Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lansia
Lansia merupakan tahap akhir perkembangan pada daur hidup manusia (Maryam, 2008).
Kesejahteraan Lansia, dikatakan bahwa lansia adalah seseorang yang sudah mencapai
usia 60 tahun ke atas. Secara umum proses menjadi lansia didefinisikan sebagai
perubahan yang terkait dengan waktu, bersifat universal, intrinsik, progresif dan
ada empat tahap batasan umur lansia yaitu usia pertengahan (middle age) antara 45-59
tahun, usia lanjut (elderly) antara 60-74 tahun, dan usia lanjut usia (old) antara 75-90
tahun, serta usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun (Nugroho, 2008). Menurut
Depkes RI, batasan lansia terbagi dalam empat kelompok yaitu pertengahan umur usia
lanjut (virilitas) yaitu masa persiapan usia lanjut yang menampakkan keperkasaan fisik
dan kematangan jiwa antara 45-54 tahun, usia lanjut dini (prasenium) yaitu kelompok
yang mulai memasuki usia lanjut antara 55-64 tahun, kelompok usia lanjut (senium) usia
65 tahun ke atas dan usia lanjut dengan resiko tinggi yaitu kelompok yang berusia lebih
dari 70 tahun atau kelompok usia lanjut yang hidup sendiri, terpencil, tinggal di panti,
Perubahan yang terjadi pada lansia terdiri dari perubahan mental, psikososial dan
1) Perubahan mental
Perubahan mental pada lansia dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu perubahan
mental yang terjadi pada lansia berupa munculnya sifat egosentrik dan tamak
masyarakat dan apabila nanti meninggal, lansia ingin mencapai sorga (Nugroho,
2008).
2) Perubahan sosial
Menurut Nugroho (2008), perubahan sosial yang terjadi pada lansia terjadi karena
perubahan sosial yang terjadi pada lansia juga disebabkan oleh perubahan aspek
kepribadian, perubahan dalam peran sosial di masyarakat dan perubahan minat dan
penurunan fungsi.
3) Perubahan fisik
a. Terjadinya perubahan pada sistem indera, dimana lensa mata lansia mulai
akomodasi dari jarak jauh atau dekat berkurang. Pada sistem pendengaran, mulai
perubahan pada jaringan ikat, konsumsi oksigen pada tingkat maksimal berkurang
d. Perubahan pada sistem kekebalan atau imunologi yaitu tubuh lansia menjadi rentan
e. Perubahan sistem reproduksi lansia ditandai dengan menciutnya ovary dan uterus
serta terjadinya atrofi payudara pada wanita. Pada laki-laki testis masih dapat
(Azizah, 2011).
f. Sistem saraf menurun yang menyebabkan munculnya rabun dekat, kepekaan bau
berkurang, reaksi menjadi lambat, fungsi mental menurun serta ingatan visual
Diantara perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia, hampir 80% lansia mengalami
perubahan fisik yang bersifat kronis dan mengganggu mobilitas serta kemandirian
lansia (Potter & Perry, 2005). Perubahan fisik yang paling sering terjadi pada lansia
adalah pada sistem muskuloskeletal, dimana terjadi perubahan pada kolagen yang
berupa nyeri dan penurunan kemampuan otot sehingga lansia mengalami hambatan
dalam melakukan aktivitas sehari-hari (Azizah, 2011). Penyakit yang paling sering
menyebabkan disabilitas pada lansia adalah golongan penyakit atritis (Depkes RI,
2008).
2.2 Rheumatoid Athritis
Rheumatoid Athritis (RA) adalah penyakit multisistem kronik yang ditandai oleh
beragam manifestasi klinis dengan awitan penyakit umumnya pada usia antara 35 dan
40 tahun. Gambaran utama adalah sinovitis inflamatorik yang biasanya mengenai sendi
(Corwin, 2009).
Menurut John & Johnson (2007), penyebab pasti dari RA masih belum diketahui
meskipun terdapat banyak faktor yang dapat meningkatkan resiko seseorang mengalami
1. Genetik
RA dapat terjadi karena memiliki keturunan penyakit ini dalam keluarga. Namun
adanya keturunan RA dalam keluarga tidak akan meningkatkan resiko pada anak-
anak.
2. Infeksi
Beberapa tipe dari atritis terjadi akibat infeksi. Beberapa penelitian mengatakan
bahwa infeksi yang disebabkan oleh bakteri ataupun virus dapat memicu respon
Beberapa studi menemukan bahwa perokok berat dan orang yang terpapar asap
rokok lebih mudah terkena RA daripada orang yang bukan perokok. RA juga diduga
disebabkan oleh faktor autoimun dan infeksi yang bereaksi terhadap kolagen tipe 11
RA merupakan suatu penyakit yang memiliki gambaran klinis yang sangat bervariasi.
Gejala-gejala yang ditimbulkan oleh RA adalah perasaan lelah, anoreksia, berat badan
menurun, demam, poliatritis simetris yang terjadi biasanya pada sendi perifer, kekakuan
sendi pada pagi hari, peradangan sendi kronik yang menyebabkan terjadinya erosi di tepi
sendi siku dan terjadinya manifestasi ekstra-artikular dimana RA tidak hanya menyerang
sendi namun dapat menyerang organ lainnya seperti jantung yang akan mengakibatkan
terjadinya perikarditis (Price & Wilson, 2005). Berdasarkan penelitian, 90% lansia
mengeluhkan nyeri di sendi-sendi bagian jari, pergelangan tangan, bahu, lutut, dan kaki
(Turana, 2005). Pasien RA umumnya merasakan nyeri paling berat terjadi pada pagi hari
membaik pada siang hari dan sedikit lebih berat pada malam hari (Yatim, 2006).
RA merupakan penyakit autoimun yang terjadi pada individu rentan setelah respon imun
yaitu IgM atau IgG. Antibodi tersebut menetap di kapsul sendi sehingga akan
menyebabkan inflamasi kronis dan kerusakan jaringan pada sendi (Corwin, 2009).
Inflamasi awal mengenai sendi sinovial dan kemudian menjadi menebal pada sendi
yang disebut dengan pannus yang apabila panus ini menyebar akan menyebabkan
terjadinya nekrotik pada sendi. Proses inilah yang akan menyebabkan kerusakan pada
sendi dan akan menimbulkan nyeri yang hebat serta deformitas (Suratun, Heryati,
mempertahankan fungsi sendi dan kemampuan maksimal dari pasien, serta mencegah
dan memperbaiki deformitas yang terjadi pada sendi (Price & Wilson, 2005). Menurut
serta tindakan operasi (Purwoastuti, 2009). Penggunaan terapi farmakologis yang sering
Drugs) seperti metotreksat, sulfasalazin dan Leflunomid dengan kombinasi obat anti-
inflamasi atau NSAID dan kortikosteroid dosis rendah (Arthritis Foundation, 2014).
Selain dapat menurunkan nyeri RA, terapi farmakologis ini juga dapat menimbulkan
berbagai macam keluhan lain seperti peradangan pada daerah abdomen, perdarahan dan
kerusakan ginjal yang disebabkan oleh efek samping dari NSAID yang memblok
terapi non farmakologis pada pasien RA dapat memblok dan menurunkan impuls nyeri
dan digunakan sebagai pertolongan pertama ketika nyeri RA menyerang serta terapi non
farmakologis seperti kompres panas/ dingin dan masase dapat meningkatkan aliran
Nyeri merupakan suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak
menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual atau potensial (Potter
& Perry, 2005). Nyeri RA adalah nyeri yang dirasakan di daerah sendi dan merupakan
permasalahan utama yang paling sering terjadi dan hal yang sangat penting untuk
ditangani (Jenkins, 2011). Nyeri RA akan memberat apabila perjalanan penyakit tidak
diatasi serta akan meningkat seiring dengan ambang nyeri pasien sendiri (Isbagio, 2006).
Nyeri RA akan menimbulkan rasa tidak nyaman, keletihan dan disabilitas pada pasien
Menurut Berman, Snyder, Kozier, Erb (2009), penyebab terjadinya nyeri secara umum
adalah adanya trauma mekanik, trauma termal, trauma kimiawi, trauma elektrik,
neoplasma, peradangan dan faktor psikologis. Nyeri pada RA disebabkan oleh proses
peradangan (inflamasi) pada membran sinovial yang terjadi akibat proses fagositosis
yang menghasilkan enzim-enzim dalam sendi dan akan memecahkan kolagen sehingga
Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang. Akibatnya
adalah menghilangnya permukaan sendi yang akan menganggu gerak sendi dan
Menurut Potter & Perry (2005), secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri
efek plasebo, dukungan keluarga dan sosial, keletihan dan pola koping. Menurut Ari
(2009), terdapat dua faktor yang berperan dalam beratnya rasa nyeri pada pasien RA
yaitu beratnya penyakit dan ambang nyeri pasien. Makin berat penyakit, maka makin
bertambah pula rasa nyeri yang dirasakan pasien RA dan apabila perjalanan penyakit
dapat dihentikan (remisi), maka rasa nyeri akan berkurang. Pasien dengan ambang nyeri
yang tinggi akan merasakan nyeri ringan dan tidak akan mengganggu aktivitasnya.
Fisiologi dari setiap nyeri yang dirasakan pasien adalah sama. Reseptor nyeri adalah
organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan
sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya
terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga
nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada
dikelompokkan dalam beberapa bagian tubuh yaitu pada kulit (cutaneus), somatik
dalam (deep somatic), dan pada daerah visceral. Karena letaknya yang berbeda-beda
inilah nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda. Nosireceptor cutaneus
berasal dari kulit dan subkutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah
memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri
dihilangkan.
b. Serabut C (C fiber)
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat
pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi.
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada
tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena
struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan
sulit dilokalisasi.
c. Reseptor visceral
Reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan
sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap
pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.
Nyeri yang dirasakan oleh pasien RA adalah nyeri dengan rasa terbakar di bagian
sendi yang mengalami pembengkakan, nyeri akan berkurang ketika sendi yang
3. Region
Nyeri RA biasanya terjadi di daerah lutut, bahu, siku, pergelangan tangan dan kaki,
Nyeri yang dialami oleh pasien RA didapatkan skala nyeri rata-rata enam
5. Time
Nyeri pada pasien RA digolongkan menjadi nyeri kronis non malignant yang
merasakan nyeri paling berat terjadi pada pagi hari, membaik pada siang hari dan
sedikit lebih berat pada malam hari (Yatim, 2006). Nyeri RA juga akan dirasakan
lebih berat saat pasien dalam posisi duduk atau berbaring dalam jangka waktu yang
Nyeri secara umum dapat diukur dengan berbagai metode yaitu dengan menggunakan
alat pengukuran skala nyeri seperti skala nyeri numerik, deskriptif dan analog visual
(Potter & Perry, 2005). Menurut Datak (2008), pengukuran skala nyeri dengan
menggunakan skala nyeri numerik (Numeric Rating Sace/NRS) merupakan skala yang
paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan sesudah intervensi
terapeutik.
NRS lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsian kata. Dalam hal ini, pasien
menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. NRS merupakan skala nyeri yang paling
sering dan lebih banyak digunakan di klinik. NRS digunakan untuk mengukur intensitas
nyeri sebelum dan sesudah intervensi teraupetik. NRS mudah digunakan dan
didokumentasikan.
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Menurut Jenkins (2011), penatalaksanaan nyeri pada pasien RA adalah sebagai berikut :
1. Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS)
TENS merupakan stimulasi kutaneus yang menggunakan arus listrik ringan yang
dihantarkan melalui elektroda luar dan efektif untuk mengontrol nyeri pasca bedah
serta mengurangi nyeri yang disebabkan prosedur pascaoperasi (Potter & Perry,
2005).
2. Masase
pembuluh darah local sehingga mampu menurunkan nyeri pada pasien RA (Kusyati,
2006).
3. Kompres panas/dingin
4. Distraksi
Perry, 2005).
5. Aktifitas
Aktifitas fisik akan mampu melepaskan endofin dan mampu mengurangi nyeri yang
7. Obat Farmakologis
Terdapat tiga jenis analgesik yaitu Non- narkotik dan obat antiinflamasi nonsteroid
(NSAID), analgesic narkotik atau opiat dan obat tambahan (adjuvan) atau
8. Pembedahan
Kompres hangat merupakan terapi yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan rasa
spasme otot dan memberikan rasa hangat (Alimul, 2008). Selain itu, kompres hangat
berfungsi untuk melebarkan pembuluh darah serta menstimulasi sirkulasi darah, dan
mengurangi kekakuan. Indikasi pemberian kompres hangat adalah untuk pasien yang
mengalami perut kembung, pasien yang mengalami kedinginan, pasien dengan radang
sendi, pasien yang mengalami kejang otot, pasien yang mengalami abses ataupun
jahe.
Secara historis, jahe telah digunakan dalam pengobatan Asia untuk mengobati sakit
perut, mual, dan diare. Sekarang jahe digunakan obat tradisional untuk pascaoperasi
osteoarthritis dan nyeri sendi dan otot. Rimpangnya yang mengandung zingiberol dan
aktifitas COX-2 yang menghambat produksi PGE2, leukotrien dan TNF- pada
ditumbuk terlebih dahulu kemudian dimasukkan ke dalam air yang telah dihangatkan.
Setelah itu, handuk dimasukkan ke dalam air hangat jahe dan diperas dahulu sebelum
Kompres hangat jahe dilakukan selama 10-15 menit. Menurut Utami (2005), kompres
hangat jahe merupakan jenis terapi tradisional yang dapat menurunkan intensitas nyeri
pada pasien RA selain itu efek farmakologis pada jahe adalah memiliki rasa pedas dan
panas, berkhasiat sebagai pencahar, antiemeltik dan antirematik. Komponen utama dari
Pengaruh kompres hangat jahe terhadap nyeri adalah sesuai dengan teori gate control
yang mengatakan bahwa stimulasi kulit mengaktifkan transmisi serabut saraf sensori
A-beta yang lebih besar dan lebih cepat. Proses ini menurunkan transmisi nyeri melalui
serabut C dan deta-A berdiameter kecil. Gerbang sinap menutup transmisi impuls nyeri.
Kompres menggunakan air hangat akan meningkatkan aliran darah, dan meredakan
prostaglandin yang menimbulkan nyeri lokal. Panas akan merangsang serat saraf yang
menutup gerbang sehingga transmisi impuls nyeri ke medula spinalis dan ke otak
Back massage adalah suatu pijatan menggunakan sentuhan tangan di daerah punggung
dilatasi pada pembuluh darah lokal. Intervensi back massage difokuskan pada area
punggung bagian bawah yaitu dari segmen spinal T.12 sampai L.4. Vasodilatasi
pembuluh darah akan meningkatkan peredaran darah pada area yang diusap sehingga
aktivitas sel meningkat dan akan mengurangi rasa sakit serta menunjang proses
transmisi stimulus nyeri. Cara lainnya adalah dengan mengaktifkan transmisi serabut
saraf sensori A-beta yang lebih besar dan lebih cepat, sehingga menurunkan transmisi
nyeri melalui serabut C dan A-delta berdiameter kecil sekaligus menutup gerbang sinap
untuk transmisi impuls nyeri (Potter & Perry, 2005). Sensasi hangat back massage juga
Back massage dilakukan sekitar 10 menit untuk mendapatkan hasil yang maksimal
dalam mengurangi keluhan nyeri (Tamsuri, 2006). Menurut Wijanarko & Riyadi (2010),
posisi seseorang saat akan diberikan back massage hendaknya dalam posisi yang rileks
agar bagian yang akan di massage tidak mengalami ketegangan. Posisi yang dianjurkan
adalah posisi tidur telungkup dan duduk. Posisi tidur telungkup yang baik adalah kedua
lengan lurus ke bawah di samping badan, kepala dipalingkan ke samping dan diletakkan
diatas bantal yang tidak terlalu tinggi atau bila tidak ada bantal, dapat melibatkan kedua
tangan yang diletakkan di bawah dagu. Lengan diletakkan di samping badan, dengan
telapak tangan menghadap ke atas. Untuk posisi duduk, punggung diposisikan tegak.
Kaki, tangan, leher dan kepala dalam keadaan rileks srta tidak ada bagian tubuh yang
kontraksi.
Menurut Bambang (2011), teknik back massage terdiri dari effleurage (mengusap),
merupakan tipe masase yang melibatkan gerakan yang panjang, perlahan dan halus
dilakukan saat memulai dan mengakhiri pijatan (Berman, Snyder, Kozier, Erb, 2009).
Gerakan ini bertujuan untuk meratakan minyak dan menghangatkan otot agar lebih
rileks. Effleurage dilakukan dengan telapak tangan dan jemari rapat dan bergerak
dengan kuat dari bokong menuju bahu dan gerakan lebih ringan dari bahu menuju
ini dilakukan secara ringan dan berirama serta bertujuan untuk memperlancar
bening (Sinclair, 2006). Friction merupakan gerakan memberi tekanan pada kulit
kerut dan memperkuat otot kulit (Bain, 2006). Gerakan terakhir adalah tapotement
bagian samping tangan atau ujung jari. Khasiat gerakan Tapotement yaitu
menyegarkan otot-otot, melancarkan peredaran darah dan getah bening pada tempat