Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebahagiaan dalam Islam adalah kebahagiaan autentik artinya lahir dan tumbuh dari nilai-nilai
hakiki Islam dan mewujud dalam diri seseorang hamba yang mampu menunjukkan sikap tobat
(melakukan introspeksi dan koreksi diri) untuk selalu berpegang pada nilai-nilai kebenaran
ilahiah, mensyukuri karunia Allah berupa nikmat iman, Islam, dan kehidupan, serta
menjunjung tinggi kejujuran, kebenaran, dan keadilan dalam menjalani kehidupan pribadi,
sosial, dan profesional. Pada sisi lain, kebahagiaan itu menjadi tidak lengkap jika tidak
mewujud dalam kehidupan konkret dengan jalan membahagiakan orang lain. Tak ada orang
yang ingin hidupnya tidak bahagia. Semua orang ingin bahagia. Namun hanya sedikit orang
yang mengerti arti kebahagiaan yang sesungguhnya. Hidup bahagia merupakan idaman setiap
orang, bahkan menjadi simbol keberhasilan sebuah kehidupan. Tidak sedikit manusia yang
mengorbankan segala-galanya untuk meraihnya. Menggantungkan cita-cita menjulang setinggi
langit dengan puncak tujuan tersebut, yaitu bagaimana meraih kebahagiaan hidup. Dan ini
menjadi cita-cita tertinggi setiap orang baik yang mukmin atau yang kafir kepada Allah.
Apabila kebahagiaan itu terletak pada harta benda yang bertumpuk-tumpuk, mereka telah
mengorbankan segala-galanya untuk meraihnya. Nyatanya, itu tak pernah diraih dan membuat
pengorbanannya sia-sia. Apabila kebahagiaan itu terletak pada ketinggian pangkat dan jabatan,
mereka juga telah siap mengorbankan apa saja demi memperoleh apa yang diinginkannya. Tapi
tetap saja kebahagiaan itu tidak pernah didapatkannya. Apabila kebahagiaan itu terletak pada
ketenaran nama, mereka telah berusaha untuk meraihnya dengan apapun juga dan mereka tidak
mendapati apa yang disebut kebahagiaan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.1 Pada umumnya, makna kebahagiaan bagi setiap individu berbeda-beda. Karena kebahagiaan
sering dipersepsikan sebagai ketercapaian atas sesuatu yang kita inginkan, kesuksesan atau
kesempurnaan. Bahagia adalah pilihan, keputusan yang lahir dari hati setiap manusia.
Bahagia bisa di maknai sebagai menyatunya berbagai perasaan positif sehingga
menumbuhkan ketentraman dan ketenangan hati, serta melahirkan kebermaknaan hidup.
Menurut Ibnul Qayyim al-Jauziyah, kebahagiaan itu adalah perasaan senang dan tenteram
karena hati sehat dan berfungsi dengan baik. Kebahagiaan dapat diraih kalau dekat dengan
pemilik kebahagiaan itu sendiri yaitu Allah SWT.

Setiap individu memiliki caranya sendiri untuk mengekspresikan kebahagiaannya. Ada yang
melampiaskannya dengan cara menangis terharu, tertawa, serta berbagi dengan yang lain.

Al-Ghazali menyebutkan bahwa bahagia terbagi menjadi dua, yaitu kebahagiaan hakiki dan
kebahagiaan majasi. Kebahagiaan hakiki adalah kebahagiaan ukhrawi, sedangkan
kebahagiaan majasi adalah kebahagiaan duniawi. Kebahagiaan ukhrawi bisa diperoleh dengan
modal iman, ilmu dan amal. Kebahagiaan ukhrowi bersifat abadi dan rohani. Kebahagiaan
duniawi adalah kebahagiaan yang fana dan tidak abadi. Kebahagiaan duniawi ada yang
melekat pada dirinya dan ada yang melekat pada manfaatnya. Di antara kebahagiaan duniawi
adalah memiliki harta, keluarga, kedudukan terhormat, dan keluarga yang mulia.

Kebahagiaan itu bukan karena bertumpuknya harta, melainkan takwa itulah yang membuat
bahagia. Takwa merupakan sebaik-baiknya perbekalan. Ada tiga perilaku yang mamu
mengantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagiaan, bak didunia maupun di akhirat.
Ketiga perilaku tersebut adalah apabila diberi dia bersyukur, apabila diuji dia bersabar, dan
apabila berdosa dia beristighfar atau bertobat. Ketiga hal inilah yang mengantarkan kepada
kebahagiaan. Kebahagiaan itu bukan dengan harta dan anak-anak. Bukan juga dengan
kepemimpinan dan kekuasaan. Bahagia juga bukan dengan memperturutkan syahwat.
Kebahagiaan yang hakiki adalah bertaksa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

2.1.2 Keluarga yang dibangun oleh rasa keimanan kepada Allah maka akan menjadi salah satu
sumber kebahagiaan, dimana selalu terciptanya ketenangan, ketentraman, penuh cinta, kasih
sayang, dan dapat menahan emosi masing-masing. Apabila terjadi suatu masalah maka, cukup
keluarga yang mengetahui hal tersebut dan segeralah berdiskusi untuk menyelesaikan konflik
dalam keluarga sehingga kerukunan tetap terjaga. Apabila salah satu anggota keluarga
melakukan kesalahan, maka anggota keluarga lain mengingatkannya bahwa yang
diperbuatnya adalah hal yang salah. Didalam keluarga harus saling terbuka dan saling berbagi
kasih sehingga menjadi keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Teruslah mengingat
Allah, maka kita sekeluarga akan terhindar dari konflik yang dapat menimbulkan perpecahan
dalam rumah tangga

2.1.3 Kejayaan dan keberhasilan kehidupan dunia dan akherat hanya terletak pada Agama. Setiap
orang mempunyai standard yang berbeda terhadap kesuksesan. Padahal standard kesuksesan
seseorang ini telah Allah tetapkan, namun kita tidak mampu memikirkannya. Allah telah
jadikan sahabat dan kehidupan mereka sebagai model untuk ditiru. Walaupun secara teknis
cara hidup mereka berbeda dengan kita sekarang. Kesuksesan itu hanya terjadi bila manusia
ini dapat memasuki surganya Allah.

Kesuksesan hidup di dunia adalah kehidupan yang dapat mengantar manusia ini ke surganya
Allah Ta’ala. Jika kehidupan yang kita jalani ini tidak dapat mengantar kita ke Surganya
Allah Ta’ala, maka ini bukanlah kehidupan yang sukses. Tetapi ini kehidupan yang akan
mendatangkan kecelekaan, penderitaan, dan kemalangan lahir dan bathin, dunia dan akherat.

Sahabat kehidupannya lapar berhari-hari sampai perutnya ditahan dengan batu, disiksa, baju
tambalan, rumah kecil, tetapi justru mereka yang dinyatakan telah sukses oleh Allah Ta’ala
dalam Al Qur’an. Sahabat dikejar-kejar musuh, meninggalkan keluarga, harta benda, dan
perdagangannya semua dilakukan demi kepentingan Agama. Inilah kehidupan orang-orang
yang telah Allah Ridhoi dan mereka Ridho kepada Allah.

Beda dengan musuh-musuh Allah :

1. Firaun dan Namrud hidup sebagai Raja yang besar pada jamannya

2. Qorun hidup sebagai pengusaha yang bergelimang harta

3. PM Hamman seorang perdana mentri yang sukses karir politiknya

4. Kaum Saba yang sukses dengan pertaniannya


5. Kaum Ad yang sukses dengan ilmu kesehatannya

6. Kaum Madyan yang sukses dengan perekonomiannya

7. Kaum Tsamud yang sukses dengan teknologi perumahannya.

Walaupun dari segi keduniaan mereka telah mencapai kejayaan dan kesuksesan tetapi mereka
ini menurut Allah adalah orang-orang yang gagal. Mereka ini adalah orang-orang yang Allah
hinakan di dunia dan di akherat. Ini karena mereka gagal mengikuti perintah Allah. Sahabat
walaupun keduniaannya jauh dari keduniaan dan kesuksesan kaum-kaum terdahulu, tetapi
mereka ini yang Allah telah nyatakan kesuksesannya.

Kekurangan pada diri kita bukanlah berarti kegagalan. Sahabat Amr bin Jamuh RA, ia adalah
seorang yang lemah dan cacat kakinya, tetapi ia telah sukses dunia dan akherat asbab
pengorbanan yang dia lakukan untuk agama. Sahabat faham betul mengenai pentingnya Iman
dan Amal. Bilal RA secara status ia adalah seorang budak sebelum masuk Islam, dan banyak
disiksa, tetapi setelah agama wujud dalam diri Bilal RA, langkah kakinya saja dapat didengar
oleh Nabi SAW di surga ketika Bilal RA masih hidup. Ini baru yang namanya sukses dan jaya
dunia dan akherat.

Sebelum mati seseorang tidak akan tau apakah ia seorang yang sukses atau tidak. Seseorang
akan mengetahui apakah dia telah sukses setelah dia mati. Saat ini setiap manusia harus
berusaha jika ingin sukses dunia dan akherat. Tanpa usaha atas Iman dan Amal maka manusia
akan celaka dunia dan akherat.

Orang yang tidak beriman, ia tidak akan tau cara mendapatkan kebahagiaan dan kesuksesan.
Tetapi orang yang beriman tidak boleh tidak tau cara mendapatkan kebahagiaan dan
kesuksesan ini. Allah telah berikan cara kepada orang beriman untuk mendapatkan
kebahagiaan dan kesuksesan dunia dan akherat. Zaman boleh berubah bahkan lebih maju,
namun cara untuk mendapatkan kebahagiaan tidak pernah berubah dari pertama manusia
diciptakan sampai manusia yang terkahir mati. Kalau ingin bahagia dari dulu hingga kini tetap
sama, yaitu hanya dengan cara mengikuti kemauan Allah.

Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam tidak dilahirkan di suatu kaum yang beradab dan
mempunyai kebudayaan yang tinggi seperti di China, Persia, atau di Romawi. Ini karena
Allah tidak letakkan kesuksesan dan kejayaan dalam peradaban. Dan Nabi Shalallahu ‘alaihi
wassalam tidak dilahirkan di zaman yang teknologi canggih seperti sekarang. Allah hanya
meletakkan kejayaan dan kesuksesan hanya dalam mentaati perintah-perintahNya. Di jaman
yang paling Jahil dan tidak beradab Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam dilahirkan, dan
membawa cahaya hidayah di tengah kegelapan dan kemasiatan. Sehingga apa yang
diusahakan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam membawa perubahan pada peradaban
dunia.

Rasullullah Shalallahu ‘alaihi wassalam ketika itu berdakwah sendirian dari pintu ke pintu.
Demi kerja dakwah ini beliau melewati banyak kesusahan dan penderitaan. Beliau dimusuhi,
diboikot keluarganya, dicaci maki, disakiti, namun ini tidak mengurangi kerja dakwah beliau.
Bahkan beliau ketika perintah Dakwah turun dari Allah, beliau katakan kepada istrinya bahwa
kini sudah tidak ada waktu lagi untuk istirahat. Beliau pergi pagi dengan pakaian yang bersih
lalu pulang sore dengan pakaian yang kotor. Rasullullah Shalallahu ‘alaihi wassalam faham
tentang pentingnya kerja agama ini. Bahkan sampai-sampai Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam
ditawarkan harta, jabatan, dan wanita oleh para petinggi Quraish untuk menghentikan kerja
dakwah ini. Mereka beranggapan bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam sudah keluar dari
cara hidup leluhur mereka. Tapi apa kata Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam, walaupun mereka
mampu memberikan bulan di tangan kanan dan matahari di tangan kirinya, maka itupun tidak
akan bisa menghentikannya dari kerja dakwah. Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam faham
bahwa kebahagiaan dan kesuksesan bukan datang dari kebendaan dan kekuasaan yang kita
miliki, tetapi dari menjalankan perintah-perintah Allah. Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam
telah menafikan semua kebendaan demi usaha dakwah ini, sementara kini kita telah
menafikan usaha dakwah ini demi kepentingan dunia.

Harta dan jabatan bukanlah standard ukuran keberhasilan dan kegagalan seseorang dalam
menjalani hidup ini. Keberhasilan dan kegagalan hidup hanya dapat dilihat dari sejauh mana
manusia menjalankan perintah-perintah dan sejauh mana manusia mewujudkan cara hidup
Rasullullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dalam kehidupannya. Seluruh kebendaan dan
kenikmatan dunia ini bukanlah tolak ukur kebahagiaan seseorang, tetapi 23 tahun kehidupan
kenabian inilah satu-satunya tolak ukur kebahagiaan yang telah Allah tetapkan. Inilah aturan
dan ketetapan yang Allah telah buat untuk manusia. Manusia kini sibuk bagaimana hidupnya
dapat mempunyai nilai, tetapi Allah telah jadikan kehidupan Nabi selama 24 jam sebagai
tolak ukur nilai kehidupan. Cara hidup selain yang dicontohkan Nabi Shalallahu ‘alaihi
wassalam, tidak ada nilainya disisi Allah. Hanya apa yang dicontohkan oleh Nabi Shalallahu
‘alaihi wassalam yang bernilai disisi Allah.

Seluruh kehidupan Rasullullah Shalallahu ‘alaihi wassalam selama 24 jam dapat di ikuti dan
di ketahui. Tidak ada yang tersembunyi dari kehidupan Rasullullah Shalallahu ‘alaihi
wassalam, semuanya dapat diketahui oleh semua sahabatnya sebagai pengajaran dan contoh
untuk semua manusia. Seluruh anggota tubuh ini telah Allah berikan informasinya bagaimana
menggunakannya dan untuk apa digunakan. Semuanya telah diberikan oleh Nabi Shalallahu
‘alaihi wassalam, cara dan standard penggunaan anggota tubuh ini sehingga dapat
mendatangkan nilai disisi Allah. Segala aktifitas yang dilakukan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi
wassalam walaupun itu cara berjalannya Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam telah dihitung oleh
Allah Ta’ala sebagai amal sholeh.

Dalam mencapai kebahagiaan dan kesuksesan dunia dan akherat, kita tidak perlu ilmu lain,
selain yang telah diajarkan dan dicontohkan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam. Ilmu-ilmu
selain dari yang diajarkan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam, hanya keperluan saja, bukanlah
tujuan yang sebenarnya. Orang yang yakin akan bahagia dengan ilmu-ilmu selain yang telah
diajarkan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam, inilah mereka yang tertipu oleh dunia. Ilmu yang
diajarkan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam adalah ilmu yang bisa membawa manusia kepada
Allah dan Surganya. Selain Ilmu yang diajarkan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam ini bisa
menjadi jebakan setan agar manusia cinta dunia dan segala perhiasannya sehingga
meninggalkan Allah dan akheratnya. Dimata Allah tanpa Iman dan amal, dunia dan segala
isinya tidak ada nilainya, walaupun hanya sebelah sayap nyamuk. Ilmu Dunia yang bernilai
disisi Allah adalah yang digunakan untuk kepentingan agama dan Dakwah. Seperti menjadi
dokter untuk dakwah dikalangan dokter, menjadi polisi untuk dakwah dikalangan polisi,
menjadi pedagang untuk berdakwah dikalangan pedagang, dan lain-lain.

Saat ini manusia mengira mereka dapat menghasilkan sesuatu dengan jerih payah mereka.
Mereka kira rizki akan bertambah asbab ilmu dan usaha mereka yang meningkat pula. Mereka
menyangka seluruh kebendaan dan status yang mereka miliki adalah hasil dari pengorbanan
dan usaha mereka. Seperti Qorun, seorang pedagang yang kaya raya, ketika ditagih untuk
bayar zakat dia tidak mau. Musa ‘alaihissalam berkata bahwa seluruh kebendaan yang dia
miliki semuanya datang dari Allah dan milik Allah. Qorun malah menentangnya dengan
berkata, “Ini adalah hasil dari jerih payah saya dan karena kecerdasan saya.” Hari inipun jika
kita melihat seseorang bertengkar karena harta maka jawaban seperti inilah yang keluar dari
mereka.

Sahabat dahulu tidak meletakkan yakinnya pada asbab-asbab seperti kebendaan, perdagangan,
dan status yang mereka miliki. Tetapi sahabat meletakkan yakinnya pada Allah Ta’ala, sebagai
Rabbul Asbab bukan pada asbabnya. Allahlah yang memberi keuntungan bukan perdagangan.
Hari ini yakin kita telah keliru, kita yakinnya pada toko kita, perdagangan kita, kantor kita,
yang memberi kita hidup, tanpa itu bagaimana kita bisa hidup. Sehingga ketika kita diminta
untuk berkorban di jalan Allah sulit sekali bagi kita untuk dapat meninggalkannya. Berbeda
dengan sahabat, walaupun ketika sedang panen usaha mereka, namun ketika panggilan agama
datang mereka langsung tinggalkan semua itu. Ini karena yakin mereka sudah benar. Kita lupa
dengan toko yang sama, usaha yang sama, kantor yang sama, perdagangan yang sama,
seseorang dapat Allah buat bangkrut dan celaka dunia dan akherat.

Keyakinan sahabat kepada Allah ini telah membuat mereka mampu menafikan segala hal
yang mereka miliki. Sehingga keyakinan mereka ini dapat mendatangkan Qudratullah dalam
kehidupan mereka. Seperti berjalan diatas air, menghalau lahar api kembali ke lubangnya,
memerintahkan sungai nil, menghentikan gempa, mendatangkan hujan, menghidupkan
keledai mati, dan menjewer singa, ini semua perkara yang biasa bagi sahabat. Do’a mereka
sangat Ijabah sehingga mampu mendatangkan Qudratullah dan Nusratullah, ini karena level
Iman dan Amal yang sampai di tingkat yang Allah mau. Bagaimana cara meningkatkan Iman
sampai ke level para sahabat. Ini hanya bisa dilakukan jika ada usaha atas Iman dan Amal
yaitu dengan menjalankan Usaha Dakwahnya Nabi. Umat turun imannya karena
meninggalkan kerja ini. Sahabat korbankan harta, keluarga, dan diri, seluruhnya untuk usaha
ini. Sehingga karena ini Allah berikan kesuksesan pada mereka di dunia dan di akherat. Jika
kita berbuat seperti Sahabat maka Allah akan berikan kita kesuksesan yang sama.

Jika kita sudah bisa meninggalkan hal-hal yang kita cintai untuk keluar di jalan Allah, barulah
Allah akan berikan kita kesuksesan dan kefahaman agama seperti para sahabat. Setiap orang
tidak akan sama tingkat kesuksesan dan kefahamannya karena ini tergantung pada
pengorbanan setiap orang. Inilah cara Allah mendistribusikan kebahagiaan dan kesuksesan,
tergantung pada Do’a dan pengorbanan kita yang sungguh-sungguh atas agama Allah.

Jangan takut atas perkara Rizki karena semua itu telah Allah atur dan Allah mempunyai
caraNya sendiri dalam menyalurkan rizki itu. Tidak ada hubungannya antara rizki dan usaha
kita. Seperti kisah 2 orang murid lulus dari universitas dengan gelar dan nilai yang sama.
Tetapi setelah lulus yang satu mendapat kerja dengan gaji yang tinggi dan yang satu
pengangguran tidak ada penghasilan apa-apa. Jadi semuanya telah diatur Allah, gelar kita
tidak dapat menjamin apa-apa selain apa yang Allah telah tetapkan. Inilah bukti bahwa
keduniaan yang kita miliki tidak bisa menjamin rizki yang telah ditetapkan oleh Allah.
Apakah mereka kedua-duanya bisa bahagia, tentu bisa asal mereka mau taat pada perintah
Allah. Jika yang berpenghasilan tinggi dia tidak taat dan yang pengangguran dia bisa taat pada
perintah Allah, maka yang berpengangguranlah yang akan bahagia dan Allah berikan
kesuksesan dunia dan akherat. Karena tolak ukur kesuksesan dan kebahagiaan ini hanya pada
ketaatan terhadap perintah-perintah Allah saja. Kebahagiaan akan datang kepada mereka
yang mau taat pada perintah-perintah Allah, walaupun dia tidak punya gelar dan penghasilan
apapun. Dan ini dapat dimulai dari keyakinan di hati terhadap agama.

2.1.4 Indikator tersebut adalah “dapat merasakan manisnya iman”.

“Indikasi manusia bahagia itu adalah rezekinya dapat membantu seseorang untuk
mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’alla, meskipun kaya, ia tidak berorientasi
kepada dunia tetapi berorientasi terhadap kehidupan masa depan dan akhirat, semangat
dalam beribadah, tidak banyak berbicara dalam hal-hal yang tidak berguna, menjaga
kewajiban sholat, bersifat warak yakni hati-hati dalam memanfaatkan sumber kehidupan
agar tidak terjerumus kepada yang syubhat apalagi yang haram, bergaul dengan orang-orang
saleh, bersikap tawadukdan tidak sombong, bersikap dermawan dan tidak sebaliknya yaitu
pelit, bermanfaat untuk umat manusia yang lain, dan tidak pernah lupa terhadap kematian.”

Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari, tidak semua orang dapat merasakan
manisnya iman. Ia hanya dapat dirasakan oleh orang-orang yang sehat. Rasulullah SAW
bersabda:
Dari Anas, dari Nabi SAW beliau bersabda: "Tiga hal, barangsiapa memilikinya maka ia
akan merasakan manisnya iman. (yaitu) menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari
selainnya, mencintai seseorang semata-mata karena Allah, dan benci kembali kepada
kekufuran sebagaimana bencinya ia jika dilempar ke dalam api neraka." (H.R. Bukhari)

Dalam Hadit tersebut dipakai istilah halawatul iimaan (manisnya iman). Dalam ilmu
balaghah, istilah seperti ini disebut isti,arah takhyiliyah yaitu majas atau kiasan yang
dibangun dari tasybih (penyerupaan) imajinasi. Manisnya iman juga diibaratkan sebagai
pohon yang menghasilkan buah manis dan dapat dirasakan oleh seorang manusia. Tentu saja
untuk dapat menghasilkan buah yang manis, pohon tersebut harus mempunyai akar yang kuat
agar pohonnya kokoh. Jadi ia tidak mudah dirasakan oleh setiap orang.

Sebagian ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan manisnya iman adalah ketika
seseorang dapat merasakan indahnya ketaatan, dapat bertahan menghadapi rintangan dalam
menggapai ridha Allah, mengutamakan ridho-Nya daripada kesenangan dunia, dan dapat
merasakan indahnya mencintai Allah dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya. Manusia akan merasakan kebahagiaan terbesar apabila mengerti apa itu cinta
yang sebenarnya. Oleh karena itu, manisnya iman menjadi buah yang dirasakan seorang
mikmin ketika ia mencintai Allah dan Rasulullah melebihi apapun.

Jika kecintaan kepada Allah adalah yang utama dan tidak boleh terkalahkan dari apapun,
demikian pula dengan Rasulullah sebagai manusia yang paling dicintai, bukan berati kitak
tidak diperbolehkan mencintai sesama. Mencintai sesama seperti orang tua, anak, saudara,
sahabat, dan sesama mukmin juga dapat berperan dalam merasakan manisnya iman apabila
dilakuan hanya karena Allah semata.

Apabila dua hal pertama yang dapat membuat seorang mukmin dapat merasakan
manisnya iman, hal yang ketiga adalah membenci. Membenci di sini ialah membenci
kekufuran. Rasulullah SAW selalu mengingatkan para sahabat agar jangan sampai kembali
kepada kejahiliyahan, meskipun hanya sebagian sifatnya. Rasulullah SAW bersabda:

“Dan benci kembali kepada kekufuran setelah diselamatkan Allah, sebagaimana


kebenciannya itu dilempar di dalam api neraka” (H.R. Muslim).
Beberapa contoh seorang mukmin yang dapat merasakan manisnya iman di zaman
Rasulullah, yaitu:

1. Bilal sanggup menahan panasnya pasir dan terik matahari, beratnya batu yang menindihnya,
serta hinaan menyakitkan Umayyah dan kawan-kawannya. Dalam kondii demikian, bilal tetap
melantunkan manisnya iman melalui lisannya: “ahad, ahad,...”
2. Khabab bin al-Art seakan tidak merasakan luka-luka yang menganga ditubuhnya ketikan
disalib. Maka apabila diminta pendapatnya jika Rasulullah yang emnggantikannya, ia
menjawab: “Bahkan aku tak rela jika kaki Rasulullah tertusuk duri”
3. Sahabat-sahabat Anshar rela pulang dengan tangan kosong tanpa ghanimah dalam perang
Hunain. Isak tangis mengharu biru ketika mereka tersadar bahwa Rasulullah hendak
meneguhkan Islam para muallaf Mekah, sedangkan mereka membawa pulang Rasulullah
tanpa membawa pulang unta dan kabing.
4. Suku Aus dan Khazraj yang semula bermusuhan menjadi bersaudara di bawah satu bendera
Anshar. Lalu Kaum Muhajirin dan Anshar yang belum pernah berjumpa dan tidak saling
mengenal menjadi saling berbagi dalam perjuangan Islam.

Pada dasarnya, bahagia didefinisikan secara umum sebagai perasaan senang dalam
menjalani kehidupan. Biasanya, gambaran secara umum orang yang bahagia adalah apabila
memilki harta yang melimpah ruah, memiliki anak yang pandai secara akademis, populer, dan
sebagainya. Dalam islam, bahagia memiliki definisi lain. Arti bahagia menurut Islam adalah
perasaan tenang yang ada dalam setiap pemeluk agama Islam karena memiliki Allah
Subhanahu wa Ta’alla sebagai tujuan hidupnya, selalu merasa memilki Allah dalam setiap
kegiatan dalam hidupnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’alla dalam Al
Qur’an Surah Al Fath ayat 4 :

“Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin


supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada).
Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.“

Sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, Ibnu Abbas ra mendefinisikan kebahagiaan


hidup itu ada tujuh tanda:

1. Qalbun syakir (hati yang selalu bersyukur), yaitu selalu menerima apa adanya dengan
cukup (qonaah), sehingga tidak akan mudah stress.

2. Al-Azwajush shalihah (pasangan hidup yang saleh/saleha), memiliki pasangan hidup


yang saleh/saleha akan menciptakan suasana keluarga yang sakinah.

3. Al-auladul abrar (anak yang saleh/saleha), doa anak yang saleh dan saleha kepada
orangtuanya dijamin akan dikabulkan oleh Allah SWT.

4. Al-Baitush shalihah (lingkungan yang kondusif untuk iman kita), bergaullah dengan
orang-orang saleh yang selalu mengajak pada kebaikan dan mengingatkan bila kita salah.

5. Al-Malul halal (harta yang halal), harta yang halal akan menjauhkan setan dari diri
kita, sehingga akan memberikan ketenangan dalam hidup.

6. Tafaquh fid-din (semangat untuk memahami agama), belajar ilmu agama akan
membuat kita semakin mencintai Allah dan Rasulullah saw. cinta inilah yang akan memberi
cahaya bagi hati kita.

7. Umur yang barokah. Umur semakin tua, harusnya semakin saleh. Setiap detiknya
diisi dengan ibadah. Inilah semangat hidup orang-orang yang berkah umurnya.

Kebahagiaan itu ada pada perbuatan baik, Allah telah berjanji, barangsiapa berbuat baik
dan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan hidup dengan kehidupan yang baik
di dunia. Dan Allah akan membalas segala perbuatan baiknya di dunia dengan balasan yang
berlipat ganda di akhirat. Allah swt berfirman

“Siapa saja yang beriman dengan benar dan beramal shalih dengan penuh keimanan, baik
laki-laki atau perempuan. Kami pasti akan memberikan kehidupan yang baik kepadanya.
Kami akan memberi balasan kepada meeka dengan pahala yang lebih baik daripada amal
shalih mereka.” (QS An-Nahl[16])

Allah Swt berfirman, ketika hari itu datang, tidak seorang pun yang berbicara, kecuali
dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang sengsara dan ada yang yang berbahagia.
Maka adapun orang-orang yang sengsara, maka tempatnya di neraka, disana mereka
mengeluarkan dan menarik nafas dengan merintih, mereka kekal di dalamnya selama ada
langit dan bumi akhirat masih ada, kecuali orang-orang yang telah selesai menjalani adzab
neraka sesuai kehendak Tuhanmu. Sungguh apapun kehendak Tuhan-Mu pasti terlaksana
dengan sempurna. Dan adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga;
mereka kekal di dalamnya selama langit dan bumi akhirat masih ada. Tetapi ada orang yang
telah selesai menjalani adzab neraka kemudian masuk surga sesuai kehendak Tuhanmu.
Sungguh apapun kehendak Tuhan-Mu pasti terlaksana dengan sempurna Qs. Huud [11]” 105-
108)

Sebenarnya, walaupun orang yang berpaling dari peringatan Allah itu hidup dalam
berbagai kenikmatan di dunia, namum sebenarnya ia hidup dengan hati yang penuh
kegeliasahan, kehinaan dan kerugian, akibat kecenderungan fatamorgana, dan bayangan
adzab yang akan menimpa meeka. Namun, itu semua tertutup oleh gelombang syahwat dan
mabuk cinta dunia atau jabatan, walaupun mereka tidak mabuk minuman keras masih
membuka peluang pelakunya untuk sadar, sedangkan mabuk karena hawa nafsu dan cinta
dunia tidak akan menyadarkan pelakunya kecuali ketika ia sudah bearda di ambang
kematian. Kehidupan yang terasa sempit akan dirasakan oleh orang yang menghindar
datangnya peringatan Allah, yang telah diturunkan melalui Rasululllah Shalallahu ‘alaihi
wassalam bagi kepentingan duniawinya, alam kuburnya dan hari kiamatnya.
BAB III
KESIMPULAN

Tujuan hidup manusia adalah sejahtera di dunia dan bahagia diakhirat. Dengan kata lain,dapat
disebutkan bahagia di dunia dan bahagia diakhirat. Kebahagiaan yang diimpikan adalah
kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Untuk menggapai kebahagiaan termaksud mustahil
tanpa landasan agama. Agama dimaksud adalah agama tauḫīdullāh. Kebahagiaan dalam Islam
adalah kebahagiaan autentik artinya lahir dan tumbuh dari nilai-nilai hakiki Islam dan mewujud
dalam diri seseorang hamba yang mampu menunjukkan sikap tobat (melakukan introspeksi dan
koreksi diri) untuk selalu berpegang pada nilai-nilai kebenaran ilahiah, mensyukuri karunia
Allah berupa nikmat iman, Islam, dan kehidupan, serta menjunjung tinggi kejujuran, kebenaran,
dan keadilan dalam menjalani kehidupan pribadi, sosial, dan profesional.

Anda mungkin juga menyukai