Anda di halaman 1dari 9

TUGAS KELOMPOK

MATA KULIAH : KAPITA SELEKTA HUKUM INTERNASIONAL

ANALISIS KASUS
PENCEMARAN MINYAK MONTARA DI LAUT TIMOR

OLEH:
Widad Muhammad K (0910113201)
M.Zein Taslim Sangadji (105010100111111)
Tri Inaya Zahra (105010101111010)
Christina Meirinayanti (105010101111040)
Friedabia K.J (105010101111045)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2013

A. Latar Belakang

Bermula dari ledakan yang terjadi di rig West Atlas pada tanggal 21 Agustus 2009,
yaitu ketika sebuah platform sumur minyak Montara di Laut Timor yang terletak sekitar 690
km arah barat Darwin mengalami kegagalan dalam pengeboran minyak sehingga
mengakibatkan ledakan yang terjadi pada salah satu pipa penyalur minyak dari dasar laut ke
permukaan. Lokasi kilang minyak tersebut memang berada dalam yurisdiksi Australia,
namun yang menjadi masalah adalah ketika tumpahan minyak tersebut memasuki yurisdiksi
negara lain yang dalam hal ini adalah Indonesia. Ledakan kilang minyak tersebut tersebut
mengakibatkan perairan Australia Barat, Timor Leste dan Indonesia tercemar oleh minyak
mentah, dimana tumpahan minyak tersebut berlangsung selama 74 hari, hingga 3 November
2009. Tumpahan minyak tersebut menggenangi areal seluas 2500 mil persegi pada 30
Agustus 2009; kemudian pada 3 September 2009 mulai memasuki wilayah Indonesia dengan
posisi pada tanggal 29 September 2009 berada sejauh sekitar 50 mil dari batas wilayah
perairan laut antara Indonesia-Australia. Sejak itulah hasil tangkapan laut nelayan serta
aktivitas ekonomi masyarakat pesisir Provinsi NTT merosot tajam, hingga tinggal delapan
persen dari hasil normal sebelum pencemaran terjadi. Upaya-upaya yang dilakukan oleh
Indonesia:1
2 Oktober 2009 : Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) membentuk posko untuk
memonitor tumpahan minyak Montara langsung ke lapangan.
6 Oktober 2009 : Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) mengirim sampel air untuk diteliti.
15 Oktober 2009 : WWF Indonesia membuat press release tentang kasus Montara dan
mendorong Pemerintah Indonesia berkoordinasi dengan Pemerintah Australia untuk
melindungi kawasan Coral Triangle.
Oktober-November 2009 : Beberapa menteri RI (Luar Negeri, Perhubungan, Kelautan dan
Perikanan, serta Lingkungan) melakukan koordinasi untuk menangani isu minyak Montara
dan menunjuk Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut,
yang diketuai Freddy Numberi, untuk bernegosiasi tentang kompensasi.
11 Mei 2010 : YPTB mengirim dokumen klaim kepada Pemerintah Australia.
15-17 Juli 2010 : Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengonfirmasi bahwa Pemerintah
RI akan melakukan investigasi dan mengajukan klaim kompensasi. Tim advokasi
pencemaran Laut Timor dibentuk dan dipimpin Masnellyarti Hilman dari KLH.
20 JuIi 2010 : Presiden RI mulai memberikan pernyataan kepada publik bahwa Indonesia
akan mengajukan klaim kompensasi kepada PTTEP. Staf khusus presiden, Velix Wanggai,
menyatakan bahwa tim investigasi telah berada di NTT.
26 Agustus 2010 : Pertemuan tim advokasi pencemaran Laut Timor dan PTTEP. Pemerintah
mengklaim kompensasi hingga Rp 22 trilyun kepada PTTEP.
1
Arly Sumanto, 2013, Penyelesaian Sengketa Pencemaran Lintas Batas Akibat Kebocoran Sumur Minyak
Montara Australia Menurut Konvensi Hukum Laut 1982, Artikel Ilmiah, Universitas Brawijaya, Fakultas
Hukum, Malang, hlm. 6-7
28 Agustus 2010 : PTTEP menolak klaim dan tidak mengakui data ilmiah versi Pemerintah
RI.
Oktober 2010 : Pemerintah RI menyerahkan dokumen riset yang telah diperbarui kepada
PTTEP.
18 November 2010 : PTTEP kembali menolak klaim Pemerintah RI.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana model pengaturan tanggung jawab negara dalam kasus pencemaran minyak
Montara di Laut Timor dalam perspektif dalam Hukum Internasional?
2. Bagaimana model penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan antara Indonesia dan
Australia? dan bagaimana peran ASEAN sebagai organisasi internasional dalam
menyelesaikan kasus pencemaran minyak Montara di Laut Timor dalam perspektif Hukum
Internasional?

C. Analisis
1. Pengaturan Tanggung Jawab Negara
Sebelum membahas mengenai tanggung jawab negara yang dapat diberikan dalam kasus
ini, maka akan diberi penjelasan mengenai pencemaran laut.2
a. Definisi Pencemaran Laut
1) Menurut Organization for Economic Co-Operation and Development / OECD
Pencemaran laut merupakan sesuatu yang diakibatkan oleh manusia baik disengaja
maupun tidak, yang memberikan efek berupa kerusakan lingkungan maupun ancaman
2
Siti Kemala Nuraida, 2012, Tindakan Preventif dan Tanggung Jawab Negara dalam Pencemaran Laut Lintas
Batas Akibat Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi (MIGAS) Lepas Pantai, Skripsi tidak untuk diterbitkan,
Universitas Indonesia, Fakultas Hukum, hlm. 26-31.
bagi kesehatan umat manusia dan segala sesuatu yang dapat menghambat aktivitas
laut termasuk aktivitas perikanan, penurunan kualitas dari air laut dan mengganggu
kegunaan-kegunaan lain dari lingkungan.
2) Menurut United Nations Convention on the Law of the Sea / UNCLOS Pasal 1 ayat
(4)
Pencemaran lingkungan laut (“pollution of the marine environment”) berarti
dimasukkannya oleh manusia, secara langsung atau tidak langsung, bahan atau energi
ke dalam lingkungan laut, termasuk kuala, yang mengakibatkan atau mungkin
membawa akibat buruk sedemikian rupa seperti kerusakan pada kekayaan hayati laut
dan kehidupan di laut, bahaya bagi kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan-
kegiatan di laut termasuk penangkapan ikan dan penggunaan laut yang sah lainnya,
penurunan kualitas kegunaan air laut dan pengurangan kenyamanan.

b. Klasifikasi pencemaran laut3


1) Pollution from offshore mineral production
Pencemaran yang berasal dari kegiatan penambangan di dasar laut, terutama apabila
terjadi kebocoran pada instalasi penambangan dan pembuangan limbah yang tidak
memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.
2) Pollution from the Exploration and Exploitation of the Seabed
Pencemaran laut akibat eksplorasi dan eksploitasi dari dasar laut umumnya memiliki
permasalahannya tersendiri. eksploitasi dari wilayah dasar laut di bawah yurisdiksi
nasional (landas kontinental) ditandai dengan hak eksklusif dari negara pantai.
Namun, pencemaran tersebut memiliki lingkup yang lebih luas. Perairan dan sumber
daya alam yang ada di dalamnya merupakan berada dalam wilayah yang secara
internasional tergabung. pencemaran yang terjadi dalam suatu wilayah dari laut dapat
secara mudah berpindah ke wilayah lain dalam laut. Sementara, pencemaran dari
eksplorasi dan eksploitasi dari dasar laut yang berada di luar yurisdiksi suatu negara
tidak dapat diakomodasi baik oleh yurisdiksi negara asal ataupun yurisdiksi negara
pantai. Sistem pertahanan dari pencemaran di wilayah tersebut sebaiknya disesuaikan
dengan konsep common heritage of mankind (sesuai dengan yang diatur dalam
UNCLOS) dan karakteristik dari Seabed Authority.
3) Operational pollution
Operational pollution merupakan polusi akibat tindakan yang bersifat insidental dari
operasi normal dari sumber polusi, contohnya kapal, bangunan pengeboran, atau
pabrik, dan termasuk dalm hal-hal baik yang dilakukan secara sengaja maupun tidak
sengaja, contohnya adalah membersihkan tangki-tangki atau pelepasan air balast dari

3
Ibid
kapal. Untuk mengurangi atau menghilangkan pelepasan secara otomatis haruslah
dibuat pengaturan untuk mengembangkan desain, konstruksi, dan peralatan dari kapal
dan transportasi lainnya.
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk menanggulangi pencemaran laut akibat
tumpahan minyak:
a. Dispersan (emulsifier dispersants and physical removal)
Proses emulsifikasi minyak dalam air dapat dipercepat dengan cairan kimiawi yang
disebut dispersan. Cairan tersebut disemprotkan kepada oil slick dari permukaan laut.
Namun, dispersan ini juga dapat berakibat buruk.
b. Ditenggelamkan (sinking)
Konsep utama dari menenggelamkan minyak adalah dengan membebani minyak
dengan muatan yang lebih besar sehingga minyak akan terdorong ke dasar laut.
Namun, terdapat kekhawatiran bahwa ke depannya minyak tersebut akan kembali ke
massa awalnya, sehingga menyebabkan minyak kembali naik ke permukaan.
c. Pembakaran (burning)
Tindakan lain yang dapat diambil adalah membakar minyak tersebut. Namun, pada
dasarnya membakar bukanlah opsi yang dianjurkan untuk menghilangkan minyak dari
laut.

d. Proses pengentalan (gelling agents)


Cairan kimiawi telah dikembangkan menjadi cairan yang dapat mengubah bentuk
minyak dari cairan menjadi gel. Secara teori, cairan tersbeut disemprotkan kepada oil
slick sehingga dapat digulung seperti karpet. Namun, kesulitan dalam hal ini adalah
luasnya wilayah tumpahan minyak sehingga cairan ini kurang efektif.
e. Pembersihan pantai (beach cleaning)
Untuk keadaan khusus di mana minyak sudah mencapai pesisir, maka diwajibkan
untuk melakukan pembersihan pantai karena apabila minyak sudah mencapai pesisir,
maka lebih besar lagi dampak yang dihasilkan terkait kesehatan lingkungan.
f. Tidak melakukan apa-apa (do nothing)
Setiap kali terjadi tumpahan minyak, selalu terbuka opsi untuk tidak melakukan
apapun dan membiarkan minyak larut secara alami.
Di Indonesia, terdapat beberapa mekanisme penganggulangan pencemaran laut akibat
tumpahan minyak, antara lain:
a. mekanik, dapat berupa lokalisasi minyak menggunakan oil boom yang lantas
dihisap dengan skimmer dan disimpan di storage (tempat penyimpanan), ataupun juga
menggunakan absorbent yaitu sejenis sponge yang berguna menyerap minyak untuk
kemudian disimpan di dalam storage. Kekurangan cara ini adalah prosesnya yang
memakan waktu yang lama, pekerja, dan peralatan yang lebih banyak juga.
b. kimiawi, menggunakan dispersant yang disemprotkan ke wilayah yang tercemar
minyak sehingga minyak akan menjadi butiran-butiran di tengah lain. Kekurangan cara ini
adalah polutan tidak berkurang, hanya berubah bentuk dan berpindah tempat, serta
mekanisme ini tidak baik digunakan di wilayah yang di dalam lautnya terdapat terumbu
karang karena dapat mengakibatkan kerusakan.
c. bioremediasi (mekanisme ini masih dalam proses pengembangan dan belum pernah
digunakan), penanggulangan menggunakan bakteri pemakan minyak.
Pencemaran di laut apapun bentuknya, melanggar beberapa prinsip dalam Hukum
Internasional. Prinsip yang dilanggar akibat pencemaran laut, antara lain:
a. General Prohibition to Pollute Principle
Prinsip ini menentukan bahwa pada prinsipnya suatu negara dilarang untuk
melakukan tindakan di dalam negerinya sedemikian rupa sehingga menyebabkan
terjadinya pencemaran lingkungan di tingkat global.

b. Polluter Pays Principle


Prinsip ini menetapkan setiap orang yang melakukan pencemaran atau perusakan
terhadap lingkungan, bertanggung jawab untuk menanggulangi pencemaran dan
pemulihan lingkungan, maka pihak Montara memiliki kewajiban untuk memberikan
ganti rugi atas terjadinya pencemaran minyak di Laut Timor.
c. The Good Neighbourliness Principle
Prinsip ini menentukan bahwa suatu negara di dalam wilayahnya tidak boleh
melakukan tindakan sedemikan rupa sehingga menyebabkan gangguan lingkungan
pada negara lain.
d. The Prohibition of Abuse of Rights
Prinsip ini menentukan bahwa negara tidak boleh menyalahgunkan huknya untuk
melakukan tindakan-tindakan yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan lingkungan secara global.
e. The Duty to Prevent Principle
Prinsip ini menentukan bahwa setiap negara diberi kewajiban untuk mencegah
kerusakan lingkungan dan tidak boleh melakukan pembiaran terjadinya kerusakan
lingkungan yang bisa berasal dari kejadian di dalam negerinya dan kemudian
menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan.
f. The Duty to Inform Principle
Prinsip ini menentukan bahwa setiap negara harus melakukan kerjasama internasional
dalam mengatasi kerusakan lingkungan global melalui kerjasam internasional dengan
saling memberikan informasi tentang penyebab kerusakan dan cara menanggulangi
kerusakan lingkungan global.
g. The Duty to Negotiate and Cooperate Principle
Prinsip ini menentukan bahwa negara harus bekerja sama dan melakukan negosiasi
untuk menyelesaikan kasus lingkungan yang menyangkut dua negara atau lebih.
Prinsip ini merupakan penjabaran penyelesaian sengketa secara damai dalam HI.
h. Intergenerational Equity Principle
Prinsip ini diartikan sebagai prinsip keadilan antar generasi. Prinsip ini menentukan
bahwa generasi sekarang tidak boleh melakukan eksploitasi lingkungan dan sumber
daya alam sedemikian rupa sehingga generasi mendatang tidak memperoleh
kesempatan yang sama.

c. Pertanggungjawaban Negara
Syarat-syarat suatu negara dapat dikenai tanggung jawab, yaitu:
a. adanya suatu kewajiban Hukum Internasional yang berlaku di negara-negara.
b. adanya suatu perbuatan/kelalaian yang melanggar kewajiban Hukum
Internasional.
c. adanya kerusakan/kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang melanggar
hukum.
Berdasarkan uraian di atas, maka bentuk pertanggungjawaban yang dapat dilakukan
oleh Montara:
a. Pemulihan secara langsung;
b. Memberikan ganti rugi kepada Negara yang dirugikan.

2. Penyelesaian Sengketa dan Peran ASEAN


a. Penyelesaian Sengketa
Sejatinya, dalam menyelesaikan sengketa, Indonesia dan Australia dapat melakukan
satu atau beberapa metode penyelesaian seperti:
a. menurut UNCLOS 1982 -> penyelesaian sengketa secara damai
b. menurut Piagam PBB -> negosiasi, inquiry, mediasi, konsiliasi, arbitrase, lembaga
peradilan, pertemuan dengan agen-agen regional, dan cara lain yang bersifat damai.
c. melalui ITLOS (International Tribunal for the Law of the Sea)
Penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan dalam kasus pencemaran minyak di laut
menggunakan Diplomatic Methods, dimana dalam kasus Indonesia vs Australia telah
bertemu dan membicarakan mengganti jumlah ganti rugi yang harus diberikan oleh
Montara. Pihak Montara setuju memberikan ganti rugi sebesar US$ 5 juta.
Menurut Hukum Internasional suatu negara penuntut selalu berhak atas ganti kerugian
apabila tuntutannya sudah dibenarkan, terlepas apakah kerugian itu berupa kerugian
materiil atau tidak. Kerugian ini timbul dari adanya pelanggaran kewajiban internasional
oleh suatu negara. Selain itu, bisa juga Negara penuntut meminta ganti rugi. Bentuk-
bentuk ganti rugi yang dapat diberikan: reparasi (perbaikan), restitusi (pemulihan atau
ganti rugi berupa uang), satisfaction (penunaian/pelunasan), declaratory judgment,
dan kompensasi.
Akan tetapi, dalam menyelesaikan permasalah ini terdapat beberapa kendala. Kendala
yang dihadapi dalam penerapan ketentuan yang diatur dalam Konvensi Hukum Laut 1982
terkait penyelesaian pencemaran lintas batas antara Indonesia dengan Australia antara lain
adalah Hukum Laut lebih mengatur mengenai "Tanggung Jawab Setiap Negara" tetapi
tidak diatur didalamnya perihal nilai ganti rugi yang harus diberikan oleh Negara yang
melakukan pencemaran. Meskipun UNCLOS telah mengatur mengenai hak dan kewajiban
setiap negara dalam mengelola kekayaan hayati yang ada dilaut namun tetap saja ada
kendala yang dihadapi dalam penerapan UNCLOS dalam masalah yang terjadi antara
Indonesia dengan Australia.
Salah satunya adalah penentuan ganti rugi yang dilihat dari sudut materiil tidaklah
diatur secara pasti di dalam UNCLOS. Namun UNCLOS mengatur lebih kepada
"kewajiban" ganti rugi dengan kata lain pertanggungjawaban. Kemudian kendala lainnya
adalah Indonesia tidak mempunyai bukti yang kuat untuk melakukan gugatan. Terkait
dengan adanya laporan tes positif minyak Australia akan membahas laporan ini dengan
pemerintah Indonesia dan melakukan pengujian sampel untuk dibandingkan dengan
sampel dari minyak Montara atau minyak yang lazim beredar di perairan Timur Indonesia.
Australia menyatakan sangatlah kecil kemungkinannya bahwa minyak Montara akan
mencapai perairan pesisir Indonesia. Terkait dengan Laporan Banyaknya Ikan yang mati,
Australia telah melakukan pengujian tingkat keracunan (toxicity) pada ikan yang terdapat
di sekitar tumpahan minyak di perairan Australia, dan hasilnya memperlihatkan ketiadaan
kontaminasi. Jenis dan jumlah minyak yang diamati di ZEE Indonesia dipandang tidak
mengakibatkan ancaman signifikan pada lingkungan laut. Terkait dengan pernyataan
adanya upaya tanggap dari Australia untuk menanggulangi masalah ini.
Kemudian kendala terakhir dalam penyelesaian masalah pencemaran lintas batas ini
adalah Indonesia tidak melakukan tindakan pencegahan sebagaimana telah ditetapkan
dalam UNCLOS 1982 Sejak terjadinya kasus kegagalan dalam pengeboran yang
dilakukan oleh PTTEP Australia di Montara, belum ada tindakantindakan perlindungan
ataupun pencegahan terhadap pencemaran lingkungan laut dan biota laut di laut Timor dari
pihak Indonesia sendiri, padahal dalam kasus ini Indonesia merupakan negara yang
wilayah lautnya tercemar oleh minyak yang diakibatkan aktifitas pengelolaan laut negara
tetangga Australia. Hal ini yang memberatkan Indonesia manakala Indonesia akan
membawa kasus Montara ke Pengadilan Internasional, dikarenakan Indonesia sendiri tidak
mengambil tindakan penanggulangan yang cepat sejak terjadinya kebocoran.

b. Peran ASEAN sebagai Organisasi Internasional


Berdasarkan Treaty of Amity and Cooperation saat di Bali Concord I, dijelaskan
tentang cara penyelesaian sengketa secara damai antara anggota ASEAN. Oleh karena itu,
ASEAN dapat membantu negara anggotanya yang sedang terkena masalah. Begitu juga
dalam kasus ini, di mana Indonesia berhadapan dengan Australia, ASEAN bisa menjadi
negosiator, fasilitator, ataupun mediator.

Anda mungkin juga menyukai