Anda di halaman 1dari 4

Jaminan pemeliharaan kesehatan di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak zaman

kolonial Belanda. Dan setelah kemerdekaan, pada tahun 1949, setelah pengakuan
kedaulatan oleh Pemerintah Belanda, upaya untuk menjamin kebutuhan pelayanan
kesehatan bagi masyarakat, khususnya pegawai negeri sipil beserta keluarga, tetap
dilanjutkan. Prof. G.A. Siwabessy, selaku Menteri Kesehatan yang menjabat pada
saat itu, mengajukan sebuah gagasan untuk perlu segera menyelenggarakan
program asuransi kesehatan semesta (universal health insurance) yang saat itu mulai
diterapkan di banyak negara maju dan tengah berkembang pesat.

Pada saat itu kepesertaannya baru mencakup pegawai negeri sipil beserta anggota
keluarganya saja. Namun Siwabessy yakin suatu hari nanti, klimaks dari
pembangunan derajat kesehatan masyarakat Indonesia akan tercapai melalui suatu
sistem yang dapat menjamin kesehatan seluruh warga bangsa ini.

Pada 1968, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1 Tahun


1968 dengan membentuk Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan
(BPDPK) yang mengatur pemeliharaan kesehatan bagi pegawai negara dan penerima
pensiun beserta keluarganya.

Selang beberapa waktu kemudian, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah


Nomor 22 dan 23 Tahun 1984. BPDPK pun berubah status dari sebuah badan di
lingkungan Departemen Kesehatan menjadi BUMN, yaitu PERUM HUSADA BHAKTI
(PHB), yang melayani jaminan kesehatan bagi PNS, pensiunan PNS, veteran, perintis
kemerdekaan, dan anggota keluarganya.

Pada tahun 1992, PHB berubah status menjadi PT Askes (Persero) melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 1992. PT Askes (Persero) mulai menjangkau karyawan
BUMN melalui program Askes Komersial.
Pada Januari 2005, PT Askes (Persero) dipercaya pemerintah untuk melaksanakan
program jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin (PJKMM) yang selanjutnya
dikenal menjadi program Askeskin dengan sasaran peserta masyarakat miskin dan
tidak mampu sebanyak 60 juta jiwa yang iurannya dibayarkan oleh Pemerintah Pusat.

PT Askes (Persero) juga menciptakan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat


Umum (PJKMU), yang ditujukan bagi masyarakat yang belum tercover oleh
Jamkesmas, Askes Sosial, maupun asuransi swasta. Hingga saat itu, ada lebih dari
200 kabupaten/kota atau 6,4 juta jiwa yang telah menjadi peserta PJKMU. PJKMU
adalah Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) yang pengelolaannya diserahkan
kepada PT Askes (Persero).

Langkah menuju cakupan kesehatan semesta pun semakin nyata dengan resmi
beroperasinya BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014, sebagai transformasi dari PT
Askes (Persero). Hal ini berawal pada tahun 2004 saat pemerintah mengeluarkan UU
Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan kemudian
pada tahun 2011 pemerintah menetapkan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) serta menunjuk PT Askes (Persero) sebagai
penyelenggara program jaminan sosial di bidang kesehatan, sehingga PT Askes
(Persero) pun berubah menjadi BPJS Kesehatan.
Pemerintah berkewajiban untuk mendaftarkan peserta Jamkesda/ Jamkesmas menjadi
peserta BPJS. Hal ini karena BPJS Kesehatan juga didesain guna mencapai Universal Health
Coverage (UHC) bagi seluruh warga negara Indonesia. Melalui Program Jaminan
Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) yang diselenggarakan oleh
BPJS Kesehatan, negara hadir di tengah kita untuk memastikan seluruh penduduk
Indonesia terlindungi oleh jaminan kesehatan yang komprehensif, adil, dan merata.

Namun, berbagai masalah tentang BPJS banyak terjadi yaitu yang utama adalah defisit keuangan
negara. Defisit BPJS Kesehatan memunculkan persoalan pelik lain. Defisit BPJS
menyebabkan klaim biaya rumah sakit tak terbayarkan; fasilitas dan obat untuk pasien
dipangkas; protes para dokter karena kerja serta tindakan medisnya dibatasi limit biaya; plus
dokter harus bersiap dengan konflik dan gugatan dari pasien karena protes pelayanan BPJS
Kesehatan. masalah itu diyakini berpangkal pada penerapan sistem Indonesia CaseBase
Group (INA-CBGs).

Info BPJS Kesehatan menyebut INA-CBGs sebagai sistem pembayaran paket yang
didesain berdasarkan rata-rata biaya kelompok diagnosis penyakit. Misal, pada kelompok
penyakit demam berdarah, INA-CBGs akan menghitung layanan yang akan diterima pasien,
berikut pengobatan, sehingga dinyatakan sembuh atau selama satu periode rawat di rumah
sakit.

Tarif INA-CBGs dikelompokkan dalam 6 jenis rumah sakit berdasarkan tipe: rumah sakit
kelas D, C, B, A, rumah sakit umum, dan rumah sakit khusus rujukan nasional. Ia juga
disusun berdasarkan perawatan kelas 1, 2, dan 3.

Intinya, mengubah tarif kesehatan yang umum memakai sistem fee for service
systemmenjadi prospective payment system. Sistem ini usulan dari konsultan kesehatan di
Malaysia, tetapi justru di negara asalnya sendiri tidak diterapkan, ujar Ilham Oetama Marsis
dari Ikatan Dokter Indonesia. Layanan kesehatan di dunia saat ini merujuk sistem Integrated
Clinical Pathway (ICP). Biaya pelayanan untuk suatu penyakit dibayar berdasarkan tindakan
medis. Artinya, biaya antarpasien untuk diagnosis yang sama bisa saja berbeda.

Hal itu berbeda dari INA-CBGs yang menerapkan sistem paket setara. Konsekuensinya,
mutu dan pelayanan turun karena tidak ada kemampuan biaya menangani kasus tertentu.
Imbasnya, dokter dipaksa melanggar sumpah karena melakukan praktik kedokteran tak
sesuai standar keilmuan akibat intervensi BPJS. Kemudian, siklus yang umum terjadi akan
berulang: rumah sakit melakukan pembatasan, pasien protes, sementara BPJS Kesehatan
tak dapat berbuat banyak karena masih mengalami defisit keuangan
Catatan laporan keuangan tahunan BPJS Kesehatan menunjukkan defisit sebesar Rp 3,8
Triliun pada 2014, Rp 5,9 Triliun pada 2015, dan Rp 9,7 Triliun pada 2016. Diperkirakan,
defisit keuangan ini akan terus meningkat hingga lebih dari Rp 10 Triliun pada 2017. Data
BPJS hingga Mei 2018, peserta program jaminan kesehatan telah mencapai hampir 200 juta
jiwa atau sekitar 75% penduduk Indonesia. Sebanyak 93 juta jiwa di antara mereka adalah
Penerima Bantuan Iuran (PBI), yaitu peserta BPJS yang premi bulanannya dibayarkan
pemerintah. Sisanya adalah non-PBI, yaitu yang membayar iuran premi dengan uang
mereka sendiri. Capaian ini cukup mengejutkan karena walaupun baru berjalan empat tahun
cakupan peserta BPJS Kesehatan telah mencapai 75%. Ada rasa optimistis, harapan untuk
Indonesia mencapai UHC pada 2019 tidak hanya sekadar isapan jempol. Setidaknya ada
dua kondisi untuk menjelaskan defisit BPJS kesehatan. Pertama, fleksibilitas
penggunaan pelayanan jaminan kesehatan. Peserta BPJS yang baru daftar sebagai
peserta sudah dapat melakukan klaim pelayanan kesehatan. Akibatnya, nilai klaim
yang diajukan peserta BPJS lebih tinggi dibandingkan dengan premi yang ada.
Namun, per 1 Juni 2015 peserta BPJS Kesehatan baru dapat melakukan klaim
setelah hari ke-14 dan telah melakukan pembayaran satu bulan pertama.

Kedua, terdapat banyak peserta BPJS Non-PBI yang menunggak pembayaran iuran
premi. Data pada Juni-Juli tahun lalu terdapat 10 juta peserta BPJS yang
menunggak pembayaran premi. Di balik kondisi keuangan BPJS Kesehatan yang
defisit, ada tabir yang belum banyak diketahui publik. Muncul kesan, BPJS tidak
dikelola dengan baik dan menuju kebangkrutan.

BPJS memang didesain untuk tidak berorientasi profit. Hal ini karena salah satu
prinsip yang menjadi dasar BPJS dalam menjalankan fungsinya adalah nirlaba.
Berarti, BPJS mengutamakan penggunaan hasil pengembangan dana untuk
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi seluruh peserta. Hasil pengelolaan
dana jaminan sosial juga dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program
dan untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta. Oleh karenanya, BPJS
Kesehatan sejak pertama berdiri selalu defisit.
BPJS merupakan manifestasi kewajiban negara dalam menyediakan hak
konstitusional warganya di bidang kesehatan. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945
menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan. Oleh karenanya, negara mengalokasikan
anggaran penyertaan pemerintah pada BPJS Kesehatan untuk menutup defisit.
Pada 2014 tercatat sebesar Rp 500 Miliar dan meningkat sepuluh kali lipat pada
pada 2015 menjadi Rp 5 Triliun. Pada 2016, dana tersebut dialokasikan Rp 6,8
Triliun atau bertambah Rp 1,8 Triliun dari tahun sebelumnya. Ini menunjukkan
bahwa pemerintah bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan warganya dan
tidak abai atas kondisi keuangan BPJS Kesehatan.

Akhirnya, persoalan defisit BPJS pada dasarnya bukan sebuah masalah utama.
Menuntut BPJS memperoleh laba juga tidak tepat karena BPJS mengalami defisit
untuk memenuhi pelayanan kesehatan masyarakat. Terpenting adalah mendorong
negara tetap hadir dalam memenuhi hak konstitusional warga mendapatkan
pelayanan kesehatan tanpa terkecuali.

Sejauh ini, komitmen pemerintah menyediakan pelayanan kesehatan mengalami


perbaikan. Setidaknya terlihat pada kebijakan alokasi anggaran kesehatan yang
sudah memenuhi mandat UU Kesehatan No. 36/ 2009, yaitu 5% dari total APBN
yang dimulai sejak 2015. Bahwa masih ada kekurangan dalam pelayanan kesehatan
seperti antrean yang panjang dan beberapa obat yang tidak dapat ditanggung, itu
adalah catatan yang harus tetap dikawal untuk diperbaiki.

Masalah lain yaitu tentang sistem rujukan pasien yang sangat melelahkan karena
harus antre berjam-jam, melalui berbagai prosedur yang melelahkan. Pasien
penyakit kronis BPJS harus mengantre panjang untuk mendapatkan surat rujukan ke
Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut (FKTL) dan harus bersabar untuk mengtantre
dan mengambil nomor periksa ke dokter yang dirujukkan. Hal ini memakan waktu
banyak belum lagi saat mengurus rujukan FKTP dan jeda waktu FKTP ke FKTL,
bisa dibayangkan bagaimana nasib orang yang sudah tidak terlalu sehat tubuhnya.
Belum lagi, setiap 3 bulan sekali harus melakukan prosedur yang sama. Padahal,
pada awal BPJS hal-hal seperti ini tidak pernah terjadi bahkan pasien penyakit
kronis memiliki kemewahan rujukan seumur hidup, namun berakhir pada saat
peraturan berubah pada April 2018 yaitu pasien penyakit kronis diwajibkan
mengurus surat rujukan per tiga bulan sekali seperti pasien non-kronis lainnya.
skema rujukan balik ini jelas menyengsarakan dan membuang-buang waktu. Saat berada di
FKTP pun mereka tak bertemu dengan tenaga medis, apalagi menerima pemeriksaan.
Tenaga pasien terkuras hanya untuk mendapatkan nomor antrean. Keadaannya bisa jadi
jauh lebih menyulitkan bagi peserta BPJS di wilayah timur di tengah situasi FKTP dan FKTL
masih jarang dan jaraknya jauh. Masalah ini makin runyam karena sosialisasi kurang
sehingga banyak pasien terpaksa pulang karena belum atau telat mengurus rujukan. Bagi
yang punya uang, akhirnya, mereka membayar sendiri biaya pengobatan.

Anda mungkin juga menyukai