Anda di halaman 1dari 8

Analisa Gas Darah

Salah satu faktor utama yang mempengaruhi oksigenasi


sel atau jaringan adalah jumlah oksigen yang terkandung
dalam darah. Tekanan gas darah tersebut dapat diukur
dengan menganalisa darah arteri secara langsung atau
melalui pulse oksimetri dengan melihat saturasi
hemoglobin. Analisa gas darah (AGD) telah banyak
digunakan untuk mengukur pH, PaO2, dan PCO2. Akan
tetapi, makna dari hasil pengukuran tersebut tergantung
pada kemampuan dokter untuk menginterpretasikannya.
AGD biasanya diambil dari arteri radialis, meskipun
dapat juga dari arteri lainnya seperti arteri femoralis.
Pengambilan darah arteri dapat berakibat spasme,
kloting intralumen, perdarahan, dan hematoma yang
pada akhirnya akan menimbulkan obstruksi arteri bagian
distal. Hal ini tidak terjadi jika arteri yang ditusuk
memiliki kolateral yang cukup. Arteri radialis lebih
dipilih karena memiliki cukup kolateral untuk
menghindari terjadinya obstruksi dibandingkan dengan
arteri brakhialis atau femoralis. Selain itu, letak arteri
radialis lebih superfisial, mudah diraba dan difiksasi.
Darah arteri diambil sebanyak 3 ml pada spuit yang
sebelumnya telah diberikan heparin 0,2 ml. Sampel
darah yang telah diambil harus terbebas dari gelembung
udara dan dianalisa secepatnya. Hal ini disebabkan
komponen seluler pada sampel masih aktif
bermetabolisme, sehingga akan mempengaruhi tekanan
gas.
Interpretasi Hasil AGD
Secara singkat, hasil AGD terdiri atas komponen:
 pH atau ion H+, menggambarkan apakah pasien
mengalami asidosis atau alkalosis. Nilai normal pH
berkisar antara 7,35 sampai 7,45.
 PO2, adalah tekanan gas O2 dalam darah. Kadar yang
rendah menggambarkan hipoksemia dan pasien tidak
bernafas dengan adekuat. PO2 dibawah 60 mmHg
mengindikasikan perlunya pemberian oksigen tambahan.
Kadar normal PO2 adalah 80-100 mmHg
 PCO2, menggambarkan gangguan pernafasan. Pada
tingkat metabolisme normal, PCO2 dipengaruhi
sepenuhnya oleh ventilasi. PCO2 yang tinggi
menggambarkan hipoventilasi dan begitu pula
sebaliknya. Pada kondisi gangguan metabolisme, PCO2
dapat menjadi abnormal sebagai kompensasi keadaan
metabolik. Nilai normal PCO2 adalah 35-45 mmHg
 HCO3-, menggambarkan apakah telah terjadi gangguan
metabolisme, seperti ketoasidosis. Nilai yang rendah
menggambarkan asidosis metabolik dan begitu pula
sebaliknya. HCO3- juga dapat menjadi abnormal ketika
ginjal mengkompensasi gangguan pernafasan agar pH
kembali dalam rentang yang normal. Kadar HCO3-
normal berada dalam rentang 22-26 mmol/l
 Base excess (BE), menggambarkan jumlah asam atau
basa kuat yang harus ditambahkan dalam mmol/l untuk
membuat darah memiliki pH 7,4 pada kondisi PCO2 =
40 mmHg dengan Hb 5,5 g/dl dan suhu 37C0. BE bernilai
positif menunjukkan kondisi alkalosis metabolik dan
sebaliknya, BE bernilai negatif menunjukkan kondisi
asidosis metabolik. Nilai normal BE adalah -2 sampai 2
mmol/l
 Saturasi O2, menggambarkan kemampuan darah untuk
mengikat oksigen. Nilai normalnya adalah 95-98 %
Dari komponen-komponen tersebut dapat disimpulkan
menjadi empat keadaan yang menggambarkan
konsentrasi ion H+ dalam darah yaitu:
Asidosis respiratorik
Adalah kondisi dimana pH rendah dengan kadar PCO2
tinggi dan kadar HCO3- juga tinggi sebagai kompensasi
tubuh terhadap kondisi asidosis tersebut. Ventilasi
alveolar yang inadekuat dapat terjadi pada keadaan
seperti kegagalan otot pernafasan, gangguan pusat
pernafasan, atau intoksikasi obat. Kondisi lain yang juga
dapat meningkatkan PCO2 adalah keadaan
hiperkatabolisme. Ginjal melakukan kompensasi dengan
meningkatkan ekskresi H+ dan retensi bikarbonat.
Setelah terjadi kompensasi, PCO2 akan kembali ke
tingkat yang normal.
Alkalosis respiratorik
Perubahan primer yang terjadi adalah menurunnya PCO2
sehingga pH meningkat. Kondisi ini sering terjadi pada
keadaan hiperventilasi, sehingga banyak CO2 yang
dilepaskan melalui ekspirasi. Penting bagi dokter untuk
menentukan penyebab hiperventilasi tersebut apakah
akibat hipoksia arteri atau kelainan paru-paru, dengan
memeriksa PaO2. Penyebab hiperventilasi lain
diantaranya adalah nyeri hebat, cemas, dan iatrogenik
akibat ventilator. Kompensasi ginjal adalah dengan
meningkatkan ekskresi bikarbonat dan K+ jika proses
sudah kronik.
Asidosis Metabolik
Ditandai dengan menurunnya kadar HCO3-, sehingga
pH menjadi turun. Biasanya disebabkan oleh kelainan
metabolik seperti meningkatnya kadar asam organik
dalam darah atau ekskresi HCO3- berlebihan. Pada
kondisi ini, paru-paru akan memberi respon yang cepat
dengan melakukan hiperventilasi sehingga kadar PCO2
turun. Terlihat sebagai pernafasan kussmaul. Pemberian
ventilasi untuk memperbaiki pola pernafasan justru akan
berbahaya, karena menghambat kompensasi tubuh
terhadap kondisi asidosis. Untuk mengetahui penyebab
asidosis metabolik, dapat dilakukan penghitungan anion
gap melalui rumus
(Na+ + K+) – (HCO3– + Cl–)
Batas normal anion gap adalah 10 – 12 mmol/l. Rentang
normal ini harus disesuaikan pada pasien dengan
hipoalbumin atau hipofosfatemi untuk mencegah
terjadinya asidosis dengan anion gap yang lebih. Koreksi
tersebut dihitung dengan memodifikasi rumus diatas
menjadi
(Na+ + K+) – (HCO3– + Cl–) – (0,2 x albumin g/dl + 1,5
x fosfat mmol/l)
Asidosis dengan peningkatan anion gap, disebabkan oleh
adanya asam-asam organik lain seperti laktat, keton,
salisilat, atau etanol. Asidosis laktat biasanya akibat
berkurangnya suplai oksigen atau berkurangnya perfusi,
sehingga terjadilah metabolisme anaerob dengan hasil
sampingan berupa laktat. Pada keadaan gagal ginjal,
ginjal tidak mampu mengeluarkan asam-asam organik
sehingga terjadi asidosis dengan peningkatan anion gap.
Asidosis dengan anion gap yang normal disebabkan oleh
hiperkloremia dan kehilangan bikarbonat atau retensi
H+. Contohnya pada renal tubular asidosis, gangguan
GIT (diare berat), fistula ureter, terapi acetazolamide,
dan yang paling sering adalah akibat pemberian infus
NaCl berlebihan.
Alkalosis metabolik
Adalah keadaan pH yang meningkat dengan HCO3-
yang meningkat pula. Adanya peningkatan PCO2
menunjukkan terjadinya kompensasi dari paru-paru.
Penyebab yang paling sering adalah iatrogenik akibat
pemberian siuretik (terutama furosemid), hipokalemia,
atau hipovolemia kronik dimana ginjal mereabsorpsi
sodium dan mengekskresikan H+, kehilangan asam
melalui GIT bagian atas, dan pemberian HCO3- atau
prekursornya (laktat atau asetat) secara berlebihan.
Persisten metabolik alkalosis biasanya berkaitan dengan
gangguan ginjal, karena biasanya ginjal dapat
mengkompensasi kondisi alkalosis metabolik.
Keseimbangan Asam Basa
pH adalah derajat keasaman yang merupakan log negatif
dari konsentrasi ion H+. Konsentrasi ion H+ ini diatur
dengan sangat ketat, karena perubahan pada
konsentrasinya akan mempengaruhi hampir semua
proses biokimia, termasuk struktur dan fungsi protein,
dissosiasi dan pergerakan ion, serta reaksi kimia obat.
Berbeda dengan ion-ion lain, kadar ion H+ dijaga dalam
nanomolar (36-43 nmol/l ~ pH 7,35-7,45).
Sebagian besar asam yang masuk dalam tubuh berasal
dari proses respirasi, yaitu CO2 yang membentuk asam
karbonat, sedangkan sisanya berasal dari metabolisme
lemak dan protein. Mekanisme tubuh untuk menjaga pH
tetap dalam rentang normalnya diketahui melalui tiga
mekanisme,
 Kontrol respirasi terhadap PaCO2 oleh pusat pernafasan
yang mengatur ventilasi alveolar. Semakin banyak ion
H+ dalam darah, semakin banyak CO2 yang dibuang
melalui paru-paru. Mekanisme ini cepat dan sangat
efektif untuk mengkompensasi kelebihan ion H+.
 Pengontrolan ginjal terhadap bikarbonat dan ekskresi
asam-asam non-volatil. Mekanisme ini relatif lebih lama
(jam sampai hari) jika dibandingkan dengan kontrol
respirasi.
 Sistem buffer oleh bikarbonat, sulfat, dan hemoglobin
yang meminimalkan perubahan asam-basa akut.
Metode Henderson – Hasselbach (H – H)
Persamaan H – H menitik beratkan pada sistem buffer
asam karbonat yang memegang peranan penting dalam
pengaturan asam basa melalui ginjal dan paru – paru.
Karbondioksida bereaksi dengan air untuk membentuk
HCO3- dan H+.
CO2 + H2O ↔ H2CO3 ↔ H+
+ HCO3-
Berdasarkan hukum kekekalan massa, maka [H+]
[HCO3-] / [H2CO3] = konstan. Sehingga, dapat
ditentukan bahwa pH = pKa + log([H+] [HCO3-] /
[H2CO3]). Dari persamaan tersebut, pH dapat dikatakan
sebagai rasio antara bikarbonat dan karbondioksida.
Perubahan pH dapat disebabkan oleh perubahan CO2
(respirasi) atau HCO3- (metabolik). Sistem kompensasi
tubuh berusaha mempertahankan rasio tersebut tetap
20:1.
Namun, persamaan H – H tidak membahas mekanisme
perubahan pH akibat efek metabolik sejelas efek
respiratoriknya, karena secara in vivo kadar bikarbonat
sangat tergantung pada tekanan parsial karbondioksida
(pCO2). Oleh sebab itu, muncullah konsep standard
bikarbonat dan standard base excess (BE) untuk
membantu menghitung efek metabolik terhadap
perubahan pH. Standard bikarbonat adalah jumlah
bikarbonat yang seharusnya ada pada PCO2 = 40 mmHg,
sehingga dapat menyingkirkan efek respirasi pada suatu
perubahan pH. Sementara standard BE melihat jumlah
asam (dalam mmol/l) yang harus ditambahkan atau
dikurangkan pada sampel darah yang sama dengan Hb
5,5 g/dl untuk mencapai pH normal pada PCO2 40
mmHg. Semakin negatif BE menunjukkan sampel darah
tersebut semakin asam.
Metode Stewart
Pada tahun 1983, Stewart memperkenalkan metode
pendekatan asam basa yang diakui secara luas. Metode
ini menggunakan pendekatan matematis dan
menyimpulkan bahwa jika hukum keseimbangan muatan
terjadi pada suatu larutan, maka pH atau konsentrasi ion
H+ akan ditentukan terutama oleh derajat disosiasi air.
Terdapat tiga variabel yang masing-masing dapat
mempengaruhi derajat disosiasi air, yaitu PCO2, strong
ion difference (SID), dan konsentrasi total asam lemah
(Atot). Ion bikarbonat dan asam lemah merupakan
variabel yang terikat dan tidak mempengaruhi pH secara
langsung.

Anda mungkin juga menyukai