Anda di halaman 1dari 9

AIR BERSIH DAN SANITASI LAYAK

Indonesia Urban Water, Sanitation, and Hygiene (IUWASH) atau Program Air, Sanitasi
dan Kebersihan Perkotaan Indonesia adalah proyek yang didanai U.S. Agency for International
Development (USAID) atau Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat. IUWASH
bertujuan mengembangkan akses layanan air dan sanitasi untuk masyarakat, termasuk
masyarakat berpenghasilan rendah di perkotaan Indonesia. Di Jawa Timur, IUWASH bekerja di
12 kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Gresik, Kabupaten Jombang, Kabupaten Lamongan,
Kabupaten Malang, Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Sidoarjo, Kota
Surabaya, Kota Mojokerto , Kota Probolinggo, Kota Malang dan Kota Batu.

Permukiman padat: 13 persen rumah tangga memakai air perpipaan dan 55 persen
memanfaatkan sumur bor/ pompa
Jawa Timur adalah provinsi dengan penduduk terpadat kedua di Indonesia, yaitu 37 juta
penduduk. Meningkatnya jumlah masyarakat miskin kota yang tidak memiliki lahan mendorong
munculnya permukiman padat. Pola peningkatan permukiman padat di Jawa Timur berdampak
serius pada kualitas air permukaan dan air tanah karena volume air limbah dan pembuangan
sampah yang tidak terkendali. PDAM Surabaya menjalankan proyek Global Partnership on
Output-Based Aid (GPOBA) Water for the Poor, sementara beberapa kabupaten/kota lain
melaksanakan Program Hibah Air dari pemerintah pusat. IUWASH akan berkoordinasi erat
dengan berbagai program yang ada di Jawa Timur. Mengenai akses terhadap air minum, Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas 2010) tentang air minum mencatat, di Jawa Timur, ada 13,3 persen
rumah tangga yang menggunakan air perpipaan PDAM sebagai sumber air minum dan sejumlah
2,1 persen rumah tangga membeli air perpipaan sebagai sumber air minum. Di sisi lain, ada 55
persen rumah tangga yang memanfaatkan sumur bor/pompa, sumur gali baik yang terlindungi
maupun tidak sebagai sumber air minum. Mengenai kualitas air minum, meski 93,8 persen
menyatakan kualitas fisik air minumnya baik, namun 11,6 persen rumah tangga di Jawa Timur
memiliki air dengan kualitas yang tidak baik, mulai dari keruh, berwarna, berasa, berbusa, atau
berbau.
Cakupan fasilitas sanitasi rendah: 39,4 persen rumah tangga menjadikan lahan terbuka
sebagai tempat pembuangan tinja
Rendahnya prioritas pembangunan sektor sanitasi, dari kebijakan dan peraturan hingga
cakupan layanan fasilitas menjadi kendala utama bagi peningkatan akses sanitasi bagi
masyarakat. Masih buruknya kondisi umum dari sistem air minum dan sanitasi di Indonesia
berdampak pada masalah tingkat kesehatan masyarakat. Jika dikaitkan dengan target Millennium
Development Goals, sebesar 45,7 persen rumah tangga di Jawa Timur tidak mengakses
pembuangan tinja yang layak. Meskipun persentase rumah tangga yang melakukan Buang Air
Besar Sembarangan (BABS) di Jawa Timur sedikit lebih tinggi dari angka persentase nasional,
yaitu 19,9 persen, namun sebanyak 39,4 persen rumah tangga di provinsi ini masih menjadikan
berbagai lahan terbuka sebagai tempat pembuangan tinja, antara lain kolam atau sawah, sungai
atau danau, lubang tanah, pantai atau kebun. Untuk sektor sanitasi, IUWASH akan mendukung
pemerintah daerah menyusun Strategi Sanitasi Kota (SSK) dan dokumen lain terkait SSK bagi
kabupaten/kota yang belum didampingi Pemerintah Pusat, pembuatan fasilitas Sanitasi Berbasis
Masyarakat melalui Program Hibah dan pengembangan kapasitas bagi masyarakat untuk
melaksanakan Stop Buang Air Besar Sembarangan (Stop BABS atau Open Defecation Free).
Mendukung pemerintah daerah meningkatkan layanan dan akses air minum dan sanitasi
Di Jawa Timur, IUWASH akan bekerja dengan pemerintah pusat, provinsi dan
kabupaten/kota, juga berbagai donor dan program pembangunan, dengan titik berat pada
menciptakan kebutuhan masyarakat akan layanan dan akses air minum dan sanitasi. Hal ini
dilakukan dengan berbagai bentuk bantuan teknis yang meliputi kegiatan bagi peningkatan
kebutuhan terhadap pelayanan air dan sanitasi di kalangan masyarakat, misalnya mendukung
penyelenggaraan Program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) dan pengembangan akses
sanitasi berbasis masyarakat. IUWASH juga membantu meningkatkan kapasitas lembaga yang
memberikan pelayanan air, seperti PDAM dan dinas-dinas terkait lain yang memberikan
pelayanan sanitasi, termasuk di dalamnya adalah membantu penyusunan Strategi Sanitasi
Kota/Kabupaten. Selain itu, IUWASH juga memberi dukungan bagi penyelenggaraan tata kelola
dan pendanaan yang mendukung perluasan akses sanitasi dan air, yang dalam hal ini bisa berupa
akses terhadap alternatif pembiayaan, serta regulasi terkait pelayanan air minum dan sanitasi

Prioritas umum kegiatan di seluruh kabupaten/kota Jawa Timur:

 Peningkatan akses masyarakat untuk air bersih,


 Peningkatan akses masyarakat untuk sanitasi yang layak,
 Pendampingan Pemda untuk penguatan kebijakan sektor air bersih dan sanitasi,
 Pendampingan Pemda untuk penganggaran sektor air bersih dan sanitasi (termasuk
penganggaran jangka panjang),
 Kredit Mikro untuk sambungan air minum dan sanitasi,
 Pendampingan Pokja AMPL dan penyusunan SSK serta Buku Putih di beberapa
Kabupaten/Kota yang belum mendapat pendampingan dari PPSP,
 Dukungan dan promosi Program STBM,
 Peningkatan pelibatan masyarakat untuk program air minum dan sanitasi,
 Perbaikan kinerja PDAM di bidang manajemen, teknis dan keuangan

Dukungan khusus di kabupaten/kota Jawa Timur:


Kabupaten Lamongan, Mojokerto, Sidoarjo, Kota Probolinggo:
 Kredit Mikro untuk air bersih dan/atau sanitasi.
Kabupaten Lamongan dan Mojokerto:
 Pendampingan Pokja AMPL dan penyusunan SSK dan Buku Putih.
Kabupaten Gresik dan Lamongan:
 Restrukturisasi hutang PDAM.
Kabupaten Lamongan dan Mojokerto:
Studi Air Baku PDAM.
Kabupaten Sidoarjo:
 Pemeringkatan perusahaan (credit worthiness).

https://www.iuwashplus.or.id/cms/wp-content/uploads/2017/04/IUWASH-Info-sheet-Regional-
East-Java-ID.pdf
KOTA DAN PERMUKIMAN YANG BERKELANJUTAN
Definisi Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development)
Keberlanjutan (sustainability) secara umum berarti kemampuan untuk menjaga dan
mempertahankan keseimbangan proses atau kondisi suatu sistem, yang terkait dengan
sistem hayati dan binaan. Dalam konteks ekologi, keberlanjutan dipahami sebagai kemampuan
ekosistem menjaga dan mempertahankan proses, fungsi, produktivitas, dan keanekaragaman
ekologis pada masa mendatang.
Dalam perkembangannya seiring dengan kebutuhan menjaga keberlanjutan kehidupan manusia
di bumi, masyarakat dunia diperkenalkan pada pemahaman mengenai pembangunan
berkelanjutan (sustainable development). Walaupun hingga kini secara ilmiah belum terbukti
adanya kehidupan manusia yang tidak berkelanjutan, namun pada prinsipnya pembangunan
berkelanjutan memiliki tujuan agar pemanfaatan sumberdaya alam dipertahankan pada laju
dimana kelangkaan dan kepunahan sumberdaya alam bersangkutan tidak dihadapi oleh generasi
mendatang. Dalam prinsip tersebut terkandung makna adanya batas atau limitasi keberlanjutan.
Dalam berbagai konteks kepentingan, pengertian berkelanjutan menjadi semakin kompleks
terkait dengan beragamnya sistem kehidupan, baik yang terkait dengan karakteristik lingkungan
hayati, lingkungan fisik, dan lingkungan binaan, termasuk diantaranya pengertian dan
pemaknaan mengenai kota berkelanjutan (sustainable cities) dan ecomunicapilities.
Sejak tahun 1980an, berkembang gagasan mengenai format kehidupan berkelanjutan sebagai
perwujudan kesadaran kolektif akan keterbatasan sumberdaya alam dan lingkungan menopang
kehidupan manusia pada masa mendatang. Pada tahun 1989, World Commission on Environment
dan Development (WCED) mempublikasikan Brundtland Report dalam dokumen Our Common
Future mengenai pembangunan berkelanjutan yang selanjutnya dikenal dan diterima secara luas
sebagai basis mengatur tata kehidupan dunia yang lebih berkelanjutan.
Keberlanjutan (sustainability) didefinisikan sebagai “memenuhi kebutuhan pada masa kini tanpa
mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi pada masa mendatang” (to meet the needs of the
present without compromising the ability of future generations to meet their own needs). Prinsip
penting lainnya dari definisi Brundtland Commission adalah kepentingan mengintegrasikan tiga
pilar ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam mencapai tujuan keberlanjutan.
Walaupun demikian, definisi Brundtland Commission secara universal masih diinterpretasikan
secara beragam dengan berbagai makna. Yang paling mendasar adalah kenyataan bahwa
sebagian mengartikan definisi Brundtland Commission sebagai proses dan sebagian lainnya
sebagai tujuan dari suatu fakta atau nilai. Hal ini menjadi penting dalam menerapkan dan
mengaplikasikan prinsip berkelanjutan bagi suatu kepentingan, dimana dibutuhkan suatu konteks
dan tujuan yang jelas dan nyata.
Beberapa premis lain menyatakan bahwa walaupun keberlanjutan merupakan konsep yang
penting, namun relatif tidak fokus, cenderung bias, dan memiliki substansi yang sangat terbatas.
Bahkan jika dikaitkan dengan kegiatan pembangunan (development) yang secara harfiah dapat
diartikan sebagai aktifitas penggunaan atau bahkan menghabiskan sumberdaya alam serta
berpotensi merusak lingkungan, maka pembangunan berkelanjutan sebagai suatu konsep
dianggap menjadi kurang tepat. Pandangan tersebut pada dasarnya bermaksud memposisikan
lingkungan sebagai ekstrim yang berbeda dari kegiatan pembangunan, sehingga konsep
keberlanjutan lingkungan (ecological sustainability)dianggap lebih tepat.
Berbagai pandangan di atas mengisyaratkan pentingnya dialektika yang perlu dipertimbangkan
dalam memaknai keberlanjutan, yakni memposisikan dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan
sebagai tiga pilar utama dalam sistem kehidupan sebagaimana dinyatakan oleh Brundtland
Commission. Jika dimensi ekonomi dan sosial dianggap dapat mewakili dan merepresentasikan
tujuan dan kegiatan pembangunan (development), maka keduanya perlu memiliki keterkaitan
dengan dimensi lingkungan, termasuk sumberdaya alam. Pada hakekatnya
keterkaitan (overlapping) ketiga pilar tidak sepenuhnya bersifatmutually exclusive, namun
mampu menciptakan perkuatan satu dengan lainnya (mutually reinforcing) sebagaimana
ditunjukkan gambar berikut.

Gambar 1 : Skema Interaksi Tiga Pilar Pembangunan Berkelanjutan


Jonathon Porritt, ekolog Inggris tidak sependapat dengan pola ketekaitan ketiga pilar di atas, oleh
karena menganggap ”ekonomi adalah subsistem kehidupan sosial, dan kehidupan sosial
merupakan subsistem biosfer atau sistem total kehidupan di bumi. Tidak satu subsistempun
mampu melampaui kapasitas sistem biosfer”. Pola overlapping ketiga pilar tersebut di atas
diragukan, oleh karena meyakini bahwa terdapat batas ultimate biosfer dalam menopang
kehidupan sosial dan ekonomi manusia di bumi sebagaimana digambarkan Porrit sebagai berikut
:

Gambar 2 : Representasi Pilar Ekonomi dan Sosial yang Dibatasi oleh Pilar Lingkungan
Namun pendapat Porrit disanggah, bahwasanya menempatkan keberlanjutan lingkungan di atas
kepentingan ekonomi dan sosial dalam kehidupan manusia sulit diwujudkan oleh adanya kendala
finansial, teknologi, dan kapasitas sumberdaya manusia. Dialektika tersebut menyimpulkan
bahwa ketiga pilar disepakati sebagai dimensi keberlanjutan, namun keterkaitan ketiganya perlu
diintegrasikan dalam posisi tidak absolut, oleh karena dalam kehidupannya, manusia dihadapkan
pada keterbatasan dan kendala. Oleh karenanya, konsep keberlanjutan yang dipahami sebagai
integrasi tiga pilar ekonomi, sosial, dan lingkungan yang saling memperkuat disimpulkan dapat
menjadi basis dalam pengkajian pembangunan yang berkelanjutan.
Pandangan tersebut juga diadopsi oleh IUCN, UNEP, dan WWF yang memposisikan kehidupan
manusia akan berada dalam batas dukungan lingkungan, dimana keberlanjutan didefinisikan
sebagai “perbaikan kualitas kehidupan manusia dalam batas daya-dukung suportif ekosistem”.
Walaupun secara nyata belum terdapat bukti ilmiah mengenai kehidupan yang tidak
berkelanjutan (unsustainable), namun disepakati bahwasanya peningkatan kualitas kehidupan
bukannya dapat dilakukan tanpa batas. Dalam hal ini, batas atau limitasi yang dapat dikenali
adalah unsur-unsur lingkungan yang dalam daur kehidupan akan menjadi bagian dari proses
peningkatan kualitas kehidupan ekonomi dan sosial yang terintegrasi satu dengan lainnya. The
Earth Charter memperkuat pengertian tersebut sebagai proses pembentukan nilai dan arah
menuju penghargaan terhadap sumberdaya alam dan lingkungan, hak asasi manusia, pemerataan
ekonomi, dan perdamaian sebagai tanggungjawab terhadap generasi mendatang.
Deskripsi di atas memberikan kesimpulan bahwasanya pembangunan berkelanjutan merupakan
upaya terus-menerus yang merupakan bagian dari proses menuju kualitas kehidupan generasi
kini dan mendatang yang lebih baik secara ekonomi dan sosial dalam batas daya-dukung suportif
sumberdaya alam dan daya-tampung asimilatif lingkungan.
Definisi Pembangunan Kota Yang Berkelanjutan (Sustainable Urban Development)
Pemahaman pembangunan kota yang berkelanjutan dilandasi oleh pengertian kota atau perkotaan
yang disepakati hingga kini. Berbagai definisi mengenai kota atau perkotaan yang dikembangkan
pada dasarnya bersifat kontekstual terhadap fungsi dan pendekatan yang digunakan. Pendekatan
geografis-demografis memandang kota sebagai lokasi pemusatan penduduk yang tinggal
bersama dalam ruang wilayah tertentu dengan pola hubungan rasional dan cenderung
individualistik dengan ciri demografis relatif memiliki status pendidikan, ekonomi, dan sosial
lebih tinggi dibanding wilayah non-perkotaan. Pendekatan ekonomis memandang kota sebagai
pusat peningkatan produktivitas dan produksi barang dan jasa, pertemuan lalu-lintas
perdagangan dan kegiatan industri, serta tempat perputaran uang yang bergerak dengan cepat dan
dalam volume yang tinggi. Pendekatan fisik memandang kota sebagai pusat dan sistem berbagai
prasarana dan sarana untuk memfasilitasi kehidupan dan kreativitas warganya. Pendekatan
sosiologis-antropologis memandang kota sebagai pemusatan penduduk dengan latar belakang
heterogen, lambang peradaban kehidupan manusia, pusat kebudayaan, sumber inovasi dan
kreasi, serta wahana untuk peningkatan kualitas hidup.
UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mendefinisikan kawasan perkotaan sebagai
wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan
sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan,
pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Beberapa pakar memberikan pengertian kota atau
perkotaan sebagai area terbangun yang berlokasi saling berdekatan, meluas dari pusatnya hingga
ke daerah pinggiran dan terdiri dari bangunan-bangunan permukiman, komersial, industri,
pemerintahan, prasarana transportasi, dan lain-lain

Karakteristik di atas dapat dirangkum sebagai ciri-ciri kehidupan kota yang mendasari
kepentingan untuk mewujudkan keberlanjutan kehidupan warga kota, yakni :
1. Merupakan konsentrasi penduduk, dalam arti jumlah, kepadatan, dan pertambahan penduduk
yang lebih tinggi.
2. Merupakan kawasan terbangun yang lebih masif.
3. Merupakan pusat produksi dan produktivitas barang dan jasa.
4. Bukan merupakan kawasan pertanian dalam arti luas.
5. Didominasi oleh permukiman kota, bangunan komersial, bangunan industri, bangunan
pemerintahan, dan bangunan sosial.
6. Dilengkapi oleh prasarana dan sarana transportasi, ekonomi, dan sosial perkotaan.
7. Dilengkapi oleh utilitas air bersih, drainase, air kotor, persampahan, telepon, dan listrik.
8. Penduduk kota cenderung berlatarbelakang heterogen, berpendidikan relatif lebih tinggi,
berstatus ekonomi dan sosial lebih baik, bersifat rasional dan individualistik, dan memiliki
inovasi dan kreativitas lebih maju.
Pengertian pembangunan kota berkelanjutan secara prinsipil selaras dengan pengertian
pembangunan berkelanjutan, dimana perspektif ruang difokuskan pada ruang perkotaan.
Sebagaimana dinyatakan oleh Urban21 Conference (Berlin, July 2000), pembangunan kota
berkelanjutan diartikan sebagai upaya meningkatkan kualitas kehidupan kota dan warganya
tanpa menimbulkan beban bagi generasi yang akan datang akibat berkurangnya sumberdaya
alam dan penurunan kualitas lingkungan.
Dalam konteks yang lebih spesifik, kota yang berkelanjutan (sustainable city) diartikan sebagai
kota yang direncanakan dengan mempertimbangkan dampak lingkungan yang didukung oleh
warga kota yang memiliki kepedulian dan tanggung-jawab dalam penghematan sumberdaya
pangan, air, dan energi; mengupayakan pemanfaatan sumberdaya alam terbarukan; dan
mengurangi pencemaran terhadap lingkungan. Sesuai dengan karakteristik suatu kota, maka
pembangunan kota berkelanjutan dapat diartikan sebagai upaya terus-menerus untuk
meningkatkan kualitas kehidupan warga kota melalui peningkatan produktivitas di sektor
sekunder dan tersier dan penyediaan prasarana dan sarana perkotaan yang layak dengan
mempertimbangkan dampak invasi dan intensifikasi kawasan terbangun terhadap kerusakan
lingkungan kota serta mensyaratkan keterlibatan yang tinggi dari warga kota terhadap upaya
penghematan konsumsi sumberdaya alam dan pengendalian penurunan kualitas lingkungan.
Oleh karena kawasan perkotaan cenderung didominasi kawasan terbangun dan bukan merupakan
kawasan pertanian dalam arti luas, maka secara implisit memiliki ketergantungan terhadap
pasokan sumberdaya alam dari kawasan lainnya. Dengan demikian, pembangunan kota
berkelanjutan relevan dengan pengertian upaya mengurangi ketergantungan terhadap pasokan
sumber daya alam dari luar tersebut.
Konsep Pembangunan Kota Berkelanjutan
Graham Haughton and Colin Hunter (1994) menekankan tiga prinsip dasar pembangunan kota
berkelanjutan, yakni :
1. Prinsip kesetaraan antar generasi (intergeneration equity) yang menjadi asas pembangunan
berkelanjutan dengan orientasi masa mendatang.
2. Prinsip keadilan sosial (social justice) dalam kesenjangan akses dan distribusi sumberdaya
alam secara intragenerasi untuk mengurangi kemiskinan yang dianggap sebagai faktor
degradasi lingkungan.
3. Prinsip tanggung-jawab transfrontier yang menjamin pergeseran geografis dampak
lingkungan yang minimal dengan upaya-upaya kompensasi. Dalam konteks perkotaan
diharapkan tidak terjadi pemanfaatan sumberdaya alam dan penurunan kualitas lingkungan
pada wilayah di luar perkotaan bersangkutan secara berlebihan yang berdampak terhadap laju
pertumbuhannya.
Lokakarya Indonesia Decentralized Environmental and Natural Resources Management Project
(IDEN) dan Urban and Regional Development Institute (URDI) juga mengusulkan beberapa
prinsip pembangunan kota berkelanjutan di Indonesia yang diantaranya selaras dengan yang
diutarakan oleh Graham Haughton et al. Prinsip-prinsip berikut perlu disesuaikan kembali
dengan kondisi setempat (sumber : Lampiran F, Bahan Lokakarya, Penguatan Aksi bagi
Pembangunan Perkotaan secara Berkelanjutan di Indonesia, Laporan Akhir Tahap Persiapan.
Kerjasama antara Indonesia Decentralized Environmental & Natural Resources Management
Project (IDEN) dan Urban and Regional Development Institute (URDI), serta partisipasi aktif
dari lembaga/pihak terkait lainnya, Desember 2004) :
1. Memiliki visi, misi dan strategi jangka panjang yang diwujudkan secara konsisten dan
kontinyu melalui rencana, program, dan anggaran disertai mekanisme insentif-disinsentif
secara partisipatif.
2. Mengintegrasikan upaya pertumbuhan ekonomi dengan perwujudan keadilan sosial,
kelestarian lingkungan, partisipasi masyarakat serta keragaman budaya.
3. Mengembangkan dan mempererat kerjasama dan kemitraan antar pemangku kepentingan,
antar-sektor, dan antar-daerah.
4. Memelihara, mengembangkan, dan menggunakan secara bijak sumberdaya lokal serta
mengurangi secara bertahap ketergantungan terhadap sumberdaya dari luar (global) dan
sumberdaya tidak terbarukan.
5. Meminimalkan tapak ekologis (ecological footprint) suatu kota dan memelihara dan bahkan
meningkatkan daya dukung ekologis setempat.
6. Menerapkan keadilan sosial dan pengembangan kesadaran masyarakat akan pola konsumsi
dan gaya hidup yang ramah lingkungan demi kepentingan generasi mendatang.
7. Memberikan rasa aman dan melindungi hak-hak publik.
8. Pentaatan hukum yang berkeadilan.
9. Menciptakan iklim yang kondusif yang mendorong masyarakat yang belajar terhadap
perbaikan kualitas kehidupan secara terus-menerus.
Terkait dengan pilar pembangunan berkelanjutan, konsepsi pembangunan kota berkelanjutan
juga berlandaskan pada empat pilar utama, yakni dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan yang
didukung oleh pilar governance.

Gambar 3 : Pilar Pembangunan Kota Berkelanjutan


Sumber : Forum Sustainable Urban Development (SUD)
Pilar governance sebagai perangkat pengaturan, pelaksanaan, dan kontrol dielaborasi
sebagai prinsip analisis 5R, meliputi :
1. Kewajiban dan tanggungjawab (responsibility) untuk melaksanakan dan
mengimplementasikan pembangunan kota berkelanjutan.
2. Hak (right) untuk menjalankan kebijakan dan program pembangunan kota keberlanjutan
yang menjadi kepentingan publik secara luas.
3. Risiko (risk), sebagai pertimbangan pengambilan keputusan pembangunan kota
berkelanjutan kini dan pada masa mendatang.
4. Manfaat (revenue) penyelenggaraan kebijakan dan program pembangunan kota berkelanjutan
bagi publik kini dan pada masa mendatang.
5. Hubungan (relation), sebagai manifestasi koordinasi para pemangku kepentingan untuk
mengoptimalkan perwujudan pembangunan kota berkelanjutan.
Munasinghe mengelaborasi elemen pokok ketiga pilar, yakni pilar ekonomi oleh elemen
pertumbuhan, efisiensi, dan stabilitas; pilar sosial oleh elemen pemberdayaan, peranserta, dan
kelembagaan; dan pilar lingkungan oleh elemen keanekaragaman, sumberdaya alam, dan
pencemaran.

Gambar 4 : Diagram Elemen Pokok Pembangunan Berkelanjutan


Sumber : Sumber: Munasinghe, M., Sustainable Development Triangle, ‘Sustainable
Development’, edited by Cleveland, C. J. (2007).
Forum SUD mengelaborasi ketiga pilar menurut elemen yang relatif setara dengan yang
dikembangkan Munasinghe. Pilar ekonomi dielaborasi sebagai elemen penggunaan sumberdaya
alam secara bijaksana, mendorong pemanfaatan ekonomi lokal, pengembangan nilai tambah
ekonomi, dan pengutamaan sumber daya lokal dibanding impor. Pilar sosial dielaborasi menurut
elemen jaminan kehidupan, pemerataan akses terhadap pelayanan dasar, demokrasi dan
partisipasi, interaksi sosial yang positif, dan berkembangnya nilai (human values) bagi
kehidupan yang berkualitas. Pilar lingkungan dielaborasi menurut elemen kuantitas dan kualitas
sumber daya alam dan lingkungan dan keanekaragaman.
Dalam konteks kota dan perkotaan, maka pembangunan berkelanjutan pada hakekatnya
memposisikan ketiga pilar untuk saling memperkuat (mutual reinforcing) sebagaimana
ditunjukkan oleh Gambar 1. Kota sebagai ekosistem binaan relatif tidak memiliki sumberdaya
alam yang memadai untuk mendukung kehidupannya secara mandiri serta menghasilkan limbah
yang lebih besar oleh konsentrasi penduduk dan aktivitasnya, sehingga threshold daya-dukung
suportif dan daya-tampung asimilatif secara internal cenderung terlampaui oleh perkembangan
dan pertumbuhan kota. Dengan demikian konsep pembangunan kota berkelanjutan perlu
mempertimbangkan peran ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan daya-dukung
dan daya-tampung melalui upaya prevention, proses, minimisasi, substitusi, dan rekayasa lainnya
serta keterkaitan dukungan dari wilayah lain. Oleh karena dimensi lingkungan tidak selalu
berposisi sebagai variabel independen dalam menciptakan kualitas kehidupan kota, maka
dimensi sosial menjadi penting dalam membangun arah keberlanjutan melalui proses social
engineering dalam manifestasi peran serta masyarakat.
Sebagai suatu proses, pembangunan kota berkelanjutan merepresentasikan progres perubahan
secara bertahap yang berlangsung secara kontinyu (loop system) dengan arah menuju kualitas
yang lebih baik berdasarkan feedback tahapan yang dilalui. Christopher A. Haines
menyatakannya sebagai proses transformasi kota dengan benchmark yang mengindikasikan
terjadinya perubahan, yakni konservasi sumberdaya alam, rehabilitasi untuk konservasi dan
preservasi, menyediakan pelayanan transportasi publik, dan mengendalikan urban sprawl.
Transformasi menuju pembangunan kota yang berkelanjutan oleh Forum SUD Indonesia
diterjemahkan melalui benchmark yang lebih tegas perbedaannya. Jika pembangunan pada
awalnya berorientasi secara penuh terhadap pertumbuhan ekonomi, maka pembangunan
berkelanjutan mensyaratkan keberlanjutan ekologis, dimana pada daur selanjutnya diimbangi
dengan keadilan sosial dan berikutnya dengan pelestarian budaya. Sebagai proses tranformasi
yang kontinyu, maka daur pembangunan akan mengalami improvement terhadap nilai-nilai
keberlanjutan secara terus-menerus. Walaupun nilai keberlanjutan secara ideal tidak dapat
ditetapkan, namun esensi dari proses keberlanjutan adalah nilai-nilai penghargaan yang lebih
baik terhadap peningkatan kualitas kehidupan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Gambar berikut
mengilustrasikan progres nilai-nilai keberlanjutan yang selayaknya dicapai pada setiap fase
pembangunan.

https://fitriwardhono.wordpress.com/2012/04/14/pembangunan-kota-berkelanjutan/

Anda mungkin juga menyukai