Anda di halaman 1dari 11

A.

DEFINISI
Cedera kepala atau trauma kapitis adalah suatu gangguan trauma dari otak
disertai/tanpa perdarahan intestinal dalam substansi otak, tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas dari otak.(Nugroho, 2011)
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung
pada kepala (Suriadi dan Yuliani, 2011).
Menurut Brain Injury Assosiation of America (2001), cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan
oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran
yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Cedera kepala adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma
tumpul maupun trauma tajam. Defisit neurologis terjadi karena robekannya subtansia alba,
iskemia, dan pengaruh massa karena hemorogik, serta edema serebral disekitar jaringan
otak (Batticaca, 2008).
Berdasarkan defenisi cedera kepala diatas, dapat disimpulkan bahwa cedera kepala
adalah suatu cedera yang disebabkan oleh trauma benda tajam maupun benda tumpul
yang menimbulkan perlukaan pada kulit, tengkorak, dan jaringan otak yang disertai atau
tanpa pendarahan.

B. ETIOLOGI
Cidera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (
Mansjoer, 2000:3).
1. Cedera Kepala Primer yaitu cedera yang terjadi akibat langsung dari trauma:
a. Kulit : Vulnus, laserasi, hematoma subkutan, hematoma subdural.
b. Tulang : Fraktur lineal, fraktur bersih kranial, fraktur infresi (tertutup &
terbuka).
c. Otak : Cedera kepala primer, robekan dural, contusio (ringan, sedang,
berat), difusi laserasi.
2. Cedera Kepala Sekunder yaitu cedera yang disebabkan karena komplikasi :
a. Oedema otak
b. Hipoksia otak
c. Kelainan metabolic
d. Kelainan saluran nafas
e. Syok

C. KLASIFIKASI
Cedera kepala dapat dilasifikasikan sebagai berikut :

1. Berdasarkan Mekanisme
a. Trauma Tumpul
Trauma tumpul adalah trauma yang terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor,
kecelakaan saat olahraga, kecelakaan saat bekerja, jatuh, maupun cedera akibat
kekerasaan (pukulan).

b. Trauma Tembus
Trauma yang terjadi karena tembakan maupun tusukan benda-benda tajam/runcing.

2. Berdasarkan Beratnya Cidera


Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera didasarkan pada penilaian Glasgow Scala
Coma (GCS) dibagi menjadi 3, yaitu :

a. Cedera kepala ringan


 GCS 13 - 15
 Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
 Tidak ada fraktur tengkorak, kontusio serebral dan hematoma
b. Cedera kepala sedang
 GCS 9 - 12
 Saturasi oksigen > 90 %
 Tekanan darah systole > 100 mmHg
 Lama kejadian < 8 jam
 Kehilangan kesedaran dan atau amnesia > 30 menit tetapi < 24 jam
 Dapat mengalami fraktur tengkorak
c. Cedera kepala berat
 GCS 3 – 8
 Kehilangan kesadaran dan atau amnesia >24 jam
 Meliputi hematoma serebral, kontusio serebral
Pada penderita yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan misal oleh karena aphasia,
maka reaksi verbal diberi tanda “X”, atau oleh karena kedua mata edema berat sehingga
tidak dapat di nilai reaksi membuka matanya maka reaksi membuka mata diberi nilai “X”,
sedangkan jika penderita dilakukan traheostomy ataupun dilakukan intubasi maka reaksi
verbal diberi nilai “T”.

3. Berdasarkan Morfologi
a. Cedera kulit kepala
Cedera yang hanya mengenai kulit kepala. Cedera kulit kepala dapat menjadi pintu
masuk infeksi intrakranial.

b. Fraktur Tengkorak
Fraktur yang terjadi pada tulang tengkorak. Fraktur basis cranii secara
anatomis ada perbedaan struktur didaerah basis cranii dan kalvaria yang meliputi
pada basis caranii tulangnya lebih tipis dibandingkan daerah kalvaria, durameter
daerah basis lebih tipis dibandingkan daerah kalvaria, durameter daerah basis lebih
melekat erat pada tulang dibandingkan daerah kalvaria. Sehingga bila terjadi fraktur
daerah basis mengakibatkan robekan durameter klinis ditandai dengan bloody
otorrhea, bloody rhinorrhea, liquorrhea, brill hematom, batle’s sign, lesi nervus
cranialis yang paling sering n i, nvii dan nviii (Kasan, 2000).

Sedangkan penanganan dari fraktur basis cranii meliputi :

1) Cegah peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak, misal cegah


batuk, mengejan, makanan yang tidak menyebabkan sembelit.
2) Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan lubang telinga, jika perlu
dilakukan tampon steril (consul ahli tht) pada bloody otorrhea/otoliquorrhea.
3) Pada penderita dengan tanda-tanda bloody otorrhea/otoliquorrhea
penderita tidur dengan posisi terlentang dan kepala miring keposisi yang
sehat (Kasan : 2000).
c. Cedera Otak
1) Commotio Cerebri (Gegar Otak)
Commotio Cerebri (Gegar Otak) adalah cidera otak ringan karena
terkenanya benda tumpul berat ke kepala dimana terjadi pingsan < 10 menit.
Dapat terjadi gangguan yang timbul dengan tiba-tiba dan cepat berupa sakit
kepala, mual, muntah, dan pusing. Pada waktu sadar kembali, pada umumnya
kejadian cidera tidak diingat (amnezia antegrad), tetapi biasanya korban/pasien
tidak diingatnya pula sebelum dan sesudah cidera (amnezia retrograd dan
antegrad).

Menurut dokter ahli spesialis penyakit syaraf dan dokter ahli bedah syaraf,
gegar otak terjadi jika coma berlangsung tidak lebih dari 1 jam. Kalau lebih dari 1
jam, dapat diperkirakan lebih berat dan mungkin terjadi komplikasi kerusakan
jaringan otak yang berkepanjangan.

2) Contusio Cerebri (Memar Otak)


Merupakan perdarahan kecil jaringan akibat pecahnya pembuluh darah
kapiler. Hal ini terjadi bersama-sama dengan rusaknya jaringan saraf/otak di
daerah sekitarnya. Di antara yang paling sering terjadi adalah kelumpuhan N.
Facialis atau N. Hypoglossus, gangguan bicara, yang tergantung pada lokalisasi
kejadian cidera kepala.

Contusio pada kepala adalah bentuk paling berat, disertai dengan gegar
otak encephalon dengan timbulnya tanda-tanda koma, sindrom gegar otak pusat
encephalon dengan tanda-tanda gangguan pernapasan, gangguan sirkulasi paru
- jantung yang mulai dengan bradikardia, kemudian takikardia, meningginya suhu
badan, muka merah, keringat profus, serta kekejangan tengkuk yang tidak dapat
dikendalikan (decebracio rigiditas).

3) Perdarahan Intrakranial
a) Epiduralis haematoma
adalah terjadinya perdarahan antara tengkorak dan durameter akibat
robeknya arteri meningen media atau cabang-cabangnya. Epiduralis
haematoma dapat juga terjadi di tempat lain, seperti pada frontal, parietal,
occipital dan fossa posterior.

b) Subduralis haematoma
Subduralis haematoma adalah kejadian haematoma di antara durameter dan
corteks, dimana pembuluh darah kecil vena pecah atau terjadi perdarahan.
Kejadiannya keras dan cepat, karena tekanan jaringan otak ke arteri
meninggia sehingga darah cepat tertuangkan dan memenuhi rongga antara
durameter dan corteks. Kejadian dengan cepat memberi tanda-tanda
meningginya tekanan dalam jaringan otak (TIK = Tekanan Intra Kranial).
c) Subrachnoidalis Haematoma
Kejadiannya karena perdarahan pada pembuluh darah otak, yaitu perdarahan
pada permukaan dalam duramater. Bentuk paling sering dan berarti pada
praktik sehari-hari adalah perdarahan pada permukaan dasar jaringan otak,
karena bawaan lahir aneurysna (pelebaran pembuluh darah). Ini sering
menyebabkan pecahnya pembuluh darah otak.

d) Intracerebralis Haematoma
Terjadi karena pukulan benda tumpul di daerah korteks dan subkorteks yang
mengakibatkan pecahnya vena yang besar atau arteri pada jaringan otak.
Paling sering terjadi dalam subkorteks. Selaput otak menjadi pecah juga
karena tekanan pada durameter bagian bawah melebar sehingga terjadilah
subduralis haematoma.

4. Berdasarkan Patofisiologi
a. Cedera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi-decelerasi rotasi) yang
menyebabkan gangguan pada jaringan. Pada cedera primer dapat terjadi gegar
kepala ringan, memar otak dan laserasi.

b. Cedera kepala sekunder


Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti hipotensi sistemik,
hipoksia, hiperkapnea, edema otak, komplikasi pernapasan, dan infeksi / komplikasi
pada organ tubuh yang lain.

D. MANIFESTASI KLINIK
a. Berdasarkan anatomis
1) Gegar otak (comutio selebri)
a) Disfungsi neurologis sementara dapat pulih dengan atau tanpa
kehilangan kesadaran
b) Pingsan kurang dari 10 menit atau mungkin hanya beberapa detik/menit
c) Sakit kepala, tidak mampu konsentrasi, vertigo, mungkin muntah
d) Kadang amnesia retrogard
2) Edema Cerebri
a) Pingsan lebih dari 10 menit
b) Tidak ada kerusakan jaringan otak
c) Nyeri kepala, vertigo, muntah
3) Memar Otak (kontusio Cerebri)
a) Pecahnya pembuluh darah kapiler, tanda dan gejalanya bervariasi
tergantung lokasi dan derajad
b) Ptechie dan rusaknya jaringan saraf disertai perdarahan
c) Peningkatan tekanan intracranial (TIK)
d) Penekanan batang otak
e) Penurunan kesadaran
f) Edema jaringan otak
g) Defisit neurologis
h) Herniasi
4) Laserasi
a) Hematoma Epidural
Talk dan die” tanda klasik: penurunan kesadaran ringan saat benturan,
merupakan periode lucid (pikiran jernih), beberapa menit s.d beberapa
jam, menyebabkan penurunan kesadaran dan defisit neurologis (tanda
hernia):
 kacau mental → koma
 gerakan bertujuan → tubuh dekortikasi atau deseverbrasi
 pupil isokhor → anisokhor
b) Hematoma subdural
 Akumulasi darah di bawah lapisan durameter di atas arachnoid
biasanya karena aselerasi dan deselerasi pada lansia alkoholik
 Perdarahan besar menimbulkan gejala-gejal seperti perdarahan
epidural
 Defisit neurologi dapat timbul berminggu-minggu sampai dengan
berbulan-bulan
 Gejala biasanya 24-48 jam post trauma (akut)
 Perluasan massa lesi
 Peningkatan TIK
 Sakit kepala, lethargi, kacau mental, kejang
 disfagia
c) Perdarahan Subarachnoid
 Nyeri kepala hebat
 Kaku kuduk
b. Berdasarkan nilai GCS (Glasgow Coma Scale)
1) Cidera kepala Ringan (CKR)
a) GCS 13-15
b) Kehilangan kesadaran/amnesia <30 menit
c) Tidak ada fraktur tengkorak
d) Tidak ada kontusio celebral, hematoma
2) Cidera Kepala Sedang (CKS)
a) GCS 9-12
b) Kehilangan kesadaran dan atau amnesia >30 menit tetapi kurang dari 24
jam
c) Dapat mengalami fraktur tengkorak
3) Cidera Kepala Berat (CKB)
a) GCS 3-8
b) Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia > 24 jam
c) Juga meliputi kontusio celebral, laserasi, atau hematoma intracranial
E. PATOFISIOLOGI
PATHWAY (TERLAMPIR)

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap, urine, kimia darah, analisa gas darah.
2. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras: mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan,
determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
3. MRI : digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
4. Cerebral Angiography: menunjukkan anomali sirkulasi cerebral, seperti perubahan
jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
5. X-Ray : mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan, edema), fragmen tulang. Ronsent Tengkorak maupun thorak.
6. CSF, Lumbal Punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
7. ABGs : Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernafasan (oksigenasi)
jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
8. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrakranial. (Musliha, 2010).

G. PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan medik cedera kepala yang utama adalah mencegah terjadinya
cedera otak sekunder. Cedera otak sekunder disebabkan oleh faktor sistemik seperti
hipotensi atau hipoksia atau oleh karena kompresi jaringan otak. (Tunner, 2000)
Pengatasan nyeri yang adekuat juga direkomendasikan pada pendertia cedera kepala
(Turner, 2000)

Penatalaksanaan umum adalah:

1. Nilai fungsi saluran nafas dan respirasi


2. Stabilisasi vertebrata servikalis pada semua kasus trauma
3. Berikan oksigenasi
4. Awasi tekanan darah
5. Kenali tanda-tanda shock akibat hipovelemik atau neurogenik
6. Atasi shock
7. Awasi kemungkinan munculnya kejang.
Penatalaksanaan lainnya :
1. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat). Untuk mengurangi vasodilatasi.
3. Pemberian analgetika
4. Pengobatan anti oedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau
glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
5. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin).
6. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila terjadi muntah-muntah tidak dapat
diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5%, aminofusin, aminofel (18 jam
pertama dan terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikana makanan
lunak, Pada trauma berat, hari-hari pertama (2-3 hari), tidak terlalu banyak
cairan. Dextrosa 5% untuk 8 jam pertama, ringer dextrose untuk 8 jam kedua dan
dextrosa 5% untuk 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah,
makanan diberikan melalui ngt (2500-3000 tktp). Pemberian protein tergantung
nilai urea.

Tindakan terhadap peningktatan TIK yaitu:


1. Pemantauan TIK dengan ketat
2. Oksigenisasi adekuat
3. Pemberian manitol
4. Penggunaan steroid
5. Peningkatan kepala tempat tidur
6. Bedah neuro.

Tindakan pendukung lain yaitu:


1. Dukungan ventilasi
2. Pencegahan kejang
3. Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi
4. Terapi anti konvulsan
5. Klorpromazin untuk menenangkan klien
6. Pemasangan selang nasogastrik. (Mansjoer, dkk, 2000).

H. KOMPLIKASI
Kemunduran pada kondisi pasien mungkin karena perluasan hematoma intrakranial,
edema serebral progresif, dan herniasi otak
1. Edema serebral dan herniasi
Edema serebral adalah penyebab paling umum peningkatan TIK pada pasien
yang mendapat cedera kepala, puncak pembengkakan yang terjadi kira kira 72
jam setelah cedera. TIK meningkat karena ketidakmampuan tengkorak untuk
membesar meskipun peningkatan volume oleh pembengkakan otak diakibatkan
trauma..
2. Defisit neurologik dan psikologik
Pasien cedera kepala dapat mengalami paralysis saraf fokal seperti anosmia
(tidak dapat mencium bau bauan) atau abnormalitas gerakan mata, dan defisit
neurologik seperti afasia, defek memori, dan kejang post traumatic atau epilepsy.
3. Komplikasi lain secara traumatic :
a. Infeksi sitemik (pneumonia, ISK, sepsis)
b. Infeksi bedah neurologi (infeksi luka, osteomielitis, meningitis, ventikulitis,
abses otak)
c. Osifikasi heterotropik (nyeri tulang pada sendi sendi)
4. Komplikasi lain:
a. Peningkatan TIK
b. Hemorarghi
c. Kegagalan nafas
d. Diseksi ekstrakranial
DAFTAR PUSTAKA

Long C,.Barbara, Perawatan Medical Bedah, Jilid 2, Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan

Keperawatan Padjajaran, 1996

Smelltzer C, dkk,. Buku ajar keperawatan medikal bedah, jakarta, EGC, 2002

Batticaca, F.B., Asuhan keperawatan Klien dengan gangguan Sistem Persarafan, Salemba

Medika, 2008, Jakarta

Price, S.A.,dkk,. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6, Volume 2,

2006, EGC, Jakarta

Herdman T.H, dkk,. Nanda Internasional Edisi Bahasa Indonesia, Diagnosis

Keperawatan Definisi dan Klasifikasi, 2009-2011, EGC, Jakarta

Wilkinson J .M,. Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC

Edisi Bahasa Indonesia, 2006, EGC, Jakarta

Doengoes, M.E.,dkk., Rencana asuhan keperawatan Edisi 3, 2000, EGC, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai