Anda di halaman 1dari 2

MENUNDA KEBAHAGIAAN 2#

Cerita ini seharusnya saya tulis tahun lalu pasca Frankfurt Book Fair 2015, Jerman--di mana
Indonesia menjadi tamu kehormatan.

Bayangkan Anda naik pesawat 13-15 jam dari Jakarta ke Frankfurt, dan transit di bandara
Changi. Beberapa bandara memang menyediakan fasilitas transit agak unik, misalnya:
Bandara Incheon menyediakan tempat untuk mempelajari budaya Korea. Bandara Narita
menyediakan ruang bermain anak, ruang nonton film, taman kecil, dan pertunjukan musik
live. Namun demikian, 2 jam transit tidak Anda gunakan karena alasan takut ketahuan bahwa
Anda kampungan, padahal di tempat-tempat baru, siapa pun akan terlihat asing.

Lepas landas dari Changi, Anda berharap segera santai dan lalu tertidur. Tetapi karena salah
memilih judul film, lalu tak lama kemudian penumpang di sebelah Anda menumpahkan
minuman bersoda tepat di jas mahal Anda, marah dan jengkel segera menyergap, tetapi lagi-
lagi Anda masih menahan diri agar terlihat berpendidikan tinggi, terutama karena Anda
memang duduk di kursi first class.

Apa masalahnya selesai? Baru 2 jam penerbangan, lelaki paruh baya di samping Anda suka
menyedot ingus dan dia melakukannya seperti mesin jam, setiap 6 detik: 1,2,3,4,5, menyedot
ingus; 1,2,3,4,5, menyedot ingus. "Oh, tidak! Pria ini mesin penyedot ingus. Seandainya aku
tidak harus menahan diri menghadapi Kalkun ini, aku pasti bahagia"

Tanpa disadari, tangan Anda membuka aplikasi kalkulator dari gawai, "menyedot ingus 10 x
dalam 1 menit dikali dengan...itu sama dengan 7.200 kali menyedot ingus sampai Frankfurt.
Ini malam paling buruk dalam hidupku." Bencana ingus belum juga berakhir, tiba-tiba bayi di
belakang Anda meraung-raung dalam tangis tak berkesudahan. Anda berusaha menoleh, pada
saat yang sama ibu sang bayi meminta Anda menenangkan bayi sembari ia mengambil tas
popok di bagasi kabin. Dan, ini dia, ibu tadi menjatuhkan tas perlengkapan bayi tepat di
kepala Anda.

Sementara bayi terus meraung bersahutan dengan tukang sedot ingus, kepala Anda kian
berkunang, pada saat itu keadaan kian memburuk. Rupa-rupanya, pesawat bongsor yang
Anda tumpangi berguncang hebat dan menukik tajam ke bumi. Semua penumpang panik dan
mengatupkan tangan dalam doa.

Ketika seisi perut Anda serasa menyangkut di tenggorokan, kini Anda lupa perihal tukang
sedot ingus, tangisan bayi dan ibu-ibu yang menjatuhkan tas. Sambil mengambil jaket
keselamatan, Anda mulai berunding dengan Tuhan, "Selamatkan aku dari pesawat yang
menukik ini, Tuhan! dan aku tidak akan jengkel lagi kepada tukang sedot ingus dan raungan
bayi sepanjang perjalanan sampai ke Eropa."

Pesawat pun mulai terbang datar dan tanang. Dari ruang kokpit, terdengar suara Kapten
meminta maaf atas gangguan pusaran angin. Bayi berhenti menangis, tukang sedot ingus
tertidur pulas, Anda pun memasuki gerbang mimpi lalu terbangun di Flughafen Frankfurt am
Main, di bandara tujuan.

Begitulah hidup, kita memiliki "urutan kecemasan". Ketika kaki patah, Anda tidak lagi
mencemaskan sakit kepala; Anda tidak risau dengan suami mendengkur sepanjang malam,
setelah kamar tidur kebakaran.
Bagaimana mengatasi itu semua? Semakin sedikit aturan dalam pikiran Anda tentang
bagaimana seharusnya hidup dan bagaimana orang lain semestinya bersikap, Anda akan lebih
mudah untuk bahagia. Kalau boleh memberi saran, menulislah! Dan, Anda akan lebih
bermakna dan bercahaya

Anda mungkin juga menyukai