Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik dan
imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif diperankan
oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE)
dan sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu dengan
antigen lalu mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain
untuk menghancurkan antigen tersebut.

Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon. Bilamana
alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang terjadi
ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah
reaksi hipersensitivitas atau alergi.

Mekanisme reaksi alergi adalah berdasar pada reaksi hipersensitivitas, yaitu timbulnya
respon IgE yang berlebihan terhadap bahan yang dianggap sebagai alergen, sehingga terjadi
pelepasan berbagai mediator penyebab reaksi alergi, walaupun pada orang normal reaksi ini
tidak terjadi. Apabila reaksi alergi ini berlangsung sangat berlebihan, dapat timbul syok
anafilaktik.

Histamin yang dilepaskan menimbulkan berbagai efek. Vasodilatasi dan peningkatan


permeabilitas kapiler yang terjadi menyebabkan pindahnya plasma dan sel-sel leukosit ke
jaringan, sehingga menimbulkan bintul-bintul berwarna merah di permukaan kulit. Sementara
rasa gatal timbul akibat penekanan ujung-ujung serabut saraf bebas oleh histamin. Kemudian
kerusakan jaringan yang terjadi akibat proses inflamasi menyebabkan sekresi protease, sehingga
menimbulkan rasa nyeri akibat perubahan fungsi. Efek lain histamin, yaitu kontraksi otot polos
dan perangsangan sekresi asam lambung, menyebabkan timbulnya kolik abdomen dan diare.

1
Selain itu, sekresi enzim untuk mencerna zat gizi, terutama protein, belum dapat bekerja
maksimal, sehingga terjadi alergi pada makanan tertentu, terutama makanan berprotein. Ada
alergi yang dapat membaik, karena maturitas enzim dan barier yang berjalan seiring dengan
bertambahnya umur. Hal ini juga dapat terjadi akibat faktor polimorfisme genetik antibodi yang
aktif pada waktu tertentu, sehingga menentukan kepekaan terhadap alergen tertentu.

Secara umum, hasil pemeriksaan laboratorium normal. Terjadi eosinofilia relatif, karena
disertai dengan penurunan basofil akibat banyaknya terjadi degranulasi. Eosinofil sendiri
menghasilkan histaminase dan aril sulfatase. Histaminase yang dihasilkan ini berperan dalam
mekanisme pembatasan atau regulasi histamin, sehingga pada pasien dengan kasus alergi yang
berat, jumlah eosinofil akan sangat meningkat melebihi normal.
B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum
Agar mahasiswa diharapkan dapat mengetahui dan mengerti tentang asuhan
keperawatan dengan gangguan hipersensitivitas.
2. Tujuan Khusus
Makalah disusun bertujuan agar :
1) Mahasiswa mengetahui pengertian hipersensitivitas
2) Mahasiswa mengetahui Etiologi hipersensitivitas
3) Mahasiswa mengetahui tanda dan gejala hipersensitivitas
4) Mahasiswa mengetahui Patofisiologi hipersensitivitas
5) Mahasiswa mengetahui klasifikasi hipersensitivitas
6) Mahasiswa mengetahui cara pemeriksaan, penatalaksanaan hipersensitivitas
7) Mahasiswa mengetahui asuhan keperawatan pada hipersensitivitas

2
BAB II
PEMBAHASAN

I. KONSEP DASAR MEDIK

A. Defenisi

Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang
menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya
non imunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau
bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan
hipersensitivitas tersebut disebut alergen.

B. Etiologi
Faktor yang berperan dalam alergi makanan yaitu :

1. Faktor Internal
a. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam lambung,
enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis (misalnya : IgA
sekretorik) memudahkan penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga mengurangi
kemampuan usus mentoleransi makanan tertentu.
b. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin sampai
masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma kehidupan
setempat.
c. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan alergen
bertambah.
2. Fakor Eksternal
a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress) atau
beban latihan (lari, olah raga).
b. Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut prevalensinya: ikan
15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3% dll.

3
c. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat menimbulkan
reaksi alergi.

C. Klasifikasi

1. Hipersensitifitas tipe I

Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau anafilaktik.


Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan saluran
gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam, mulai dari
ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah
terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam.
Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada
reaksi ini adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping darah,
neutrofil, dan eosinofil.

Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah tes
kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total dan antibodi IgE spesifik
untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi) yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE
merupakan salah satu penanda terjadinya alergi akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak
terpapar langsung oleh alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa
penyakit non-atopik seperti infeksi cacing, mieloma, dll. Pengobatan yang dapat ditempuh untuk
mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah menggunakan anti-histamin untuk memblokir reseptor
histamin, penggunaan Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization (imunoterapi atau
desensitization) untuk beberapa alergi tertentu.
2. Hipersensitifitas tipe II

Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG) dan


imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler.
Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang langsung berhubungan dengan

4
antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen permukaan
sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel.

Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang berikatan
dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe dari
hipersensitivitas tipe II adalah:
a. Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal),
b. Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat menempel
pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk produksi antibodi
kemudian berikatan dengan permukaan sel darah merah dan menyebabkan lisis sel
darah merah), dan
c. Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus sehingga
menyebabkan kerusakan ginjal).

3. Hipersensitifitas tipe III

Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal ini disebabkan
adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut di dalam jaringan. Hal
ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada kondisi normal, kompleks
antigen-antibodi yang diproduksi dalam jumlah besar dan seimbang akan dibersihkan dengan
adanya fagosit. Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen (spora
fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang persisten akan membuat tubuh secara otomatis
memproduksi antibodi terhadap senyawa asing tersebut sehingga terjadi pengendapan kompleks
antigen-antibodi secara terus-menerus. Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit autoimun.
Pengendapan kompleks antigen-antibodi tersebut akan menyebar pada membran sekresi aktif dan
di dalam saluran kecil sehingga dapat memengaruhi beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paru-
paru, sendi, atau dalam bagian koroid pleksus otak.

Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun karena
kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi. Kelebihan antigen kronis akan
menimbulkan sakit serum (serum sickness) yang dapat memicu terjadinya artritis atau

5
glomerulonefritis. Kompleks imun karena kelebihan antibodi disebut juga sebagai reaksi Arthus,
diakibatkan oleh paparan antigen dalam dosis rendah yang terjadi dalam waktu lama sehingga
menginduksi timbulnya kompleks dan kelebihan antibodi. Beberapa contoh sakit yang
diakibatkan reaksi Arthus adalah spora Aspergillus clavatus dan A. fumigatus yang
menimbulkan sakit pada paru-paru pekerja lahan gandum (malt) dan spora Penicillium casei
pada paru-paru pembuat keju.

4. Hipersensitifitas tipe IV

Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel atau tipe
lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan oleh sel T dan
makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi dan diferensiasi sel T,
sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan leukosit lain pada daerah yang
terkena paparan. Beberapa contoh umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas
pneumonitis, hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat
kronis (delayed type hipersensitivity, DTH).

Hipersensitivitas tipe IV dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori berdasarkan waktu


awal timbulnya gejala, serta penampakan klinis dan histologis. Ketiga kategori tersebut dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.

Waktu Penampakan
Tipe Histologi Antigen dan situs
reaksi klinis

Limfosit, diikuti Epidermal (senyawa


48-72
Kontak Eksim (ekzema) makrofag; edema organik, jelatang atau poison
jam
epidermidis ivy, logam berat , dll.)

48-72 Pengerasan Limfosit, monosit, Intraderma (tuberkulin,


Tuberkulin
jam (indurasi) lokal makrofag lepromin, dll.)

Antigen persisten atau


21-28 Makrofag, epitheloid dan
Granuloma Pengerasan senyawa asing dalam tubuh
hari sel raksaksa, fibrosis
(tuberkulosis, kusta, etc.)

6
Mekanisme Berbagai Gangguan Yang Diperantarai Secara Imunologis

Tipe Mekanisme Imun Gangguan Prototipe


1 Tipe Anafilaksis Alergen mengikat silang antibody Anafilaksis, beberapa bentuk
IgE pelepasan amino vasoaktif asma bronchial
dan mediatorlain dari basofil dan
sel mast rektumen sel radang lain
2 Antibodi IgG atau IgM berikatan dengan Anemia hemolitik autoimun,
terhadap antigen antigen pada permukaan sel eritroblastosis fetalis,
jaringan tertentu fagositosis sel target atau lisis sel penyakit Goodpasture,
target oleh komplemen atau pemfigus vulgaris
sitotosisitas yang diperantarai oleh
sel yang bergantung antibodi
3 Penyakit Kompleks antigen-antibodi Reahsi Arthua, serum
Kompleks Imun mengaktifkan komplemen sickness, lupus eritematosus
menarik perhatian nenutrofil sistemik, bentuk tertentu
menjadikan pelepasan enzim glumerulonefritis akut
lisosom, radikal bebas oksigen,
dll
4 Hipersensivitas Limfisit T tersensitisasi pelepasan Tuberkulosis, dermatitis
Selular sitokin dan sitotoksisitas yang kontak, penolakan transplant
(Lambat) diperantarai oleh sel T

D. Manifestasi Klinic

1. Reaksi tipe I
Dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Pemberian
antigen protein atau obat (misalnya, penisilin) secara sistemik (parental) menimbulkan
anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu yang
tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan
eritems kulit,diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh

7
bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat
memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran pernafasan bagian
atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan
vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera,dapatterjadi vasodilatasi
sistemik (syok anafilaktik ), dan penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan
kematian dalam beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu
sesuai jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus
gastrointestinal (ingesti,menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan
bronkokonstriksi).

2. Reaksi tipe II
Umumnya berupa kelainan darah, seperti anemia hemolitik, trombositopenia,
eosinofilia dan granulositopenia.

3. Reaksi Hipersensivitas tipe III


1) Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme dan lain-lain.
gejala sering disertai pruritis.
2) Demam
3) Kelainan sendi, artralgia dan efusi sendi
4) Limfadenopati
 Kejang perut, mual
 Neuritis optic
 Glomerulonefritis
 Sindrom lupus eritematosus sistemik
 Gejala vaskulitis lain

4. Hipersensitivitas tipe IV
Dapat berupa reaksi paru akut seperti demam, sesak, batuk dan efusi pleura. Obat
yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofuratonin, nefritis intestisial,
ensafalomielitis. hepatitis juga dapat merupakan manifestasi reaksi obat.

8
Adapun Gejala klinis umumnya :
 Pada saluran pernafasan : asma
 Pada saluran cerna: mual,muntah,diare,nyeri perut
 Pada kulit: urtikaria. angioderma, dermatitis, pruritus, gatal, demam, gatal
 Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan bibir

E. Patofisiologi

Saat pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh seseorang yang
mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika untuk kedua
kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah tampak gejala-gejala
timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda itu muncul maka antigen akan
mengenali alergen yang masuk yang akan memicu aktifnya sel T, dimana sel T tersebut yang
akan merangsang sel B untuk mengaktifkan antibodi (Ig E). Proses ini mengakibatkan
melekatnya antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang mengalami
paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal yaitu,:

1. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek terhadap
berbagai sel terutama dalam menarik sel – sel radang misalnya netrofil dan eosinofil,
sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan panas.
2. Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang merangsang sel
mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang banyak, kemudian histamin
tersebut beredar di dalam tubuh melalui pembuluh darah. Saat mereka mencapai kulit,
alergen akan menyebabkan terjadinya gatal, prutitus, angioderma, urtikaria, kemerahan
pada kulit dan dermatitis. Pada saat mereka mencapai paru paru, alergen dapat
mencetuskan terjadinya asma. Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal dengan nama
anafilaktik syok. Gejala ini ditandai dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran
menurun, dan bila tidak ditangani segera dapat menyebabkan kematian

9
F. Pemeriksaan Penunjang

1. Uji kulit :
Sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti tungau, kapuk,
debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan seperti susu, telur,
kacang, ikan).
2. Darah tepi:
Bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml disertai
neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
3. IgE total dan spesifik:
Harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun. Kadar IgE lebih dari
30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau mengalami
infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler.
4. Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.
5. Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif.
6. Biopsi usus:
Sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge didapatkan inflamasi /
atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM. IgE ( dengan mikroskop
imunofluoresen ).
7. Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.
8. Diit coba buta ganda ( Double blind food chalenge ) untuk diagnosa pasti

G. Pengobatan

Penanganan gangguan alergi berlandaskan pada empat dasar:


1. Menghindari allergen
2. Terapi farmakologis
a. Adrenergik
Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin ( epinefrin, isoetarin,
isoproterenol, bitolterol ) dan nonkatelomin ( efedrin, albuterol, metaproterenol,
salmeterol, terbutalin, pributerol, prokaterol dan fenoterol ). Inhalasi dosis tunggal

10
salmeterol dapat menimbulkan bronkodilatasi sedikitnya selam 12 jam, menghambat
reaksi fase cepat maupun lambat terhadap alergen inhalen, dan menghambat
hiperesponsivitas bronkial akibat alergen selama 34 jam.
b. Antihistamin
Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada reseptor di
berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan sebagai antagonis kompetitif mereka
lebih efektif dalam mencegah daripada melawan kerja histamine.
c. Kromolin Sodium
Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan. Zat ini
merupakan analog kimia obat khellin yang mempunyai sifat merelaksasikan otot
polos. Obat ini tidak mempunyai sifat bronkodilator karenanya obat ini tidak efektif
unutk pengobatan asma akut. Kromolin paling bermanfaat pada asma alergika atau
ekstrinsik.
d. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan alergi.
Beberapa pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah pemberian peroral atau
intravena yaitu penurunan eosinofil serta limfosit prrimer. Steroid topikal mempunyai
pengaruh lokal langsung yang meliputi pengurangan radang, edema, produksi mukus,
permeabilitas vaskuler, dan kadar Ig E mukosa.
3. Imunoterapi
Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang diperantarai
Ig E atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat menghambat pelepasan histamin
dari basofil pada tantangan dengan antigen E ragweed in vitro. Leukosit individu yang
diobati memerlukan pemaparan terhadap jumlah antigen E yang lebih banyak dalam
upaya melepaskan histamin dalam jumlah yang sama seperti yang mereka lepaskan
sebelum terapi. Preparat leukosit dari beberapa penderita yang diobati bereaksi seolah-
olah mereka telah terdesensitisasisecara sempurna dan tidak melepaskan histamin pada
tantangan dengan antigen E ragweed pada kadar berapapun
4. Profilaksis
Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti traneksamat,
sering kali sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema.

11
II. KONSEP DASAR KEPERAWATAN

A. Pengkajian

1. Data Demografi
a. Data dasar
 Identitas Pasien (nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan, agama, suku
bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnosa medis, sumber biaya, dan sumber
informasi).
 Identitas Penanggung (nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan, agama,
suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, dan hubungan dengan pasien)
b. Riwayat Keperawatan
1) Riwayat Kesehatan Sekarang
Mengkaji data subjektif yaitu data yang didapatkan dari klien, meliputi:
 Alasan masuk rumah sakit :
Pasien mengeluh nyeri perut,sesak nafas, demam,bibirnya bengkak,tibul
kemerahan pada kulit,mual muntah,dan terasa gatal
 Keluhan utama
- Pasien mengeluh sesak nafas
- Pasien mengeluh bibirnya bengkak
- Pasien mengaku tidak ada nafsu makan, mual dan muntah
- Pasien mengeluh nyeri di bagian perut
- Pasien mengeluh gatal-gatal dan timbul kemerahan di sekujur tubuhnya.
- Pasien mengeluh diare
- Pasien mengeluh demam
 Kronologis keluhan
Pasien mengeluh nyeri perut,sesak nafas, demam,bibirnya bengkak,tibul
kemerahan pada kulit,mual muntah,dan terasa gatal tertahankan lagi sehingga
pasien dibawa ke rumah sakit.

12
2) Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Mengkaji apakah sebelumnya pasien pernah mengalami sakit yang sama atau
yang berhubungan dengan penyakit yang saat ini diderita. Misalnya, sebelumnya
pasien mengatakan pernah mengalami nyeri perut,sesak nafas, demam,bibirnya
bengkak,tibul kemerahan pada kulit,mual muntah,dan terasa gatal dan pernah
menjalani perawatan di RS atau pengobatan tertentu.
3) Riwayat Kesehatan Keluarga
Mengkaji apakah dalam keluarga pasien ada/tidak yang mengalami penyakit yang
sama.
4) Riwayat Psikososial dan Spiritual
Mengkaji orang terdekat dengan pasien, interaksi dalam keluarga, dampak
penyakit pasien terhadap keluarga, masalah yang mempengaruhi pasien,
mekanisme koping terhadap stres, persepsi pasien terhadap penyakitnya, tugas
perkembangan menurut usia saat ini, dan sistem nilai kepercayaan.

Analisa Data
1) Data Subjektif
a. Sesak nafas
b. Mual, muntah
c. Meringis, gelisah
d. Terdapat nyeri pada bagian perut
e. Gatal – gatal
f. Batuk
2) Data objektif
a. Penggunaan O2
b. Adanya kemerahan pada kulit
c. Terlihat pucat
d. Pembengkakan pada bibir
e. Demam ( suhu tubuh diatas 37,50C)

13
B. Diagnosa Keperawatan

1. Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan terpajan allergen


2. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infalamasi dermal, intrademal sekunder
4. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi (allergen, ex: makanan)

C. Intervensi Keperawatan

1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan terpajan allergen


Tujuan : Setelah diberikan askep selama 1.x15 menit. diharapkan pasien
menunjukkan pola nafas efektif dengan frekuensi dan kedalaman
rentang normal.
Kriteria hasil :
a. Frekuensi pernapasan pasien normal (16-20 kali per menit)
b. Pasien tidak merasa sesak lagi
c. Pasien tidak tampak memakai alat bantu pernapasan
d. Tidak terdapat tanda-tanda sianosis
Intervensi :

1. Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan dan ekspansi paru. Catat upaya pernapasan,
termasuk pengguanaan otot bantu/ pelebaran masal.
Rasional : Kecepatan biasanya meningkat. Dispenea dan terjadi peningakatan kerja
napas. Kedalaman pernapasan berpariasi tergantung derajat gagal napas.
Ekspansi dada terbatas yang berhubungan dengan atelektasis atau nyeri dada
pleuritik.
2. Auskultasi bunyi napas dan catat adanya bunyi napas adventisius seperti krekels, mengi,
gesekan pleura.

14
Rasional : Bunyi napas menurun/ tak ada bila jalan napas obstruksi sekunder terhadap
pendarahan, bekuan/ kolaps jalan napas kecil (atelektasis). Ronci dan mengi
menyertai obstruksi jalan napas/ kegagalan pernapasan.
3. Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi. Bangunkan pasien turun dari tempat tidur
dan ambulansi sesegera mungkin.
Rasional : Duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan pernapasan.
Pengubahan posisi dan ambulansi meningkatkan pengisian udara segmen
paru berbeda sehingga memperbaiki difusi gas.
4. Observasi pola batuk dan karakter secret.
Rasional : Kongesti alveolar mengakibatkan batuk kering atau iritasi. Sputum berdarah
dapat diakibatkan oleh kerusakan jaringan atau antikoagulan berlebihan.
5. Berikan oksigen tambahan
Rasional : Memaksimalkan bernapas dan menurunkan kerja napas
6. Berikan humidifikasi tambahan, mis: nebulizer ultrasonic
Rasional: Memberikan kelembaban pada membran mukosa dan membantu pengenceran
secret untuk memudahkan pembersihan.

2. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi


Tujuan : setelah diberikan askep selama 1.x.24 jam diharapkan suhu tubuh pasien
menurun.
Kriteria hasil :
a. Suhu tubuh pasien kembali normal ( 36,5 oC -37,5 oC)
b. Bibir pasien tidak bengkak lagi
Intervensi :

1. Pantau suhu pasien ( derajat dan pola )


Rasional : Suhu 38,9-41,1C menunjukkan proses penyakit infeksius akut.
2. Pantau suhu lingkungan, batasi atau tambahkan linen tempat tidur sesuai indikasi
Rasional : Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan mendekati
normal

15
3. Berikan kompres mandi hangat, hindari penggunaan alcohol
Rasional : Dapat membantu mengurangi demam

3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infalamasi dermal, intrademal sekunder


Tujuan : Setelah diberikan askep selama 2 x24 jam diharapkan pasien tidak akan
mengalami kerusakan integritas kulit lebih parah.
Kriteria hasil :
a. Tidak terdapat kemerahan, bentol-bentol dan odema
b. Tidak terdapat tanda-tanda urtikaria, pruritus dan angioderma
c. Kerusakan integritas kulit berkurang
Intervensi :

1. Lihat kulit, adanya edema, area sirkulasinya terganggu atau pigmentasi


Rasional : Kulit berisiko karena gangguan sirkulasi perifer
2. Hindari obat intramaskular
Rasional : Edema interstisial dan gangguan sirkulasi memperlambat absorpsi obat dan
predisposisi untuk kerusakan kulit

4. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi ( alergen,ex: makanan).


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam diharapkan
nyeri pasien teratasi
Kriteria hasil :
a. Pasien menyatakan dan menunjukkan nyerinya hilang
b. Wajah tidak meringis
c. Skala nyeri 0
Intervensi :

1. Ukur TTV
Rasional : untuk mengetahui kondisi umum pasien
2. Kaji tingkat nyeri (PQRST)
Rasional : Untuk mengetahui faktor pencetus nyeri

16
3. Berikan posisi yang nyaman sesuai dengan kebutuhan
Rasional : memberikan rasa nyaman kepada pasien
4. Ciptakan suasana yang tenang
Rasional : membantu pasien lebih relaks
5. Bantu pasien melakukan teknik relaksasi
Rasional : membantu dalam penurunan persepsi/respon nyeri.
6. Observasi gejala-gejala yang berhubungan, seperti dyspnea, mual muntah, palpitasi,
keinginan berkemih.
Rasional : tanda-tanda tersebut menunjukkan gejala nyeri yang dialami pasien.
7. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesic
Rasional : Analgesik dapat meredakan nyeri yang dirasakan oleh pasien.

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Hipersensitivitas merupakan suatu reaksi hipersensitivitas biasanya tidak akan terjadi


sesudah kontak pertama kali dengan sebuah antigen. Reaksi terjadi pada kotak-ulang sesudah
seseorang yang memiliki predisposisi mengalami sensitisasi . Anafilaksis merupakan respon
klinis terhadap suatu reaksi imunologi cepat (hipersensitivitas tipe 1). Anafilaksis adalah repon
berlebihan system imun yang melibatkan seluruh tubuh. Tipe anfilaksia ada beberapa yaitu :
Local, reaksi anafilaksis local biasanya meliputi urtikaria serta angioedema pada tempat kontak
dengan antigen dan dapat merupakan reaksi yang berat tetapi jarang fatal. Sistemik, reaksi
sistemik terjadi dalam tempo kurang lebih 30 menit sesudah kontak dalam system organ berikut
ini : kardiovaskuler, respiratorius, gastrointestinal dan integument .

B. Saran

Hal – hal yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya hipersensitivitas.


1. Menghindari zat yang dicurigai sebagai allergen
2. Melakukan tes alergi dan melihat riwayat keluarga serta riwayat frekuensi serangan
terjadi.
3. Menjaga kelembaban ruangan dengan mengatur sirkulasi angin dan udara
4. Menjaga kebersihan pakaian dan mengganti sprei sedikitnya seminggu sekali
5. Konsultasi dengan dokter dan melakukan tes alergi untuk mengetahui allergen-allergen
yang harus dihindari

18
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, volume 3, Jakarta:EGC..

Carpenito LD.1995.Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinik. Jakarta: EGC.

Price & Wilson.2003.Patofisiologi konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Vol 2.Edisi


6.Jakarta:EGC.

http://id.wikipedia.org/wiki/Hipersensitivitas

http://emirzanurwicaksono.blog.unissula.ac.id/2013/01/10/hipersensitivitas/

19

Anda mungkin juga menyukai