Anda di halaman 1dari 6

KULTUR KALUS EMBRIOGENIK PADA WORTEL (Daucus carota L.

)
Indah Permata Sari
(1)
SMP Unggulan Darussalam Maros
(2)
Fakultas Biologi Universitas Gajah Mada Yogyakarta
Jl. Teknika Selatan, Sekip Utara, Yogyakarta 55281
e-mail: antho_1401@yahoo.com

Abstract: Embryogenic Callus Induction in Carrots (Daucus carota L.) Callus which can
develop into somatic embryo is an embryogenic callus. Embryogenic callus can be induced from
the explants by using stressor compounds or treatments that provide stress. The study aims to
induce embryogenic callus on carrot (Daucus carota L.) using 2,4-D. The research was conducted
in two stages, namely: (1) Stage of in-vitro germination, using ¼ MS medium, (2) Stage of callus
induction and maintenance, using the medium of MS + 2,4-D 2 mg/L. The results showed that
carrot seeds can germinate well on ¼ MS medium with average germination percentage reached
98% and hypocotyl length 3.84 cm. Efficiency of callus formation reached 90.83%, callus color is
generally white or yellowish-white translucent with friable texture or crumb. The physical
characteristics are common features of embryogenic callus, that is the callus which can develop
into somatic embryos if it is sub-cultured into a new appropriate medium.

Abstrak: Induksi Kalus Embriogenik Pada Wortel (Daucus carota L.) Kalus yang dapat
berkembang menjadi embrio somatik adalah kalus yang bersifat embriogenik. Kalus embriogenik
dapat diinduksi dari suatu eksplan menggunakan senyawa-senyawa stressor atau perlakuan yang
memberi cekaman. Penelitian ini bertujuan menginduksi kalus embriogenik pada wortel (Daucus
carota L) menggunakan 2,4-D. Penelitian ini dilakukan dalam 2 tahap yaitu; (1) Tahap
perkecambahan in-vitro, menggunakan medium ¼ MS; (2) Tahap induksi dan pemeliharaan kalus,
menggunakan medium MS + 2,4-D 2 mg/L. Hasil penelitian menunjukkan biji wortel dapat
berkecambah dengan baik pada medium ¼ MS dengan rata-rata persentase perkecambahan
mencapai 98 % dan panjang hipokotil 3,84 cm. Efisiensi pembentukan kalus mencapai 90.83 %,
Warna kalus umumnya putih bening atau putih kekuningan dengan tekstur friable atau remah. Ciri
fisik ini merupakan ciri umum kalus yang bersifat embriogenik, yakni kalus yang dapat
berkembang menjadi embrio somatik jika di sub kultur pada medium baru yang sesuai

Kata kunci: 2,4 - Dichlorophenoxyacetic Acid (2,4-D), kalus embriogenik, embrio somatik,
Daucus carota L.

A. PENDAHULUAN telah mengalami dediferensiasi selanjutnya


Kultur jaringan tumbuhan merupakan ditransfer ke dalam medium yang sesuai dan jika
suatu metode untuk mengisolasi bagian-bagian proses induksi dediferensiasinya benar, maka
tanaman seperti sel, jaringan atau organ gen-gen yang bertanggung jawab terhadap
kemudian menumbuhkannya secara aseptis (suci totipotensi akan berfungsi, pembelahan sel-
hama) di atas suatu medium budidaya sehingga selnya menjadi terkendali, dan akhirnya
bagian-bagian tanaman tersebut dapat terbentuk embrio. Embrio yang terbentuk dari
memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi sel-sel somatik akan tumbuh dan berkembang
tanaman lengkap (plantlet). Salah satu proses menjadi tanaman utuh melalui proses yang
pembentukan planlet dalam teknik kultur identik dengan proses embryogenesis zigotik
jaringan adalah embriogenesis somatik, yaitu (Indrianto, 2003).
suatu proses pembentukan embrio dari eksplan Pendekatan yang umum digunakan
yang berupa sel-sel somatik yang telah dalam menginduksi embrio somatik adalah
mengalami dediferensiasi. Sel-sel somatik yang mengkulturkan jaringan tanaman dalam medium

136
Rusdianto dan Indrianto, Induksi Kalus Embriogenik Pada Wortel Menggunakan 2,4-Dichlorophenoxyacetic Acid. 137

yang mengandung auksin, misalnya 2,4- B. METODE


dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D). Respon
Bahan yang digunakan dalam penelitian
awal eksplan terhadap 2,4-D adalah
ini antara lain biji wortel (Daucus carota L)
pembentukan kalus sebagai wujud
cultivar New Nantes. Medium dasar Murashige
dediferensiasi. Kalus merupakan massa sel yang
and Skoog (1962). Zat pengatur tumbuh 2,4-
tidak terorganisir yang awalnya merupakan
Dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D). Alat yang
jaringan penutup luka, dimana sel-sel yang pada
digunakan antara lain Autoklaf, untuk sterilisasi
awalnya dorman (quiescent) terdiferensiasi
medium dan botol kultur serta alat-alat lain
kembali (dediferensiasi). Dediferensiasi terjadi
seperti pinset, scalpel, pisau, dan petridish.
karena sel-sel tumbuhan (jaringan), yang secara
Laminar air flow cabinet (LAF), sebagai tempat
alamiahnya bersifat autotrof dikondisikan
steril penanaman eksplan. Mikroskop dan
menjadi heterotrof dengan cara memberikan
kamera digital Nikon (Nikon Coolpix 5000,
nutrisi yang cukup kompleks di dalam medium
Tokyo Japan) untuk pengamatan dan
kultur, sehingga sel-sel membelah secara tidak
pengambilan gambar.
terkendali membentuk massa sel yang tidak
terorganisir (kalus).
Cara Kerja
Sebagian sel-sel kalus yang terbentuk
Penelitian dilakukan dalam 2 tahap yaitu;
bersifat embrionik, yaitu kalus yang hanya
1. Tahap perkecambahan biji wortel in-vitro.
memiliki kemampuan untuk terus membelah
Biji wortel (Daucus carota L) cultivar New
(proliferasi) menghasilkan sel-sel kalus yang
Nantes disterilisasi dengan cara merendam di
baru, sebagian lagi bersifat embriogenik yaitu
dalam larutan sodium hipoklorit (Sunklin)
kalus yang dapat berkembang menjadi embrio
yang diencerkan dengan aquadest steril
somatik setelah kalus tersebut ditransfer ke
perbandingan 1:1 selama 10 menit sambil
dalam medium yang sesuai dan tidak
sesekali digoyang-goyangkan, selanjutnya
mengandung auksin atau 2,4-D (Kikuchi et al.,
dicuci dengan cara merendam dalam aquadest
2006). Embrio somatik dapat terbentuk melalui
steril sebanyak 2 kali masing-masing selama
dua jalur, yaitu secara langsung maupun tidak
5 menit. Biji wortel yang telah disterilisasi
langsung (melewati fase kalus). Keberhasilan
ditanam pada medium ¼ MS (Murashige &
akan tercapai apabila kalus atau sel yang
Skoog, 1962) selama 9 hari. Parameter yang
digunakan bersifat embriogenik yang dicirikan
diamati pada tahap ini adalah persentase
oleh sel yang berukuran kecil, sitoplasma padat,
perkecambahan dan panjang hipokotil
inti besar, vakuola kecil-kecil dan mengandung
kecambah wortel.
butir pati (Wiendi et al., 1991).
2. Tahap induksi dan pemeliharaan kalus.
Beberapa laporan hasil penelitian
Bagian hipokotil kecambah wortel dipotong
menunjukkan bahwa, eksplan yang ditanam pada
dengan ukuran 1 cm, kemudian dikulturkan
medium yang mengandung senyawa-senyawa
pada medium MS dengan perlakuan 2,4-D
yang bersifat stressor selain 2,4-D, seperti
2 mg/l, selama 5 minggu. Parameter yang
beberapa heavy metal ions (Cd²⁺ , Ni²⁺ , Cu²⁺ ,
diamati selama masa kultur adalah efisiensi
dan Co²⁺ ), tekanan osmotik yang tinggi (sukrosa
pembentukan dan kenampakan visual kalus
, NaCl), dan temperatur tinggi (37⁰C) juga dapat
(tekstur dan warna).
menginduksi terbentuknya kalus embriogenik
(Kikuchi et al., 2006).
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini menggunakan tanaman
wortel (Daucus carota L) yang diberi perlakuan Tahap perkecambahan in-vitro
2,4 dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) untuk Perkecambahan biji wortel in-vitro
menginduksi terbentuknya kalus embriogenik merupakan tahapan awal dari penelitian ini
yang selanjutnya dapat berkembang membentuk untuk menghasilkan kecambah wortel steril
embrio somatik hingga terbentuknya tumbuhan (gambar 1), yang selanjutnya digunakan sebagai
utuh (plantlet). eksplan pada tahap induksi kalus. Keuntungan
dari eksplan yang berasal dari biji yang
dikecambahkan secara in-vitro diantaranya
adalah kondisi eksplan yang dihasilkan steril
sehingga tidak perlu disterilisasi lagi sebelum
138 Jurnal Bionature, Volume 13, Nomor 2 ,Oktober 2012, hlm.136-140

dikultur pada medium induksi kalus, selain itu


pada umumnya semua bagian dari kecambah 97 98 98 98 98 98

Persentase perkecambahan
menunjukkan responsifitas yang tinggi untuk 100
diinduksi menjadi kalus karena sifatnya yang 90
masih meristematik. Indrianto (2003), 80 75
menyatakan bahwa eksplan terbaik untuk 70
60
induksi kalus adalah jaringan dari bagian-bagian Persentase biji
50
semai (seedling) yang dikecambahkan secara in- 40 berkecam bah
vitro. 30 28
20
10 0
0
0 1234 56789
Waktu / Hari
Gambar 2. Grafik persentase perkecambahan

5
Panjang Hipokotil (cm)
4.5
3.84
4 3.49
3.5 3.06
3 2.64
2.5
2 Rerata
1.5 1.14 panjang
1 0.47 hipokotil
0.5 0.18
0
Gambar 1. Kecambah biji wortel umur 9 hari. 0
Skala = 1 cm 0 1 2 3 4 5 6 7 9

Persentase perkecambahan biji wortel Waktu / Hari


pada medium ¼ MS mencapai 98% (gambar 2)
dan rata-rata panjang hipokotil 3,84 cm
(gambar 3) setelah dikecambahkan selama 9 Gambar 3. Grafik pertambahan panjang hipokotil
pertambahan panjang biji wortel
hari. Hal ini menunjukkan viabilitas biji cukup
baik untuk berkecambah dalam medium ¼ MS.
Penelitian ini menggunakan bagian
Keuntungan dari eksplan yang dikecambahkan
hipokotil dari kecambah wortel sebagai eksplan.
secara in-vitro diantaranya adalah kondisi
Penelitian Kamada et al., (1993) menunjukkan
eksplan yang dihasilkan steril, selain itu pada
jaringan di sekitar meristem pucuk kecambah
umumnya semua bagian dari kecambah
wortel, merupakan daerah yang banyak
menunjukkan responsifitas yang tinggi untuk
membentuk embrio somatik setelah
diinduksi menjadi kalus karena sifatnya yang
diberi perlakuan stres, bagian ini menurut Li et
masih meristematik. Indrianto (2003)
al., (1999) merupakan daerah yang kaya auksin.
menyatakan bahwa eksplan terbaik untuk
Hipokotil kecambah wortel juga digunakan
induksi kalus adalah jaringan dari bagian-bagian
Nishiwaki et al., (2000) untuk menginduksi
semai (seedling) yang dikecambahkan secara in-
pembentukan embrio somatik secara langsung
vitro.
dengan menggunakan asam absisat (ABA)
sebagai zat pengatur tumbuh.
Rusdianto dan Indrianto, Induksi Kalus Embriogenik Pada Wortel Menggunakan 2,4-Dichlorophenoxyacetic Acid. 139

Tahap induksi kalus embriogenik terbentuk pada setiap eksplan terus bertambah
Pada tahap induksi dan pemeliharaan dan meluas menutupi permukaan eksplan.
kalus, hipokotil kecambah wortel ukuran 1 cm Pada tabel 2 dapat dilihat persentase jumlah
digunakan sebagai eksplan yang dikultur selama eksplan yang membentuk kalus mencapai 90,83
5 minggu pada medium MS dengan zat pengatur % setelah dikultur selama lima minggu. Hal ini
tumbuh 2,4-D 2 mg/l. Minggu pertama setelah mengindikasikan bahwa eksplan cukup responsif
dikultur, eksplan tampak mengalami penebalan terhadap zat pengatur tumbuh 2,4-D yang
terutama pada bagian yang luka dan kontak digunakan menginduksi terbentuknya kalus.
langsung dengan medium sehingga ukurannya Pada akhir minggu ke lima inkubasi,
bertambah besar. Penebalan eksplan ini secara umum kalus yang terbentuk telah
merupakan hasil interaksi yang sangat kompleks menutupi seluruh permukaan eksplan, warna
antara eksplan, komposisi medium, zat pengatur kalus umumnya putih bening atau putih
tumbuh dan kondisi lingkungan selama periode kekuningan dengan tekstur friable atau remah
inkubasi. Hasil yang sama dengan penelitian (Gambar 3). Dari hasil pengamatan, kalus yang
Meagher dan Green (2002) menunjukkan bahwa berwarna putih bening atau kekuningan
ukuran eksplan embrio muda tanaman saw merupakan kalus yang dapat mengikuti pola
palmetto bertambah menjadi empat kali lebih embriogenik. Hasil yang sama dari penelitian
besar setelah dikultur selama dua minggu. Capuana dan Debergh (1997) menunjukkan
Pembentukan kalus mulai tampak pada bahwa kalus yang dihasilkan dari perlakuan 2,4-
kedua ujung eksplan (bagian yang luka akibat D mempunyai tekstur remah dan berwarna
pemotongan), setelah diinkubasi selama dua kekuningan. Sel-sel kalus tersebut
minggu pada medium MS + 2,4-D 2 mg/l, dapat berkembang membentuk embrio somatik.
meskipun tidak semua eksplan serentak Shimizu et al., (1997) juga menemukan kalus
membentuk kalus pada minggu kedua. Hal ini yang berwarna putih atau kekuningan dengan
mungkin disebabkan oleh tingkat responsifitas tekstur remah merupakan kalus yang kompeten
eksplan terhadap medium kultur yang tidak membentuk embrio somatik.
sama. George et al., (2008) menyatakan 2,4-D Sel yang mempunyai kemampuan menjadi
umum digunakan sebagai sumber auksin embriogenik sangat tergantung pada tingkat awal
eksogen terutama untuk menginisiasi diferensiasi sel serta kondisi lingkungan yang
pembentukan kalus embriogenik pada proses mendukungnya terutama interaksi kandungan
embriogenesis somatik, tetapi embrio somatik hormon endogen dengan konsentrasi zat
tidak dapat berkembang lebih lanjut sebelum pengatur tumbuh eksogen yang diberikan
konsentrasi auksin dikurangi atau bahkan sehingga konsentrasi zat pengatur tumbuh di
dihilangkan sama sekali dari medium kultur. dalam sel berubah. Perubahan konsentrasi
Jumlah eksplan yang membentuk kalus tersebut merupakan triggering factor atau faktor
terus bertambah setelah minggu ke tiga inkubasi, pemicu yang dapat mempengaruhi ekspresi gen
demikian pula dengan ukuran kalus yang dalam menentukan embriogenesis somatik.

Tabel 2. Efisiensi pembentukan kalus dan penampakan visual kalus (tekstur dan warna) setelah
dikultur selama 5 minggu pada medium MS + 2,4-D 2 mg/l.
Minggu Jumlah eksplan yang membentuk Persentase
Tekstur dan Warna Kalus
ke… kalus pembentukan kalus
1 0±0 0% -
Agak kompak,
2 33.66 ± 1.52 42,07 %
Putih bening, kekuningan
Friabel,
3 67 ± 2.64 83,75 %
Putih bening, kekuningan
Friabel,
4 72.66 ± 2.51 90,83 %
Putih bening, kekuningan
Friabel,
5 72.66 ± 2.51 90,83 %
Putih bening, kekuningan
Efisiensi pembentukan kalus 90,83 %
140 Jurnal Bionature, Volume 13, Nomor 2 ,Oktober 2012, hlm.136-140

a b c

Gambar 4. Pembentukan kalus embriogenik pada medium MS + 2,4 – D 2 mg/l.


a. Kalus pada awalnya terbentuk pada ujung hipokotil (umur 2 minggu);
b. Pembentukan kalus meluas keseluruh permukaan eksplan (umur 3 minggu);
c. Kalus embriogenik menutupi seluruh permukaan eksplan (umur 5 minggu).
Skala; a= 1,5 mm; b,c = 2 mm

D. KESIMPULAN Pertumbuhan kalus tampak maksimal dan


menutupi seluruh permukaan eksplan setelah
Penambahan 2 mg/l 2,4-
diinkubasi selama lima minggu dengan
dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) pada
persentase pembentukan kalus mencapai 90,83%.
medium Murashige and Skoog (1962), dapat
Warna kalus umumnya putih bening atau putih
menginduksi pembentukan kalus embriogenik
kekuningan dengan tekstur friable atau remah.
pada hipokotil kecambah wortel (Daucus carota
Ciri fisik ini merupakan ciri umum kalus yang
L) setelah dikultur selama lima minggu. Kalus
bersifat embriogenik, yakni kalus yang dapat
mulai tampak pada kedua ujung eksplan (bagian
berkembang menjadi embrio somatik jika di sub
yang luka akibat pemotongan), setelah
kultur pada medium baru yang sesuai.
diinkubasi selama dua minggu dan terus
bertambah setelah memasuki minggu ke tiga.

E. DAFTAR PUSTAKA
Capuana M. and P.C Debergh. 1997. Improvement of the Kikuchi A., Sanuki N., Higashi K., Koshiba T., Kamada
maturation and germination of horse chesnut H. 2006. Abscisic acid and stress
somatic embryos. Plant Cell Tiss. Org.Cult. treatment are essential for the acquisition of
48:23-29. embryogenic competence by carrot
George E.F., Hall M.A., Jan De Clerk G. 2008. Plant somatic cells. Planta 223: 637-645.
propagation by tissue culture 3rd edition. Volume Li Y., Wu Y.H., Hagen G., Guilfoyle T. 1999.
1. The background. Springer. P: 183-197. Expression of the auxin-inducible GH3
Hagio T. 2002. Adventitious shoot regeneration from promoter/GUS fusion gene as a useful molecular
immature embryos of Shorgum. Plant Cell Tiss. marker for auksin physiology. Plant Cell Physiol.
Org. Cult. 68:65–72. 40: 675-682.
Indrianto A. 2003. Kultur jaringan tumbuhan. Fakultas Nishiwaki M., Fujino K., Koda Y., Masuda K., Kikuta Y.
Biologi. Universitas Gadjah Mada. 2000. Somatic embryogenesis induced
Yogyakarta. by the simple application of abscisic acid to
Kamada H., Ishikawa K., Saga H., Harada H. 1993. carrot (Daucus carota L.) seedlings in
Induction of somatic embryogenesis in carrot by culture. Planta 211:756-759.
osmotic stress. Plant Tiss. Cult. Lett. 0: 38-44. Shimizu K, N.. Nagaike., T. Yobuya. and T. Edachi.
Kermode A. 1990. Regulatory mechanisms involved in 1997. Plant regeneration from suspension culture
the transition from seed development to of Iris germica. Plant Cell Tiss. Org. Cult.
germination. Critical reviews in plant science 9: 50: 27-31.
155-195. Wiendi N.M.A., G.A. Wattimena. dan L.V. Gunawan.
1991. Perbanyakan tanaman. Bioteknologi
Tanaman I. PAU IPB. 507 hlm.

Anda mungkin juga menyukai