Anda di halaman 1dari 39

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga
saya dapat menyelesaikan makalah saya yang berjudul “FIKIH KONTEMPORER”.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Kritik dari pembaca sangat saya harapkan untuk
penyempurnaan makalah ini.

Pekanbaru, Januari 2018

Penyusun

1
Daftar isi

Kata Pengantar…………………………………………………………………….................1

Daftar Isi…………………………………………………………………………..................2

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang………………………………………………………………...................3


1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………………..................3
1.3 Tujuan Penulisan ……………………………………………………………...................3

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pandangan Islam dan Medis Tentang KB..........................................................................4

2.2 Pandangan Islam dan Medis Tentang Transplantasi Organ...............................................11

2.3 Bagaimana pandangan Islam dan Medis Tentang Bayi Tabung........................................23

2.4 Bagaimana pandangan Islam dan Medis Tentang Pegawetan Jenazah..............................28

2.5 Bagaimana pandangan Islam dan Medis Tentang Aborsi..................................................31

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan.........................................................................................................................37

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................39

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.4 Latar Belakang

Dunia saat ini memasuki era globalisasi dengan dampak postif dan negatifnya. Sejak
kelahirannya belasan abad yang lalu, islam telah tampil sebagai agama yang memberi
perhatian pada keseimbangan hidup antara hubungan manusia dengan tuhan, hubungan
manusia dengan manusia, antara ibadah dengan urusan muamalah.

Pada zaman yang semakin berkembang ini banyak persoalan-persoalan yang muncul
dalam dunia medis yang menimbulkan rasa was-was dalam benak umat islam diantaranya
ialah KB, Transplantasi Organ, Bayi Tabung, Pegawetan Jenazah dan Aborsi.

Dalam memecahkan masalah ini, bagaimana pandangan islam tentang hukum-hukum


perbuatan tersebut. Untuk itu dalam makalah ini saya akan mencoba menjelaskan hasil
pemikiran para ulama-ulama mengenai masalah tersebut dalam fiqih kontemporer.

1.5 Rumusan Masalah


a. Bagaimana pandangan islam dan medis tentang KB?
b. Bagaimana pandangan islam dan medis tentang Transplantasi Organ?
c. Bagaimana pandangan islam dan medis tentang Bayi Tabung?
d. Bagaimana pandangan islam dan medis tentang Pengawetan Jenazah?
e. Bagaimana pandangan islam dan medis tentang Aborsi?

1.6 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini ialah untuk mengetahui bagaimana pandangan islam
tentang praktik KB, Transplantasi Organ, Bayi Tabung, Pengawetan Jenazah, dan Aborsi.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pandangan Islam dan Medis Tentang KB

Keluarga Berencana (KB) dalam pengertian sederhana adalah merujuk kepada


penggunaan metode kontrasepsi oleh suami istri atas persetujuan bersama, untuk mengatur
kesuburan dengan tujuan untuk menghindari kesulitan kesehatan, kemasyarakatan, dan
ekonomi, dan untuk memungkinkan mereka memikul tanggungjawab terhadap anak- anaknya
dan masyarakat. . Ini meliputi hal-hal sebagai berikut: (1) menjarangkan anak untuk
memungkinkan penyusuan dan penjagaan kesehatan ibu dan anak; (2) pengaturan masa hamil
agar terjadi pada waktu yang aman; (3) mengatur jumlah anak, bukan saja untuk keperluan
keluarga, melainkan juga untuk kemampuan fisik, finansial, pendidikan, dan pemeliharaan
anak. Sudah banyak studi yang dilakukan oleh para ulama’ dan lembaga-lembaga KeIslaman
mengenai KB dalam berbagai perspektif. Para ulama’ berbeda pendapat dalam masalah KB
pada beberapa persoalan, sebagaimana akan dijelaskan dalam tulisan ini. Perbedaan terjadi
karena tidak adanya nash (Al Qur'an dan Hadist) yang secara eksplisit melarang atau
memerintahkan ber-KB. Untuk mendapat gambaran yang komprehensif tentang bagaimana
sesungguhnya pandangan Islam terhadap KB memang tidak ada jalan lain kecuali harus
kembali kepada sumber ajaran Islam yang paling otoritatif yaitu al-Qur’an dan Hadist.
Namun, karena tidak adanya penjelasan yang yang eksplisit, maka harus dilakukan kajian
yang lebih mendalam atas kedua sumber tersebut dengan cara mengidentifikasi semua ayat-
ayat Al-Qur’an dan hadist-hadist Nabi yang terkait dengan permasalahan KB untuk kemudian
ditarik pesan-pesan esensial serta ajaran (maqasid al-syari'ah) yang dikandung dari kedua
sumber tersebut. Dengan begitu akan terlihat secara utuh pesan ajaran Islam sesungguhnya
terhadap KB. Keluaraga berencana menurut ulama’’ yang menerimanya, merupakan salah
satu bentuk usaha manusia dalam mewujudkan keluarga yang sejahtera dan bahagia guna
menghasilkan keturunan generasi yang kuat dimasa yang akan datang. Keluarga berencana
sesungguhnya merupakan pemenuhan dari seruan QS Al-Nisa ayat 9 yang menjelaskan
tentang mengingatkan setiap orang tua untuk tidak meninggalkan keturunannya dalam
keadaan lemah sehingga menjadi beban orang lain. Salah satu cara agar dapat meninggalkan
keturunan yang kuat, orang tua harus memberikan nafkah, peerhatian dan pendidikan yang
cukup. Apabila orang tua memiliki anak yang banyak dan tidak sesuai dengan kemampuan
yang dimilikinya, maka dikhawatirkan anak- anaknya akan terlantar dan menjadi orang yang

4
lemah. Disamping itu, dalam surat Al-kahfi ayat 46 Allah juga menjelaskan bahwa harta
dan anak merupakan perhiasan di dunia. Suatu perhiasan seharusnya terdiri atas yang baik
dan terbaik. Apabila perhiasan itu anak, maka anak tersebut haruslah anak terbaik dan
mampu membangun dirinya, masyarakatnya, agamanya dan negaranya. Oleh karena itu, anak
harus mendapat pendidikan, kesehatan, bekal materi maupun sepiritual. Untuk mewujudkan
keinginan tersebut seharusnya disesuaikan antara jumlah anak dan kemampuan ekonomi
orang tua. Islam adalah ajaran hidup yang mengkombinasikan secara harmonis (tawazun
takamuli) semua aspek kemanusiaan baik spiritual, material termasuk ekonomi maupun
kesehatan. Ajaran Islam tidak bertentangan dengan ilmu kedokteran khususnya yang terkait
dengan hukum kesehatan. Al- Qur’an sendiri sangat memperhatikan kesehatan dan
kesejahteraan fisik keluarga. Firman Allah dalam QS Al-An’am:151.

َ ْ‫ش ْيئًا ۖ َو ِب ْال َوا ِلدَي ِْن ِإح‬


‫سانًا ۖ َو ََّل ت َ ْقتُلُوا أ َ ْو ََّلدَ ُك ْم ِم ْن‬ َ ‫علَ ْي ُك ْم ۖ أ َ ََّّل ت ُ ْش ِر ُكوا ِب ِه‬
َ ‫قُ ْل ت َ َعالَ ْوا أَتْ ُل َما َح َّر َم َربُّ ُك ْم‬
َّ ‫س الَّتِي َح َّر َم‬
‫َّللاُ ِإ ََّّل‬ َ ‫طنَ ۖ َو ََّل ت َ ْقتُلُوا النَّ ْف‬
َ َ‫ظ َه َر ِم ْن َها َو َما ب‬
َ ‫ش َما‬ ِ ‫ق ۖ نَحْ ُن ن َْر ُزقُ ُك ْم َو ِإيَّا ُه ْم ۖ َو ََّل ت َ ْق َربُوا ْالفَ َو‬
َ ‫اح‬ ٍ ‫ِإ ْم ََل‬
َ‫صا ُك ْم ِب ِه لَ َعلَّ ُك ْم ت َ ْع ِقلُون‬َّ ‫ق ۚ َٰذَ ِل ُك ْم َو‬
ِ ‫ِب ْال َح‬

Artinya : “…..dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan,
Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati
perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi,
dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan
dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya
kamu memahami-Nya”. (QS Al-An’am: 151)

Di dalam Al Qur'an dan Hadits tidak ada nash yang sharih (clear statement) yang
melarang ataupun yang memerintahkan ber-KB secara eksplisit. Karena itu, hukum ber-KB
harus dikembalikan kepada kaidah hukum Islam (qaidah fiqhiyah) yang menyatakan: "Pada
dasarnya segala sesuatu itu boleh, kecuali/sehingga ada dalil yang menunjukkan
keharamannya”. Selain itu beberapa ayat Al Qur'an dan Hadits Nabi yang memberikan
indikasi bahwa pada dasarnya Islam membolehkan orang Islam ber-KB. KB itu bisa berubah
dari mubah (boleh) menjadi sunnah, wajib makruh atau haram, seperti halnya hukum
perkawinan bagi orang Islam, yang hukum asalnya juga mubah. Hukum mubah itu bisa
berubah sesuai dengan situasi dan kondisi individu Muslim yang bersangkutan, selain juga
memperhatikan perubahan zaman, tempat dan keadaan masyarakat. Hal ini sesuai dengan
kaidah hukum Islam yang berbunyi: "Hukum-hukum itu bisa berubah sesuai dengan

5
perubahan zaman, tempat dan keadaan”. Adapun ayat-ayat Al Qur'an yang memberi
landasan hukum bagi KB dalam pengertian tanz}im nasl (pengaturan kelahiran), antara lain
QS.An-Nisa': 9 dan QS. Luqman: 14. Ayat-ayat di atas member petunjuk bahwa kita perlu
memperhatikan keseimbangan antara mengusahkan keturunan dengan:

a. Terpeliharanya kesehatan ibu dan anak, terjaminnya keselamatan jiwa ibu karena beban
jasmani dan rohani selama hamil, melahirkan, menyusui dan memelihara anak serta
timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan dalam keluarga (hifzu al-Nafs)

b. Terpeliharanya kesehatan jiwa, kesehatan jasmani dan rohani anak serta tersedianya
pendidikan dan perawatan yang baik bagi anak (hifzu nasab)

c. Terjaminnya keselamatan agama (hifzu al-din) orang tua yang dibebani kewajiban
mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.

Yusuf al-Qordawi pemikir Islam kontemporer dari Mesir, berpendapat bahwa


melaksanakan program keluarga berencana harus berdasarkan kepada alasan-alasan tertentu.
Alasan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Kekhawatiran terhadap terganggunya kehidupan dan kesejahteraan ibu bila


melahirkan. Allah berfirman di dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 195:

َ ‫َّللا َو ََل ت ُ ْلقُوا بِأ َ ْيدِي ُك ْم إِلَى الت ه ْهلُ َك ِة ۛ َوأ َ ْح ِسنُوا ۛ إِ هن ه‬
ُّ‫َّللا يُ ِحب‬ َ ‫َوأ َ ْن ِفقُوا فِي‬
ِ ‫سبِي ِل ه‬
َ‫ْال ُم ْح ِس ِنين‬
Artinya : Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. {(QS. al-Baqarah
ayat 195).
Dan Al-Qur’an surat an-Nisa ayat 29:

ِ َ‫يَا أَيُّ َها الهذِينَ آ َمنُوا ََل تَأ ْ ُكلُوا أ َ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالب‬
َ ‫اط ِل ِإ هَل أ َ ْن ت َ ُكونَ تِ َج‬
‫ارة ً َع ْن‬
‫َّللا َكانَ بِ ُك ْم َر ِحي ًما‬ َ ُ‫اض ِم ْن ُك ْم ۚ َو ََل ت َ ْقتُلُوا أ َ ْنف‬
َ ‫س ُك ْم ۚ إِ هن ه‬ ٍ ‫ت َ َر‬

6
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu;
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisa’ 29)
Sesungguhnya Allah tidak menyukai hamba-Nya yang sengaja membunuh
dirinya sendiri. Allah lebih menyukai hambanya yang menjaga diri serta sabar.

b. Kekhawatiran terhadap bahaya dalam urusan dunia yang akan mempersulit ibadah.
Hal ini sesuai dengan Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185;

‫علَ ٰى َما َه َدا ُك ْم‬ َ ‫َّللاُ بِ ُك ُم ْاليُس َْر َو ََل ي ُِري ُد ِب ُك ُم ْالعُس َْر َو ِلت ُ ْك ِملُوا ْال ِع هدة َ َو ِلت ُ َكبِ ُروا ه‬
َ ‫َّللا‬ ‫ي ُِري ُد ه‬
َ‫َو َل َعله ُك ْم ت َ ْش ُك ُرون‬
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu. Dan hendaklah kamu mengagunggkan Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur”. (QS Al-Baqarah: 185)

c. Kekhawatiran akan terlupa kepada Allah karena kesenangan dunia yakni harta dan
anak. Surat al-Hadid ayat 20;

ٌ ‫ا ْعلَ ُموا أَنه َما ْال َحيَاة ُ ال ُّد ْنيَا لَ ِع‬


‫ب َولَ ْه ٌو َو ِزينَةٌ َوتَفَا ُخ ٌر بَ ْينَ ُك ْم َوت َ َكاث ُ ٌر فِي ْاْل َ ْم َوا ِل‬
‫َو ْاْل َ ْو ََل ِد‬
Artinya : “Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah
permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara
kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak”. (QS. Al-
Hadid: 20)
Secara tegas Allah swt memperingatkan manusia bahwa dunia tiada lain
adalah permainan yang melalaikan atau melengahkan hati dari ingat kepada Allah
(beribadah kepada-Nya). Diantara permainan dunia adalah harta dan anak. Dunia
tiada lain adalah kesenangan yang menipu. Oleh karena itu, kebanggaan terhadap
anak harus disesuaikan dengan kesanggupan memeliharanya agar tidak membawa
petaka dan tidak melengahkan orang tua dari beribadah kepada Allah swt.

7
Kebanggaan dengan harta benda tidaklah abadi, karena pada hakekatnya Allah lah
yang berkuasa. Sebagaimana ditegaskan dalam surat al-Munafiqun ayat 9;

‫َّللا ۚ َو َم ْن يَ ْفعَ ْل َٰذَ ِل َك فَأُو َٰلَئِ َك ُه ُم‬


ِ َّ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ََّل ت ُ ْل ِه ُك ْم أ َ ْم َوالُ ُك ْم َو ََّل أ َ ْو ََّلد ُ ُك ْم َع ْن ِذ ْك ِر‬
َ‫ْالخَا ِس ُرون‬
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-
anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang membuat
demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS al-Munafiqun: 9)

Mereka rugi karena menyangka kekayaan itu ialah harta yang menumpuk,
mereka lupa kekayaan benda kosong artinya bila tidak ada kekayaan jiwa dan
senantiasa ingat kepada Allah.

d. Kekhawatiran tidak dapat menjaga anak. Surat at-Taghabun ayat 14–15 yang
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya diantara istri- istrimu dan
anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap
mereka, dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka)
maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang. Sesungguhnya
hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu) : disini Allahlah pahala yang
besar” . (QS At- Taghabun: 14-15)
Ayat ini menerangkan bahwa istri, harta, dan anak merupakan cobaan (fitnah)
dan dapat saja suatu ketika menjadi musush. Oleh karena itu, anak-anak harus dibina
dan diarahkan. Untuk itu, perlu perhatian khusus dari orang tua, dan orang tua harus
mampu bertahan dari pengaruh buruk yang mungkin timbul dari jumlah anak yang
dimiliki.

e. Kekhawatiran terhadap gangguan kesehatan dan pendidikan anak. Surat al-Furqan


ayat 74;

‫اجعَ ْلنَا ِل ْل ُمتهقِينَ إِ َما ًما‬


ْ ‫اجنَا َوذُ ِريهاتِنَا قُ هرة َ أ َ ْعي ٍُن َو‬
ِ ‫َوالهذِينَ يَقُولُونَ َربهنَا هَبْ لَنَا ِم ْن أ َ ْز َو‬

8
Artinya : “Dan orang-orang yang berkata : Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada
kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang
yang bertakwa” (QS Al- Furqan: 74)

Ayat tersebut mengajarkan kepada manusia agar berdo’a supaya dianugrahi


istri dan anak sebagai penyenang hati. Namun demikian, untuk mewujudkan
keinginan tersebut, disamping berdo’a manusia harus berusha. Salah satu usaha
tersebut adalah membina anak yang dimiliki. Untuk membina anak dibutuhkan
kemampuan, baik dalam segi materiil maupun spiritual. Dan orang tua yang berhasil
adalah orang tua yang mampu mendidik anaknya sehingga menjadi anak yang
berilmu, beriman, beragama, dan mampu hidup walaupun dalam kesulitan. Inilah
bahagia yang tidak ada habis-habisnya bagi orang tuanya.

Dalam merespons permasalahan ini medis mengajukan beberapa wawasan


argumentatif:

Pertama, sampai hari ini tidak ada kesepakatan mutlak di antara para ulama, dari
dulu sampai sekarang, perihal kapan kehidupan dimulai: apakah ketika masih berwujud sel
sperma dan sel telur, apakah ketika menjadi zygote (setelah keduanya menyatu), ataukah
setelah ditiupkannya ruh ilahiah saat janin berusia 16 minggu? Ini adalah masalah khilafiah
(perbedaan pendapat). Dengan demikian, siapa pun, bahkan ulama sekali pun, jelas tidak
punya kapasitas untuk mengklaimkan sebuah kebenaran, bahwa kontrasepsi apa pun yang
cara kerjanya memotong saluran jalan sel sperma dan sel telor, atau mencegah pertemuan
keduanya, atau mencegah penempelan di dinding rahim, sebagai suatu cara kerja yang
“melawan kodrat”, apalagi dengan menuduhnya sebagai suatu tindakan “pembunuhan” dan
karenanya terlarang secara agama. Dalam suatu masalah khilafiah, jelas tidak memungkinkan
suatu klaim kebenaran. Kebenaran suatu pendapat keagamaan bersifat relasional, artinya
bahwa bahwa apa yang dianggap benar bagi sekelompok orang, tidak bsa diberlakukan bagi
kelompok lain secara umum.

Yang menarik untuk disampaikan di sini, secara umum ulama justru berijmak bahwa
janin dapat disebut sebagai manusia dalam arti sempurna ketika usianya sudah 4 bulan alias
120 hari. Jika kita merujuk ke ijmak ulama ini, maka andaipun, katakanlah, kita menoleransi
pendapat yang mempersepsi pemakaian kontrasepsi sebagai “pembunuhan”, justru pendapat
seperti itu menjadi cacat secara ontologis. Sebab, alih- alih soal pemakaian kontrasepsi, hal

9
mana yang menjadi sasaran kerja dari alat atau obatnya adalah pada fase pra atau saat
pembuahan, bahkan pada kasus pengguguran atau aborsi (isqath al-haml atau al-ijhadl) pun
beberapa ulama membolehkannya, baik karena pertimbangan medis ataupun non-medis,
dengan syarat usia bayi kurang dari 120 hari (4 bulan).

Kedua, seringkali para penolak program KB dengan dalih “kontrasepsi melawan


kodrat” ini melakukan generalisasi, “pukul rata”, bahwa pokoknya “segala bentuk kontrasepsi
itu haram, karena melawan kodrat”, tanpa mengetahui dan memahami secara detil, kasus per
kasus, cara kerja masing-masing metode kontrasepsi. Misalnya saja, ada kontrasepsi kondom.
Diketahui bahwa cara kerja kondom adalah tak ubahnya metode azal yang pernah
dipraktikkan di zaman Nabi Saw. Maka, sangat naif kalau sampai dianggap terlarang, hanya
karena ia metode kontrasepsi zaman modern. Selain itu harus dilihat pula, bahwa ada juga
beberapa metode kontrasepsi yang pemakaiannya berdasar pertimbangan darurat. Misalnya,
metode steril (pemotongan saluran ovum dan sperma), di mana untuk perempuan disebut
MOW (medis operasi wanita, umumnya disebut tubektomi), untuk laki-laki disebut MOP
(medis operasi pria, lazim disebut vasektomi). Metode ini memang terkesan krusial sekali,
karena bersifat permanen. Akan tetapi, justru karena itu ia hanya dilakukan ketika keadaan
darurat. Dalam konteks Islam, hal-hal yang bersifat darurat jelas ada rukhshah atau
kompensasi. Ada kaidah di dalam fikih bahwa “keadaan darurat bisa menjadi alasan
dibolehkannya hal-hal yang semula dilarang” (al-dlarurat tubih al-mahzhurat). Apalagi,
khusus metode steril ini, bisa dilakukan rekanalisasi (penyambungan kembali), jika si pasien
(akseptor) menginginkan.

Ketiga, bahwa di dalam ajaran Islam dibedakan antara yang ubudiah (ritual) dan
muamalat (sosial). Untuk ajaran kategori muamalat, Islam membuka ruang bagi kerja ijtihad,
kerja penalaran manusia, baik secara pribadi (ijtihad fardli) maupun kolektif (ijtihad jama’i).
Hadis Nabi Saw, mengatakan, “Kalian labih tahu urusan dunia kalian” (Antum a’lamu bi-
umuri dun-yakum). Program KB adalah bagian dari masalah- masalah muamalat, sehingga
jelas memberi ruang bagi kerja ijtihad.

Keempat, secara normatif-filosofis, agama sesungguhnya diturunkan tidak lain demi


mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Islam sebagai agama menjadikan maslahat
kemanusian sebagai titik pijak sekaligus tujuan syariatnya. Maka maslahat manusia inilah
yang menjadi ukuran ataupun sudut pandang suatu hasil ijtihad, pandangan atau opini
keagamaan, fatwa, termasuk kaitannya dengan program KB. Keabsahan atau kesahihannya

10
tidak semata-mata mutlak didasarkan pada dalil- dalil atau argumen tekstual, ataupun
validitas metode istinbatnya, akan tetapi lebih mendasar dari itu sesungguhnya bagaimana
respon masyarakat, umat, terhadapnya. Apakah umat merasakan manfaat dan maslahatnya
bagi kehidupan duniawi mereka, ataukah sebaliknya, justru mafsadat yang diperoleh.

Pertimbangan maslahat dalam merumuskan suatu pendapat adalah hal yang mutlak.
Najm al-Din al-Thufi menyatakan, bahwa karena tujuan syariat tidak lain adalah
kemaslahatan manusia, maka jika di dalam situasi atau kondisi tertentu terjadi kesenjangan
antara teks dengan tuntutan kemaslahatan manusia, maka kemaslahatan manusialah yang
diprioritaskan. Di mana saja teks keagamaan tidak selaras dengan kemaslahatan manusia,
maka kemaslahatan manusia harus diberi prioritas (wa-in khalafaha wajaba taqdimu ri’ayah
al-mashlahah ‘alayha).

2.2 Pandangan Islam dan Medis Tentang Transplantasi Organ

Kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran telah menimbulkan perubahan besar dalam
kehidupan sosial, terutama dalam hal penanganan berbagai macam penyakit yang pada
mulanya sulit diobati atau ditanggulangi. Dengan adanya kemajuan ilmu dan teknologi
kedokteran, telah dilakukan berbagai terobosan dalam bidang pengobatan dan hasilnya
semakin memberikan kepuasan konsumen. Kemajuan dunia kedokteran ini tidak lepas dari
semakin meningkatnya jenis penyakit sehingga mendorong pakar kesehatan untuk melakukan
penelitian dan eksperimen serta membuat berbagai teknologi pendukungnya, sehingga
penyakit yang dulunya sulit diobati justru menjadi mudah diobati bahkan mendekati
kesembuhan yang sempurna.

Dewasa ini ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran berkembang dengan
pesat. Salah satunya adalah kemajuan dalam teknik transplantasi organ. Transplantasi organ
merupakan teknologi medis untuk penggantian organ tubuh pasien yang tidak berfungsi
dengan organ individu lain. Sejak kesuksesan transplantasi yang pertama kali berupa ginjal
dari donor kepada pasien gagal ginjal pada tahun 1954, perkembangan di bidang transplantasi
maju dengan pesat. Kemajuan ilmu dan teknologi memungkinkan pengawetan organ,
penemuan obat-obatan anti penolakan yang semakin baik sehingga berbagai organ dan
jaringan dapat ditransplantasikan. Dalam beberapa kepustakaan disebutkan bahwa

11
transplantasi organ sudah dilakukan sejak tahun 600 SM, dimana saat itu Susruta dari India
telah melakukan transplantasi kulit.

Transplantasi atau pencangkokan organ tubuh adalah pemindahan organ tubuh


tertentu yang mempunyai daya hidup yang sehat, dari seseorang untuk menggantikan organ
tubuh yang tidak sehat atau tidak berfungsi dengan baik milik orang lain. Orang yang anggota
tubuhnya dipindahkan disebut donor (pen-donor), sedang yang menerima disebut repisien.
Cara ini merupakan solusi bagi penyembuhan organ tubuh tersebut karena penyembuhan atau
pengobatan dengan prosedur medis biasa tidak ada harapan kesembuhannya.

Transplantasi organ dan jaringan tubuh manusia merupakan tindakan medik yang
sangat bermanfaat bagi pasien dengan ganguan fungsi organ tubuh yang berat. Ini adalah
terapi alternatif yang merupakan upaya terbaik untuk menolong pasien dengan kegagalan
organnya, karena hasilnya lebih memuaskan dan hingga dewasa ini terus berkembang dalam
dunia kedokteran, namun tindakan medik ini tidak dapat dilakukan begitu saja, karena masih
harus dipertimbangkan dari segi non medik, yaitu dari segi agama, hukum, budaya, etika dan
moral. Kini telah dikenal beberapa jenis transplantasi atau pencangkokan, baik berupa sel,
jaringan maupun organ tubuh yaitu sebagai berikut; [a] transplantasi autologus, yaitu
perpindahan dari satu tempat ketempat lain dalam tubuh itu sendiri, yang dikumpulkan
sebelum pemberian kemoterapi; [b] transplantasi alogenik, yaitu perpindahan dari satu tubuh
ketubuh lain yang sama spesiesnya, baik dengan hubungan keluarga atau tanpa hubungan
keluarga; [c] transplantasi singenik, yaitu perpindahan dari satu tubuh ketubuh lain yang
identik, misalnya pada gambar identik; [d] transplantasi xenograft, yaitu perpindahan dari
satu tubuh ketubuh lain yang tidak sama spesiesnya. Organ atau jaringan tubuh yang akan
dipindahkan dapat diambil dari donor yang hidup atau dari jenazah orang yang baru
meninggal dimana meninggal sendiri didefinisikan kematian batang otak. Organ-organ yang
diambil dari donor hidup seperti : kulit ginjal sumsum tulang dan darah (transfusi darah).
Organ-organ yang diambil dari jenazah adalah jantung, hati, ginjal, kornea, pancreas, paru-
paru dan sel otak. Dalam 2 dasawarsa terakhir telah dikembangkan tehnik transplantasi
seperti transplantasi arteria mamaria interna dalam operasi lintas koroner oleh George E.
Green. dan Parkinson.

Dalam aturan hukum yang berlaku di Indonesia, transplantasi dan donor organ ini
telah diatur melalui PP Nomor 18 Tahun 1981 Tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah

12
Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia. Pasal tentang
transplantasi adalah sebagai berikut:

Pasal 1

a. Alat tubuh manusia adalah kumpulan jaringan-jaringa tubuh yang dibentuk oleh
beberapa jenis sel dan mempunyai bentuk serta faal (fungsi) tertentu untuk tubuh
tersebut.

b. Jaringan adalah kumpulan sel-sel yang mempunyai bentuk dan faal (fungsi) yang
sama dan tertentu.

c. Transplantasi adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk pemindahan dan atau


jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain dalam rangka pengobatan
untuk menggantikan alat dan atau jaringan tubuh ynag tidak berfungsi dengan baik.

d. Donor adalah orang yang menyumbangkan alat atau jaringan tubuhnya kepada
orang lain untuk keperluan kesehatan.

e. Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang
berwenang bahwa fungsi otak, pernafasan dan atau denyut jantung seseorang telah
berhenti.

Pasal 10

1. Transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia dilakukan dengan


memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a
dan huruf b.

2. Tatacara transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia diatur oleh Menteri
Kesehatan.

Pasal 11

1. Transplantasi organ dan jaringan tubuh hanya boleh dilakukan oleh dokter yang
ditunjuk oleh mentri kesehatan.

2. Transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia tidak boleh dilakukan oleh dokter
yang merawat atau mengobati donor yang bersangkutan.

13
Pasal 12

Penentuan saat mati ditentukan oleh 2 orang dokter yang tudak ada sangkut
paut medik dengan dokter yang melakukan transplantasi.

Pasal 13

Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksudkan yaitu dibuat diatas kertas materai


dengan 2(dua) orang saksi.

Pasal 14

Pengambilan alat atau jaringan tubuh manusia untuk keperluan transplantasi


atau bank mata dari korban kecelakaan yang meninggal dunia,dilakukan dengan
persetujuan tertulis dengan keluarga terdekat.

Pasal 15

1. Sebelum persetujuan tentang transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia


diberikan oleh donor hidup, calon donor yang bersangkutan terlebih dahulu diberitahu
oleh dokter yang merawatnya, termasuk dokter konsultan mengenai operasi, akibat-
akibatnya, dan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.

2. Dokter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus yakin benar, bahwa calon
donor yang bersangkutan telah meyadari sepenuhnya arti dari pemberitahuan tersebut.

Pasal 16

Donor atau keluarga donor yang meninggal dunia tidak berhak dalam
kompensasi material apapun sebagai imbalan transplantasi.

Pasal 17

Dilarang memperjual belikan alat atau jaringan tubuh manusia.

Pasal 18

Dilarang mengirim dan menerima alat dan jaringan tubuh manusia dan semua
bentuk ke dan dari luar negeri.

14
Selanjutnya dalam UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan dicantumkan
beberapa pasal tentang transplantasi sebagai berikut:

Pasal 33

1. Dalam penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan


transplantasi organ dan jaringan tubuh, transfusi darah, implan obat dan alat
kesehatan, serta bedah plastik dan rekontruksi.

2. Transplantasi organ dan jaringan serta transfusi darah sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan yang
dilarang untuk tujuan komersial.

Pasal 34

1. Transplantasi organ dan jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan
disaran kesehatan tertentu.

2. Pengambilan organ dan jaringan tubuh dari seorang donor harus


memperhatikan kesehatan donor yang bersangkutan dan ada persetujuan ahli
waris atau keluarganya.

3. Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan transplantasi


sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan
peraturan pemerintah.

Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 33 ayat (2) ini yaitu bagi siapa pun yang
melakukan perbuatan dengan tujuan komersial dalam transplantasi organ tubuh atau
jaringan tubuh dan atau transfusi darah yang dimaksud dalam pasal ini, ditegaskan
dalam Pasal 80 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan
denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah).

Sedangkan bagi siapa pun yang tanpa keahlian dan kewenangan baik itu
tenaga medis dan atau dokter, yang dengan sengaja melakukan transplantasi organ
atau jaringan tubuh seperti yang dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), menurut ketentuan
dalam Pasal 81 (1) a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun dan atau

15
pidana denda paling banyak Rp. 140.000.000 (seratus empat puluh juta rupiah). Pada
Pasal 81 ayat (2) a menyebutkan bahwa barang siapa dengan sengaja mengambil
organ dari seorang donor tanpa memperhatikan kesehatan donor dan atau tanpa
persetujuan donor dan ahli waris atau keluarganya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan
atau pidana denda paling banyak Rp 140.000.000,00 (seratus empat puluh juta
rupiah).

Sejak tahun 1981 telah ada peraturan yang mengatur tentang transplantasi ini,
yaitu melalui PP Nomor 18 Tahun 1981, Bab V mengatur tentang Transplantasi Alat
dan atau Jaringan Tubuh Manusia, Bab VI tentang Pengambilan Alat dan atau
Jaringan Tubuh Manusia Korban Kecelakaan, Bab VII tentang Donor, serta Bab VIII
tentang Perbuatan yang Dilarang. Sesuai dengan Pasal 17 PP ini menegaskan salah
satu perbuatan yang dilarang adalah memperjual- belikan alat dan atau jaringan tubuh
manusia.

Sebenarnya, kajian yang membahas tentang praktek transplantasi jaringan


maupun organ dalam khazanah intelektual dan keilmuan fikih Islam klasik relatif
jarang dan hampir tidak pernah dikupas oleh fukaha secara mendetail dan jelas yang
mungkin karena faktor barunya masalah ini dan dimensi terkait yang komplek yang
meliputi kasus transplantasi. Oleh karena itu tidak heran jika hasil ijtihad dan
penjelasan tentang masalah ini banyak berasal dari pemikiran para ahli fikih
kontemporer, keputusan lembaga dan institusi Islam serta simposium nasional
maupun internasional Masalah transplantasi dalam kajian hukum Islam diuraikan
menjadi dua bagian besar pembahasan yaitu:

Pertama, penanaman jaringan/organ tubuh dari tubuh yang sama.

Kedua, penanaman jaringan/organ dari individu lain, seperti manusia dalam


bentuk; [a]. Penanaman jaringan/organ yang diambil dari individu orang
hidup. [b]. Penanaman jaringan/organ yang diambil dari individu orang mati.
Tetapi bisa juga diambil dari binatang dalam bentuk; [a]. Penanaman
jaringan/organ yang diambil dari binatang tidak najis/halal. [b]. Penanaman
jaringan/organ yang diambil dari binatang najis/haram.

16
Penanaman jaringan/organ tunggal yang diambil dari individu lain yang masih hidup
dan dapat mengakibatkan kematian donaturnya bila diambil. Seperti, jantung, hati dan otak.
Maka hukumnya adalah tidak boleh. Atas dasar Firman Allah SWT yang artinya “Dan
belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu
sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berbuat baik. (Al-Baqarah: 195). Juga dalam FirmanNya ”Dan
janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu. (An-Nisa: 29) Serta “Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan
takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (Al-Maidah: 2).

Penanaman jaringan/organ yang diambil dari orang lain yang masih hidup yang tidak
mengakibatkan kematiannya seperti, organ tubuh ganda diantaranya ginjal atau kulit atau
dapat juga dikategorikan disini praktek donor darah. Pada dasarnya masalah ini
diperbolehkan hanya harus memenuhi syarat-syarat berikut dalam prakteknya yaitu;

a. Tidak akan membahayakan kelangsungan hidup yang wajar bagi donatur


jaringan/organ. Karena kaidah hukum Islam menyatakan bahwa suatu bahaya
tidak boleh dihilangkan dengan resiko mendatangkan bahaya
serupa/sebanding.
b. Hal itu harus dilakukan oleh donatur dengan sukarela tanpa paksaan dan tidak
boleh diperjual belikan.
c. Boleh dilakukan bila memang benar-benar transplantasi sebagai alternatif
peluang satu-satunya bagi penyembuhan penyakit pasien dan benar-benar
darurat.
d. Boleh dilakukan bila kemungkinan keberhasilan transplantasi tersebut sangat
besar.

Namun demikian, ada pengecualian dari semua kasus tranplantasi yang diperbolehkan
yaitu tidak dibolehkan tranplantasi buah zakar meskipun organ ini ganda karena beberapa
alasan; [a]. Merusak citra dan penampilan lahir ciptaan manusia; [b]. Mengakibatkan
terputusnya keturunan bagi donatur yang masih hidup; [c]. Dalam hal ini tranplantasi tidak
dinilai darurat dan kebutuhannya tidak mendesak; [d]. Dapat mengacaukan garis keturunan.
Sebab menurut ahli kedokteran, organ ini punya pengaruh dalam menitiskan sifat keturunan.

17
Penanaman jaringan/organ tubuh diambil dari orang yang kondisinya benar-benar
telah mati (kematian otak dan jantungnya sekaligus). Sesungguhnya telah banyak fatwa dan
konsensus ulama dari berbagai muktamar, lembaga, organisasi dan institusi internasional
yang membolehkan praktek transplantasi ini diantaranya;

a. Konperensi OKI (di Malaysia, April 1969 M) dengan ketentuan kondisinya


darurat dan tidak boleh diperjualbelikan.
b. Lembaga Fikih Islam dari Liga Dunia Islam (dalam keputusan muzakarahnya
di Mekkah, Januari 1985 M.
c. Majelis Ulama Arab Saudi (dalam keputusannya no. 99 tgl. 6/11/1402H).
d. Panitia Tetap Fawa Ulama dari negara-negara Islam seperti; Kerajaan
Yordania, Negara Kuwait (oleh Dirjen Fatwa Departemen Wakaf dan Urusan
Islam keputusan no.97 tahun 1405 H); Mesir. (dengan keputusan Panitia Tetap
fatwa Al-Azhar no. 491); Al-Jazair (Keputusan Panitia Tetap Fatwa Lembaga
Tinggi Islam Aljazair, 20/4/1972 dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Harus
dengan persetujuan orang tua mayit/walinya atau wasiat mayit. 2. Hanya bila
dirasa benar-benar memerlukan dan darurat. 3. Bila tidak darurat dan
keperluannya tidak urgen atau mendesak, maka harus memberikan imbalan
pantas kepada ahli waris donatur tanpa transaksi dan kontrak jual-beli.

Secara umum dan pada prinsipnya mereka membolehkannya dengan alasan dan dalil
sebagai berikut; [a]. Al-Qur’an surat Al- Baqarah: 173; “Sesungguhnya Allah hanya
mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika
disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa
(memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka
tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Surat al-Maidah: 32; ... dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia,
maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Al-Baqarah:185;
“... Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menginginkan kesempitan
bagimu…; [b]. Hal itu sebagai amal jariyah bagi donatur yang telah mati dan sangat berguna
bagi kemanusiaan; [c]. Kaedah-kaedah umum hukum Islam yang mengharuskan
dihilangkannya segala bahaya.

Selengkapnya argumentasi kelompok yang mengharamkan transplantasi adalah


sebagai berikut. Hukum tranplanstasi organ dari seseorang yang telah mati berbeda dengan

18
hukum transplantasi organ dari seseorang yang masih hidup. Untuk mendapatkan kejelasan
hukum trasnplantasi organ dari donor yang sudah meninggal ini, terlebih dahulu harus
diketahui hukum pemilikan tubuh mayat, hukum kehormatan mayat dan hukum keadaan
darurat. Dengan asumsi bahwa diperlukan adanya penjelasan tentang hukum pemilikan
terhadap tubuh manusia setelah dia mati. Merupakan suatu hal yang tidak diragukan lagi
bahwa setelah kematiannya, manusia telah keluar dari kepemilikan serta kekuasaannya
terhadap semua hal; baik harta, tubuh, maupun istrinya. Dengan demikian, dia tidak lagi
memiliki hak terhadap tubuhnya. Maka ketika dia memberikan wasiat untuk mendonorkan
sebagian anggota tubuhnya, berarti dia telah mengatur sesuatu yang bukan haknya. Jadi dia
tidak lagi diperbolehkan untuk mendonorkan tubuhnya. Dengan sendirinya wasiatnya dalam
hal itu juga tidak sah. Memang dibolehkan untuk memberikan sebagian hartanya, walaupunl
harta tersebut akan keluar dari kepemilikannya ketika hidupnya berakhir. Tetapi itu
disebabkan karena syara’ memberikan izin pada manusia tentang perkara tersebut. Dan itu
merupakan izin khusus pada harta, tentu tidak dapat diberlakukan terhadap yang lain. Dengan
demikian manusia tidak diperbolehkan memberikan wasiat dengan mendonorkan sebagian
anggota tubuhnya setelah dia mati.

Adapun bagi ahli waris; sesungguhnya syara’ mewariskan pada mereka harta yang
diwariskan. Namun syara’ tidak mewariskan jasadnya kepada mereka, sehingga mereka tidak
berhak untuk mendonorkan apapun dari si mati. Kalau terhadap ahli waris saja demikian,
apalagi dokter atau penguasa, mereka sama sekali tidak berhak untuk mentransplantasikan
organ orang setelah mati pada orang lain yang membutuhkan.

Terlebih lagi terdapat keharusan untuk menjaga kehormatan si mati serta adanya
larangan untuk menyakitinya sebagaimana larangan pada orang yang hidup. Rasulullah saw
bersabda yang artinya: “Mematahkan tulang orang yang telah mati sama hukumnya dengan
memotong tulangnya ketika ia masih hidup”.

Dengan demikian Rasulullah saw melarang untuk merampas dan menyakiti (si mati).
Memang benar bahwa melampaui batas terhadap orang mati dengan melukai atau memotong
atau bahkan memecahkan (tulang) tidak ada jaminan (diyat) sebagaimana ketika dia masih
hidup. Akan tetapi jelas bahwa melampaui batas terhadap jasad si mati atau menyakitinya
dengan cara mengambil anggota tubuhnya adalah haram; dan haramnya bersifat pasti (qath’i).
Mengenai keadaan darurat yang telah dijadikan alasan oleh aparat negara, jajaran humas serta
muftinya yang membolehkan transplantasi, hal tersebut membutuhkan kajian tentang keadaan

19
darurat serta penerapannya pada masalah transplantasi organ. Sesungguhnya Allah SWT
telah membolehkan orang dalam keadaan darurat hingga kehabisan bekal dan hidupnya
terancam kematian untuk makan apa saja yang dijumpainya. Meski makanan tersebut
diharamkan oleh Allah, namun dalam kondisi darurat boleh dimakan sekedar untuk
memulihkan tenaganya serta agar tetap hidup. Maka illat bolehnya makan makanan haram
adalah untuk menjaga kehidupan manusia. Dengan mengkaji anggota tubuh yang akan
ditransplantasikan, maupun maksud transplantasi maka adakalanya penyelamatan hidup
manusia tergantung pada tranplantasi (tentu berdasarkan dugaan kuat) seperti jantung, hati
maupun kedua ginjal. Atau ada kalanya tranplantasi anggota tubuh yang tidak berhubungan
langsung dengan penyelamatan hidup. Misalnya tranplantasi kornea, atau pupil atau mata
secara keseluruhan dari orang yang telah mati.

Adapun anggota tubuh yang diduga kuat dapat menyelamatkan kehidupan manusia
maka illat-nya dalam hal ini tidak sempurna. Karena kadang-kadang berhasil, kadang-kadang
juga tidak. Hal ini berbeda dengan illat memakan bangkai; yang secara pasti mampu
menyelamatkan hidup manusia. Terlebih lagi bahwa sebagian dari illah cabang ('illat al-far'u)
dalam hal ini transplantasi, adalah terbebas dari pertentangan dalil yang lebih kuat, yang
mengharuskan kebalikan dari perkara yang telah ditetapkan oleh 'illat qiyas. 'Illat qiyas dalam
transplantasi organ adalah untuk memelihara kehidupan manusia, sebagaimana pada kasus
makan bangkai. Padahal illat tersebut masih berupa 'diduga kuat'. Ini bertentangan dengan
(dalil) yang lebih kuat yaitu kehormatan jenazah serta larangan menyakiti atau merusaknya.
Berdasarkan hal ini tidak diperbolehkan melakukan transplantasi organ; yang dengan
transplantasi tersebut kehidupan seseorang tergantung padanya. Sedangkan transplantasi
organ yang penyelamatan kehidupan orang tidak tergantung padanya; atau dengan kata lain
kegagalan transplantasi tersebut tidak mengakibatkan kematian, maka illat yang ada pada
pokok ('illah al-ashl) yaitu pemeliharaan terhadap kehidupan manusia menjadi tidak ada.
Dengan begitu hukum darurat tidak berlaku disini. Maka tidak diperbolehkan melakukan
tranplantasi organ dari seseorang yang telah mati; sementara dia terpelihara darahnya baik
muslim, kafir dzimmi, mu'ahid maupun musta'min pada orang lain yang kehidupannya
tergantung pada (keberhasilan) tranplantasi organ tersebut.

Penanaman jaringan/organ yang diambil dari tubuh binatang yang bukan najis, seperti
binatang ternak (sapi, kerbau, kambing). Dalam hal ini tidak ada larangan bahkan
diperbolehkan dan termasuk dalam kategori obat yang mana kita diperintahkan Nabi untuk

20
mencarinya bagi yang sakit. Jika Binatang tersebut najis/haram seperti, babi atau bangkai
binatang dikarenakan mati tanpa disembelih secara islami terlebih dahulu. Dalam hal ini tidak
dibolehkan kecuali dalam kondisi darurat dan tidak ada pilihan lain.

Dalam hal transplantasi dan donor organ tubuh, keputusan- keputusan legal-etis bisa
dicari dengan melihat bagaimana kitab-kitab klasik itu memandang penggunaan bagian-
bagian tubuh manusia untuk tujuan penyembuhan. Kadang-kadang, upaya ini dilakukan
dengan tak memperhatikan konteksnya dengan baik, tapi hanya melihat kasus dimana organ
tubuh manusia diperlakukan meski dalam konteks yang amat jauh berbeda dengan konteks
pencangkokan. Meskipun pendekatan historis semacam ini telah sering dikritik, tapi masih
juga kerap digunakan. Sebagaimana halnya dalam kasus-kasus lain, karena karakter fikih
dalam Islam, pendapat yang muncul tak hanya satu, tapi beragam, dan satu dengan lainnya
bahkan terkadang sering bertolak belakang, meski menggunakan sumber-sumber yang
identik. Di sini akan disampalkan kesimpulan beberapa pandangan yang cukup populer
mengenai isu ini.

Pandangan yang menentang transplantasi dan donor organ tubuh diajukan atas dasar
setidaknya tiga alasan; [a]. Kesucian hidup/tubuh manusia. Setiap bentuk agresi terhadap
tubuh manusia dilarang, karena ada beberapa perintah yang jelas mengenal ini dalam Al-
Qur'an. Dalam kaitan ini ada satu hadis Nabi Muhammad yang terkenal yang sering dikutip
untuk menunjukkan dilarangnya manipulasi atas tubuh manusia, meskipun sudah menjadi
mayat: “Mematahkan tulang mayat seseorang adalah sama berdosa dan melanggarnya dengan
mematahkan tulang orang itu ketika ia masih hidup”. [b]. Tubuh manusia adalah amanah.
Hidup, diri, dan tubuh manusia pada dasarnya bukan miliknya sendiri, tapi pinjaman dari
Tuhan dengan syarat untuk dijaga, karena itu manusia tak memiliki hak mendonorkannya
pada orang lain. [c]. Tubuh tak boleh diperlakukan sebagai benda material semata.
Pencangkokan dilakukan dengan memotong organ tubuh seseorang untuk dicangkokkan pada
tubuh orang lain; di sini tubuh dianggap sebagai benda material semata yang bagian-
bagiannya bisa dipindah- pindah tanpa mengurangi ke-tubuh-an seseorang.

Sedangkan pandangan yang mendukung pencangkokan organ memiliki beberapa


dasar berikut; [a]. Kesejahteraan publik (maslahah). Pada dasarnya manipulasi organ memang
tak diperkenankan, meski demikian ada beberapa pertimbangan lain yang bisa mengalahkan
larangan itu, yaitu potensinya untuk menyelamatkan hidup manusia, yang mendapat bobot
amat tinggi dalam hukum Islam. Dengan alasan ini pun, ada beberapa kualifikasi yang mesti

21
diperhatikan: 1). Pencangkokan organ boleh dilakukan jika tak ada alternatif lain untuk
menyelamatkan nyawa; derajat keberhasilannya cukup tinggi; 2). Ada persetujuan dari
pemilik organ asli (atau ahli warisnya); 3). Penerima organ sudah tahu persis segala implikasi
pencangkokan (informed consent). [b]. Altruisme, ada kewajiban yang amat kuat bagi
seorang muslim untuk membantu manusia lain, khususnya sesama Muslim; pendonoran
organ secara sukarela merupakan bentuk altruisme yang amat tinggi, dalam arti si donor tak
menerima uang untuk tindakannya, dan karenanya dianjurkan. Untuk ini pun dengan
beberapa syarat; 1). Ada persetujuan dari donor; 2). Nyawa donor tak terancam dengan
pengambilan organ dari tubuhnya; 3). Pencangkokan yang akan dilakukan berpeluang
berhasil amat tinggi.

Setelah beberapa alasan yang membolehkan itu, pendukung pencangkokan organ


masih menambahkan beberapa syarat lain; [a]. Organ tak diperoleh melalui transaksi jual-
beli, karena tidak sah hukumnya menjual organ; [b]. Seorang muslim, kecuali dalam situasi-
situasi yang mendesak, hanya boleh menerima organ dari muslim lainnya. Ada satu implikasi
yang menarik dari sini. jika syarat ini dikombinasikan dengan kebolehan (dan dalam kasus
tertentu kewajiban) melakukan pencangkokan organ, maka mendonorkan organ bagi muslim
hukumnya adalah wajib sosial (fardh kifayah), yaitu dalam suatu komunitas muslim, adalah
kewajiban bagi salah seorang muslim untuk mendonorkan organnya jika ada orang lain yang
membutuhkan.

Dengan demikian, transplantasi yang pada dasarnya dilarang, tetapi di saat kondisi
dharurat dapat dilaksanakan. Lebih jauh persoalan transplantasi dan donor organ tubuh lebih
tepat kiranya ditengaral dengan menggunakan pendekatan istishlahi. Seluruh hukum yang
ditetapkan oleh Allah SWT atas hambanya baik dalam bentuk perintah maupun dalam bentuk
larangan adalah mengandung mashlahah. Mashlahah menurut al-Khawarizmi adalah:
“memelihara tujuan syara' (dalam menetapkan hukum) dengan cara menghindarkan
kerusakan dari manusia”.

Al-Syathibi mengartikan mashlahah itu dari dua pandangan, yaitu dari segi terjadinya
mashlahah dalam kenyataan dan dari segi tergantung hukum syara’ kepadanya. Dari segi
terjadinya mashlahah dalam kenyataan, berarti: "Sesuatu yang kembali kepada tegaknya
kehidupan manusia, sempurna hidupnya, tercapai apa yang dikehendaki oleh sifat
syahwati dan, aklinya secara mutlak". Dalam perkembangan pemikiran ushul fiqh, corak
penalaran istishlahi ini tampak dalam beberapa metode ijtihad, antara lain dengan
mashlahah al-mursalah dan sad al-zariah. Mashlahah al-mursalah menurut Muhammad
Abu Zahrah adalah: “Maslahah yang selaras dengan tujuan syariat Islam dan tidak ada
22
petunjuk tertentu yang membuktikan tentang pengakuannya atau penolakannya.”
Sedangkan sad al-zari’ah menurut al-Syathibi adalah: “Segala yang membawa kepada
sesuatu yang terlarang, yang mengandung mafsadah (kerusakan).”

Dengan demikian, kebolehan untuk melakukan transplantasi dan donor organ tubuh,
dapat merujuk kepada tujuan universal penciptaan manusia yaitu sebagai khalifah fi al-ardh
sebagaimana dijelaskan dalam Surat al-Baqarah ayat 30; “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu
berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah” di bumi”.

2.3 Pandangan Islam dan Medis Tentang Bayi Tabung

Bayi Tabung merupakan terjemahan dari artificial insemination. Artificial artinya


buatan atau tiruan, sedangkan insemination berasal dari kata latin. Inseminatus artinya
pemasukan atau penyampaian. Artificial insemination adalah penghamilan atau pembuahan
buatan. Dalam kamus seperti dalam kitab al-fatawa karangan Mahmud Syaltut. Bayi yang di
dapatkan melalui proses pembuahan yang dilakukan di luar rahim sehingga terjadi embrio
dengan bantuan ilmu kedokteran. Dikatakan sebagai kehamilan, bayi tabung karena benih
laki-laki yang disebut dari zakar laki-laki disimpan dalam suatu tabung.

Untuk menjalani proses pembuahan yang dilakukan di luar rahim, perlu disediakan
ovom (sel telur dan sperma). Jika saat ovulasi (bebasnya sel telur dari kandung telur) terdapat
sel-sel yang masak maka sel telur itu di hisab dengan sejenis jarum suntik melalui sayatan
pada perut, kemudian di taruh dalam suatu tabung kimia, lalu di simpan di laboratorium yang
di beri suhu seperti panas badan seorang wanita. Kedua sel kelamin tersebut bercampur
(zygote) dalam tabung sehingga terjadinya fertilasi. Zygote berkembang menjadi morulla lalu
dinidasikan ke dalam rahim seorang wanita. Akhirnya wanita itu akan hamil.

Bayi tabung adalah suatu istilah teknis. Istilah ini tidak berarti bayi yang terbentuk di
dalam tabung, melainkan dimaksudkan sebagai metode untuk membantu pasangan subur
yang mengalami kesulitan di bidang” pembuahan “sel telur wanita oleh sel sperma pria.
Secara teknis, dokter mengambil sel telur dari indung telur wanita dengan alat yang disebut
“laparoscop” ( temuan dr. Patrick C. Steptoe dari Inggris ). Sel telur itu kemudian diletakkan
dalam suatu mangkuk kecil dari kaca dan dipertemukan dengan sperma dari suami wanita
tadi. Setelah terjadi pembuahan di dalam mangkuk kaca itu tersebut, kemudian hasil
pembuahan itu dimasukkan lagi ke dalam rahim sang ibu untuk kemudian mengalami masa
kehamilan dan melahirkan anak seperti biasa.

Bayi tabung dalam istilah ilmiahnya adalah usaha manusia untuk mengadakan
pembuahan, dengan menyatukan atau mempertemukann antara sel telur wanita (ovum)
dengan spermatozoa pria dalam sebuah tabung gelas. Proses pembuah seperti ini disebut
dengan in vivo. Sedangkan proses pembuahan secara alamiah disebut dengan in vitro.

Masalah bayi tabung, jika bayi tabung, jika sperma dan ovum yang dipertemukan itu
berasal dari suami istri yang sah, maka hal itu dibolehkan. Tetapi jika sperma dan ovum yang
dipertemukan itu bukan berasal dari suami istri yang sah, maka hal itu tidak dibenarkan,
23
bahkan dianggap sebagai perzinahan terselubung. Dibolehkannya bayi tabung bagi suami istri
yang sah, disebabkan karena manfaatnya sangat besar dalam kehidupan rumah tangga. bagi
suami istri yang sangat merindukan seorang anak, namun tidak bisa berproses secara alami,
maka setelah diproses melalui bayi tabung, anak yang dirindukan itu akan segera hadir di
sisiny. disinilah letak maslahatnya, sehingga kebolehannya didasarkan melalui mashlahat al
mursalah.

Program bayi tabung dilakukan ketika pembuahan tidak mungkin dilakukan di dalam
rahim. Caranya, sel telur wanita dan sperma lelaki diambil untuk menjalani proses
pembuahan dalam sebuah tabung yang direkayasa dan dikondisikan agar menyerupai kondisi
rahim yang asli. Begitu pembuahan berhasil, bakal janin kemudian dikembalikan ke dalam
rahim wanita. Setelah itu, proses kehamilan berlangsung sebagaimana biasa.Pada dasarnya,
program bayi tabung adalah upaya untuk menangani problem-problem fisik yang dihadapi
para wanita. Para ilmuwan berusaha untuk meniru sebagian dari proses penciptaan manusia
oleh Allah swt. Mereka menciptakan tabung-tabung dengan suhu dan tingkat kelembapan
tertentu yang direkayasa sedemikian rupa sehingga menyerupai kondisi yang ada dalam
rahim wanita.

Persoalan muncul ketika sel telur seorang wanita dibuahi oleh sperma dari lelaki yang
bukan suaminya. Praktik tersebut jelas-jelas haram. Jika sperma dan sel telur itu diambil dari
sepasang suami-istri yang sah, tentu saja program bayi tabung tidak membawa konsekuensi
apa-apa.Penemuan bayi tabung sering kali dianggap sebagai monumen kemenangan sains
atas problem-problem biologis dan fisiologis yang menghalangi wanita untuk memeroleh
keturunan. Akan tetapi harus pula disadari bahwa kemenangan ini masih belum sempurna.
Setidaknya tetap terbukti bahwa penciptaan rahim berada di luar kemampuan sains.

Jika kemajuan teknologi itu dibanggakan sebagai sesuatu yang dapat menantang
kekuasaan Allah swt., maka para ilmuwan itu harus menyadari bahwa program bayi tabung
tidak akan berhasil jika manusia tidak tunduk pada kehendak Allah swt. Manusia memang
bisa merancang sebuah sistem yang memungkinkan pembuahan sel telur oleh sperma di luar
rahim untuk kemudian mengembalikan sel telur yang telah dibuahi itu ke dalam rahim
wanita. Akan tetapi, walau bagaimana pun, manusia tidak mungkin menciptakan rahim atau
apa pun yang bisa berfungsi sebagai rahim bagi janin. Mereka juga tidak bisa menciptakan
sperma dan sel telur. Di sumber lain dinyatakan bahwa kalau Islam telah melindungi
keturunan, yaitu dengan mengharamkan zina, sehingga dengan demikian situasi keluarga
selalu bersih dari anasir-anasir asing maka untuk itu Islam juga mengharamkan apa yang
disebut pencakokan sperma (bayi tabung), apabila ternyata pencangkokan itu bukan sperma
suami.

Bahkan situasi demikian, seperti kata Syekh Syaltut, suatu perbuatan zina dalam satu
waktu sebab intinya adalah satu dan hasilnya juga satu, yaitu meletakan air laki-laki lain
dengan suatu kesengajaan pada ladang yang tidak ada ikatan perkawinann secara syara’ yang
dilindungi hukum naluri dan syari’at agama. andai kata tidak ada pembatasan-pembatasan
dalam masalah bentuk pelanggaran hukum niscaya pencangkokan ini dapat di hukumi
berzina yang oleh syari’at Allah telah diberinya pembatasan dan kitab- kitab agama akan

24
menurunkan ayat tentang itu. Apabila pencakokan yang dilakukan itu bukan air suami, tidak
diragukan lagi adalah suatu kejahatan yang sangat buruk dan suatu perbuatan mungkar yang
lebih hebat dari pada pengangkatan anak, yaitu memasukan unsure asing ke dalam nasab, dan
antara perbauatan jahat yang lain berupa perbuatan zina dalam suatu waktu yang di tentang
oleh syara’, undang-undang dan kemanusiaan yang tinggi, dan akan meluncur ke derajat
binatang yang tidak berprikemanusiaan dengan adanya ikatan kemasayarakatan yang mulia.

Tujuan utama penetapan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat
manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini sejalan dengan misi Islam secara
keseluruhan yang rahmatan lil‟alamin. Bahkan asy- Syatibi dalam al Muqafaqat
menegaskan:

‫انما وضعت مصالح الخلق باطَلق‬


“Telah diketahui bahwa hukum Islam itu disyariatkan/diundangkan untuk mewujudkan
kemaslahatan makhluk secara mutlak”.

Dalam ungkapan yang lain Yusuf Qardawi menyatakan: Artinya: “Di mana ada
maslahat, disanalah hukum Allah”. Dua ungkapan tersebut menggambarkan secara jelas
bagaimana eratnya hubungan antara hukum Islam dengan kemaslahatan. Mengenai
pemaknaan terhadap maslahat, para ulama mengungkapkannya dengan definisi yang berbeda-
beda. Menurut al-Khawarizmi, maslahat merupakan pemeliharaan terhadap tujuan hukum
Islam dengan menolak bencana/kerusakan/hal-hal yang merugikan dari makhluk (manusia).
Sementara menurut at-Tufi, maslahat secara urf merupakan sebab yang membawa kepada
kemaslahatan (manfaat), sedangkan dalam hukum Islam, maslahat merupakan sebab yang
membawa akibat bagi tercapainya tujuan Syari’ (Allah), baik dalam bentuk ibadat maupun
mu’amalat. Sedangkan menurut al-Ghazali, maslahat makna asalnya merupakan menarik
manfaat atau menolak madarat. Akan tetapi yang dimaksud maslahat dalam hukum Islam
adalah setiap hal yang dimaksudkan untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta. Setiap hukum yang mengandung tujuan memelihara kelima hal tersebut disebut
maslahat.

Bahwa setiap penetapan hukum Islam itu pasti dimaksudkan untuk mewujudkan
kemaslahatan bagi umat manusia sebenarnya secara mudah dapat ditangkap dan dipahami
oleh setiap insan yang masih orisinal fitrah dan rasionya. Sebab hal itu bukan saja dapat
dinalar tetapi juga dapat dirasakan. Fitrah manusia selalu ingin meraih kemaslahatan dan
kemaslahatan yang ingin dicari itu terdapat pada setiap penetapan hukum Islam. Itulah
sebabnya Islam disebut oleh al-Qur’an sebagai agama fitrah, yakni agama yang ajarannya
sejalan dengan fitrah manusia dan kebenarannya pun dapat dideteksi oleh fitrah manusia.

Oleh karenanya, al-Ghazali menyatakan bahwa setiap maslahah yang bertentangan


dengan al-Qur’an, sunnah, atau ijma’ adalah batal dan harus dibuang jauh-jauh. Setiap
kemaslahatan yang sejalan dengan tindakan syara’ harus diterima untuk dijadikan
pertimbangan dalam penetapan hukum Islam. Dengan pernyataan ini, al-Ghazali ingin
menegaskan bahwa tak satu pun hukum Islam yang kontra dengan kemaslahatan, atau dengan

25
kata lain tak akan ditemukan hukum Islam yang menyengsarakan dan membuat madarat umat
manusia.

Hukum Islam memiliki dua kategori, yaitu:

pertama, kategori hukum Islam yang berakar pada nash qath’i yang disebut
syari’ah. Kategori hukum Islam ini bersifat universal, berlaku sepanjang zaman, dan
menjadi pemersatu arus utama aktivitas umat Islam se-dunia. Kategori hukum Islam
ini dijamin pasti mengandung dan membawa maslahat sepanjang zaman, penerapan
dan aplikasinya tidak dapat ditawar-tawar, dalam arti dalam kondisi dan situasi
apapun mesti diterapkan seperti itu, tanpa ditambah dan dikurangi. Justeru kondisi
dan situasilah yang harus tunduk kepadanya.

Kedua, kategori hukum Islam yang berakar pada nash dhanni yang
merupakan wilayah ijtihadi dan memberikan kemungkinan epistemilogis hukum
bahwa setiap wilayah yang dihuni umat Islam dapat menerapkan hukum Islam secara
berbeda-beda karena faktor sejarah, sosiologis, situasi dan kondisi yang berbeda yang
melingkupi para mujtahid. Inilah yang disebut fiqh. Fiqh dalam penarapan dan
aplikasinya justru harus mengikuti kondisi dan situasi sesuai dengan tuntutan
kemaslahatan dan kemajuan zaman. Hal ini dimaksudkan agar prinsip maslahat tetap
terpenuhi dan terjamin. Sebab fiqh adalah produk zamannya. Fiqh yang pada saat
dijtihadkan oleh mujtahid dipandang tepat dan relevan, mungkin kini dipandang
menjadi kurang atau bahkan tidak relevan lagi.

Dalam suatu kaidah diungkapkan: “Fatwa hukum Islam dapat berubah sebab
berubahnya masa, tempat, situasi, dorongan, dan motivasi”. Betapa besar kedudukan
kaidah hukum Islam tersebut dalam kaitannya dengan upaya menjaga eksistensi dan relevansi
hukum Islam, Ibn al-Qayyim menegaskan bahwa hal itu merupakan sesuatu yang amat besar
manfaatnya. Tanpa mengetahui kaidah tersebut, akan terjadi kekeliuran besar dalam
pandangan atau penilaian terhadap hukum Islam dan akan menimbulkan kesulitan dan
kesempitan yang tidak dikehendaki oleh hukum Islam itu sendiri. Sebab prinsip hukum Islam
adalah untuk mewujudkan kemaslahatan di dunia dan di akhirat.

Proses pembuahan dengan metode bayi tabung antara sel sperma suami dengan sel
telur isteri, sesungguhnya merupakan upaya medis untuk memungkinkan sampainya sel
sperma suami ke sel telur isteri. Sel sperma tersebut kemudian akan membuahi sel telur
bukan pada tempatnya yang alami. Sel telur yang telah dibuahi ini kemudian diletakkan pada
rahim isteri dengan suatu cara tertentu sehingga kehamilan akan terjadi secara alamiah
didalamnya. Pada dasarnya pembuahan yang alami terjadi dalam rahim melalui cara yang
alami pula (hubungan seksual), sesuai dengan fitrah yang telah ditetapkan Allah untuk
manusia. Akan tetapi pembuahan alami ini terkadang sulit terwujud, misalnya karena
rusaknya atau tertutupnya saluran indung telur (tuba Fallopii) yang membawa sel telur ke
rahim, serta tidak dapat diatasi dengan cara membukanya atau mengobatinya. Atau karena sel
sperma suami lemah atau tidak mampu menjangkau rahim isteri untuk bertemu dengan sel
telur, serta tidak dapat diatasi dengan cara memperkuat sel sperma tersebut, atau

26
mengupayakan sampainya sel sperma ke rahim isteri agar bertemu dengan sel telur di sana.
Semua ini akan meniadakan kelahiran dan menghambat suami isteri untuk berbanyak anak.
Padahal Islam telah menganjurkan dan mendorong hal tersebut dan kaum muslimin pun telah
disunnahkan melakukannya.

Kesulitan tersebut dapat diatasi dengan suatu upaya medis agar pembuahan –antara
sel sperma suami dengan sel telur isteri– dapat terjadi di luar tempatnya yang alami. Setelah
sel sperma suami dapat sampai dan membuahi sel telur isteri dalam suatu wadah yang
mempunyai kondisi mirip dengan kondisi alami rahim, maka sel telur yang telah terbuahi itu
lalu diletakkan pada tempatnya yang alami, yakni rahim isteri. Dengan demikian kehamilan
alami diharapkan dapat terjadi dan selanjutnya akan dapat dilahirkan bayi secara normal.

Proses seperti ini merupakan upaya medis untuk mengatasi kesulitan yang ada, dan
hukumnya boleh (ja’iz) menurut syara’. Sebab upaya tersebut adalah upaya untuk
mewujudkan apa yang disunnahkan oleh Islam, yaitu kelahiran dan berbanyak anak, yang
merupakan salah satu tujuan dasar dari suatu pernikahan. Diriwayatkan dari Anas ra bahwa
Nabi SAW telah bersabda: “Menikahlah kalian dengan perempuan yang penyayang dan
subur (peranak), sebab sesungguhnya aku akan berbangga di hadapan para nabi dengan
banyaknya jumlah kalian pada Hari Kiamat nanti.” (HR. Ahmad).

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra bahwa Rasulullah saw telah bersabda
“Menikahlah kalian dengan wanita-wanita yang subur (peranak) karena sesungguhnya
aku akan membanggakan (banyaknya) kalian pada Hari Kiamat nanti.”(HR. Ahmad).

Dengan demikian jika upaya pengobatan untuk mengusahakan pembuahan dan


kelahiran alami telah dilakukan dan ternyata tidak berhasil, maka dimungkinkan untuk
mengusahakan terjadinya pembuahan di luar tenpatnya yang alami. Kemudian sel telur yang
telah terbuahi oleh sel sperma suami dikembalikan ke tempatnya yang alami di dalam rahim
isteri agar terjadi kehamilan alami. Proses ini dibolehkan oleh Islam, sebab berobat
hukumnya sunnah (mandub) dan di samping itu proses tersebut akan dapat mewujudkan apa
yang disunnahkan oleh Islam, yaitu terjadinya kelahiran dan berbanyak anak.

Pada dasarnya, upaya untuk mengusahakan terjadinya pembuahan yang tidak alami
tersebut hendaknya tidak ditempuh, kecuali setelah tidak mungkin lagi mengusahakan
terjadinya pembuahan alami dalam rahim isteri, antara sel sperma suami dengan sel telur
isterinya.

Dalam proses pembuahan buatan dalam cawan untuk menghasilkan kelahiran


tersebut, disyaratkan sel sperma harus milik suami dan sel telur harus milik isteri. Dan sel
telur isteri yang telah terbuahi oleh sel sperma suami dalam cawan, harus diletakkan pada
rahim isteri.

Hukumnya haram bila sel telur isteri yang telah terbuahi diletakkan dalam rahim
perempuan lain yang bukan isteri, atau apa yang disebut sebagai “ibu pengganti” (surrogate
mother). Begitu pula haram hukumnya bila proses dalam pembuahan buatan tersebut terjadi
antara sel sperma suami dengan sel telur bukan isteri, meskipun sel telur yang telah dibuahi

27
nantinya diletakkan dalam rahim isteri. Demikian pula haram hukumnya bila proses
pembuahan tersebut terjadi antara sel sperma bukan suami dengan sel telur isteri, meskipun
sel telur yang telah dibuahi nantinya diletakkan dalam rahim isteri.

Ketiga bentuk proses di atas tidak dibenarkan oleh hukum Islam, sebab akan
menimbulkan pencampuradukan dan penghilangan nasab, yang telah diharamkan oleh ajaran
Islam. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa dia telah mendengar Rasulullah SAW
bersabda ketika turun ayat li’an:

“Siapa saja perempuan yang memasukkan kepada suatu kaum nasab (seseorang) yang
bukan dari kalangan kaum itu, maka dia tidak akan mendapat apa pun dari Allah dan
Allah tidak akan pernah memasukkannya ke dalam surga. Dan siapa saja laki-laki yang
mengingkari anaknya sendiri padahal dia melihat (kemiripan)nya, maka Allah akan
tertutup darinya dan Allah akan membeberkan perbuatannya itu di hadapan orang-orang
yang terdahulu dan kemudian (pada Hari Kiamat nanti).” (HR. Ad Darimi)

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, dia mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah
bersabda:“Siapa saja yang menghubungkan nasab kepada orang yang bukan ayahnya,
atau (seorang budak) bertuan (loyal/taat) kepada selain tuannya, maka dia akan mendapat
laknat dari Allah, para malaikat, dan seluruh manusia.” (HR. Ibnu Majah)

Ketiga bentuk proses di atas mirip dengan kehamilan dan kelahiran melalui perzinaan,
hanya saja di dalam prosesnya tidak terjadi penetrasi penis ke dalam vagina. Oleh karena itu
laki-laki dan perempuan yang menjalani proses tersebut tidak dijatuhi sanksi bagi pezina
(hadduz zina), akan tetapi dijatuhi sanksi berupa ta’zir, yang besarnya diserahkan kepada
kebijaksaan hakim (qadli).

Proses bayi tabung inilah di antara contoh-contoh penerapan maslahah mursalah


dalam problematika kontemporer yang belum ditunjukkan hukumnya oleh nas al-Qur’an dan
as-Sunah, yang nantinya di jadikan pedoman oleh manusia dalam menjalani hidup berumah
tangga. Sehingga rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah dapat benar-benar
tercapai dengan baik.

2.4 Bagaimana pandangan islam dan medis tentang Pengawetan Jenazah

Seiring dengan kemajuan dan perkembangan zaman, dunia juga mengalami


perkembangannya di berbagai bidang. Salah satunya adalah kemajuan di bidang kesehatan
yaitu pengawetan mayat. suatu tindakan medis pemberian bahan kimia tertentu guna
menghambat pembusukan serta menjaga penampilan luar mayat supaya tetap mirip dengan
kondisi sewaktu hidup.dan sampai sekarang pengawetan mayat masih sering dilakukan.

Dalam dunia kedokteran sangat penting adanya pengawetan mayat sebagai penelitian
untuk medalami ilmu anatomi (ilmu urai tubuh manusia) karena jaringan-jaringan sel di

28
dalam tubuh manusia berbeda dengan hewan oleh karena itu sangat perlu melakukan
penelitian terhadap manusia. Tentu penelitian tidak akan dilakukan pada yang masih hidup
melaikan manusia yang sudah mati (mayat)., yang telah di awetkan untuk memudahkan
penelitian. Karena manusia tidak mungkin mencapai kemajuan ilmu pengatahuan dan
teknologi yang mantap kecuali dengan penelitian, termasuk penelitian pengawetan mayat.

Namun, agama islam memerintah agar menghormati mayat, di tazjidkan dengan


penuh kasih sayang,di mandikan, di kafani, di sembayangkan dan di kuburkan, serta di
haramkan penganiayaan terhadapnya. Bagaimanapun juga pengawetan mayat untuk
penelitian ilmiah adalah hal yang belum jelas kedudukan hukumnya untuk dikembangkan
kaum muslimin mengigat perkembangan ilmu pengetahuan di abad yang serba canggih dan
modern sekarang ini.

Islam menganjurkan umatnya untuk menghargai sesama manusia, karena Allah


sendiri telah memuliakannya, sebagai mana firman Nya yang ada dalam Alquran yang
berbunyi sebagai berikut:

“Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak adam dan kami telah
menempatkan mereka didarat dan dilaut dan kami berikan kepada mereka rizki yang baik-
baik, kami lebihkam mereka dari kebanyakan makhluk kelebihan yang sempurna”. (Q.S
Al Isra:70)

Dalam keadaan masih hidup Allah telah memuliakannya hingga setelah


meninggalpun harus dihormati dan dihargainya. Oleh karena itu merusak mayat sama juga
merusak manusia yang masih hidup. Hal itu dinyatakan oleh Rasulullah Saw, melalui sebuah
hadistnya dari aisyah, beliau berkata sebagai berikut: “sesungguhnya Rasulullah Saw
bersabda: memecahkan tulang (merusak) mayat itu dosanya sama dengan merusakan
(memecahkan)nya diwaktu hidup”. (H.R Muslim)

Kedua nash diatas menunjukkan bahwa bertapa islam memuliakan manusia,


menghargai dan menghormatinya, walau saat sudah meninggal (jadi mayat) islam tetap
menghormatinya. Itulah kenap islam memerintahkan umatnya untuk menyelesaikan mayat
secara ma‟ ruf dan tidak diabaikan, dan diharamkan merusak atau menganiaya mayat karena
sama halnya merusak atau menganiaya orang yang masih hidup. Penganiayaan adalah hal
yang sangat dibenci dalam islam, sehingga nabi secara tegas melarangnya lewat sebuah

29
hadist yang berbunyi “tidak boleh menganiaya dan tidak boleh dianiaya.”(H.R. Imam
Malik)

Penganiayaan dalam Islam merupakan hal yang tidak boleh dilakukan dan tidak boleh
terjadi, baik terhadap orang yang masih hidup maupun sudah meninggal (jadi mayat). Mayat
dalam Islam adalah hal yang sangat diperhatikan dan dihormati, tidak boleh diabaikan dan
harus diperlakukan menurut ketentuan yang telah diatur dan menurut hukum-hukumnya.
Oleh karena itu menguburkan mayat wajib hukumnya oleh manusia yang masih hidup dan
orang yang disekitarnya. Apabila mayat itu tidak dikuburkan maka haram hukumnya dan
berdosa pada manusia yang masih hidup, kecuali ada alasan tertentu yang membolehkan
menurut kaedah-kaedah hukum islam.

Pada dasarnya pengawetan mayat itu tidak dibolehkan karena bertentangan dengan
hukum islam yang ada, baik dari Al quran maupun hadist Nabi Saw, tapi karena ada suatu
kepentingan yang harus dilakukan dan bermanfaat bagi umat manusia, atau mungkin karena
darurat yang tidak boleh dilakukan maka hal itu dibolehkan syara‟. Sebab hukum islam
sangat luas dan memudahkan seperti surat al baqarah ayat 185 yang berbunyi “ Allah
menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki bagimu kesukaran.

Berdasarkan ayat tersebut jelaslah bahwa hukum islam itu mudah dan luas, islam
tidak memerintahkan umatnya melakukan suatu kewajiban kecuali menurut
kemampuannyayang ada pada dirinya.

Di samping itu Allah tidak memberikan beban kecuali menurut kemampuan yang ada
pada diri kita sendiri, bahkan jika sudah darurat, yang harampun boleh dilakukan seperti
bunyi ayat 173 surat Al Baqarah:

ُ ‫ض‬
َ ‫ط هر‬
‫غي َْر‬ ِ ‫ير َو َما أ ُ ِه هل ِب ِه ِل َغي ِْر ه‬
ْ ‫َّللا ۖ فَ َم ِن ا‬ ِ ‫ع َل ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةَ َوالد َهم َولَ ْح َم ْال ِخ ْن ِز‬
َ ‫ِإنه َما َح هر َم‬
‫ور َر ِحي ٌم‬ٌ ُ ‫غف‬ َ ‫َّللا‬ َ ‫عا ٍد فَ ََل ِإثْ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه ۚ ِإ هن ه‬ َ ‫بَاغٍ َو ََل‬

Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging


babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa
dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.”

30
dan hadist riwayat Imam Malik yang berbunyi sebagai berikut “karena
kemudharatan itu dapat membolehkan yang haram.”.

Berarti dapat dsimpulkan dalam keadaan terpaksa (darurat) atau karena ada suatu
kepentingan yang tidak boleh tidak dilakukan terhadap mayat tersebut maka pengawetan
mayat itu dibolehkan, sebab tanpa diawetkan mayat akan membusuk sehingga tidak bisa
digunakan untuk penelitian. Kebolehan ini dapat dilihat melalui ta‟lil (illat) dari nash -nash
yang ada hubungannya dengan masalah ini baik Al quran maupun hadist-hadist Nabi Saw.
Yang telah saya sebutkan pada pembahasan yang lalu. Tidak ada satupun nash yang
menyebutkan secara jelas untuk membolehkan,begitu pula melarangnya. Namun dalam
pendapat para ulama tegas memperbolehkan dengan alasan tertentu akan tetapi tetap
berlandaskan Al quran dan hadist. Karena hukum islam disusun dan dibentuk atas dasar
kebijaksanaan dan kepentingan hidup manusia didunia dan akhirat.

Namun kalau dibandingkan antara kemaslahatan dengan kemafsadatan (kerugian)


khususnya mengenai masalah pengawetan mayat ini, maka kemaslahatan lebih besar , karena
faedah manfaatnya lebih banyak, sekiranya ada suatu mayat yang diawetkan dan tidak
dikebumikan, kerugiannya hanya tidak menyampaikan kebaikannya, tetapi manfaatnya
memberikan ilmu pengetahuan kepada manusia sehingga mereka menjadi pandai. Dan bisa
membantu manusia lainnya saat mereka membutuhkan bantuan.

2.5 Bagaimana pandangan islam dan medis tentang Aborsi

Aborsi merupakan masalah kesehatan masyarakat karena memberikan dampak pada


kesakitan dan kematian ibu. Sebagaimana diketahui penyebab utama kematian ibu hamil dan
melahirkan adalah pendarahan, infeksi dan eklampsia. Namun sebenarnya aborsi juga
merupakan penyebab kematian ibu, hanya saja muncul dalam bentuk komplikasi pendarahan
dan sepsis. Akan tetapi, kematian ibu yang disebabkan komplikasi aborsi sering tidak muncul
dalam laporan kematian, tetapi dilaporkan sebagai pendarahan atau sepsis.

Istilah aborsi secara bahasa berarti keguguran kandungan, pengguguran kandungan,


atau membuang janin. Dalam terminologi kedokteran, aborsi berarti terhentinya kehamilan
sebelum 28 (dua puluh delapan) minggu. Dalam istilah hukum, berarti pengeluaran hasil
konsepsi dari rahim sebelum waktunya (sebelum dapat lahir secara alamiah).5 Meskipun

31
istilah ini tentunya memerlukan penjelasan yang lebih terinci lagi, utamanya dalam relatifitas
batas terhentinya kehamilan dan terkait dengan proses yang melatarbelakangi pengguguran
dan/atau keguguran kandungan, namun data dipastikan bahwa pada umumnya memiliki
substansi pemaknaan yang hampir sama.

Definisi senada diungkapkan oleh Sardikin Ginaputra (Fakultas Kedokteran UI),


abortus ialah pengakhiran kehamilan atau hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar
kandungan. Sedangkan menurut Prof. M. A. Hanafiah ialah keluarnya isi rahim ibu yang
telah mengandung (hamil) hidup insani sebelum waktunya.

Ilmu kedokteran pada pokoknya membedakan abortus ke dalam dua macam, yaitu :

1. Spontaneus Abortus (Aborsi spontan), yaitu abortus yang tidak disengaja. Abosrtus
spontan bisa terjadi karena salah satu pasangan berpenyakit kelamin, kecelakaan, dan
sebagainya.

2. Provocatus Abortus (Aborsi yang disengaja). Aborsi semacam ini terbagi dua, yaitu

a. Abortus artificialis therapicus, yakni aborsi yang dilakukan oleh dokter atas
dasar indikasi medis. Misalnya jika kehamilan diteruskan bisa membahayakan jiwa si
calon ibu, karena misalnya penyakit-penyakit yang berat, antara lain TBC yang berat
dan penyakit ginjal yang berat.

b. Abortus provocatus criminalis, ialah aborsi yang dilakukan tanpa dasar


indikasi media. Misalnya aborsi yang dilakukan untuk meniadakan hasil hubungan
seks di luar perkawinan atau untuk mengakhiri kehamilan yang tidak dikehendaki.

Dalam menentukan hukum suatu persoalan, seorang mujtahid haruslah menempuh


beberapa hal. Tahapan-tahapan penelusuran hukum permasalahan tertentu haruslah sesuai
dengan runtutan atau urutan dasar hukum Islam. Hal ini menjadi sebuah keharusan bagi
seorang mujtahid yang betul-betul ingin mengkaji Alquran dengan tetap menjadikan Alquran
dan Hadis sebagai acuan dan rujukan. Sebab, sangatlah naif kiranya seorang yang ingin
mengkaji dan menggali makna atau kandungan Alquran kemudian tidak kembali merujuk
pada sumber utama dan paling utama tersebut.

32
1. Uraian Alquran tentang Aborsi
Uraian Alquran tentang proses pembuahan tidak diungkapkan secar terinci,
mulai dari awal sampai akhir, melainkan dikemukakan secara umum dan global.
Ayat yang biasa dijadikan acuan ketika berbicara mengenai aborsi antara lain,
sebagai berikut :
a. Redaksi ayat dalam QS. al-Isra’ (17): 31 dan 33, dikemukakan:
ْ ‫ق ۖ نَحْ ُن ن َْر ُزقُ ُه ْم َوإِيها ُك ْم ۚ ِإ هن قَتْ َل ُه ْم َكانَ ِخ‬
ً ِ‫طئًا َكب‬
‫يرا‬ ٍ ‫َو ََل ت َ ْقتُلُوا أ َ ْو ََل َد ُك ْم َخ ْشيَةَ ِإ ْم ََل‬

Terjemahnya :

Janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut


kemiskinan.Kami yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga
kepada kamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang
besar.

َ ‫س ْل‬
‫طانًا فَ ََل‬ ُ ‫ظلُو ًما فَقَ ْد َج َع ْلنَا ِل َو ِل ِي ِه‬
ْ ‫ق ۗ َو َم ْن قُتِ َل َم‬
ِ ‫َّللاُ ِإ هَل ِب ْال َح‬
‫س الهتِي َح هر َم ه‬
َ ‫َو ََل ت َ ْقتُلُوا النه ْف‬
‫ورا‬
ً ‫ص‬ُ ‫ف فِي ْالقَتْ ِل ۖ إِنههُ َكانَ َم ْن‬
ْ ‫يُس ِْر‬
Terjemahnya :
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
melainkan dengan haq. Dan barangsiapa dibunuh secara dhalim, maka
sesungguhnya Kami telah memberikan kekuasaan kepada walinya, tetapi
janganlah keluarganya melampaui batasa dalam membunuh.
Sesungguhnya ia adalah orang yang dimenangkan.

b. Redaksi ayat dala QS. al-An’am (6): 151, dikemukakan:

َ ْ‫ش ْيئًا ۖ َوبِ ْال َوا ِل َدي ِْن إِح‬


‫سانًا ۖ َو ََل ت َ ْقتُلُوا‬ َ ‫علَ ْي ُك ْم ۖ أ َ هَل ت ُ ْش ِر ُكوا بِ ِه‬
َ ‫قُ ْل تَعَالَ ْوا أَتْ ُل َما َح هر َم َربُّ ُك ْم‬
َ ‫ظ َه َر ِم ْن َها َو َما َب‬
ۖ َ‫طن‬ َ ‫ش َما‬ َ ‫اح‬ ِ ‫ق ۖ نَحْ ُن ن َْر ُزقُ ُك ْم َوإِيها ُه ْم ۖ َو ََل ت َ ْق َربُوا ْالفَ َو‬
ٍ ‫أ َ ْو ََل َد ُك ْم ِم ْن إِ ْم ََل‬
‫ق ۚ ٰ َذ ِل ُك ْم َو ه‬
َ‫صا ُك ْم بِ ِه لَعَله ُك ْم ت َ ْع ِقلُون‬ ِ ‫َّللاُ إِ هَل بِ ْال َح‬
‫س الهتِي َح هر َم ه‬ َ ‫َو ََل ت َ ْقتُلُوا النه ْف‬

Terjemahnya :

Katakanlah: „Marilah kubacakan apa yang diharamkan Allah atas


kamu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan-Nya, dan kepada

33
kedua ibu bapak melakukan kebaktian. Dan janganlah kamu membunuh
anak-anak kamu karena kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepada
kamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-
perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang
tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
kecuali berdasar sesuatu yang benar. Demikian itu yang diwasiatkan
kepada kamu, supaya kamu memahami.

2. Uraian Hadis tentang Aborsi

Uraian hadis sebagai sumber hukum Islam yang kedua, sekaligus sebagai
sumber rujukan dalam mengaplikasikan segala persoalan yang dapat dijadikan
hujjah dalam kehidupan, maka sudah barang tentu sangat dibutuhkan dalam
mengkaji persoalan aborsi. Ditemukan beberapa beberapa redaksi hadis dengan
derivasi periwayatan yang beragam, dapat ditelusuri di berbagai sumber kitab
hadis yang muktabarah, antara lain sebagai berikut:

a. Redaksi hadis dalam Shahih Bukhari, Kitab Bad’ al-Khalq, dikemukakan:


Artinya :

…Dari Abdullah ibnu Mas‟ud: “Proses kejadian manusia pertama-


tama merupakan bibit yang telah dibuahi dalam rahim ibu selama 40 hari,
kemudian berubah menjadi ‘alaqah yang memakan waktu selama 40 hari,
kemudian berubah menjadi mudgah yang memakan waktu 40 hari pula.
Setelah itu Allah mengutus malaikat yang diperintahkan menuliskan empat
hal, yaitu tentang amalnya, rezekinya, ajalnya, dan nasibnya celaka atau
bahaya yang kemudian kepadanya ditiupkan roh...

b. Redaksi hadis daam Shahih Muslim, Kitab al-Hudud, dikemukakan:


Artinya :
…Dari „Ubadah bin Shamit berkata: Kami bersama dengan
Rasulullah saw. Di sebuah majelis, lalu ia bersabda: “aku dibai‟at untuk
tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu, janganlah engkau berzina,

34
mencuri, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang Allah haramkan
kecuali dengan haq…

3. Pandangan Ulama tentang Aborsi


a. Aborsi sebelum ditiupkan roh
Kalangan Ulama fiqhi berbeda pendapat dalam menetapkan hukum
terhadap aborsi yang dilakukan sebelum ditiupkan roh. Hal ini dapat diuraikan
sebagai berikut:
1) Dibolehkan secara mutlak tanpa dikaitkan dengan uzur sama
sekali. Pendapat ini dikemukakan oleh ulama mazhab Zaidiyah, sebagian
mazhab Hanafi, dan sebagian mazhab Syafi‟i.
2) Dibolehkan apabila ada uzur, dan makruh hukumnya apabila tanpa
uzur. Uzur yang dimaksudkan adalah mengeringnya air susu ibu ketika
kehamilan sudah mulai kelihatan, sementara sang ayah tidak mampu
membiayai anaknya untuk menyusu kepada wanita lain apabila anaknya lahir
nanti. Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian mazhab Hanafi dan sebagian
mazhab Syafi‟i.
3) Makruh secara mutlak apabila belum ditiupkan roh. Pendapat ini
dikemukakan oleh mazhab Maliki.
4) Haram melakukan aborsi, sekalipun belum ditiupkan roh, karena air
mani apabila telah menetap dalam rahim, meskipun belum melalui masa 40
hari, tidak boleh dikeluarkan. Pendapat ini dikemukakan oleh jumhur ulama
mazhab Maliki dan mazhab Zahiri.

b. Aborsi setelah ditiupkan roh

Ulama fiqhi sepakat bahwa melakukan aborsi terhadap kandungan


yang telah menerima roh hukumnya haram. Mereka mengemukakan alasan
sebagaimana keumuman makna dalam firman Allah QS. al-Isra’ (17): 31 dan
33, serta QS. al-An’am (6): 151, sebagaimana yang telah dikemukakan.

Para ulama juga sepakat mengenai sanksi hukum bagi wanita yang
melakukan aborsi setelah ditiupkannya roh, yaitu dengan membayar gurrah
(budak laki-laki atau perempuan). Demikian pula jika yang melakukannya

35
orang lain dan sekalipun suami sendiri. Di samping membayar gurrah,
sebagian ulama fiqhi di antaranya mazhab Zahiri, bahwa pelaku aborsi juga
dikenai sanksi hukum kaffarat, yaitu memerdekakan budak dan jika tidak
mampu wajib berpuasa dua bulan berturut-turut, dan apabila masih tidak
mampu juga, wajib memberi makan fakir miskin 60 orang.

c. Aborsi karena darurat

Aborsi yang dilakukan apabila ada uzur yang benar-benar tidak


mungkin dihindari, yang dalam istilah fiqhi disebut keadaan “darurat”, seperti
apabila janin dibiarkan tumbuh dalam rahim akan berakibat kematian ibu.
Ulama sepakat bahwa aborsi dalam hal ini hukumnya mubah. Kebolehannya
ini guna menyelamatkan nyawa sang ibu. Pendapat ini didasarkan pada sebuah
hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Majah,
bahwa Rasulullah Saw., menganjurkan agar orang jangan berbuat sesuatu
yang membahayakan diri sendiri atau orang lain. Kaidah fiqhi juga
mengatakan bahwa apabila terdapat dua hal yang merugikan, padahal tidak
mungkin dihindari keduanya, maka harus ditentukan pilihan kepada yang lebih
ringan kerugiannya.

Apabila aborsi dilakukan karena sebab-sebab lain yang sama sekali


tidak terkait dengan keadaan darurat, seperti untuk menghindarkan rasa malu
atau karena faktor ekonomi, maka hukumnya haram. Betapapun aborsi
seringkali dipandang sebagai sesuatu yang sudah menjadi lazim atau sudah
tidak dianggap sebagai sesuatu yang tabuh di tengah-tengah masyarakat, maka
tetap hukum keharamannya tidak dapat ditolerir. Persoalannya adalah terletak
pada faktor adanya unsur kesengajaan, sementara unsur kesengajaan ini
seringkali diselubungkan dengan alasan “kedok” darurat. Misalnya dengan
alasan jatuh, kecelakaan, pendarahan, dan semacamnya. Dengan demikian,
apabila terdapat alasan yang menyertakan “berupa motivasi-akibat” sehingga
terjadi unsur “keadaan darurat” maka tetap hukumnya adalah haram.

36
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Keluarga bencana adalah suatu aktivitas untuk mencegah konsepsi/ pembuahan antara
sperma dan sel telur. Kb diboleh dalam islam karena pertimbangan ekonomi, kesehatan dan
pendidikan.

Transplantasi organ adalah pemindahan organ tubuh tertentu yang mempunyai daya
hidup yang sehat, dari seseorang untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat atau tidak
berfungsi dengan baik milik orang lain. Kebolehan melakukan transplantasi dan donor organ
tubuh secara umum merujuk kepada tujuan penciptaan manusia yaitu untuk menjadi khalifah
fi al-ardh. Secara teknis dilakukan dengan penalaran ta’lili dan istishlahi. Secara ta'liliyah
kebolehan transplantasi dan donor organ tubuh menganalogikan dengan kebolehan memberi
maaf dan mengambil diyat pada kasus kisas. Secara istishlahiyah masalah tersebut ditengarai
dengan konsep mashlahah yaitu sesuatu yang kembali kepada tegaknya kehidupan manusia,
sempurna hidupnya, tercapai apa yang dikehendaki oleh sifat syahwati dan aklinya secara
mutlak.

Bayi Tabung merupakan terjemahan dari artificial insemination. Artificial


insemination adalah penghamilan atau pembuahan buatan. Masalah bayi tabung, jika bayi
tabung, jika sperma dan ovum yang dipertemukan itu berasal dari suami istri yang sah, maka
hal itu dibolehkan. Tetapi jika sperma dan ovum yang dipertemukan itu bukan berasal dari
suami istri yang sah, maka hal itu tidak dibenarkan, bahkan dianggap sebagai perzinahan
terselubung. Dibolehkannya bayi tabung bagi suami istri yang sah, disebabkan karena
manfaatnya sangat besar dalam kehidupan rumah tangga. bagi suami istri yang sangat
merindukan seorang anak, namun tidak bisa berproses secara alami, maka setelah diproses
melalui bayi tabung, anak yang dirindukan itu akan segera hadir di sisinya. disinilah letak
maslahatnya, sehingga kebolehannya didasarkan melalui mashlahat al mursalah.

Pengawetan jenazah dalam islam di boleh dengan tujuan untuk penelitan yang akan
memberi banyak manfaat terutama dalam ilmu medis. . Kebolehan ini dapat dilihat melalui
ta‟lil (illat) dari nash -nash yang ada hubungannya dengan masalah ini baik Al quran
maupun hadist-hadist Nabi Saw. Yang telah saya sebutkan pada pembahasan yang lalu.

37
Tidak ada satupun nash yang menyebutkan secara jelas untuk membolehkan,begitu pula
melarangnya. Namun dalam pendapat para ulama tegas memperbolehkan dengan alasan
tertentu akan tetapi tetap berlandaskan Al quran dan hadist. Karena hukum islam disusun dan
dibentuk atas dasar kebijaksanaan dan kepentingan hidup manusia didunia dan akhirat.

Dalam terminologi kedokteran, aborsi berarti terhentinya kehamilan sebelum 28 (dua


puluh delapan) minggu. Melalui pembahasan dapat disimpulkan bahwa aborsi merupakan
kejahatan yang tidak berprikemanusiaan dan sangat dilarang oleh agama. Dalam kasus ini,
hukum Islam bersifat fleksibel yang memandang kehidupan manusia dari berbagai sudut
sesuai dengan kondisi yang dialami. Sehingga hukum aborsi tidak mutlak diharamkan.

38
DAFTAR PUSTAKA

Rohim, Sabrur. 2016. “Argume Program Keluarga Berencana (KB) Dalam Islam”. Jurnal

Ilmu Syariah dan Hukum, Vol. 1, Nomor 2, 2016.

Haswir. 2011. “Hukum Mendonorkan dan Mentransplantasi Anggota Tubuh Dalam Islam”.

Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli Desember 2011.

Handayani, Febri. 2013. “Problematika Bayi Tabung Menurut Hukum Islam”. Jurnal Hukum

Islam, Vol. XIII No. 1 Juni 2013.

Fatmawati, 2016. “Aborsi Dalam Perspektif Hukum Islam (Meluruskan Problema Perempuan

di Mata Publik). Jurnal Al-Maiyyah, Volume 9 No. 1 Januari-Juni 2016.

39

Anda mungkin juga menyukai