traders : mengumpulkan upeti dari para pedagang adalah metode konvensional
yang sudah berlaku semenjak para kolonial hingga saat ini untuk membiayai kegiatan politik
mereka. Ini adalah sistem yang paling mudah untuk dilakukan yang hanya mengizinkan
kepada sejumlah pedagang yang berbatas untuk melakukan bisnis perdagangan tertentu.
Berbeda dengan masa prakolonial dan masa kolonial, pada masa Orde Baru monopoli ekspor
dan perpajakan hampir seluruhnya hilang sebab hal ini berpengaruh terhadap perolehan
ekspor yang sangat berharga. Sebaliknya, perdagangan impor dan distribusi domestik untuk
komoditi tertentu dilisensikan kepada perusahaan terpilih, yang dalam banyak kasus
dimotivasi oleh kepentingan politik dari pada ekonomi. Lisensi diberikan kepada mereka
yang telah sepakat akan memberikan sebagian dari keuntungannya kepada pemegang
kekuasaan.

3. Concessionaires : negara memiliki wewenang untuk memberikan konsensi kepada mereka


yang berkeinginan untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang dimiliki negara sesuai
dengan Pasal 33 UUD 1945. Tidak seperti kontrak, konsensi tidak mempunyai risiko dalam
menghabiskan pengeluaran negara, tidak seperti monopoli yang menimbulkan biaya
produksi, dengan demikian tidak menghancurkan ekonomi negara. HPH adalah sumber yang
populer bagi patron Orde Baru khususnya militer yang menjadi klien bisnis.

4. Licensed manufacture : Berbeda dengan kategori di atas, kategori ini berkaitan dengan
perencanaan ekonomi kebijakan intervensionis dari negara. Menteri industri dan BKPM
membuat klasifikasi sektor industri yang tertutup, tanpa fasilitas dan yang menjadi prioritas
sesuai dengan kategori yang berbeda dari para investor. Sistem lisensi merupakan pilar utama
dari kepentingan negara. Sistem lisensi antara lain sektor pelayanan seperti perkapalan.
Departemen komunikasi antara lain ikut mengintervensi tentang pembangunan industri
perkapalan.

5. State-private joint venture : join venture antara sektor swasta dan negara ditentukan oleh
kebijakan pemerintah seperti mengembangkan industri strategi, mengontrol monopoli
swasta, kapitalisasi proyek berskala besar, mengundang entrepreneur untuk mempelajari

13
proses industri baru. Kasus tentang yang dikontrol PT Gaya Motor (Jun Hwan Shin, 1989 :
275-288).

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Hubungan antara pengusaha dan klien terjadi di negara manapun di dunia. Namun pada
negara berkembang hubungan ini terlihat jelas. Pengusaha berusaha menjalin hubungan dengan para
pengambil kebijakan di pemerintahan. Hal ini dilakukan untuk dapat perlakuan khusus/konsensi dari
pemerintah. Pemerintah pun tergantung pada pengusaha atau investor untuk dapat membantu
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Jadi karena kebutuhan ini lah terjadi hubungan antara
pengusaha dan klien.

Ada banyak tipe pengusaha klien, diantaranya Government Contractor, Monopoly Traders,
Consessionaires, Licensed Manufacture dan State Privat Joint Venture. Hubungan Government
Contractor biasanya terjadi dengan pemberian kontrak-kontrak kepada warga pribumi. Monopoly
traders yaitu dengan mengumpulkan upeti dari pedagang dan Consessionaires terjadi karena
pemerintah berkeinginan untuk mengeksploitasi sumber daya alam. Sedangkan hubungan Licensed
Manufacture terjadi karena adanya intervensi pemerintah terhadap kebijakan ekonomi serta
hubungan State Privat Joint Venture yaitu antara sektor swasta dan negara dibentuk oleh kebijakan
pemerintah seperti mengembangkan industri strategis.

3.2 SARAN

Hubungan antara pengusaha dengan klien hendaknya dibangun atas dasar peraturan perundang-
undangan sehingga hubungan yang terjadi dapat dibangun dengan baik. Apabila hubungan ini
dibangun berdasarkan aturan-aturan maka sekalipun terjadi permasalahan akan dapat diselesaikan
secara hukum.

14
DAFTAR PUSTAKA

Aini Nurul, 2004. Sosiologi dan Politik, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta

15
16

Anda mungkin juga menyukai