Anda di halaman 1dari 4

A.

Perberdaan Akad Salam dengan Akad Jual Beli (Biasa)

Sering kali orang tidak bisa membedakan apakah transaksi yang dia lakukan adalah
jual beli salam atau istishna’ atau bahkan jual beli biasa. Padahal ada beberapa
perbedaan-perbedaan diantara ketiga tersebut.

1. Perbedaan Akad Jual Beli dengan Akad Salam1

Ada beberapa syarat-syarat khusus dalam akad salam membuat akad ini berbeda
dengan akad jual beli dari beberapa sudut.

a. Mengganti Modal Salam dan Barang Salam di Majlis Akad

1) Mengganti modal salam dengan barang lain yang tidak sejenis.


Menurut ulama hanafiyah, tidak boleh mengganti modal salam
sebelum menyerahkannya. Adapun harga dalam jual beli maka dapat
diganti jika berbentuk dain (hutang). Hal itu karena serah terima modal
salam adalah syarat dalam akad ini, dan dengan adanya pergantian ini
maka tidak tercapai serah terima secara hakiki, karena penjual berarti
menerima barang pengganti dari modal salam itu sendiri, padahal
pengganti barang bukan barang itu sendiri. Adapun harga dalam jual beli
maka tidak disyaratkan harus diserahterimakan di majelis akad, dan barang
pengganti dapat menempati posisinya secara hukum.

2) Mengganti Barang Yang Dibeli.


Dalam akad salam, maka tidak boleh dilakukan juga sebelum diterima,
seperti hukum mengganti barang dagangan yang sosoknya tertentu dalam
akad jual beli. Hal itu karena barang salam adalah barang bergerak
meskipun ada dalam tanggungan, dan menjual barang bergerak sebelm
diserahterimakan adalah tidak boleh.

3) Jika Fasakh (batal) atau Iqolah (mengundurkan diri).


Dalam akad salam, rabbus salam (pembeli) tidak boleh membeli
barang lain dengan modal salam hingga ia menerima modal itu semua. Ini
adalah pendapat menurut Ulama Hanafiyah (Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan
Muhammad Ibnul Hasan) dengan berpijak pada dalil istihsan. Hal ini juga

1
Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu (Damaskus: Darul Fikr, 2007M – 1428H), hal. 257.
sesuai dengan sabda Rasulullah, ”Janganlah kamu mengambil kecuali
barang salam-mu atau modal salam-mu” .

Para ulama sepakat bahwa akad salam jika tidak sah sejak awal maka
dibolehkan mengganti sebelum serah terima, karena keadaan itu tidak
dianggap seperti akad salam. Tidak bolehnya mengganti barang dan modal
salam adalah disepakati juga oleh para ulama dalam mazhab-mazhab yang lain

2. Melakukan Akad Iqolah (Mengundurkan Diri) dalam Sebagian Akad Salam2

Jika rabbus salam (pembeli) mengambil sebagian modal salam nya setelah
tiba waktu penyerahan barang atau sebelumnya dengan kerelaan pemiliknya,
maka hal itu diperbolehkan. Dalam hal ini berarti terjadi akad iqolah
(mengundurkan diri) dalam sebagian akad salam sesuai dengan jumlah modal
salam yang diambil kembali itu, sedangkan sisa modalnya tetap berada dalam
hukum akad salam. Seandainya ia melakukan akad iqolah dalam semua modal,
maka dibolehkan dengan kesepakatan para ulama. Begitu juga dibolehkan jika
melakukan akad iqolah dalam sebagian modal saja. Hal itu seperti dalam jual beli
barang biasa.

3. Pengguguran Modal Salam3

Muslam ilaih (penjual) tidak boleh menggugurkan modal salam dari kewajiban
(tanggungan) rabbus salam (pembeli) tanpa kerelaanya. Jika rabbus salam
menerima, maka pengguguranya itu menjadi sah tetapi akad salam menjadi batal,
karena hal itu mengakibatkan tidak adanya serah terima modal salam. Jika rabbus
salam (pembeli) menolak pengguguran itu, maka akad salam tetap berlaku sah.

Adapun dalam akad jual beli maka jika penjual menggugurkan modal/harga
barang dari tanggungan pembeli, maka tindakan itu adalah sah meskipun tanpa
kerelaan pembeli. Namun pengguguran itu batal jika ada permintaan untuk
membatalkan (pengguguran) kembali, karena pengguguran mengandung makna
pemberian hak kepemilikan secara sukarela (tabarruj) sehingga tidak bersifat
mengikat guna menghindari kemudharatan pemberian.

2
Ibid., hal 259
3
Ibid., hal 261
Perbedaan kedua akad ini adalah bahwa serah terima harga/modal bukanlah
syarat dalam akad jual beli, sedangkan serah terima modal salam di majelis
adalah syarat keabsahan akad salam.

B. Persamaan dan Perbedaan Akad Salam dan Istisna’

Akad istisna’ dan akad salam sama-sama merupaka akad jual beli barang yang
tidak ada wujudnya. Kedua akad ini dibolehkan oleh syariat karena kebutuhan
masyarakat kepadanya dan kebiasaan mereka melakukannya. Hanya saja faktor
diadakannya akad salam adalah kebutuhan mendesak penjual atas uang untuk
memenuhi kebutuhannya dan keluarganya atau kebunnya. Adapun akad istisna’
merupakan akad bisns yang mendatangkan keuntungan bagi penjual (pembuat barang)
dan untuk memnuhi kebutuhan orang yang memesan barang.4

Perbedaan kedua akad sebagai berikut.

1. Barang yang dijual dalam akad salam adalah utang (sesuatu dalam tanggungan).
Barang ini dapat berupa barang yang ditakar, ditimbang, diukur, atau barang
satuan yang ukuranya berdekatan, seperti kelapa dan telur. Adapun yang dijual
dalam akad isitisna’ adalah barang yang dapat ditentukan sosoknya, atau barang
yang ada di dalam majelis akad, bukan utang, seperti memesan perkakas rumah
tangga, sepatu, pakaian. 5

2. Dalam akad salam disyaratkan menentukan waktu penyerahanya, sehingga tidak


sah akad salam tanpa penentuan batas waktu (menurut jumhur ulama selain
mazhab Syafii) seperti satu bulan atau lebih. Sedangkan istisna’ adalah
sebaliknya (menurut Imam Abu Hanifah). Jika ditentukan batas waktunya maka
akad itu berubah menjadi salam. Namun menurut Ash-Shaiban berpendapat
bahwa akad istisna’ boleh dilakukan baik dengan penentuan batas waktu
maupun tidak. Hal itu karena masyarakat telah terbiasa menentukan batas waktu
penyerahan6.

3. Akad salam adalah akad lazim (mengikat) sehingga tidak boleh membatalkanya
dengan keinginan sepihak, tetapi boleh jika disetujui kedua belah pihak. Adapun

4
Ibid., hal 275
5
Ibid.
6
Ibid., hal 276
istisna’ merupakan akad yang tidak lazim, sehinga masing-masing dapat
membatalkanya7.

4. Dalam akad salam disyaratkan penyerahan seluruh modal (harga barang) dalam
majelis akad. Sedangkan dalam akad istisna’ maka hal itu tidak disyariatkan.
Pada umumnya, masyarakat hanya menyerahkan uang muka atau sebagian
harga barang atau seperti sepertiga atau setengah. Hal ini dibolehkan oleh
mazhab Hambali8.

7
Ibid.
8
Ibid.

Anda mungkin juga menyukai