Anda di halaman 1dari 75

KAJIAN FILOSOFIS TENTANG HUKUM DAN KEADILAN DARI

PEMIKIRAN KLASIK SAMPAI PEMIKIRAN MODERN

Bahder Johan Nasution


Dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Jambi
Email: bj_nasution1414@yahoo.com

ABSTRAK
Masalah keadilan sejak dahulu telah menjadi bahan kajian baik dikalangan ahli
filsafat maupun dikalangan agamawan, politikus maupun para pemikir atau ahli
hukum. Namun apabila timbul pertanyaan tetang keadilan, tidak bisa ditentukan
ukuran apa yang digunakan untuk menentukan sesuatu itu adil atau tidak.
Berbagai jawaban tentang keadilan biasanya tidak pernah atau jarang yang
memuaskan sehingga terus menjadi perdebatan, dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa berbagai rumusan mengenai keadilan merupakan rumusan
yang relatif. Persoalan ini pada akhirnya mendorong banyak kalangan untuk
mengambil jalan pintas dengan menyerahkan perumusan keadilan kepada
pembentuk undang-undang dan hakim yang akan merumuskannya berdasarkan
pertimbangan mereka sendiri.

ABSTRACT
Justice, since the first issue, has been the subject of study both among
philosophers and among theologians, politicians and thinkers or legal experts.
However, if there are questions about justice, could not be determined what
measures are used to determine something is fair or not. Various answers about
justice usually never or rarely satisfying so that continues to be debated, so it can
be concluded that the various formulations of justice is a relative statement. This
issue ultimately encourages many people to take a shortcut by submitting
formulation of justice to the legislators and judges who will formulate it based on
their own considerations.

Keywords: Konsep Keadilan, Pemikiran Klasik, Pemikiran Modern

Pendahuluan

Pembicaraan tentang keadilan merupakan suatu kewajiban ketika berbicara


tentang filsafat hukum, hal ini karena salah satu tujuan hukum adalah keadilan dan
ini merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang
perjalanan sejarah filsafat hukum. Memahami pengertian keadilan memang tidak
begitu sulit karena terdapat beberapa perumusan sederhana yang dapat menjawab
tentang pengertian keadilan. Namun untuk memahami tentang makna keadilan

1
tidaklah semudah membaca teks pengertian tentang keadilan yang diberikan oleh
para sarjana, karena ketika berbicara tentang makna berarti sudah bergerak dalam
tataran filosofis yang perlu perenungan secara mendalam sampai pada hakikat
yang paling dalam1. Tentang rumusan keadilan ini ada dua pendapat yang sangat
mendasar yang perlu diperhatikan: Pertama, pandangan atau pendapat awam yang
pada dasarnya merumuskan bahwa yang dimaksudkan dengan keadilan itu ialah
keserasian antara penggunaan hak dan pelaksanaan kewajiban selaras dengan dalil
neraca hukum yakni takaran hak dan kewajiban. Kedua, pandangan para ahli
hukum seperti Purnadi Purbacaraka yang pada dasarnya merumuskan bahwa
keadilan itu adalah keserasian antara kepastian hukum dan kesebandingan
hukum2.
Filosofi utama dari hakekat hukum adalah keadilan, tanpa keadilan hukum
tidak layak disebut hukum. Realitas hukum dalam masyarakat kadang berbeda
dengan yang dicita-citakan yang menyebabkan semakin menjauhkan hukum
hukum dari hakekatnya. Keadilan menjadi jargon, belum menjiwai seluruh aspek
hukum. Tarik menarik antara keadilan, kepastian dan ketertiban hukum menjadi
isu penting dalam pengembanan hukum. Isu penting tersebut kemudian menjadi
problematika pokok ketika melaksanakan penegakan hukum. Penegakan hukum
oleh para pengemban hukum menghadapi dilema pilihan antara keadilan,
kepastian dan ketertiban. Dilema atas pilihan sangat rumit atas dampak yang
ditimbulkan, di mana akan ada pengorbanan dari satu atau dua cita hukum ketika
pilihan sudah ditentukan. Dalam penegakan hukum, ketika pengemban hukum
memilih untuk mengutamakan kepastian hukum maka dua cita hukum yaitu
keadilan dan ketertiban akan dikesampingkan3.
Akhir-akhir ini, keadilan merupakan hal yang senantiasa dijadikan
topik utama dalam setiap penyelesaian masalah yang berhubungan dengan
penegakan hukum. Banyaknya kasus hukum yang tidak terselesaikan karena

1
Angkasa, Filsafat Hukum, (Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman, 2010), hlm.105.
2
Purnadi Purbacaraka dalam A. Ridwan Halim, Pengantar Ilmu Hukum Dalam Tanya Jawab,
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 2015, hlm.176.
3
Anthon F. Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik: Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum
Indonesia, (Yogyakarta: Genta Publishing,, 2010), hlm. 138.

2
ditarik ke masalah politik membuat keadilan semakin suram dan semakin jauh
dari harapan masyarakat. Kebenaran hukum dan keadilan dimanipulasi dengan
cara yang sistematik sehingga peradilan tidak menemukan keadaan yang
sebenarnya. Secara umum dikatakan bahwa orang yang tidak adil adalah
orang yang tidak patuh terhadap hukum (unlawful, lawless) dan orang yang
tidak fair , maka orang yang adil adalah orang yang patuh terhadap hukum
(law abiding) dan fair. Tindakan memenuhi atau mematuhi hukum adalah adil,
maka semua tindakan pembentukan hukum jika sesuai dengan aturan yang ada
adalah adil. Tujuan pembuatan hukum adalah untuk mencapai kemajuan
kebahagiaan masyarakat. Maka, semua tindakan yang cenderung untuk
memproduksi dan mempertahankan kebahagiaan masyarakat adalah adil.
Keadilan sebagai bagian dari nilai sosial memiliki makna yang amat
luas, bahkan pada suatu titik bisa bertentangan dengan hukum sebagai salah
satu tata nilai sosial. Ukuran keadilan sebagaimana di singgung di atas
sebenarnya menjangkau wilayah yang ideal atau berada dalam wilayah cita,
dikarenakan berbicara masalah keadilan, berarti sudah dalam wilayah makna
yang masuk dalam tataran filosofis yang perlu perenungan secara mendalam
sampai hakikat yang paling dalam, bahkan Hans Kelsen menekankan pada
filsafat hukum Plato, bahwa keadilan didasarkan pada pengetahuan perihal
sesuatu yang baik. Pengetahuan akan hal yang baik secara fundamental
merupakan persoalan di luar dunia sehingga jelas bahwa keadilan masuk ke
dalam kajian filsafat.
Banyak filsafat yang mengharapkan inspirasi bagi pengetahuan
keadilan. Kesemua itu termasuk bidang filsafat yang sangat berbeda dalam
ruang dan waktu. Keadilan merupakan salah satu contoh materi atau forma
yang menjadi objek filsafat. Dalam kajian filsafat, keadilan telah menjadi
pokok pembicaraan serius sejak awal munculnya filsafat Yunani. Pembicaraan
keadilan memiliki cakupan yang luas, mulai dari yang bersifat etik, filosofis,
hukum, sampai pada keadilan sosial. Banyak orang yang berpikir bahwa
bertindak adil dan tidak adil tergantung pada kekuatan dan kekuatan yang
dimiliki, untuk menjadi adil cukup terlihat mudah, namun tentu saja tidak

3
begitu halnya penerapannya dalam kehidupan manusia. Keadilan menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari tujuan hukum itu sendiri, di samping
kepastian hukum dan kemanfaatan. Menyikapi adanya beberapa permasalahan
hukum yang terjadi di negara Indonesia yang kemudian dituangkan dalam
beberapa putusan hakim sehingga membawa pada satu pepengetahuan manusia.
Dari sudut konsep filosofinya hakim adalah “wakil Tuhan” yang
bertugas untuk menyampaikan kebenaran dan keadilan, maka setiap
putusan hakim wajib mencantumkan “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Adanya hakim sebagai “wakil Tuhan”
dilatarbelakangi secara historis, dalam teori hukum dan negara, suara Tuhan
tersebut dalam konteks renungan kefilsafatan tentang kedaulatan negara atau
raja, melahirkan filsafat kedaulatan Tuhan, dan ketika dikaitkan dengan
persoalan hukum dan keadilan, melahirkan filsafat renungan bahwa
terminologi keadilan yang ada dalam kajian filsafat dapatkah dijadikan
sebagai bagian utama dalam pencapaian tujuan hukum, mengingat konsep
keadilan yang bersifat abstrak sehingga diperlukan pemahaman dalam filsafat
ilmu hukum yang akan menjelaskan nilai dasar hukum secara filosofis
sehingga dapat membangun hukum yang sebenarnya.
Keadilan merupakan sesuatu yang abstrak, berada dalam dunia sollen
tumbuh secara filsafati dalam alam hayal manusia, namun tidak bisa diingkari
bahwa semua orang mendambakan keadilan4. Di dalam Ilmu hukum keadilan itu
merupakan ide dan tujuan hukum namun secara pasti dan gramatikal keadilan itu
tidak dapat didefinisikan oleh ilmu hukum, oleh karenanya keadilan harus dikaji
dari sudut pandang teoritik dan filosofis. Atas dasar hal tersebut dalam tulisan
yang singkat ini akan dibahas mengenai keadilan secara konseptual yang ditinjau
dari sudut kajian filosofis yang pembahasannya difokuskan pada:
1. Konsep Keadilan Menurut Pemikiran Klasik
2. Konsep Keadilan Menurut Pemikiran Zaman Modern
3. Konsep Kadilan Sebagai Ide Hukum
Konsep Keadilan Menurut Pemikiran Klasik

4
Bahder Johan Nsution, Hukum dan Keadilan, (Bandung: Mandar Maju, 2015), hlm. 174.

4
Teori-teori yang mengkaji masalah keadilan secara mendalam telah
dilakukan sejak jaman Yunani kuno. Konsep keadilan pada masa itu, berasal dari
pemikiran tentang sikap atau perilaku manusia terhadap sesamanya dan terhadap
alam lingkungannya, pemikiran tersebut dilakukan oleh kalangan filosof. Inti dari
berbagai pemikiran filsafat itu terdiri dari berbagai obyek yang dapat dibagi
kedalam dua golongan. Pertama obyek materia yaitu segala sesuatu yang ada atau
yang mungkin ada, yakni kesemestaan, baik yang konkrit alamiah maupun yang
abstrak non material seperti jiwa atau rohani termasuk juga nilai-nilai yang
abstrak seperti nilai kebenaran, nilai keadilan, hakekat demokrasi dan lain
sebagainya. Kedua obyek forma yaitu sudut pandang atau tujuan dari pemikiran
dan penyelidikan atas obyek materia, yakni mengerti sedalam-dalamnya,
menemukan kebenaran atau hakekat dari sesuatu yang diselidiki sebagai obyek
materia5.
Salah satu diantara teori keadilan yang dimaksud antara lain teori keadilan
dari Plato yang menekankan pada harmoni atau keselarasan. Plato mendefinisikan
keadilan sebagai “the supreme virtue of the good state”, sedang orang yang adil
adalah “the self diciplined man whose passions are controlled by reasson”. Bagi
Plato keadilan tidak dihubungkan secara langsung dengan hukum. Baginya
keadilan dan tata hukum merupakan substansi umum dari suatu masyarakat yang
membuat dan menjaga kesatuannya.
Dalam konsep Plato tentang keadilan dikenal adanya keadilan individual
dan keadilan dalam negara. Untuk menemukan pengertian yang benar mengenai
keadilan individual, terlebih dahulu harus ditemukan sifat-sifat dasar dari keadilan
itu dalam negara, untuk itu Plato mengatakan 6: “let us enquire first what it is the
cities, then we will examine it in the single man, looking for the likeness of the
larger in the shape of the smaller”. Walaupun Plato mengatakan demikian, bukan
berarti bahwa keadilan individual identik dengan keadilan dalam negara. Hanya
saja Plato melihat bahwa keadilan timbul karena penyesuaian yang memberi

5
Poejawijatna dalam Mohammad Nursyam, Penjabaran Filsafat Pancasila Dalam Filsafat
Hukum. Sebagai Landasan Pembinaan Hukum Nasional. Disertasi, (Surabaya: Universitas
Airlangga, 1998), hlm. 45.
6
The Liang Gie, Teori-teori Keadilan, (Yogyakarta: Sumber Sukses, 2002), hlm. 22.

5
tempat yang selaras kepada bagian-bagian yang membentuk suatu masyarakat.
Keadilan terwujud dalam suatu masyarakat bilamana setiap anggota melakukan
secara baik menurut kemampuannya fungsi yang sesuai atau yang selaras baginya.
Jadi fungsi dari penguasa ialah membagi bagikan fungsi-fungsi dalam
negara kepada masing-masing orang sesuai dengan asas keserasian. Pembagian
kerja sesuai dengan bakat, bidang keahlian dan keterampilan setiap orang itulah
yang disebut dengan keadilan. Konsepsi keadilan Plato yang demikian ini
dirumuskan dalam ungkapan “giving each man his due” yaitu memberikan kepada
setiap orang apa yang menjadi haknya. Untuk itu hukum perlu ditegakkan dan
Undang-undang perlu dibuat.
Dalam kaitannya dengan hukum, obyek materianya adalah masalah nilai
keadilan sebagai inti dari asas perlindungan hukum, sedangkan obyek formanya
adalah sudut pandang normatif yuridis dengan maksud menemukan prinsip dasar
yang dapat diterapkan untuk menyelesaikan masalah yang timbul di bidang
penggunaan nilai keadilan dimaksud. Tentang nilai keadilan yang dimaksud
terutama yang berkenaan dengan obyeknya yaitu hak yang harus diberikan kepada
warga masyarakat. Biasanya hak ini dinilai dan diperlakukan dari berbagai aspek
pertimbangan politik dan budaya, namun intinya tetap tidak berubah yaitu suum
cuique tribuere.
Dari ungkapan di atas, terlihat dengan jelas Plato memandang suatu
masalah yang memerlukan pengaturan dengan undang-undang harus
mencerminkan rasa keadilan, sebab bagi Plato hukum dan undang-undang
bukanlah semata-mata untuk memelihara ketertiban dan menjaga stabilitas negara,
melainkan yang paling pokok dari undang-undang adalah untuk membimbing
masyarakat mencapai keutamaan, sehingga layak menjadi warga negara dari
negara yang ideal. Jadi hukum dan undang-undang bersangkut paut erat dengan
kehidupan moral dari setiap warga masyarakat.
Pembahasan yang lebih rinci mengenai konsep keadilan dikemukakan oleh
Aristoteles. Jika Plato menekankan teorinya pada keharmonisan atau keselarasan,
Aristoteles menekankan teorinya pada perimbangan atau proporsi. Menurutnya di
dalam negara segala sesuatunya harus diarahkan pada cita-cita yang mulia yaitu

6
kebaikan dan kebaikan itu harus terlihat lewat keadilan dan kebenaran. Penekanan
perimbangan atau proporsi pada teori keadilan Aristoteles, dapat dilihat dari apa
yang dilakukannya bahwa kesamaan hak itu haruslah sama diantara orang-orang
yang sama7. Maksudnya pada satu sisi memang benar bila dikatakan bahwa
keadilan berarti juga kesamaan hak, namun pada sisi lain harus dipahami pula
bahwa keadilan juga berarti ketidaksamaan hak. Jadi teori keadilan Aristoteles
berdasar pada prinsip persamaan. Dalam versi modern teori itu dirumuskan
dengan ungkapan bahwa keadilan terlaksana bila hal-hal yang sama diperlukan
secara sama dan hal-hal yang tidak sama diperlakukan secara tidak sama.
Aristoteles membedakan keadilan menjadi keadilan distributif dan
keadilan komutatif. Keadilan distributif adalah keadilan yang menuntut bahwa
setiap orang mendapat apa yang menjadi haknya, jadi sifatnya proporsional. Di
sini yang dinilai adil adalah apabila setiap orang mendapatkan apa yang menjadi
haknya secara proporsional. Jadi keadilan distributif berkenaan dengan penentuan
hak dan pembagian hak yang adil dalam hubungan antara masyarakat dengan
negara, dalam arti apa yang seharusnya diberikan oleh negara kepada warganya.
Hak yang diberikan dapat berupa benda yang tak bisa dibagi (undivided
goods) yakni kemanfaatan bersama misalnya perlindungan, fasilitas publik baik
yang bersifat administratif maupun fisik dan berbagai hak lain, di mana warga
negara atau warga masyarakat dapat menikmati tanpa harus menggangu hak orang
lain dalam proses penikmatan tersebut. Selain itu juga benda yang habis dibagi
(divided goods) yaitu hak-hak atau benda-benda yang dapat ditentukan dan dapat
diberikan demi pemenuhan kebutuhan individu pada warga dan keluarganya,
sepanjang negara mampu untuk memberikan apa yang dibutuhkan para warganya
secara adil, atau dengan kata lain dimana terdapat keadilan distributif, maka
keadaan tersebut akan mendekati dengan apa yang disebut keadaan dimana
tercapainya keadilan sosial bagi masyarakat.
Sebaliknya keadilan komutatif menyangkut mengenai masalah penentuan
hak yang adil diantara beberapa manusia pribadi yang setara, baik diantara
manusia pribadi fisik maupun antara pribadi non fisik. Dalam hubungan ini maka

7
J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato, (Jakarta: Rajawali Press, 2019) hlm. 82.

7
suatu perserikatan atau perkumpulan lain sepanjang tidak dalam arti hubungan
antara lembaga tersebut dengan para anggotanya, akan tetapi hubungan antara
perserikatan dengan perserikatan atau hubungan antara perserikatan dengan
manusia fisik lainnya, maka penentuan hak yang adil dalam hubungan ini masuk
dalam pengertian keadilan komutatif.
Obyek dari hak pihak lain dalam keadilan komutatif adalah apa yang
menjadi hak milik seseorang dari awalnya dan harus kembali kepadanya dalam
proses keadilan komutatif. Obyek hak milik ini bermacam-macam mulai dari
kepentingan fisik dan moral, hubungan dan kualitas dari berbagai hal, baik yang
bersifat kekeluargaan maupun yang bersifat ekonomis, hasil kerja fisik dan
intelektual, sampai kepada hal-hal yang semula belum dipunyai atau dimiliki akan
tetapi kemudian diperoleh melalui cara-cara yang sah. Ini semua memberikan
kewajiban kepada pihak lain untuk menghormatinya dan pemberian sanksi berupa
ganti rugi bila hak tersebut dikurangi, dirusak atau dibuat tidak berfungsi
sebagaimana mestinya.
Di dalam konsep keadilan distributif muncul pertanyaan atau masalah
tentang kapan timbulnya hak tersebut dan bagaimana pembagian hak itu, apa
harus merata atau harus proporsional?. Berbeda dengan keadilan komutatif yang
timbul dari hak yang semula ada pada seseorang atau yang diperolehnya secara
sah dalam proses keadilan komutatif, maka dalam keadilan distributif dasarnya
atau perolehan hak tersebut semata-mata timbul dari keadaan di mana seseorang
itu menjadi anggota atau warga dari suatu negara. Tidak seharusnya mereka yang
bukan warga negara memperoleh kemanfaatan kecuali dalam hubungan yang
bersifat timbal balik terutama dalam hubungan internasional antar negara-negara
modern, sehingga seseorang asing dapat pula menikmati hak-hak atau fasilitas lain
dari suatu negara yang dikunjunginya.
Mengenai persamaan ini, berkembang suatu pengertian bahwa persamaan
bukan hanya menyangkut dengan seberapa jauh konstribusi warga negara
terhadap negara atau sifat dari kontribusi tersebut, akan tetapi juga telah
berkembang konsep persamaan dalam hal kemampuan, atau besar kecilnya
halangan yang dialami oleh warga negara dalam memberikan konstribusinya.

8
Orang-orang yang tidak mempunyai modal, tidak berpendidikan, cacat tubuh dan
sebagainya yang tetap menjadi warga negara harus mendapat jaminan dalam
keadilan distributif untuk memperoleh bagian, minimal dapat memberikan
kesejahteraan hidup baginya dan keluarganya. Hal ini merupakan bagian dari
prinsip hak asasi manusia yang telah memperoleh pengakuan internasional. Dalam
hal yang demikian tentu saja konsep persamaan itu diartikan dalam bentuk yang
proporsional, karena tidak mungkin diberikan hak-hak yang secara aritmatik sama
mengingat kontribusinya berbeda. Keadilan komutatif bertujuan untuk
memelihara ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum, sebab disini dituntut
adanya kesamaan dan yang dinilai adil ialah apabila setiap orang dinilai sama oleh
karena itu sifatnya mutlak.
Dari konstruksi konsep keadilan Aristoteles tersebut, dapat ditarik benang
merah bahwa keadilan distributif merupakan tugas dari pemerintah kepada
warganya untuk menentukan apa yang dapat dituntut oleh warga negara dalam
negaranya. Konstruksi keadilan yang demikian ini membebankan kewajiban bagi
pembentuk Undang-undang untuk memperhatikannya dalam merumuskan konsep
keadilan kedalam suatu Undang-undang.
Secara teoritis konsep keadilan Plato berdasar pada aliran filsafat
idealisme, sedangkan konsep keadilan Aristoteles bertolak dari aliran filsafat
realisme. Filsafat Plato mendasarkan diri pada alam ide yang bersifat mutlak dan
abadi. Landasan filsafatnya ialah percaya dan menerima sepenuhnya alam nyata
sebagai obyektifitas. Dalam pandangan filsafat ini alam nyata diterima
sepenuhnya sebagai suatu totalitas yang menjadi sumber dari segala apa yang
ada8. Alam nyata tersusun dan bertalian secara hirarkis serta membentuk suatu
totalitas yang di dalamnya makna dan ketertiban dapat dicapai manusia melalui
akal pikirannya. Akal merupakan alat untuk mengetahui dan pengetahuan tersebut
memberikan norma-norma mengenai baik buruk yang berguna untuk manusia,
seperti dikatakan oleh Plato keadilan ialah susunan ketertiban dari orang-orang
yang menguasai diri sendiri9. Sebaliknya Aristoteles menekankan filsafatnya pada

8
J.H. Rapar, Filsafat Politik Aristoteles, (Jakarta: Rajawali Press, 1993), hlm. 92.
9
Ibid, hlm. 102.

9
kesadaran, maksudnya dalam pandangan Aristoteles titik sentralnya adalah
kesadaran yang ada pada subyek yang berpikir.
Gagasan Plato tentang keadilan ditransformasikan oleh Agustinus menjadi
suatu konsepsi yang religius. Bagi Agustinus hakekat keadilan ialah adanya relasi
yang tepat dan benar antara manusia dengan Tuhan, oleh sebab itu keadilan adalah
suatu yang paling hakiki dalam bernegara dan keadilan itu hanya dapat terlaksana
dalam kerajaan Ilahi yang merupakan gudang dari keadilan. Tuhan adalah sumber
keadilan yang sesungguhnya, oleh sebab itu apabila seseorang memiliki hubungan
yang baik dan benar dengan Tuhan maka ia akan dipenuhi oleh kebenaran dan
keadilan.
Konsep keadilan yang bersifat religius dari Agustinus kemudian diperluas
oleh Thomas Aquinas. Jika dalam konsepsi Agustinus keadilan hanya diperoleh
dalam kerajaan Ilalhi yang perwujudannya di muka bumi dijalankan oleh Gereja,
maka Thomas Aquinas mengakui adanya persekutuan lain di samping gereja yang
bertugas memajukan keadilan yakni negara. Oleh karena itu Thomas Aquinas
membedakan keadilan kepada keadilan Ilahi dan keadilan manusiawi, namun
tidak boleh ada pertentangan antara kekuasaan gereja dan kekuasaan duniawi.
Dengan demikian konsep keadilan yang ditetapkan oleh ajaran agama,
sepenuhnya sesuai dengan suara akal manusia sebagaimana terdapat dalam hukum
alam. Jadi sahnya hukum selalu digantungkan pada kesesuaiannya dengan hukum
atau keadilan alamiah. Sedangkan definisi yang diberikan pada keadilan berbunyi
“justitia est contstans et perpetua voluntas jus suum cuique tribuendi” (keadilan
adalah kecenderungan yang tetap dan kekal untuk memberikan kepada setiap
orang apa yang menjadi haknya). Konsep justitia ini kemudian dianggap sebagai
sifat pembawaan atau sudah dengan sendirinya melekat pada setiap hukum.

Konsep Keadilan Menurut Pemikiran Modern


Konsep keadilan pada jaman modern diwarnai dengan berkembangnya
pemikiran-pemikiran tentang kebebasan, antara lain munculnya aliran liberalisme
yaitu suatu aliran yang tumbuh di dunia barat pada awal abab ke-XVII Masehi.
Aliran ini mendasarkan diri pada nilai-nilai dalam ajaran etika dari mazhab Stoa

10
khususnya individualisme, sanksi moral dan penggunaan akal. Dalam bidang
politik dianut konsepsi tentang pemerintahan demokrasi yang dapat menjamin
tercapainya kebebasan. Tradisi liberalisme sangat menekankan kemerdekaan
individu. Istilah liberalisme erat kaitannya dengan kebebasan, titik tolak pada
kebebasan merupakan garis utama dalam semua pemikiran liberal10.
Dalam konteks kebebasan tersebut, di dalam konsepsi liberalisme
terkandung cita toleransi dan kebebasan hati nurani. Bagi kaum liberalis keadilan
adalah ketertiban dari kebebasan atau bahkan realisasi dari kebebasan itu sendiri.
Teori keadilan kaum liberalis dibangun di atas dua keyakinan. Pertama, manusia
menurut sifat dasarnya adalah makhluk moral. Kedua, ada aturan-aturan yang
berdiri sendiri yang harus dipatuhi manusia untuk mewujudkan dirinya sebagai
pelaku moral. Berdasarkan hal ini keadilan dipahami sebagai suatu ketertiban
rasional yang di dalamnya hukum alamiah ditaati dan sifat dasar manusia
diwujudkan.
Berbeda dengan kaum liberal, penganut utilitarianisme menolak
digunakannya ide hukum alam dan suara akal dalam teori mereka. Konsep
keadilan pada aliran ini didasarkan pada asas kemanfaatan dan kepentingan
manusia. Keadilan mempunyai ciri sebagai suatu kebajikan yang sepenuhnya
ditentukan oleh kemanfaatannya, yaitu kemampuannya menghasilkan kesenangan
yang terbesar bagi orang banyak.
Teori ini dikritik oleh anti utilitarianisme yang dipelopori oleh Dworkin
dan Nozick. Menurut mereka utilitarianisme yang memperioritaskan
kesejahteraan mayoritas, menyebabkan minoritas atau individu-individu yang
prefensinya tidak diwakili oleh mayoritas di dalam suatu negara akan dihiraukan
dan sebagai akibatnya mereka dirugikan atau kehilangan hak-haknya 11. Bagi
penentang utilitrian, keadilan menolak argumen yang menyatakan bahwa
hilangnya kebebasan sebagian orang dapat dibenarkan atas asas manfaat yang
lebih besar yang dinikmati oleh orang-orang lain. Oleh karena itu dalam suatu
masyarakat yang adil, kebebasan warganegara yang sederajat tetap tidak berubah,
10
Lyman Tower Sargent, Ideologi-Ideologi Politik Kontemporer, (Jakarta: Erlangga, 2001), hlm.
63.
11
John Rawls dalam Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, Jakarta: Grafiti Press, 2004), hlm. 43.

11
hak-hak yang dijamin oleh keadilan tidak tunduk pada tawar-menawar politik
ataupun pada pertimbangan kepentingan sosial12.
Kritik Nozick terhadap utilitarianisme adalah bahwa utilitarianisme
mengorbankan kebebasan individu untuk kepentingan mayoritas, utilitarianesme
tidak mempertimbangkan fakta bahwa kehidupan seorang individu adalah satu-
satunya kehidupan yang ia miliki. Kritik ini didasarkan pada pandangan politik
yang dianut Nozick yang menuntut suatu komitmen ontologis terhadap moralitas
dan organisasi sosial tertentu yang disebutnya dengan negara minimalis.
Menurutnya negara minimalis ini bukan hanya berdasarkan pada ajaran-ajaran
moral tertentu, akan tetapi negara itu juga merupakan ajaran moral. Oleh karena
itu apabila memiliki negara yang fungsinya lebih luas dan tidak terbatas hanya
sebagai penjaga malam, serta mengutamakan kepentingan mayoritas, berarti
mencabut terlalu banyak kebebasan warga negara, hal itu bertentangan dengan
moral dan keadilan.
Menurut Hampstead13 serangan Nozick terutama ditujukan kepada rumus
bahwa negara diperlukan atau merupakan alat terbaik untuk melakukan keadilan
distributif. Terhadap ini Nozick mengatakan bahwa bila tiap orang memegang
atau mempertahankan haknya yang diperoleh dengan sah, maka secara total
distribusi dari hak-hak itu juga adil. Dalam keadaan yang demikian sudah barang
tentu tidak ada tempat bagi negara melakukan campur tangan, apalagi memberi
rumusan-rumusan atau prinsip-prinsip yang harus dianut dalam distribusi hak
diantara warga negara. Negara cukup berfungsi sebagai penjaga malam, penjaga
terhadap usaha pencurian dan menjaga hal-hal lain yang berhubungan dengan
tindakan untuk mempertahankan hak-hak warga negara.
Kelemahan teori Nozick yang kental dengan warna indivudualistik dan
liberal ini terletak dalam penerapannya, yaitu sangat sulit untuk melakukan
kontrol baik dalam mengontrol negara minimilis maupun dalam kegiatan
masyarakat. Artinya bagaimana mengontrol para individu yang sekian banyak
dalam suatu negara dan bagaimana mengontrol kegiatan para individu di dalam
12
Ibid, hal. 48.
13
Lord Lloyd of Hampstead & MDA Preeman, Introduction to Jurisprudence, (London: English
Language Book Society, Steven, 1985), hlm. 421.

12
berbagai lapangan usaha. Ini semua tidak bisa diserahkan kepada kekuatan pasar
dan kehendak para individu semata-mata. Teori Nozick tersebut juga kurang
realistis karena memisahkan individu dari kondisi masyarakat masa kini dengan
kondisi kapitalisme dan liberalisme yang sudah sangat berubah.
Dalam konteks pemikiran modern tentangkeadilan dalam kamus Bahasa
Indonesia istilah keadilan berasal darik kata adil, artinya tidak memihak,
sepatutnya, tidak sewenang-wenang. Jadi keadilan diartikan sebagai sikap atau
perbuatan yang adil. Di dalam literatur Inggris istilah keadilan disebut dengan
“justice” kata dasarnya “jus”. Perkataan “jus” berarti hukum atau hak. Dengan
demikian salah satu pengertian dari “justice” adalah hukum.
Dari makna keadilan sebagai hukum, kemudian berkembang arti dari kata
“justice” sebagai “lawfullness” yaitu keabsahan menurut hukum. Pengertian lain
yang melekat pada keadilan dalam makna yang lebih luas adalah “fairness” yang
sepadan dengan kelayakan. Ciri adil dalam arti layak atau pantas, dapat dilihat
dari istilah-istilah yang digunakan dalam ilmu hukum. Misalnya “priciple of fair
play” yang merupakan salah satu asas-asas umum pemerintahan yang baik, “fair
wage” diartikan sebagai upah yang layak yang sering ditemui dalam istilah hukum
ketenagakerjaan. Hal yang sama dikemukakan dalam konsep keadilan Aristoteles
yang disebutnya dengan “fairness in human action”, Keadilan adalah kelayakan
dalam tindakan manusia.
Bertolak dari peristilahan di atas, di dalam literatur ilmu hukum konsep
keadilan mempunyai banyak pengertian sesuai dengan teori-teori dan pengertian
tentang keadilan yang dikemukakan para ahli. Telaah pustaka menunjukkan
bahwa masalah keadilan sejak dahulu telah menjadi bahan kajian baik dikalangan
ahli filsafat maupun dikalangan agamawan, politikus maupun para pemikir atau
ahli hukum sendiri. Akan tetapi sampai saat ini apabila timbul pertanyaan tetang
keadilan, misalnya apa itu keadilan? Ukuran apa yang digunakan untuk
menentukan sesuatu itu adil atau tidak? Akan timbul berbagai jawaban dan
jawaban itu biasanya tidak pernah atau jarang memuaskan sehingga terus menjadi
perdebatan, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berbagai rumusan
mengenai keadialn merupakan rumusan yang relatif. Persoalan ini pada akhirnya

13
mendorong banyak kalangan untuk mengambil jalan pintas dengan menyerahkan
perumusan keadilan kepada pembentuk undang-undang yang akan
merumuskannya berdasarkan pertimbangan mereka sendiri.
Dari sekian banyak pengertian dan teori-teori yang dikemukakan para ahli,
pada umumnya menyangkut mengenai hak dan kebebasan, peluang dan kekuasaan
pendapat dan kemakmuran. Berbagai definisi keadilan yang menunjuk pada hal di
atas antara lain dapat dilihat dari pengertian keadilan sebagai:14
1. “the constant and perpetual disposition to render every man his due”;
2. “the end of civil society;
3. “the right to obtain a hearing and decision by a court which is free of
prejudice and improper influence”;
4. “all recognized equitable rights as well as technical legal right”;
5. “the dictate of right according to the consent of mankind generally”;
6. “conformity with the principle of integrity, rectitude and just dealing”;
Pengertian yang sama dikemukakan oleh Rudolph Heimanson yang
mendefinisikan keadilan sebagai: redressing a wrong, finding a balance between
legitimate but conflicting interest”15.
Definisi ini menggambarkan bahwa nilai keadilan melekat pada tujuan
hukum. Ide keadilan dicerminkan oleh keputusan yang menentang dilakukannya
hukuman yang kejam, melarang penghukuman untuk kedua kalinya terhadap
kesalahan yang sama. Menolak diterapkannya peraturan hukum yang menjatuhkan
pidana terhadap tindakan yang dilakukan sebelum ada peraturan yang
mengaturnya, menolak pembentukan undang-undang yang menghapus hak-hak
dan harta benda seseorang. Teori lain yang menyatakan bahwa keadilan melekat
pada tujuan hukum dikemukakan oleh Tourtoulon 16 yang dengan tegas
menyatakan “lex injusta non est lex” yaitu hukum yang tidak adil bukanlah

14
The Encyclopedia Americana, Volume 16 (New York: Americana Corporation, New York, 1972),
hlm. 263.
15
Rudolf Heimanson, Dictionary of Political Science and Law, (Massachuttess: Dobbs Fery
Oceana Publication, 1967), hlm. 96.
16
Radbruch & Dabin, The Legal Philosophi, (New YorkHarvard University Press, New York, 1950
hal. 432. Periksa juga Paul Siegart, The Lawfull Right of Mankind an Introduction to the
International Legal Code of Human Right, Oxfort University Press, New York, 1986 hal. 22.

14
hukum. sebaliknya ide keadilan itu menuntut pemberian kepada setiap orang hak
perlindungan dan pembelaan diri.
Pada dasarnya makna dari suatu pengertian atau definisi keadilan berupaya
memberi pemahaman untuk mengenal apa itu keadilan. Dari definisi tersebut akan
diketahui ciri-ciri suatu gejala yang memberi identitas atau tanda tentang keadilan.
Akan tetapi tugas untuk menjelaskan apa itu keadilan? Sifat dasar dan asal mula
keadilan, atau mengapa suatu gejala tertentu disebut keadilan bukan merupakan
tugas definisi keadilan, melainkan hanya dapat diterangkan dengan bantuan teori
keadilan.

Prinsip Keadilan Sebagai Ide Hukum

Dalam berbagai literatur hukum banyak teori-teori yang berbicara


mengenai keadilan. Salah satu diantara teori keadilan itu adalah teori etis,
menurut teori ini hukum semata-mata bertujuan keadilan. Isi hukum ditentukan
oleh keyakinan yang etis tentang yang adil dan tidak adil17. Hukum menurut teori
ini bertujuan untuk merealisir atau mewujudkan keadilan. Pemikiran filsafat
tentang keadilan ini, terutama yang dipandang dari sudut filsafat hukum, sesuai
dengan sudut pandang teori tentang tiga lapisan ilmu hukum yang meliputi
dogmatik hukum, teori hukum dan filsafat hukum, sangat bermanfaat juga pada
akhirnya bagi praktek hukum. Melalui pemikiran yang mendasar tentang apa
yang menjadi hak yang telah menjadi buah pemikiran, dari beberapa ahli filsafat
mulai dari Aristoteles sampai pada ahli filsafat masa kini, dapat disediakan
referensi bagi pengambil keputusan untuk mengarahkan dan menjalankan fungsi
pengaturan dalam praktek hukum.
Masalah keadilan telah lama menjadi bahan kajian dan bahan pemikiran
oleh para ahli filsafat, para politikus dan rohaniawan, namun demikian apabila
orang bertanya tentang keadilan atau bertanya tentang apa itu keadilan, akan
muncul berbagai jawaban dan jawaban ini jarang memuaskan hati orang yang
terlibat maupun para pemikir yang tidak terlibat. Bebagai jawaban mungkin akan

17
van Apeldoorn , Inleiding tot de Studie van het Nederlandse Recht, (Zwolle: W.E.J. Tjeenk
Willink, 1995), hlm. 10.

15
muncul yang menunjukkan bahwa sukar sekali diperoleh jawaban umum, apabila
dikemukakan jawaban atau batasan tentang keadilan oleh suatu masyarakat maka
akan terdapat semacam jawaban yang sangat beragam, sehingga dapat dikatakan
bahwa berbagai rumusan tentang keadilan merupakan rumusan yang bersifat
relatif. Kesulitan tersebut mendorong orang terutama kaum positivis untuk
mengambil jalan pintas dengan menyerahkan perumusan keadilan pada
pembentuk undang-undang yang akan merumuskannya pada pertimbangan
sendiri.
Pemikiran keadilan dalam hubungannya dengan hukum sejak lama sudah
dikemukakan oleh Aristoteles dan Thomas Aquinus dengan mengatakan sebagai
berikut18: Justice forms the substance of the law, but his heterogeneous
substance is composed of three elements: an individual element: the suum
cuiquire tribuere (individual justice): a social element: the changing fundation
of prejudgments upon which civilization reposes at any given moment (social
justice), and a political element, which is based upon the reason of the strongest,
represented in the particular case by the state (justice of the state). Hal ini
menunjukkan ada pengaruh timbal balik antara hukum dan keadilan, yaitu bahwa
hukum diciptakan berdasarkan nilai-nilai atau kaidah-kaidah moral yang adil,
yang sudah ada terlebih dahulu dan yang telah hidup dalam masyarakat, jadi
tugas pembentuk undang-undang hanya merumuskan apa yang sudah ada.
Sedangkan dilain pihak terdapat kemungkinan bahwa perumusan hukum itu
sendiri hanya bersifat memberikan interpretasi, atau memberikan norma baru
termasuk norma keadilan. Tentang apa yang dimaksud dengan keadilan meliputi
dua hal, yaitu yang menyangkut hakekat keadilan dan yang menyangkut dengan
isi atau norma, untuk berbuat secara konkrit dalam keadaan tertentu.
Hakekat keadilan yang dimaksud di sini adalah penilaian terhadap suatu
perlakuan atau tindakan dengan mengkajinya dari suatu norma. Jadi dalam hal
ini ada dua pihak yang terlibat, yaitu pihak yang membuat adanya perlakuan atau
tindakan dan pihak lain yang dikenai tindakan itu, dalam pembahasan ini, pihak-

18
Radbruch & Dabin, The Legal Philosophi, (New York: Harvard University
Press, 1950), hlm. 432.

16
pihak yang dimaksud adalah pihak penguasa atau pemerintah, sebagai pihak
yang mengatur kehidupan masyarakat melalui instrumen hukum, dan pihak
masyarakat sebagai pihak yang tata cara bertindaknya dalam negara diatur oleh
ketentuan hukum.
Prinsip keadilan dalam pembentukan hukum dan praktek hukum,
memperoleh kedudukan dalam dokumen-dokumen resmi tentang hak asasi
manusia. Bahkan jauh sebelum dokumen-dokumen hak asasi itu dikeluarkan,
prinsip keadilan telah dijadikan sebagai landasan moral untuk menata kehidupan
masyarakat. Filsuf hukum alam seperti Agustinus mengajarkan bahwa hukum
abadi yang terletak dalam budi Tuhan ditemukan juga dalam jiwa manusia.
Partisipasi hukum abadi itu tampak dalam rasa keadilan, yaitu suatu sikap jiwa
untuk memberi kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Prinsip tersebut
mengindikasikan, inti tuntutan keadilan adalah bahwa untuk tujuan apapun, hak
asasi seseorang tidak boleh dilanggar, hak asasi manusia harus dihormati, hak ini
melekat pada manusia bukan karena diberikan oleh negara, melainkan karena
martabatnya sebagai manusia. Hal ini berarti jika seseorang mempunyai hak atas
sesuatu, orang lain juga mempunyai hak yang sama.
Pemahaman terhadap hal tersebut di atas, menunjukkan bahwa dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara, apa yang menjadi kepentingan
bersama, akan mudah dicapai apabila masyarakat ditata menurut cita-cita
keadilan. Keadilan menuntut agar semua orang diperlakukan sama, jadi keadilan
merupakan suatu nilai yang mewujudkan keseimbangan antara bagian-bagian
dalam masyarakat, antara tujuan pribadi dan tujuan bersama. Hal ini
menunjukkan bahwa salah satu wujud cita-cita hukum yang bersifat universal
adalah tuntutan keadilan. Soal bagaimana menentukan apakah hukum itu adil
atau tidak? Tidak tergantung atau tidak diukur dari kriteria obyektif keadilan,
melainkan diukur dari apa yang oleh masyarakat dianggap adil. Untuk
memahami hukum yang mencerminkan rasa keadilan masyarakat, terlebih
dahulu harus dipahami makna hukum yang sesungguhnya. Menurut pandangan
yang dianut dalam literatur ilmu hukum, makna hukum itu ialah mewujudkan
keadilan dalam kehidupan manusia. Makna ini akan tercapai dengan

17
dimasukkannya prinsip-prinsip keadilan dalam peraturan hidup bersama tersebut.
Hukum yang dimaksud di sini adalah hukum positif yang merupakan realisasi
dari prinsip-prinsip keadilan.
Bertolak dari pemikiran yang demikian, pengaturan hak dan kebebasan
masyarakat dengan menggunakan kriteria keadilan, menunjukkan bahwa di
dalam diri manusia, ada perasaan keadilan yang membawa orang pada suatu
penilaian terhadap faktor-foktor yang berperan dalam pembentukan hukum.
Keinsyafan akan perasaan keadilan ini bukan hanya dimiliki oleh warga negara
tapi juga oleh penguasa. Oleh karena itu, dengan dibangun di atas prinsip-prinsip
keadilan, maka keadilan itu dapat disebut sebagai prinsip hukum atau ide hukum.
Hal ini sesuai dengan ajaran Immanuel Kant yang mengatakan bahwa keadilan
itu bertitik tolak dari martabat manusia. Dengan demikian pembentukan hukum
harus mencerminkan rasa keadilan dan bertujuan untuk melindungi martabat
manusia. Keadilan merupakan prisip normatif fundamental bagi negara19. Atas
dasar hal tersebut, kriteria prinsip keadilan, merupakan hal yang mendasar dan
bersifat fundamental, sebab semua negara di dunia ini selalu berusaha
menerapkan prisip-prinsip keadilan dalam pembentukan hukumnya. Prinsip
keadilan mendapat tempat yang istimewa dalam seluruh sejarah filsafat hukum.
Dalam konsep negara-negara modern penekanan terhadap prinsip keadilan
diberikan dengan menyatakan bahwa tujuan hukum yang sebenarnya adalah
untuk menciptakan keadilan dalam masyarakat.
Beberapa teori tentang keadilan seperti yang dikemukakan oleh Stammler,
Radbruch dan Kelsen menitikberatkan keadilan sebagai tujuan hukum. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa hukum yang mewujudkan keadilan itu
mutlak diperlukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tanpa adanya
hukum hidup manusia menjadi tidak teratur dan manusia kehilangan
kemungkinan untuk berkembang secara manusiawi.
Teori lain yang berbicara tentang keadilan adalah teori yang dikemukakan
oleh John Rawls20. Dalam teorinya dikemukakan bahwa ada tiga hal yang
19
Franz Magniz Suseno, Etika Politik, (cetakan ke-tiga) (Jakarta: Gramedia, 2003), hlm. 334.
20
John Rawls, Teori Keadilan Dasar-dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan
Sosial Dalam Negara, (judul asli A Theory of Justice), Terjemahan Uzair Fauzan dan Heru

18
merupakan solusi bagi problema keadilan. Pertama prinsip kebebasan yang sama
bagi setiap orang (principle of greatest equal liberty), tentang hal ini dirumuskan
oleh John Rawls sebagai berikut: Each person is to have an equal right to the
most extensive basic liberty compatible with a semilar liberty of thers. Rumusan
ini mengacu pada rumusan Aristoteles tentang kesamaan, oleh karenanya juga
kesamaan dalam memperoleh hak dan penggunaannya berdasarkan hukum alam.
Rumusan ini inhern dengan pengertian equal yakni sama atau sederajat diantara
sesama manusia. Usaha memperbandingkan ini juga secara tidak langsung
merupakan pengakuan atau konfirmasi bahwa manusia selalu hidup bersama
yang menurut Aristoteles disebut sebagai makhluk sosial, sehingga penentuan
hak atau keadilan yang diterapkan adalah keadilan yang memperhatikan
lingkungan sosial atau dengan kata lain harus merupakan keadilan sosial.
Prinsip ini mencakup kebebasan berperanserta dalam kehidupan politik,
kebebasan berserikat dan berbicara termasuk kebebasan pers dan kebebasan
beragama. Kedua prinsip perbedaan (the difference principle), yang
dirumuskannya sebagai berikut: Social and economic inequalities are to be
arranged so that they are bot (a) reasonably expected to be to everyone’s
advantage, and (b) attached to positions and office open to all 21. Rumusan ini
merupakan modifikasi atau imbangan terhadap rumusan pertama yang
menghendaki persamaan terhadap semua orang, modifikasi ini berlaku apabila
memberi manfaat kepada setiap orang. Selain itu rumusan ini juga nampak
ditujukan untuk masyarakat modern yang sudah memiliki tatanan yang lengkap,
meskipun maksudnya adalah untuk memberi pemerataan dalam kesempatan
kerja atau memberi peranan yang sama dan merata, akan tetapi bagaimana pun
juga sudah terlihat perhatiannya yang sungguh-sungguh, untuk tidak melupakan
dan meninggalkan orang lain yang sulit untuk memperoleh kedudukan dan
kesempatan dalam kegiatan ekonomi. Jadi perbedaan sosial ekonomi, harus
diatur agar memberi manfaat bagi warga yang kurang beruntung. Ketiga prinsip
persamaan yang adil untuk memperoleh kesempatan bagi setiap orang (the

Prasetyo, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 502.


21
Ibid, hlm. 303.

19
principle of fair equality of opportunity), yaitu ketidaksamaan ekonomi harus
diatur sedemikian rupa agar memberi kesempatan bagi setiap orang untuk
menikmatiknya.
Prisip persamaan ini lebih lanjut dikemukakan oleh W. Friedmann 22
sebagai berikut: “ In a formal and general sense equality, is a postulate of
justice. Aristoteles “distributive justive” demands the equal treatment of those
equal before the law. This like any general formula of justice is however,
applicable to any form of government or society; for it leaves it to a particular
legal order to determine who are equal berfore the law… Equality in rights, as
postulated by the extention of individual rights, ini principle, to all citizens
distinct from a priveleged minoritiy” . Pada pokoknya pandangan yang
dikemukakan Friedman tersebut mengandung dua pengertian.
Pertama, persamaan dipandang sebagai unsur keadilan, di dalamnya
terkandung nilai-nilai universal dan keadilan tersebut pada satu sisi dapat
diartikan sama dengan hukum, hal ini dapat dilihat dari istilah “justice” yang
berarti hukum, akan tetapi pada sisi lain, keadilan juga merupakan tujuan hukum.
Dalam mencapai tujuan tersebut, keadilan dipandang sebagai sikap tidak
memihak (impartiality). Sikap inilah yang mengandung gagasan mengenai
persamaan (equality) yaitu persamaan perlakukan yang adil terhadap semua
orang.
Kedua, persamaan merupakan hak, persamaan sebagai hak dapat dilihat
dari ketentuan The Universal Declaration Human Rights 1948, maupun dalam
International Covenant on Economic, Socialo and Cultural Rights 1966 dan
International Covenant on Civil and Political Rights 1966. Di dalam ketiga
dokumen hak asasi manusia tersebut, dimuat ketentuan yang diawali dengan
kata-kata: setiap orang … dst. Demikian pula halnya di dalam Pasal 27 UUD
1945. Pasal ini pada dasarnya menempatkan persamaan dan kebebasan yang
meliputi kepentingan dan tujuan dari hak itu ditetapkan dalam suatu hubungan.
Mengenai hubungan persamaan dengan kebebasan ini, Friedmann pada

22
W. Friedmann, ,The State and The Rule of Law in Mix Economy, (London: Steven & Son, 1971),
hlm. 385.

20
pokoknya memandang bahwa kebebasan merupakan suatu alat yang membuka
jalan seluas-luasnya bagi pengembangan personalitas, sedang persamaan
dimaksudkan untuk memberi kesempatan yang sama terhadap setiap orang
dalam mengembangkan personalitasnya.
Dalam kaitannya dengan pengaturan hak asasi dan kebebasan warga,
teori ini merupakan teori yang cukup relevan untuk diterapkan, oleh karena itu,
pembentukan hukum melaui undang-undang yang bersifat membatasi kebebasan
warga perlu mempertimbangkan teori ini, agar pengaturan melalui undang-
undang tersebut mencerminkan rasa keadilan bagi warga.
Bagi bangsa Indonesia, kaitan teori itu dengan keadilan sosial yang
berdasarkan Pancasila adalah bahwa konsepsi dan persepsi keadilan itu harus
sesuai dengan perasaan suatu bangsa. Sejalan dengan itu apabila kita berbicara
tentang hukum, berarti kita juga berbicara tentang keadilan. Hukum adalah suatu
yang mengikat dan bila ikatan itu dikaitkan dengan manusia maka ikatan itu
harus mencerminkan rasa keadilan. Keadilan sebagai konsepsi adalah keadilan
dalam dunia “Sollen”, namun demikian dunia Sollen dari keadilan itu patut
dirumuskan dalam rangka usaha untuk menterjemahkan dunia ide itu menjadi
dunia “Sein” atau kenyataan. Oleh karena itu pengaturan hak dan kebebasan
warga harus dibangun di atas prinsip-prinsip keadilan yang berdasarkan
Pancasila. Untuk itu hukum yang dikehendaki adalah hukum yang sifatnya
memberi perlindungan terhadap warga masyarakat, termasuk perlindungan
terhadap hak warga untuk berserikat dan berkumpul. Perlindungan dalam hal ini,
berarti bahwa rasa keadilan yang ada pada nurani warga harus terpenuhi.
Menggarisbawahi prinsip Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas
hukum, UUD 1945 sebagai hukum dasar menempatkan hukum pada posisi yang
menentukan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Dalam kaitan itu, konsep
kenegaraan Indonesia antara lain menentukan bahwa pemerintah menganut
paham konstitusional, yaitu suatu pemerintahan yang dibatasi oleh ketentuan
yang temuat dalam konstitusi. Pada negara yang bersistem konstitusi atau
berdasarkan hukum dasar, terdapat hirarki perundangan, dimana UUD berada di

21
puncak piramida sedangkan ketentuan yang lain berada di bawah konstitusi.
Konstitusi yang demikian ini dikenal dengan “stufenbau theory” Hans Kelsen.
Hans Kelsen mengemukakan tentang tertib hukum ini dalam proses
pembentukan hukum yang bersifat hirarkis dan dinamis. Tertib hukum itu
menurut Hans Kelsen23 disebut sebagai : The legal order is a system of norm.
The question then arises: what is it that makes a system out of multitudes of
norm? This question in close connection with the question as to the reason of
validity of a norm. Dia memandang tertib hukum itu sebagai suatu “stufenbau”
dari beberapa tangga pembentukan hukum. Adanya pembentukan hukum oleh
tingkat yang lebih rendah, yaitu pembentukan hukum yang kepadanya telah
didelegasikan wewenang untuk itu, menurut pandangan Kelsen bergantung pada
adanya suatu pembentukan hukum yang lebih tinggi, yaitu pembentukan hukum
oleh yang mendelegasikan. Pada akhirnya mengenai berlakunya keseluruhan
tertib hukum itu dapat dikembalikan pada suatu yang berakar dalam suatu
“grundnorm”. Tentang hal ini Kelsen menyebutkan: A norm the validity of which
cannot be derived from a superior norm we call a “basic” norm. all norms
whose validity may be traced to one and the same basic norm a system of norms,
or an order24. Melalui “grundnorm” ini terjadi kesatuan di dalam proses
pembentukan hukum yang dinamis dan di dalam tertib hukum yang memang
ditimbulkan oleh “grundnorm” itu. Hal ini berarti bahwa “grundnorm”
merupakan suatu norma yang tidak dapat dideduksikan lagi dari sumber lainnya.
Artinya, “grundnorm” merupakan norma dasar yang keberadaan dan
keabsahannya bukan merupakan bagian dari hukum positif, tetapi merupakan
sumber dari hukum positif. Di sini terlihat bahwa pandangan Kelsen tentang
“grundnorm” bukan merupakan sesuatu yang berbentuk tertulis akan tetapi
merupakan: One may describe the Grundnorm as a constitution in the
transcendental-logical sense, as distinct from the constitution in the positive
legal sense. The latter is the contitution posited by human acts of will, the

23
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Harvard University Press, 1991),
hlm. 110.
24
Ibid, hlm. 112.

22
vailidity of which is based on the assumed (vorausgesertzte) basic norm25. Lebih
jelas lagi jika diperhatikan bahwa apa yang disebutnya sebagai berikut: The
basic norm is not created in a legal procedure by a law creating organ… by a
legal cat … it is valid becouse it is presupposed to be valid: and it is
presupposed to valid becouse without this presupposition no human act could be
interpreted as a legal, especially as a norm creating, act26.
Indonesia juga mengenal tata urutan perundang-undangan menurut
Stufenbau theory Hans Kelsen. Hal ini dapat dilihat dalam Tap MPRS No.
XX/MPRS/1966 Tentang memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib
Hukum RI dan Tata Urutan Perundang-undangan. Tap ini kemudian dicabut
dengan Tap MPR No. III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan
Peraturan perundang-undangan. Ketetapan MPR No.III/2000 ini, terdapat
perbedaan dengan Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang sumber hukum dan
tata urutannya. Jika pada Tap MPRS No. XX/1966 sumber tertib hukum itu
dimana Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum yang
perwujudanya terdiri dari: Proklamasi 17 Agustus 1945, Dekrit Presiden 5 Juli
1959, UUD 1945 (Proklamasi) dan Supersemar 1966, maka di dalam Tap MPR
No. III/MPR/2000 sumber hukum terdiri dari Pancasila dan UUD 1945. Begitu
pula dengan tata urutan perundang-undangan terjadi perubahan, pada Tap MPRS
No. XX/MPRS/1966 posisi Undang-undang terjadi perubahan, pada Tap MPRS
No. XX/MPRS/1966 posisi Undang-undang sederajat dengan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu), sedangkan Tap MPR No.
III/MPR/2000 Perpu berada di bawah Undang-undang, dan peraturan daerah
merupakan salah satu urutan perundang-undangan yang semula pada Tap MPRS
No.XX/MPRS/1966 hanya merupakan peraturan pelaksana. Selanjutnya
mengenai tata urutan dan pembentukan peraturan perundang-undangan dimuat
dalam UU No. 10 Tahun 2004 dan kemudian diganti dengan UU No. 12 Tahun
2011, ari beberapa ketentuan tersebut ada satu persamaan yaitu bahwa semua

25
David Kayris, The Politics of Law, A Progressive Critique, (New York: Pintheon Books ,2002),
hlm. 221.
26
Hans Kelsens, Op.Cit., hlm. 114.

23
peraturan hukum yang berlaku tidak boleh bertentangan dengan ketentuan
hukum yang lebih tinggi sesuai dengan tata urutan perundang-undangan.
Mengikuti pemikiran Hans Kelsen timbul pertanyaan tentang apa yang
menjadi Grundnorm dari peraturan atau hukum Indonesia? Dalam banyak
literatur, jelas dikemukakan bahwa Pancasila adalah Grundnorm atau norma
dasar, yang merupakan sumber dari segala sumber hukum yang berlaku dan yang
akan diberlakukan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari pandangan yang
mengatakan bahwa Pancasila berkedudukan sebagai landasan unsur konstitutif
dan regulatif, sebagai Grundnorm sumbernya dari segala sumber hukum dan
landasan filosofis dari bangunan hukum nasional, dan pelbagai manifestasi
budaya Indonesia yang memancarkan dan menghadirkan “Geislichen
Hintergrund” yang khas27. Dengan demikian hukum tidak terlepas dari nilai yang
berlaku di masyarakat, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan
pencerminan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Hukum yang baik
adalah hukum yang sesuai dengan yang hidup dalam masyarakat. Ini berarti
bahwa hukum positif Indonesia bersumber pada nilai, yaitu nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila yang merupakan asas kerohanian negara Indonesia.
Jika konsep Grundnorm menurut teori hukum murni Hans Kelsen, dihubungkan
dengan Pancasila sebagai norma dasar dalam pembentukan hukum Indonesia.
Sangat sulit untuk menempatkan atau bahkan tidak mungkin memposisikan teori
hukum murni tersebut untuk menafsirkan Pancasila sebagai Grundnorm.
Alasannya, dilihat dari sudut pandang teori hukum, apa yang dikemukakan oleh
Hans Kelsen dengan teori hukum murni, secara tegas memisahkan hukum
dengan moral. Hal ini dapat dilihat dari teori Kelsen yang mengtakan; suatu
analisis tentang struktur hukum positif yang dilakukan seeksak mungkin, suatu
analisis yang bebas dari semua pendapat etik atau politik mengenai nilai 28.
Pancasila sebagai pandangan hidup, sebagai sumber dari segala sumber hukum
atau sebagai asas kerohanian sarat dengan nilai moral. Oleh karena itu teori
hukum murni tidak mungkin menjelaskan Pancasila sebagai Grundnorm.
27
Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1999), hlm. 214.
28
C.K. Allen, Law in the Making, (New York: Harvard University Press, 1994), hlm. 52.

24
Grundnorm merupakan sistem nilai, dalam esensinya sistem nilai itu dapat
dibedakan menjadi nilai dasar dan nilai tujuan. Sebagai nilai dasar berarti
merupakan sumber nilai bagi pembuat kebijakan dan juga sebagai pembatas
dalam implementasinya, sebagai landasan dan acuan untuk mencapai atau
memperjuangkan sesuatu. Sedang sebagai nilai tujuan berarti merupakan sesuatu
yang harus dan layak untuk diperjuangkan. Sistem ini mempunyai peranan
penting dalam hubungannya dengan pembentukan hukum, sistem nilai ini
diejawantahkan ke dalam berbagai asas hukum dan kaidah hukum yang secara
keseluruhan mewujudkan sebagai sistem hukum.
Pada sisi lain Pancasila sebagai pedoman hidup bangsa, di dalamnya
terkandung sistem nilai yang kemudian berkelanjutan menjadi norma-norma
kehidupan. Nilai diartikan oleh Mc Cracken29 sebagai: “volue is that aspect of a
fact or experience in virture of which it is seen to contain in its nature or essence
the sufficient reason for its existence as such a deteminate fact or experience, or
the sufficient reason form its being regarded as an end for practice or
contemplation”. Senada dengan itu, Notonagoro30 mengatakan : … Pancasila
bukan hanya satu konsepsi politis, akan tetapi buah hasil perenungan jiwa yang
dalam, buah hasil penyelidikan cipta yang teratur dan seksama di atas basis
pengetahuan dan pengalaman yang luas. Dengan demikian Pancasila dalam
keseluruhan artinya adalah nilai-nilai kejiwaan bangsa, hasrat keinginan yang
mendalam dari bangsa, ikatan antara jiwa bangsa dan kenyataan hidup.
Dalam kaitan ini Flew31 menyatakan; …. About what things in the world
are good, desirable, and important. Jadi nilai merupakan sesuatu yang berkaitan
dengan yang dipandang baik, diperlukan dan penting bagi kehidupan. Dari
rumusan tersebut dapat diketahui bahwa nilai memiliki karakteristik baik,
bersahaja dan penting. Karakteristik lain tentang nilai dikemukakan oleh The Lie
Anggie32 sebagai berikut:
29
Mc Cracken, Thinking and Voluing; An Introduction Portly Histrorical, to the Study of the
Philosophy of Value, (London: Mac Millan, London, 1990), hlm. 25.
30
Notonagoro dalam Roeslah Saleh, Penjabaran Pancasila keDalam UUD 1945 Dalam
Perundang-undangan, (Jakarta: Aksara Baru, 1999), hlm. 31.
31
Antony Flew, A Dicionary of Philosophy, (London: Pan Books, London, 2000), hlm. 465
32
The Lie Anggie, Op.Cit, hlm. 127.

25
a. Dari perkataan nilai dapat dilihat dari sudut kata kerja (menilai) atau dilihat
dari sudut kata sifat (bernilai), atau dilihat dari sudut kata benda (suatu nilai),
dan sebagainya.
b. Nilai adalah merupakan dasar suatu perbuatan atau pilihan.
c. Nilai itu sendiri sering dikatakan merupakan suatu pilihan
d. Pada situasi tertentu setiap orang dapat berselisih dalam mempertimbangkan
suatu nilai.
e. Nilai dapat dibedakan ke dalam dua macam, yaitu nilai intrinsik dan nilai
instrumental.
f. Nilai berkaitan dengan hal yang positif dan yang negatif, yaitu berkaitan
dengan kebaikan dan kejahatan.
g. Penilaian kapan saja berkaitan dengan kehidupan.
Sedang Koesneo33 mengemukakan bahwa di dalam hidup manusia, nilai-nilai
banyak ragam dan macamnya, ada nilai kebenaran, nilai kesusilaan, nilai
keindahan dan ada nilai hukum. Sistem nilai ini secara teoritis dan konsepsional
disusun sedemikian rupa, sehingga nilai-nilai dan norma-norma yang
terkandung di dalamnya merupakan suatu jalinan pemikiran yang logis. Hal ini
berarti bahwa nilai-nilai yang berkaitan dengan keadilan sosial akan menempati
kedudukan yang penting di dalam hukum. Untuk itu dalam pengaturan hak dan
kebebasan warga negara nilai-nilai keadilan harus mendapat perhatian.
Berdasarkan hal yang demikian ini, terlihat dengan jelas bahwa Pancasila
mengharuskan tertib hukum Indonesia sesuai dengan norma-norma moral,
kesusilaan, etika dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa Pancasila selain
mengandung nilai moral juga mengandung nilai politik.
Menururt Moh. Hatta sebagaimana dikutip Ruslan Saleh34 Pancasila
terdiri atas dua fundamen yaitu fundamen politik dan fundamen moral. Dengan
meletakkan fundamen moral di atas, negara dan pemerintahannya memperoleh
dasar yang kokoh, yang memerintahkan berbuat benar, melaksanakan keadilan,

33
Moch. Koesneo, Pengantar Ke Arah Filsafat Hukum. (Surabaya: Ubhara
Press,Surabaya, 1997), hlm. 71.
34
Ruslan Saleh, Penjabaran Pancasila ke Dalam UUD 1945 Dalam Perundang-undangan,
(Jakarta: Aksara Baru, 1979), hlm. 45.

26
kebaikan dan kejujuran serta persaudaraan keluar dan ke dalam. Dengan
fundamen politik pemerintahan yang berpegang pada moral yang tinggi
diciptakan tercapainya suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Mengacu pada pemikiran Moh. Hatta di atas, dapat disimpulkan bahwa Pancasila
bukan hanya norma dasar dari kehidupan hukum nasional, akan tetapi juga
merupakan norma dasar dari norma-norma lain, seperti norma moral, norma
kesusilaan, norma etika dan nilai-nilai. Oleh karena itu Pancasila mengharuskan
agar tertib hukum serasi dengan norma moral, sesuai dengan norma kesusilaan
dan norma etika yang merupakan pedoman bagi setiap warga negara untuk
bertingkah laku.
Hukum adalah sesuatu yang abstrak, tidak dapat dilihat dan tidak dapat
diraba, yang dapat dilihat adalah tingkah laku manusia sehari-hari, lebih tepat
lagi tingkah laku hukum manusia. Hukum itu sendiri merupakan hasil karya
manusia berupa norma yang berisikan petunjuk bagi manusia untuk bertingkah
laku, hal ini berkaitan dengan keberadaan manusia sebagai makhluk yang
berakal budi, sehingga setiap tingkah laku manusia harus diatur secara normatif
dengan arti bahwa manusia harus bertingkah laku sesuai dengan norma-norma
yang ditentukan sebagai pegangan hidupnya. Melalui penormaan tingkah laku
ini, hukum memasuki semua aspek kehidupan manusia, seperti yang dikatakan
Steven Vago35; “The normative life of the state and its citizens”. Agar supaya
tingkah laku ini diwarnai oleh nilai-nilai Pancasila, maka norma hukum positif
yang berlaku di Indonesia harus bernapaskan Pancasila.
Formulasi yang demikian ini mengandung arti bahwa peraturan
perundang-undangan, mengandung norma hukum yang di dalamnya terdapat
patokan penilaian dan patokan tingkah laku. Patokan penilaian ini tidak hanya
terbatas pada macam-macam nilai, akan tetapi merupakan satu kesatuan atau
keterpaduan yang disebut dengan sistem penilaian. Melalui sistem penilaian ini,
dapat dirumuskan petunjuk tingkah laku, tentang perbuatan apa saja yang mesti
dilakukan dan yang harus ditinggalkan. Penilaian terhadap tingkah laku manusia

35
Steven Vago, Law and Society, (New Jersey: Prentice Hall, Inc., 1991), hlm. 9.

27
bukan merupakan penilaian yang berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian
dari suatu ide yang lebih besar, yaitu ide tentang masyarakat yang dicita-citakan.

Penutup

Dari uraian di atas terlihat bahwa konsep keadilan selalu didasarkan pada
suatu aliran filsafat sesuai dengan kondisi pemikiran manusia pada waktu itu.
Dari teori-teori dan pengertian keadilan itu, terdapat dua hal yang bersifat
universal dari konsep keadilan yaitu tujuan dan karakter atau ciri-ciri keadilan.
Tujuan adalah hal yang akan dicapai dalam hubungan hukum baik antara sesama
warga, maupun antara warga dengan negara atau hubungan antar negara. Sedang
ciri-ciri atau karakter yang melekat pada keadilan adalah: adil, bersifat hukum,
sah menurut hukum, tidak memihak, sama hak, layak, wajar secara moral dan
benar secara moral. Konsep-konsep keadilan bersumber dari alam pikiran barat
pada zaman klasik dan zaman modern yang didasarkan pada pandangan dan
pemikiran yang berkembang sesuai dengan jamannya.
Keadilan dapat diartikan sebagai kebaikan, kebajikan dan kebenaran, yaitu
suatu kewajiban moral yang mengikat antara anggota masyarakat yang satu
dengan lainnya. Keadilan sebagai nilai yaitu yang menjadi tujuan yang
disepakati bersama oleh anggota masyarakat serta diusahakan pencapaiannya
demi keadilan itu sendiri. Makna lain dari keadilan adalah sebagai hasil atau
suatu keputusan yang diperoleh dari penerapan atau pelaksanaan hukum.
Keadilan juga diartikan sebagai unsur ideal, yaitu sebagai suatu cita atau suatu
.ide yang terdapat dalam semua hukum.

Daftar Pustaka

Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis Dan Sosiologis).
Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 2002.
Allen, C.K. Law in the Making. New York: Harvard University Press, 1994.
Angkasa. Filsafat Hukum. Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman, 2010.
Apeldoorn , van. Inleiding tot de Studie van het Nederlandse Recht. Zwolle:
W.E.J. Tjeenk Willink, 1995.
Cracken, Mc. Thinking and Voluing; An Introduction Portly Histrorical, to the
Study of the Philosophy of Value. London: Mac Millan, London, 1990.

28
Davidson, Scott. Hak Asasi Manusia, Jakarta: Grafiti Press, 2004.
Flew, Antony. A Dicionary of Philosophy. London: Pan Books, London, 2000.
Friedmann, W. The State and The Rule of Law in Mix Economy. London: Steven
& Son, 1971.
Halim, A. Ridwan. Pengantar Ilmu Hukum Dalam Tanya Jawab. Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2015.
Heimanson, Rudolf. Dictionary of Political Science and Law. Massachuttess:
Dobbs Fery Oceana Publication. 1967.
Kelsen, Kelsen. General Theory of Law and State. New York: Harvard University
Press, 1991.
Koesnoe, Moch. Pengantar Ke Arah Filsafat Hukum. Surabaya: Ubhara
Press,Surabaya, 1997.
Lord Lloyd of Hampstead & MDA Preeman. Introduction to Jurisprudence.
London: English Language Book Society.1985.
Magniz Suseno, Franz. Etika Politik, (cetakan ke-tiga). Jakarta: Gramedia, 2003.
Nasution, Bahder Johan. Hukum dan Keadilan.Bandung: Mandar Maju, 2015.
Nursyam, Mohammad . Penjabaran Filsafat Pancasila Dalam Filsafat Hukum.
Sebagai Landasan Pembinaan Hukum Nasional. Surabaya: Universitas
Airlangga, 1998.
Radbruch & Dabin. The Legal Philosophi. New York: Harvard University Press,
1950.
Rapar, J.H. Filsafat Politik Aristoteles. Jakarta: Rajawali Press, 1993.
Rawls, John. Teori Keadilan Dasar-dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan
Kesejahteraan Sosial Dalam Negara, (judul asli A Theory of Justice).
Terjemahan Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2006.
Saleh, Roeslah. Penjabaran Pancasila keDalam UUD 1945 Dalam Perundang-
undangan. Jakarta: Aksara Baru, 1999.
Sargent, Lyman Tower. Ideologi-Ideologi Politik Kontemporer. Jakarta:
Erlangga, 2001.
Siegart, Paul. The Lawfull Right of Mankind an Introduction to the International
Legal Code of Human Right. New Yorl: Oxfort University Press.
Susanto, Anthon F. Ilmu Hukum Non Sistematik: Fondasi Filsafat Pengembangan
Ilmu Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing, 2010.
The Encyclopedia Americana, Volume 16. New York: Americana Corporation,
1972.
The Liang Gie, Teori-teori Keadilan. Yogyakarta: Sumber Sukses, 2002.
Vago, Steven. Law and Society. New Jersey: Prentice Hall, Inc., 1991.
Wahyono, Padmo. Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum. Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1999.

29
Keadilan dalam Perspektif Islam
Munculnya agama Islam di abad pertengahan membawa
pengaruh dan perubahan tatanan nilai kemasyarakatan
yang dikenalkan oleh ajaran Kristen. Islam tumbuh di
daerah gersang yang tidak memiliki sistem dan tatanan
nilai kemasyarakatan seperti pada imperium Romawi
tempat tumbuhnya ajaran Kristiani, sehingga corak dan
watak ajaran Islam berbeda dengan ajaran Kristiani.

Keadaan seperti ini justru merupakan keadaan yang


paling tepat, sebab dengan demikian Islam dapat
memiliki kekuasaan untuk menumbuhkan masyarakat
yang menginginkannya tanpa sifat kecongkakan, lalu
meletakkan aturan dan sistem baginya yang selanjutnya
membimbing hati dan jiwa mereka seperti halnya dengan
sikap dan amaliah mereka, serta menyatakan urusan
duniawi dan agama dalam cita-cita dan syariatnya.
Semua dibangun atas asas kesatuan antara alam dunia
dan alam akhirat dalam sistem tunggal yang hidup dalam
hati setiap individu. Ajaran Islam menurut
Quthb[1]mengatur bentuk hubungan Tuhan dengan
makhluk-Nya, hubungan antara sesama makhluk, dengan
alam semesta dan kehidupan, hubungan manusia dengan
dirinya, antara individu dengan masyarakat, antara
individu dengan negara, antara seluruh umat manusia,
antara generasi yang satu dengan generasi yang lain,
semuanya dikembalikan kepada konsep menyeluruh yang
terpadu, dan inilah yang disebut sebagai filsafat Islam.
Islam memerintahkan kepada setiap manusia untuk
berbuat adil atau menegakkan keadilan pada setiap
tindakandan perbuatan yang dilakukan (Qs. an-Nisaa
(4): 58):
Sesungguhnya Allah menyuruhmu menyampaikan ama-

30
nat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh
kamu) apa bila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya
Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan
Maha Melihat.
Dalam Al-Qur’an Surat an-Nisaa ayat 135 juga dijumpal
perintah kepada orang-orang yang beriman untuk
menjadi penegak keadilan, yaitu:
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang
yang benar-benarpenegak keadilan, menjadi saksi karena
Allah walaupun terhadap dirimu sendiri atau Ibu, Bapak
dan kaum kerabatmu. Jika ia, kaya ataupun miskin, maka
Allah lebih tahu kemasalahatanya. Maka janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dan
kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata)
atau dengan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui Segalanya apa yang kamu lakukan’
Perintah untuk berlaku adil atau menegakkan keadilan
dalam menerapkan hukum tidak memandang perbedaan
agama, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an
Surat asSyuura (42) ayat 15, yakni:
Maka karena itu serulah (mereka kepada agama itu) dan
tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan
janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah:
“Aku beriman kepada semua kitab yaig diturunkan Allah
dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara
kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-
amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan
kamu Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-
Nyalah kebali (kita).
Begitu pentingnya berlaku adil atau menegakkan
keadilan, sehingga Tuhan memperingatkan kepada orang-
orang yang beriman supaya jangan karena kebencian
terhadap suatu kaum sehingga memengaruhi dalam
berbuat adil, sebagaimana ditegaskan dalam A1-Qur’an
Surat al-Maidah (5) ayat 8, yakni:
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi
orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena
Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-

31
kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong
kamu Untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil
itu lebih dekat kepada takwa. Dan takwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”
Keadilan dalam sejarah perkembangan pemikiran Filasafat
Islam tidak terlepas dan persoalan keterpaksaan dan
kebebasan. Para Teolog muslim terbagi dalam dua
kelompok, yaitu Kaum Mu’tazilah yang membela keadilan
dan kebebasan, sedangkan Kaum Asy’ari yang membela
keterpaksaan. Kaum Asy’ari menafsirkan keadilan dengan
tafsiran yang khas yang menyatakan Allah itu adil, tidak
berarti bahwa Allah mengikuti hukum-hukum yang sudah
ada sebelumnya, yaitu hukum-hukum keadilan tetapi
berarti Allah merupakan rahasia bagi munculnya keadilan.
Setiap yang dilakukan oleh Allah adalah adil dan bukan
setiap yang adil harus dilakukan oleh Allah, dengan
demikian keadilan bukan lah tolok ukur untuk perbuatan
Allah melainkan perbuatan Allahlah yang menjadi tolok
ukur keadilan. Adapun Kaum Mu’tazilah yang membela
keadilan berpendapat bahwa keadilan memiliki hakikat
yang tersendiri dan sepanjang Allah mahabijak dan adil,
maka Allah melaksanakan perbuatannya menurut kriteria
keadilan.

Murtadha Muthahhari[2] mengemukakan bahwa konsep


adil dikenal dalam empat hal; pertama, adil bermakna
keseimbangan dalam arti suatu masyarakat yang ingin
tetap bertahan dan mapan, maka masyarakat tersebut
harus berada dalam keadaan seimbang, di mana segala
sesuatu yang ada di dalamnya harus eksis dengan kadar
semestinya dan bukan dengan kadar yang sama.
Keseimbangan sosial mengharuskan kita melihat neraca
kebutuhan dengan pandangan yang relatif melalui
penentuan keseimbangan yang relevan dengan
menerapkan potensi yang semestinya terhadap
keseimbangan tersebut. Al-Qur’an Surat ar-Rahman 55:7
diterjemahkan bahwa: “Allah meninggikan langit dan dia
meletakkan neraca (keadilan)”.

32
Para ahli tafsir menyebutkan bahwa, yang dimaksud oleh
ayat tersebut adalah keadaan alam yang diciptakan
dengan seimbang. Alam diciptakan dan segala sesuatu
dan dan setiap materi dengan kadar yang semestinya dan
jarak-jarak diukur dengan cara yang sangat
cermat. Kedua, adil adalah persamaan penafian terhadap
perbedaan apa pun. Keadilan yang dimaksudkan adalah
memelihara persamaan ketika hak memilikinya sama,
sebab keadilan mewajibkan persamaan seperti itu, dan
mengharuskannya. Ketiga,adil adalahmemelihara hak-hak
individu dan memberikan hak kepada setiap orang yang
berhak menerimanya. Keadilan seperti ini adalah keadilan
sosial yang harus dihormati di dalam hukum manusia dan
setiap individu diperintahkan untuk
menegakkannya. Keempat, adil adalah memelihara hak
atas berlanjutnya eksistensi.
Konsepsi keadilan Islam menurut Qadri[3] mempunyai arti
yang lebih dalam daripada apa yang disebut dengan
keadilan distributif dan finalnya Aristoteles; keadilan
formal hukum Romawi atau konsepsi hukum yang dibuat
manusia lainnya. Ia merasuk ke sanubari yang paling
dalam dan manusia, karena setiap orang harus berbuat
atas nama Tuhan sebagai tempat bermuaranya segala hal
termasuk motivasi dan tindakan. Penyelenggaraan
keadilan dalam Islam bersumber pada Al-Qur’an serta
kedaulatan rakyat atau komunitas Muslim yakni umat.
Makna yang terkandung pada konsepsi keadilan Islam
ialah menempatkan sesuatu pada tempatnya,
membebankan sesuatu sesuai daya pikul seseorang,
memberikan sesuatu yang memang menjadi haknya
dengan kadar yang seimbang. Prinsip pokok keadilan
digambarkan oleh Madjid Khadduri[4] dengan
mengelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu aspek
substantifdan prosedural yang masing-masing meliputi
satu aspek dan keadilan yang berbeda. Aspek substantif
berupa elemen-elemen keadilan dalam substansi syariat
(keadilan substantif), sedangkan aspek prosedural berupa
elemen-elemen keadilan dalam hukum prosedural yang
dilaksanakan (keadilan prosedural).

33
Manakala kaidah-kaidah prosedural diabaikan atau
diaplikasikan secara tidak tepat, maka ketidakadilan
prosedural muncul. Adapun keadilan substantif
merupakan aspek internal dan suatu hukum di mana
semua perbuatan yang wajib pasti adil (karena firman
Tuhan) dan yang haram pasti tidak adil (karena wahyu
tidak mungkin membebani orangorang yang beriman
suatu kezaliman). Aplikasi keadilan prosedural dalam
Islam dikemukakan oleh Ali bin Abu Thalib[5] pada saat
perkara di hadapan hakim Syuraih dengan menegur
hakim tersebut sebagai berikut:
1. Hendaklah samakan (para pihak) masuk mereka ke
dalam majelis, jangan ada yang didahulukan.

2. Hendaklah sama duduk mereka di hadapan hakim.

3. Hendaklah hakim menghadapi mereka dengan sikap


yang sama.

4. Hendaklah keterangan-keterangan mereka sama


didengarkan dan diperhatikan.

5. Ketika menjatuhkan hukum hendaklah keduanya sama


mendengar.

Sebagai penutup uraian tentang keadilan dan perspektif


Islam, saya mengutip pendapat Imam Ali sekaligus
sebagai “pemimpin Islam tertinggi di zamannya” beliau
mengatakan bahwa prinsip keadilan merupakan prinsip
yang signifikan dalam memelihara keseimbangan
masyarakat dan mendapat perhatian publik.
Penerapannya dapat menjamin kesehatan masyarakat
dan membawa kedamaian kepada jiwa mereka.
Sebaliknya penindasan, kezaliman, dan diskriminasi tidak
akan dapat membawa kedamaian dan kebahagiaan.

Referensi:
[1]Sayyid Quthb, Keadilan Sosial Dalam Islam, 1994:
Bandung: Pustaka, hlm.25

34
[2] Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi: Azas Pandangan
Dunia Islam, 1995, Bandung: Mizan, hlm 53-58.
[3] AA. Qadri, Sebuah Potret Teori dan Praktek Keadilan
Dalam Sejarah Pemerintahan Muslim, 1987, Yogyakarta:
PLP2M, hIm. 1
[4] Madjid Khadduri, Teologi Keadilan (Perspektf
Islam), 1999, Surabaya: Risalah Gusti, hlm.119-201.
[5]Hamka, Tafsir Al-azhar Jus V, 1983, Jakarta: Putaka
Panji Mas, hlm. 125.

TEORI KEADILAN DALAM


PERSPEKTIF HUKUM
NASIONAL
BAB I
PENDAHULUAN

Berangkat dari pemikiran yang menjadi issue para pencari


keadilan terhadap problema yang paling sering menjadi diskursus
adalah mengenai persoalan keadilan dalam kaitannya dengan
hukum. Hal ini dikarenakan hukum atau suatu bentuk peraturan
[1]
perundang-undangan yang diterapkan dan diterimanya dengan
pandangan yang berbeda, pandangan yang menganggap hukum
itu telah adil dan sebaliknya hukum itu tidak adil.
Problema demikian sering ditemukan dalam kasus konkrit,
seperti dalam suatu proses acara di pengadilan seorang terdakwa
terhadap perkara pidana (criminal of justice) atau seorang tergugat
terhadap perkara perdata (private of justice) maupun tergugat pada
perkara tata usaha negara (administration of justice) atau
sebaliknya sebagai penggugat merasa tidak adil terhadap putusan
majelis hakim dan sebaliknya majelis hakim merasa dengan
keyakinanya putusan itu telah adil karena putusan itu telah
didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan hukum yang tertulis

35
dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Teori pembuktian
berasarkan Undang-Undang Positif (Positif Wettwlijks theorie).[2]
Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai
keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk
mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses
yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali
juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam
kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya. [3]
Orang dapat menggangap keadilan sebagai suatu hasrat
naluri yang diharapkan bermanfaat bagi dirinya. Realitas keadilan
absolut diasumsikan sebagai suatu masalah universal yang
berlaku untuk semua manusia, alam, dan lingkungan, tidak boleh
ada monopoli yang dilakukan oleh segelintir orang atau
sekelompok orang. Atau orang mengganggap keadilan sebagai
pandangan individu yang menjunjung tinggi kemanfaatan yang
sebesar-besarnya bagi dirinya.
Jika demikian bagaimana pandangan keadilan menurut
kaidah-kaidah atau aturan-aturan yang berlaku umum yang
mengatur hubungan manusia dalam masyarakat atau hukum
positif (Indonesia).[4] Secara konkrit hukum adalah perangkat asas
dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan antar manusia
dalam masyarakat, baik yang merupakan kekerabatan,
kekeluargaan dalam suatu wilayah negara. Dan masyarakat
hukum itu mengatur kehidupannya menurut nilai-nilai sama
dalam masyarakat itu sendiri (shared value) atau sama-sama
[5]
mempunyai tujuan tertentu.
Dalam makalah ini, penulis akan meguraikan persoalan
keadilan dalam perspektif hukum nasional. Dalam pandangan
hukum penulis hanya akan menguraikan teori-teori keadilan
Aristoteles, John Rawl dan Hans Kelsen. Sedangkan dalam
persfetif hukum nasional Indonesia, penulis akan menguraikan
teori-teori yang berhubungan dengan cita negara (Staatsidee)

36
sebagai dasar filosofis bernegara (Filosofiche grondslag), yang
termaktub dalam Pancasila sebagai sumber hukum nasional. [6]

BAB II
TEORI KEADILAN DALAM PANDANGAN PARA PAKAR DAN
PERSPEKTIF HUKUM NASIONAL

A. Teori-teori Keadilan Dalam Pandangan Hukum


Teori-teori Hukum Alam sejak Socretes hingga Francois
Geny, tetap mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum.
Teori Hukum Alam mengutamakan “the search for justice”.
[7]
Berbagai macam teori mengenai keadilan dan masyarakat yang
adil. Teori-teori ini menyangkut hak dan kebebasan, peluang
kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran. Diantara teori-teori itu
dapat disebut : teori keadilan Aristoteles dalam
bukunyanicomachean ethics dan teori keadilan sosial John Rawl

37
dalam bukunya a theory of justicedan teori hukum dan keadilan
Hans Kelsen dalam bukunya general theory of law and state.
1. Teori Keadilan Aritoteles
Pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa didapatkan
dalam karyanyanichomachean ethics, politics, dan rethoric. Spesifik
dilihat dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya
ditujukan bagi keadilan, yang, berdasarkan filsafat hukum
Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya,
“karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan
[8]
keadilan”.
Pada pokoknya pandangan keadilan ini sebagai suatu
pemberian hak persamaan tapi bukan persamarataan. Aristoteles
membedakan hak persamaanya sesuai dengan hak proposional.
Kesamaan hak dipandangan manusia sebagai suatu unit atau
wadah yang sama. Inilah yang dapat dipahami bahwa semua
orang atau setiap warga negara dihadapan hukum sama.
Kesamaan proposional memberi tiap orang apa yang menjadi
haknya sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang telah
dilakukanya.
Lebih lanjut, keadilan menurut pandangan Aristoteles dibagi
kedalam dua macam keadilan, keadilan “distributief” dan keadilan
“commutatief”. Keadilan distributief ialah keadilan yang
memberikan kepada tiap orang porsi menurut pretasinya. Keadilan
commutatief memberikan sama banyaknya kepada setiap orang
tanpa membeda-bedakan prestasinya dalam hal ini berkaitan
dengan peranan tukar menukar barang dan jasa. [9] Dari
pembagian macam keadilan ini Aristoteles mendapatkan banyak
kontroversi dan perdebatan.
Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada
distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-
sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan
mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa

38
yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang
berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga.
Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai
degan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat. [10]

2. Teori Keadilan John Rawls


Beberapa konsep keadilan yang dikemukakan oleh Filsuf
Amerika di akhir abad ke-20, John Rawls, seperi A Theory of
justice, Politcal Liberalism, dan The Law of Peoples, yang
memberikan pengaruh pemikiran cukup besar terhadap diskursus
nilai-nilai keadilan.[11]
John Rawls yang dipandang sebagai perspektif “liberal-
egalitarian of social justice”, berpendapat bahwa keadilan adalah
kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial (social
institutions). Akan tetapi, kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak
dapat mengesampingkan atau menggugat rasa keadilan dari setiap
orang yang telah memperoleh rasa keadilan. Khususnya
masyarakat lemah pencari keadilan.[12]
Secara spesifik, John Rawls mengembangkan gagasan
mengenai prinsip-prinsip keadilan dengan menggunakan
sepenuhnya konsep ciptaanya yang dikenal dengan “posisi asali”
(original position) dan “selubung ketidaktahuan” (veil of ignorance).
[13]

Pandangan Rawls memposisikan adanya situasi yang sama


dan sederajat antara tiap-tiap individu di dalam masyarakat. Tidak
ada pembedaan status, kedudukan atau memiliki posisi lebih
tinggi antara satu dengan yang lainnya, sehingga satu pihak
dengan lainnya dapat melakukan kesepakatan yang seimbang,
itulah pandangan Rawls sebagai suatu “posisi asasli” yang
bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh
ciri rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom), dan persamaan

39
(equality) guna mengatur struktur dasar masyarakat (basic
structure of society).
Sementara konsep “selubung ketidaktahuan” diterjemahkan
oleh John Rawls bahwa setiap orang dihadapkan pada tertutupnya
seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk
terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu, sehingga membutakan
adanya konsep atau pengetahuan tentang keadilan yang tengah
berkembang. Dengan konsep itu Rawls menggiring masyarakat
untuk memperoleh prinsip persamaan yang adil dengan teorinya
[14]
disebut sebagai “Justice as fairness”.
Dalam pandangan John Rawls terhadap konsep “posisi asasli”
terdapat prinsip-prinsip keadilan yang utama, diantaranya prinsip
persamaan, yakni setiap orang sama atas kebebasan yang bersifat
universal, hakiki dan kompitabel dan ketidaksamaan atas
kebutuhan sosial, ekonomi pada diri masing-masing individu.
Prinsip pertama yang dinyatakan sebagai prinsip kebebasan
yang sama (equal liberty principle), seperti kebebasan beragama
(freedom of religion), kemerdekaan berpolitik (political of liberty),
kebebasan berpendapat dan mengemukakan ekpresi (freedom of
speech and expression), sedangkan prinsip kedua dinyatakan
sebagai prinsip perbedaan (difference principle), yang
menghipotesakan pada prinsip persamaan kesempatan (equal
oppotunity principle).
Lebih lanjut John Rawls menegaskan pandangannya terhadap
keadilan bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi
kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu,
pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas
kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama
bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan
sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan
yang bersifat timbal balik.[15]

40
Dengan demikian, prinsip perbedaan menuntut diaturnya
struktur dasar masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan
prospek mendapat hal-hal utama kesejahteraan, pendapatan,
otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang yang paling
kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan
untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan
terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan
menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang
memberdayakan.Kedua, setiap aturan harus meposisikan diri
sebagai pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan
untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum lemah.

3. Teori Keadilan Hans Kelsen


Hans Kelsen dalam bukunya general theory of law and state,
berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat
dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia
dengan cara yang memuaskan sehingga dapat menemukan
kebahagian didalamnya.[16]
Pandangan Hans Kelsen ini pandangan yang bersifat
positifisme, nilai-nilai keadilan individu dapat diketahui dengan
aturan-aturan hukum yang mengakomodir nilai-nialai umum,
namun tetap pemenuhan rasa keadilan dan kebahagian
diperuntukan tiap individu.
Lebih lanjut Hans Kelsen mengemukakan keadilan sebagai
pertimbangan nilai yang bersifat subjektif. Walaupun suatu
tatanan yang adil yang beranggapan bahwa suatu tatanan bukan
kebahagian setiap perorangan, melainkan kebahagian sebesar-
besarnya bagi sebanyak mungkin individu dalam arti kelompok,
yakni terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang oleh
penguasa atau pembuat hukum, dianggap sebagai kebutuhan-
kebutuhan yang patut dipenuhi, seperti kebutuhan sandang,

41
pangan dan papan. Tetapi kebutuhan-kebutuhan manusia yang
manakah yang patut diutamakan. Hal ini apat dijawab dengan
menggunakan pengetahuan rasional, ang merupakan sebuah
pertimbangan nilai, ditentukan oleh faktor-faktor emosional dn
oleh sebab itu bersifat subjektif.[17]
Sebagai aliran posiitivisme Hans Kelsen mengakui juga bahwa
keadilan mutlak berasal dari alam, yakni lahir dari hakikat suatu
benda atau hakikat manusia, dari penalaran manusia atau
kehendak Tuhan. Pemikiran tersebut diesensikan sebagai doktrin
yang disebut hukum alam. Doktrin hukum alam beranggapan
bahwa ada suatu keteraturan hubungan-hubungan manusia yang
berbeda dari hukum positif, yang lebih tinggi dan sepenuhnya
sahih dan adil, karena berasal dari alam, dari penalaran manusia
atau kehendak Tuhan.[18]
Pemikiran tentang konsep keadilan, Hans Kelsen yang
menganut aliran positifisme, mengakui juga kebenaran dari
hukum alam. Sehingga pemikirannya terhadap konsep keadilan
menimbulkan dualisme antara hukum positif dan hukum alam.
Menurut Hans Kelsen : [19]
“Dualisme antara hukum positif dan hukum alam menjadikan
karakteristik dari hukum alam mirip dengan dualisme metafisika
tentang dunia realitas dan dunia ide model Plato. Inti dari fislafat
Plato ini adalah doktrinnya tentang dunia ide. Yang mengandung
karakteristik mendalam. Dunia dibagi menjadi dua bidang yang
berbeda : yang pertama adalah dunia kasat mata yang dapa
itangkap melalui indera yang disebut realitas; yang kedua dunia
ide yang tidak tampak.”

Dua hal lagi konsep keadilan yang dikemukakan oleh Hans


Kelsen : pertama tentang keadilan dan perdamaian. Keadilan yang
bersumber dari cita-cita irasional. Keadilan dirasionalkan melalui
pengetahuan yang dapat berwujud suatu kepentingan-
kepentingan yang pada akhirnya menimbulkan suatu konflik
kepentingan. Penyelesaian atas konflik kepentingan tersebut dapat
dicapai melalui suatu tatatanan yang memuaskan salah satu

42
kepentingan dengan mengorbankan kepentingan yang lain atau
dengan berusaha mencapai suatu kompromi menuju suatu
[20]
perdamaian bagi semua kepentingan.
Kedua, konsep keadilan dan legalitas. Untuk menegakkan
diatas dasar suatu yang kokoh dari suatu tananan sosial tertentu,
menurut Hans Kelsen pengertian “Keadilan” bermaknakan
legalitas. Suatu peraturan umum adalah “adil” jika ia bena-benar
diterapkan, sementara itu suatu peraturan umum adalah “tidak
adil” jika diterapkan pada suatu kasus dan tidak diterapkan pada
[21]
kasus lain yang serupa. Konsep keadilan dan legalitas inilah
yang diterapkan dalam hukum nasional bangsa Indonesia, yang
memaknai bahwa peraturan hukum nasional dapat dijadikan
sebagai payung hukum (law unbrella) bagi peraturan peraturan
hukum nasional lainnya sesuai tingkat dan derajatnya dan
peraturan hukum itu memiliki daya ikat terhadap materi-materi
yang dimuat (materi muatan) dalam peraturan hukum tersebut. [22]

B. Perspektif Keadilan Dalam Hukum Nasional


Pandangan keadilan dalam hukum nasional bersumber
pada dasar negara. Pancasila sebagai dasar negara atau falsafah
negara (fiolosofische grondslag) sampai sekarang tetap
dipertahankan dan masih tetap dianggap penting bagi negara
Indonesia. Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan
pendukung nilai-nilai Pancasila (subcriber of values Pancasila).
Bangsa Indonesia yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang
berpersatuan, yang berkerakyatan, dan yang berkeadilan sosial.
Sebagai pendukung nilai, bangsa Indnesialah yang
menghargai, mengakui, serta menerima Pancasila sebagai suatu
bernilai. Pengakuan, penghargaan, dan penerimaan Pancasila

43
sebagai sesuatu yang bernilai itu akan tampak merefleksikan
dalam sikap, tingkah laku, dan perbuata bangsa Indonesia. Kalau
pengakuan, penerimaan, atau penghargaan itu direfleksikan
dalam sikap, tingkah laku, serta perbuatan manusia dan bangsa
Indonesia dalam hal ini sekaligus adalah pengembannya dalam
sikap, tingkah laku, dan perbuatan manusia Indonesia. Oleh
karenanya Pancasila sebagai suatu sumber hukum tertinggi
secara irasional dan sebagai rasionalitasnya adalah sebagai
sumber hukum nasional bangsa Indonesia.
Pandangan keadilan dalam hukum nasional bangsa
Indonesia tertuju pada dasar negara, yaitu Pancasila, yang mana
sila kelimanya berbunyi : “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”. Yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah yang
dinamakan adil menurut konsepsi hukum nasional yang
bersumber pada Pancasila.
Menurut Kahar Masyhur dalam bukunya mengemukakan
pendapat-pendapat tentang apakah yang dinamakan adil, terdapat
tigal hal tentang pengertian adil. [23]
(1) “Adil” ialah : meletakan sesuatu pada tempatnya.
(2) “Adil” ialah : menerimahak tanpa lebih dan memberikan orang
lain tanpa kurang.
(3) “Adil” ialah : memberikan hak setiap yang berhak secara lengkap
tanpa lebih tanpa kurang antara sesama yang berhak dalam
keadaan yang sama, dan penghukuman orang jahat atau yang
melanggar hukum, sesuai dengan kesalahan dan pelanggaran”.

Untuk lebih lanjut menguraikan tentang keadilan dalam


perspektif hukum nasional, terdapat diskursus penting tentang
adil dan keadilan sosial. Adil dan keadilan adalah pengakuan dan
perlakukan seimbang antara hak dan kewajiban. Apabila ada
pengakuan dan perlakukan yang seimbang hak dan kewajiban,
dengan sendirinya apabila kita mengakui “hak hidup”, maka
sebaliknya harus mempertahankan hak hidup tersebut denga
jalan bekerja keras, dan kerja keras yang dilakukan tidak pula
menimbulkan kerugian terhadap orang lain, sebab orang lain itu

44
juga memiliki hak yang sama (hak untuk hidup) sebagaimana
halnya hak yang ada pada diri individu.[24]
Dengan pengakuan hak hidup orang lain, dengan
sendirinya diwajibkan memberikan kesempatan kepada orang lain
tersebut untuk mempertahankan hak hidupnya.
Konsepsi demikian apabila dihubungkan dengan sila kedua
dari Pancasila sebagai sumber hukum nasional bangsa Indonesia,
pada hakikatnya menginstruksikan agar senantiasa melakukan
perhubungan yang serasi antar manusia secara individu dengan
kelompok individu yang lainnya sehingga tercipta hubungan yang
adil dan beradab.
Hubungan adil dan beradab dapat diumpamakan sebagai
cahaya dan api, bila apinya besar maka cahayanya pun terang :
jadi bila peradabannya tinggi, maka keadilanpun mantap. [25]
Lebih lanjut apabila dihubungkan dengan “keadilan sosial”,
maka keadilan itu harus dikaitkan dengan hubungan-hubungan
kemasyarakatan. Keadilan sosial dapat diartikan sebagai : [26]
“(1) Mengembalikan hak-hak yang hilang kepada yang
berhak.
(2) Menumpas keaniayaan, ketakutan dan perkosaan dan pengusaha-
pengusaha.
(3) Merealisasikan persamaan terhadap hukum antara setiap individu,
pengusaha-pengusaha dan orang-orang mewah yang didapatnya
dengan tidak wajar”.

Sebagaimana diketahui bahwa keadilan dan ketidakadilan


tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan bermasyarakat.
Dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai orang yang “main
hakim sendiri”, sebenarnya perbuatan itu sama halnya dengan
perbuatan mencapai keadilan yang akibatnya terjadi
ketidakadilan, khususnya orang yang dihakimi itu.
Keadilan sosial menyangkut kepentingan masyarakat
dengan sendirinya individu yang berkeadilan sosial itu harus
menyisihkan kebebasan individunya untuk kepentingan Individu
yang lainnya

45
Hukum nasional hanya mengatur keadilan bagi semua
pihak, oleh karenanya keadilan didalam perspektif hukum
nasional adalah keadilan yang menserasikan atau menselaraskan
keadilan-keadilan yang bersifat umum diantara sebagian dari
keadilan-keadilan individu. Dalam keadilan ini lebih
menitikberatkan pada keseimbangan antara hak-hak individu
masyarakat dengan kewajiban-kewajiban umum yang ada didalam
kelompok masyarakat hukum.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

Sebagai bagian bab terakhir dari pembahasan makalah


ini, perlu dikemukakan beberapa kesimpulan dan saran sebagai
berikut :

46
A. Kesimpulan
1. Teori keadilan menjadi landasan utama yang harus diwujudkan
melalui hukum yang ada. Aristoteles menegaskan bahwa keadilan
adalah inti dari hukum. Baginya, keadilan dipahami dalam
pengertian kesamaan, namun bukan kesamarataan. Membedakan
hak persamaanya sesuai dengan hak proposional. Kesamaan
proposional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai
dengan kemampuan dan prestasi yang telah dilakukanya.
Arietoteles juga membedakan dua macam keadilan, keadilan
“distributief” dan keadilan “commutatief”. Keadilan distributief ialah
keadilan yang memberikan kepada tiap orang porsi menurut
pretasinya. Keadilan commutatief memberikan sama banyaknya
kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya.
John Rawls dengan teori keadilan sosialnya menegaskan
bahwa maka program penegakan keadilan yang berdimensi
kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu,
pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas
kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama
bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan
sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan
yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang,
baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak
beruntung. John Rawl terhadap konsep “posisi asasli” terdapat
prinsip-prinsip keadilan yang utama, diantaranya prinsip
persamaan, yakni setiap orang sama atas kebebasan yang bersifat
universal, hakiki dan kompitabel dan ketidaksamaan atas
kebutuhan sosial, ekonomi pada diri masing-masing individu.
Hans Kelsen mengemukakan keadilan sebagai pertimbangan
nilai yang bersifat subjektif. Sebagai aliran positivisme mengakui
juga bahwa keadilan mutlak berasal dari alam, yakni lahir dari
hakikat suatu benda atau hakikat manusia, dari penalaran
manusia atau kehendak Tuhan. Pengertian “Keadilan”

47
bermaknakan legalitas. Suatu peraturan umum adalah “adil” jika
ia bena-benar diterapkan, sementara itu suatu peraturan umum
adalah “tidak adil” jika diterapkan pada suatu kasus dan tidak
diterapkan pada kasus lain yang serupa.
2. Keadilan dalam perspektif hukum nasional tertuju pada keadilan
sosial menyangkut kepentingan masyarakat dengan sendirinya
individu yang berkeadilan sosial itu harus menyisihkan kebebasan
individunya untuk kepentingan Individu yang lainnya. Keadilan
didalam perspektif hukum nasional ini adalah keadilan yang
menselaraskan keadilan-keadilan yang bersifat umum diantara
sebagian dari keadilan-keadilan individu. Keadilan ini lebih
menitikberatkan keseimbangan antara hak dan kewajiban.

B. Saran
1. Untuk mencapai perspektif keadilan dalam hukum nasional yang
paling utama diperlukan pemahaman dan kesadaran terhadap hak
dan kewajibannya sebagai warga negara, oleh karenanya sikap,
perbuatan untuk menempuh kebahagian dan kesejahteraan pada
individulah perlu ditanamkan lebih dulu.
2. Antara hukum dan keadilan bagaikan dua mata pisau yang tajam
yang berlawanan, tidak pernah menyatu, oleh karenanya
diperlukan suatu materi peraturan hukum nasional yang dapat
mengharmonisasikan antara hukum dan keadilan, dalam arti
peraturan yang memberikan keseimbangan antara hak dan
kewajiban, maupun peraturan yang menegaskan untuk
mengutamakan kepentingan umum diatas kepentingan individu.

[1]
Lihat, A.Hamid S. Attamimi, Dikembangkan oleh Maria Farida Indrati S, dari
Perkuliahan Ilmu Perundang-undangan, Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan,
Yogyakarta, Kanisius, 2007.
[2]
Lihat, Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Di Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta,
Sinar Grafika, , 1996, hlm. 251.
[3]
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung, Nuansa
dan Nusamedia, 2004, hal 239.

48
[4]
Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu
Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Bandung, Alumni,
2000, hlm. 4.
[5]
Ibid.
[6]
Lihat, TAP MPR-RI No. III/MPR/2003.
[7]
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam lintasan sejarah, cet VIII, Yogyakarta:
kanisius, 1995 hlm. 196.
[8]
Carl Joachim Friedrich, Op. Cit, hlm. 24.
[9]
L..J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita,
cetakan kedua puluh enam, 1996,hlm. 11-12.
[10]
Carl Joachim Friedrich, Op.Cit, hlm. 25.
[11]
Pan Mohamad Faiz, Teori Keadilan John Rawls, dalam Jurnal Konstitusi,
Volue 6 Nomor 1 (April 2009), hlm. 135.
[12]
Ibid, hlm. 139-140.
[13]
Ibid.
[14]
Ibid.
[15]
John Rawls, A Theory of Justice, London: Oxford University press, 1973, yang
sudah diterjemahkan dalam bahasa indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru
Prasetyo, Teori Keadilan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006.
[16]
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul
Muttaqien, Bandung, Nusa Media, 2011, hlm. 7.
[17]
Ibid
[18]
Ibid.
[19]
Ibid., hlm. 14, lihat dan bandingkan Filsuf Plato dengan Doktrinnya tentang
Dunia Ide.
[20]
Ibid, hlm. 16.
[21]
Ibid.
[22]
Lihat : Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan
[23]
Kahar Masyhur, Membina Moral dan Akhlak, Jakarta, Kalam Mulia, 1985,
hlm.71.
[24]
Suhrawardi K. Lunis, Etika Profesi Hukum, Cetakan Kedua, Jakarta, Sinar
Grafika, 2000, hlm. 50.
[25]
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Renungan Tentang Filsafat
Hukum, Jakarta, Rajawali, 1982, hlm.83.
[26]
Kahar Masyhur, Loc. Cit, hlm. 71.
Diposting oleh Ugun Guntari di 23.40

KEADILAN DALAM EKONOMI


ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara umum ajaran Islam menawarkan nilai-nilai dasar
atau prinsip-prinsip umum yang penerapannya dalam bisnis
sesuai dengan perkembangan zaman dan pertimbangkan dimensi

49
ruang dan waktu. Dalam Islam terdapat nilai-nilai dasar etika
bisnis, diantaranya adalah tauhid, khilafah, ibadah,
tazkiyah dan ihsan. Dari nilai dasar ini dapat diangkat ke prinsip
umum tentang keadilan, kejujuran, keterbukaan (transparansi),
kebersamaan, kebebasan, tanggungjawab dan akuntabilitas.
Keadilan merupakan perkataan yang diagungkan dan
di idamkan oleh setiap orang di manapun mereka berada. Keadilan
sering dikaitkan dengan salah satu bidang pranata kehidupan
yaitu hukum. Hukum dan keadilan adalah dua hal yang berjalan
beriringan dan tidak dapat dipisahkan. Hukum dibuat dan
ditetapkan adalah agar orang yang berada dibawah naungan
hukum tersebut menikmati dan merasakan keadilan. Individu
diperbolehkan mengembangkan hak pribadinya dengan syarat
tidak mengganggu kepentingan masyarakat. Jadi, keadilan
merupakan sesuatu yang wajib di tegakkan karena dalam al-
Qur’an tentang keadilan banyak sekali disebutkan. Agama Islam
sangat menjunjung tinggi nilai keadilan baik itu dalam dunia
perekonomian. Sehingga untuk lebih jelasnya tentang keadilan
dalam dunia ekonomi Islam akan dibahas dalam bab selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari keadilan?
2. Bagaimana keadilan dalam Islam?
3. Bagaimana prinsip-prinsip keadilan dalan ekonomi Islam?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Keadilan
Keadilan adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang
antara hak dan kewajiban. Keadilan juga dapat berarti suatu
tindakan yang tidak berat sebelah atau tidak memihak ke salah
satu pihak, memberikan sesuatu kepada orang sesuai dengan hak
yang harus diperolehnya. Bertindak secara adil berarti mengetahui
hak dan kewajiban, mengerti mana yang benar dan yang salah,
bertindak jujur dan tepat menurut peraturan dan hukum yang
telah ditetapkan serta tidak bertindak sewenang-wenang.
Keadilan pada dasarnya terletak pada keseimbangan atau
keharmonisan antara penuntutan hak dan menjalankan
kewajiban. Berdasarkan segi etis, manusia diharapkan untuk
tidak hanya menuntut hak dan melupakan atau tidak
melaksanakan kewajibannya sama sekali. Sikap dan tindakan
manusia yang semata-mata hanya menuntut haknya tanpa
melaksanakan kewajibannya akan mengarah pada pemerasan
atau perbudakan terhadap orang lain.

50
B. Keadilan Dalam Islam
Al-Qur’an sebagai manifestasi kalam Tuhan merupakan
kitab petunjuk Moral yang komprehensif dan sempurna, datang
dari Alam Ghaib untuk kebaikan manusia dan alam semesta (QS.
al-Baqarah [2] : 2, 97 dan 185). Fitrah (suci) dan Hanif (lurus dan
benar) merupakan dasar konstitusi kepribadian manusia, yang
karena itu, ia merindukan tatanan kehidupan yang ramah dan
damai, berdiri di atas prinsip-prinsip keadilan.
Puncak kasih sayang Tuhan atas manusia, terbukti dengan
diutusnya para Nabi, yang di satu sisi mempunyi misi menyeru
manusia kepada penyerahan diri, patuh-tunduk pada Tuhan Yang
Maha Esa (Faham Tauhid) (QS. al-Ahzab [33]: 45-46), juga di sisi
lain, berkaitan dengan semua Nabi, Tuhan menegaskan dalam
Surah al-Hadid [57]: 25 yang berbunyi:
ô‰s)s9 $uZù=y™ö‘r& $oYn=ߙ①ÏM»uZÉit7ø9$$Î/
$uZø9t“Rr&urÞOßgyètB |=»tGÅ3ø9$# šc#u”ÏJø9$#ur
) /tPqà)u‹Ï9 â¨$¨Y9$# ÅÝó¡É)ø9$$Î
Artinya: “Sesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul kami
dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah kami turunkan
bersma mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia
bisa melaksanakan keadilan” (QS. al-Hadid [57] : 25).
Ayat tersebut menegaskan bahwa menegakan keadilan
adalah tujuan dan misi utama kenabian. Dengan demikian
terdapat dua tujuan utama misi kenabian, yaitu, mengajak
manusia untuk menyembah Allah, sekaligus memberantas
kemusyrikan, dan menegakkan keadilan di tengah-tengah
masyarakat, sekaligus memberantas kedlaliman.
Merujuk pada ayat 25 surat al-Haadid tersebut, Murtadha
Mutahari menegaskan bahwa keadilan, dengan konsepsi
sosialnya, merupakan tujuan kenabian (nubuwwah). Nasehat
Imam ‘Ali as. Kepada Gubernur Mesir, Muhammad Ibnu Abi
Bakar; Para duta Illahi adalah para penegak keadilan yang
sesungguhnya dalam masyarakat. Mereka adalah orang-orang
yang telah merencanakan jalan kesempurnaan manusia bagi umat
manusia.
Dengan kata lain, kesatuan umat, persaudaraan dan prinsip
keadilan sosial ekonomi adalah unsur-unsur keadilan sebagian
pengejawantahan dari sistem kepercayaan pada satu Tuhan
(tauhidullah). Dalam al-Qur’an Allah dikatakan Maha Adil, dan
bahwa dia menegakan keadilan atas dasar bahwa keadilan adalah
sifat positif yang dimilikinya. Ditegaskan dalam al-Qur’an :
‫شهد الله أ دنه ل د إل ده إل ن ههو وال لملئ هك د ه ه‬
‫ط ل د إ هل د د‬
‫ه إ هل ن‬ ‫س ه‬ ‫ما هبال ل ه‬
‫ق ل‬ ‫ة ودأوهلو ال لعهل لم ه دقائ ه م‬ ‫د د د‬ ‫ه د ه‬ ‫ه ن ه‬ ‫د ه د‬
‫م‬
‫كي ه‬‫ح ه‬ ‫ل‬
‫زيهز ال د‬ ‫ل‬
‫ههود العد ه‬

51
Artinya: “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang
berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para
malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang
demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan
Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Ali Imran [3]:
14).
Ayat tersebut dengan jelas menegaskan bahwa Allah
menyuruh berbuat adil atau bahwa Dia adalah Pelaku keadilan.
Pernyataan ini merupakan persoalan asasi yang diatasnya agama-
agama samawi membangun hubungan manusia dengan Allah.
Kemudian, perintah Tuhan untuk mendirikan keadilan yang
didasarkan atas kualitas monoteistik prinsip keesaan Tuhan yang
sesuai dengan ajaran Islam (tauhid).Penegakan keadilan adalah
merupakan manifestasi perbuatan yang paling mendekati taqwa
atau keinsyafan ketuhanan dalam diri manusia. Seperti
ditegaskan dalam al-Qur’an :
pkš‰r'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. $
šúüÏBº§qs% ¬! uä!#y‰pkàÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( Ÿwur
öNà6¨ZtBÌôftƒ ãb$t«oYx© BQöqs% #’n?tã žwr&(#qä9Ï
‰÷ès? 4 (#qä9ωôã$# uqèd Ü>tø%r& 3“uqø)G=Ï9 (
(#qà)¨?$#ur©!$# 4 žcÎ) ©!$# 7ŽÎ6yz $yJÎ/
šcqè=yJ÷ès? ÇÑÈ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi
orang-orang yang selalu menjalankan (keadilan) karena Allah
menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencian mu
terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
Berlaku adilah karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan
bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnay Allah Maha mengeahui
apa yang kamu kerjakan”.(QS. al-Maidah [5] : 8).
Kesamaan derajat manusia yang dilandaskan atas kualitas
ketaqwaan, telah begitu kuatnya mengikat mereka dalam
kesadaran moralitas persaudaraan secara masif dan universal.
Seperti ditegaskan oleh Wahbah Zuhaily bahwa persaudaraan
kemanusiaan, mewujudkan saling mengasihi manusia, perasaan
cinta kebaikan, yaitu taqwa kepada Allah, melaksanakan hukum-
hukumnya dan menjauhi larangannya, mendukung pertumbuhan
secara menyeluruh bagi kemanusiaan.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, dapat
ditegaskan bahwa di satu sisi pengertian keadilan sosial erat
sekali hubungannya dengan ajaran persamaan, dan perbedaan di
sisi lain. Hal yang sedemikian itu karena dalam pandangan al-
Qur’an perbedaan sesama manusia adalah suatu hal yang alami,
juga sekaligus mengandung banyak manfaat. Sekalipun demikian

52
manusia tetap tergolong ke dalam umat yang satu. Agama
berfungsi untuk mengingatkan akan kesamaanya, sebagai
landasan persahabatan, persaudaraan, dan tolong menolong
dalam mewujudkan keadilan sosial.[1]
Begitulah, penekanan Islam pada penegakkan keadilan
sosial ekonomi. Maka, sangatlah keliru klaim kapitalis maupun
sosialis yang menyatakan, “Hanya ideologi kami yang berbicara
dan bertindak tegas dalam masalah keadilan. “Setidaknya hanya
kamilah yang mempunyai komitmen kuat tentang nilai-nilai
keadilan”. Itulah klaim yang dilontarkan berbagai komponen
masyarakat dunia dalam kerangka memperlihatkan keunggulan
ideologi atau kepercayaan yang mereka anut.
Harus kita bedakan bahwa konsep kapitalis tentang
keadilan sosial ekonomi dan pemerataan pendapatan, tidak
didasarkan pada komitmen spiritual dan persaudaraan (ukhuwah)
sesama manusia. Komitmen penegakkan keadilan sosial ekonomi
lebih merupakan akibat dari tekanan kelompok. Karenanya,
sistem kapitalisme terutama yang berkaitan dengan uang dan
perbankan, tidak dimaksudkan untuk mencapai tujuan – tujuan
keadilan sosiol ekonomi yang berdasarkan nilai transendental
(spritual) dan persaudaraan universal. Sehingga, tidak aneh,
apabila uang masyarakat yang ditarik oleh bank konvensional
(kapitalis) dominan hanya digunakan oleh para pengusaha besar
(konglomerat). Lembaga perbankan tidak dinikmati oleh rakyat
kecil yang menjadi mayoritas penduduk sebuah negara. Fenomena
ini semakin jelas terjadi di Indonesia. Akibatnya yang kaya
semakin kaya dan miskin makin miskin. Ketidakadilan pun
semakin lebar.
Sebagaimana disebut di atas, konversi ekonomi Barat
(terutama kapitalisme) kepada penegakan keadilan sosiol ekonomi,
merupakan akibat tekanan-tekanan kelompok masyarakat dan
tekanan-tekanan politik. Untuk mewujudkan keadilan sosiol
ekonomi itu mereka mengambil beberapa langkah, terutama
melalui pajak dan transfer payment. Meskipun ada usaha melalui
instrumen pajak, namun langkah-langkah ini menurut Milton
Friedman, terbukti tidak cukup efektif untuk mengatasi
ketidakadilan, karena nyatanya pajak selalu menguntungkan
pengusaha, dan para penjabat pajak bersama kelompok-
kelompoknya.
Jadi, konsep keadilan sosial ekonomi dalam Islam berbeda
secara mendasar dengan konsep keadilan dalam kapitalisme dan
sosialisme. Keadilan sosial ekonomi dalam Islam, selain
didasarkan pada komitmen spritual, juga didasarkan atas konsep

53
persaudaraan universal sesama manusia. Al-Quran secara
eksplisit menekankan pentingnya keadilan dan persaudaraan
tersebut. Menurut M. Umer Chapra, sebuah masyarakat Islam
yang ideal mesti mengaktualisasikan keduanya secara bersamaan,
karena keduanya merupakan dua sisi yang sama yang tak bisa
dipisahkan. Dengan demikian, kedua tujuan ini terintegrasi sangat
kuat ke dalam ajaran Islam sehingga realisasinya menjadi
komitmen spritual (ibadah) bagi masyarakat Islam.
Komitmen Islam yang besar pada persaudaraan dan
keadilan, menuntut agar semua sumber daya yang menjadi
amanat suci Tuhan, digunakan untuk mewujudkan maqashid
syari’ah, yakni pemenuhan kebutuhan hidup manusia, terutama
kebutuhan dasar (primer), seperti sandang, pangan, papan,
pendidikan dan kesehatan. Persaudaraan dan keadilan juga
menuntut agar sumberdaya didistribusikan secara adil kepada
seluruh rakyat melalui kebijakan yang adil dan instrumen zakat,
infaq, sedekah, pajak, kharaj, jizyah, cukai ekspor-impor dan
sebagainya.[2]
C. Prinsip-prinsip Keadilan dalam Ekonomi Islam
1. Berbasis Tauhid
Tauhid menjadi fondasi utama ekonomi Islam, mempunyai
hubungan kuat dengan konsep keadilan sosial ekonomi dan
persaudaraan. Ekonomi Tauhid yang mengajarkan bahwa Allah
sebagai pemilik mutlak dan manusia hanyalah sebagai pemegang
amanah, mempunyai konsekuensi, bahwa di dalam harta yang
dimiliki setiap individu terdapat hak-hak orang lain yang harus
dikeluarkan sesuai dengan perintah Allah, berupa zakat, infaq dan
sedekah dan cara-cara lain guna melaksanakan pendistribusian
pendapatan yang sesuai dengan konsep persaudaraan umat
manusia.
Sistem keuangan dan perbankan serta kebijakan moneter,
misalnya, dirancang semuanya secara organis dan terkait satu
sama lain untuk memberikan sumbangan yang positif bagi
pengurangan ketidak-adilan dalam ekonomi dalam bentuk
pengucuran pembiayaan (kredit) bagi masyarakat dan memberikan
pinjaman lunak bagi masyarakat ekonomi lemah melalui
produk qardhul hasan.[3]
2. Distribusi kesejahteraan yang merata (Justified Distribution of
Welfare)
Selanjutnya, dalam rangka mewujudkan cita-cita keadilan
sosial ekonomi, Islam secara tegas mengecam konsentrasi asset
kekayaan pada sekelompok tertentu dan menawarkan konsep
zakat, infaq, sedekah, waqaf dan institusi lainnya, seperti pajak,

54
jizyah, dharibah, dan sebagainya. Al-Quran dengan tegas
mengatakan, “Supaya harta itu tidak beredar di kalangan orang
kaya saja di antara kamu” (QS. 59:7), “Di antara harta mereka
terdapat hak fakir miskin, baik peminta-minta maupun yang orang
miskin malu meminta-minta” (QS. 70:24).
Berdasarkan prinsip ini, maka konsep pertumbuhan
ekonomi dalam Islam berbeda dengan konsep pertumbuhan
ekonomi kepitalisme yang selalu menggunakan indikator PDB
(Produk Dosmetik Bruto) dan perkapita. Dalam Islam,
pertumbuhan harus seiring dengan pemerataan. Tujuan kegiatan
ekonomi, bukanlah meningkatkan pertumbuhan sebagaimana
dalam konsep ekonomi kapitalisme. Tujuan ekonomi Islam lebih
memprioritaskan pengentasan kemiskinan dan pengurangan
pengangguran. Karena itu, Islam menekankan keseimbangan
antara petumbuhan dan pemerataan. Pertumbuhan bukan
menjadi tujuan utama, kecuali dibarengi dengan pemerataan.
Dalam konsep Islam, pertumbuhan dan pemerataan merupakan
dua sisi dari sebuah entitas yang tak terpisahkan, karena itu
keduanya tak boleh dipisahkan.
Berdasarkan prinsip ini, maka paradigma tricle down effect,
yang dikembangkan kapitalisme dan pernah diterapkan di
Indonesia selama rezim orde baru, bertentangan dengan konsep
keadilan ekonomi menurut Islam. Selanjutnya, sistem ekonomi
kapitalis dicirikan oleh menonjolnya peran perusahaan swasta
(private ownership) dengan motivasi mencari keuntungan
maksimum, harga pasar akan mengatur alokasi sumberdaya, dan
efisiensi. Namun sistem ini selalu gagal dalam membuat
pertumbuhan dan pemerataan berjalan dengan seiring. [4]
Sistem ekonomi kapitalis telah menggoyahkan fondasi moral
manusia, karena sistem ini telah menghasilkan manusia yang
tamak, boros dan angkuh. Sistem kapitalis juga telah melahirkan
sejumlah bankir hebat, beberapa industriawan yang kaya raya,
sejumlah pengusaha yang sukses. Namun di pihak lain, telah
muncul banyak konsumen yang tidak mampu memenuhi
kebutuhan minimumnya. Kesenjangan terjadi secara tajam.
Perusahaan-perusahaan yang lemah akan tersingkir dan
tersungkur.
Perlu ditegaskan, bahwa melekatnya hak orang lain pada
harta seseorang bukanlah dimaksudkan untuk mematahkan
semangat karya pada setiap individu atau menimbulkan rasa
malas bagi sebagian orang. Juga tidak di maksudkan untuk
menciptakan kerataan pemilikan kekayaan secara kaku. Dalam
perspektif ekonomi Islam, proporsi pemerataan yang betul-betul

55
sama rata, sebagaimana dalam sosialisme, bukanlah keadilan,
malah justru dipandang sebagai ketidakadilan. Sebab Islam
menghargai prestasi, etos kerja dan kemampuan seseorang
dibanding orang yang malas.
Dasar dari sikap yang koperatif ini tidak terlepas dari
prinsip Islam yang menilai perbedaan pendapatan sebagai
sebuah sunnatullah. Landasannya, antara lain bahwa etos kerja
dan kemampuan seseorang harus dihargai dibanding seorang
pemalas atau yang tidak mampu berusaha. Bentuk
penghargaannya adalah sikap Islam yang memperkenankan
pendapatan seseorang berbeda dengan orang lain, karena usaha
dan ikhtiarnya. Firman Allah dalam surah an-Nahl [16]:71 yang
berbunyi:
ª!$#ur Ÿ@žÒsù ö/ä3ŸÒ÷èt/ 4’n?tã <Ù÷èt/ ’Îû É-ø—
Ìh9$# 4
Artinya: “Dan Allah melebihkan rezeki sebagian kamu atas sebagian
lain”. (QS. An-Nahl [16]:71).
Namun, orang yang diberi kelebihan rezeki, harus
mengeluarkan sebagian hartanya untuk kelompok masyarakat
yang tidak mampu (dhu’afa). Sehingga seluruh masyarakat
terlepas dari kemisikinan absolut. Konsep keadilan sosial ekonomi
yang diajarkan Islam menginginkan adanya pemerataan
pendapatan secara proporsional. Dalam tataran ini, dapat pula
dikatakan bahwa ekonomi Islam adalah ekonomi yang
dilandaskan pada kebersamaan. Karena itu tidak aneh, bila
anggapan yang menyatakan bahwa prinsip keadilan
social ekonomi Islam mempunyai kemiripan dengan sistem
sosialisme. Bahkan pernah ada pendapat yang menyatakan bahwa
sistem sosialisme itu jika ditambahkan dan dimasukkan unsur-
unsur Islam ke dalamnya, maka ia menjadi islami.
Dengan demikian, pendapat dan pandangan yang
menyatakan kemiripan sistem keadilan sosial Islam dengan
sosialisme tidak sepenuhnya benar, malah lebih banyak
keliruannya. Prinsip ekonomi sosialisme, yang menolak
kepemilikan individu dan menginginkan pemerataan pendapatan,
jelas berbeda dengan prinsip ekonomi Islam. Sosialisme sama
sekali tidak mengakui hak milik individu. Reaksi masxisme
dibungkus secara politis revolusioner dalam paham komunis yang
intinya mengajarkan bahwa seluruh unit ekonomi dikuasakan
kepada negara yang selanjutnya didistribusikan kepada seluruh
masyarakat secara merata. Hal ini didasarkan semangat
pertentangan terhadap pemilikan individu.

56
Sedangkan dalam ekonomi Islam, penegakkan keadilan
sosial ekonomi dilandasi oleh rasa persaudaraan (ukhuwah), saling
mencintai (mahabbah), bahu membahu (takaful)dan saling tolong
menolong (ta’awun), baik antara si kaya dan si miskin maupun
antara penguasa dan rakyat.[5]
3. Prinsip Jaminan sosial (Social Security)
Dalam sistem ekonomi Islam, keadilan sosial dipandang
tidak akan mungkin tercapai tanpa adanya prinsip ini. Prinsip
Jaminan sosial atau at Takaful ijtima’i yang dimaksud dalam hal
ini adalah keadaan dimana setiap orang dalam masyarakat saling
menjamin dan menanggung beban kemaslahatan sesama. Prinsip
ini banyak disebutkan dalam al Qur’an maupun Hadits Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, diantaranya, “Tidakkah Kamu
melihat orang yang mendustakan agama? Mereka adalah orang-
orang yang membiarkan anak yatim dan mereka juga tidak member
makan orang-orang miskin” (QS. Al-Ma’un [107]:1-3). Rasulullah
juga bersabda,“perumpamaan orang-orang beriman itu dalam kasih
sayang, sebagaimana batang tubuh, jika salah satu anggota tubuh
itu sakit, maka anggota tubuh yang lain juga merasakan
demam” (HR. Bukhori dan Muslim).
Namun begitu, Menurut Chapra mengutip pendapat Imam
Ghazali, sekalipun ilmu ekonomi Islam tetap berkonsentrasi pada
aspek alokasi dan distribusi sumber-sumber daya, seperti halnya
pada ilmu ekonomi konvensional, namun tujuan utama ekonomi
Islam adalah harus tetap merealisasikan maqashid, sebab tujuan
utama syari’ah adalah mendorong kesejahteraan manusia, yang
terletak dalam perlindungan terhadap agama mereka (diin), diri
(nafs), akal (‘aql), keturunan (nasl), harta benda (maal). Apa saja
yang menjamin terlindungnya lima perkara tersebut berarti
melindungi kepentingan dan kemaslahatan umum. Tentang kaitan
antara hukum-hukum syariah dengan kemaslahatan manusia
banyak dibahas oleh para ulama diantaranya Imam Al-Izz bin
Abdul Salam, dalam kitab beliau Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-
Anam. [6]

BAB III
PENUTUP
Simpulan:

57
Keadilan adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang
antara hak dan kewajiban.Ada empat nilai utama yang bisa ditarik
dari sistem ekonomi Islam dalam membentuk keadilan sosial
yaitu:
- Tauhid dan Maslahah Syari’yyah sebagai landasan pemikiran
dan tujuan aplikasi dari ekonomi Islam untuk mewujudkan
keadilan sosial dari semua aspek kehidupan.
- Moralitas menjadi pembatas atas kebebasan yang dimiliki,
sehingga setiap individu dalam melakukan aktivitasnya selalu
mempertimbangkan dampaknya bagi orang lain.
- Kesetaraan (equality) kewajiban dan hak, hal ini mampu
menyeimbangkan antara hak yang diterima dan kewajiban yang
harus dilaksanakan.
- Peranan positif dari negara, sebagai regulator yang mampu
memastikan kegiatan ekonomi berjalan dengan baik sehingga
tidak ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Berusaha
untuk selalu bermusyawarah , bekerja sama, dan saling
menyokong sebab hal ini menjadi salah satu fokus utama dalam
ekonomi Islam.

DAFTAR PUSTAKA

 Sayyid Qutb, Keadilan Sosial dalam Islam, alih bahasa Afif


Muhamad, cet. II, Bandung: Pustaka, 1994.
 http://www.agustiantocentre.com/?p=759
 http://ibnuanwarudin.blogspot.com/2010/11/konsep-keadilan-
dalam islam.html.
 Muhammad, Ekonomi Syari’ah, cet. I, Yogyakarta: Graha Ilmu,
2008.
 http://puzzleminds.com/ekonomi-islam-dan-keadilan-sosial/

[1]
Sayyid Qutb, Keadilan Sosial dalam Islam, alih bahasa Afif
Muhamad, (Bandung: Pustaka, 1994), cet. II, h. 37.
[2]
http://www.agustiantocentre.com/?p=759 (Selasa, tanggal 26 Maret 2013
pada jam 10.50WIT).

58
[3]
http://ibnuanwarudin.blogspot.com/2010/11/konsep-keadilan-dalam-islam.html (
Selasa, tanggal 26 Maret 2013 pada jam 11.53 WIT.
[4]
Sayyid Qutb, op. cit, h. 40
[5]
Muhammad, Ekonomi Syari’ah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008), cet. 1, h.148
[6]
http://puzzleminds.com/ekonomi-islam-dan-keadilan-sosial/ (Selasa, tanggal
26 Maret 2013 pada jam 10.48 WIT).

Gagasan Keadilan dalam Lintasan Sejarah

Keadilan adalah sebuah istilah abstrak. Mamaknai dengan benar


konsep keadilan bukanlah upaya yang mudah. Hal inilah yang
diungkapkan John Dewey bahwa keadilan tidak dapat digambarkan dalam
pengertian yang pasti. Ia berpendapat bahwa keadilan umumnya
dipandang sebagai kebajikan yang tidak berubah, akan tetapi persaingan
yang merugikan adalah tidak adil dan tidak fair. (Muhammad
Muslehuddin. 1985. h. 99.)
Sebenarnya upaya pemaknaan terhadap istilah keadilan ini telah
dilakukan oleh para ahli semenjak lama. Plato memaknai keadilan sebagai
kebajikan tertinggi yang tidak dapat dijelaskan melalui alasan rasional,
melainkan terdiri atas pelaksanaan individu masing-masing terhadap
tugas yang bebankan kepada mereka. Keadilan versi Plato adalah keadilan
yang dilekatkan kepada status dan kelas di masyarakat. Individu harus
melaksanakan tugas dan kewajiban yang dibebankan oleh posisi dia dalam
konteks sosial. Keadilan Plato menekankan kepada moralitas yang
mendukungstatus quo. Sebaliknya, Aristoteles memberikan definisi
keadilan dalam perspektif yang berbeda. Aristoteles menekankan kepada
arti penting hukum. Aristoteles melihat keadilan dari sudut pandang
hukum dan keperluan terhadap prinsip kebaikan. Konsepsi keadilan
menurut Aristoteles berkaitan dengan konsepsinya mengenai manusia
sebagai zoon politicon (makhluk politis). Manusia
sebagai zoonpiliticon harus aktif dalam kegiatan-kegiatan politik. Ketaatan
tertinggi manusia sebagai anggota politis adalah ketaatan terhadap hukum
politis. Keutamaan itulah yang disebut Aristoteles sebagai keadilan.
Keadilan hukum dalam pandangan Aristoteles terkait dengan keadilan
umum. (Theo Huijbers. 1988. h. 28.29.)
Menurut Paton, keadilan dan hukum harus dipisahkan karena
keduanya memiliki konsepsi yang berbeda. Hukumlah yang benar-benar
memiliki kekuatan, sedangkan keadilan adalah ideal yang terdiri atas sifat
alami moral manusia. Konsep keadilan berkembang sejalan dengan proses
perkembangan manusia, tetapi konsep tersebut tidak terbatas pada apa
yang terjadi di dunia nyata. Keadilan implisit dalam hukum dan
menyediakan test eksternal untuk menilai hukum. Hukum merupakan
sarana untuk mencapai keadilan. (Ibid. h. 79)

59
Meskipun demikian, pemahaman mengenai keadilan adalah sebuah
persoalan tersendiri bagi para pemikir muslim. Sebagian pemikir muslim
mendefinisikan keadilan dalam kerangka filsafat Aristotelian. Keadilan
dipahami sebagai pengejawantahan keutamaan yang tertinggi. Keadilan
adalah keutamaan yang ada dalam jiwa manusia setelah kualitas-kualitas
utama lain, yaitu kebijaksanaan (hikmah), iffah (kesucian diri),
dan syajaah (keberanian), itu terpenuhi.(lbnu Maskawaih. 1329 H. h. 10-
24)
Upaya menjabarkan makna keadilan yang dilakukan Maskawaih
menunjukkan betapa nilai ideal keadilan yang ada dalam Al-Qur'an masih
sangat umum sehingga memungkinkan berbagai upaya penjabaran
praktis. Maskawaih mencoba mendefinisikan keadilan dalam kerangka
filsafat etika Aristotelian. Barangkali juga, ulama-ulama lain akan
mendefinisikan keadilan dalam kerangka yang lain.

Islam dan Keadilan

Gagasan keadilan dalam Islam dapat dijumpai dalam Al-Qur'an dan


sunnah. Al-Qur'an mengandung beberapa istilah yang dekat dengan istilah
keadilan, yaitu alqisth, al-adl, dan mizan. Quraish Shihab memberikan
penjelasan bahwa kata al-ad1 berarti menundukkan dua belah pihak
dalam posisi yang sama. Kata al-qisth artinya bagian yang patut dan wajar
dan memiliki pengertian yang lebih luas dibandingkan dengan al-adl. Kata
mizan berarti timbangan dan juga digunakan untuk menyebut keadilan.
(Quraish Shihab. 1996. 111-112.)
Kata adl merujuk kepada keadilan dalam pengertian balasan atau
retribusi yang sama. Jika ada orang yang tidak melaksanakan puasa, maka
ia harus mengganti pada hari lain. Sementara itu, kata qisth merujuk
kepada kesamaan (equality) dalam pengertian pemberlakuan aturan
kepada orang-orang yang bukan warga negara. Pengertian keadilan dalam
kata qisthmengandung konflik kepentingan, sementara adl mengandung
keseimbangan antara kepentingan antar kelompok. Mizan dalam Al-
Quran merujuk kepada pengertian keseimbangan (balance). (Manzoor
Ahmad. 1986. h. 119.)
Muhammad Thahir Azary menjabarkan pengertian keadilan dalam
Al-Qur'an dalam ranah politik. Penjelasannya mengenai ayat-ayat keadilan
dalam Al-Qur'an didasarkan kerangka bahwa keadilan menjadi prinsip
ketiga dalam nomokrasi. Keadilan dalam Islam menurut Azhary identik
dengan kebenaran. Kebenaran dalam konteks ajaran Islam dihubungkan
dengan Allah sebagai sumber kebenaran, yang dalam Al-Qur'an disebut
dengan al-haqq. Kata adldalam Al-Qur'an menurut Azhary secara bahasa
berarti sama. Kata adlmenunjukkan keseimbangan atau posisi tengah.
(Muhammad Tahir Azhary. 1992. h. 65-66.)
Keadilan dalam nomokrasi Islam menurut Azhary terkait dengan
fungsi kekuasaan negara. Negara atau pemerintah sebagai pemegang
kekuasaan memiliki tiga kewajiban pokok. Pertama, kewajiban mene-
rapkan kekuasaan negara dengan adil, jujur, dan bijaksana. Kedua,

60
kewajiban menerapkan kekuasaan kehakiman dengan seadil-
adilnya Ketiga, kewajiban penyelenggara negara untuk mewujudkan
tujuan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera di bawah keridhaan
Allah. Keadilan dalam perspektif Azhary bersifat transenden dan
menegaskan kembali posisi manusia sebagai makhluk. Keadilan Islam
bersifat teosentrik karena bertumpu kepada Tuhan.[i] (Muhammad Tahir
Azhary. h. 89-90.)
Quraish Shihab mencoba memetakan kembali pengertian keadilan
yang dipahami oleh para ulama. Quraisy menemukan empat pengertian
keadilan yang dipahami oleh para pakar muslim. Pertama, keadilan yang
berarti sama yang didasarkan atas surat al-Nisa' ayat 4. Kata adil dalam
keadilan dalam pengertian pertama tersebut berkenaan dengan sikap
hakim dalam proses pengambilan keputusan. Kedua, keadilan berarti
seimbang, yang identik dengan proporsional dalam segala hal. Ketiga, adil
juga berarti memberikan perhatian kepada hak-hak individu dan
memberikan hak-hak kepada pemiliknya. Keadilan dalam pengertian
ketiga itu berkaitan dengan konteks sosial. Keadilan dalam pengertian
keempat berarti memelihara kewajaran dan kelangsungan eksistensi,
dimana adil ini dinisbatkan kepada Allah (Quraish Shihab. Op.Cit.h 114-
116)

Keadilan dalam Hukum Islam

Keadilan dalam hukum Islam selalu dikaitkan dengan aspek


Ketuhanan, yaitu dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan dan
antara manusia dengan manusia dalam perspektif wahyu. Penekanan
terhadap konsep keadilan dalam hukum Islam tampak dalam tulisan--
tulisan Ibnu Qayyim al-Jawziyyah. Ibnu Qayyim membicarakan keadilan
dalam konteks politik hukum (siyasah syar'iyyah). Konteks itu menjadi
perhatian di kalangan ulama Islam dengan adanya kesadaran bahwa
penguasa dalam taraf tertentu memiliki wewenang penjabaran dan
penambahan aturan hukum Islam sepanjang sesuai dengan jiwa syariah.
(Noel J. Coulson. 1991. h. 129.)
Ibnu al-Qayyim membagi keputusan-keputusan hukum yang
dihasilkan oleh kekuasaan politik (siyasah) menjadi dua, yaitu adil dan
zalim. Keputusan yang adil adalah syariah. Ibnu al-Qayyim menolak
pembedaan antara siyasahdan syariah, melainkan mengajukan cara
pembedaan lain, yaitu adil dan zalim. Adil adalah syariah, sedangkan
zhalim adalah antitesis terhadap syariah. Pandangan Ibnu al-Qayyim
dapat dipahami dalam latar belakang jurisprudensi Islam. (Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah. 1994. h. 121.)
Yurisprudensi Islam menghasilkan satu konsep besar hukum yang
memayungi dan memberi pengertian terhadap pola kerja hukum Islam.
Konsep tersebut adalah maslahah. Istilah maslahah dalam kajian hukum
Islam dipakai dalam dua pengertian, yaitu maslahah
mursalah dan maslahah sebagai almaqasid al-syariyyah. Maslahah men
urut pengertian pertama (maslahah mursalah) adalah salah satu upaya

61
menggali hukum dengan didasarkan kepada pertimbangan kebaikan
umum. Maslahah mursalah sebagai sebuah metode penggalian hukum
mula-mula diasosiasikan dengan madhhab Maliki, tetapi pada
perkembangannya metode maslahah digunakan secara luas untuk
memecahkan masalah-masalah yang tidak ada petunjuk ekplisitnya dari
Al-Qur'an dan sunnah.
Pengertian maslahah sebagai maqasid al-syari’ah dikembangkan
oleh al-Juwayni, yang kemudian dielaborasi lebih lanjut oleh al-Ghazali
dan mencapai puncaknya dalam pemikiran al-Syatibi. Maslahah dalam
pengertianmaqasid al-syari’ah menekankan kepada tujuan-tujuan
esensial yang ingin dicapai oleh hukum Islam. Tujuan-tujuan
esensial syariah tersebut diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu memelihara
kepentingan manusia yang bersifat mendasar (dlarury), sekunder (hajjy),
dan suplementer (tahsiny). Kepentingan manusia yang bersifat mendasar
tercakup dalam al-kulliyah alkhamsah, yaitu memelihara agama,
memelihara jiwa, memelihara keturunan/kehormatan, memelihara akal,
dan memelihara jiwa. Rumusan di atas dipandang berasal dari inti-sari
ajaran hukum Islam. (Muhammad Khalid Masud. h. 151.152.)
Hubungan antara maslahah dan keadilan memang tidak mudah
dipahami apabila aspek tersebut tidak dihubungankan melalui aspek
teologis dalam membangun paradigma hukum Islam. Kalangan
Mu'tazilah mengajukan kebaikan umum sebagai inti ajaran hukum Islam,
yang di dalamnya mengandung nilai keadilan dan maslahah sekaligus.
(Ibid. h. 131.) Akan tetapi, meskipun diakui sebagai sesuatu yang terkandung
dalam hukum Islam, keadilan sebagai sebuah pembahasan hukum akan
sulit dijumpai dalam kitab-kitab ushul fiqh. Ushul fiqh (yurisprudensi
Islam) memberikan petunjuk mengenai hubungan Tuhan dengan
manusia, posisi Tuhan sebagai pemberi hukum dan berbagai kaedah yang
menjabarkan bagaimana kehendak Tuhan dalam Al-Qur'an dan
penjelasan Nabi dipahami.
Keadilan dalam penjelasan di atas termasuk dalam kategori hukum
substantif. Keadilan dalam hukum Islam tidak bisa dilepaskan dari hukum
dan kebenaran. Keadilan didefinisikan dalam sudut pandang teologis,
dimana hubungan Tuhan dengan manusia bersifat vertikal, yaitu
sebagaimana hubungan antara hamba dengan Tuan/majikan. Kekuasaan
hukum mutlak di tangan Tuhan karena satu-satunya hakim (pembuat
hukum) yang diakui dalam hukum Islam hanyalah Allah. Allah sebagai
Maha Adil dan Maha Benar lebih mengetahui kebenaran dan keadilan
hakiki. Manusia harus selalu menemukan keadilan dan kebenaran yang
dianugerahkan Tuhan melalui proses ijtihad. Ijtihad melibatkan upaya
penalaran terhadap ukuran-ukuran kebenaran yang ditetapkan oleh
Tuhan. Ra’yu (ijma’, qiyas, istihsan dll) adalah salah satu bentuk ijtihad
dengan menggunakan penalaran akal, meskipun Nash(al-Qur’an dan
Hadist) tetap menjadi referensi dan rujukan. Prinsip keadilan
meniscayakan penggunaan rasio untuk menemukan satu kasus yang tidak
diterangkan oleh Firman Tuhan atau sabda Nabi. Dengan cara itu, hukum

62
Islam berkembang dan menjangkau kasus-kasus hukum yang lebih luas
melalui metode ijtihad.
Teori-teori hukum Islam memang tidak memilah secara tegas
antara hukum positif dan moralitas.(Noel J. Coulson.: iii ) Kepercayaan
kepada Tuhan mengandung unsur hukum, berupa perintah dan larangan
yang terejawantah dalam al-ahkam al-khamsah. (Abdul Wahhab Khallaf.
1978. h. 105-112.)Keadilan dapat diketahui melalui kehendak Tuhan
karena Tuhanlah sumber kebenaran. Gagasan keadilan dalam hukum
Islam merepresentasikan pandangan yang mengaitkan keadilan dengan
kebenaran.
Kebenaran adalah representasi dari kehendak Tuhan kepada
manusia yang dijabarkan melalui al-ahkam al-khamsah, yaitu wajib,
sunnah, mubah, makruh, dan haram. Keadilan substansif dalam hukum
Islam selalu dikaitkan dengan kehendak pembuat syara' (Allah) terhadap
manusia, baik kehendak tersebut dipahami melalui deduksi logis (al-
Kaidah al-Ushuliyah al-Lughawiyyah), dengan metode operasionalnya
diantaranya qiyas, maslahah al-mursalah, istihsan dll, atau deduksi dari
kaedah-kaedah umum syariah (al-Kaidah al-Ushuliyyah al-
Tasyri’’iyah) dengan operasionalnya yaitu maqashid al-syari’ah.
Ibnu al-Qayyim menegaskan kembali secara teoritis tumpang tindih
kebenaran hukum dengan keadilan. Ia menyamakan antara syariat dengan
keadilan. Keputusan otoritas politik (siyasah) ia pandang memiliki
legitimasi sebagaimana syariah apabila mengandung nilai-nilai keadilan
karena syariah adalah representasi keadilan. Di sisi lain, keadilan yang
digagas Ibnu Qayyim mengacu pula kepada upaya hakim untuk
menemukan kebenaran dan memberikan hukum bilamana ada
pelanggaran yang tidak ada aturan tegasnya secara formal. Ia menekankan
agar hakim mampu menangkap kebenaran, meskipun dalam kondisi
minim bukti dan minim aturan formal.(Ibnu Qayyim. 1961.h.11)
Upaya hakim dalam menemukan kebenaran dalam tataran praktis
adalah bentuk dari keadilan prosedural. Keadilan prosedural adalah aspek
ekternal hukum, tempat keadilan substantif direalisasikan. Tanpa adanya
keadilan secara prosedural, keadilan substantif hanya akan menjadi teori-
teori yang tidak menyentuh realitas masyarakat. (Majid Khaddouri.
h.144.) Peran individu dan lembaga menjadi sangat menentukan dalam
upaya realisasi keadilan tersebut. Individu mencakup orang-orang yang
memiliki otoritas untuk melaksanakan hukum. Dalam sejarah Islam,
individu tersebut meliputi para hakim dan penguasa. (Noel J. Coulson.
1969. h. 51.)
Keadilan dalam konteks pelaksana hukum meniscayakan adanya
kualifikasi untuk menjamin kapasitas dan legitimasi sosial bagi
hakim, penguasa, atau pemberi sanksi di pengadilan. Keadilan
dalam konteks pelaku (orang) menekankan kredibilitas dan
kepercayaan orang untuk dapat melakukan tugas-tugas hakim,
penguasa, dan persanksian di atas. Orang yang adil adalah orang
yang jauh dari dosa-dosa besar dan tidak membiasakan

63
melakukan dosa-dosa kecil, menjaga keperwiraan (muruah), dan
menjaga kesucian diri. Untuk terlibat dalam dunia keadilan,
pelaku terlebih dahulu harus memiliki kualifikasi moral dan
kepribadian tertentu. Kualifikasi tersebut berangkat dari stabilitas
mental dan kemampuan menampilkan diri sebagai sosok yang
kredibel.(Lawrence Rosen.. h. 155-157.)
Penjelasan Rosen terhadap keadilan dalam hukum Islam adalah
penjelasan terbaik terhadap keadilan dalam praktek hukum Islam.
Hasil penelitian Rosen di Maroko dan kajiannya terhadap literatur-
literatur hukum Islam membuatnya menyimpulkan bahwa
keadilan dalam masyarakat muslim dipahami dalam tiga
pengertian. Pertama, hubungan antara Tuhan dan manusia
bersifat resiprok, keadilan ada ketika hubungan timbal balik
membimbing semua interaksi. Kedua, keadilan merupakan proses
dan hasil dari penyamaan entitas-entitas yang sama. Keadilan
sebagai penyamaan mengisyaratkan pemahaman bahwa nalar dan
pengalaman harus digunakan untuk mengkalkulasi persamaan-
persamaan. Proses semacam itu tampak dalam qiyas.(Abdul
Wahhab Khallaf. h. 52.) Ketiga, karena hubungan-hubungan
manusia bersifat kompleks, keadilan harus dipahami melalui
undang-undangnya yang beragam, bukan sebagai sebuah prinsip
yang abstrak. (Lawrence Rosen. h. 155.)

KEADILAN DALAM ISLAM

64
Tamyiez Dery*

Abstrak

Keadilan adalah norma kehidupan yang didambakan oleh setiap orang dalam
tatanan kehidupan sosial mereka. Ada dua sumber keadilan, yaitu keadilan positif yang
merupakan konsep produk manusia, dan keadilan revelasional yang berasal dari Tuhan
yang juga disebut dengan keadilan Ilahi.
Ayat-ayat dalam Al-Qur’an banyak membicarakan keadilan, hal ini
menunjukkan bahwa Allah SWT adalah sumber keadilan dan
memerintahkan untuk menegakkan keadilan di dunia ini kepada para
rasulNya dan seluruh hambaNya. Oleh karena itu, bagi orang mukmin
yang menegakkan keadilan dapat dikatagorikan sebagai orang yang
telah berupaya meningkatkan kualitas ketakwaan diri. Keadilan dalam
Islam berarti persamaan, keseimbangan, pemberian hak kepada
pemiliknya dan keadilan Ilahi.
Kata Kunci : Keadilan Positif, Keadilan Relevasional, Keadilan
Ilahi.

1 Pendahuluan
Keadilan adalah norma kehidupan yang didambakan oleh setiap
orang dalam tatanan kehidupan sosial mereka. Lembaga sosial yang
bernama negara maupun lembaga-lembaga dan organisasi internasional
yang menghimpun negara-negara nampaknyapun mempunyai visi dan
misi yang sama terhadap keadilan, walaupun persepsi dan konsepsi
mereka barangkali berbeda dalam masalah tersebut.
Keadilan merupakan konsep yang relatif. Skala keadian sangat
beragam antara satu negara dengan negara lain, dan masing-masing
skala keadilan itu didefinisikan dan ditetapkan oleh masyarakat sesuai
dengan tatanan sosial masyarakat yang bersangkutan.
Dilihat dari sumbernya keadilan dapat diklasifikasikan menjadi
dua; keadilan positif dan keadilan revelasional. Keadilan positif adalah
konsep-konsep produk manusia yang dirumuskan berdasarkan
kepentingan-kepentingan individual maupun kepentingan kolektif
mereka. Skala-skala keadilan – dalam hal ini – berkembang melalui
persetujuan-persetujuan diam-diam maupun tindakan formal
singkatnya, keadilan jenis ini merupakan produk interaksi antara
harapan-harapan dan kondisi yang ada. Sedangkan keadilan
revelasional adalah keadilan yang bersumber dari Tuhan yang disebut
dengan keadilan Ilahi. Keadilan ini dianggap berlaku bagi seluruh
manusia, terutama bagi pemeluk agama yang taat. (Majid Khadduri,
1999:1).
Wahbah Zuhayli, dalam menafsirkan surat Al-Syura ayat 14 menyatakan bahwa
keadilan salah satu ajaran yang diemban oleh setiap rasul, bahkan konsep keadilan itu
tidak mengalami perubahan dari generasi seorang rasul sampai kepada generasi rasul-
rasul berikutnya, dan berakhir pada Muhammad saw (Wahbah Zuhayli, 1991 :41).
Nabi Muhammad saw sebagai pengemban risalah Allah yang terakhir, juga memiliki
ajaran keadilan. Jika Al-Qur’an dan Al Hadits disepakati sebagai dua sumber pokok

*
Tamyiez Dery, Drs., M.Ag., adalah dosen tetap Fakultas Syari'ah UNISBA

65
dan utama dan ajaran Muhammad saw, maka umat Islam memiliki pegangan yang
kuat untuk menggali dan memahami konsep keadilan yang kemudian dapat
diaplikasikan dalam kehidupan individual dan sosial mereka.
Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam yang utama, banyak sekali
menyebut keadilan. Kata al-Adl, dalam berbagai bentuk katanya disebut
sebanyak 28 kali, kata al-Qisth dalam berbagai shighahnya disebut
sebanyak 27 kali, dan kata al-Mizan yang mengandung makna yang
relevan dengan keduanya disebut 23 kali (Muhammad Fuad Abd al-Baqi,
1987 : 448-449 dan 544-545).
Banyaknya ayat Al-Qur’an yang membicarakan keadilan
menunjukkan bahwa Allah Swt adalah sumber keadilan dan
memerintahkan menegakkan keadilan di dunia ini kepada para rasulNya
dan seluruh hambaNya. Walaupun tidak ada satupun ayat Al-Qur’an
yang secara eksplisit menunjukkan bahwa al-‘Adl merupakan sifat Allah,
namun banyak ayat yang menerangkan keadilanNya (M. Quraisy Shihab,
2000 : 149). Oleh karena itu, dalam kajian al-Asma al-Husna, al-Adl
merupakan salah satu asma Allah, tepatnya asma yang ke- 30 dari 99
al-Asma al-Husna itu.
Mengenal sifat keadilan Allah mempunyai tujuan untuk lebih
meyakini dan mendekatkan diri kepadaNya. Lebih jauh dari itu,
mendorong manusia berbudi pekerti – sebatas kemampuannya – dengan
sifat adil Allah itu, dan mendorong mereka untuk berupaya dengan
sungguh-sungguh untuk meraih – sesuai dengan kemampuannya – sifat
adil itu, menghiasi diri, dan berakhlak dengan keadilan itu (M. Quraisy
Shihab, 2000 : 32-33).
Allah Swt itu sendiri dengan firmanNya di dalam AL-Qur’an,
memerintahkan mengakkan keadilan kepada para rasulNya dan seluruh
hambaNya. Perintah Allah yang ditujukan kepada rasul itu terdapat
pada surat al-Hadid (57) ayat 25.
áóÞóÏú ÃóÑúÓóáúäóÇ ÑõÓõáóäóÇ ÈöÇáúÈóíøöäóÇÊö
æóÃóäúÒóáúäóÇ ãóÚóåõãú ÇáúßöÊóÇÈó æóÇáúãöíÒóÇäó
áöíóÞõæãó ÇáäøóÇÓõ ÈöÇáúÞöÓúØö
"Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan
membawa bukti-bukti yang nyata dan telah kami turunkan
bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat
menegakkan keadilan…"
Ayat ini, secara gamblang, mengandung pengertian bahwa setiap
rasul adalah pengemban keadilan Tuhan yang tertuang dalam al-Kitab.
Bagi Muhammad saw keadilan yang diembanNya tertuang dalam Al-
Qur’an. Ayat ini juga menegaskan bahwa umat manusia mempunyai
tugas yang sama dengan para rasul dalam menegakkan keadilan, dan
acuan umat Islam dalam menegakkan keadilan adalah All-Qur’an.
Allah Swt, sebagaimana dapat dilihat surat al-Maidah ayat 8 dan 9,
memerintahkan orang-orang mukmin untuk menegakkan keadilan, dan
keadilan itu sendiri diklasifikasikan ke dalam amal salih. Oleh karena
itu orang mukmin yang menegakkan keadilan dapat dikategorikan
sebagai orang yang telah berupaya meningkatkan kualitas ketakwaan
dirinya. Dengan istilah lain, dapat dikatakan bahwa keadilan itu sebagai
salah satu indikator yang paling nyata dan dekat dengan ketakwaan.
Firman Allah tersebut adalah :

66
íóÇÃóíøõåóÇ ÇáøóÐöíäó ÂãóäõæÇ ßõæäõæÇ ÞóæøóÇãöíäó áöáøóåö
ÔõåóÏóÇÁó ÈöÇáúÞöÓúØö æóáóÇ íóÌúÑöãóäøóßõãú ÔóäóÂäõ
Þóæúãò Úóáóì ÃóáøóÇ ÊóÚúÏöáõæÇ ÇÚúÏöáõæÇ åõæó ÃóÞúÑóÈõ
áöáÊøóÞúæóì æóÇÊøóÞõæÇ ááåó Åöäøó Çááåó ÎóÈöíÑñ ÈöãóÇ
ÊóÚúãóáõæäó(8)æóÚóÏó Çááåõ ÇáøóÐöíäó ÂãóäõæÇ æóÚóãöáõæÇ
ÇáÕøóÇáöÍóÇÊö áóåõãú ãóÛúÝöÑóÉñ æóÃóÌúÑñ ÚóÙöíãñ(9)
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-
orang yang menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap
suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat dengan takwa dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan. Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang
beriman dan beramal salih, bahwa untuk mereka ampunan dan
pahala yang besar”.
Ayat diatas memerintahklan menegakkan keadilan dibidang
hukum, baik kedudukan mukmin tersebut sebagai hakim maupun
saksi. Pada ayat lain, Allah juga memerintahkan untuk menegakkan
keadilan dalam bentuk ucapan walaupun kepada kaum kerabat. Hal ini
ditemukan pada surat al-Anam (6) ayat 152
… æóÇöÐóÇ ÞõáúÊõãú ÝóÇÚúÏöáõæúÇ æóáóæúßóÇäó ÐóÇáúÞõÑúÈóì

"… Dan apabila kalian berkata, maka berkatalah dengan adil
walaupun terhadap kerabat".
Pada ayat itu juga AllahSwt memerintahkan agar mengelola harta
anak yatim dengan baik, dan agar menyempurnakan takaran dan
timbangan dengan adil.
æóáóÇ ÊóÞúÑóÈõæÇ ãóÇáó ÇáúíóÊöíãö ÅöáøóÇ ÈöÇáøóÊöí åöíó
ÃóÍúÓóäõ ÍóÊøóì íóÈúáõÛó ÃóÔõÏøóåõ æóÃóæúÝõæÇ Çáúßóíúáó
æóÇáúãöíÒóÇäó ÈöÇáúÞöÓúØö
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara
yang bermanfaat - adil hingga sampai dewasa. Dan sempurnakan
takaran dan timbangan dengan adil…"
Ayat lain yang berisi perintah menegakkan keadilan dibidang
muamalah dapat ditemukan pada surat al-Baqarah (2) ayat 282 sebagai
berikut :
… æóáúíóßúÊõÈú Èóíúäóßõãú ßóÇÊöÈñ ÈöÇáúÚóÏúáö …
"… dan hendaklah diantara kalian seorang penulis secara adil …"
Dari beberapa ayat yang memerintahakan keadilan diatas, dapat
dipahami bahwa perintah keadilan itu meliputi aspek-aspek kehidupan
manusia. Majid Khadduri, dalam bukunya yang berjudul Teologi kedilan
(perspektif Islam) mengklasifikasikan ke dalam 8 aspek : keadilan politik,
keadilan teologis, keadilan fillosofis, keadilan etis, keadilan legal,
keadilan diantara bangsa-bangsa, dan keadilan sosial (Majid Khadduri,
1999 : 13-14).
Identifikasi dan klasifikasi yang dikemukakan, oleh Khadduri,
secara detil dan luas inipun menunjukkan bahwa lapangan keadilan
dalam Islam itu begitu luas. Oleh karena itu, pakar muslim pada
umumnya melakukan kajian secara spesifik, Murtadha Muttahari

67
mengkaji keadilan Allah. Para teorilisi politik Islam memasukkan kajian
keadilan ke dalam sub kajian politik. M. Dhiauddin Rais yang menulis
buku Teori Politik Islam masukkan kajian keadilan ke dalam Prinsip
dasar Negara Islam, dan Muhammad Abdul Qadir Abu Fariz, dalam
bukunya Sistem Politik Islam, mengistilahkan keadilan sebagai salah
satu dari pilar-pilar politik Islam, yang menurutnya ada empat; yakni
kedaulatan Milik Allah, Keadilan dan Persamaan, Kataatan kepada
Pemerintah, dan Syura (Musyawarah). Sementara itu, M. Quraisy Shihab
yang menulis buku yang diberi judul “Wawasan Islam” juga membahas
Keadilan dan Kesejahteraan sebagai salah satu tema kajiannya.
Kajian dalam makalah ini tentu tidak mencakup seluruh aspek
keadilan tersebut. Kajian keadilan dalam makalah ini akan diarahkan ke
dalam bidang politik; dimulai dengan pembahasan tentang makna
keadilan, dan keadilan dalam politik Islam.

2 Makna Keadilan
Adil, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti tidak berat
sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, berpegang kepada
kebenaran, sepatutnya, dan tidak sewenang-wenang (Depdikbud, 1990 :
6-7).
Keadilan berarti kesamaan, berasal dari kata kerja (fi’il) ‘adala dan
mashdarnya adalah al-‘adl dan al-idl. As-‘adl untuk menunjukkan
sesuatu yang hanya ditangkap oleh bashirah (akal fikiran), dan al-‘idl
untuk menunjukkan keadilan yang bisa ditangkap oleh panca indera.
Contoh yang pertama adalah keadilan di bidang hukum, dan contoh
yang kedua antara lain : keadilan dalam timbangan, ukuran, dan
hitungan (al-Asfahani, 1972 : 336).
M. Quraisy Shihab (1996 : 111) mengatakan bahwa keadilan yang
berarti kesamaan memberi kesan adanya dua pihak atau lebih, karena
kalau hanya satu pihak, tidak akan terjadi adanya persamaan. Kata
al-‘adl, demikian Quraisy melanjutkan, diungkapkan oleh Al-Qur’an
antara lain dengan kata al-‘adl, al-qisth, dan al-mizan. Sementara itu,
Majid Khadduri (1999 : 8) menyebutkan. Sinonim kata al-‘adl; al-qisth,
al-qashd, al-istiqamah, al-wasath, al-nashib, dan al-hishsha. Kata adil itu
mengandung arti : pertama; meluruskan atau duduk lurus,
mengamandemen atau mengubah, kedua; melarikan diri, berangkat
atau mengelak dari satu jalan yang keliru menuju jalan lain yang benar,
ketiga sama atau sepadan atau menyamakan, dan keempat;
menyeimbangkan atau mengimbangi, sebanding atau berada dalam
suatu keadaan yang seimbang.
Dari beberapa macam makna keadilan tersebut di atas, para pakar
agama Islam, pada umumnya, merumuskan menjadi empat makna (M.
Quraisy Shihab, 1996:114-11 6). Pertama, adil dalam arti sama. Jika
dikatakan bahwa seseorang itu adil, artinya dia memperlakukan sama
antara orang yang satu dengan orang lain. Maksud persamaan di sini
adalah persamaan dalam hak. Dalam surat al-Nisa (4) : 58 dinyatakan :
æóÅöÐóÇ ÍóßóãúÊõãú Èóíúäó ÇáäøóÇÓö Ãóäú ÊóÍúßõãõæÇ
ÈöÇáúÚóÏúáö
"Apabila kamu sekalian memutuskan perkara diantara manusia,
maka kamu sekalian harus memutuskan secara adil".

68
Kata al-adl pada ayat ini, menurut Quraisy Shihab (1996:114),
berarti persamaan, dalam arti bahwa seorang hakim harus
memperlakukan sama antara orang-orang yang berperkara, karena
perlakuan sama antara para pihak yang berperkara itu merupakan hak
mereka. Murtadha Muthahari (1992:56), dalam pengertian yang sama,
mengatakan bahwa keadilan dalam arti persamaan ini bukan berarti
menafikan keragaman kalau dikaitkan dengan hak kepemilikan.
Persamaan itu harus diberikan kepada orang-orang yang mempunyai
hak kepemilikan yang sama. Jika persamaan itu diberikan kepada
orang-orang yang mempunyai hak kepemilikan yang berbeda, yang
terjadi bukan persamaan tapi kezaliman.
Al-Qur’an mengisahkan dua orang berperkara yang datang kepada
Nabi Dawud AS untuk mencari keadilan. Orang pertama memiliki
sembilan puluh sembilan ekor kambing betina, sedang orang ke dua
memiliki seekor. Orang pertama mendesak agar ia diberi pula yang
seekor itu agar genap menjadi seratus ekor. Keputusan Nabi Dawud AS,
bukan membagi kambing itu dengan jumlah yang sama, tapi
menyatakan bahwa pihak pertama telah berlaku aniaya terhadap pihak
yang kedua.
Kedua, adil dalam arti seimbang. Di sini, keadilan identik dengan
kesesuaian/proporsional. Keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar dan
sarat bagi semua bagian unit agar seimbang. Bisa saja satu bagian berukuran kecil atau
besar, sedangkan kecil dan besarnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya.
Petunjuk al-Qur’an yang membedakan antara yang satu dengan
yang lain, seperti pembedaan laki-laki dan perempuan pada beberapa
hak waris dan persaksian – apabila ditinjau dari sudut pandang keadilan
– harus dipahami dalam arti keseimbangan, bukan persamaan.
Keadilan dalam pengertian ini menimbulkan keyakinan bahwa
Allah yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui menciptakan dan
mengelola segala sesuatu dengan ukuran, kadar dan waktu tertentu
guna mencapai tujuan. Keyakinan itu nantinya akan mengantarkan
kepada keadilan Ilahi. (M. Quraisy Shihab, 1996:118).
Firman Allah swt, surat al-Rahman (55) ayat 7 menyatakan :
æóÇáÓøóãóÇÁó ÑóÝóÚóåóÇ æóæóÖóÚó ÇáúãöíÒóÇäó
“Dan Allah telah meninggikan langit dan ia menegakkan neraca
(keadilan)".
Keadilan disini mengandung pengertian keseimbangan sunnatullah
yang berlaku di seluruh langit.
Ketiga, adil dalam arti “perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak
itu kepada para pemiliknya”. Lawan keadilan dalam pengertian ini adalah kezaliman.
Murtadha Muthahhari (1992 : 56) menamakan keadilan ini dengan
keadilan sosial. Individu-individu sebagai anggota masyarakat dapat
meraih kebahagian dalam bentuk yang lebih baik. Oleh karena itu, hak-
hak dan preferensi-preferensi individu itu, mesti dipelihara dan
diwujudkan. Keadilan, dalam hal ini, bukan berarti mempersamakan
semua anggota masyarakat—sepeti konsep komunis, sama rasa sama
rata—melainkan mempersamakan mereka dalam kesempatan mengukir
prestasi.

69
Keempat, adil yang dinisbahkan kepada Ilahi. Adil di sini berarti memelihara
kewajiban atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistens dan
perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk itu. Keadilan Allah
swt pada dasarnya merupakan rahmat dan kebaikannya. Firman Allah swt yang
terdapat pada surat Hud (11) ayat 6 menegaskan :
æóãóÇ ãöäú ÏóÇÈøóÉò Ýöí ÇáúÃóÑúÖö ÅöáøóÇ Úóáóì Çááåö ÑöÒúÞõåóÇ

"Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi ini melainkan
Allah-lah yang memberi irzkinya …”
Binatang melata, pada ayat ini, berarti segenap mahluk Allah yang
bernyawa (Depag, 1971:327).
Ayat lain yang menunjukkan hal yang sama adalah surat Fushilat
(41) ayat 46 :
æóãóÇ ÑóÈøõßó ÈöÙóáøóÇãò áöáúÚóÈöíÏö
"Dan Tuhanmu tidak berlaku aniaya kepada hamba-hambanya”
Keadilan ilahi, demikian Murtadha Muttahari (1992:63)
menjelaskan, merupakan persoalan yang menarik semua orang,
melibatkan orang-orang desa yang buta aksara dan para filosuf yang
pemikir. Oleh karena itu, keadilan Tuhan memiliki urgensi khusus, dan
merupakan persoalan yang tiada taranya. Para teolog muslim tidak
kunjung selesai memperbincangkan masalah tersebut. Syi’ah dan
Mu’tazilah memandang keadilan sebagai prinsip ke dua di dalam
ushuluddin (pokok-pokok agama).

3 Keadilan Politik Islam


Sebagaimana telah disinggung di atas, Abdul Qadir Abu Faris,
dalam bukunya yang berjudul sistem politik Islam, beranggapan bahwa
keadilan merupakan salah satu dari empat pilar dari sistem politik
Islam. Sementara itu, M. Dhiaduddin Rais menyebutnya sebagai salah
satu dari empat prinsip dasar Negara islam.
Selanjutnya, Dhiaduddin mengatakan bahwa keadilan adalah
tujuan umum atau tujuan akhir dari pemerintahan Islam, dan
merupakan salah satu kewajiban bagi iman/pemimpin politik Islam
untuk mewujudkannya. (2001:265).
Keadilan politik, demikian kata Madjid Khaduri (1999:19-20),
diukur dengan perundang-undangan negara, penguasa akan
menentukan berapa banyuak unsur-unsur keadilan yang
terkandung dalam perundang-undangan negara. Dalam Islam,
orang-orang yang beriman memiliki pemikiran terhadap doktrin
bahwa tatanan publik mereka sesungguhnya berasal dari sumber
Ilahi yang Maha Agung. Dalam bentuknya yang membumi, sumber
itu terdiri atas wahyu dan hikmah Ilahiah. Yang pertama
termaktub dalam al-Qur’an dan yang kedua termaktub dalam
Sunnah Nabi (Hadits).
Sesuai dengan tatanan publiknya, keadilan politik dalam Islam—
sudah tentu semua aspek dari keadilan—berasal dari Allah yang Maha
Kuasa, yang kehendaknya tidak diujikan secara langsung pada

70
komunitas orang-orang beriman, tapi melalui seorang Nabi dan Imam
(penguasa).
Orang-orang beriman diperintah untuk menjalankan syari’at dan
mentaati para khalifah/ulil amri yang diangkatnya selagi ia tetap
konsisten dan konsekuen dalam menerapkan syari’at Allah. Firman
Allah, surat al-Nisa ayat 59, menegaskan :
íóÇÃóíøõåóÇ ÇáøóÐöíäó ÂãóäõæÇ ÃóØöíÚõæÇ Çááåó æóÃóØöíÚõæÇ
ÇáÑøóÓõæáó æóÃõæúáöí ÇáúÃóãúÑö ãöäúßõãú
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-
Nya, dan Ulil Amri diantara kamu…."
Kewajiban Ulil Amri atau Khalifah, sebagai pemegang otoritas
politik adalah menegakkan keadilan. Firman Allah, surat Shad (38) ayat
26, menegaskan :
íóÇÏóÇæõæÏõ ÅöäøóÇ ÌóÚóáúäóÇßó ÎóáöíÝóÉð Ýöí ÇáúÃóÑúÖö
ÝóÇÍúßõãú Èóíúäó ÇáäøóÇÓö ÈöÇáúÍóÞøö æóáóÇ ÊóÊøóÈöÚú
Çáúåóæóì ÝóíõÖöáøóßó Úóäú ÓóÈöíáö Çááåö …
"Hai Dawud, sesungguhnya kami menjadikan kamu Khalifah
(penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara)
diatara manusia dengan adil, dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah …"
Dengan ayat itu, Allah adalah pemberi mandat kekhalifahan
kepada seorang Nabi, dan sebagai khalifah, Nabi berkewajiban
menjalankan kehendak yang Maha Kuasa, serta diperintah agar
menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan kebenaran dan jalan
Allah. Kebenaran dan jalan Allah, menurut pendapat kebanyakan
mufasir, adalah identik dengan kebajikan dan keadilan (Majid Khadduri,
1999:21).
Kewajiban penguasa untuk berbuat adil dan hak rakyat untuk
mendapat keadilan itu memang sesuai dengan visi Islam tentang
manusia. Islam, demikian kata Abu Farih (1999:25), memandang
manusia dengan satu visi –dalam istilah lain disebut musawat—sebab
mereka diciptakan dari asal yang satu; ayah mereka satu – yaitu Adam
AS, dan Ibu mereka pun satu – yaitu Hawa.
Firman Allah surat al-Nisa (4) ayat 1, menerangkan :
íóÇÃóíøõåóÇ ÇáäøóÇÓõ ÇÊøóÞõæÇ ÑóÈøóßõãú ÇáøóÐöí
ÎóáóÞóßõãú ãöäú äóÝúÓò æóÇÍöÏóÉò æóÎóáóÞó ãöäúåóÇ
ÒóæúÌóåóÇ æóÈóËøó ãöäúåõãóÇ ÑöÌóÇáðÇ ßóËöíÑðÇ æóäöÓóÇÁð
"Hai Manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakanmu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah
menciptakan istrinya. Maka dari keduanya Allah
mengembangbiakan perempuan dan laki-laki yang banyak…"
Sejalan dengan itu, surat al-Hujarat (49) ayat 13 menegaskan :
íóÇÃóíøõåóÇ ÇáäøóÇÓõ ÅöäøóÇ ÎóáóÞúäóÇßõãú ãöäú ÐóßóÑò
æóÃõäËóì æóÌóÚóáúäóÇßõãú ÔõÚõæÈðÇ æóÞóÈóÇÆöáó
áöÊóÚóÇÑóÝõæÇ Åöäøó ÃóßúÑóãóßõãú ÚöäúÏó Çááåö
ÃóÊúÞóÇßõãú Åöäøó Çááåó Úóáöíãñ ÎóÈöíÑñ
“Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu sekalian dari
seorang lakii-laki dan perempuan dan menjadikan kamu sekalian

71
berbangsa-bangsa dan bersuku bangsa supaya kamu saling
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi maha Mengenal".
Karena manusia diciptakan oleh Allah dari nenek moyang yang
sama, mereka harus mendapat keadilan yang sama, dalam percaturan
politik mereka. Ini yang harus mendapat perhatian serius oleh para
penguasa sesuai dengan bidangnya masing-masing, baik mereka yang
memegang kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif : menurut
ketatanegaraan modern.
Bertitik tolak dari paradigma persamaan yang demikian itu, setiap
warga negara berhak mendapat perlakuan yang sama pada setiap
lapangan kehidupan kenegaraan mereka.
Terlepas dari polemik yang berkepanjangan antara aliran-aliran
politik Islam – Suni,Syii dan Khawarij—tentang kewenangan orang
untuk menjadi penguasa nomor satu/Khalifah di negara Islam --, jika
dikembalikan pada prinsip kesamaan tersebut di atas, semua orang
Islam yang memiliki loyalitas kapabiltas dan akseptabilitas yang
memadai berhak dipilih untuk menjadi khalifah, tidak harus dipandang
dari ras maupun warna kulitnya. Jadi sesuai dengan prinsip umum
tersebut, setiap warga negara memiliki hak pilih dan hak untuk dipilih
yang sama untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu dalam
pemerintahan. Kualifikasi-kualifikasi tertentu yang berkaitan dengan
jabatan yang akan diembannya harus dikaitkan dengan kelayakan
memegang amanat secara proporsional. Karena orang yang tidak mampu
memegang amanat akan merugikan diri sendiri maupun orang banyak.
Surat al-Nisa ayat 58 menegaskan :
Åöäøó Çááåó íóÃúãõÑõßõãú Ãóäú ÊõÄóÏøõæÇ ÇáúÃóãóÇäóÇÊö
Åöáóì ÃóåúáöåóÇ æóÅöÐóÇ ÍóßóãúÊõãú Èóíúäó ÇáäøóÇÓö Ãóäú
ÊóÍúßõãõæÇ ÈöÇáúÚóÏúáö
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menentapkan
secara adil….”
Ayat ini secara tegas menggandengkan antara amanat dengan
keadilan yang harus diemban, pengemban amanat harus mampu
menegakan keadilan di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu,
sangatlah wajar kalau pemegang amanat pemerintahan itu harus
memenuhi kualifikasi tertentu. Hal ini disebut oleh Muttahari sebagai
makna keadilan yang ketiga.
Dari ayat itu juga dapat diambil pengertian bahwa manusia/warga
negara mempunyai hak yang sama untuk mendapat keadilan di depan
hukum Abu Bakar al-Shidiq setelah terpilih menjadi Khalifah pertama,
dalam sambutannya mengatakan : “Ketahuilah bahwa orang yang paling
lemah diantara kalian adalah kuat hingga aku dapat mengambil (hak
orang lain) darinya dan orang yang paling kuat diantara kamu adalah
lemah sampai aku dapat memberian hak-haknya (Jalaludin al-Syuyuthi:
tt:64). Dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari
Aisyah ra. Bahwa Rasul telah bersabda : “Telah binasa orang-orang
sebelum kalian karena apabila orang terhormat mencuri mereka
biarkan, dan apabila orang lemah yang mencuri mereka jatuhkan

72
kepadanya hukuman had. demi Allah, Andaikan Fatimah binti
Muhammad mencuri, aku pasti akan memotong tangannya”. (M. Ismail
al-Kahlani, dan al-Sanani IV, 1960:20-21).
Di dalam wilayah Islam penduduk yang beragama lain memiliki
hak yang sama di depan hukum walaupun mereka mempunyai
kewajiban yang relatif berbeda dengan penduduk yang beragama Islam.
Masalah ini barangkali sudah banyak dibahas dalam kajian Piagam
Madinah atau lainnya. Oleh karena itu, masalah ini hanya cukup
disinggung seperlunya.
Para pakar muslim yang berbicara tentang keadilan juga
membahasnya dari aspek sosio politik disebut keadilan sosial. Mereka
berpendapat bahwa keadilan seorang penguasa/pejabat pemerintahan –
dalam hal yang berkaitan dengan hak-hak keuangan rakyat, hak-hak
yang menjadi konsekuensi suatu pekerjaan—akan membuat rakyatnya
merasa aman dan tentram, akan meningkatkan etos kerja mereka,
sehingga pembangunan sektor ekonomi meningkat dan terciptalah
kehidupan yang adil dan makmur. (M. Dhiauddin, 2001:269).
Dhiauddin melanjutkan, bahwa harta dan pekerjaan akan
memperkuat negara dan mempertahankan kesinambungan
pemerintahan. Oleh karena itu, segala bentuk kezaliman terhadap harta
rakyat atau hak kepemilikan rakyat akan membuat rakyat sengsara dan
kemalasan untuk bekerja. Konsekuensi berikutnya akan menimbulkan
krisis kepercayaan terhadap penguasa, bahkan dapat menimbulkan
krisis ekonomi.
Quraisy Shihab (1996:126) pada akhir kajiannya tentang keadilan
sosial menegaskan bahwa keadilan yang dimaksud bukan
mempersamakan semua anggota masyarakat melainkan
mempersamakan mereka dalam kesempatan mengukir prestasi.
Jika kesempatan berprestasi telah diberikan kepada seluruh rakyat, namun diantara
mereka ada yang kurang mampu, bahkan tidak mampu berprestasi dalam mencari
nafkah, maka jalan keluar yang ditempuh oleh pemerintahan Islam adalah
memberikan santunan kepada mereka; melalui zakat atau lainnya. Surat al-Taubah
ayat 60 menggambarkan orang-orang yang berhak menerima santunan dari uang zakat
antara lain : orang-orang fakir, miskin, amil, mualaf, hamba sahaya (untuk usaha
memerdekannya), gharim (orang pailit) dan ibn sabil.
Muad ibn Jabal ketika diutus menjadi Gubernur di Yaman
mendapat pesan dari rasulullah saw : “Aku diperintah untuk mengambil
zakat dari orang-orang kaya diantara kalian dan membaginya kepada
orang-orang fakir dari kalangan kalian (Wahbah Zuhaili, X, 1991:361).
Demikian beberapa aspek keadilan politik yang mampu dibahas
dalam makalah ini, yang tentu saja tidak meliputi seluruh aspek politik
Islam. Namun, dengan kajian ini ini diharapkan dapat memberi
gambaran umum mengenai keadilan dalam poltik Islam, dan dapat
memotivasi penulis maupun pembaca makalah ini untuk melakukan
kajian yang lebih dalam.

4 Rangkuman
Berdasarkan kajian singkat tersebut di atas dapat dirangkum
sebagai berikut :

73
1. Keadilan dalam Islam paling tidak mencakup empat makna; keadilan
dalam arti sama atau persamaan, keadilan dalam arti seimbang
(proporsional), keadilan dalam arti memberikan hak kepada
pemiliknya, dan keadilan Ilahi.
2. Keadilan diperintahkan kepada para (Rasul dan amanat manusia.
Dengan kata lain, para Rasul dan ummat manusia pada dasarnya
adalah pengemban keadilan dari Allah yang Maha Adil.
3. Para penguasa pada hakekatnya adalah pemegang mandat dari Allah
untuk menegakkan keadilan pada pemerintahannya atau rakyatnya.
4. Rakyat mempunyai hak untuk mendapat keadilan dalam segala aspek
pehidupan bernegara, di depan hukum, untuk dipilih dan memilih
pemimpin, mendapat pekerjaan dan kebebasan berusaha, dan lain-
lain.
5. Orang yang kurang/tidak berperstasi di bidang ekonomi, berhak
mendapat santunan di bidang ekonomi berhak mendapat santunan
dari pemerintah Islam, baik dari harta zakat, atau lainnya ?
------------------

DAFTAR PUSTAKA

Abu Fariz, M. Abdul Qadir, 2000, Sistem Politik Islam, (terjemahan),


Musthalah Maufur J, Jakarta, Rabbani Pess.
Abd al-Baqi, Muhammad Fu'ad, 1987, al-Mu'jam al-Mufahras li Al-Fadh
al-Qur'an al-Karim, Bairut, Dar al-Fikr.
Al-Kahlani & al-Shan'ani, Ismail, Muhammad ibn, 1960, Subul al-Salam,
Singapura, Sulaiman Mar'i.
Al-Syuyuthi, Jalaluddin, tanpa tahun, Tarikh al-Khulafa, Bairut, Dar al-
Fikr.
Al-Ashfahani, Mu'jam Mufradat al-Fadh al-Qur'an, tanpa tahun, Dar al-
Kitab al-Arabi.
Depdikbud, 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, , Jakarta, Balai
Pustaka,
Khadduri, Majid, 1999, Teologi Keadilan Perspektif Islam, Surabaya,
Risalah Gusti,
Muthahari, Murtadha, 1992, Keadilan Ilahi, terjamahan, Agus Effendi,
Bandung, Mizan.
Shihab M. Quraisy, 1996, Wawasan Islam, Mizan, Bandung, th..
Al-Zuhaily, Wahbah, 1991al-Tafsir al-Munir, , Jilid IX, Beirut, Dar al-Fikr,
,

74
75

Anda mungkin juga menyukai