NIM : 1308012049
Gambar. Silia pada saluran pernafasan juga sekresi mukus oleh sel mukosa saluran
pernafasan sebagai pertahanan tubuh
Pertahanan Mekanik
Pertahanan mekanik merupakan pertahanan tubuh karena adanya pergerakan struktur organ
didalam tubuh. Misalnya rambut hidung sebagai filter udara, struktur silia pada saluran
pernafasan juga terus menerus mengalami pergerakan yang mendorong pathogen yang telah
terikat pada mucus ke luar tubuh.
Pertahanan Kimia
Pada manusia, misalnya sekresi yang berupa air mata, mukus, saliva, keringat, sebum akan
memberikan pH yang berkisar 3-5 yang cukup asam dalam mencegah kolonisasi oleh banyak
pathogen. Selain itu, semua sekresi tersebut mengandung protein antimikroba yang disebut
dengan lisozim. Lisozim yaitu enzim yang mencerna dinding sel dari banyak jenis bakteri.
Mikroba yang masuk kedalam saluran pencernaan bersama makanan juga akan menghadapi
suasana lambung yang sangat asam. Asam akan merusak banyak banyak mikroba sebelum
mikroba tersebut masuk kesaluran usus. Akan tetapi terdapat pengecualian penting yaitu virus
hepatitis A merupakan salah satu dari sekian banyak pathogen yang dapat bertahan hidup
dalam keasaman lambung. Selait itu, asam laktat yang terkandung dicairan keringat dan
cairan yang disekresikan vagina.
Pertahanan Biologis
Terdapat beberapa jenis bakteri yang merupakan flora alami kulit dan membran mukosa.
Bakteri tersebut tidak berbahaya bagi tubuh melainkan melindungi kita dengan cara
berkompetisi dengan bakteri pathogen dalam mendapatkan nutrisi.
Jenis Fungsi
Leukosit
Neutrofil Bersifat fagositosis
Eosinofil Berperan dalam reaksi alergi
Basofil Melepaskan histamin yang menyebabkan reaksi
inflamasi
Monosit Besifat fagositosis
Limfosit Berperan dalam respon imun spesifik
Limfosit B
Respon imunitas yang diperantarai antibodi
Limfosit T
Respon imunitas yang diperantarai sel
Respon Imun
Jika pathogen memasuki tubuh, ada 2 cara yang dilakukan oleh tubuh dalam memberikan
respon terhadap masuknya pathogen tersebut yaitu respon imun non-spesifik dan respon imun
spesifik.
Keterangan: 1. Respon yang terlokalisasi dipicu ketika sel-sel jaringan yang rusak oleh
bakteri atau kerusakan fisik membebaskan sinyal kimiawi seperti histamin dan
prostaglandin. 2. Sinyal tersebut merangsang pembesaran kapiler (yang mengakibatkan
peningkatan aliran darah) dan meningkatkan permeabilitas kapiler di daerah yang
terserang. Sel-sel jaringan juga membebaskan zat kimia yang mengandng fagositik dan
limfosit. 3. Ketika fagosit tiba ditempat luka, mereka memakan patogen dan serpihan-
serpihan sel dan jaringan itu sembuh.
Fagositosis
Fagositosis dilakukan oleh leukosit jenis neutrofil dan monosit.
Neutrofil menyusun sekitar 60%-70% dari semua leukosit. Sel-sel yang dirusak oleh
mikroba yang menyerang membebaskan sinyal kimiawi yang menarik neutrofil dari darah
untuk memasuki jaringan yang terinfeksi, lalu menelan dan merusak mikroba tersebut. Akan
tetapi neutrofil cendrung akan merusak diri sendiri ketika neutrofil tersebut memfagositasi
pathogen. Masa hidup neutrofil rata-rata hanya beberapa hari.
Monosit menyusun sekitar 5% dari seluruh leukosit. Monosit bersirkulasi dalam
darah hanya beberapa jam kemudian bermigrasi kedalam jaringan dan berkembang menjadi
makrofag. Makrofag ini merupakan sel fagositik terbesar, sangat efektif dan berumur
panjang. Sel ini akan menjulurkan pseudopodianya yang dapat menempel pada polisakarida
permukaan mikroba, menelan mikroba dan mencernanya dengan enzim-enzim lisozim
tersebut.
Aksi antibodi terhadap antigen seperti terlihat pada gambar diatas meliputi:
Secara garis besar, respon imun dapat digambarkan seperti dibawah ini:
Gambar. Pada gambar ini diperlihatkan respon imun primer dari respon imun yang
diperantarai antibodi dan yang diperantarai sel.
RESPON IMUN
Respon imun merupakan respon yang ditimbulkan oleh sel-sel dan molekul yang
menyusun sistem imunitas setelah berhadapan dengan substansi asing (antigen). Respon imun
ini juga banyak didefinisikan sebagai respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang
kompleks terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut. Respons ini dapat
melibatkan berbagai macam sel dan protein, terutama sel makrofag, sel limfosit, komplemen,
dan sitokin yang saling berinteraksi secara kompleks. Respon imun bertanggung jawab
mempertahankan kesehatan tubuh, yaitu mempertahankan tubuh terhadap serangan sel
patogen maupun sel kanker.
Respon imun terbagi menjadi dua jenis berdasarkan mekanisme pertahanan tubuh
yaitu :
· Respon imun spesifik : Menghancurkan senyawa asing yang sudah dikenalnya
· Respon imun nonspesifik : Lini pertama terhadap sel sel atipikal (sel asing, mutan yang
cedera) Mencakup : Peradangan, interferon, sel NK dan sistem komplemen
Respon sistem imun tubuh pasca rangsangan substansi asing (antigen) adalah munculnya sel
fungsional yang akan menyajikan antigen tersebut kepada limfosit untuk dieliminasi. Setelah
itu muncul respon imun nonspesifik dan/atau respon imun spesifik, tergantung
kondisi survival antigen tersebut. Apabila dengan repon imun spesifik sudah bisa dieliminasi
dari tubuh, maka respon imun spesifik tidak akan terinduksi. Apabila antigen masih bisa
bertahan (survival), maka respon imun spesifik akan terinduksi dan akan melakukan proses
pemusnahan antigen tersebut.
Respon imun seluler bertujuan mengeliminasi mikroorganisme intrasel dan terutama
dilakukan oleh limfosit T yang teraktifasi. Aktifasi limfosit membutuhkan paparan antigen
dan stimulus dari sinyal-sinyal yang berasal dari mikroorganisme atau berasal dari respon
imun alamiah terhadap mikroorganisme tersebut. Adapun perbedaan antara respon imun
spesifik dan nonspesifik adalah sebagai berikut :
Respon Peradangan :
Sistem imun ialah semua mekanisme yang digunakan tubuh untuk mempertahankan
keutuhannya terhadap bahaya yang dapat menimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan
hidup. Respons imun adalah respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang kompleks
terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut. Respons imun ini dapat melibatkan
berbagai macam sel dan protein, terutama sel makrofag, sel limfosit, komplemen, dan sitokin
yang saling berinteraksi secara kompleks. Imunitas mempunyai tiga fungsi utama :
Untuk melindungi dirinya, tubuh memerlukan mekanisme yang dapat membedakan sel-sel itu
sendiri (Self) dari agen-agen penginvasi (nonself). Pertahanan imun terdiri atas sistim imun
alamiah atau nonspesifik (natural/innate) dan didapat atau spesifik (adaptive/acquired).
A. Sistem Imun Non Spesifik
Sistem imun non spesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan
berbagai mikroorganisme, oleh karena dapat memberikan respons langsung. Disebut sistem
non spesifik karena tidak ditujukan terhadap satu mikroorganisme tertentu, telah ada pada
tubuh kita dan siap berfungsi sejak lahir. Dilihat dari caranya diperoleh, mekanisme
pertahanan non spesifik disebut juga respons imun alamiah. Imunitas non spesifik dibedakan
menjadi 3 yaitu fisik, larut, dan seluler. Sedang imunitas non spesifik larut terdiri dari
biokimia dan Humoral.
1. Pertahanan Fisik
Dalam sistem pertahanan fisik atau mekanik, kulit, selaput lendir, silia saluran napas, batuk
dan bersin, merupakan garis pertahanan terdepan terhadap infeksi. Permukaan tubuh
merupakan pertahanan pertama terhadap penetrasi mikroorganisme. Bila penetrasi
mikroorganisme terjadi juga, maka mikroorganisme yang masuk akan berjumpa dengan
berbagai elemen lain dari sistem imunitas alamiah. Produk kelenjar menghambat penetrasi
mikroorganisme, demikian pula silia pada mukosa.
2. Pertahanan Biokimia
Pertahanan biokimia terdiri dari lisozim (keringat), sekresi sebaseus, asam lambung,
laktoferin, dan asam neuraminik. Enzim seperti lisozim dapat merusak dinding sel
mikroorganisme.
3. Pertahanan Humoral
Berbagai bahan dalam sirkulasi berperan dalam pertahanan humoral. Bahan-bahan tersebut
antara lain antibodi, komplemen, interferon dan C-Reactive Protein (CRP).
- Komplemen memiliki 3 fungsi, antara lain dalam proses lisis, kemotaktik dan
opsonisasi bakteri. Jalur alternatif komplemen dapat diaktivasi oleh berbagai macam bakteri
secara langsung sehingga eliminasi terjadi melalui proses lisis atau fagositosis oleh makrofag
atau leukosit yang distimulasi oleh opsonin dan zat kemotaktik, karena sel-sel ini mempunyai
reseptor untuk komponen komplemen (C3b) dan reseptor kemotaktik. Zat kemotaktik akan
memanggil sel monosit dan polimorfonuklear ke tempat mikroorganisme dan memfagositnya.
- Interferon adalah sitokin berupa glikoprotein yang dihasilkan oleh berbagai sel
tubuh yang mengandung nukleus dan dilepas sebagai respon terhadap infeksi virus. Interferon
dapat menginduksi sel-sel di sekitar sel yang terinfeksi virus menjadi resisten terhadap virus.
Di samping itu, interferon juga dapat mengaktifkan Natural Killer Cell (sel NK).
- Protein Fase Akut adalah protein plasma yang dibentuk tubuh akibat adanya
kerusakan jaringan. C-Reactive Protein (CRP) merupakan salah satu contoh dari Protein Fase
Akut. Hati merupakan tempat utama sintesis protein fase akut. Dinamakan CRP oleh karena
pertama kali protein khas ini dikenal karena sifatnya yang dapat mengikat protein C dari
pneumokok. Interaksi CRP ini juga akan mengaktivasi komplemen jalur alternatif yang akan
melisis antigen
- Pertahanan Seluler Fagosit, makrofag, sel NK berperan dalam sistem imun non
spesifik seluler. Meskipun berbagai sel dalam tubuh dapat melakukan fagositosis, tetapi sel
utama yang berperan dalam dalam pertahana non spesifik adalah sel mononukliear (monosit
dan makrofag) serta sel polimorfonuklier atau granulosit. Morfologi sel NK merupakan
limfosit dengan granula besar.
Sel limfosit T dan limfosit B masing-masing berperan pada imunitas selular dan imunitas
humoral. Sel limfosit T akan meregulasi respons imun dan melisis sel target yang dihuni
antigen. Sel limfosit B akan berdiferensiasi menjadi sel plasma dan memproduksi antibodi
yang akan menetralkan atau meningkatkan fagositosis antigen dan lisis antigen oleh
komplemen, serta meningkatkan sitotoksisitas sel yang mengandung antigen yang dinamakan
proses antibody dependent cell mediated cytotoxicy (ADCC).
Antigen eksogen masuk ke dalam tubuh melalui endosistosis atau fagositosis. Antigen-
presenting cell (APC) yaitu makrofag, sel denrit, dan limfosit B merombak antigen eksogen
menjadi fragmen peptida melalui jalan endositosis. Limfosit T mengeluarkan subsetnya, yaitu
CD4, untuk mengenal antigen bekerja sama dengan Mayor Hystocompatablity Complex
(MHC) kelas II dan dikatakan sebagai MHC kelas II restriksi. Antigen endogen dihasilkan
oleh tubuh inang. Antigen endogen dirombak menjadi fraksi peptida yang selanjutnya
berikatan dengan MHC kelas I pada retikulum endoplasma. Limfosit T mengeluarkan
subsetnya, yaitu CD8, mengenali antigen endogen untuk berikatan dengan MHC kelas I, dan
ini dikatakan sebagai MHC kelas I restriksi.
Limfosit adalah sel yang ada di dalam tubuh hewan yang mampu mengenal dan
menghancurkan berbagai determinan antigenik yang memiliki dua sifat pada respons imun
khusus, yaitu spesifitas dan memori. Limfosit berperan dalam respons imun spesifik karena
setiap individu limfosit dewasa memiliki sisi ikatan khusus sebagai varian dari prototipe
reseptor antigen. Reseptor antigen pada limfosit B adalah bagian membran yang berikatan
dengan antibodi yang disekresikan setelah limfosit B yang mengalami diferensiasi menjadi
sel fungsional, yaitu sel plasma yang disebut juga sebagai membran imunoglobulin. Reseptor
antigen pada limfosit T bekerja mendeteksi bagian protein asing atau patogen asing yang
masuk sel inang
Sel limfosit B berasal dari sumsum tulang belakang dan mengalami pendewasaan pada
jaringan ekivalen bursa. Jumlah sel limfosit B dalam keadaan normal berkisar antara 10 dan
15%. Setiap limfosit B memiliki 105 B cell receptor (BCR), dan setiap BCR memiliki dua
tempat pengikatan yang identik. Antigen yang umum bagi sel B adalah protein yang memiliki
struktur tiga dimensi. BCR dan antibodi mengikat antigen dalam bentuk aslinya. Hal ini
membedakan antara sel B dan sel T, yang mengikat antigen yang sudah terproses dalam sel.
Jajaran ketiga sel limfoid adalah natural killer cells (sel NK) yang tidak memiliki reseptor
antigen spesifik dan merupakan bagian dari sistem imun nonspesifik. Sel ini beredar dalam
darah sebagai limfosit besar yang khusus memiliki granula spesifik yang memiliki
kemampuan mengenal dan membunuh sel abnormal, seperti sel tumor dan sel yang terinfeksi
oleh virus. Sel NK berperan penting dalam imunitas nonspesifik pada patogen intraseluler.
REAKSI HIPERSENSITIVITAS
1. Hipersensitivitas tipe 1
Reaksi hipersensitivitas tipe 1 timbul segera setelah adanya pajanan dengan
alergen. Reaksi ini dapat terjadi dalam hitungan menit setelah terjadi kombinasi
antigen dengan antibodi yang terikat pada sel mast pada individu yang telah
tersensitisasi terhadap antigen.3 Reaksi ini sering disebut sebagai alergi dan antigen
yang berperan sebagai alergen. Alergen yang masuk ke dalam tubuh akan
menimbulkan respon imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rinitis
alergi, urtikaria, asma dan dermatitis atopi. Reaksi tipe ini merupakan
hipersensitivitas yang paling sering terjadi.4,5
Reaksi ini disebut sebagai anafilaktik yang bermakna jauh dari perlindungan.
Juga, merupakan kebalikan dari profilaksis. Anafilaksis merupakan akibat dari
peningkatan kepekaan, bukan penurunan ketahanan terhadap toksin.
Sementara itu ada istilah atopi yang sering digunakan untuk merujuk pada
reaksi hipersensitivitas tipe I yang berkembang secara lokal terhadap bermacam
alergen yang terhirup atau tertelan.3
Penderita atopi memiliki kadar IgE yang lebih tinggi dan produksi IL-4 yang
lebih banyak dibandingkan populasi umum. Gen yang kemungkinan terlibat dikode
sebagai 5q31 yang mengkode sitokin berupa IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, dan GM-
CSF. Juga gen 6p yang dekat dengan kompleks HLA.
Gambar 1. Reaksi hipersensitivitas tipe I
Hipersensitivitas tipe I memiliki dua fase utama yaitu reaksi inisial atau segera
yang ditandai dengan vasodilatasi, kebocoran vaskular, tergantung pada lokasi,
spasme otot polos atau sekresi glandular. Perubahan tersebut terjadi dalam 5 sampai
30 menit sesudah eksposure dan menghilang dalam 60 menit. Selanjutnya, seperti
pada rinitis alergi atau asma bronkial, dapat terjadi juga reaksi fase lambat yang
terjadi dalam 2-24 jam kemudian, tanpa ada tambahan eksposure antigen dan dapat
bertahan dalam beberapa hari. Fase ini ditandai dengan infiltrasi jaringan oleh
eosinofil, netrofil, basofil, monosit, dan sel T CD4 ++ serta kerusakan jaringan yang
seringkali bermanifestasi sebagai kerusakan epitel mukosa.
Reaksi anafilaktik ini memiliki tiga tahapan utama berupa sensitisasi, fase
aktivasi dan fase efektor. Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut :
I. Fase Sensitisasi
Fase sensitisasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE
sampai diikat silang oleh reseptor spesifik (Fce-R) pada permukaan sel
mas/basofil.
Hampir 50% populasi membangkitkan respon IgE terhadap antigen
yang hanya dapat ditanggapi pada permukaan selaput mukosa saluran nafas,
selaput kelopak mata, dan bola mata, yang merupakan fase sensitisasi. Namun,
hanya 10% yang menunjukkan gejala klinis setelah terpapar alergen dari
udara. Respon-respon yang berbeda tersebut dikendalikan oleh gen
MHC/HLA, terpengaruh dari limfosit T dan IL-4 yang dihasilkan oelh limfosit
CD4+. Individu yang tidak alergi memiliki kadar IL-4 yang senantiasa rendah
karena dipertahankan fungsi sel T supresor (Ts).
Jika pemaparan alergen masih kurang adekuat melalui kontak
berulang, penelanan, atau suntikan sementara IgE sudah dihasilkan, individu
tersebut dapat dianggap telah mengalami sensitisasi. IgE dibuat dalam jumlah
tidak banyak dan cepat terikat oleh mastosit ketika beredar dalam darah.
Ikatan berlangsung pada reseptor di mastosit dan sel basofil dengan bagian Fc
dari IgE. Ikatan tersebut dipertahankan dalam beberapa minggu yang dapat
terpicu aktif apabila Fab IgE terikat alergen spesifik.
II. Fase Aktivasi
Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan
antigen yang spesifik dan sel mas/basofil melepas isinya yang berisikan granul
yang menimbulkan reaksi. Hal ini terjadi oleh ikatan silang antara antigen dan
IgE
Ukuran reaksi lokal kulit terhadap sembarang alergen menunjukkan
derajat sensitifitasnya terhadap alergen tertentu, respon anafilaktik kulit dapat
menjadi bukti kuat bagi pasien bahwa gejala yang dialami sebelumnya
disebabkan alergen yang diujikan.
Efektor utama pada hipersensitifitas tipe I adalah mastosit yang
terdapat pada jaringan ikat di sekitar pembuluh darah, dinding mukosa usus
dan saluran pernafasan. Selain mastosit, sel basofil juga berperan.
Ikatan Fc IgE dengan molekul reseptor permukaan mastosit atau basofil
mempersiapkan sel tersebut untuk bereaksi bila terdapat ikatan IgE dengan
alergen spesifiknya. Untuk aktivasi, setidaknya dibutuhkan hubungan silang
antara 2 molekul reseptor yang mekanisme bisa berupa :
1. Hubungan silang melalui alergen multivalen yang terikat dengan Fab
molekul IgE
2. Hubungan silang dengan antibodi anti IgE
3. Hubungan silang dengan antibodi-antiresptor
Namun, aktivasi mastosit tidak hanya melalui mekanisme keterlibatan IgE
atau reseptornya. Anafilaktosin C3a dan C5a yang merupakan aktivasi
komplemen dan berbagai obat seperti kodein, morfin dan bahan kontras juga
bisa menyebabkan reaksi anfilaktoid. Faktor fisik seperti suhu panas, dingin
dan tekanan dapat mengaktifkan mastosit seperti pada kasus urtikaria yang
terinduksi suhu dingin.
Sel mast banyak mengandung mediator primer atau preformed antara lain
histamin yang disimpan dalam granul. Sel mast juga diaktifkan dapat memproduksi
mediator baru atau sekunder atau newly generated seperti L T dan PG. Secara umum,
mediator yang dihasilkan oleh sel mast dan mekanisme aksinya sebagai berikut :
2. Hipersensitivitas tipe 2
Reaksi hiersensitivitas tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik,
terjadi karena dibentuknya antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang
merupakan bagian sel pejamu. Reaksi diawali oleh rekasi antara antibodi dan
determinan antigen yang merupakan bagian dari membran sel tergantung apakah
komplemen atau molekul aksesori dan metabolisme sel dilibatkan.
Istilah sitolitik lebih tepat mengingat reaksi yang terjadi disebabkan lisis dan
bukan efek toksik. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor
Fcy-R dan juga sel NK yang dapat berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan
kerusakan melalui ADCC. Reaksi tipe II dapat menunjukkan berbagai manifestasi
klinik
Antibodi spesifik terhadap antigen sel dan jaringan dapat berdeposit di
jaringan dan menyebabkan jejas dengan menginduksi inflamasi lokal, atau
mengganggu fungsi sel normal. Antibodi terhadap antigen jaringan menginduksi
inflamasi dengan memanggil dan mengaktivasi leukosit. Antibodi IgG dari subkelas
IgG1 dan IgG3 terikat pada reseptorFcneutrofil dan makrofag dan mengaktivasi
leukosit-leukosit ini, menyebabkan inflamasi. IgM mengaktivasi sistem komplemen
melalui jalur klasik, menyebabkan produksi zat-zat yang dihasilkan komplemen yang
merekrut leukosit dan menginduksi inflamasi. Ketika leukosit teraktivasi di situs
deposit antibodi, sel-sel ini memproduksi substansi seperti intermediet reaktif oksigen
dan enzim lisosom yang merusak jaringan sekitarnya. Jika antibodi terikat pada sel,
seperti eritrosit dan platelet, sel akan teropsonisasi dan dapat dicerna dan dihancurkan
oleh fagositpejamu. Beberapa antibodi dapat menyebabkan penyakit tanpa secara
langsung menyebabkan jejas jaringan. Misalnya pada antibodi terhadap reseptor
hormon yang dapat menghambat fungsi reseptor; pada beberapa kasus
myasteniagravis, antibodi terhadap reseptor asetilkolin menghambat transmisi
neuromuskular dan menyebabkan paralisis. Antobodi lainnya dapat mengaktivasi
reseptor tanpa adanya hormon fisiologis; seperti grave’sdisease, Dimanaantibodi
terhadap reseptor TSH menstimulasi sel tiroid bahkan tanpa keberadaan hormon
tiroid.
Banyak kelainan hipersensitivitas kronik pada manusia yang terkait dengan
antibodi anti jaringan. Terapi untuk kelainan ini terutama untuk membatasi inflamasi
dan konsekuen jejasnya, dengan obat seperti kortikosteroid. Pada beberapa kasus yang
parah, plasmafaresis digunakan untuk mengurangi kadar antibodi yang bersirkulasi.
Terdapat ketertarikan untuk mencoba pendekatan pada inhibisi produksi autoantibodi
(misal, dengan antagonis yang memblokligan CD40 sehingga menghambat aktivasi
sel B dependen sel Th)
Reaksi tranfusi
Sejumlah besar protein dan glikoprotein pada membran SDM disandi oleh
berbagai gen. Bila darah individu golongan darah A mendapat tranfusi golongan
darah B terjadi reaksi tranfusi, oleh karena anti B isohemaglutinin berikatan dengan
sel darah B yang menimbukan kerusakan darah direk oleh hemolisis masif
intravakular. Reaksi dengan cepat atau lambat. Reaksi cepat biasanya disebabkan oleh
inkompatibilitas golongan darah ABO yang dipacu olehIgM. Dalam beberapa jam
hemoglobin bebas dapat ditemukan dalam plasma dan disaring melalui ginjal dan
menimbulkan hemoglobinuria. Beberapa hemoglobin diubah menjadi bilirubin yang
pada kadar tinggi bersifat toksik. Gejala khasnya berupa demam, menggigil, nausea,
bekuan dalam pembuluh darah, nyeri pinggang dan hemoglobinuria.
Reaksi tranfusi darah yang lambat terjadi pada mereka yang pernah mendapat
tranfusi berulang dengan darah yang kompatibel ABO namun inkompatibel dengan
golongan darah lainnya. Reaksi terjadi 2 sampai 6 hari setelahtranfusi. Darah yang
ditranfusikan memacu pembentukan IgG terhadap antigen membran golongan darah,
tersering adalah golongan rhesus, kidd, Kelldan duffy.
Gambar 6. Tiga mekanisme utama hipersensitivitas tipe II
Anemia hemolitik
Antibiotika tertentu seperti penisilin, sefalosporin, dan streptomisin dapat diabsorpsi
nonspesifik pada protein membran SDM yang membentuk kompleks serupa kompleks
molekul hapten pembawa. Pada beberapa penderita, kompleks membentuk antibodi
yang selanjutnya mengikat obat pada SDM dan dengan bantuan komplemen
menimbulkan lisis dengan dan anemia progresif
Tabel 1. Contoh penyakit-penyakit yang dimediasi antibodi (hipersensitivitas tipe II)
3. Hipersensitivitas tipe 3
Hipersensitivitas ini terjadi karena adanya reaksi antara antigen dan antibodi
yang mengendap dalam jaringan yang dapat berkembang menjadi kerusakan pada
jaringan tersebut. Reaksi ini terjadi jika antigen berada dalam bentuk larutan dan
dapat terjadi baik pada jaringan atau sirkulasi. Potensi patogenik kompleks imun
tergantung pada ukurannya. Ukuran agregat yang besar akan mengikat komplemen
dan segera dibersihkan dari peredaran darah oleh sistem fagositmononuklear sedang
agregat yang lebih kecil ukurannya cenderung diendapkan pada pembuluh darah.
Dimana, terjadi dimulai kerusakan melalui ikatan reseptor Fc dan komponen-
komponen pada permukaan endotel yang berakibat pada kerusakan dinding pembuluh
darah. Contoh kasus reaksi tipe III ialah vaskulitis nekrotikans.1
Gambar 7. Reaksi hipersensitivitas tipe III
Antigen yang membentuk kompleks imun dapat berasal dari luar, seperti
protein asing yang diinjeksikan atau dihasilkan mikroba. Juga, berasal dari dalam jika
seseorang menghasilkan antibodi melawan komponennya sendiri (autoimun).
Penyakit yang dimediasi oleh kompleks imun dapat bersifat sistemik jika terbentuk di
sirkulasi dan terdeposit pada berbagai organ atau terlokalisasi pada organ tertentu
seperti ginjal (glomerulonefritis), sendi (arthritis), atau pembuluh darah kecil pada
kulit.3 Reaksi hipersensitivitas tipe III setempat dapat dipicu dalam jaringan kulit
individu yang tersensitisasi, yang memiliki antibodi IgG yang spesifik terhadap
antigen pemicusensitisasi tersebut. Apabila antigen disuntikkan ke dalam individu
tersebut, IgG yang telah berdifusi ke jaringan kulit akan membentuk senyawa
kompleks imun setempat. Kompleks imun tersebut akan mengikat reseptor Fc pada
permukaan sel dan juga mengaktifkan komplemen sehingga C5a yang terbentuk akan
memicu respons peradangan setempat disertai peningkatan permeabilitas pembuluh
darah setempat. Peningkatan permeabilitas ini memudahkan cairan dan sel-sel darah,
khususnya netrofil, masuk ke jaringan ikat setempat di sekitar pembuluh darah
tersebut.
Hipersensitivitas ini dapat bermanifestasi pada kompleks imun sistemik
berupa acute serum sickness serta lokal berupa reaksi artrus. Acute serum sickness
pada masa sekarang kurang begitu umum terjadi. Percobaan untuk mengetahui reaksi
ini dilakukan dengan pemberian sejumlah besar serum asing seperti serum dari kuda
yang terimunisasi yang digunakan untuk perlindungan terhadap difteri.
Umumnya kerusakan terjadi karena ada pengendapan kompleks imun yang
berlangsung melalui 4 tahap yaitu :2,3
Ikatan antibodi dengan antigen membentuk kompleks imun
Pengenalan antigen protein memicu respons imun yang membuat
dilakukannya produksi antibodi, sekitar satu Minggu sesudah injeksi protein.
Antibodi tersebut disekresikan ke dalam darah, dimana mereka dapat bereaksi
dengan antigen yang masih ada di sirkulasi dan membentuk kompleks antigen-
antibodi
Kompleks imun akan mengendap pada jaringan tertentu seperti endotel,
kulit, ginjal dan persendian
Faktor yang menentukan apakah pembentukan kompleks imun akan
memicu reposisi jaringan dan penyakit belum begitu dimengerti. Secara
umum, kompleks imun yang berukuran medium merupakan yang paling
patogenik. Organ yang darahnya tersaring pada tekanan tinggi untuk
membentuk cairan lain seperti Turin dan cairan sinovial lebih seiring terserang
sehingga meningkatkan kejadian kompleks imun pada glomerulus dana sendi
Faktor humoral seperti komplemen dan enzim fagosit dan faktor seluler
akan berkumpul di daerah pengendapan
Berlangsung kerusakan jaringan oleh faktor humoral dan seluler
Kompleks imun yang terdeposit pada jaringan akan menginisiasi reaksi
inflamasi akut. Selama fase ini sekitar 10 hari sesudah antigen masuk, dapat
terjadi manifestasi klinis seperti demam, urtikaria, nyeri sendi (artralgia),
pembesaran nodus limfe, dan proteinuria. Kerusakan yang terjadi cukup mirip
pada organ apapun yang terlibat. Lesi inflamasi diberi nama sebagai vaskulitis
jika terjadi pada pembuluh darah, glomerulonefritis jika terjadi pada
glomerulus ginjal, artritis jika terjadi terjadi pada sendi dan sebagainya.
Antibodi yang mengikat komplemen (seperti IgG dan IgM) dan
antibodi yang mengikat reseptor Fc leukosit (beberapa sebelas IgG)
menginduksi lesi patologis. Karena adanya penggunaan komplemen, dapat
terjadi penurunan level serum C3 yang biasanya digunakan untuk memonitor
aktivitas penyakit.
Jika penyakit berasal dari eksposure terhadap antigen tunggal yang
besar, lesi cenderung untuk pecah, sebagai akibat katabolisme kompleks imun.
Bentuk serum sickness yang kronis terjadi akibat eksposure antigen berulang
atau berkepanjangan. Hal ini dapat terjadi pada penyakit SLE yang berkaitan
dengan respons antibodi persisten terhadap autoantigen. Pada beberapa
penyakit, meski terdapat perubahan morfologis dan terdapat temuan reposisi
kompleks imun, tetapi antigennya tidak diketahui dengan pasti seperti pada
glomerulonefritis dan poliarteritisnodosa.
Sementara itu, reaksi arthus merupakan nekrosis jaringan dengan area
terlokalisasi yang terjadi dari vaskulitis kompleks imun aktif yang biasanya
terjadi pada kulit. Secara eksperimen, reaksi dapat dihasilkan dengan injeksi
intrakutan satu antigen pada hewan yang sudah terimunisasi dan memiliki
antibodi bersirkulasi yang melawan antigen tersebut. Ketika antigen berdifusi
ke dinding vaskular, akan terjadi ikatan yang ditunjukkan oleh antibodi,
selanjutnya kompleks imun besar terbentuk secara lokal. Kompleks imun
besar terbentuk secara lokal. Kompleks ini mengendap pada dinding pembuluh
darah dan menyebabkan nekrosis fibrinoid maupun trombosis yang dapat
memperburuk cedera berupa iskemik.3
4. Hipersensitivitas tipe 4
Sebagian besar hipersensitivitas tape IV dipercaya merupakan penyebab dari
autoimunitas. Reaksi autoimun biasanya ditargetkan langsung terhadap antigen sel
dengan distribusi jaringan yang terbatas. Sehingga penyakit autoimun yang dimediasi
sel T cenderung terbatas pada beberapa organ atau bisanya tidak iskemik. Jejas
jaringan dapat juga mengiringi respons sel T normal terhadap mikroba. Sebagai
contoh, pada tuberkulosis, terdapat respons imun terhadap M. Tuberkulosis dan
responnya menjadi kronik karena infeksinya sulit dieradikasi. Inflamasigranulomatosa
yang dihasilkan merupakan penyebab utama dari jejas pada jaringan normal pada
situs infeksi dan kerusakan fungsional. Pada infeksi virus hepatitis, virusnya sendiri
tidak bersifat sitopatik tinggi, tapi respons limfosit T sitolitik terhadap hepatosit yang
terinfeksi yang menyababkanjejas pada liver.
Pada penyakit yang dimediasi sel T, jejas jaringan disebabkan oleh DTH yang
dimediasi oleh CD4+ atau isis dari sel pejam oleh limfosit T sitolitik CD8+.
Mekanisme jejas jaringan adalah sama dengan mekanisme yang digunakan sel T
untuk mengeliminasi mikroba yang terkait sel. Sel T CD4+ dapat bereaksi terhadap
antigen sel atau jaringan dan menyekresi Sitokin yang menginduksi inflamasi lokal
dan mengaktivasimakrofag. Jejas jaringan aslinya disebabkan oleh makrofag dan sel
radang lainnya. Sel T CD8+ spesifik untuk antigen pada sel autologi dapat langsung
membunuh sel-sel tersebut. Pada banyak penyakit autoimun yang termediasi sel T,
terdapat sel T CD4+ dan sel T CD8+ spesifik untuk antigen pejamu, dan keduanya
berkontribusi dalam jejas jaringan.
Sel T melepas Sitokin bersama dengan produksi mediator sitotoksik lainnya
menimbulkan respons inflamasi yang terlihat pada penyakit kulit hipersensitivitas
lambat. Contohnya dermatitis kontak yang diinduksi oleh etilendiamine, neomisin,
anestesi topikal, antihistamin topikal dan steroid topikal.
Terapi untuk hipersensitivitas yang dimediasi sel T didesain untuk mengurangi
inflamasi, menggunakan kortikosteroid dan antagonis terhadap Sitokin seperti TNF,
dan untuk menghambat respons sel T dengan obat imunosupresif seperti siklosporin.
Antagonis TNF telah dibuktikan bermanfaat pada pasien dengan rheumatoidarthritis
dan inflammatoryboweldisease. Banyak agen-agen baru yang dikembangkan untuk
menghambat respons sel T. Hal ini meliputi antagonis terhadap reseptor untuk Sitoli
seperti IL-2, dan agen yang jeblok kostimulator seperti B7.
Dewasa ini reaksi hipersensitivitas tipe IV telah dibagi dalam DTH yang
terjadi melalui sel CD4+ dan T cellmediatedcytolysis yang terjadi melalui sel CD8+
Gambar 8. Mekanisme dari reaksi hipersensitivitas tipe IV
DelayedTypehypersensitivity tipe IV
Contoh klasik dari DTH adalah reaksi tuberculin, yang diproduksi oleh injeksi
intrakutan dari tuberculin, suatuprotein-lipopolisakarida yang merupakan komponen
dari tuberkelbacillus. Pada individu yang sebelumnya telah tersensitisasi, terjadi
kemerahan dan indurasi pada situs dalam waktu 8-12 jam, mencapai puncak dalam
24-72 jam, dan berkurang. Secara morfologis, DTH dikarakterisasi oleh akumulasi sel
mononuklear di sekililing vena kecil dan venula, menghasilkan sebuah
“perivascularcuffing”. Terdapat asosiasi mengenai peningkatan permeabilitas
mikrovaskular yang disebakan mekanisme yang sama dengan inflamasi lainnya.
Sehingga protein plasma akan keluar dan menyebabkan edemadermal dan reposisi
fibrin di interstitial. Yang terakhir menjadi penyebab utama terjadinya indurasi, yang
menjadi ciri DTH, pada lesi yang telah berkembang penuh, venula yang dikelilingi
limfosit akan menunjukkan hipertrofi atau hiperplasiaendotel.
Dengan antigen persisten atau yang sulit didegradasi, seperti tuberkelbacilli
yang berkolonisasi di paru atau jaringan lain, infiltrat limfosit perivaskular yang
muncul di awal akan digantikan oleh makrofag dalam waktu 2 atau 3 minggu.
Makrofag yang terakumulasi sering kali mengalami perubahan morfologis menjadi sel
epiteloid (mirip sel epitel). Secara mikroskopis, agregat sel epiteloid yang dikelilingi
oleh limfosit, disebut dengan granuloma. Pola inflamasi yang kadang terlihat pada
hipersensitivitas tipe IV ini disebut dengan inflamasigranulomatosa.
Tahapan seluler dari DTH dapat dimisalkan oleh reaksi tuberkulin. Ketika seorang
individu pertama kali terekspos terhadap antigen protein tuberkelbacilli, sel CD4+ T
naive mengenali peptida turunan antigen dan terkait dengan molekul kelas II pada
permukaan APC. Hal ini memicu diferensiasi dari sel T CD4+ naive menjadi sel Th1.
Induksi sel Th1 merupakan hal terpenting karena ekspresi DTH bergantung pada
sebagian besar Sitokin yang diskresi oleh sel TH1. Beberapa sel Th1 akan memasuki
sirkulasi dan tetap berada pada polo memori sel T untuk waktu yang lama. Atau
injeksi intrakutan dari tuberkulin pada seseorang yang sebelumnya terekspos
tuberkelbacilli, Diana sel memori Th1 akan mengenali antigen yang ditampilkan APC
dan teraktivasi. Sel-sel Th1 akan menyekresi Sitokin, terutama IFN-y, yang
bertanggung jawab terhadap ekspresi DTH. Sitokin-sitokin yang paling relevan dalam
reaksi ini dan kerja mereka adalah sbb :
IL-2, Sitokin yang diproduksi makrofag dan sel dendritik, penting untuk
induksi respons Th1 dan DTH. Pada tahap awal melawan mikroba, makrofag
dan sel dendritik menyekresi IL-2, yang menginduksi diferensiasi sel T CD4+
menjadi sel Th1. Hal ini akan menyebabkan diproduksinya Sitoki lain, yang
diebutkandibawah ini. IL-2 juga merupakan inducerpoten dari sekresi IFN-y
oleh sel T dan sel NK. IFN-y akan memperbanyak diferensiasi sel Th1.
IFN-y memilik banyak efek dan merupakan mediator kunci pada DTH. Paling
penting adalah merupakan aktivatormakrofag yang kuat. Makrofag yang
teraktivasi berperan dalam mengeliminasi antigen yang menyerang; jika
aktivasi tetap berlangsung maka inflamasi tetap berlanjut dan terbentuk
fibrosis.
IL-2 menyebabkan proliferasi parafin dan autokrin dari sel T, menyebabkan
akumulasi di situs DTH.
TNF dan limfotoksin merupakan 2 sitokin yang memiliki efek terhadap sel
endotel : (1) peningkatan sekresi dari prostasiklin, yang meningkatkan aliran
darah dan menyebabkan vasodilatasi lokal; (2) peningkatan ekspresi P-E-
selektin, molekul adhesi yang mempromosikan penempelan limfosit dan
monosit; dan (3) induksi dan sekresi kemokin seperti IL-8.
Kemokin yang diproduksi sel T dan makrofag merekrut labih banyak lagi
leukosit ke situs reaksi. Tipe inflamasi ini terkadang disebut inflamasi imun.
Hipersensitivitas tipe IV merupakan mekanisme utama pertahanan beragam
patogen intrasel, termasuk mycobacteria, jamur, dan parasit tertentu dan juga berperan
dalam rejeksitranplant dan imunitas tumor. Namun di sisi lain, DTH juga dapat
menyebabkan penyakit. Dermatitis kontak merupakan contoh umum dari jejas
jaringan yang disebabkan oleh DTH. Hal ini dapat terjadi akibat kontak dengan
urushiol, komponen antigen dari posionivy atau poisonlak dan bermanifestasi dalam
bentuk dermatitis vaskuler. Mekanisme dasarnya mirip dengan yang dijelaskan
sebelumnya untuk sensitivitas tuberkulin. Pada pajanan berulang terhadap tanaman
tersebut, sel CD4+ yang tersensitisasi terakumulasi di dermis, kemudian bermigrasi
menuju antigen di epidermis. Di sana mereka melepaskan Sitokin yang merusak
keratinosit, menyebabkan pemisahan dari sel-sel ini dan pembentukan
vesikelintraepidermal.
T cell-mediatedcytotoxicity
Perforin dan granzyme merupakan mediator yang telah dibentuk yang terdapat
di dalam granula mirip lisosom dari CTL. Perforin dapat memperforasi membran
plasma dari sel target yang sedang diserang limfosit CD8+. Pada awalnya, sel T
CD8+ mendekati sel target, kemudian terjadi polimerisasi dari molekul perforin yang
dilepaskan dan insersinya ke membran sel target, menyebabkan terbentuknya lubang-
lubang di membran. Granul-granul CTL mengandung protese yang disebut dengan
granzyme, yang diantarkan ke sel target melalui pori-pori yang disebut perforin. Saat
berada di dalam sel, granzyme akan mengaktivasikaspase, yang menginduksi
apoptosis sel target. Sebagai tambahan, pori-pori perforin menyebabkan air masuk ke
dalam sel, menyebabkan isis osmotik. fas dependen Kipling juga menginduksi
apoptosis sel target namun dengan mekanisme yang berbeda. CTL mengekspresikan
Fas Lian, molekul yang homolog dengan TNF, yang dapat terikat dengan Fas yang
diekspresikan oleh sel target. Interaksi ini akan menyebabkan terjadinya apoptosis.