Anda di halaman 1dari 11

Formulasi Herbisida

Bahan terpenting dalam herbisida yang bekerja aktif terhadap hama sasaran disebut bahan
aktif. Dalam pembuatan herbisida di pabrik, bahan aktif tersebut tidak dibuat secara murni (100%)
tetapi bercampur sedikit dengan bahan-bahan pembawa lainnya. Produk jadi yang merupakan
campuran fisik antara bahan aktif dan bahan tambahan yang tidak aktif dinamakan formulasi.
Formulasi sangat menentukan bagaimana herbisida dengan bentuk dan komposisi tertentu harus
digunakan, berapa dosis atau takaran yang harus digunakan, berapa frekuensi dan interval
penggunaan, serta terhadap jasad sasaran apa pestisida dengan formulasi tersebut dapat digunakan
secara efektif. Selain itu, formulasi pestisida juga menentukan aspek keamanan penggunaan
pestisida dibuat dan diedarkan dalam banyak macam formulasi, sebagai berikut (Ardiyan, 1992) :

Formulasi Padat

a. Wettable Powder (WP), merupakan sediaan bentuk tepung (ukuran partikel beberapa mikron)
dengan kadar bahan aktif relatif tinggi (50 – 80%), yang jika dicampur dengan air akan membentuk
suspensi. Pengaplikasian WP dengan cara disemprotkan.

b. Soluble Powder (SP), merupakan formulasi berbentuk tepung yang jika dicampur air akan
membentuk larutan homogen. Digunakan dengan cara disemprotkan.

c. Butiran, umumnya merupakan sediaan siap pakai dengan konsentrasi bahan aktif rendah (sekitar
2%). Ukuran butiran bervariasi antara 0,7 – 1 mm. Pestisida butiran umumnya digunakan dengan
cara ditaburkan di lapangan (baik secara manual maupun dengan mesin penabur).

d. Water Dispersible Granule (WG atau WDG), berbentuk butiran tetapi penggunaannya sangat
berbeda. Formulasi WDG harus diencerkan terlebih dahulu dengan air dan digunakan dengan cara
disemprotkan.

e. Soluble Granule (SG), mirip dengan WDG yang juga harus diencerkan dalam air dan digunakan
dengan cara disemprotkan. Bedanya, jika dicampur dengan air, SG akan membentuk larutan
sempurna.

f. Tepung Hembus, merupakan sediaan siap pakai (tidak perlu dicampur dengan air) berbentuk
tepung (ukuran partikel 10 – 30 mikron) dengan konsentrasi bahan aktif rendah (2%) digunakan
dengan cara dihembuskan (dusting).

Formulasi Cair

a. Emulsifiable Concentrate atau Emulsible Concentrate (EC), merupakan sediaan berbentuk


pekatan (konsentrat) cair dengan kandungan bahan aktif yang cukup tinggi. Oleh karena
menggunakan solvent berbasis minyak, konsentrat ini jika dicampur dengan air akan
membentuk emulsi (butiran benda cair yang melayang dalam media cair lainnya). Bersama
formulasi WP, formulasi EC merupakan formulasi klasik yang paling banyak digunakan saat
ini
b. Water Soluble Concentrate (WCS), merupakan formulasi yang mirip dengan EC, tetapi
karena menggunakan sistem solvent berbasis air maka konsentrat ini jika dicampur air tidak
membentuk emulsi, melainkan akan membentuk larutan homogen. Umumnya formulasi ini
digunakan dengan cara disemprotkan.
c. Aquaeous Solution (AS), merupakan pekatan yang bisa dilarutkan dalam air. Pestisida yang
diformulasi dalam bentuk AS umumnya berupa pestisida yang memiliki kelarutan tinggi
dalam air. Pestisida yang diformulasi dalam bentuk ini digunakan dengan cara disemprotkan.
d. Soluble Liquid (SL), merupakan pekatan cair. Jika dicampur air, pekatan cair ini akan
membentuk larutan. Pestisida ini juga digunakan dengan cara disemprotkan.
e. Ultra Low Volume (ULV), merupakan sediaan khusus untuk penyemprotan dengan volume
ultra rendah, yaitu volume semprot antara 1 – 5 liter/hektar. Formulasi ULV umumnya
berbasis minyak karena untuk penyemprotan dengan volume ultra rendah digunakan
butiran semprot yang sangat halus.

Penggolongan Herbisida

Sebagian besar insektisida merupakan bahan kimia sintetik dengan penggolongan berdasarkan
bahan aktif yaitu:

1. Golongan chlorinated hydrocarbon (DDT)

2. Golongan organofosfat (sebagai contoh: Parathion yang dipasarkan dengan nama generik dan
nama dagang Abate, azinphosmethyl (Guthion), Carbophenothion (Trithion), Chlorpiryfos (Dursban),
demeton (Systax), Diazinon, Dicapthon (DiCaptan) dan lain-lain.

3. Golongan karbamat, seperti: Carbaryl (Sevin), Aldicarb (Temik), carbofuran (Furadan), fometanate
HCL (carsol), metalkamate (Bux) dan methomyl (Lannate)

Penggunaan dalam bidang pertanian sangat banyak jenis pestisida yang digunakan dengan
beberapa jenis pestisida yang terbanyak digunakan adalah sebagai berikut:

1. Insektisida (Insecticides)

2. Fungisida (Fungicides)

3. Herbisida (Herbicides)

4. Acarisida (Acaricides)

5. Larvasida (Larvacides)

6. Mitisida (Miticides)

7. Molusida (Molluscides)

8. Pembunuh kutu (Pediculicides)

9. Scabisida (Scabicides)

10. Attractans (pheromons)

11. Defoliants
12. Pengatur pertumbuhan tanaman (Plant Grow Regulator)

13. Pengusir serangga (Repellants)

World Health Organization (WHO) mengklasifikasikan pestisida atas dasar toksisitas dalam
bentuk formulasi padat dan cair.

1. Kelas IA : amat sangat berbahaya

2. Kelas IB : Amat Berbahaya

3. Kelas II : Cukup berbahaya

4. Kelas III : Agak Berbahaya

Penggunaan pestisida sintetis di seluruh dunia selalu meningkat dan penggunaan pestisida
campuran juga sangat banyak ditemukan diareal pertanian. Berdasarkan toksisitas dan golongan,
pestisida organik sintetik dapat digolongkan menjadi;

1. Golongan Organoklorin.

a. Toksisitas tinggi (extremely toxic): Endrine (Hexadrine)

b. Toksisitas sedang (moderate toxic): Aldrine, Dieldrin, DDT, Benzene, Brom Hexachloride
(BHC), Chlordane, Heptachlor, dan sebagainya.

2. Golongan Organofosfat

a. Sangat toksik (extremely toxic): Phorate, Parathion, Methyl Parathion, Azordin,


Chlorpyrifos (Dursban) , TEPP, Methamidophos, Phosphamidon, dan sebagainya.

b. Toksisitas sedang (moderate toxic): Dimethoate, Malathion

3. Golongan Karbamat

a. Toksisitas tinggi (extremely toxic): Temik, Carbofuran, Methomyl

b. Toksisitas sedang (moderate toxic): Baygon, Landrin, Carbaryl.

Golongan Organoklorin

Herbisida golongan organoklorin merupakan herbisida yang sangat berbahaya sehingga


pemakainnya sudah banyak dilarang. Sifat herbisida ini yang volatilitas rendah, bahan kimianya yang
stabil, larut dalam lemak dan bitransformasi serta biodegradasi lambat menyebabkan herbisia ini
sangat efektif untuk membasmi hama, namun sebaliknya juga sangat berbahaya bagi manusia
maupun binatang oleh karena persitensi herbisida ini sangat lama di dalam lingkungan dan adanya
biokonsentrasi dan biomagnifikasi dalam rantai makanan.16 Organoklorin atau disebut “Chlorinated
hydrocarbon” terdiri dari beberapa kelompok yang diklasifikasi menurut bentuk kimianya. Yang
paling popular dan pertama kali disinthesis adalah “Dichloro-diphenyltrichloroethan” atau disebut
DDT.
Gambar 1. Klasifikasi Herbisida Organoklorin

Golongan Organofosfat

Golongan organofosfat sering disebut dengan organic phosphates, phosphoris insecticides,


phosphates, phosphate insecticides dan phosphorus esters atau phosphoris acid esters. Mereka
adalah derivat dari phosphoric acid dan biasanya sangat toksik untuk hewan bertulang belakang.
Golongan organofosfat struktur kimia dan cara kerjanya berhubungan erat dengan gas syaraf.

Organofosfat senyawa kimia ester asam fosfat yang terdiri atas 1 molekul fosfat yang
dikelilingi oleh 2 gugus organik (R1 dan R2) serta gugus (X) atau leaving group yang tergantikan saat
organofosfat menfosforilasi asetilkholin. Gugus X merupakan bagian yang paling mudah terhidrolisis.
Gugus R dapat berupa gugus aromatik atau alifatik. Pada umumnya gugus R adalah dimetoksi atau
dietoksi. Sedangkan gugus X dapat berupa nitrogen , fluorida, halogen lain dan dimetoksi atau
dietoksi .

Dalam perkembangannya dikembangkan parathion (O,O-diethylO-p-nitrophenyl


phosphorothioate dan oxygen analog paraoxon (O,Odiethyl-O-p-nitrophenyl phosphate). Parathion
digunakan sebagai pengganti DDT, namun efek toksik yang diakibatkan ternyata hampir sama
dengan DDT sehingga pemakaiannya mulai dilarang. Meskipun dua jenis herbisida ini memiliki
struktur yang berbeda di alam, namun efek toksik yang diakibatkannya identik yang ditandai dengan
adanya penghambatan asetilkolinesterase (acethylcholinesterase=AChE), enzyme yang 15
bertanggung jawab untuk inhibisi dan destruksi aktivitas biologic dari neurotransmitter
acethylcholine (ACh). Pada keracunan pestisida golongan ini akan terjadi akumulasi ACh yang bebas
dan tidak terikat pada ujung persarafan dari saraf kolinergik, sehingga terjadi stimulasi aktivitas
listrik yang kontinyu.

Herbisida organofosfat yang banyak digunakan antara lain :

a. Asefat, diperkenalkan pada tahun 1972. Asefat berspektrum luas untuk mengendalikan
hama-hama penusuk-penghisap dan pengunyah seperti aphids, thrips, larva Lepidoptera (termasuk
ulat tanah), penggorok daun dan wereng.

b. Kadusafos, merupakan insektisida dan nematisida racun kontak dan racun perut.

c. Klorfenvinfos, diumumkan pada tahun 1962. Insektisida ini bersifat nonsistemik serta
bekerja sebagai racun kontak dan racun perut dengan efek residu yang panjang.

d. Klorpirifos, merupakan insektisida non-sistemik, diperkenalkan tahun 1965, serta bekerja


sebagai racun kontak, racun lambung, dan inhalasi.
e. Kumafos, ditemukan pada tahun 1952. Insektisida ini bersifat nonsistemik untuk
mengendalikan serangga hama dari ordo Diptera.

f. Diazinon, pertama kali diumumkan pada tahun 1953. Diazinon merupakan insektisida dan
akarisida non-sistemik yang bekerja sebagai racun kontak, racun perut, dan efek inhalasi. Diazinon
juga diaplikasikan sebagai bahan perawatan benih (seed treatment).

g. Diklorvos (DDVP), dipublikasikan pertama kali pada tahun 1955. Insektisida dan akarisida
ini bersifat non-sistemik, bekerja sebagai racun kontak, racun perut, dan racun inhalasi. Diklorvos
memiliki efek knockdown yang sangat cepat dan digunakan di bidang-bidang pertanian, kesehatan
masyarakat, serta insektisida rumah tangga.

h. Malation, diperkenalkan pada tahun 1952. Malation merupakan proinsektisida yang


dalam proses metabolisme serangga akan diubah menjadi senyawa lain yang beracun bagi serangga.
Insektisida dan akarisida non-sistemik ini bertindak sebagai racun kontak dan racun lambung, serta
memiliki efek sebagai racun inhalasi. Malation juga digunakan dalam bidang kesehatan masyarakat
untuk mengendalikan vektor penyakit.

i. Paration, ditemukan pada tahun 1946 dan merupakan insektisida pertama yang digunakan
di lapangan pertanian dan disintesis berdasarkan lead-structure yang disarankan oleh G. Schrader.
Paration merupakan insektisida dan akarisida, memiliki mode of action sebagai racun saraf yang
menghambat kolinesterase, bersifat non-sistemik, serta bekerja sebagai racun kontak, racun
lambung, dan racun inhalasi. Paration termasuk insektisida yang sangat beracun.

j. Profenofos, ditemukan pada tahun 1975. Insektisida dan akarisida non-sistemik ini
memiliki aktivitas translaminar dan ovisida. Profenofos digunakan untuk mengendalikan berbagai
serangga hama (terutama Lepidoptera) dan tungau.

k. Triazofos, ditemukan pada tahun 1973. Triazofos merupakan insektisida, akarisida, dan
nematisida berspektrum luas yang bekerja sebagai racun kontak dan racun perut. Triazofos bersifat
non-sistemik, tetapi bias menembus jauh ke dalam jaringan tanaman (translaminar) dan digunakan
untuk mengendalikan berbagai hama seperti ulat dan tungau.

Golongan Karbamat

Insektisida dari golongan karbamat adalah racun saraf yang bekerja dengan cara
menghambat asetilkolinesterase (AChE). Jika pada golongan organofosfat hambatan tersebut
bersifat irreversible (tidak dapat dipulihkan), pada karbamat hambatan tersebut bersifat reversible
(dapat dipulihkan). Pestisida dari golongan karbamat relatif mudah diurai di lingkungan (tidak
persisten) dan tidak terakumulasi oleh jaringan lemak hewan. Karbamat juga merupakan insektisida
yang banyak anggotanya. Beberapa jenis insektisida karbamat antara lain.

a. Aldikarb, merupakan insektisida, akarisida, serta nematisida sistemik yang cepat diserap
oleh akar dan ditransportasikan secara akropetal. Aldikarb merupakan insektisida yang paling toksik.

b. Benfurakarb, merupakan insektisida sistemik yang bekerja sebagai racun kontak dan racun
perut serta diaplikasikan terutama sebagai insektisida tanah.
c. Karbaril, merupakan karbamat pertama yang sukses di pasaran. Karbaril bertindak sebagai
racun perut dan racun kontak dengan sedikit sifat sistemik. Salah satu sifat unik karbaril yaitu
efeknya sebagai zat pengatur tumbuh dan sifat ini digunakan untuk menjarangkan buah pada apel.

d. Fenobukarb (BPMC), merupakan insektisida non-sistemik dengan kerja sebagai racun


kontak. Nama resmi insektisida ini adalah fenobukarb, tetapi di Indonesia lebih dikenal dengan
BPMC yang merupakan singkatan dari nama kimianya, yaitu buthylphenylmethyl carbamate.

e. Metiokarb, nama umum lainya adalah merkaptodimetur. Insektisida ini digunakan sebagai
racun kontak dan racun perut.

f. Propoksur, merupakan insektisida yang bersifat non-sistemik dan bekerja sebagai racun
kontak serta racun lambung yang memiliki efek knock down sangat baik dan residu yang panjang.
Propoksur terutama digunakan sebagai insektisida rumah tangga (antara lain untuk mengendalikan
nyamuk dan kecoa), kesehatan masyarakat, dan kesehatan hewan.

Keracunan Pestisida

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya keracunan pestisida

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya keracunan pestisida pada petani adalah
sebagai berikut:

- Jenis Pekerjaan : sebagai petani, petani penyemprot

- Porte d’entre : melalui kontak pada kulit, inhalasi, ingesti.

- Jenis herbisida yang digunakan: herbisida illegal, campuran golongan organofosfat,


organoklorin, piretroid atau karbamat

- Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)

- Waktu penyemprotan

Klasfikasi tingkat bahaya pestisida menurut WHO ditampilkan pada tabel 3 di bawah ini :

Gambar 2. Klasifikasi Tingkat Bahaya Herbisida menurut WHO


Mekanisme keracunan herbisida organofosfat

Organofosfat bekerja sebagai kolinesterase inhibitor. Kolinesterase merupakan enzim yang


bertanggung jawab terhadap metabolisme asetilkolin (ACh) pada sinaps setelah ACh dilepaskan oleh
neuron presinaptik. ACh berbeda dengan neurotransmiter lainnya dimana secara fisiologis
aktivitasnya dihentikan menlalui melalui proses metabolisme menjadi produk yang tidak aktif yaitu
kolin dan asetat. Adanya inhibisi kolinesterase akan menyebabkan ACh tertimbun di sinaps sehingga
terjadi stimulasi yang terus menerus pada reseptor post sinaptik.

ACh dibentuk pada seluruh bagian sistem saraf. ACh juga dapat dijumpai di otak khususnya
sistem saraf otonom. ACh berperan sebagai neurotransmiter pada ganglio simpatis maupun
parasimpatis, dimana ACh akan berikatan dengan reseptor kolinergik nikotinik. Inhibisi kolinesterase
pada ganglion simpatis akan meningkatkan rangsangan simpatis dengan manifestasi klinis midriasis,
hipertensi dan takikardia. Inhibisi kolinesterase pada ganglion parasimpatis akan menghasilkan
peningkatan rangsangan saraf parasimpatis dengan manifestasi klinis miosis, hipersalivasi dan
bradikardi. Besarnya rangsangan pada masing-masing saraf simpatis dan parasimpatis akan
berpengaruh pada manifestasi klinis yang muncul. ACh juga berperan sebagai neurotransmiter
neuron parasimpatis yang secara langsung menyarafi jantung melalui saraf vagus, kelenjar dan otot
polos bronkus. Berbeda dengan pada ganglion, reseptor Gambar 1. Hidrolisis asetilkolin intrasinaptik
. Ach=acetylcholine; M=muscarinic; NM=Nicotinic, neuromuscular junction; NN=Nicotinic
ganglionic.20 21 kolinergik pada daerah ini termasuk subtipe muskarinik (M). Inhibisi kolinesterase
secara langsung pada pada organ-organ ini menjelaskan manifestasi klinis yang dominan
parasimpatik pada keracunan organofosfat, dimana daerah tresebut merupakan target utama
organofosfat. Miosis umumnya terjadi pada orang yang terpapar organofosfat volatil akibat stimulasi
parasmpatis secara langsung pada mata.

Organofosfat merupakan pestisida yang memiliki efek irreversible dalam menginhibisi


kolinesterase, acethylcholine esterase dan neuropathy target esterase (NTE) pada binatang dan
manusia. Paparan terhadap Gambar 2. Pengaruh inhibisi kolinesterase pada sistem saraf.
A=adrenergik; GI= gasterointestinal; M=muscarinic; N=nicotinic; NMJ=neuromuscular junction20
organofosfat akan mengakibatkan adanya hiperstimulasi muskarinik (kolinergik) dan stimulasi
reseptor nikotinik. Beberapa pestisida juga menginhibisi NTE secara irreversible. Organofosfat akan
menginhibisi AChE dengan membentuk phosphorilated enzyme (enzyme-OP complex). AChE ini
sangat penting untuk ujung saraf muskarinik dan nikotinik dan pada sinaps sistem saraf pusat (SSP).
Inhibisi AChE akan menyebabkan prolonged action dan acythylcholine yang berlebihan pada sinaps
saraf autonom, neuromuskular dan SSP.
Intoksikasi akan berhenti bila ada reaktivasi kompleks AChE-Op dengan proses yang lambat.
Reaktivasi ini dapat diperbaiki dengan pemberian obat golongan oxime yang merupakan nucleophilic
agents, namun action dari oxime ini dibatasi dengan aging reaction yaitu lama waktu proses hidrolisa
enzim kompleks OP. Proses aging akan mengakbatkan enzim tidak dapat direaktivasi oleh oxime.
Aging reaction terjadi dalam waktu 48-72 jam setelah keracunan, sehingga oxime tidak akan
berfungsi maksimal bila diberikan 48-72 jam setelah keracunan. Walapun demikian dalam
kenyataannya setiap jenis organofosfat memiliki aging time yang berbeda.

Pada keracunan pestisida organosfosfat seperti klorpirifos, diazinon, parathion,


chlorfenvinphos memiliki half live aging yang panjang sehingga pengobatan dengan oxime dapat
diberikan dalam waktu yang cukup dan cukup efektif digunakan untuk reaktivasi. Dalam
penghambatan pada transmisi nikotinik dibutuhkan inhibisi pada 80% AChE sinaps, sehingga
nicotinic syndrome hanya terjdi pada keracunan berat organofosfat.

Gambaran klinis dari keracunan Akut Organofosfat

Gambaran klinis keracunan akut organofosfat dapat berupa keadaan sebagai berikut:

a. Sindroma muskarinik Sindroma muskarinik dengan gejala sebagai berikut: konstriksi


bronkus, hipersekresi bronkus, edema paru, hipersalivasi, mual, 25 muntah, nyeri abdomen,
hiperhidrosis, bradikardi, polirua, diare, nyeri kepala, miosis, penglihatatan kabur, hiperemia
konjungtiva. Onset terjadi segera setelah paparan akut dan dapat terjadi sampai beberapa hari
tergantung beratnya tingkat keracunan.

b. Sindroma nikotinik Sindroma nikotinik pada umumnya terjadi setelah sindroma


muskarinik yang akan mencetuskan terjadinya sindroma intermediate berupa delayed neuropathy.
Hiperstimulasi neuromuscular junction akan menyebabkan fasikulasi yang diikuti dengan
neuromuscular paralysis yang dapat berlangsung selama 2-18 hari. Paralisis biasanya juga
mempengaruhi otot mata, bulbar, leher, tungkai dan otot pernafasan tergantung derajat berat
keracunan.

c. Sindroma sistem saraf pusat Sindroma sistem saraf pusat terjadi akibat masuknya
pestisida ke otak melalui sawar darah otak. Pada keracunan akut berat akan mengakibatkan
terjadinya konvulsi.

d. Organofosfat-Induced Delayed Neuropathy Organophosphaet-Induced Delayed


Neuropathy terjadi 2 – 4 mingu setelah keracunan. Diagnosis keracunan Organofosfat dengan
mengukur kadar AChE serum atau Red Blood Cell (RBC) dan test elektrodiagnostik. Gambaran klinis
tampak pada kadar RBC AChE < 75% Normal. Pada kasus keracunan akut berat kadar AChE RBC
dapat mencapai < 10%. 26 Monitoring untuk pemaparan organofosfat dilakukan dengan penilaian
kadar AChE darah.

Standar nilai penurunan AChE di Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Normal bila kadar AChE > 75 %

2. Keracunan ringan bila kadar AChE 75 % - 50 %

3. Keracunan sedang bila kadar AChE 50% – 25%


4. Keracunan berat bila kadar AChE < 25%

Toksisitas organofosfat terhadap sel darah merah dan hemoglobin

Pada keracunan Organofosfat, sel darah merah banyak yang mengalami lisis yang
mengakibatkan penurunan jumlah sel darah merah dan penurunan sintesa hemoglobin. Beberapa
jenis pestisida yang digunakan petani di daerah penelitian menggunakan merk dagang Round Up
yang bersifat sangat toksik untuk sel darah merah dan sintesa hem, sehingga akan terjadi penurunan
kadar sel darah merah dan kadar hemoglobin. Pestisida jenis propanyl (N-3,4-dichlorophenyl)
propanamide yang banyak digunakan sebagai herbisida juga dapat menyebabkan penurunan kadar
hemoglobin. Propanyl dan metabolit utamanya yaitu garam 3,4-dichloroanilide menginduksi
konversi Fe2+ dalam hemoglobin menjadi Fe3+, membentuk methemoglobin (metHb) dan
menurunkan oxygen carrying capacity darah.

Disfungsi otonom

Disfungsi Otonom atau neuropati otonom didefinisikan sebagai perubahan fungsi sistem
saraf otonom yang dapat mengganggu kesehatan. 27 Perubahan dapat bersifat sementara sampai
dengan penyakit neurodegenatif yang bersifat progresif Manifestasi klinis data berupa gangguan
beberapa sistem tubuh atau kombinasi beberapa kelainan sistem tubuh seperti kardiovaskuler,
respirasi, gastrointestinal, urogenital, sudomotor dan pupilomotor.

Disfungsi otonom pada paparan kronis organofosfat disebabkan oleh efek neurotoksik
organofosfat terhadap sistem saraf. Diagnosis disfungsi otonom ditentukan dengan macam
pemeriksaan. American Academy of Neurology mengkategorikan pemeriksaan fungsi saraf otonom
sebagai berikut:

1. Kardiovagal (saraf parasimpatis): Perubahan denyut jantung saat bernafas atau bernafas
dalam, Rasio Valsava, dan perubahan denyut jantung saat berdiri (Rasio 30:15)

2. Adrenergik: Perubahan tekanan darah sesuai denyut jantung dari saat berbaring ke posisi
berdiri (tilt-up) atau saat berdiri.

3. Sudomotor: Quantitative Sudomotor Axon Reflex Test (QSART), thermoregulatory sweat


test (TST), sympathetic skin response (SSR) dan Silastic sweat imprint. Walaupun dijumpai beberapa
kategori pemeriksaan, secara klinis pemeriksaan kardiovagal dan adrenergik merupakan
pemeriksaan yang paling sering dilakukan. Abnormalitas pada kedua sistem tersebut umumnya juga
akan melibatkan sistem yang lain.

Dampak keracunan pestisida terhadap sistem pernafasan

Pestisida yang masuk ke dalam tubuh dapat secara langsung mengiritasi saluran pernafasan
dan juga paru-paru ataupun bisa secara tidak langsung mengganggu sistem pernafasan jika irritan
mengenai pusat pernafasan pada sistem saraf pusat sehingga dapat menyebabkan terjadinya
depresi pernafasan saat terjadi paparan akut. Paru-paru yang terkena paparan lama-kelamaan akan
terjadi fibrosis dan menurunkan keelastisannya sehingga mengganggu pengembangan paru.

Jika mengenai saluran pernafasan, pestisida golongan organofosfat melalui nervus vagus
sangat potensial menginduksi bronkokonstriksi dengan cara menurunkan fungsi reseptor muskarinik
M2 yang normalnya menghambat pelepasan ACh dari saraf parasimpatis yang mensuplai otot polos
saluran nafas.

Kehilangan fungsi reseptor muskarinik M2 mengarahkaan pada peningkatan pelepasan ACh


dari saraf parasimpatis dan berakibat bronkokonstriksi yang di perantarai nervus vagus. Selanjutnya
hal ini akan berkonstribusi terhadap kejadian hiperreaktif jalan nafas.

Selain merangsang bronkokonstriksi, peningkatan pelepasan ACh juga merangsang


peningkatan sekresi mukus pada mukosa saluran nafas, sehingga lumen bronkus akan bertambah
sempit. Manisfestasi yang terjadi ialah adanya gejala sesak nafas terutama pada saat ekspirasi.27 29
Penurunan kualitas ekspirasi ini berbanding lurus dengan penurunan FEV1 dan VC yang dapat diukur
dengan menggunakan spirometer.

Pengelolaan keracunan

Pengelolaan keracunan akut keracunan organofosfat adalah sebagai berikut:

1. Stabilisasi kardiorespirasi

2. Mengganti baju yang kemungkinan telah terkontaminasi pestisida

3. Irigasi atau cuci kulit dan mata

4. Lavage lambung untuk mengurangi absorbsi racun

5. Pemberian Atropin suatu antagonis reseptor muskarinik asetilkoline.

6. Pemberian Oxime (Pralidoxime dan Obidoxime)

Sumber

Ardiyan, A. (1992). Formulasi Pestisida, 7–29. Retrieved from


http://eprints.undip.ac.id/43729/3/ARWIN_ARDIYANTO_G2A009002_BAB2KTI.pdf

Anda mungkin juga menyukai