Anda di halaman 1dari 17

PEMBANGUNAN BERBASIS

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PADA


KOMUNITAS ADAT
Yannice Luma Marnala Sitorus

Abstrak. Pembangunan berbasis pemberdayaan masyarakat sebenarnya merupakan suatu


konsep perencanaan sosial yang bertujuan untuk mengubah perilaku dan sikap sosial
masyarakat yang termarjinalkan agar dapat menjadi lebih berdaya, yang artinya dengan
kemampuannya sendiri secara bersama-sama dapat menyelesaikan masalah-masalah sosial
dan ekonomi di lingkungannya. Dengan menggunakan berbagai pendekatan partisipatif, yang
dianggap paling sesuai pada era ‘postmodern planning’ ini, konsep pembangunan tersebut
diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berada pada level bawah.
Konsep ini juga diterapkan dalam pembangunan masyarakat tradisional, khususnya komunitas
adat, tetapi belum memberikan dampak yang berarti. Kajian ini menggunakan literatur yang
ada untuk menunjukkan bagaimana hasil pembangunan berbasis pemberdayaan masyarakat
secara umum pada komunitas adat, khususnya komunitas adat di Papua. Program-program
pembangunan tersebut banyak dijalankan oleh pihak pemerintah dengan menggunakan
pendekatan-pendekatan partisipatif. Hasil kajian menunjukkan bahwa perubahan sosial yang
diinginkan ini belum terlihat pada komunitas adat di Papua yang telah sekian tahun
memperoleh program-program pembangunan berbasis masyarakat. Komunitas tersebut masih
memiliki tingkat kesejahteraan terendah di Indonesia. Pembelajaran sosial yang diharapkan
dapat terjadi dalam setiap program pembangunan berbasis pemberdayaan masyarakat dengan
pendekatan partisipatif berjalan sangat lambat di Papua.

Kata kunci : pendekatan pembangunan, perubahan sosial, komunitas adat

Abstract. Community Based Driven Development actually is a social planning concept with
goal to change the behaviour and mind of the marginal society in other to more powerfull,
meannings with their ability they can solve collectively the social and economic problems in
their neighborhood. With using many participatory approaches, the most suitable approache in
the postmodern planning era, the development concept is expected to be rising the welfare of
grass root community. This concepts is applied also on the traditional community development,
especially for indigenous people, but it was not yet giving the significant effets. This study is
using the existing literatures, to show how the results of the community based driven
development gennerally on indigenous people, especially indigenous people in Papua. Many of
those development programes were running by goverment with participatory approaches. The
result of this study shows that the social change which be wanted is not seeing on the
indigenous peopole in Papua, whom had accepted the community based development
programmes for years. The community still has the lowerlevel of welfare in Indonesia. The
social learning, that’s expected will be happened by doing many community based development
programmes with participatory approaches, was going too slowly in Papua.

Keywords : development approache, social change, indigenous people

1
1. Pendahuluan
Salah satu kelompok masyarakat yang sering termarjinalkan dalam pembangunan adalah
masyarakat tradisional, khususnya komunitas adat. Kelompok masyarakat tersebut jauh lebih
rendah tingkat kesejahteraannya bila dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang lain. Hal
ini terjadi bukan hanya pada negara-negara sedang berkembang bahkan juga di negara-negara
maju. Komunitas adat seperti Suku Indian di Amerika Serikat dan Suku Aborigin di Australia
relatif lebih rendah tingkat kesejahteraannya bila dibandingkan dengan komunitas-komunitas
lainnya di sana. Hal yang sama juga terjadi pada komunitas-komunitas adat di Indonesia,
khususnya komunitas adat di Papua.

Sejak diberlakukannya otonomi khusus pada tahun 2001, Papua mempunyai kekuasaan yang
lebih besar dalam mengatur jalannya pemerintahan dan pembangunan di wilayahnya sendiri.
Tahun 2007, Gubernur Papua, Barnabas Suebu, meluncurkan program Rencana Strategis
Pembangunan Kampung (RESPEK) dengan tujuan memberdayakan penduduk asli Papua, yang
mayoritas bermukim di kampung-kampung. Pada tahun 2008, dengan adanya bantuan dari
pemerintah pusat dalam bentuk penyediaan fasilitator sebagai pendamping masyarakat dalam
melakukan pembangunan, program tersebut kemudian dikenal dengan nama PNPM (Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat) RESPEK. Program ini telah menjangkau sekitar 87%
kampung (4000 kampung) di Papua dan Papua Barat (Sari, dkk, 2011). Akan tetapi
pembangunan yang berjalan selang beberapa waktu di Papua hingga kini masih belum dapat
meningkatkan kesejahteraan penduduk aslinya, atau komunitas adat di kampung-kampungnya.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Papua, di mana mayoritasnya merupakan
penduduk asli Papua, masih yang terendah sepanjang tahun 2009-2013 bila dibandingkan
dengan provinsi lain di Indonesia (BPS, 2014), selain itu proporsi desa tertinggal di Papua tidak
banyak berubah sejak tahun 2011(89,5%) hingga 2014 (91,06%) (Kementerian
PPN/BAPPENAS, 2015). Proses pembelajaran sosial yang diharapkan terjadi dalam
pelaksanaan program pembangunan berbasis masyarakat berjalan sangat lambat pada komunitas
adat Papua sehingga belum memberikan dampak yang berarti pada saat ini.

Masih belum berdayanya komunitas adat setelah pelaksanaan program-program pembangunan


berbasis pemberdayaan masyarakat, suatu konsep pembangunan yang dianggap paling ideal saat
ini, menunjukkan lambatnya proses belajar sosial dalam komunitas adat, yang diakibatkan salah
satunya oleh belum tumbuhnya kesadaran kritis masyarakat tersebut. Menurut Freire, suatu
kelompok masyarakat termarjinalkan akibat belum adanya kesadaran kritis dalam masyarakat
tersebut. Manusia harus menggeluti dunia dan realitas dengan penuh sikap kritis dan daya cipta,
harus mampu mengatasi situasi-situasi batas yang mengekangnya, tidak pasrah atau menyerah
pada situasi batas tersebut, merupakan penguasa atas dirinya dan karenanya fitrah manusia
adalah menjadi merdeka dan bebas. Perubahan kesadaran menjadi kritis ditunjukkan dengan
adanya perubahan struktur sosial dan budaya dalam masyarakat (Freire, 2007). Menurut
Friedmann, proses belajar sosial ditekankan pada dialog dan hubungan timbal balik individu-
individu, yang memadukan dua macam pengetahuan, yaitu pengetahuan pribadi dan
pengetahuan teoretis. Pengetahuan pribadi adalah pengetahuan mengenai kehidupan sehari-hari
yang sering tidak disadari telah dimiliki manusia. Proses mengadopsi pengetahuan pribadi pada
pengetahuan yang terolah dapat disebut sebagai belajar timbal balik, karena melibatkan orang-
orang dengan kemampuan dan keterampilan yang berbeda untuk bekerja sama dalam
menyelesaikan masalah bersama (Friedmann, 1981). Belajar timbal balik ini dipraktekkan
dalam pembangunan berbasis pemberdayaan masyarakat dengan pendekatan partisipatif tetapi
ternyata belum berhasil mempercepat proses belajar sosial pada komunitas adat di Papua.

2
Penggunaan pendekatan partisipatif dalam pembangunan berbasis pemberdayaan masyarakat
memberikan kesempatan komunitas adat membangun dengan kemampuannya sendiri, salah
satunya adalah menggunakan modal budaya yang mereka miliki. Menempatkan budaya dalam
perencanaan publik merupakan bagian penting dari upaya mencapai pembangunan
berkelanjutan (Throsby, 2001). Budaya merupakan modal penting dalam pembangunan
masyarakat, penggunaan modal budaya lokal dapat mempercepat proses pembelajaran sosial
dalam pembangunan di daerah, dan setiap program pembangunan berbasis masyarakat pada
masyarakat tradisional atau komunitas adat seharusnya ditekankan pada pemahaman budaya
lokal terlebih dahulu. Studi-studi yang ditujukan bagi kelompok masyarakat adat yang ada
sebenarnya cenderung berorientasi pada konsep budaya Eropa/Barat sehingga pemahaman
terhadap masyarakat adat harus dapat direfleksikan terlebih dahulu, karena jika tidak demikian,
akan membawa masyarakat adat ini pada penindasan karena hak asasinya diabaikan (Hart,
2010; Vallance, 2011). Akan tetapi penggunaan modal budaya dalam pembangunan merupakan
hal yang tidak mudah dipraktekkan karena budaya atau pengetahuan pribadi komunitas adat
seringkali masih belum teradopsi dalam pengetahuan modern (pembangunan). Pihak yang
paling mengetahui apa dan bagaimana modal budaya yang dimilikinya adalah komunitas adat
itu sendiri tetapi apabila kesadaran kritis komunitas tersebut belum tumbuh maka proses adopsi
modal budaya mereka dalam pembangunan tidak akan terjadi.

2. Tinjauan Pustaka
2.1 Pembangunan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat
Konsep pembangunan berbasis pemberdayaan masyarakat (community driven development)
merupakan pengembangan dari konsep pembangunan berbasis masyarakat (people centered
development) yang muncul sebagai reaksi atas konsep pendekatan pembangunan berdasarkan
pertumbuhan ekonomi. Pada abad 19 (masa industrialisasi), konsep pembangunan yang ada di
dunia berorientasi pada produksi yang maksimum (pertumbuhan ekonomi). Konsep ini tidak
membawa masyarakat banyak pada kesejahteraan tetapi malah memperlebar ketimpangan
ekonomi di antara mereka, khususnya di negara-negara yang sedang berkembang. Efek trickle
down yang diharapkan dari kawasan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi terhadap kawasan di
sekitarnya tidak terjadi. Yang terjadi justru adanya ketimpangan kesejahteraan antara daerah
pusat pertumbuhan ekonomi dan daerah pinggiran. Pada masa itu, perencanaan pembangunan
menganut sistem top-down, yang didominasi otoritas, di mana kapasitas dan kapabilitas
masyarakat dalam pengambilan keputusan dibatasi.

Diawali oleh pemikiran David C. Korten yang menyatakan pembangunan berbasis masyarakat
(people centered development) adalah melihat inisiatif kreatif masyarakat sebagai sumber daya
pembangunan utama dan melihat kesejahteraan mental dan spiritual masyarakat sebagai tujuan
yang ingin dicapai oleh proses pembangunan, selanjutnya konsep pembangunan tersebut
berkembang untuk mengisi kekurangan di mana pasar gagal memenuhi kepentingan sosial
masyarakat dan institusi politik atau pemerintah juga gagal untuk menjalankan mandatnya
dalam memenuhi kebutuhan dasar setiap warganya. Perspektif berbasis masyarakat ini
sebelumnya telah memperoleh legitimasi dengan adanya publikasi pada tahun 1974 oleh Bank
Dunia, yang merekomendasikan strategi pembangunan perdesaan difokuskan pada peningkatan
akses bagi petani kecil dan pekerja pemilik lahan, air, pasar kredit dan fasilitas lain, yang dapat
meningkatkan produktivitas mereka.

Tabel 1. Dua Paradigma Pembangunan


Dimensi Berbasis pada Produksi Berbasis pada Masyarakat
Logika Ekonomi produksi (eksploitasi & Ekologi manusia yang seimbang
manipulasi sumber daya alam)

3
Tujuan Pertumbuhan arus barang & jasa Pertumbuhan manusia (Peningkatan
(peningkatan jumlah & kualitas barang & potensi manusia)
jasa)
Sistem Konvensional (skala besar, spesialisasi, Swadaya (skala lokal, sistem ekologi
Ekonomi investasi, keunggulan komparatif, manusia, interdependensi teritorial)
interdependensi global)
Birokrasi Birokrasi besar (masyarakat Sistem swaorganisasi (satuan-satuan
diorganisasikan dlm sistem produksi yg organisasi berskala manusia &
efisien dg pengawasan terpusat) komunitas-komunitas swadaya)
Kriteria Memperhatikan kebutuhan sistem Memperhatikan kebutuhan masyarakat
produksi (efisiensi, memaksimalkan laju (nilai produk, partisipasi & mutu
kenaikan produktivitas sistem) kehidupan kerja)
Teknik Struktur formal, bentuk organisasi sistem Informal, bentuk organisasi swadaya;
Sosial komando; metode analisis keputusan peran individu dlm proses pembuatan
bebas nilai & positivistik; pengetahuan keputusan dg nilai manusiawi sbg
dikembangkan berdasarkan perspektif ukuran; pengetahuan dikembangkan
fungsional; sistem produksi didefinsikan berdasarkan perspektif teritorial;
secara fungsional; perangkat analisis pilihan2 produksi & prestasi didasarkan
tidak mempertimbangkan manusia & pd kerangka ekologi, yaitu melibatkan
lingkungan manusia & menempatkannya sbg
proses analisis
Proses Sentralistis; didominasi para ahli Desentralisasi; rakyat berhak
pembuatan (teknokrat); tidak konsultatif; kendali memasukkan nilai2 kebutuhan lokal
keputusan pada pejabat yg tdk menanggung akibat dlm proses pembuatan keputusan;
keputusan kendali pd rakyat yg hidupnya
dipengaruhi oleh keputusan itu
Sumber : Korten & Sjahrir, 1988

Karakteristik utama konsep pembangunan berbasis masyarakat adalah sebagai berikut (Soleh,
2014):
 Penekanan pada lokalitas baik dalam pengertian kelembagaan, komunitas, lingkungan
maupun kultur.
 Berimplikasi pada transformatif and transactive planning, bottom up, community
empowerment and participative.

Konsep pembangunan berbasis pemberdayaan masyarakat ini sebenarnya merupakan suatu


bentuk perencanaan sosial dengan tujuan melakukan perubahan sosial yang terencana, yaitu
perubahan sikap dan perilaku sosial masyarakat agar menjadi berdaya atau mampu melakukan
pembangunan di lingkungannya dengan usaha sendiri secara kolektif. Berbagai pendekatan
perencanaan pembangunan mendahului lahirnya pemikiran pendekatan atau strategi yang
sering digunakan dalam pembangunan berbasis pemberdayaan masyarakat tersebut, antara lain:
perencanaan komunikatif dari Habermas, perencanaan transaktif dari Friedmann, perencanaan
advokatif dari Davidoff, dan perencanaan kolaboratif dari Healey. Pendekatan-pendekatan
perencanaan tersebut muncul untuk menjawab kebutuhan perencanaan yang diperlukan oleh
berbagai lapisan masyarakat pada era pasca modernisasi/industrialisasi (postmodern planning).
Berbagai pendekatan atau strategi pembangunan berbasis pemberdayaan yang dikenal saat ini
antara lain pendekatan berbasis masyarakat (people centre approach) atau pendekatan
partisipatif (participatory approach), dapat dikatakan sebagai pendekatan perencanaan
pragmatik pasca modernisasi atau merupakan praktek dari teori-teori perencanaan komunikatif,
transaktif, advokatif, dan kolaboratif. Pendekatan partisipatif terbaru menekankan akan
pentingnya peran masyarakat sehingga para fasilitator pendamping masyarakat tersebut harus
berperan sedemikian rupa, misalnya antara lain tidak menggurui, agar segala sesuatunya yang

4
terkait dengan pembangunan harus berasal dari masyarakat itu sendiri (Kusnaka dan Hikmat,
2003). Peran yang sulit untuk dijalankan, khususnya pada komunitas adat, terlebih bila
mengingat masih terbatasnya pemahaman masyarakat tersebut akan pembangunan yang
umumnya bersifat modern.

Clearly, dkk (2003) menunjukkan berbagai pendekatan yang disebutnya sebagai pendekatan
berbasis masyarakat (people-centered approaches) yang dijalankan dalam program-program
pendukung penghidupan (Livelihood Support Programme) oleh FAO-PBB pada berbagai
wilayah dengan latar belakang budaya yang berbeda-beda. Pendekatan-pendekatan tersebut
adalah : Sustainable Livelihood Approaches (SLA), Gestion de Terroirs (GT), Integral Rural
Development (IRD), Farming System (FS), dan Latin America Approaches (LAA). Umumnya
pendekatan-pendekatan tersebut lebih menyerupai pendekatan partisipatif pada awal
perkembangannya.

Pendekatan-pendekatan lain sebagai strategi untuk melibatkan masyarakat atau yang dikenal
sebagai pendekatan partisipatif, yaitu (Hikmat, 2001): (1) Participatory Rural Appraisal (PRA),
(2) Participatory Research and Development (PRD), (3) Participatory Rapid Appraisal, (4)
Parcipatory Assessment and Planning (PAP), (5) Participatory Technologi Development (PTD),
(6) Participatory Learning Methods (PLM), (7) Participatory Action Research (PAR), & (8)
Participatory Learning and Action (PLA).

Perkembangan pendekatan partisipatif dimulai dengan metode RRA (Rapid Rural Appraisal),
yaitu suatu pendekatan pembangunan di daerah perdesaan dengan memahami suatu
permasalahan melalui wawancara mendalam atau menggunakan kuesioner semistruktural.
Sampel dalam pengambilan data kurang diperhatikan, lebih menekankan pada realitas sosial dan
ekonomi pada suatu masyarakat desa. Metode PRA, salah satu pengembangan dari pendekatan
partisipatif, merumuskan permasalahan yang dihadapi masyarakat dengan melakukan
identifikasi permasalahan, merumuskan masalah, mencari penyebab masalah, merumuskan
strategi pemecahan masalah dan menyusun rencana tindak secara bersama-sama lewat diskusi
kelompok (focus group discussion), daripada penggalian pendapat individu. Pada RRA, peneliti
merupakan orang luar sedangkan pada PRA, peneliti adalah bagian dari masyarakat atau
fasilitator (Hikmat, 2001).

Pengembangan lain dari pendekatan partisipatif adalah PAR, yang dianggap sepaham dengan
ajaran Paulo Freire tentang mengubah kesadaran masyarakat menjadi kritis, karena masyarakat
diasumsikan perlu terlebih dahulu dibantu dengan transfer ilmu pengetahuan terpilih dan teknik
unsur mengetahui bagaimana agar memiliki kapasitas menganalisis dan transformasi kebutuhan
nyata (Clearly, dkk, 2003).

Pendekatan lain Participatory Learning and Action (PLA) juga merupakan pengembangan dari
pendekatan-pendekatan partisipatif terdahulu yang tidak memiliki proses evaluasi yang
konsisten atas apa yang selama ini telah dilaksanakan. PLA menekankan proses refleksi yang
juga dilakukan oleh masyarakat sendiri sehingga metode ini memerlukan waktu yang lebih lama
dibandingkan dengan metode RRA dan PRA (Hikmat, 2001).

Berikut ini adalah beberapa karakteristik utama dari pendekatan partisipatif menurut Pretty.

Tabel 2. Metode Partisipatif sebagai Sistem Alternatif Pembelajaran dan Bertindak


Metode Grup & Tim Metode Sampel Wawancara & Dialog Metode Diagram &
dinamis Visualisasi

5
Tim Tenaga Kontrak Transect Walks Wawancara semi- Pemetaan &
Tim pengkaji & Urutan (ranking) struktur pemodelan
diskusi kesejahteraan Observasi langsung Pemetaan sosial &
Pedoman & checklist Pemetaan Sosial Grup fokus/inti tingkatan
wawancara Pemetaan wawancara Informan kunci kesejahteraan
Penulisan cepat Biografi & sejarah Transects
laporan etnis Pemetaan mobilitas
Memberi dorongan Sejarah lisan Kalender musim
semangat Studi kasus, potret, & Profil aktivitas &
Kerjasama (ambil cerita lokal rutinitas harian
bagian dalam aktivitas Profil sejarah
lokal) Analisis tren & time
Presentasi bersama line
Catatan harian Matriks Skoring
personal & catatan Urutan (ranking)
proses preferensi
Diagram Venn
Diagram Networking
Diagram Sistem
Diagram Alir
Diagram Pie

Sumber : Pretty, 1995.


Karena pemberdayaan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama maka keberhasilan
pemberdayaan sangat tergantung pada respon, keterlibatan dan tanggung jawab masyarakat
terhadap program-program pemberdayaan masyarakat, atau dengan kata lain pada tingkat
partisipasi masyarakatnya. Pemberdayaan masyarakat mensyarakatkan adanya kondisi-kondisi
sebagai berikut agar tercipta peran partisipatif seluruh masyarakat setempat (Dasgupta, 2007):
(a) adanya desentralisasi, (b) adanya demokrasi, dan (c) adanya tindakan kolektif.

Tingkat keberhasilan setiap program pembangunan berbasis pemberdayaan masyarakat yang


menggunakan pendekatan partisipatif akan tinggi pada kelompok masyarakat yang memiliki
tingkat partisipasi tinggi, memiliki kesetaraan di antara anggotanya, dan memiliki kompetensi
tinggi untuk berdialog. Umumnya masyarakat tradisional, khususnya komunitas adat, akan
berada pada tahapan/tingkatan partisipasi terendah jika melihat tingkatan partisipasi dari
Arnstein atau Pretty.

Arnstein (1969) memperkenalkan model ‘tangga partisipasi warga negara’, yang melihat tingkat
keterlibatan masyarakat dari tahapan partisipasi yang paling tinggi seperti kontrol oleh warga
negara sampai ke partisipasi semu seperti manipulasi. Diuraikan ada 8 tahapan partisipasi, yang
dibagi dalam 3 kelompok, yaitu :
1. Non Partisipasi (non participation), yang terdiri dari : (a) manipulasi (partisipasi yang
digerakkan oleh orang luar, masyarakat hanya menjadi obyek pembangunan), (b) terapi
(solusi atas masalah masyarakat diselesaikan oleh pihak luar).
2. Imbalan/Hadiah (Tokenism), yang terdiri dari : (a) informasi (ada penyampaian informasi
pada masyarakat tentang program yang sifatnya satu arah, (b) konsultasi (penyampaian
informasi pembangunan sudah bersifat dua arah antara masyarakat dengan pemerintah
walaupun masih terbatas), (c) penentraman/placation (melibatkan para wakil masyarakat
dalam program pembangunan tetapi keputusan tetap ada di tangan pemerintah).
3. Kedaulatan Rakyat (citizen power), yang terdiri dari : (a) kemitraan/partnership (masyarakat
dan pemerintah melakukan kerjasama secara sejajar), (b) pendelegasian (pemerintah
memberikan sebagian kepercayaan kepada masyarakat untuk mengambil keputusan), (c)

6
kedaulatan rakyat/citizen control (masyarakat sepenuhnya memiliki kontrol dan mengambil
keputusan secara mutlak).

Tabel 3. Tipologi Partisipasi Pretty


Tipologi Karakteristik
Partisipasi Masyarakat dianggap terwakili oleh pihak pengelola program, masyarakat
manipulatif tidak mempunyai kekuatan.
Partisipasi pasif Masyarakat tidak terlibat sejak awal perencanaan, hanya diberitahu
tentang adanya program. Informasi sepenuhnya menjadi milik kelompok
profesional.
Partisipasi Partsipasi ditunjukkan lewat konsultasi atau menjawab pertanyaan pihak
melalui pengelola program. Masyarakat tidak terlibat dalam perumusan masalah
konsultasi hingga pengambilan keputusan. Pihak pengelola program yang
merumuskan hinga membuat keputusan serta tidak berkewajiban untuk
melaksanakan aspirasi masyarakat.
Partisipasi karena Partisipasi ditunjukkan dengan menyumbangkan sumberdaya seperti
insentif material tenaga karena adanya imbalan makanan, uang atau bentuk insentif lain.
Petani misalnya menyediakan lahan dan tenaga tetapi tidak dilibatkan
dalam proses eksperimen dan pembelajaran. Partisipasi ini hilang begitu
insentif dihentikan.
Partisipasi Partisipasi merupakan cara untuk mencapai tujuan program. Masyarakat
fungsional berpartisipasi dengan membentuk kelompok untuk memenuhi tujuan yang
berkaitan dengan proyek, atau menginisiasi organisasi sosial dari luar.
Keterlibatan seperti ini cenderung tidak terjadi pada tahap awal siklus
proyek atau perencanaan tapi setelah keputusan besar dibuat, Untuk
mencapai tujuan program tergantung pada fasilitator dan orang luar,
walaupun mungkin nantinya bisa berubah menjadi mandiri.
Partisipasi Partispasi merupakan hak, bukan hanya cara untuk mencapai tujuan
interaktif program. Masyarakat terlibat mulai dari awal perencanaan pembangunan,
seperti penyusunan rencana kerja dan pembentukan organisasi lokal yang
baru atau memperkuat lembaga yang ada. Ada keterlibatan metodologi
antar disiplin ilmu yang berasal dari berbagai perspektif dan
mempergunakan proses pembelajaran sistematis dan terstruktur.
Kelompok ini mengambil kendali atas keputusan sehingga masyarakat
dapat mempertahankan struktur-struktur atau praktek-prakteknya.
Mobilisasi diri Masyarakat berpartisipasi dengan inisiatif tanpa bergantung pada lembaga
luar untuk mengubah sistem. Mereka mengembangkan kontak dengan
institusi luar untuk sumber daya dan saran-saran yang mereka perlukan
tapi tetap mempertahankan kontrol atas penggunaan sumber daya
tersebut. Tipe partisipasi ini dapat menyebar jika didukung oleh lembaga
pemerintah dan NGO.
Sumber : Pretty,1995
Hasil penelitian Sufianti (2014) menunjukkan bahwa adanya peran kepemimpinan tertentu dari
pemerintah dapat membuat suatu perencanaan kolaboratif berjalan efektif pada suatu kelompok
masyarakat di daerah perkotaan yang tidak memiliki kondisi ideal tersebut tadi. Apakah hal
yang sama dapat diterapkan pada kelompok masyarakat adat yang berada di daerah perdesaan
yang juga tidak memiliki kondisi ideal tadi? Hal ini masih perlu dikaji lebih lanjut.

Dalam prakteknya, pemberdayaan masyarakat ini melibatkan berbagai institusi seperti:


pemerintah (pusat atau lokal), lembaga masyarakat setempat (Community-based
Organizations/CBO), Non-Governmental Organizations (NGO), pihak swasta, dan sponsor
dana. Bank Dunia mengolongkan hubungan antar institusi tersebut ke dalam tiga kelompok
alternatif sebagai berikut (Dongier, dkk, 2001):

7
1. Hubungan kerjasama antara lembaga masyarakat lokal (CBO) dan pemerintah lokal.
2. Hubungan kerjasama antara lembaga masyarakat lokal (CBO) dan organisasi swasta
pendukung (NGO atau perusahaan swasta).
3. Hubungan kerjasama antara lembaga masyarakat lokal (CBO) dan pemerintah pusat atau
sumber dana.

Alternatif pertama (hubungan kerjasama antara CBO dan pemerintah lokal) lebih disukai jika
telah tercipta kondisi desentralisasi yang diinginkan. Pendekatan ini dapat memperkuat sistem
nasional dalam mentransfer sumber daya antar pemerintah, dan mengizinkan keputusan alokasi
sumber daya menjadi prioritas lokal. Pada situasi di mana desentralisasi bukan merupakan
prioritas pemerintah, maka pendekatan alternatif ke dua dan ke tiga akan lebih sesuai.

2.2. Perubahan Sosial Masyarakat


Perubahan sosial adalah perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu
masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-
sikap, dan pola-pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat (Soekanto,
1996). Perubahan sosial dalam masyarakat akan disertai proses reorganisasi dan disorganisasi.
Reorganisasi atau reintegrasi yang terjadi dalam masyarakat adalah proses pembentukan norma-
norma dan nilai-nilai yang baru agar sesuai dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang
mengalami perubahan. Disorganisasi atau disintegrasi adalah proses melemahnya norma-norma
atau nilai-nilai dalam masyarakat karena adanya perubahan tadi. Perwujudan disorganisasi yang
nyata adalah timbulnya masalah-masalah sosial (Soekanto, 1996).

Teori ketertinggalan budaya menyebutkan bahwa ketertinggalan yang paling jelas dalam
kehidupan manusia adalah ketertinggalan alam pikiran dengan perkembangan teknologi yang
sangat pesat, umumnya terjadi pada masyarakat-masyarakat tradisional yang sedang
berkembang (Ogburn, dalam Lauer, 2003). Jauhnya ketertinggalan ini diantisipasi dengan
program-program untuk mempercepat pembangunan yang pada akhirnya dapat menimbulkan
reaksi negatif dari komunitas adat akibat perubahan adat dan kebiasaan mereka yang terlalu
cepat. Reaksi negatif ini dapat ditunjukkan lewat rendahnya tingkat partisipasi masyarakat
tersebut dalam setiap program-program pembangunan modern.

Perubahan sosial pada masyarakat adat dapat terjadi akibat beberapa faktor internal dan
eksternal. Sebagai suatu konsep yang datangnya dari luar, pembangunan berbasis pemberdayaan
masyarakat, masuk dalam kategori faktor eksternal. Konsep ini dapat dianggap sebagai inovasi
sosial (social invention) pada komunitas adat agar secara bersama-sama dengan usaha sendiri
dapat melakukan pembangunan di lingkungannya, walaupun sebenarnya gerakan ini bukan
merupakan suatu hal yang baru sama sekali karena dalam beberapa kegiatan di lingkungannya,
komunitas adat sudah menjalankan gerakan kerja sama atau gotong royong. Hal yang masih
baru bagi masyarakat tersebut adalah pembangunan itu sendiri atau peradaban baru dengan
teknologi yang lebih maju. Perlu diingat kembali bahwa ada ketertinggalan yang jauh antara
budaya komunitas adat dengan peradaban baru dengan teknologi maju. Usaha untuk
mempercepat mengurangsi kesenjangan tersebut lewat program-program pembangunan dapat
menimbulkan disorganisasi (masalah-masalah sosial) dalam komunitas adat karena perubahan
cepat ini tidak dapat diikuti oleh mereka.

Diketahui ada beberapa pendekatan atau strategi untuk melakukan perubahan sosial masyarakat
lewat pembangunan, yaitu : strategi fasilitatif, strategi reedukatif, strategi persuasif, strategi
kekuasaan, dan strategi kekerasan versus non-kekerasan (Lauer, 1982; Harper, 1989, dalam
Martono, 2014). Kemudian Lauer (2003) menyebutkan strategi atau pendekatan untuk

8
mengubah perilaku dan sikap sosial masyarakat adalah sebagai berikut: pendekatan kekuasaan
terpusat (otoriter), pendekatan pendelegasian kekuasaan (elit), dan pendekatan pemerataan
kekuasaan (demokratis). Pendekatan partisipatif yang sering digunakan saat ini dapat
dikategorikan pada pendekatan demokratis tetapi pendekatan ini tidak dapat berlaku efektif
untuk semua kebudayaan. Menurut Lauer (2003), pendekatan otoriter lebih efektif pada
komunitas di tahap awal modernisasinya. Kemampuan adaptasi masing-masing komunitas
terhadap pembangunan berbasis pemberdayaan masyarakat akan berbeda-beda sesuai dengan
budaya atau peradabannya sehingga akan memerlukan pendekatan pembangunan yang berbeda
pula.

2.3. Komunitas Adat


Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara atau AMAN pada Kongres I tahun 1999,
komunitas adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun-
temurun) di wilayah geografis tertentu serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik,
budaya, sosial, dan wilayah sendiri (Siscawati, 2014). Adat merupakan merupakan wujud
gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan-aturan yang
satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem (KBBI, 1990). Budaya menurut Hofstede
(2005) adalah pola berpikir, merasakan, dan bertindak secara kolektif yang membedakan
anggota-anggota sebuah kelompok masyarakat dari kelompok lainnya. Budaya dipelajari dari
lingkungan sosial dan pengalaman hidup yang dikumpulkan. Budaya dimanifestasikan dalam
beberapa cara : simbol, kepahlawanan, ritual, dan nilai. Simbol, kepahlawanan, ritual disebut
sebagai praktek budaya, sedangkan nilai merupakan inti dari budaya.

Komunitas adat pada banyak negara sebenarnya telah hidup harmonis dengan lingkungan alam,
memiliki nilai-nilai ekologis dan mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar manusia
melalui struktur-struktur sosial, ekonomi dan politik yang secara hakiki berbasis masyarakat.
Pengembangan komunitas adat seharusnya dilihat sebagai suatu cara semua manusia dapat
belajar dari masyarakat yang telah mampu memelihara kaitan organik mereka dengan
lingkungan alam dan basis sosial mereka dalam masyarakat manusia, bukan sebagai suatu cara
yang harus dikerjakan untuk komunitas adat (Ife dan Tesoriero, 2008). Oleh karena itu,
pembangunan berbasis pemberdayaan masyarakat adat atau pembangunan berwawasan etnis
(etnodevelopment) dirasakan tepat untuk membangun kelompok masyarakat tersebut.
Pembangunan menurut konsep ini adalah membuat penduduk asli menjadi lebih tangguh
terhadap masyarakat di sekitarnya yang lebih dominan lewat program-program yang
memperhatikan kebudayaan mereka dan menghasilkan tingkatan otonomi ekonomi, sosial, dan
politik, membuat kelompok masyarakat ini dapat bekerja berdasarkan tingkat adaptasi mereka
sendiri, membentuk sintesis sosial, budaya, dan ekonomi mereka sendiri (Talalla, 1984, dalam
Mapadjantji, 2005).

Melihat kemajuan peradaban suatu komunitas adat dapat dilihat juga dari kemampuan
masyarakat tersebut berinteraksi dengan dunia luar (peradaban modern). Di Indonesia sendiri,
ada beberapa kategori komunitas adat, yang mempunyai tingkatan peradaban yang berbeda-
beda menurut ketentuan adat mereka dalam berinteraksi dengan pihak luar. Komunitas adat di
Indonesia dibagi dalam empat kelompok besar dengan karakteristik masing-masing sebagai
berikut (AMAN, dalam Kementerian PPN/BAPPENAS, 2013, hal.8-9):
1. Tipe komunitas adat ‘Kanekes’ di Banten dan ‘Kajang’ atau ‘To Kajang’ (Kajang Dalam) di
Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan, yang menempatkan diri sebagai ‘Pertapa Bumi’.
Mereka percaya bahwa mereka adalah kelompok masyarakat ‘terpilih’ yang bertugas
memelihara kelestarian bumi dengan berdoa dan hidup prihatin. Pilihan hidup prihatin
mereka dapat dilihat dari adat bertani, berpakaian, pola konsumsi, dan lain-lain.

9
2. Tipe komunitas adat ‘Kasepuhan Banten Kidul’ dan ‘Suku Naga’, yang berada di wilayah
Jawa Barat. Komunitas ini pada dasarnya cukup ketat dalam memelihara dan menerapkan
adat-istiadat, tetapi masih membuka ruang yang cukup luas bagi adanya hubungan-hubungan
komersil dengan dunia luar. Kelompok-kelompok masyarakat ini secara sosial memiliki
keunikan, terutama dalam hubungan dengan sumber-sumber agraria, dalam hal sistem nilai
yang dianut, mitos, serta asal-usul. Suku bangsa Sunda, misalnya, dapat dikategorikan
sebagai suatu suku bangsa yang cakupan geografis sebaran masyarakatnya mencakup
seluruh belahan Jawa Barat, masyarakatnya menggunakan bahasa Sunda, dan pada
umumnya memeluk agama Islam. Namun suku Naga dan Baduy, meski merupakan bagian
dari suku bangsa Sunda, jelas memiliki keunikan dari segi kepercayaan dan hubungan
dengan tanah dan sumberdaya alam sekitarnya bila dibandingkan dengan orang Sunda pada
umumnya. Bila Islam telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kebudayaan Sunda
umumnya, maka kepercayaan Suku Naga lebih menyerupai kepercayaan asli (Buhun) seperti
kepercayaan Marapu di Sumba, atau Kaharingan di Kalimantan.
3. Tipe komunitas adat yang hidup bergantung dari alam (hutan, sungai, laut, dan lain-lain),
mengembangkan sistem pengelolaan sumber daya alam yang unik, tetapi tidak
mengembangkan adat yang ketat untuk perumahan maupun pemilihan jenis tanaman jika
dibandingkan dengan komunitas adat Kanekes, To Kajang, maupun Kasepuhan. Masuk
dalam komunitas ketiga ini antara lain: Masyarakat Adat Dayak dan Penan di Kalimantan,
Masyarakat Adat Pakava dan Lindu di Sulawesi Tengah, Masyarakat Adat Dani dan
Deponsoro di Papua Barat, Masyarakat Adat Krui di Lampung, serta Masyarakat Adat
Haruku di Maluku.
4. Tipe komunitas adat yang sudah ‘tercerabut’ dari tatanan pengelolaan sumber daya alam
yang ‘asli’ sebagai akibat dari penjajahan yang telah berkembang selama ratusan tahun.
Termasuk dalam kategori kelompok ini adalah Masyarakat Adat Melayu Deli yang
bermukim di wilayah perkebunan tembakau di Sumatera Utara dan Betawi di Jabodetabek.
Mereka menyebut dirinya sebagai rakyat penunggu.

3. Pembangunan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat di Papua


Penduduk asli Papua dapat dikategorikan dalam tipe ke-tiga komunitas adat seperti yang sudah
disebutkan sebelumnya. Komunitas adat Papua masih hidup bergantung dari alam dan tidak
menutup diri melainkan terbuka bagi pengaruh dari luar. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, bahwa sejak tahun 2007, Papua memiliki program RESPEK untuk
memberdayakan penduduk asli Papua yang berada di kampung-kampung. Besaran dana
RESPEK adalah Rp 100.000.000,- per kampung setiap tahunnya. Dengan pendekatan
partisipatif, pemanfaatan dana tersebut untuk kegiatan pembangunan di sana ditentukan
sepenuhnya oleh penduduk kampung. Pada tahun 2008, pelaksanaan program PNPM RESPEK
di setiap kampung didampingi oleh fasilitator dan selain itu ada ketentuan-ketentuan yang
mengatur penggunaan dana RESPEK agar sasaran program dapat tercapai. Karena itu, tidak
setiap kegiatan yang diusulkan oleh penduduk kampung pasti dapat didanai oleh program
RESPEK, walaupun ide tersebut datangnya dari masyarakat itu sendiri. Hal ini dilakukan agar
adanya kejadian pembagian dana RESPEK oleh penduduk kampung yang kemudian dihabiskan
tanpa melakukan kegiatan pembangunan di sana tidak terulang kembali. Ada lima prioritas
kegiatan pembangunan yang didanai program RESPEK, yaitu: pemenuhan pangan dan gizi,
kesehatan, pendidikan, ekonomi lokal, dan infrastruktur kampung.

Tahapan pelaksanaan program sendiri terdiri dari lima tahapan (Sari dkk, 2011, hal. 19):
1. Sosialisasi program dan pemilihan PK (Pendamping Kampung) dan TPKK (Tim Pelaksana
Kegiatan Kampung), biasanya melalui musyawarah sosialisasi di tingkat distrik dan
kampung (MKS, Musyawarah Kampung Sosialisasi).

10
2. Pelatihan untuk PK dan TPKK yang diberikan oleh PD (Pendamping Distrik).
3. Perencanaan bersama masyarakat (PBM) untuk menemukan permasalahan berikut rangkaian
gagasan (usulan infrastruktur) yang datang dari masyarakat.
4. Persiapan pelaksanaan untuk menjalankan usulan yang disebut dengan Musyawarah
Kampung Persiapan Pelaksanaan (MKPP).
5. Pencairan dana dan pertanggungjawaban kegiatan, dimulai dari pencairan dana tahap 1,
dilanjutkan dengan Musyawarah Kampung Pertanggungjawaban I (MKP I), kemudian
pencairan tahap 2, dilanjutkan dengan MKP II dan diakhiri dengan Musyawarah Kampung
Serah Terima (MKST).

Berdasarkan data sekunder yang merupakan hasil kajian dari beberapa peneliti, beberapa tulisan
berikut ini akan menjelaskan secara umum bagaimana hasil pembangunan berbasis
pemberdayaan masyarakat yang telah dijalankan di Papua.

3.1. Pembangunan di Kabupaten Keerom


Hasil pembangunan di Kabupaten Keerom masih belum dirasakan oleh penduduk asli di sana
yang mayoritas berprofesi sebagai petani. Turua (2014) menyatakan bahwa kapasitas ekonomi
petani asli Kabupaten Keerom lebih rendah bila dibandingkan dengan petani pendatang akibat
masih dianutnya pola hidup tradisional (subsistensi). Kapasitas ekonomi petani saat ini hanya
mampu memenuhi sebagian kecil dari kebutuhan primer dan dalam hal pendidikan formal dan
non-formal serta sikap dan ketrampilan (kinerja) dalam bercocok tanam di wilayah ini masih
rendah dibanding petani non-Papua. Petani asli Papua belum sepenuhnya mengandalkan
aktivitas budidaya, dan masih melakukan aktivitas meramu dan berburu. Penggunaan luas lahan
oleh petani asli Papua asal Keerom masih sangat terbatas (rata-rata untuk tanaman pangan 0,42
ha, dan perkebunan 1,48 ha), sementara luas lahan yang dimiliki rata-rata lebih dari 12,86 ha.
Petani asli Papua asal Keerom masih intensif meramu potensi hutan dan berburu hewan liar.
Penggunaan teknologi pertanian oleh petani asli Papua masih sangat sederhana, tidak memiliki
modal untuk musim tanam berikutnya jika dibandingkan dengan petani non Papua. Faktor
budaya (modal sosial) sangat kuat sehingga berpengaruh negatif terhadap pendapatan dan
tabungan (Turua, 2014). Padahal kampung-kampung di Keerom telah menerima berbagai
bantuan program pembangunan, di antaranya program PNPM RESPEK dan program Bantuan
Keuangan Kepada Kampung (BK3) sejak tahun 2011 atau lebih dikenal dengan Bantuan Uang 1
Milyar tiap tahun untuk kampung (Wally, 2013). Pendekatan pembangunan yang dilaksanakan
di sana adalah pendekatan partisipatif dengan tahapan pelaksanaan program secara garis besar
adalah sebagai berikut (Wally, 2013, hal.123-141):
1. Persiapan Administrasi Pembahasan Program untuk membentuk keanggotaan Badan
Musyawarah Kampung selama 1 tahun, yang meliputi: Kepala Kampung, Sekretaris
Kampung, Ketua BAMUSKAM, Wakil Ketua BAMUSKAM, Sekretaris
BAMUSKAM, Anggota BAMUSKAM, Ketua RW, Ketua RT, Tokoh Adat, Tokoh
Agama, Tokoh Perempuan, dan Tokoh Pemuda.
2. Musyawarah Kampung (MUSKAM) Pembahasan dan Penyusunan Program BK3
3. Musyawarah Kampung (MUSKAM) Penetapan dan Pengesahan Kegiatan BK3
4. Musyawarah Kampung (MUSKAM) Penyerahan dan Pembagian Dana BK3
5. Implementasi Kegiatan dan Pembuatan Laporan Pertanggungjawaban

3.2. Pelaksanaan RESPEK di Papua


Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa implementasi program RESPEK di Distrik Yapen
Selatan, Kabupaten Kepulauan Yapen, Provinsi Papua, mengalami kegagalan dengan indikasi
yang dilihat dari rendahnya partisipasi dan kemandirian masyarakat dalam program
pembangunan infrastruktur dasar. Secara fisik program pembangunan terealisasi dengan baik di

11
sana, namun dari sisi sosialnya, masyarakat masih belum berdaya dan mandiri, antara lain dapat
dilihat dari adanya kasus warga meminta ganti rugi terhadap tanamannya yang terkena dampak
pembangunan (Semboari, 2012).

Selain itu, sebuah konsultan melaporkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat di kampung-
kampung penerima program PNPM RESPEK di Papua sejak tahun 2008 hingga 2011 masih
rendah. Rendahnya tingkat partisipasi masyarakat kampung dalam program PNPM RESPEK
antara lain akibat adanya dominasi kelompok elit kampung (Sari dkk, 2011). Di perkampungan
Papua terdapat beberapa golongan masyarakat dengan karakteristik sebagai berikut (Sari dkk,
2011, hal.33-34) :
- Kelompok elit kampung, yaitu kepala clan atau marga yang kuat dan sekaligus menjadi
kepala kampung. Jaringan kekeluargaan ‘diadopsi’ ke dalam struktur pemerintahan
kampung. Kelembagaan kampung umumnya terdiri dari pemerintah kampung (kepala
kampung memiliki pengaruh adat yang kuat) dan Bamuskam/Baperkam. Struktur
pemerintahan kampung di Papua yang terutama adalah kepala kampung yang merupakan
kepala suku dari marga yang terkuat. Bamuskam/Baperkam biasanya selain terdiri dari ketua
adat dari marga terkuat, juga dikombinasikan dengan dua atau tiga anggota dari marga
terkuat lainnya. Secara ekonomi, kalangan elit ini, termasuk di dalamnya kepala suku,
ditandai oleh akses dan kontrol terhadap sumber produksi (tanah, babi, ‘noken’, dan
perkampungan honai). Kelompok pemuka agama biasanya menjadi bagian dari kalangan elit
walaupun pengaruhnya terhadap politik desa tidak selalu kuat.
- Kelompok aktivis kampung, merupakan “orang-orang kebanyakan” yang memiliki jaringan
kekeluargaan dengan elit kampung, atau memiliki keahlian yang spesifik yang diperlukan
dalam sebuah program (misal: dapat berbahasa Indonesia, guru, PNS, bidan, suster) atau
karena kedudukannya dalam organisasi gereja atau pelayanan publik yang ada.
- Kelompok kebanyakan adalah kelompok orang-orang biasa, pada umumnya tidak memiliki
kontrol terhadap sumber kekuasaan seperti kepala suku atau kerabat kepala suku, tetapi tetap
memiliki akses untuk mengolah ladang, baik di marga terkuat atau di marga-marga biasa
(hirarki rendah). Termasuk dalam kalangan ini adalah warga dari suku lain di Papua yang
menikah dengan anggota marga di kampung tersebut.
- Kelompok miskin/marginal di Papua adalah kelompok yang tidak mampu mengolah lahan.
Ketidakmampuan mengolah lahan disebabkan oleh dua hal. Pertama disebabkan karena
faktor usia maupun fisik (sakit) dan juga kelompok janda. Kesulitan mereka akan bertambah
apabila mereka dianggap sebagai pendatang (misalnya menikah dengan marga asli atau tidak
berasal dari suku terkuat) dan memiliki tanggungan yang besar. Kedua, disebabkan karena
mereka tidak memiliki akses terhadap lahan karena mereka bukan anggota marga yang
memiliki lahan.

Di berbagai tempat, terutama di pegunungan atau daerah yang belum bercampur, perbedaan
kelas antar golongan masyarakat tidak terlalu tegas, terutama antara kelompok miskin dan
kelompok kebanyakan. Selain empat kelompok di atas, orang Papua di luar clan atau orang luar
dianggap tidak mempunyai hak untuk ikut menentukan. Kekuasaan sangat terpusat di kalangan
elit kampung dan kelompok di bawahnya tidak memiliki suara dan biasanya hanya mengikuti
kelompok elit. Berdasarkan kekuasaan elit, terdapat dua tipe konteks relasi elit di Papua.
Konteks pertama adalah kampung yang memiliki satu elit yang kuat. Biasanya hanya terdapat
satu clan yang kuat dan terjadi monopoli kekuasaan (contohnya: kepala kampung sekaligus
tetua marga terkuat). Kedua, adalah kampung yang memiliki lebih dari satu elit yang kuat, atau
terdiri dari dua atau lebih clan yang kuat. Dalam konteks ini biasanya terjadi perimbangan
kekuasaan (Sari dkk, 2011).

12
Dengan struktur sosial yang demikian, tingkat partisipasi anggota komunitas adat menjadi
rendah dalam setiap program pembangunan di kampungnya. Selain itu, diperkirakan rendahnya
tingkat partisipasi komunitas adat di sana dalam pembangunan dikarenakan faktor
ketertinggalan peradaban (perbedaan yang jauh antara budaya lokal dan teknologi). Dengan
karakteristik masyarakat yang berada pada awal modernisasi, pendekatan partisipatif dalam
program-program pembangunan dirasakan kurang efektif. Perilaku dan sikap demokratis belum
tumbuh di antara mereka karena adanya dominasi kelompok elit (dewan adat) dalam komunitas
tersebut sehingga pendekatan-pendekatan lain, seperti misalnya pendekatan otoriter atau
pendelegasian kekuasaan (elit), mungkin akan lebih efektif dalam menggerakkan pembangunan
di sana. Pada pendekatan partisipatif, keputusan yang diambil dalam setiap tahapan
pembangunan (mulai dari perencanaan hingga implementasi) akan dikuasai oleh kelompok elit
sehingga pembangunan yang ada mungkin tidak dapat memenuhi kebutuhan kelompok yang
paling marjinal di sana, lain halnya mungkin jika keputusan diambil pada tingkat
teknokratis/birokratis (setelah terlebih dahulu melakukan riset dengan melibatkan masyarakat)
dan pelaksanaannya diserahkan pada kelompok elit untuk menggerakkan anggota
komunitasnya.

3.3. Dampak Negatif Pembangunan di Papua


Faktor lain yang diperkirakan menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi komunitas adat Papua
dalam setiap program pembangunan adalah reaksi negatif terhadap pihak luar/pendatang dan
pemerintah, yang merupakan perwujudan dari proses disorganisasi yang masih berlangsung
hingga saat ini di sana. Perubahan-perubahan adat dan kebiasaan di Papua yang berlangsung
sangat cepat mendapat tanggapan negatif dari penduduk asli, seperti perasaan kurang puas,
sikap pasif, apatis, dan regresif, dan keyakinan bahwa suatu saat akan tiba masa yang lebih baik,
serta juga muncul sikap agresif dan destruktif (Koentjaraningrat dkk, 1994). Awalnya perasaan
tidak puas mereka tujukan pada Belanda yang dianggap sebagai penyebab terjadinya perubahan-
perubahan yang cepat dan membingungkan mereka (Kouwenhon, 1956, dalam Koentjaraningrat
dkk, 1994), kemudian ditujukan pada pemerintah Indonesia dan orang-orang Indonesia yang
berasal dari propinsi lain, pada saat Papua menjadi bagian dari Indonesia.

Munculnya reaksi negatif dari penduduk asli Papua ini dapat dipahami sebagai respon terhadap
perilaku dan sikap kelompok pendatang itu sendiri, yang memanfaatkan adanya kesenjangan
yang sangat jauh antara pengetahuan penduduk asli Papua dengan pengetahuan mereka. Para
pendatang tersebut pada kurun waktu 1963-1969, memanfaatkan perbedaan nilai Rupiah Irian
Barat (Papua) dan nilai Rupiah Indonesia untuk membeli barang-barang yang tersedia di Papua
untuk dijual ke daerah lain dengan keuntungan yang sangat besar. Selain itu kelompok
pendatang di sana melihat penduduk asli Papua sebagai orang yang primitif, bodoh, pemabuk,
pemalas, dan lain-lain. Sebaliknya, sikap para pendatang yang menganggap dirinya lebih
pandai, lebih beradab, dan sebagainya itu sering menjadi bahan tertawaan di antara penduduk
asli, yang menyebut mereka ‘amberi’ atau tak ramah. Perubahan-perubahan yang berlangsung
sangat cepat sehingga menghilangkan adat dan pola kebiasaan sehari-hari, oleh penduduk asli
dianggap merupakan akibat dari pembangunan dan telah menimbulkan reaksi agresif, antara
lain dalam bentuk pemberontakan-pemberontakan (Koentjaraningrat dkk, 1994, hal. 434-435),
hal yang masih berlangsung di Papua hingga saat ini.

Bersama Aceh, Papua menjadi kawasan yang paling bergejolak setelah adanya reformasi pada
tahun 1998. Kekecewaan yang mendalam terhadap perjalanan 35 tahun (1963-1998) menjadi
bagian dari Republik Indonesia menjadi penyebab gejolak tersebut (Djojosoekarto dkk, 2008).
Gejolak disintegrasi ini akibat kecewa terhadap pembangunan di Papua yang dinilai tidak
berhasil. Adanya UU No.21 Tahun 2001 yang memberikan otonomi khusus Papua dapat

13
meredam gejolak disintegrasi ini walaupun belum sepenuhnya karena selama pelaksanaan otsus
hingga saat ini masih saja terjadi gerakan-gerakan/demonstrasi dari penduduk asli Papua yang
antara lain: menolak otsus atau mengembalikan otsus kepada pemerintah pusat akibat kecewa
terhadap hasil-hasil pembangunan yang tidak juga mengangkat kesejahteraan penduduk asli
Papua (yang masih jauh bila dibandingkan dengan kelompok pendatang di Papua) dan bahkan
menuntut kemerdekaan Papua lepas dari NKRI.

4. Kesimpulan
Perubahan sosial yang diharapkan dari adanya pembangunan berbasis pemberdayaan pada
komunitas adat di Papua dengan menggunakan pendekatan partisipatif masih belum
terwujudkan. Pendekatan pembangunan dengan menggunakan pendekatan partisipatif dirasakan
kurang efektif untuk mendorong terjadinya perubahan sosial di sana, ditunjukkan oleh
rendahnya tingkat partisipasi komunitas adat dalam pembangunan dan belum adanya
peningkatan kesejahteraan mereka. Perlu diperhatikan bahwa perbedaan sosial dan budaya,
yang terkait dengan kemajuan peradaban, ikut menentukan tipe pendekatan pembangunan yang
paling efektif bagi suatu kelompok masyarakat adat.

Selain perlunya memperhatikan proses reorganisasi dalam kegiatan pembangunan yang


menghendaki adanya perubahan sosial, perlu juga diperhatikan proses disorganisasi sebagai
dampak dari pelaksanaan kegiatan tersebut, yaitu munculnya masalah-masalah sosial. Pada
komunitas adat Papua, perasaan kecewa dan tidak puas terhadap pihak pemerintah dan
pendatang masih ada dalam pemikiran mereka karena masih adanya kesenjangan kesejahteraan
antara penduduk asli dengan pendatang, yang walaupun sebenarnya juga diakibatkan oleh
ketidakmampuan mereka sendiri dalam mengikuti pembangunan yang berjalan cepat di sana.

5. Daftar Pustaka
Abidin, Dr. Yusuf Zainal, M.M., dan Drs. Beni Ahmad Saebeni, M.Si. (2013) Pengantar Sistem
Sosial Budaya di Indonesia. Bandung: CV Pustaka Setia.
Adimihardja, Prof.Dr.Kusnaka, M.A., dan Dr.Ir.Harry Hikmat, M.Si. (2003) Participatory
Research Appraisal dalam Pelaksanaan Pengabdian kepada Masyarakat. Bandung:
Humaniora Utama Press.
Adiyoso, Wignyo ( 2009) Menggugat Perencanaan Partisipatif Dalam Pemberdayaan
Masyarakat. Surabaya: ITS Press.
Amien, A.Mappadjantji (2005) Kemandirian Lokal, Konsepsi Pembangunan, Organisasi, dan
Pendidikan dari Perspektif Sains Baru. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Chambers, Robert (2001) PRA Participatory Rural Appraisal, Memahami Desa Secara
Partisipatif. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Cleary, Dervla, Pari Baunmann, Marta Bruno, Ximena Flores and Patrizio Warren (2003)
People-Centred Approaches, A Brief Literature Review and Comparison Types. LSP
Working Paper, FAO-UN.
Dasgupta, Aniruddha and Victoria A. Beard (2007) Community Driven Development,
Collective Action and Elite Capture in Indonesia, Community Driven Development in
Indonesia, World Bank, 229-249.
Djojosoekarto, Agung, Rudiarto Sumarwono, Cucu Suryaman (2008) Kinerja Otonomi Khusus
Papua. Jakarta: Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia.
Dongier, Philippe, dkk (2001) Community Driven Development. World Bank. Vol.1 - Core
Techniques and Cross-Cutting Issues, 303-327.
Freire, Paulo (2008) Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta: LP3ES, Jakarta.
Freire, Paulo (2007) Politik Pendidikan : Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

14
Friedmann, John (1981) Perencanaan Sebagai Proses Belajar. Dlm D.C. Korten & Sjahrir
(1988), Pembangunan Berdimensi Kerakyatan, hlm.250-257. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Friedmann, John (1992) Empowerment, The Politics of Alternative Development.
Massachussets: Blackwell Publisher.
Hart, Michael Anthony (2010) Indigenous Worldviews, Knowledge, and Research: The
Development of an Indigenous Reserch Paradigm. Journal of Indigenous Voices in
Social Work, Vol.1, Issue 1, 1-16.
Hikmat, Harry (2001) Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora Utama Press.
Hofstede, Geert H., 2005, Cultures and Organizations : Software of The Mind,
Ife, Jim, dan Frank Tesoriero (2008) Community Development : Alternatif Pengembangan
Masyarakat di Era Globalisasi, Edisi ke-3. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kementerian PPN/BAPPENAS (2013) Masyarakat Adat di Indonesia: Menuju Perlindungan
Sosial yang Inklusif. Jakarta: Direktorat Perlindungan dan Kesejahteraan Masyarakat,
Kementerian PPN/BAPPENAS.
Kementerian PPN/BAPPENAS (2015) Rencana Strategis Bidang Pemerintahan Desa.
Rakornas Program Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Pusat dan Daerah
Tahun 2015, Jakarta, Rabu/29 Juli 2015.
Koenjaraningrat (2015) Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Umum.
Koentjaraningrat dkk (1994) Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk. Jakarta: Djambatan.
Korten, D.C. & Sjahrir (1988) Pembangunan Berdimensi Kerakyatan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Kumar, Nalini, etc. (2003) Community-Driven Development A Study Methodology. Bank and
non Bank Participants Workshop, Washington D.C., July 29.
Lauer, Robert H. (2003) Perspektif Tentang Perubahan Sosial, Jakarta: Rineka Cipta.
Martono, Nanang (2014) Sosiologi Perubahan Sosial, Perspektif Klasik, Modern, Posmodern,
dan Poskolonial. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Pretty, Jules N. (1995) Participatory Learning For Sustainable Agriculture, World Development,
Vol.23, No.8, 1247-1263.
Sari, Yulia Indrawati, Harmein Rahman, dan Dewi Ratna Sjari Manaf ( 2011) Laporan Final
Evaluasi PNPM RESPEK: Infrastruktur Pedesaan dan Kapasitas Kelembagaan.
Bandung: Akatiga-Center for Social Analysis.
Semboari, Yakop (2012) Pemberdayaan Kampung Bidang Perumahan dan Infrastruktur Dasar
(Konteks Program Respek Papua), Studi di Distrik Yapen Selatan Kabupaten
Kepulauan Yapen di Papua, Tesis Program Studi Sosiologi, Universitas Gadjah Mada.
Siscawati, Mia (2014) Masyarakat Adat dan Perebutan Penguasaan Hutan, Wacana No.33
Tahun XVI, 3-23.
Soekanto, Soerjono (1996) Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: RajaGrafindo Perkasa.
Soetomo (2011) Pemberdayaan Masyarakat, Mungkinkah Muncul Antitesisnya? Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Soleh, Chabib (2014) Dialektika Pembangunan Dengan Pemberdayaan. Bandung:
Fokusmedia.
Suwarsono dan Alvin Y. So (2013) Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta: LP3ES.
Sztompka, Piotr (2010) Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada.
Sufianti, Elly (2014) Kepemimpinan dan Perencanaan Kolaboratif pada Masyarakat Non-
Kolaboratif. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol.25 No.1, 77-95.
Suharto, Edi, Ph.D. (2005) Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Kajian Strategis
Pembangunan Kesejahteraan Sosial & Pekerjaan Sosial. Bandung: Refika Aditama.
Throsby, David (2001) Economic and Culture. United Kingdom: Cambridge University Press.

15
Turua, Untung (2014) Model Pengembangan Kapasitas Ekonomi Petani Asli Papua Dalam
Pembangunan Wilayah di Kabupaten Keerom, Disertasi, Institut Pertanian Bogor.
Vallance, Roger J. (2008) Melanesian Research Ethics. DWU Research Journal Vol.8, 1-14.
Wally, Yusuf, SE., MM. (2013) Percepatan Pembangunan dan Kemandirian Kampung,
Memahami “Gagasan Gila’ Bantuan 1 Milyar Tiap Tahun Untuk Kampung Gaya YW
(Yusuf Wally). Yogyakarta: BPFE-UGM.

16
Nama Penulis : Yannice Luma Marnala Sitorus
Tempat Kerja : Universitas Sains dan Teknologi Jayapura
Status : Mahasiswa Prodi PWK S3, SAPPK-ITB
NIM : 35414003
Alamat : Jl. Setiabudhi 13/156 B, Bandung 40131
No.Telp./HP : 022-2030378 / 082199522572
e-mail address : nala_ustj2006@yahoo.co.id

17

Anda mungkin juga menyukai