Anda di halaman 1dari 26

BAB II

PRINSIP BISNIS MENURUT PANDANGAN

HUKUM EKONOMI SYARIAH

A. Tinjuan Binsis Dalam Hukum Ekonomi Syariah

1. Pengertian Bisnis Menurut Islam

Secara bahasa kata bisnis berasal dari bahasa Inggris, yaitu: business dan

businesess (pluralnya) artinya: untuk urusan dagang, usaha, perniagaan, ketata-

niagaan.1 Sedangkan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai

usaha dagang, usaha komersial dalam dunia perdagangan di bidang usaha. 2 Secara

istilah kata bisnis didefinisikan oleh para tokoh berikut, yaitu : menurut Suhendi

dan Indra Sasangka, bisnis adalah suatu usaha individu atau kelompok yang

mengembangkan dan mentransformasikan sumber daya yang dimiliki untuk

menghasilkan barang atau jasa yang dibutuhkan oleh konsumen sehingga

mendapatkan keuntungan atau laba dengan kegiatan itu.3

Sedangkan menurut Skinner, bisnis adalah pertukaran barang, jasa atau

uang saling menguntungkan atau memberikan manfaat.4 Pada dasarnya, bisnis

memiliki makna sebagai “the buying and selling of good and service”. Sedangkan

perusahaan bisnis adalah suatu organisasi yang terlibat dalam pertukaran barang,

jasa atau uang untuk menghasilkan keuntungan. Secara sederhana, bisnis adalah

1
John Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1996),
Cet. Ke-XXII, hlm. 90.
2
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), Cet. Ke-2, hlm. 38.
3
Suhendi dan Indra Sasangka, Pengantar Bisnis (Bandung: CV. ALFABETA, 2014),
hlm. 2.
4
Francis Tantri, Pengantar Bisnis (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 4.

18
19

semua kegiatan yang dilakukan seseorang atau lebih yang terorganisasi dalam

mencari laba melalui penyediaan produk yang dibutuhkan oleh masyarakat.5

Seorang manusia memiliki kebutuhan yang banyak dalam memenuhi

aktivitas-aktivitasnya. Kebutuhan manusia terdiri dari kebutuhan yang mendesak

(primer), kebutuhan tidak mendesak (sekunder), dan kebutuhan pelengkap

(tersier). Kebutuhan manusia tidak hanya kebutuhan berupa barang saja

melainkan kebutuhan akan jasa. Kebutuhan akan barang dan jasa akan terpenuhi

saat mereka memiliki kemampuan untuk mencari lalu mengolahnya menjadi yang

mereka butuhkan. Namun ada sebagian orang yang tidak dapat membuat dan

mengolahnya sendiri, maka peran manusia lain (penjual atau penyedia)

dibutuhkan dalam pemenuhan kebutuhan tersebut. Kegiatan pemenuhan barang

dan jasa ini selain dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan manusia juga dijadikan

cara mendapatkan profit atau laba. Laba yang diperoleh akan digunakan kembali

untuk memenuhi kebutuhannya (penjual atau penyedia). Kegiatan dengan

keinginan mencari laba inilah disebut dengan bisnis.6

Dari beberapa definisi bisnis yang telah dikemukan oleh para ahli, penulis

berkesimpulan bahwa bisnis adalah segala bentuk usaha yang menghasilkan

barang atau jasa yang dijual kepada para konsumen dengan tujuan memperoleh

keuntungan. Kata bisnis sudah sangat populer sekarang ini, banyak sekali yang

mulai mempelajari dan menggeluti bisnis untuk meningkatkan taraf hidup

mereka. Bisnis tidak hanya dilakukan oleh orang yang memiliki banyak modal

dengan membuka sebuah perusahaan, tetapi dilakukan pula oleh orang yang

memiliki modal kecil dengan bisnis bertaraf kecil. Semua pelaku bisnis yang

5
Ibid, hlm. 4.
6
Sentot Imam Wahjono, Bisnis Modern, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010, hlm. 4.
20

melakukan bisnis dalam taraf besar maupun kecil mengharapkan keuntungan

yang terus menigkat setiap tahun. Sehingga bisnis mereka semakin berkembang

dan dikenal oleh masyarakat luas. Untuk menjaga agar bisnis tetap ada, seorang

wirausaha atau pelaku bisnis harus memiliki inovasi yang kreatif. Inovasi sangat

dibutuhkan untuk mengatasi kejenuhan yang dirasakan oleh wirausaha dan

konsumen yang merasakan.

Definisi dari bisnis sendiri dalam persepktif ajaran Islam atau istilah

syariah dapat diartikan sebagai kegiatan yang terorganisir dimulai dengan input

berupa mengelola barang lalu diproses setelah itu menghasilkan output berupa

barang setengah jadi atau barang jadi, distribusikan kepada masyarakat dan dari

distritribusi ini akan diperoleh profit atau keuntungan. Al-Qur’an menjelaskan

tentang konsep bisnis dengan beberapa kata yang diantaranya adalah kata : al

Tijarah (berdagang, berniaga), al-bai’u (menjual), dan tadayantum (muamalah).7

Al-Tijarah dari kata dasar tajara ( ‫) تجر‬, tajara, tajaratan wal tajiratan

yang memiliki makna dagang, berniaga.8 Kata tijarah dalam Al-Qur’an dapat

ditemui di surat al-Baqarah ayat 282, an-Nisa ayat 29, at-Taubah ayat 24, an-Nur

ayat 37, Fatir ayat 29, as-Shaff ayat 10, dan al-Jumu’ah ayat 11. Beberapa ayat

tersebut menjelaskan tentang perniagaan dalam konteks material dan non

material. Surat at-Taubah ayat 24, an-Nur ayat 37, dan al-Jumu’ah ayat 11

menjelaskan tentang jual-beli dalam konteks material. Sedangkan ayat yang

menjelaskan tentang konteks material dan nonmaterial ada di al-Baqarah ayat

282, an-Nisa ayat 29, Fatir ayat 29, dan as-Shaff ayat 10. Perdagangan yang

7
Akhmad Nur Zaroni, Bisnis Dalam Perspektif Islam (Telaah Aspek Keagamaan dalam
Kehidupan Ekonomi), Mazahib Vol. IV, No. 2, Desember 2007, hlm. 177.
8
Muhammad dan Lukman Fauroni, Visi al-Qur’an tentang Etika dan Bisnis, Jakarta:
Salemba Diniyah, 2002, hlm. 29.
21

dimaksud adalah perdagangan yang baik sesuai yang diatur dalam Al-Qur’an dan

hadist. Sedangkan Jual-beli yang dilakukan harus menguntungkan dan bermanfaat

bagi banyak orang sekitar.9

Sedangkan Al Bay’u ( ‫ ) البيع‬yang diartikan jual beli berasal dari kata baa’a

)‫ (باع‬yang artinya menjual, dan al buyuu’ yang artinya menukar sesuatu dengan

sesuatu.10 Pengertian jual beli secara bahasa dalam lingkup bahasa Indonesia

adalah sebagai beikut:”Jual beli adalah suatu kegiatan tukar menukar barang

dengan barang lain dengan tata cara tertentu. Termasuk dalam hal ini adalah jasa

dan juga penggunaan alat tukar seperti uang”.11

Hermawan Kartajaya dan Syakir Sula memberi pengertian bahwa bisnis

syariah adalah bisnis yang santun, bisnis yang penuh kebersamaan dan

penghormatan atas hak masing-masing baik penjual maupun pembeli.12 Syariah

mempunyai keunikan tersendiri, Syariah tidak saja komprehensif, tetapi juga

universal. Universal bermakna bahwa syariah dapat diterapkan dalam setiap

waktu dan tempat oleh setiap manusia. Keuniversalan ini terutama pada bidang

sosial (ekonomi) yang tidak membeda-bedakan antara kalangan Muslim dan non-

Muslim

2. Landasan Hukum Bisnis Dalam Islam

Hukum bisnis dalam lingkup ajaran Islam meiliki landasan hukum yang

diosandarkan pada ketentuan Al Quran, Al hadits, Ijma Ulama dan beberapa

produk Ijtihad lainnya yang dapat diuraikan sebagai berikut :

9
Ibid, hlm. 32.
10
A.W Munawir, Kamus Arab-Indonesia, Pustaka Progressif, Surabaya, 1997, Hlm. 124.
11
Depdibud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Dept. Pendidikan dan Budaya, Jakarta,
2001, Hlm. 108.
12
Hermawan Kartajaya dan Muhammad Syakir Sula, Syariah Marketing,
Bandung:Mizan, 2006, Hlm. 45.
22

a. Al Qur’an

1) Surat Al-Baqarah [2] ayat 275 :

ِّ ‫َّللاُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم‬


... ‫الربَا‬ َّ ‫ َوأ َ َح َّل‬...
”...Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. ..”.13

2) Surat An-Nisa [4] ayat 29 :

َ ‫َيا أَيُّ َها الَّذينَ آ َمنُوا ََل تَأ ْ ُكلُوا أ َ ْم َوالَ ُكم َب ْينَ ُكم ب ْالبَاطل إ ََّل أَن ت َ ُكونَ ت َج‬
‫ارة ً َعن‬
‫َّللاَ َكانَ ب ُك ْم َرحي ًما‬
َّ ‫س ُك ْمۚ إ َّن‬ َ ُ‫اض ِّمن ُك ْم ۚ َو ََل ت َ ْقتُلُوا أَنف‬ٍ ‫ت َ َر‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu
membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.14

Menurut Imam Ibnu Katsir dalam kitab Al Jam’u fi Tafsirul Qur’anil Karim,

dikatakan bahwa Ayat ini menerangkan hukum transaksi secara umum, lebih

khusus kepada transaksi perdagangan, bisnis jual beli. Ayat-ayat sebelumnya

menerangkan transaksi muamalah yang berhubungan dengan harta, seperti

harta anak yatim, mahar, dan sebagainya. Dalam ayat ini Allah

mengharamkan orang beriman untuk memakan, memanfaatkan,

menggunakan, (dan segala bentuk transaksi lainnya) harta orang lain dengan

jalan yang batil, yaitu yang tidak dibenarkan oleh syari’at. Orang beriman

boleh melakukan transaksi terhadap harta orang lain dengan jalan

perdagangan dengan asas saling ridha, saling ikhlas, dan berprinsip

keadilan.15

13
Depag RI, Al Quran dan Terjemahan, CV Diponegoro, Bandung, 1989, Hlm.69.
14
Ibid, Hlm.122.
15
Muhammad Nasib Ar-rifa’i, Kemudahan Dari Allah – Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir
Jilid 2, Gema Insani, Jakarta, 1999, Hlm.113.
23

b. Al Hadits

1) Dalam kitab Shahih Bukhari hadits No.1937 ketentuan mengenai jual beli atau

kegiatan bisnis yang dilakukan dua orang harus saling menerangkan dan tidak

menutupi terhadap objek jual belinya, hal dapat dilihat dari hadits berikut :

‫ع ْن‬َ ‫صالحٍ أَبي ْالخَليل‬ َ ‫ش ْع َبةُ َع ْن قَت َادَة َ َع ْن‬ُ ‫ب َحدَّثَنَا‬ ُ ‫سلَ ْي َم‬
ٍ ‫ان ْب ُن َح ْر‬ ُ ‫َحدَّثَنَا‬
‫َّللاُ َع ْنهُ قَا َل قَا َل‬
َّ ‫ي‬ َ ‫َّللا بْن ْال َحارث َرفَعَهُ إلَى َحكيم بْن حزَ ٍام َرض‬ َّ ‫َعبْد‬
‫سلَّ َم ْالبَيِّ َعان ب ْالخيَار َما لَ ْم يَتَفَ َّرقَا أ َ ْو قَا َل َحتَّى‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللاُ َعلَيْه َو‬ َ ‫َّللا‬َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫َر‬
‫ت‬ ْ َ‫صدَقَا َوبَيَّنَا بُور َك لَ ُه َما في بَ ْيعه َما َوإ ْن َكت َ َما َو َكذَبَا ُمحق‬ َ ‫يَتَفَ َّرقَا فَإ ْن‬
‫َب َر َكةُ َبيْعه َما‬
Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb telah menceritakan
kepada kami Syu'bah dari Qatadah dari Shalih Abu AL Khalil dari 'Abdullah
bin Al Harits yang dinisbatkannya kepada Hakim bin Hizam radliallahu 'anhu
berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Dua orang yang
melakukan jual beli boleh melakukan khiyar (pilihan untuk melangsungkan
atau membatalkan jual beli) selama keduanya belum berpisah", Atau sabda
Beliau: "hingga keduanya berpisah. Jika keduanya jujur dan menampakkan
dagangannya maka keduanya diberkahi dalam jual belinya dan bila
menyembunyikan dan berdusta maka akan dimusnahkan keberkahan jual
belinya".16

Hadis di atas mengandung pengertian bahwa dalam Islam, perdagangan dan

perniagaan selalu dihubungkan dengan nilai-nilai keterbukaan, tidak ada unsur

tipu menipu.Transaksi bisnis dalam Islam harus terhindar dari nilai-nilai yang

bertentangan dengan kebajikan dan bersifat Islami sehingga transaksi tersebut

menjadi berkah bagi para pelakunya.

2) Kemudian dalil mengenai jual beli yang harus ditimbang/ditakar dengan jelas

sebagaimana keterangan dari hadits berikut :

‫سو ُل‬ ُ ‫َّاس َع ْن بَيْع النَّ ْخل فَقَا َل نَ َهى َر‬ ٍ ‫سأ َ ْلتُ ابْنَ َعب‬
َ ‫ي قَا َل‬ ِّ ‫َع ْن أَبي ْال َب ْختَر‬
‫سلَّ َم َع ْن بَيْع النَّ ْخل َحت َّى َيأ ْ ُك َل م ْنهُ أ َ ْو يُؤْ َك َل َو َحتَّى‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللاُ َعلَيْه َو‬ َ ‫َّللا‬َّ
‫يُوزَ نَ قَا َل فَقُ ْلتُ َما يُوزَ ُن فَقَا َل َر ُج ٌل ع ْندَهُ َحت َّى يُ ْحزَ َر‬
16
Al-Bukhari,Shahih Bukhari Kitab Buyu Hadits No.1937, Darul Fiqri, Beirut, t.th, Hlm
135.
24

Dari Abu Al Bakhtari, dia berkata, "Pada suatu ketika saya pernah bertanya
kepada Ibnu Abbas tentang (hukum) jual beli pohon kurma." Kemudian Ibnu
Abbas pun menjawab, "Rasulullah SAW melarang jual beli pohon kurma
hingga seseorang dapat memakan buahnya, yaitu dapat dimakan atau dapat
ditimbang." Dia berkata, "Lalu saya pun bertanya kepadanya, 'Apa yang
ditimbang?'Seseorang yang ada di sampingnya menjawab, '(Yaitu) hingga
dapat dikira-kira”17.

Hadits di atas menisyaratkan kepada para pelaku bisnis khususnya untuk

berlaku jujur dalam menimbang, menakar dan mengukur barang dagangan.

Penyimpangan dalam menimbang, menakar dan mengukur yang merupakan

wujud kecurangan dalam perdagangan, sekalipun tidak begitu nampak kerugian

dan kerusakan yang diakibatkannya pada manusia ketimbang tindak kejahatan

yang lehih besar lagi seperti; perampokan, perampasan, pencu rian, korupsi,

manipulasi, pemalsuan dan yang lainnya, nyatanya tetap diharamkan oleh

Allah SWT dan Rasul-Nya.

c. Ijma

Ulama’ muslim sepakat (ijma’) atas kebolehan akad jual beli. Ijma’ ini

memberikan hikmah bahwa, kebutuhan manusia berhubungan dengan sesuatu

yang ada dalam kepemilikan orang lain, dan kepemilikan sesuatu itu tidak

akan diberikan dengan begitu saja, namun terdapat kompensasi yang harus

diberikan. Dengan disyari’atkannya jual beli merupakan salah satu cara untuk

merealisasikan keinginan dan kebutuhan manusia, karena pada dasarnya,

manusia tidak bias hidup tanpa hubungan dan bantuan orang lain.18

3. Prinsip Prinsip dalam Berbisnis Menurut Islam

Ajaran Islam memiliki dasar atau ketentuan asas terkait kegiatan

muamalah termasuk di dalamnya aktivitas transaksi jual beli. Salah satu asasnya

Muslim Al Hujjaj Al Quraisy, Shahih Muslim Kitab Buyu’ Hadits No.920, Darul Fiqri,
17

Damaskus, t.th, Hlm. 12.


18
Dimyauddin Djuwaini, Fiqih Muamalah, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, Hlm.73.
25

adalah saling ridha (taradli). Penerapan asas Tardli atau keridhaan

(kerelaan) dalam praktek transaksi jual beli maksudnya setiap kontrak dalam

ekonomi syariah harus dilakukan atas dasar ridha dan sukarela (taradhi) para

pihak.19 Apabila suatu akad tidak boleh mengandung unsur paksaan (ikrah). Asas

saling sukarela antara pihak yang melakukan transaksi adalah asas fundamental

dalam bisnis syariah. Namun demikian, tidak semua bisnis

yang taradhin dianggap sah secara syar’i, karena pada dasarnya saling rela

merupakan prinsip dalam aktifitas perekonomian, bukan menjadi penyebab

dibolehkannya sesuatu yang dilarang (ar-ridha ruknun li al-‘aqdi wa laisa

sababan li al-hilli).20 Maka keridhaan nasabah konvensional atas bunga, tidak

menyebabkan bunga itu dibolehkan, demikian pula saling ridha dalam hubungan

seksual, tidak menyebabkan zina itu menjadi halal.

Sebagaimana dengan keterangan di atas, asas dalam jual beli merupakan

prinsip yang harus diterapka pada setiap proses transaksi.Dalam istilah fiqh

mu’amalat prinsip-prinsip dalam transaksi tersebut terkait hukum disebut dengan

‘aqd kata jamaknya al-‘uqud. Ada beberapa asas al-‘uqud yang harus diterapkan

ketika para pihak melakukan transaksi jual beli. Asas tersebut adalah sebagai

berikut:

a. Asas ridha’iyyah (rela sama rela). Yaitu bahwa transaksi ekonomi dalam

bentuk apapun yang dilakukan perbankan dengan pihak lain terutama nasabah

harus didasarkan atas prinsip rela sama rela –bukan suka sama suka- yang

bersifat hakiki. Asas ini didasarkan kepada sejumlah ayat al-Qur’an dan al-

Hadits, terutama surat an-Nisa (4): 92). Atas dasar asas ‘an taradhin, maka

19
http://blog.mysharing.co/asas-pengembangan-akad-dalam-ekonomi-syariah/ diakses
pada tanggal 8 Oktober 2014.
20
Dimyauddin Djuwaini, op-cit : Hal. 88.
26

semua bentuk transaksi yang mengandung unsur paksaan (ikrah) harus

ditolak dan dinyatakan batal demi hukum. Itulah sebabnya mengapa Islam

mengharamkan bentuk transaksi ekonomi apapun yang mengandung unsur

kebatilan (al-bathil) semisal jual beli yang mengandung unsur pemaksaan

(bay’ul mukrah).

b. Asas Manfaat, maksudnya ialah bahwa akad yang dilakukan oleh bank

dengan nasabah berkenaan dengan hal-hal (obyek) yang bermanfaat bagi

kedua belah pihak. Itulah sebabnya mengapa Islam mengharamkan akad

berkenaan dengan hal-hal yang bersifat mudharat/mafsadat seperti jual beli

benda-benda yang diharamkan dan/atau benda-benda yang tidak bermanfaat

apalagi yang membahayakan.

c. Asas keadilan, dalam arti kedua pihak yang melakukan transaksi ekonomi

(bank dan nasabah) harus berlaku dan diperlakukan secara adil dalam konteks

pengertian yang luas dan konkrit. Hal ini didasarkan pada sejumlah ayat al-

Qur’an yang sangat menjunjung tinggi keadilan dan anti kezhaliman.

d. Asas saling menguntungkan. Setiap akad yang dilakukan oleh pihak bank

syariah dan nasabah harus bersifat menguntungkan semua pihak yang

berakad. Tidak boleh menguntungkan satu pihak dengan merugikan pihak

lain. Itulah sebabnya mengapa Islam mengharamkan jual beli (perdagangan)

yang mengandung unsur gharar (penipuan), karena hanya menguntungkan

satu pihak dengan merugikan pihak lain. Demikian pula dengan praktik

perjudian yang hanya menguntungkan segelintir orang dengan merugikan

banyak pihak bahkan masyarakat luas.

4. Akad-akad Dalam Kegiatan Bisnis Islam


27

Akad dalam kegiatan Bisnis atau compensational contract merupakan

akad yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan. Dari sisi kepastian hasil yang

diperoleh, akad dalam kegiatan bisnis dapat dibagi menjadi dua, yaitu natural

uncertainty contract dan natural certainty contract. Berikut adalah penjelasan dari

masing-masing hal tersebut dan jenis-jenisnya.21

a. Natural Uncertainty Contract

Merupakan kontrak yang diturunkan dari teori pencampuran dimana pihak

yang bertransaksi saling mencampurkan asset yang mereka miliki menjadi satu,

kemudian menanggung risiko bersama-sama untuk mendapatkan keuntungan.

Oleh sebab itu, kontrak jenis ini tidak memberikan imbal hasil yang pasti, baik

nilai imbal hasil maupun waktu. Jenis-jenis natural uncertainty contract antara

lain22 :

1) Mudharabah: yaitu bentuk kerjasama antara dua pihak atau lebih, dimana

pemilik modal (shahibul maal) mempercayakan sejumlah modal kepada

pengelola (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha dengan nisbah bagi

hasil atas keuntungan yang diperoleh menurut kesepakatan dimuka,

sedangkan apabila terjadi kerugian hanya ditanggung pemilik dana sepanjang

tidak ada unsure kesengajaan atau kelalaian oleh mudharib.

2) Musyarakah: akad kerjasama yang terjadi antara pemilik modal (mitra

musyarakah) untuk menggabungkan modal dan melakukan usaha secara

bersama dalam suatu kemitraan, dengan nisbah bagi hasil sesuai dengan

kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung secara proporsional sesuai

dengan kontribusi modal.

21
AdimarwanA. Karim, Bank Islam: analisis fiqih dan keuangan, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2006, hlm. 65.
22
Ibid, hlm. 65.
28

3) Sukuk (obligasi syariah): merupakan surat utang yang sesuai dengan prinsip

syariah.

4) Saham syariah yang produknya harus sesuai syariah. Syarat lainnya :

a) Perusahaan tersebut memiliki piutang dagang yang relative lebih kecil

dibandingkan total asetnya,

b) Perusahaan tersebut memiliki utang yang kecil dibandingkan nilai

kapitalisasi pasar,

c) Perusahaan memiliki pendapatan bunga kecil.

b. Natural Certainty Contract


Merupakan kontrak yang diturunkan dari teori pertukaran, dimana kedua

belah pihak saling mempertukarkan asset yang dimilikinya, sehingga objek

pertukarannya pun harus ditetapkan di awal akad dengan pasti tentang jumlah,

mutu, harga, dan waktu penyerahan. Dalam kondisi ini secara tidak langsung

kontrak jenis ini akan memberikan imbal hasil yang tetap dan pasti karena sudah

diketahui ketika akad. Jenis dari kontrak ini ada beberapa, antara lain23 :

a. Murabahah: transaksi penjualan barang dengan menyatakan biaya perolehan

dan keuntungan (margin) yang disepakati antara penjual dan pembeli.

b. Salam: transaksi jual beli dimana barang yang diperjualbelikan belum ada.

Barang diserahkan secara tangguh, sedangkan pembayarannya dilakukan

secara tunai.

c. Istishna’: memiliki system yang mirip dengan salam, namun dalam istishna’

pembayaran dapat dilakukan di muka, cicilan dalam beberapa kali (termin)

atau ditangguhkan selama jangka waktu tertentu.

23
Ibid, hlm. 64 – 66.
29

d. Ijarah: akad sewa-menyewa antara pemilik objek sewa dan penyewa untuk

mendapatkan manfaat atas objek sewa yang disewakan.

B. Jual Beli Menurut Hukum Islam

1. Pengertian Jual Beli

Jual Beli dari kata baa’a )‫ (باع‬yang artinya menjual, dan al buyuu’

)‫ (البيع‬yang artinya menukar sesuatu dengan sesuatu.24 Pengertian jual beli

secara bahasa dalam lingkup bahasa Indonesia adalah sebagai beikut:”Jual

beli adalah suatu kegiatan tukar menukar barang dengan barang lain dengan

tata cara tertentu. Termasuk dalam hal ini adalah jasa dan juga penggunaan

alat tukar seperti uang”.25

Pengertian jual beli dari sisi istilah atau terminologi hukum Islam,

berikut ini terdapat beberapa definisi yang dikeluarkan oleh para ulama dan

ahli ekonomi Islam antara lain adalah sebagai berikut :

a. Dalam Kitab Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq mendifinisikan jual beli menurut

pengertian lughawiyah adalah saling menukar (pertukaran). Menurut

pengertian syariat, jual beli adalah pertukaran harta (semua yang memiliki dan

dapat dimanfaatkan) atas dasar saling rela. Atau memindahkan hak milik (milik

disebut di sini agar terbedakan dengan yang tidak dimiliki) dengan diganti

(agar terbedakan dengan hibah dan yang tidak dibenarkan).26

b. Menurut Prof. DR. Wahbah Al Zuhaili, secara etimologi jual beli adalah proses

tukar menukar barang. Kata bay’ ( ‫ ) َب ْي ُع‬yang artinya jual beli bermakna ganda

24
A.W Munawir, Kamus Arab-Indonesia, Pustaka Progressif, Surabaya, 1997, Hlm. 124.
25
Depdibud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Dept. Pendidikan dan Budaya, Jakarta,
2001, Hlm. 108.
26
Sayyid Sabiq, Figih Sunnah Jilid 12, PT Al Maárif, Bandung, 1987, Hlm 44 – 45.
30

yang berseberangan, seperti syiraa( ‫) ش َراء‬. Baik penjual maupun pembeli

ْ ‫) ُم ْشت َر‬.
dinamakan baayi’un ( ‫ ) َبا ْي ٌع‬atau musytarii (‫ي‬ 27

c. Menurut Moch. Rifaí dalam buku Fiqih Islam Lengkap, jual beli didefinisikan

menukar sesuatu dengan sesuatu, dan menurut syara’jual beli artinya menukar

harta dengan harta menurut cara-cara tertentu (akad) sebagaimana yang

difirmankan Allah SWT dalam Q.S Al Baqarah ayat 278 : “ ... Allah

menghalalkan jual beli dan mengharamkanriba...“ .28

d. Sedangkan menurut Sulaiman Rasyid dalam buku Fiqih Islam, beliau

mendefinisikan jual beli yaitu tukar menukar barang dengan barang yang lain

dengan cara yang tertentu (akad) sebagaimana firman Allah dalam Q.S Annisa

ayat 29 : “Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan

bathil kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dan suka sama suka

diantara kamu.29

e. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1457 bahwa jual beli

adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya

untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar

harga yang telah dijanjikan.30

Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwasanya jual

beli adalah suatu perjanjian yang dilakukan oleh kedua belah pihak dengan cara

suka rela sehingga keduanya dapat saling menguntungkan, maka akan terjadilah

penukaran hak milik secara tetap dengan jalan yang dibenarkan oleh syara’.Yang

27
Wahbah AL Zuhaily, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid V, Gema Insani Darul Fikir,
Jakarta, 2011, Hlm. 25.
28
Mich. Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap, PT Karya Toha Putra, Semarang, 2014, Hlm. 366.
29
Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam (Cetakan ke 31), CV Sinar Baru, Bandung,1997, Hlm.
278.
30
R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT Pradnya Paramita, Jakarta,
2006, Hlm. 366.
31

dimaksud sesuai dengan ketetapan hukum adalah memenuhi persyaratan-

persyaratan, rukun-rukun dalam jual beli, maka jika syarat dan rukunnya tidak

terpenuhi berarti tidak sesuai dengan ketentun syara’.

2. Dasar Hukum Jual Beli

Landasan atau dasar hukum mengenai jual beli ini disyariatkan

berdasarkan Al-Qur’an, Hadist Nabi, dan Ijma’ Yakni :

a. Al Qur’an

Allah SWT berfirman dalam Q.S An-Nisa ayat 29 sebagai berikut :

َ ‫يَا أَيُّ َها الَّذينَ آ َمنُوا ََل تَأ ْ ُكلُوا أ َ ْم َوالَ ُكم بَ ْينَ ُكم ب ْالبَاطل إ ََّل أَن ت َ ُكونَ ت َج‬
‫ارة ً َعن‬
‫َّللاَ َكانَ ب ُك ْم َرحي ًما‬
َّ ‫س ُك ْمۚ إ َّن‬ َ ُ‫اض ِّمن ُك ْم ۚ َو ََل ت َ ْقتُلُوا أَنف‬ٍ ‫ت َ َر‬
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu makan harta sesamamu

dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku

dengan suka sama suka diantara kamu” (QS. An-Nisa : 29).

b. Sunnah

Dalil sunnah mengenai kegiatan jual beli dapat dilihat pada keterangan hadits

sebagai berikut :

‫سلَّ َم‬ َّ ‫صلَّى‬


َ ‫َّللاُ َعلَيْه َو‬ َ ‫ي‬َّ ‫ع ْنهُ أ َ َّن النَّب‬ َّ ‫ي‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫َع ْن رفَا َعةَ بْن َرافعٍ َرض‬
‫ رواه‬.ٍ‫ َو ُك ُّل بَيْع‬، ‫الر ُجل بيَده‬ َّ ‫ َع َم ُل‬: ‫ب ؟ قَا َل‬ ْ َ ‫ي ْال َك ْسب أ‬
ُ َ‫طي‬ ُّ َ ‫ أ‬: ‫سئ َل‬ُ
ِّ
.‫البزار‬
Dari Rifa’ah bin Rafi’, Nabi pernah ditanya mengenai pekerjaan apa yang

paling baik. Jawaban Nabi, “Kerja dengan tangan dan semua jual beli yang
32

mabrur”. (HR Bazzar).31 Maksud mabrur dalam hadist adalah jual beli yang

terhindar dari usaha tipu-menipu dan merugikan orang lain.

c. Ijma’

Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan

bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya,

tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang

milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya

yang sesuai. Mengacu kepada ayat-ayat Al Qur’an dan hadist, hukum jual beli

adalah mubah (boleh). Namun pada situasi tertentu, hukum jual beli itubisa

berubah menjadi sunnah, wajib, haram, dan makruh. 32

3. Rukun dan Syarat Jual Beli

a. Rukun Jual Beli

Secara bahasa rukun adalah hal yang menjadi patokan sahnya sesuatu dan

merupakan bagian dari sesuatu tersebut”.33 Dalam menentukan rukun jual beli,

terdapat perbedaan ulama Hanafiah dengan jumhur fuqoha. Rukun jual beli

menurut ulama Hanafiah hanya satu, yaitu ijab (ungkapan membeli dari pembeli)

dan qobul (ungkapan menjual dari penjual). Jual beli dinyatakan sah apabila

disertai dengan ijab dan qabul. Akan tetapi jumhur fuqoha menyatakan bahwa

rukun jual beli ada empat34, yaitu:

َ َ ‫) ْال ُمت‬
1) Penjual dan Pembeli atau al muta’aqidani ( ‫عاقدَان‬

31
A. Hassan, Terjemahan Bulughul Maram Hadits Nomor 784, CV Diponegoro,
bandung, 1992, Hlm. 418.
32
Dimyauddin Djuwaini, Op-Cit, Hlm.72.
33
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 2002, Hlm. 966.
34
Ghufron A. Mas’adi, Pengantar Fiqih Muamalah, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2000,
Hlm. 120-121.
33

Penjual dan pembeli merupakan pihak yang terlibat dalam transaksi jual beli

(al muta’aaqidani). Penjual adalah orang atau badan yang menerima atau

menyimpan barang penting dengan maksud untuk dijual, diserahkan atau

dikirim kepada orang lain atau badan lain baik yang masih berwujud barang

penting asli, maupun yang sudah dijadikan barang lain.35 Sedangkan pembeli

adalah pihak atauseseorang atau suatu perusahaanyang membeli barang

tertentu atau menggunakanjasatertentu.36Dengan kata lain, pembeli merupakan

sesuatu atau seseorang yang mengunakan suatu persediaan atau sejumlah

barang.

2) Sighat (akad jual beli)

Akad dari istilah fiqh ialah ikatan di antara ijab dan qabul yang dibuat

mengikuti cara yang disyariatkan yang sabit kesannya pada barang berkenaan.

Dengan perkataan lain akad melibatkan pergantungan cakapan salah satu

pihak yang berakad dengan cakapan pihak yang satu lagi, mengikut ketentuan

syarat yang akan melahirkan kesan pada barang yang diakadkan.37Mengenai

akad dalam jual beli, menurut Imam Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul

Mujtahid disebutkan bahwa suatu akad tidak sah kecuali dengan lafdz-lafadz

jual beli yang bentuknya fi’il madhi (telah berlalu) seperti si penjual

mengatakan :”telah kujual kepadamu”, dan pembeli mengatakan :”telah kubeli

darimu”.38 Kemudian mengenai objek jual beli, hal ini adalah barang yang

harus terbebas dari unsur riba.39 Dan mengenai penjual dan pembeli, mereka

35
J.S Badudu, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986, Hlm. 651.
36
Ibid, Hlm. 255
37
Wahbah al Zuhaily, Fiqh & perundangan Islam, pent. Md. Akhir Haji Yaacob, Dewan
Bahasa dan Pustaka, Jakarta, 2002,Hlm.83
38
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Vol.II, Pustaka Azzam, Jakarta, 2007,Hlm. 338.
39
Ibid, Hlm.342.
34

disyaratkan keduanya telah dewasa (baligh). Di samping itu juga, kedua belah

pihak baik penjual maupun pembeli tidak dalam pengawasan pihak-pihak

tertentu. Adapun sighat yaitu ijab dan kabul seperti perkataan penjual, “saya

jual kepadamu atau saya serahkan kepadamu.” Dan perkataan pembeli, “saya

terima atau saya beli.” Tidak sah serah terima sebagaimana yang bisa

berlangsung dikalangan masyarakat, karena tidak ada sighat (ijab kabul).40

Ibnu Syurairah berkata, “serah terima adalah sah mengenai barang-barang

dagangan yang remeh (tak berharga) dan biasa dilakukan orang-orang. Ini

adalah pendapat Ar-Ruyani dan lainnya. Malik menyatakan, “sah jual beli

pada setiap barang yang dianggap orang banyak sebagai jual beli. Ibnu Ash-

Shabbaugh menyetujui pendapat ini.41An-Nawawi menegaskan, “yang

disetujui oleh ibnu Ash-Shabbagh itulah yang kuat dan terpilih sebagai dalil,

karena syara’ tidak mensyaratkan lafal. Maka kita wajib kembali kepada

kebiasaan. Termasuk kebiasaan yang umum terjadi ialah mengirim anak-anak

kecil untuk membeli kebutuhan-kebutuhan. Kebiasaan ini berlangsung

dinegri-negri lain. Kebutuhan mendesak menyebabkan terjadinya hal itu.

Maka hal itu patut digolongkan dalam jenis serah terima. Apabila terdapat

syarat sighat untuk itu, maka jual belinya sah dengan syarat barang itu dibeli

dengan harga yang pantas. Mereka berdalil bahwa wanita-wanita yang

mengenakan hijab menyuruh anak-anak kecil di zamanUmar ra. Untuk

membeli kebutuhan-kebutuhannya dan Umar tidak menyalahkan.42

3) Objek jual beli

40
Ibn ‘AbdurrazaqAd-Duwaisy, “Fatwa-Fatwa Jual Beli/Edisi Indonesia, Pustaka Imam
asy-Syafi’i. Bogor, 2004, Hlm. 76.
41
Ibid, Hlm.77.
42
Ahmad Idris, Fiqih al-Syafi’iyah. Karya Indah, Jakarta, 1986, Hlm.122.
35

Objek jual beli merupakan barang atau benda yang dijual oleh pihak penjual

dan dibeli oleh pihak pembeli. Dalam hal ini, objek jual beli atau barang yang

diperjual-belikan harus barang-barang yang dibolehkan atau disyaratkan

menurut ketentuan syariah.

4) Harga

Dalam fiqih Islam dikenal dua istilah berbeda mengenai harga suatu barang

pada transaksi jual beli, yaitu Ats Tsaman ( ‫الثمان‬ ) dan As-Si’r atau

Ta’sír(‫)تسعير‬. Ats-tṣaman adalah patokan harga suatu barang, sedangkan as-

si’r atau tasír adalah harga yang berlaku secara aktual di dalam pasar. Ulama

fiqih membagi as-si’r menjadi dua macam. Pertama, harga yang berlaku

secara alami, tanpa campur tangan pemerintah. Dalam hal ini, pedagang

bebas menjual barang dengan harga yang wajar, dengan mempertimbangkan

keuntungannya. Pemerintah tidak boleh campur tangan dalam harga dan

harga harus tetap berlaku secara alami (menurut pada mekanisme pasar),

karena campur tangan pemerintah dalam kasus ini dapat membatasi

kebebasan dan merugikan hak para pedagang ataupun produsen. Kedua,

harga suatu komoditas yang ditetapkan pemerintah setelah

mempertimbangkan modal dan keuntungan wajar bagi pedagang maupun

produsen serta melihat keadaan ekonomi yang riil dan daya beli masyarakat.

Hal inilah yang disebut dengan at-tas’īr al-jabbari.43

b. Syarat Jual Beli

43
Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual (Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer), Gema
Insani, Jakarta, 2001, Hlm. 90.
36

Secara bahasa syarat didefinisikan sebagai perkara yang menjadi patokan

sahnya sesuatu tetapi bukan bagian dari sesuatu tersebut.44 Syarat adalah

“ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan. 45Syarat-

syarat dalam jual beli meliputi hal-hal sebagai berikut :

1) Syarat Penjual dan pembeli

Pihak penjual harus dilakukan oleh orang yang berakal agar tidak tertipu

dalam jual beli. Allah swt.berfirman dalam Q.SAn-Nisaa’ ayat 5 :

‫سفَ َها َء ا َ ْم َوالَ ُك ُم الَّتى َج َع َل للاُ لَ ُك ْم ق َي ًما‬


ُّ ‫َوَلَ تُؤْ ت ُ ْواال‬
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum sempurna akalnya,

harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kamu yang dijadikan Allah

sebagai pokok kehidupanmu.46

Dari keterangan ayat di atas, maka syarat bagi pihak penjual harus orang yang

sudah baligh (dewasa) dan orang yang berhak menggunakan harta. Anak-anak

yang belum baligh dibolehkan melakukan jual beli untuk barang-barang yang

bernilai kecil, misalnya jual beli buku dan koran. Syarat bagi pihak pembeli

harus orang yang yang berakal agar tidak tertipu dalam jual beli, melakukan

transaksi dalam keadaan sadar (tidak gila atau tidak mabuk), tidak dalam

keadaan terpaksa.

2) Syarat Akad/Shigat Jual beli

Shighat akad adalah sesuatu yang disandarkan dari dua pihak yang berakad

yang menunjukkan atas apa yang ada di hati keduanya tentang terjadinya

44
Muh. Abu Zahrah, Kitab Ushul Fiqih, Pustaka Al Kautsar, Jakarta, 2001, Hlm. 56.
45
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta : 2002, Hlm. 1114.
46
Depag RI, Al Quran dan Terjemah, CV Diponegoro, Bandung, 2000, Hlm. 62.
37

suatu akad.47 Hal itu dapat diketahui dengan ucapan, perbuatan, isyarat, dan

tulisan. Fiqh Muamalah menetapkan sejumlah persyaratan umum yang harus

terpenuhi dalam setiap shighat akad, yaitu sebagai berikut48 :

a) Jala’ul ma’na / ‫ع ْال َم ْعنَى‬


ُ ‫( َج ََل‬dinyatakan dengan ungkapan yang jelas dan

pasti maknanya), sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki

(melalui ungkapan lisan);

b) Tawafuq / tathabuq bainal ijab wal-qabul / ‫طابُقَ بَيْنَ ْاْل ْي َجاب َو ْالقَب ُْول‬
َ َ ‫ت ََوافُ ْق | ت‬

yaitu persesuaian antara ijab dan qabul;

c) Jazmul iradataini/ ‫( َج ْز ُم ْاْل َرادَتَيْن‬ijab dan qabul mencerminkan kehendak

masing-masing pihak secara pasti) tidak menunjukkan adanya unsur

keraguan dan keterpaksaan;

d) Ittishal al-Qabul bil Ijab / ‫صا ُل ْالقَب ُْول باْل ْي َجاب‬


َ ِّ ‫ إت‬yaitu kedua pihak dapat hadir

dalam satu majlis.

Syarat-syarat sighat di atas khususnya yang pertama adalah akad harus jelas

hal ini ditekankan pada ucapan lisan. Namun akad juga bias dilakukan dengan

tulisan, artinya kehendak yang dinyatakan melalui tulisan yang jelas itu sudah

mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan diucapkan secara lisan. Bagi

orang yang tidak dapat mengungkapkan kehendaknya secara lisan, karena

cacat wicara, maka tulisan adalah solusi terbaik selama dapat dibuktikan

keaslian tulisan tersebut. Tulisan juga merupakan solusi bagi pihak-pihak yang

berhalangan bertemu secara langsung. Menurut Ulama Hanafiyah dan

Malikiyah, sah melakukan akad melalui tulisan ini bagi yang cacat wicara

maupun tidak, bagi orang yang berhalangan hadir maupun bagi orang yang

47
Muhlish, Usman, “Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah”, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1997 : Hal. 102.
48
Ibid, Hlm.103-104.
38

hadir. Tetapi akad seperti ini tidak berlaku bagi akad zawaj (perkawinan). Dan

jika dikaitkan dengan rukun akad (ijab dan qabul), maka akibat hukum dari

ijab yang dinyatakan melalui tulisan berlaku terhitung sejak diterima akad dan

disetujui oleh pihak lainnya, tidak terhitung sejak ditulis.49 Sighat akad juga

dapat dilakukan melalui isyarat yang menunjukkan secara jelas kehendak

pihak-pihak yang melakukan akad. Akad dengan isyarat ini berlaku khusus

bagi orang yang tidak dapat bicara (bisu) dan tidak dapat pula menulis.

Adapun sighat berikutnya juga dapat berupa dalalah (petunjuk), yakni

keberlangsungan akad dikaitkan dengan suatu perbuatan tertentu yang

menunjukkan persetujuan kedua pihak. Akad melalui dalalah ini berlangsung

dalam dua bentuk yaitu50 :

a) Pertama, Ta’athi/ ‫ ت َ َعاطي‬atau mu’athah / ٌ‫طة‬


َ ‫( ُم َعا‬saling memberi dan

menerima), maksudnya ketika masing-masing pihak melakukan suatu

perbuatan dalam batas situasi dan kondisi yang menunjukkan kehendak

melakukan suatu transaksi (akad). Seperti akad jual-beli yang terjadi di

swalayan, supermarket dan lain-lain.

b) Kedua, lisanul hal / ‫سانُ ْال َحال‬


َ ‫ ل‬yaitu kondisi tertentu yang menunjukkan

kepada suatu ungkapan. Misalnya ketika seseorang menaruh suatu

barang dihadapan kita, kita diam saja. Maka perbuatan tersebut

mengidentifikasikan ungkapan penitipan barang (wadi’ah) dan jika kita

diam, artinya kita berkenan dititipi barang tersebut.

3) Syarat Objek Jual Beli

49
A.Karim, Adiwarman.Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Gema Insani Press,
Jakarta, 2002, Hlm. 145.
50
Ibid, Hlm. 146-147.
39

a) Barang yang diperjual-belikan memiliki manfaat yang dibenarkan syariat,

bukan najis dan bukan benda yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

ْ ‫َّللاَ إذَا َح َّر َم َعلَى قَ ْو ٍم أ َ ْك َل ش‬


ُ‫َىءٍ َح َّر َم َعلَ ْيه ْم ث َ َمنَه‬ َّ ‫إ َّن‬
“Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan atas suatu kaum untuk

memakan sesuatu, maka Dia pasti mengharamkan harganya”. 51 Oleh

karena itu tidak halal uang hasil penjualan barang-barang haram sebagai

berikut: Minuman keras dengan berbagai macam jenisnya, bangkai, babi,

anjing dan patung. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

ْ َ ‫سولَهُ َح َّر َم بَ ْي َع ْال َخ ْمر َو ْال َم ْيت َة َوا ْلخ ْنزير َواأل‬
‫صنَام‬ َّ ‫إ َّن‬
ُ ‫َّللاَ َو َر‬
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamer,

bangkai, babi dan patung”.52

b) Barang yang dijual harus barang yang telah dimilikinya. Dan kepemilikan

sebuah barang dari hasil pembelian sebuah barang menjadi sempurna

dengan terjadinya transaksi dan serah-terima. Diriwayatkan dari Hakim

bin Hizam, dia bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang

seseorang yang datang ke tokonya untuk membeli suatu barang, kebetulan

barang tersebut sedang tidak ada di tokonya, kemudian dia mengambil

uang orang tersebut dan membeli barang yang diinginkan dari toko lain,

maka Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab:

َ ‫َلَ تَب ْع َما لَي‬


‫ْس ع ْندَ َك‬
“jangan engkau jual barang yang tidak engkau miliki!”.53

51
Abu Dawud, Sunan Abu Daud Kitab Buyu’ Hadits No.566, (Alih Bahasa, Muhammad
Ridwan Al Albani)Pustaka Al Kautsar, 2009, Hlm. 294.
52
Muslim Al Hajjaj, Shahih Muslim Kitab Buyu’ Hadits No.935, (Alih Bahasa,
Muhammad Ridwan Al Albani)Pustaka Al Kautsar, 2009, Hlm. 51.
40

c) Barang yang dijual bisa diserahkan kepada si pembeli, maka tidak sah

menjual mobil, motor atau handphone miliknya yang dicuri oleh orang

lain dan belum kembali. Demikian tidak sah menjual burung di udara atau

ikan di kolam yang belum di tangkap54

d) Barang yang diperjual-belikan dan harganya harus diketahui oleh pembeli

dan penjual. Barang bisa diketahui dengan cara melihat fisiknya, atau

mendengar penjelasan dari si penjual, kecuali untuk barang yang bila

dibuka bungkusnya akan menjadi rusak seperti; telur, kelapa, durian,

semangka dan selainnya. Maka sah jual beli tanpa melihat isinya dan si

pembeli tidak berhak mengembalikan barang yang dibelinya seandainya

didapati isi rusak kecuali dia mensyaratkan di saat akad jual-beli akan

mengembalikan barang tersebut bilamana isinya rusak atau si penjual

bermaksud menipu si pembeli dengan cara membuka sebuah semangka

yang bagus, atau jeruk yang manis rasanya dan memajangnya sebagai

contoh padahal dia tahu bahwa sebagian besar semangka dan jeruk yang

dimilikinya bukan dari jenis contoh yang dipajang. Maka ini termasuk

jual-beli gharar (penipuan) yang diharamkan syariat. 55 Adapun harga

barang bisa diketahui dengan cara menanyakan langsung kepada si penjual

atau dengan melihat harga yang tertera pada barang, kecuali bila harga

yang ditulis pada barang tersebut direkayasa dan bukan harga

sesungguhnya, ini juga termasuk jual-beli gharar (penipuan).

4) Syarat Harga

53
Abu Daud, Op-Cit, Hlm. 305.
54
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, PT. Raya Grafindo Persada, Jakarta, 2002, Hlm. 92.
55
Ibid, Hal 95.
41

Syarat harga dalam jual beli adalah dikethuinya harga jual barang atau objek

jual beli. Pembeli hendaknya mengetahui harga pembelian karena hal itu

adalah syarat sahnya transaksi jual beli. Syarat ini meliputi semua transaksi

yang terkait dengan jual beli, seperti pelimpahan wewenang (tauliyah), kerja

sama (isyrak) dan kerugian (wadi’ah), karena semua transaksi ini berdasar

pada harga pertama yang merupakan modal. Jika tidak mengetahuinya, maka

jual beli tersebut tidak sah hingga di tempat transaksi. Jika tidak diketahui

hingga keduanya mininggalkan tempat tersebut, maka gugurlah transaksi itu.

Keterbukaan harga barang dalam syarat jual beli, hal ini dimaksudkan untuk

menghindari gharar atau penipuan pada transaksi jual beli. Menurut bahasa

Arab,makna al-gharar adalah, al-khathr (pertaruhan). 56 Dalam Kitab

Majmul Fatwa Jilid II Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan,al-

gharar adalah yang tidak jelas hasilnya (majhul al-’aqibah).57Kemudian

menurut Syaikh As-Sa’di, al-gharar adalah al-mukhatharah (pertaruhan)

dan al-jahalah (ketidak jelasan). Perihal ini masuk dalam kategori

perjudian. 58

C. Macam-macam Jual Beli

Ada beberapa macam atau jenis jual beli jika ditinjau dari bentuk

pelaksanaan pertukarannya yang terbagi menjadi59:

56
A.Karim, Adiwarman. Op-Cit. Hlm. 284.
57
Ibnu Taimiyah, Majmul Fatwa II, (Alih bahasa oleh Muhammad Idrus), Pustaka
Azzam, Jakarta, 2007, Hlm. 422.
58
Ibid, Hlm. 423.
59
Wahbah Al Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu Jilid IV, Darul Fiqr, Beirut, t.th,
Hlm. 595.
42

1. Jual Beli Salam (pesanan), yaitu jual beli melalui pesanan, yakni jual beli

dengan cara menyerahkan uang muka terlebih dahulu kemudian barang

diantar belakangan.

2. Jual Beli Muqayyadah (barter), yaitu jual beli dengan cara menukar barang

dengan barang seperti menukar baju dengan sepatu.

3. Jual Beli Muthlaq, yaitu jual beli barang dengan sesuatu yang telah disepakati

sebagai alat tukar.

4. Jual Beli Alat Tukar dengan Alat Tukar, yaitu adalah jual beli barang yang

biasa dipakai sebagai alat tukar dengan alat tukar lainnya seperti dinar dengan

dirham.

Kemudian apabila ditinjau dari segi hukum, maka jual beli terdiri dari

macam-macam sebagai berikut60 :

1. Jual Beli yang Dilarang

Tidak semua jual-beli diperbolehkan, artinya adapula jual beli yang dilarang

seperti hal-hal sebagai berikut :

a. Jual beli sesuatu yang tidak ada barangnya (bai al-ma’dhum) Yang

termasuk kategori ini ialah seperti menjual buahbuahan yang baru

berkembang menjual barang yang tidak dapat diserahkan seperti menjual

barang yang hilang atau burung yang lepas.

b. Jual beli gharar (jual beli yang mengandung unsur penipuan) Yang

termasuk kategori ini seperti ada cacat disembunyikan pada barang yang

dijualbelikan; jual beli benda najis seperti menjual babi, bangkai, darah

dan khamr; menjualbelikan air sungai yang masih mengalir, air danau

Ibid, Hlm. 596 – 597.


60
43

ataupun air laut dan benda-benda lain yang tidak dapat dimiliki

seseorang.

c. Jual beli najsy atau tanajusy, Yaitu seseorang menambah atau melebihi

harga dengan maksud memancing-mancing orang agar mau membeli

barang kawannya padahal ia sendiri tidak membelinya. Hal ini

dimaksudkan untuk menaikkan harga barang padahal ia hanya pura-pura

mau membeli barang tersebut. Tanajusy juga termasuk dalam kategori

ghubun, yaitu menambah harga.

d. Menjadi tengkulak (tallaqi arrukban / ُّ ‫التَّلَقِّي‬


‫الر ْكبَان‬ ), yaitu

menghambat orang-orang desa keluar kota dan membeli barangnya

sebelum mereka sampai di pasar. Jual beli yang dilarang lainnya ialah

membeli barang yang telah dibeli orang lain dalam masa khiyar.

2. Jual Beli yang Diperbolehkan

Jual beli yang tidak dilarang oleh agama Islam adalah jual beli yang

dilakukan dengan kejujuran, tidak ada kesamaran ataupun unsur penipuan.

Kemudian rukun dan syaratnya terpenuhi, barangnya bukan milik orang lain,

dan tidak terikat dengan khiyar lagi. Yang termasuk kategori ini adalah jual

beli barang yang tidak ada larangan nash, baik al- Qur’an maupun hadits.

Anda mungkin juga menyukai