Anda di halaman 1dari 6

PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan emulsifikasi. Emulsi adalah suatu
dispersi yang terdiri dari komponen dasar berupa fase dalam dan fase luar yang tidak
saling bercampur. Umumnya untuk membuat emulsi yang stabil diperlukan suatu fase
ketiga yakni emulgator atau emulsifying agent. Dalam pembuatan emulsi, pemilihan
emulgator merupakan faktor yang penting karena kestabilan suatu emulsi banyak
dipengaruhi oleh emulgator yang digunakan. Salah satu emulgator yang sering
digunakan adalah surfaktan. Surfaktan bekerja dengan cara menurunkan tegangan
antarmuka dari dua fase zat yang tak saling campur. Span merupakan pengemulsi
lipofilik dan tween merupakan pengemulsi hidrofilik. Kombinasi surfaktan hidrofilik
dan lipofilik sering lebih baik daripada surfaktan tunggal karena dengan adanya
campuran surfaktan maka antarmuka dari minyak dan air akan dipenuhi oleh surfaktan
dari dua sisi secara simultan (Supriyo, 2007). Kombinasi dari surfaktan juga dapat
meningkatkan kestabilan dari emulsi dengan membentuk lapisan mono molekuler yang
lebih rapat pada permukaan globul fase terdispersi. Adapun mekanisme kerja
emulgator yaitu, membentuk lapisan monomolekuler yaitu surfaktan yang dapat
menstabilkan emulsi dengan membentuk sebuah lapisan tunggal yang diabsorpsi
molekul atau ion pada permukaan antara minyak/air; membentuk lapisan
multimolekuler yaitu koloid hidrofilik yang membentuk lapisan multimolekuler
disekitar tetesan dari dispersi minyak; pembentukan kristal partikel-partikel padat
(Felton, 2012).
Salah satu metode pembuatan emulsi adalah metode HLB dimana untuk
mendapatkan emulsi yang stabil harus mempertimbangkan nilai HLB (Hydrophilic
Lipophilic Balance) minyak dan emulgator dengan merancang nilai HLB yang saling
berdekatan (Deviarny dan Fersti, 2011). Percobaan emulsifikasi yang dibuat dalam
praktikum ini adalah emulsi minyak dalam air yang diawali dengan menentukan nilai
HLB yang akan digunakan. HLB adalah angka yang menunjukkan perbandingan antara
kelompok senyawa hidrofilik dengan kelompok senyawa hidrofobik. Semakin besar
HLB berarti semakin banyak kelompok senyawa yang suka air. Artinya emulgator
tersebut lebih mudah larut dalam air dan demikian sebaliknya (Syamsuni, 2005). Pada
praktikum ini digunakan tiga nilai HLB butuh minyak yang berbeda yang selanjutnya
diamati kestabilan emulsi tersebut. Nilai HLB butuh minyak yang digunakan adalah
11, 12, dan 13. Berdasarkan nilai HLB butuh minyak tersebut maka dapat ditentukan
jumlah span 60 dan tween 80 yang digunakan.
Pada praktikum ini digunakan emulgator golongan surfaktan yaitu tween 80 dan
span 60. Tween 80 memiliki nilai HLB sebesar 15 sedangkan Span 60 memiliki nilai
HLB sebesar 4,7. Hal ini menunjukkan bahwa Tween 80 bersifat lebih polar daripada
Span 60 sehingga pada saat pembuatan emulsi, Tween 80 dicampurkan dengan air
sementara Span 60 dicampur dengan minyak.
Percobaan diawali dengan menghitung jumlah tween dan span yang dibutuhkan
pada masing-masing HLB. HLB butuh yang dibuat adalah 11, 12, dan 13. Tujuan
dibuat nilai HLB yang berbeda untuk menentukan pada nilai HLB berapa dihasilkan
suatu emulsi yang stabil. Semua bahan ditimbang sesuai kebutuhan kemudian
dicampurkan Tween 80 dengan air, sementara span 60 dicampur dengan minyak.
Masing-masing campuran tersebut kemudian dipanaskan di atas penangas air hingga
larut atau tercampur. Pemanasan bertujuan untuk melarutkan masing-masing
emulgator dalam mediumnya sehingga campurannya lebih merata. Setelah dilakukan
pemanasan, fase minyak dicampurkan ke dalam fase air sedikit demi sedikit.
Penambahan fase minyak secara perlahan dimaksudkan agar fase minyak dapat
tercampurkan dengan baik bersama dengan fase air. Pencampuran dilakukan pada
magnetic stirrer. Besi megnet tersebut berfungsi untuk meratakan pengadukan sistem
emulsi. Pengadukan emulsi oleh magnetic stirrer dilakukan selama 5 menit.
Emulsi yang terbentuk ditandai dengan berubahnya warna campuran menjadi
warna putih susu yang menunjukan bahwa emulsi tersebut telah homogen. Emulsi
selanjutnya dimasukkan ke dalam tabung sedimentasi dan diberi tanda sesuai dengan
nilai HLB masing-masing untuk selanjutnya diamati kestabilannya selama 5 hari. Pada
saat yang bersamaan dilakukan uji identifikasi terhadap tipe emulsi yang dibuat.
Pengujian dilakukan dengan cara metode dispersi zat warna yaitu metilen biru. Pada
pengujian tersebut menunjukan bahwa emulsi yang dibuat merupakan emulsi tipe m/a
atau minyak dalam air. Hal tersebut disebabkan karena volume fase terdispersi (fase
minyak) yang digunakan lebih kecil dari fase pendispersi (fase air), sehingga globul-
globul minyak akan terdispersi ke dalam fase air membentuk emulsi tipe m/a (Pakki,
dkk., 2009) dan metilen biru memiliki sifat yang dapat larut dalam fase pendispersi
(fase air) (Marzuki, dkk., 2011) sehingga ketika metilen biru diteteskan pada emulsi
maka warna biru akan tersebar dalam emulsi.
Ketidakstabilan emulsi ditandai dengan terbentuknya creaming, flokulasi dan
koalesen (McClements, 2004). Kestabilan emulsi dinilai secara fisik. Emulsi akan
dikatakan baik apabila emulsi yang terbentuk secara fisik masih sama hingga
pengamatan berikutnya dan setelah dilakukan pengocokan pada hari ketiga dimana
antara fase air dan fase minyak tidak terpisah atau terjadi koalesen ataupun creaming.
Creaming diawali dengan terbentuknya agregat dari bulatan fase terdispersi yang
mempunyai kecenderungan yang lebih besar untuk naik ke permukaan emulsi atau
jatuh ke dasar emulsi tersebut daripada partikel-partikelnya sendiri. Terjadinya
bulatan-bulatan inilah yang disebut creaming dan apabila tidak terjadi penggabungan
maka akan merupakan proses yang bolak-balik. Bagian yang membentuk krim dari
suatu emulsi dapat didistribusikan kembali secara merata dengan jalan mengocoknya,
tetapi jika agregat tersebut sukar untuk dipecahkan atau pengocokan tidak mencukupi
sebelum digunakan, maka akan diperoleh pemberian dosis dari zat sebagai fase
terdispers yang tidak tepat (Ansel, 1989). Maka dari itu kestabilan suatu emulsi sangat
penting untuk diamati untuk dapat menghasilkan suatu formulasi yang baik.
Dari hasil pengamatan, pada hari pertama emulsi masih stabil. Sedangkan pada
hari berikutnya, semua emulsi membentuk creaming. Creaming merupakan proses
pemisahan yang terjadi akibat terjadi karena gerakan-gerakan ke atas/ke bawah, hal ini
terjadi karena gaya gravitasi terhadap fase-fase yang berbeda densitasnya
(McClements, 2004). Creaming yang terbentuk pada ketiga emulsi berwarna kuning
susu dan mengarah ke atas. Hal ini dikarenakan bobot jenis minyak lebih kecil daripada
bobot jenis air. Terbentuknya creaming menandakan emulsi yang terbentuk tidak
stabil. Walaupun oleh beberapa peneliti creaming tidak dipertimbangkan sebagai
ketidakstabilan, namun creaming berpotensi terhadap terjadinya penggabungan fase
dalam yang sempurna. Jadi, semakin tinggi creaming yang terjadi, semakin besar pula
potensi fase dalam untuk bergabung secara sempurna sehingga mengakibatkan
ketidakstabilan yang irreversible.
Pada hari pertama pembuatan emulsi, diperoleh tinggi emulsi pada HLB 11
adalah 16,3 cm. Sedangkan pada HLB 12 dan 13 secara berturut-turut adalah 15,9 cm
dan 16 cm. Pada emulsi belum terbentuk creaming yang menandakan emulsi masih
stabil. Dari hasil pengukuran tinggi creaming pada saat hari ke-2 diperoleh tinggi
creaming pada HLB 11,12 dan 13 berturut-turut adalah 0,8 cm; 0,3 cm; dan 0,4 cm.
Lapisan creaming berwarna kuning susu dan setelah dikocok, emulsi kembali seperti
semula (tidak berpisah). Pada hari ke-3, tinggi creaming pada HLB 11, 12 dan 13
berturut-turut adalah 0,4 cm; 0,4 cm; dan 0,6 cm. Tinggi lapisan yang mengalami
creaming berkurang pada HLB 11 dibandingkan hari sebelumnya karena pada hari
sebelumnya dilakukan pengocokan terhadap emulsi sehingga membuat emulsi kembali
ke keadaan awal dan memerlukan waktu untuk membentuk creaming kembali. Hal ini
menandakan bahwa laju pembentukan creaming pada emulsi dengan HLB 12 dan 13
lebih besar dibandingkan dengan HLB 11. Pada hari ke-4, tinggi creaming pada HLB
12 dan 13 berturut-turut adalah 0,8 cm dan 2 cm. Sedangkan pada HLB 11 creaming
yang terbentuk setinggi 0,1 cm pada emulsi yang menunjukkan laju pembentukkan
creaming pada HLB 12 dan 13 lebih besar dibanding HLB 11. Pada hari ke-5, tinggi
creaming pada HLB 11, 12 dan 13 berturut-turut adalah 0,2 cm; 0,6 cm; dan 0,8 cm.
Pada hari ke-6, tinggi creaming pada HLB 11, 12 dan 13 berturut-turut adalah 0,2 cm;
0,3 cm; 0,1 cm. Pada hari ke-7, tinggi lapisan creaming pada HLB 11,12 dan 13
berturut-turut adalah 0,3 cm; 0,2 cm; dan 0,2 cm.
Terbentuknya creaming menandakan emulsi yang terbentuk tidak stabil.
Walaupun oleh beberapa peneliti creaming tidak dipertimbangkan sebagai
ketidakstabilan, namun creaming berpotensi terhadap terjadinya penggabungan fase
dalam yang sempurna. Jadi, semakin tinggi creaming yang terjadi, semakin besar pula
potensi fase dalam untuk bergabung secara sempurna sehingga mengakibatkan
ketidakstabilan yang irreversible (McClements, 2004).
Dari hasil pengamatan yang dilakukan selama 7 hari, diperoleh bahwa emulsi
dengan HLB 11 merupakan emulsi yang paling baik karena laju pembentukan
creaming lebih rendah dibandingkan dengan HLB 12 dan 13. Bila diurutkan, emulsi
yang paling baik adalah HLB 11, 12, dan 13. Ketiga emulsi kemudian dikocok dan
ketiganya kembali seperti semula, tidak terjadi pemisahan antara lapisan air dan lapisan
minyak. Hal ini menandakan bahwa ketiga emulsi mengalami ketidakstabilan yang
reversible (dapat kembali seperti semula).
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa emulsi yang terbentuk semuanya tidak
stabil karena terdapat faktor ketidakstabilan emulsi yakni creaming yang ditandai
dengan ketiga emulsi tersebut kembali seperti semula setelah dilakukan pengocokan,
tidak terjadi pemisahan antara lapisan air dan lapisan minyak. Terbentuknya creaming
dapat dilihat dari lapisan-lapisan yang terbentuk dalam emulsi. Ketidakstabilan emulsi
dapat terjadi karena penggunaan emulgator yang tidak sesuai, selain itu penurunan
suhu yang tiba-tiba dapat menyebabkan emulsi menjadi tidak stabil. Penambahan air
secara langsung dalam campuran juga mempengaruhi pembentukan emulsi yang tidak
stabil. Pada pengamatan tersebut diperoleh volume total dari masing-masing HLB 1,
12, dan 13 berbeda-beda padahal pada hari pertama pembuatan emulsi, volume ketiga
HLB dibuat sama. Hal tersebut terjadi karena kondisi pengamatan yang dilakukan
berbeda, sehingga volume totalnya tidak sama.

Ansel, H. C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi Keempat. Jakarta:


Universitas Indonesia (UI) Press.

Felton, L. 2012. Remington: Essentials of Pharmaceutics. 1st ed. London:


Pharmaceutical Press.

Marzuki, A., E. Pakki., dan F. Zulfikar. 2011. Ekstraksi dan Penggunaan Gelatin dari
LImbah Tulang Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskal) sebagai Emulgator
dalam Formulasi Sediaan Emulsi. Majalah Farmasi dan Farmakologi 15(2):
63-68.
McClements, DJ. 2004. Food Emulsion Principles, Practices, and Techniques. New
York: CRC Press.

Pakki, E., Sartini., R. Tayeb., dan N. L. Maisarah. 2009. Formulasi dan Evaluasi
Kestabilan Fisik Krim Antioksidan Ekstrak Biji Kakao. Majalah Farmasi dan
Farmakologi 13(2):1410-7031.

Syamsuni, H. 2005. Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran.

Supriyo, Edy. 2007. Pengaruh Konsentrasi Surfactant pada Formulasi Propuxure 20


Ec dan Efektifitasnya dalam Membasmi Nyamuk Aedes Aegypti. Semarang:
Universitas Diponegoro.

Anda mungkin juga menyukai