Anda di halaman 1dari 28

FRAKTUR

A. Konsep dasar penyakit

1. Pengertian Fraktur
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya,
biasanya terjadi jika tulang disertai stres yang lebih besar dari yang di absorbsinya. (Smeltzer &
brenda, 1997 dalam Ester, 1997:2357)

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, ditentukan sesuai jenis dan luasnya
disertai rusaknya jaringan lunak sekitar, edema jaringan lunak, perdarahan ke otot, dislokasi
sendi, ruptur tendon, kerusakan syaraf dan pembuluh darah. ( Suzanne C.Smeltzer & Brenda,
2001: 2357)

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. (Sjamsuhidayat, 1997:1138)

Dari pengertian diatasa dapat kami simpulkan bahwa fraktur adalah terputusnya kontiunitas
jaringan yang ditentukan sesuai dengan jenis dan luasnya disertai rusaknya jaringan lunak
sekitarnya, edema jaringan lunak, perdarahan ke otot, dislokasi sendi, ruptur tendon, kerusakan
syaraf dan pembuluh darah yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa.

2. Anatomi fisiologi skeletal


System musculoskeletal merupakan penunjang bentuk tubuh dan mengurus pergerakan.
Komponen utama dari sistem musculoskeletal adalah jaringan ikat, system ini terdiri dari tulang,
sendi, otot rangka, tendon, ligament, bursa, dan jaringan – jaringan khusus yang menghubungkan
struktur – struktur ini.

a. Tulang
Tulang membentuk rangka penunjang dan pelindung bagi tubuh dan tempat untuk
melekatnya otot – otot yang menggerakkan kerangka tubuh. Ruang di tengah tulang – tulang
tertentu berisi jaringan hematopoietik, yang membentuk berbagai sel darah. Tulang juga
merupakan tempat primer untuk menyimpan dan mengatur kalsium dan fosfat. Komponen utama
dari jaringan tulang adalah mineral – mineral dan jaringan organic (kolagen dan proteoglikan).
Kalsium dan fosfat membentuk suatu krisal garam (hidroksiapatit), yang tertimbun pada matriks
kolagen dan proteoglikan. Matriks organic tulang disebut juga sebagai suatu osteoid. Sekitar
70% dari osteoid adalah kolagen tipe I yang kaku dan memberikan ketegaran tinggi pada tulang.
Materi organic lain yang juga menyusun tulang berupa proteoglikan seperti asam hialuronat.
Hampir semua tulang berongga dibagian tengahnya. Struktur demikian memaksimalkan
kekuatan structural tulang dengan bahan yang relaif kecil atau ringan. Kekuatan tambahan
diperoleh dari susunan kolagen dan mineral dalam jaringan tulang. Jaringan tulang dapat
membentuk anyaman atau lamellar. Tulang yang berbentuk anyaman terlihat saat pertumbuhan
cepat, seperti sewaktu perkembangan janin atau sesudah terjadinya patah tulang, selanjutnya
keadaan ini akan diganti oleh tulang yang lebih dewasa yang berbentuk lamellar. Pada orang
dewasa, tulang anyaman ditemukan pada insersi ligamentum atau tendon. Tumor sarcoma
osteogenik terdiri dari tulang anyaman.
Diafisis atau batang adalah bagian tengah tulang yang berbentuk silinder. Bagian ini
tersusun dari tulang kortikal yang memiliki kekuatan yang besar. Metafisis adalah bagian tulang
yang melebar didekat ujung akhir batang. Daerah ini terutama disusun oleh tulang trabekular
atau tulang spongiosa yang mengandung sumsum merah. Sumsum merah terdapat juga dibagian
epifisis dan diafisis tulang. Sumsum kuning terdapat pada diafisis tulang orang dewasa, terutama
terdiri dari sel – sel lemak. Metafisis juga menopang sendi dan menyediakan daerah yang cukup
luas untuk perlekatan tendon dan ligamen pada epifisis. Lempeng epifisis adalah daerah
pertumbuhan longitudinal pada anak – anak, bagian ini akan menghilang pada tulang dewasa.
Bagian epifisis yang letaknya dekat sendi tulang panjang bersatu dengan metafisis sehingga
pertumbuhan memanjang tulang terhenti. Seluruh tulang diliputi oleh lapisan fibrosa yang
disebut periosteum yang mengandung sel – sel yang dapat berproliferasi dan berperan dalam
proses pertumbuhan transversal tulang panjang. Kebanyakan tulang panjang mempunyai arteria
nutrisi, lokasi dan keutuhan dari pembuluh – pembuluh inilah yang menentukan berhasil atau
tidaknya proses penyembuhan suatu tulang yang patah.
Tulang adalah suatu jaringan dinamis yang tersusun dari tiga jenis sel : osteoblas,
osteosit, dan osteoklas. Osteoblas membangun tulang dengan membentuk kolagen tipe I dan
proteoglikan sebagai matriks tulang atau jaringan osteoid melalui suatu proses yang disebut
osifikasi. Ketika sedang aktif menghasilkan jaringan osteoid, osteoblas mensekresi sejumlah
besar fosfatase alkali yang memegang peranan penting dalam mengendapkan kalsium dan fosfat
ke dalam matriks tulang. Sebagian dari fosfatase alkali akan memasuki aliran darah dengan
demikian maka kadar fosfatase alkali di dalam darah dapat menjadi indicator yang baik tentang
tingkat pembentukan tulang. Osteosit adalah sel – sel tulang dewasa yang bertindak sebagai
suatu lintasan untuk pertukaran kimiawi melalui tulang yang padat. Osteoklas adalah sel – sel
besar berinti banyak yang memungkinkan mineral dan matriks tulang dapat diabsorpsi. Todak
seperti osteoblas dan osteosit, osteoklas mengikis tulang. Sel – sel ini menghasilkan enzim –
enzim proteolitik yang memecahka matriks dan beberapa asam yang melarutkan mineral tulang
sehingga kalsium dan fosfat terlepas kedalam aliran darah.
Metabolisme tulang diatur oleh beberapa hormone. Suatu peningkatan kadar hormone
paratiroid mempunyai efek langsung dan segera pada mineral tulang, menyebabkan kalsium dan
fosfat diabsorpsi dan bergerak memasuki serum. Disamping itu, peningkatan kadar hormone
paratiroid secara perlahan – lahan menyebabkan peningkatan jumlah dan aktivitas osteoklas
sehingga terjadi demineralisasi. Peningkatan kadar kalsium serum pada hiperparatiroidisme
dapat pula menimbulkan pembentukan batu ginjal.
Estrogen menstimulasi osteoblas, penurunan estrogen setelah menopause mengurangi
aktivitas osteoblastik yang menyebabkan penurunan matriks organic tulang. Umumnya,
klasifikasi tulang tidak terpengaruh pada osteoporosis yang terjadi pada wanita sebelum usia 65
tahun; namun berkurangnya matriks organiklah yang merupakan penyebab dari osteoporosis.

b. Sendi
Sendi adalah tempat pertemuan dua atau lebih tulang. Tulang – tulang ini dipadukan
dengan berbagai cara, misalnya dengan kapsul sendi, pita fibrosa, ligamen, tendon, fasia, atau
otot. Terdapat tiga tipe sendi :
1.Sendi Fibrosa
Sendi fibrosa tidak memiliki lapisan tulang rawan, dan tulang yang satu dengan tulang yang
lainnya dihubungkan oleh jaringan penyambung fibrosa. Salah satu contohnya adalah sutura
pada tulang tengkorak
2.Sendi Kartilaginosa
Sendi kartilaginosa adalah sendi dimana ujung – ujung tulangnya dibungkus oleh tulang rawan
hialin, disokong oleh ligamen dan hanya dapat sedikit bergerak. Ada dua tipe sendi kartilaginosa
yaitu sinkondrosis adalah sendi – sendi yang seluruh persendiannya diliputi oleh tulang rawan
hialin. Simfisis adalah sendi yang tulang – tulangnya memiliki suatu hubungan fibrokartilago dan
selapis tipis tulang rawan hialin yang menyelimuti permukaan sendi.
3.Sendi Sinovial
Sendi sinovial adalah sendi – sendi tubuh yang dapat digerakkan. Sendi ini memiliki rongga
sendi dan permukaan sendi dilapisi tulang rawan hialin. Kapsul sendi terdiri dari suatu selaput
penutup fibrosa padat, suatu lapisan dalam yang terbentuk dari jaringan penyambung pembuluh
darah banyak, dan sinovium yang membentuk suatu kantung yang melapisi seluruh sendi dan
membungkus tendon yang melintasi sendi. Sinovium menghasilkan cairan yang sangat kental
yang membasahi permukaan sendi. Cairan ini normalnya bening, tidak membeku, dan tidak
berwarna, jumlah yang ditemukan pada tiap sendi relative kecil.

c. Jaringan Penyambung
Jaringan yang ditemukan pada sendi dan daerah – daerah yang berdekatan terutama adalah
jaringan penyambung yang tersusun dari sel – sel dan substansi dasar. Serat – serat yang
didapatkan didalam substansi dasar adalah kolagen dan elastin, setidaknya terdapat 11 bentuk
kolagen yang dapat diklasifikasikan menurut rantai molekul, lokasi dan fungsinya. Kolagen
dapat dipecahkan oleh kerja kolagenase, enzim proteolitik ini membuat molekul stabil berubah
menjadi molekul tidak stabil pada suhu fisiologik dan selanjutnya dihidrolisis oleh proses lain.
Serat – serat elasin memiliki sifat elastis yang penting. Serat ini didapat dalam ligamen,
dinding pembuluh darah besar dan kulit. Elastin dipecahkan oleh enzim yang disebut elastase.
Elastase dapat menjadi penting pada proses pembentukan arteriosclerosis dan emfisema.
Sistem skeletal terdiri dari 206 tulang yang menyusun tubuh individu, persendian, ligamen;
suatu jaringan yang menhubungkan tulang dengan tulang, kartilago (hidung, telinga bagian luar,
larynx, dan pada bagian ujung-ujung dari tulang), dan tendon yaitu jaringan ikat yang
menghubungkan otot dan tulang.
Secara keseluruhan fungsi sistem skeletal ini adalah sebagai berikut:
a. Memberi bentuk (framework) tubuh individu
b. Proteksi, melindungi jaringan dan organ-organ didalamnya
c. Pergerakan, tulang merupakan tempat melekatnya sistem muskuler. Dalam kapasitas tersebut
tulang bertindak sebagai pengungkit yang bekerja dengan persendian sebagai porosnya.
d. Haemopoesis, sumsum tulang merah pada orang dewasa berfungsi untuk memproduksi sel darah
merah, sel darah putih, dan platelet.
e. Simpanan mineral, matriks tulang mngandung mineral calsium dan posfor. Mineral .ini
menyebabkan tulang menjadi rigid dan mengandung sekitar dua pertiga dari berat tulang. Sekitar
99 % calsium dan 90 % posfor tubuh dideposit di tulang dan gigi.

Klasifikasi tulang pada orang dewasa digolongkan pada dua kelompok yaitu:
a. Tulang-tulang axial (axial skeleton)
1) Tulang tengkorak
a) Tulang kranial (8 tulang)
b) Tulang fasial (13 tulang)
c) Tulang mandibula (1tulang)
2) Tulang telinga tengah
a) Maleus
b) Inkus
c) Stapes
3) Tulang hyoid
4) Tulang vetebrae
a) Cervikal (7 tulang)
b) Thorakal (12 tulang)
c) Lumbal (5 tulang)
d) Sacrum (penyatuan dari 5 tulang)
e) Koksigis ( penyatuan dari 3-5 tulang)
5) Tulang rongga thorax
a) Tulang iga (24 tulang)
b) Sternum ( 1 tulang)

b. Tulang-tulang Appendicular skeleton.


1) Pectoral girdle
a) Skapula (2 tulang)
b) Clavikula (2 tulang)
2) Ekstremitas atas
a) Humerus (2 tulang)
b) Radius (2 tulang)
c) Ulna (2 tulang)
d) Carpal (16 tulang)
e) Metacarpal (10 tulang)
f) Phalanx (28 tulang)
3) Pelvic girdle
a) Os koxa ( setiap os coxa terdiri dari penggabungan 3 tulang)
4) Ekstremitas bawah
a) Femur (2 tulang)
b) Tibia (2 tulang)
c) Fibula (2 tulang)
d) Patela ( 2 tulang)
e) tarsal (14 tulang)
f) Metatarsal (10 tulang)
g) Phalanx (28 tulang)

Setiap tulang memiliki karakteristik dan gambaran permukaan tertentu yang


mengindikasikan fungsinya dalam hubunganya terhadap tulang lain, otot, dan struktur tubuh lain
secara keseluruhan. Tulang panjang misalnya memiliki struktur yang memungkinkan bagi
pergerakan tubuh. Tulang memiliki permukaan yang kasar yang berguna sebgai tempat
melekatnya otot, ligamen dan tendon. Tulang dengan permukaan datar yang luas memberikan
tempat bagi otot-otot besar untuk mnempel, juga berguna sebgai proteksi organ lain.
Dilihat dari bentuknya tulang dapat dibagi menjadi tulang panjang, pendek, tulang berbentuk
rata, dan tulang dengan bentuk tidak beraturan. Terdapat juga tulang yang berkembang didalam
tendon misalnya tulang patella (tulang sessamoid).
Lapisan tulang terdiri dari lapisan terluar dari tulang (cortex) tersusun dari jaringan tulang yang
padat, sementara pada bagian dalam di dalam medulla berupa jaringan sponge. Semua tulang
memiliki jaringan tersebut tetapi akan bervariasi dalam kuantitasnya. Bagian tulang paling ujung
dari tulang panjang dikenal sebgai epiphyse yang berbatasan dengan metaphysis. Metaphisis
merupakan bagian dimana tulang tumbuh memanjang secra longitudinal. Bagian tengah tulang
dikenal sebgai diaphisesw yang berbentuk silindris.
Unit struktural dari cortical tulang compacya adalah system havers, suatu jaringan (network)
saluran yang kompleks yang mengandung pmbuluh-pembuluh darah mikroskopik yang
mensuplai nutrient dan oksigen ke tulang , lacuna, dan ruang-ruang kecil dimana osteocyst
berada.
Jaringan lunak di dalam trabuculae diisi oleh sumsum tulang ( sumsum tulang merah dan
kuning ). Sumsum tulang merah berfungsi dalam hal hematopoesis sementara sumsum kuning
mengandung sel lemak yang dapat dimobilisasi dan masuk kealiran darah. Dalam kasus-kasus
tertentu ataupun komplikasi penyakit dapat timbul fat embolism syndrome yang dapat
mengancam kehidupan individu. Osteogenic cells yang kemudian berdiferensiasi ke osteoblast
(sel pembentuk tulang) dan osteoclast (sel penghancur tulang) ditemukan pada lapisan
periosteum.
Tulang merupakan jaringan yang kaya akan vaskuler dengan total aliran darah sekitar 200
sampai 400 cc/menit. Setiap tulang memiliki arteri penyuplai darah yang membawa nutrient
masuk didekat pertengahan tulang, kemudian bercabang ke atas dan ke bawah mnjadi pembuluh-
pembuluh darah mikroskopis. Pembuluh darah ini mensuplai darah dari cortex, marrow dan
sistem haverst.
Serabut saraf simpatis dan afferen (sensori) mempersarafi tulang. Dilatasi kapiler darah
dikontrol oleh saraf simpatis sementara serabut saraf afferen mentransmisikan rangsangan nyeri.
Setelah pubertas, tulang mencapai kematangan dan pertumbuhan maksimalnya. Tulang
merupakan jaringan yang dinamis , walaupun demikian pertumbuhan yang seimbang antara
pembentukan dan penghancuran hanya berlangsung sampai usia sekitar 35 tahun. Tahun-tahun
berikutnya reabsorbsi tulang mengalami percepatan sehingga tulang mengalami penurunan
massanya dan menjadi rentan terhadap injuri.
Pertumbuhan dan metabolisme tulang dipengaruhi oleh mineral dan hormonal sebagai berikut:
a. Calcium dan Posfor
 Tulang mengandung 99% calsium tubuh dan sekitar 90% Posfor
 [Calcium] dan [Posfor] dipelihara dalam kondisi terbalik
 Perubahan kadar Ca dan P menyebabkan stimuli terhadap calcitonin dan PTH
b. Calcitonin
Diproduksi oleh kelenjar Thyroid memiliki aksi Menurunkan [Ca] serum dengan cara
menghambat resorbsi tulang dan meningkatkan eksresi calcium di ginjal
c. Parathyroid hormone
Saat kadar calsium dalam serum menurun, sekresi hormon parathyroid akan meningkat dan
menstimulasi tulang untuk meningkatkan aktifitas osteoclastic dan menyalurkan calsium
kedalam darah. Lebih jauh, hormon ini menyebabkan menurunnya ekskresi calsium melalui
ginjal dam memfasilitasi absorbsi calsium dari usus kecil. Kebalikanya , ketika kadar calsium
serum meningkat, sekresi PTH menurun untuk memelihara suplai calsium tulang.
d. Vitamin D
Vitamin D diproduksi oleh tubuh dan ditransportasikan keda;lam darah untuk mningkatkan
absorbsi calsium dan posfor dari usus kecil. Mereka juga memberi kesempatan untuk aktifitas
PTH dalam melepaskan calsium dari tulang. Penurunan vitamin D dalam tubuh dapat
menyebabkan osteomalacia pada masa/usia dewasa. Sumber-sumber vitamin D dari luar dapat
diberikan pada klien-klien yang didiagnisis mengalami osteomalacia.
e. Growth hormone
Bertanggung jawab dalam peningkatan panjang tulang dan penentuan jumlah matrik tulang yang
dibentuk pada masa sebelum pubertas. Peningkatan sekresinya selama usia anak akan
menyebabkan timbulnua gigantism, dan penurunan sekresinya menyebabkan dwarfisme. Pada
usia dewasa , sekresi yang meningkat menyebabkan timbulnya acromegaly, suatu keadaan yang
ditandai dengan deformitas tulang dan jaringan lunak.

f. Glukokortikoid
Hormon ini dapat meningkatkan atau menurunkan katabolisme untuk mengurangi atau
meningkatkan matrik organik tulang. Hormon ini juga mmbantu dalam regulasi absorbsi calsium
dan posfor dari usus kecil.
g. Sex hormon
Estrogen menstimulasi aktifitas osteoblastic dan menghambat peran hormon paratyroid. Ketika
kadar estrogen menurun seperti pada menopause , wanita sangat rentan terhadap menurunya
kadar estrogen dengan konsekuensi lansung terhadap kehilangan massa tulang (osteoporosis).
Androgen , seperti testosteron, meningkatkan anaolisme dan meningkatkan massa tulang.
Sumber-sumber estrogen eksternal dan testosteron dapat diberikan pada klien-klien yang
beresiko/ didiagnosa mengalami osteoporosis.

3. Etiologi Fraktur
a. Trauma atau kekerasan langsung
b. Kekerasan tidak langsung atau kelainan bawaan yaitu yang disebabkan kelainan zat-zat
pembentuk tulang, misalnya osteogenesis .
c. Fraktur patologis karena kelainan / penyakit pada tulang.

4. Klasifikasi fraktur
a. Tipe Fraktur
1) Fraktur In-komplit, meliputi hanya sebagian retakan pada sebelah sisi tilang, sebagian lagi
biasanya hanya retak.
2) Fraktur Komplit, garis fraktur menyilang atau memotong seluruh tulang dan fragmen – fragmen
tulangnya biasanya tergeser.
3) Fraktur tertutup, fraktur yang tidak disertai oleh robeknya jaringan kulit.
4) Fraktur terbuka, fragmen tulang mendesak ke otot dan kulit sehingga potensial menimbulkan
infeksi.
b. Macam – macam Fraktur
1) Greenstik, fraktur dimana satu sisi tulang retak dan sisi lainnya bengkok.
2) Fraktur Transversal, fraktur yang memotong lurus pada tulang.
3) Fraktur Spiral, fraktur yang berputar mengelilingi tungkai tulang.
4) Fraktur Obliq / miring, fraktur yang arahnya membentuk sudut melintasi tulang.
5) Fraktur Segmental, fraktur dimana tulang terpecah menjadi beberapa bagian.
6) Fraktur Depresi, fraktur yang terjadi pada sebagian atau beberapa bagian tulang yang tidak dapat
digerakan (banyak dijumpai pada tulang tengkorak dan tulang muka).
7) Fraktur Kompresi, fraktur dimana permukaan tulang terdorong kearah permukaan tulang lain.
8) Fraktur Avulsi, fragmen tulang tertarik oleh ligamen.
9) Fraktur Dislokasi, fraktur dengan komplikasi keluarnya atau terlepasnya tulang dari sendi.
c. Berdasarkan Penyebab :
1) Fraktur Traumatik
Fraktur yang disebabkan oleh suatu benturan atau kekerasan yang timbul secara mendadak,
dimana trauma itu bisa bersifat direk yaitu tempat fraktur sesuai dengan tempat trauma
berlangsung sedangkan indirek trauma yang terjadi jauh letaknya dari tempat fraktur.
2) Fraktur Patologis
Suatu fraktur yang disebabkan oleh beberapa penyebab sebelum terjadinya fraktur sudah terdapat
penyakit yang menyertainya sehingga tanpa bantuan yang cukup keras pun tulang bisa patah
dengan sendirinya.
d. Berdasarkan adanya luka :
1) Fraktur Terbuka
Bila terdapat luka dimana fragmen tulang mendesak ke otot dan kulit sehingga adanya hubungan
dengan dunia luar. Patah tulang diklasifikasikan lagi menurut GustiloAnderson, yaitu :
Tipe I : Luka tembus dengan diameter 1 cm atau kurang dan keadaan luka relative bersih, tidak
disertai dengan adanya kontisio otot atau jaringan lunak disekitarnya.
Tipe II : Terdapat luka laserasi lebih dari 1 cm, tanpa disertai kerusakan
jaringan lunak yang luas, flat atau luka avulsi.
Tipe III : Patah tulang yang disertai dengan kerusakan jaringan lunak yang luas, termasuk otot,
kulit dan system neurovaskuler. Pemyebabnya energi yang besar dan patah tulangnya
mempunyai fragmen yang besar pula, dibagi lagi menjadi :
Tipe III A : Bagian tulang terbuka masih dapat ditutupi oleh jaringan lunak.
Tipe III B : Terdapat kehilangan jaringan lunak yang luas dengan terkelupasnya periosteum dan
bone exposure, biasanya terdapat kontaminasi yang pasif.
Tipe III C : Disertai dengan kerusakan arteri yang memerluka perbaikan.
2) Fraktur Tertutup
Dimana fraktur tidak disertai dengan adanya robekan jaringan kulit sehingga ujung – ujung
fragmen yang patah tidak langsung berhubungan dengan dunia luar.
e. Berdasarkan Posisinya :
Sebatang tulang panjang terbagi menjadi 3 bagian, yaitu :
1) 1/3 Proximal (1/3 bagian atas)
2) 1/3 Medial (1/3 bagian tengah)
3) 1/3 Distal (1/3 bagian bawah)

5. Patofisiologi fraktur
Trauma yang terjadi pada tulang dapat menyebabkan fraktur yang akan mengakibatkan
seseorang memiliki keterbatasan gerak, ketidakseimbangan dan nyeri pergerakan. Jaringan
lunak, yang terdapat disekitar fraktur seperti pembuluh darah, saraf, dan otot serta organ lainnya
yang berdekatan dapat dirusak pada waktu trauma ataupun karena mencuatnya tulang yang
patah. Apabila kulit sampai robek hal ini akan menjadikan luka yang terbuka dan akan
menyebabkan potensial infeksi. Tulang memiliki sangat banyak pembuluh darah, akibat dari
fraktur atau luka yang berat banyak volume darah yang keluar dari pembuluh darah ke dalam
jaringan lunak atau pada luka yang terbuka.
Luka dan keluarnya darah tersebut dapat mempercepat pertumbuhan bakteri. Kejang otot
pada daerah fraktur dapat menyebabkan tertariknya segmen tulang, sehingga menyebabkan
disposisi pada tulang sebab tulang berada pada posisi yang kaku. Otot rangka juga dapat cedera
oleh jarena trauma, untungnya serabut otot rangka dapat berdegenerasi tetapi apabila kerusakan
sudah parah serabut otot tersebut akan diganti oleh jaringan parut. (Marlyn Vormer Bayne, 1991
; 780)

6. Manifestasi klinik
B. Deformitas (perubahan struktur atau bentuk)
C. Bengkak atau penumpukan cairan / darah karena kerusakan pembuluh darah.
D. Ekimosis (perdarahan subkutan)
E. Spasme otot karena kontraksi involunter disekitar fraktur.
F. Nyeri, karena kerusakan jaringan dan perubahan struktur yang meningkat karena penekanan sisi
– sisi fraktur dan pergerakan bagian fraktur.
G. Kurangnya sensasi yang dapat terjadi karena adanya gangguan saraf, dimana saraf ini dapat
terjepit atau terputus oleh fragmen tulang.
H. Hilangnya atau berkurangnya fungsi normal karena ketidakstabilan tulang, nyeri atau spasme
otot.
I. Pergerakan abnormal
J. Krepitasi, yang dapat dirasakan atau didengar bila fraktur digerakan
K. Hasil foto roentgen yang abnormal.

7. Proses penyembuhan
Akibat terjadi keretakan / patah tulang, tulang tersebut selalu mengadakan adaptasi
terhadap kondisi tersebut, diantaranya adalah mengalami proses penyembuhan atau perbaikan
tulang. Factor tersebut dapat diperbaiki tapi prosesnya sedikit lambat, karena melibatkan
pembentukan tulang baru. Proses tersebut terjadi secara bertahap, yang dikaji dalam empat tahap
yaitu :

1) Pembentukan Prokallus / haematoma


Haematoma akan terbentuk pada 48 sampai 72 jam pertama pada daerah fraktur yang
disebabkan karena adanya perdarahan yang terkumpul disekitar fraktur yaitu darah dan eksudat
kemudian akan diserbu oleh kapiler dan sel darah putih terutama netrofil, kemudian diikat oleh
makrofag sehingga akan terbentuk jaringan granulasi. Pada saat ini masuk juga fibroblast dan
osteoblast yang berasal dari lapisan dalam periosteum dan endosteum.
2) Pembentukan Kallus
Selama 4 sampai 5 hari osteoblast menyusun trabekula disekitar ruangan – ruangan yang
kelak menjadi saluran haverst. Jaringan itu adalah haringan osteoid, disebut juga kallus yang
berfungsi sebagai bidai (splint) yang terbentuk pada akhir minggu kedua.
3) Osifikasi
Dimulai pada 2 sampai 3 minggu setelah fraktur jaringan kallus akhirnya akan diendapi oleh
garam – garam mineral dan akan terbentuk tulang yang menghubungkan kedua sisi yang patah.
4) Penggabungan dan Remodelling
Kallus tebal diabsorpsi oleh aktivitas dari osteoklast dan osteoblast menjadi konteks baru
yang sama dengan konteks sebelum fraktur Remodelling berlangsung 4 sampai 8 bulan.
a. Factor – factor Yang Mempengaruhi Penyembuhan Fraktur
1) Faktor Lokal
a) Sifat luka atau berat trauma
b) Derajat pembentukan formasi selama penyembuhan
c) Jumlah tulang yang hilang
d) Tipe tulang yang cedera
e) Derajat immobilisasi yang terkena
f) Infeksi local yang dapat memperlambat penyembuhan
g) Nekrosis tulang yang menghalangi aliran darah ke daerah farktur
2) Faktor Klien
a) Usia Klien
b) Pengobatan yang sedang dijalani
c) Sistem sirkulasi
d) Gizi
e) Penyakit

8. Penatalaksanaan
Ada 4 dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur, yaitu :
a) Rekognisi (pengenalan), menangani diagnosis pada tempat kejadian kecelakaan dan kemudian di
rumah sakit.
b) Reduksi adalah reposisi fragmen – fragmen fraktur semirip mungkin dengan keadaan letak
normal.
c) Retensi menyatakan metode – metode yang dilaksanakan untuk menahan fragmen – fragmen
tersebut selama penyembuhan.
Rehabilitasi, dimulai segera dan sudah dilakukan bersamaan dengan pengobatan fraktur, untuk
menghindari atrofi dan kontraktur.

9. Komplikasi
a. Sindroma kompartemen
Terjadi bila pembengkakan akibat fraktur atau tekanan dalam suatu ruang yang dibatasi oleh
kompartemen karena adanya kerusakan dan membukanya jaringan dan memungkinkan
pembuluh darah dan saraf memasuki dan keluar dari kompartemen atau inflamasi yang
mengakibatkan peningkatan dari dalam. Gejala pertama dari sindroma kompartemen rasa sakit
yang bertambah parah terutama pada peregangan pasif dan nyeri tersebut tidak hilang oleh
narkotik. Tanda lain adalah terjadinya paralysis, parestesia dan berkurangnya denyut nadi.
b. Iskemik
Dengan adanya edema akibat fraktur akan menekan pada jaringan sekitarnya termasuk
vaskuler, tekanan ini dapat menyebabkan sirkulasi darah berkurang dengan demikian akan
menimbulkan iskemik pada jaringan otot. Iskemik yang lama akan mengakibatkan kematian
jaringan otot dan lama – kelamaan akan diganti oleh jaringan fibrotik sehingga terjadi kontraktur.
c. Kerusakan Saraf
Kerusakan saraf terjadi karena cedera saraf itu sendiri atau karena adanya penekanan oleh
gips atau peralatan lain. Kerusakan saraf ini akan menyebabkan kerusakan fungsi sensorik.
d. Nekrosis Avaskuler
Nekrosis ini terjadi ketika daerah tulang rusak karena kematian tulang sehingga aliran darah
terganggu dan tulang akan mengalami osteoporosis dan nekrosis.
e. Embolisme Lemak
Penyebab dari embolisme lemak ini belum diketahui secara jelas, tetapi kemungkinan
dihubungkan dengan adanya lemak sumsum yang masuk kedalam sirkulasi darah. Adanya
embolisme lemak dapat dilihat dari tanda – tanda seperti nadi turun naik, sianosis bahkan
displased pernafasan.

B. Dampak fraktur terhadap sistem tubuh lain


Dampak Terhadap system tubuh
1) Perubahan Muskuloskeletal
a) Terhadap Otot
Perubahan musculoskeletal dipengaruhi oleh aktivitas dan gravitasi. Kurangnya rangsang stess
dan starin menyebabkan penurunan kekuatan otot dan masa otot serta atropi. Atropi terjadi
sebagai akibat immobilisasi dimana hal tersebut akan mempengaruhi kurangnya impuls dari
motor neuron dan tidak terjadi pelepasan acetil kollin. Apabila kondisi ini terus terjadi maka
akan terjadi kelelahan pada otot yang dikenal dalam kondisi atropi.
b) Terhadap Tulang
Dengan immobilitas aktivitas pertumbuhan tulang ( Osteoblast ) dan penghancuran tulang (
Osteoklast ) akan terganggu karena terjadi peningkatan osteoklast lebih banyak dari osteoblast.
Kondisi ini mengakibatkan matriks tulang rusak dan kalsium keluar, sehingga dapat terjadi
osteoporosis.
c) Terhadap Sendi
Jaringan otot yang diganti dengan jaringan penyambung akan mengakibatkan persendian
menjadi kaku, tidak dapat digerakan secara aksimal dan terjadi cacat yang tidak dapat
disembuhkan. Klasifikasi ektopik pada jaringan lunak sekitar persendian dapat mengakibatkan
ankilosis yang menetap pada persendian itu.
2) Perubahan Sistem Kardiovaskuler
Perubahan system kardiovaskuler disebabkan oleh perubahan irama sirkadian, posisi tubuh,
kekuatan kontraksi otot dan perubahan endokrin. Perubahan ini meliputi :
a) Peningkatan beban kerja jantung
Klien immobilitas yang terbaring dengan posisi horizontal akan meningkatkan aliran balik vena.
Darh yang terkumpul di ekstremitas bawah akan mengalir ke jantung lebih cepat, sehingga beban
kerja jantung juga meningkat, dimana jantung harus meningkatkan isi sekuncupnya.
b) Peningkatan denyut nadi
Telah kta ketahui bahwa pengaruh factor metabolic, endikrin dan mekanisme pada keadaan yang
menghasilkan adrenergic, manifestasinya adalah peningkatan denyut nadi. Peningkatan denyut
nadi lebih dari 80 x/menit sering ditemukan pada klien immobilisasi.
c) Orthostatik Hipotensi
Orthosatik hipotensi adalah penurunan tekanan darah kurang lebi 15 mm Hg, pada saat klien
bangun dari posisi tidur. Klien dengan immobilitas beresiko tinggi untuk mengalami
orthostatikhipotensi, karena kmampuan system saraf autonom untuk mengatur jumlah darah
berkurang. Dalam keadaan normal, refleks baroreseptor menimbilkan respon simpatis dengan
segera terhadap penurunan tekanan darah arteri bila individu berdiri. Respon simpatiss
menimbu;kan vasokonstriksi peripheral untuk mencegah darah mengalir ke ekstremitas bawah
dan mempertahankan tekanan arteri, dismping melawan efek gravitasi. Pengurangan
vasokonstriksi peripheral ini menyebabkan darah berkumpul di ekstremitas bawah, menurunkan
volume darah yang bersirkulasi, menurunkan aliran balik vena, sehingga jumlah darah ke
ventrikel saat diastolic,sehingga jumlah darah yang di keluarkan saat diastolik tidak cukup untuk
memenihi kebutuhan perfusi otak serta tekanan darah menurun. Akibatnya klein merasa pusing
saat bangkit dan dapat pingsan
Disamping itu, kelemahan otot pada klien juga mempengaruhi oerthostatik hipotensi.
Kemunduran tekanan darah mengurangi kegiatan pemompaan otot pada vena di ekstremitas
bagian bawah, akibatnya aliran balik vena menurun, sehingga menimbulkan hipotensi.
d) Plebotrombosis
Plebotombosis adalah pembentukan thrombus tanpa disertai peradangan pada vena. Posisi tubuh
yang horizontal dalam waktu yang lam, akan menyebabkan peningkatan proses pembekuan
darah, sehingga akan terbentuk thrombus. Terjadnya trombosis disebabkan oleh terlepasnya
thrombus, yang akan menyebabkan emboli. Plembotrombosis biasanya terjadi pada daerah
ekstremitas.
3) Gangguan Respiratory
a) Pengaturan pergerakan pernafasan akan mengakibatkan adanya retraksi dada akibat kehilangan
koordinasi otot. Ekspansi dada menjadi terbatas diakibatkan posisi berbaring pasien dan
akibatnya ventilasi paru menurun sehingga dapat menimbulkan atelektasis.
b) Akumulasi secret pada saluran pernafasan mengakibatkan terjadinya penurunan efisiensi silisris
sehingga retensi mukosa pernafasan cenderung berakumulasi pada bronchial, secret menjadi
lebih kental dan mengganggu gerakan siliaris serta melekat pada saluran pernafasan. Kelemahan
pada otot pernafasan akan menimbulkan mekanisme batuk tidak efektif atau tidak mampu
membersihkan jalan nafas sehingga dapat menimbulkan bronkopneumonia.
c) Ketidakseimbangan rasio O2 dan CO2 diakibatkan karena penurunan intake dan output O2
4) Perubahan Integumen / kulit
Efek immobilisasi pada kulit dipengaruhi oleh gangguan metabolisme tubuh. Tekanan yang
tidak merata dan terjadi terus – menerus akan menghambat aliran darah sehingga penyediaan
nutrisi dan oksigen menurun. Apabila aliran darah menurun akan mengakibatkan iskemik dan
selanjutnya akan terjadi nekrosis pada jaringan yang tertekan.
5) Perubahan Eliminasi
Akibat adanya demineralisasi tulang, kadar kalsium urine meningkat, apabila aliran urine
tertahan konsentrasi posphat meningkat serta penurunan produksi urine maka garam kalsium
akan mengendap. Hal ini akan menimbulkan potensial terbentuknya batu di blast. Immobilisasi
juga menyebabkan potensial infeksi saluran kemih, yang disebabkan karena tertahannya urine di
ginjal. Hal ini memudahkan bakteri tumbuh pada urine yang tertahan, serta menyebabkan
akumulasi endapan di renal pelvis yang mengakibatkan pembentukan batu ginjal
Untuk eliminasi feses, masalah yang tersering adalah obstipasi. Obstipasi ini bukan akibat
secara langsung dari immobolisasi, tetapi karena kelemahan otot abdominal dan perineum,
penurunan peristaltic lambung, penurunan mengedan dan reabsorbsi cairan fekal selama dalam
kolon, dan hilangnya reflek defekasi, tetapi tidak mampu mengeluarkan fesesnya.
6) Pengaruh Terhadap Psiko – social
Pasien sering kali merasa ketakuan, kawatir lukanya tidak dapat sembuh dan takut
diamputasi. Biasanya pasien dirawat lama di rumah sakit sehingga dapat menimbulkan
perubahan – perubahan kehidupan khususnya hubungan dengan keluarga, pekerjaan dan
lingkungan sekitarnya.
Kondisi system musculoskeletal akan mempengaruhi emosi seseorang, sebab kondisi
tersebut mempengaruhi mobilitas dan ketergantungan seseorang, karena ketergantungan tersebut
maka pasien akan kehilangan kekuatan dan hilang rasa aman serta menurunya harga diri.
Seseorang yang mempunyai masalah musculoskeletal akan menjadikan rasa asing serta merasa
tidak dibutuhkan oleh orang lain.
Gangguan body image, persepsi pasien selalu dihibungkan dengan kondisi tubuhnya seperti
pemasangan traksi. Disfungsi seksual mungkin terjadi sehubungan dengan depresi dan cemas
serta persepsi pasangan pasien dalam melakukan hubungan seksual.
C. Konsep dasar Asuhan Keperawatan
Proses keperawatan adalah suatu penerapan metoda pemecahan masalah – masalah kesehatan
/ keperawatan pasien, merencanakan dan melaksanakan pelayanan keperawatan secara sistematis
serta menilai hasilnya (DepKes, RI, 1989 : 151)
Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan terhadap klien dilaksanakan melalui proses
keperawatan. Teori dan konsep keperawatan diimplementasikan secara terpadu dalam tahapan
yang terorganisir yang meliputi : pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, tindakan dan
evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian terhadap klien dengan gangguan musculoskeletal meliputi pengumpulan data
dan analisa data. Dalam pengumpulan data, sumber data klien diperoleh dari klien sendiri,
keluarganya, perawat, dokter ataupun dari catatan medis.
a. Pengumpulan data meliputi :
1) Biodata klien dan penanggung jawab klien
Biodata klien terdiri dari nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status marital,
agama, alamat, tanggal masuk kerumah sakit, nomer medrek dan diagnosa medis.
2) Keluhan Utama
Merupakan keluhan klien pada saat dikaji, klien yang mengalami fraktur dan diimmobilisasi
biasanya mengeluh tidak dapat melakukan pergerakan, nyeri, lemah, dan tidak dapat melakukan
sebagian aktivitas sehari – harinya.
3) Riwayat Kesehatan
a) Riwayat Kesehatan sekarang
Menceritakan kapan klien mengalami fraktur, dimana dan bagaimana terjadinya sehingga
mengalami fraktur, anggota gerak mana yang mengalami fraktur. Klien yang fraktur akan
mengeluh nyeri pada daerah tulang yang patah dan pada jaringan lunak yang mengalami luka
sehingga dengan adanya nyeri klien tidak dapat menggerakan anggota badannya yang terkena
fraktur. Nyeri dirasakan bisa pada saat bergerak saja aau terus menerus. Akibat tidak bisa
bergerak yang disebabkan karena nyeri akan menyebabkan klien tidak dapat memenuhi ADL nya
secara maksimal.
b) Riwayat Kesehatan Dahulu
Perlu dikaji untuk mengetahui apakah klien pernah mengalami suatu penyakit yang berat atau
penyakit tertentu yang memungkinkan akan berpengaruh pada kesehatannya sekarang.
c) Riwayat Kesehatan Keluarga
Perlu diketahui untuk menentukan apakah dalam keluarga ada penyakit keturunan atau penyakit
– penyakit karena lingkungan yang kurang sehat yang berdampak negative pada seluruh anggota
keluarga termasuk pada klien sehingga memungkinkan untuk memperberat penyakitnya.
4) Pemeriksaan Fisik
Dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi terhadap berbagai system tubuh,
maka akan ditemukan hal – hal sebagai berikut :
a) Keadaan Umum
Pada klien yang immobilisasi perlu dilihat dalam hal ; keadaan umumnya meliputi penampilan,
postur tubuh, kesadaran, dan gaya bicara karena klien yang diimmobilisasikan biasanya akan
mengalami kelemahan, kebersihan dirinya kurang, bentuk tubuh kurus akibat penurunan berat
badan tapi gaya bicara masih normal, kesadarannya kompos mentis.
b) Sistem Pernafasan
Perlu dikaji mulai dari bentuk hidung, ada tidaknya secret pada lubang hidung, pergerakan
cuping hidung waktu bernafas, kesimetrisan gerakan dada saat bernafas, auskultasi bunyi nafas.
Apakah bersih atau ronchi serta frekuensi nafas. Hal ini penting karena immobilisasi
berpengaruh pada pengembangan paru dan mobilisasi secret pada jalan nafas.
c) Sistem Kardiovaskuler
Mulai dikaji dari warna konjungtiva, warna bibir, ada idaknya peninggian vena jugularis dengan
auskultasi dapat dikaji bunyi jantung pada daerah dada dan pengukuran tekanan darah, dengan
palpasi dapat dihitung frekuensi denyut nadi.
d) Sistem Pencernaan
Yang dikaji meliputi keadaan mulut, gigi, bibir, lidah, nafsu makan, peristaltic usus dan BAB.
Tujuan pengkajian ini untuk mengetahui secara dini penyimpangan pada system ini.
e) Sistem Genitourinari
Dapat dikaji dari ada tidaknya pembengkakan dan nyeri pada daerah pinggang, observasi dan
palpasi pada aderah abdomen bawah untuk mengetahui adanya retensi urine dan dikaji tentang
keadaan alat – alat genitourinary bagian luar mengenai bentuknya, ada tidaknya nyeri tekan dan
benjolan serta bagaimana pengeluaran urinnya, lancer atau ada nyeri waktu miksi serta
bagaimana warna urine.
f) Sistem Muskuloskeletal
Yang perlu dikaji pada system ini adalah derajat Range Of Motion dari pergerakan sendi mulai
dari kepala sampai anggota gerak bawah, ketidaknyamanan atau nyeri yang dilaporkan klien
waktu bergerak, toleransi klien waktu bergerak dan observasi adanya luka pada otot akibat
fraktur terbuka. Selain ROM, tonus dan kekuatan otot harus dikaji juga karena immobilisasi
biasanya tonus dan kekuatan ototnya menurun.
g) Sistem Integumen
Yang perlu dikaji adalah kulitnya, rambut dan kuku. Pemeriksaan kulit meliputi tekstur,
kelembaban, turgor, warna dan fungsi perabaan.
h) Sistem Neuro Sensori
System neuro sensori yang dikaji adalah fungsi serebral, fungsi saraf cranial, fungsi sensori serta
fungsi refleks.

5) Pola Aktivitas Sehari – hari


Pola aktivitas sehari – hari pada klien yang mengalami fraktur meliputi : frekuensi makan, jenis
makanan, porsi makan, jenis dan kuantitas minum, dan eleminasi yang meliputi BAB (frekuensi,
warna, konsitensi) serta BAK (frekuensi, banyaknya urine yang keluar setiap hari dan warna
urine),personal Hygiene (frekuensi mandi, mencuci rambut, gosok gigi, ganti pakaian, menyisr
rambut, dan mengguntung kuku), olahraga (frekuensi dan jenis) serta rekreasi (frekuensi dan
tempat rekreasi).

6) Data Psikososial
Pengkajian yang dilakukan pada klien immobilisasi pada dasarnya sama dengan pengkajian
psikososial pada gangguan system lain yaitu mengenai konsep diri (gambaran diri, ideal diri,
harga diri, peran diri, dan identitas diri) dan hubungan atau interaksi klien baik dengan anggota
keluarganya maupun dengan lingkungan dimana dia berada.
Pada klien yang fraktur dan immobilisasi, adanya perubahan pada konsep diri terjadi secara
perlahan – lahan yang mana dapat dikenali melalui observasi terhadap adanya perubahan yang
kurang wajar dalam status emosional, perubahan tingkah laku, menurunnya kemampuan dalam
pemecahan masalah dan perubahan status tidur.

7) Data Spiritual
Klien yang fraktur perlu dikaji tentang agama dan kepribadiannya, keyakinannya, harapan, serta
semangat yang terkandung dalam diri klien merupakan aspek penting untuk kesembuhan
penyakitnya.

8) Data Penunjang
a) Studi Diagnostik
Uji sinar dan roentgen digunakan untuk menetukan luasnya fraktur, bone scane, tomogram, CT
Scane digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan.
b) Studi Labolatorium
Dengan pemeriksaan darah dan urine untuk mengetahui kadar alkali pospatase, kalsium, kretinin
dan fosfat.

2. Diagnosa Keperawatan
Setelah data diperoleh secara lengkap dan kemudian dianalisa, maka diperoleh beberapa
masalah yaitu :
a. Gangguan rasa nyaman ; nyeri b.d terputusnya kontinuitas jaringan
b.Keterbatasan mobilitas fisik ; aktivitas b.d immobilsasi
c. Gangguan pemenuhan ADL ; personal hygiene b.d kurangnya kemampuan
klien dalam merawat diri
d. Gangguan rasa aman ; cemas b.d kurangnya pengetahuan klien tentang kondisi luka dan
prosedur tindakan
e. Potensial terjadinya penyebaran infeksi b.d adanya luka yang masih basah
f. Potensial gangguan integritas kulit ; dekubitus b.d tirah baring lama
g.Potensial konstipasi b.d immobilisasi
h.Potensial terjadinya kontraktur sendi dan atrofi otot b.d tirah baring lama

3. Perencanaan
Meliputi tujuan jangka panjang dan jangka pendek, intervensi serta rasionalisasi tindakan.
a. Gangguan rasa nyaman ; nyeri b.d terputusnya kontinuitas jaringan
1) Tujuan jangka panjang
Nyeri klien menghilang
2) Tujuan jangka pendek
- Klien mengatakan nyerinya berkurang
- Klien mampu mendemonstrasikan kembali teknik distraksi atau relaksasi
- Ekspresi wajah klien tenang
- Klien dapat melalkukan perubahan posisi dengan tidak merasa nyeri
3) Intervensi :
a) Kaji tingkat nyeri klien
Rasional : Dengan mengkaji tingkat nyeri klien untuk mengetahui dan menentukan langkah
selanjutnya dalam memberikan intervensi
b) Tinggikan dan sokong ekstremitas yang mengalami luka
Rasional : Dengan meninggikan dan menyokong ekstremitas yang mengalami luka agar aliran
darah dari ektremitas lancer sehingga dapat menurunkan bengkak.
c) Atur posisi tidur klien
Rasional : Dengan mengatur posisi tidur klien maka aliran darah akan bergerak lancer sehingga
dapat memberikan kenyamanan bagi klien
d) Lakukan teknik distraksi dengan menyuruh klien membaca Koran saat nyeri dirasakan
Rasional : Dengan malakukan teknik distraksi pada klien dapat mengalihkan perhatian terhadap
rasa nyeri kepada hal – hal yang lain
e) Kolaborasikan tentang pemberian obat anlgetik

b. Kurangnya aktivitas ; mobilisasi fisik b.d immobilisasi


1) Tujuan jangka panjang
Mempertahankan kemamapuan pergerakan fisik
2) Tujuan jangka pendek
- Terpeliharanya posisi fungsional
- Mobilitas terpelihara
- Dapat mendemonstrasikan cara melakukan gerakan
3) Intervensi
a) Kaji tingkat immobilisasi sehubungan dengan kerusakan dan catat persepsi klien tentang
immobilisasi
Rasional : Untuk mengetahui persepsi klien tentang keadaannya sehingga dapat diberikan
informasi dan intervensi yang tepat
b) Sediakan papan kaki
Rasional : Berguna untuk memelihara posisi funsional dari ekstremitas dan mencegah
komplikasi kontraktur
c) Bantu dengan mobilitas yang efektif (bergerak, duduk, dan bergeser)
Rasional : Mobilisasi dini akan mengurangi komplikasi, dan meningkatnya penyembuhan dan
normalisasi fungsi organ.

c. Gangguan pemenuhan ADL ; personal hygiene b.d kurangnya kemampuan klien dalam merawat
diri
1) Tujuan jangka panjang
Klien dapat melakukan personal hygiene secara mandiri
2) Tujuan jangka pendek
- Klien mengetahui tentang perawatan diri
- Klien mau melakukan aktivitas sendiri
- Keadaan badan klien bersih
- Rambut tersisir rapih
- Kuku pendek dan bersih
3) Intervensi
a) Kaji tingkat kemamapuan klien tentang penting perawatan diri dalam keadaan luka fraktur.
Rasional : Dengan mengkaji klien tentang pengetahuan dalam perawatan diri akan dapat
tergambar sejauh mana klien mengeahui tentang perawatan diri
b) Beri informasi tentang pentingnya perawatan diri bagi klien
Rasional : Dengan memberikan informasi dapat menambah wawasan pengetahuan klien tentang
cara perawatan diri yang benar
c) Bantu dan fasilitasi klien dalam melakukan personal hygiene dengan mendekatkan alat – alat
yang diperlukan
Rasional : Dengan menyediakan dan mendekatkan peralatan yang diperlukan akan mendorong
kemandirian klien dalam hal melakuka aktivitas
d) Bantu klien dan ajarkan cara mencuci rambut
Rasional : Dengan membantu sekaligus mengajarkan klien agar klien dapat melakukan secara
mandiri dan meras termotivasi

d. Gangguan Rasa aman ; cemas b.d kurangnya pengetahuan klien tentang kondisi luka dan
prosedur tindakan
1) Tujuan jangka panjang
Klien tidak merasa cemas
2) Tujuan jangka pendek
- Ekspresi wajah klien tampak tenang
- Klien mengerti tentang kondisi luka dan prosedur tindakan
- Klien mau mengungkapkan perasaannya
3) Intervensi
a) Gali tingkat kecemasan klien
Rasional : Dengan menggali tingkat kecemasan klien dapat diketahui apakah klien berada dalam
tahap cemas ringan, sedang atau berat
b) Beri penjelasan mengenai kondisi luka dan prosedur tindakan
Rasional : Dengan penjelasan dapat menambah pengtahuan dan wawasan klien tentang keadaan
lukanya dan prosedur tindakan
c) Tanyakan kembali tentang penjelasan yang telah diberikan
Rasional : Dengan menanyakan kembali akan mengetahui apakah klien telah paham atau belum.
d) Beri reinforcement positif bila klien mau menjelaskan kembali tentang prosedur tindakan dan
kondisi lukanya
Rasional : Reinforcement positif dapat memberikan motivasi dan meningkatkan semangat klien
sehingga dapat mengurangi rasa cemas
e) Anjurkan pada kelurga untuk memberikan suportsistem pada klien

e. Potensial terjadinya penyebaran infeksi b.d adanya luka yang masih basah
1) Tujuan jangka panjang
- Luka sembuh
- Tidak terlihat adanya tanda – tanda infeksi
2) Tujuan jangka pendek
- Luka bersih dan tidak kotor
- Disekitar luka tidak terjadi kemerahan dan pembengkakan
- Klien mengatakan tidak panas lagi pada telapak kaki kiri
- Luka mulai mongering
3) Intervensi
a) Observasi keadaan klien
Rasoinal : Mengobservasi keadaan luka dapat mengetahui kalau ada tanda – tanda adanya infeksi
b) Monitor tanda – tanda vital
Rasional : Adanya peningkatan tanda – tanda vital merupakan adanya salah satu gejala infeksi
c) Gunakan teknik aseptic dan antiseptic dalam melakukan setiap tindakan
Rasional : Taknik aseptic dan antiseptic dapat mencegah pertumbuhan kuman sehingga infeksi
dapat dicegah
d) Ganti balutan tiap hari dengan menggunakan alat yang steril
Rasional : Mengganti balutan untuk menjaga agar luka tetap bersih yang dapat mencegah
terjadinya kontaminasi
e) Berikan antibioik sesuai programpengobatan
Rasional : Antibiotik merupakan obat untuk mengobati / mencegah infeksi dengan cara
membunuh kuman yang masuk
f) Kolaborasi dengan tim kesehatan terutama leukosit
Rasional : Adanya peninggian leukosit merupakan salah satu tanda adanya infeksi

f. Potensial gangguan integritas kulit ; dekubitus b.d tirah baring lama


1) Tujuan jangka pangjang
Dekubitus tidak terjadi
2) Tujuan jangka pendek
- Tidak terdapat tanda kemerahan pada daerah yang tertekan
- Kulit tidak lecet
- Kulit bersih tidak lembab
3) Intervensi
a) Periksa keadaan kulit tentang kebersihan, perubahan warna, luka atau edema
Rasional : Dengan pemeriksaan tersebut dapat mengetahui sedini mungkin bila ada tanda – tanda
kerusakan kulit
b) Lakukan perubahan posisi
Rasional : Kulit yang mendapat penekanan, sirkulasi darahnya kearea tersebut menjadi lancer
dengan adanya perubahan posisi
c) Jaga kebersihan alat tenun dan ganti secara teratur
Rasional : Alat – alat tenun yang bersih dapat mengurangi resiko kerusakan kulit dan mencegah
masuknya mikroorganisme ke kulit
d) Massage pada daerah yang tertekan
Rasional : Massage pada daerah yang tertekan akan merangsang sikulasi darah pada daerah
tersebut sehingga dapat menimbulkan kenyamanan bagi klien
e) Bersihkan kulit secara teratur dengan menggunakan air hangat dan sabun
Rasional : Sabun mengandung antiseptic sehingga dapat menghilangkan kotoran dan menjaga
kelembaban kulit sehingga integritas kulit dapat terjaga

g. Potensial konstipasi b.d immobilisasi


1) Tujuan jangka panjang
Konstipasi tidak terjadi
2) Tujuan jangka pendek
- BAB lancar dan normal
- Tidak terjadi distensi pada abdomen
- Hasil auskultasi peristaltic usus 5-35 x/menit
3) Intervensi
a) Melatih klien untukj melakukan pergerakan yang melibatkan daerah abdomen seperti miring
kanan atau miring kiri
Rasional : Dengan melakukan pergerakan yang melibatkan daerah abdomen akan meningkatkan
ketegangan otot abdomen yang membantu peningkatan peristaltic usus sehingga feses dapat
keluar dengan lancar.
b) Berikan cairan yang adekuat
Rasional : Dengan memberikan cairan yang adekuat akan meninhkatkan kandungan air dalam
feces sehingga pengeluaran feces akan lancar
c) Berikan makanan tinggi serat
Rasional : Makanan tinggi serat akan menarik cairan dari lumen usus, sehingga feces
konsistensinya lembek dan mudah dikeluarkan.
h. Potensial terjadinya kontraktur sendi dan atrofi otot b.d tirah baring lama
1) Tujuan jangka panjang
Kontraksi sendi dan atrofi otot tidak terjadi
2) Tujuan jangka pendek
Tanda – tanda konstraktur sendi dan atrofi otot tidak ada
3) Intervensi
a) Anjurkan dan ajarkan klien untuk melakukan ROM baik secara aktif maupun pasif
Rasional : Dengan ROM dapat meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk kekuatan
otot dan mencegah terjadinya konstraktur dan atrofi
b) Latih otot klien secara isometric dan resistive
Rasional : Latihan isometric dan resistive untuk meningkatkan tonus dan kekuatan otot.
4. Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik”.

(Nursalam, 2001:63).

5. Evaluasi
”Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan, yang menyediakan nilai informasi

mengenai pengaruh intervensi yang telah direncanakan dan merupakan perbandingan dari hasil

yang diamati dengan kriteria hasil yang telah dibuat pada tahap perencanaan”. (Hidayat, A.

Azis., 2001:12).

Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP sebagai pola pikir.

S : Respon subjektif klien terhadap intervensi yang


dilaksanakan.
O : Respon objektif klien terhadap intervensi yang

dilaksanakan.

A : Analisa ulang atas data subjektif dan objektif untuk

menyimpulkan apakah masalah masih tetap atau ada

masalah baru atau mungkin terdapat data yang


kontradiksi dengan masalah yang ada.

P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil


analisa pada respon

klien.

Anda mungkin juga menyukai