Anda di halaman 1dari 41

EVIDENCE BASED MIDWIFERY

DALAM PELAYANAN KESEHATAN REPRODUKSI DAN


KELUARGA BERENCANA
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok
Evidence Based Midwifery (EBM)

Oleh :
Ade Nunung P2.06.24.3.18.001
Atika Puspa W P2.06.24.3.18.005
Eva Nurarofah Ks P2.06.24.3.18.010
Intan Pramugita P2.06.24.3.18.015
Tina Trianty P2.06.24.3.18.033

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN TASIKMALAYA
PROGRAM STUDI DIV KEBIDANAN
TASIKMALAYA
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan rahmat beserta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini yang berjudul “Evidence Based Midwivery Dalam Pelayanan
Kesehatan Reproduksi Dan Keluarga Berencana”. Makalah ini disusun guna
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Evidence Based Midwifery (EBM).
Kami menyadari makalah ini masih banyak kekurangan, baik dari segi isi,
maupun sistematika. Oleh karena itu, kami sangat berterima kasih apabila ada
kritik dan saran untuk perbaikan makalah ini.
Harapan kami, semoga makalah ini bermanfaat bagi siapapun yang
membacanya dalam upaya peningkatan wawasan mahasiswa. Akhir kata, kami
mengucapkan terima kasih atas perhatiannya.

Tasikmalaya, 13 November 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI
Halaman

KATA PENGANTAR................................................................................ ii
DAFTAR ISI.............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah........................................................................... 2
C. Tujuan ............................................................................................ 2
BAB II KAJIAN TEORI
A. Pengertian Evidence Based Midwifery (EBM) Dalam Pelayanan Kesehatan
Reproduksi dan Keluarga Berencana.............................................. 3
1. Evidence Based Practice (EBP)................................................. 3
2. Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana....................... 3
B. Ruang lingkup Evidence Based Midwifery (EBM) Dalam Pelayana
Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana............................ 4
1. Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR)...................................... 4
2. Kesehatan Reproduksi Ibu dan Pasangan Usia Subur............... 24
3. Keluarga Berencana (KB).......................................................... 29
4. Kesehatan Reproduksi Usia Lanjur........................................... 32
BAB III PENUTUP.............................................................................. 35
DAFTAR PUSTAKA............................................................................ iii

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejarah menunjukkan bahwa bidan adalah salah satu profesi tertua di
dunia sejak adanya peradaban umat manusia. Bidan muncul sebagai wanita
terpercaya dalam mendampingi dan menolong ibu yang melahirkan. Peran dan
posisi bidan di masyarakat sangat dihargai dan dihormati karena tugasnya yang
sangat mulia, memberi semangat, membesarkan hati, mendampingi, serta
menolong ibu yang melahirkan sampai ibu dapat merawat bayinya dengan baik
(Diana, 2017).
Praktik kebidanan telah mengalami perluasan peran dan fungsi dari fokus
terhadap ibu hamil, bersalin, nifas, bayi baru lahir, serta anak balita bergeser
kepada upaya mengantisipasi tuntutan kebutuhan masyarakat yang dinamis
yaitu menuju kepada pelayanan kesehatan reproduksi sejak sebelum konsepsi
hingga usia lanjut, meliputi konseling prekonsepsi, persalinan, pelayanan
ginekologis, kontrasepsi, asuhan pre dan post menopause, sehingga hal ini
merupakan suatu tantangan bagi bidan (Diana, 2017). Dalam Permenkes No.
28 Tahun 2017 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan disebutkan
bahwa bidan berwenang dalam pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan
Keluarga Berencana.
Evidence Based Practice (EBP) hadir sebagai jawaban terhadap berbagai
permasalahan dalam praktik kebidanan, selanjutnya disebut sebagai Evidence
Based Midwifery (EBM). Dengan Evidence Based Midwifery (EBM), bidan
mampu memberikan pelayanan terpusat pada klien dengan prinsip continuity
of care dan keputusan-keputusan klinis yang berdasarkan penelitian-penelitian
mutakhir terbaru sehingga keadaan klinis pasien yang lebih baik. Berdasarkan
hal tersebut, penulis menyusun makalah dengan judul “Evidence Based
Midwivery Dalam Pelayanan Kesehatan Reproduksi Dan Keluarga Berencana”.

B. Rumusan Masalah

1
1. Apa pengertian Evidence Based Midwifery (EBM) dalam pelayanan
kesehatan reproduksi dan Keluarga Berencana (KB)?
2. Apa saja yang termasuk Evidence Based Midwifery (EBM) dalam
pelayanan kesehatan reproduksi dan Keluarga Berencana (KB)?

C. Tujuan
1. Menjelaskan pengertian Evidence Based Midwifery (EBM) dalam
pelayanan kesehatan reproduksi dan Keluarga Berencana (KB).
2. Menjelaskan jurnal-jurnal yang termasuk kedalam Evidence Based
Midwifery (EBM) dalam pelayanan kesehatan reproduksi dan Keluarga
Berencana (KB).

BAB II
PEMBAHASAN

2
A. Pengertian Evidence Based Midwifery (EBM) Dalam Pelayanan Kesehatan
Reproduksi dan Keluarga Berencana
1. Evidence Based Practice (EBP)
Evidence Based Practice (EBP) merupakan suatu pendekatan pemecahan
masalah untuk pengambilan keputusan klinis yang terintegrasi didalamnya
adalah ilmu pengetahuan atau teori yang ada dengan pengalaman dan bukti-
bukti nyata yang baik (pasien dan praktisi). EBP dapat dipengaruhi oleh
faktor internal dan eksternal serta memaksa untuk berpikir kritis dalam
penerapan pelayanan baik terhadap individu, kelompok maupun system
(Newhouse, dkk,2005). Sementara Evidence Based Midwifery (EBM)
merupakan EBP yang berkaitan dengan asuhan kebidanan dan kandungan.
Tidak semua EBM dapat langsung diaplikasikan oleh semua professional
kebidanan di dunia. Oleh karena itu bukti ilmiah tersebut harus ditelaah
terlebih dahulu, mempertimbangkan manfaat dan kerugian serta kondisi
setempat seperti budaya, kebijakan dan lain sebagainya.
2. Kesehatan Reproduksi dan Kesehatan Berencana
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan
Reproduksi menyatakan bahwa kesehatan reproduksi adalah keadaan sehat
secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebasa dari
penyakit atau kecacatan beritan dengan dengan fungsi dan proses kerjanya.
Ruang lingkup kesehatan reproduksi dalam perarutan ini, meliputi :
pelayanan kesehatan reproduksi remaja, pelayanan kesehatan masa sebelum
hamil, saat hamil, dan setelah melahirkan, pengaturan kehamilan, pelayanan
kontrasepsi dan kesehatan seksual, serta pelayanan kesehatan sistem
reproduksi.
Kesehatan reproduksi yang ada dalam konteks pembangunan masyarakat
Indonesia mencakup 5 (lima) komponen/program terkait, yaitu Program
Kesehatan Ibu dan Anak, Program Keluarga Berencana, Program Kesehatan
Reproduksi Remaja, Program Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit
Menular Seksual (PMS) termasuk HIV/AIDS, dan Program Kesehatan
Reproduksi pada Usia Lanjut. Pelaksanaan Kesehatan Reproduksi

3
dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan siklus hidup (life-cycle
approach) agar diperoleh sasaran yang pasti dan pelayanan yang jelas
berdasarkan kepentingan sasaran/klien dengan memperhatikan hak
reproduksi. Kesehatan reproduksi memiliki tiga komponen yaitu
kemampuan prokreasi, mengatur dan menjaga tingkat kesuburan, dan
menikmati kehidupan seksual secara bertanggung jawab. Prioritas dari
pelayanan kesehatan reproduksi pada konteks saat ini masih dalam hal
kesehatan ibu dan anak (KIA), Keluarga Berencana (KB), kesehatan
reproduksi Remaja (KRR) dan penanggulangan Pengakit Menular Seksual
(PKMS) (Hasanah,2016).
Jadi Evidence Based Midwifery (EBM) dalam pelayanan kesehatan
reprodusi dan Keluarga Berencana (KB) merupakan kumpulan bukti klinis
terbaik yang terintegrasi dengan keterampilan klinis dan nilai-nilai serta
ekspektasi klien sehingga sehingga terbentuk suatu keadan reproduksi individu
yang sehat dan sejahtera. Keluarga Berencana (KB) merupakan salah satu
bagian dari kesehatan reproduksi.
B. Ruang lingkup Evidence Based Midwifery (EBM) Dalam Pelayanan Kesehatan
Reproduksi dan Keluarga Berencana
1. Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR)
Masa remaja merupakan peralihan masa kanak-kanak menjadi dewasa
yang melibatkan perubahan berbagai aspek seperti biologis, psikologis, dan
sosial-budaya. WHO mendefinisikan remaja sebagai perkembangan dari
saat timbulnya tanda seks sekunder hingga tercapainya maturasi seksual
dan reproduksi, suatu proses pencapaian mental dan identitas dewasa, serta
peralihan dari ketergantungan sosioekonomi menjadi mandiri. Secara
biologis, saat seorang anak mengalami pubertas dianggap sebagai indikator
awal masa remaja. Namun karena tidak adanya petanda biologis yang
berarti untuk menandai berakhirnya masa remaja, maka faktor-faktor sosial,
seperti pernikahan, biasanya digunakan sebagai petanda untuk memasuki
masa dewasa.
Rentang usia remaja bervariasi bergantung pada budaya dan tujuan
penggunaannya. Di Indonesia berbagai studi pada kesehatan reproduksi

4
remaja mendefinisikan remaja sebagai orang muda berusia 15-24 tahun.
Sedangkan menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN) remaja berusia 10-24 tahun. Sementara Departemen Kesehatan
dalam program kerjanya menjelaskan bahwa remaja adalah usia 10-19
tahun. Di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat menganggap remaja
adalah mereka yang belum menikah dan berusia antara 13-16 tahun, atau
mereka yang bersekolah di sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah
menengah atas (SMA).
Kesehatan reproduksi remaja adalah suatu kondisi sehat yang
menyangkut sistem, fungsi dan proses reproduksi yang dimiliki oleh
remaja. Pengertian sehat disini tidak semata-mata berarti bebas penyakit
atau bebas dari kecacatan namun juga sehat secara mental serta sosial
kultural.
Fungsi memahami kesehatan reproduksi diantaranya adalah mengenal
tubuhnya dan organ-organ reproduksinya; memahami fungsi dan
perkembangan organ reproduksi secara benar. Memahami perubahan fisik
dan psikisnya; melindungi diri dari berbagai risiko yang mengancam
kesehatan dan keselamatannya; mempersiapkan masa depan yang sehat dan
cerah; mengembangkan sikap dan perilaku bertanggungjawab mengenai
proses reproduksi. Pada remaja, menganal bagian-bagian tubuh dan organ
reproduksi menjadi hal yang sangat penting, karena dengan mengenal
bagian biologis mengarahkan remaja untuk dapat berperilaku secara
bertanggung jawab dalam menjaga tubuh dan organ reproduksinya.
Memahami tubuh dan fungsi organ reproduksi secara benar tentu
menjadikan remaja menjadi lebih berhati-hati dalam merawat, menjaga,
dan melindungi organ reproduksinya. Pada tahap ini memungkinkan remaja
memiliki kesadaran dalam melindungi aspek vital dan menjaga diri dari
tindak kekerasan seksual.
Program kesehatan reproduksi remaja mulai menjadi perhatian pada
beberapa tahun terakhir ini karena beberapa alasan:
 Ancaman HIV/AIDS menyebabkan perilaku seksual dan
kesehatan reproduksi remaja muncul ke permukaan.

5
Diperkirakan 20-25% dari semua infeksi HIV di dunia terjadi
pada remaja. Demikian pula halnya dengan kejadian IMS yang
tertinggi di remaja, khususnya remaja perempuan, pada
kelompok usia 15-29.3
 Walaupun angka kelahiran pada perempuan berusia di bawah 20
tahun menurun, jumlah kelahiran pada remaja meningkat karena
pendidikan seksual atau kesehatan reproduksi serta pelayanan
yang dibutuhkan.
 Bila pengetahuan mengenai KB dan metode kontrasepsi
meningkat pada pasangan usia subur yang sudah menikah, tidak
ada bukti yang menyatakan hal serupa terjadi pada populasi
remaja.
 Pengetahuan dan praktik pada tahap remaja akan menjadi dasar
perilaku yang sehat pada tahapan selanjutnya dalam kehidupan.
Sehingga, investasi pada program kesehatan reproduksi remaja
akan bermanfaat selama hidupnya.
 Kelompok populasi remaja sangat besar; saat ini lebih dari
separuh populasi dunia berusia di bawah 25 tahun dan 29%
berusia antara 10-25 tahun.
Menanggapi hal itu, maka Konferensi Internasinal Kependudukan dan
Pembangunan di Kairo tahun 1994 menyarankan bahwa respon masyarakat
terhadap kebutuhan kesehatan reproduksi remaja haruslah berdasarkan
informasi yang membantu mereka menjadi dewasa yang dibutuhkan untuk
membuat keputusan yang bertanggung jawab.
a. Remaja dan Dismenore
Pada remaja, organ reproduksi mulai mengalami perkembangan
dan pertumbuhan. Organ reproduksi pada perempuan terdiri dari
ovarium, tuba volopi, uterus, vagina (kemaluan), selaput dara, bibir
kemaluan, klitoris, saluran kemih. Ovarium adalah organ reproduksi
yang berfungsi mengeluarkan sel telur. Tuba falopi berfungsi
menyalurkan sel telur setelah keluar dari indung telur dan tempat
terjadinya pembuahan. Uterus berfungsi sebagai tempat tumbuh dan
berkembangnya tempat calon bayi. Vagina adalah lubang tempat

6
masuknya sel sperma pada saat bersenggama. Vagina juga merupakan
jalan keluarnya darah saat haid dan janin yang akan dilahirkan. Hymen
merupakan lapisan tipis yang berada di dalam liang kemaluan. Bibir
kemaluan adalah bagian paling luar yang memiliki banyak pembuluh
darah. Klitoris adalah organ reproduksi yang memiliki tingkat kepekaan
terhadap rangsangan yang sangat tinggi karena tersusun dari banyak
pembuluh darah. Saluran kemih berguna untuk mengeluarkan air
kencing dan terletak di antara klitoris dan mulut vagina.
Masa remaja merupakan usia di mana individu berintegrasi dengan
masyarakat dewasa, usia di mana anak tidak lagi merasa di bawah
tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan
yang sama. Pertumbuhan dan perkembangan pada masa remaja sangat
pesat, baik fisik maupun psikologis. Pada perempuan sudah mulai
terjadinya menstruasi dan pada laki-laki sudah mulai mampu
menghasilkan sperma (Hurlock, 2009 ; Proverawati & Misaroh, 2009).
Menstruasi atau haid adalah mengacu kepada pengeluaran secara
periodik darah dan sel-sel tubuh dari vagina yang berasal dari dinding
rahim wanita. Biasanya menstruasi dimulai antara 10 dan 16 tahun,
tergantung pada bagian faktor, termasuk kesehatan wanita, status nutrisi
dan berat tubuh relatif terhadap tinggi tubuh. Menstruasi berlangsung
kira-kira sekali sebulan sampai wanita mencapai usia 45-50 tahun
(Kinanti, 2009).
Pada saat menstruasi biasanya mengalami nyeri perut, yang biasa
disebut dengan Dismenore. Dismenore ini adalah kekakuan atau kejang
di bagian bawah perut yang terjadi pada waktu menjelang atau selama
menstruasi, yang memaksa wanita untuk beristirahat atau berakibat
pada menurunnya kinerja dan berkurangnya aktifitas sehari-hari
(Dianawati, 2003 ; Proverawati & Misaroh, 2009).
Gejala Dismenore yang paling umum adalah nyeri mirip kram
dibagian bawah perut yang menyebar ke punggung dan kaki. Gejala
terkait lainnya adalah muntah, sakit kepala, cemas, kelelahan, diare,
pusing dan rasa kembung atau perut terasa penuh. Beberapa wanita

7
mengalami nyeri sebelum menstruasi dimulai dan bisa berlangsung
beberapa hari (Ramaiah, 2004).
Berdasarkan Nafiroh dan Indrawati (2013) dalam jurnal yang
berjudul “Gambaran Pengetahuan Remaja Tentang Dismenore Pada
Siswa Putri Di MTS NU Mranggen Kabupaten Demak” . Dismenore
adalah kekakuan atau kekejangan di bagian bawah perut yang terjadi
pada waktu menjelang atau selama menstruasi, yang memaksa wanita
untuk beristirahat atau berakibat pada menurunnya kinerja dan
kurangnya aktifitas sehari-hari. Dari wawancara terhadap 10 siswi, ada
7 siswi yang kurang tahu tentang Dismenore, 1 siswi yang cukup tahu
tentang Dismenore dan 2 siswi yang sudah tahu tentang Dismenore. Hal
itu terjadi kemungkinan dari tidak adanya pendidikan kesehatan
reproduksi di MTs NU Mranggen Kabupaten Demak. Tujuan Penelitian
untuk mengetahui gambaran pengetahuan tentang Dismenore pada
siswa putri di MTs NU Mranggen Kabupaten Demak. Jenis penelitian
yang digunakan adalah jenis penelitian deskriptif dengan metode
pendekatan point time. Jumlah populasi sebanyak 84 siswi yang terdiri
dari kelas VII, VIII, dan IX, kemudian pengambilan sampel dilakukan
dengan teknik sampel stratifikasi menjadi 46 siswi. Instrumen dalam
penelitian ini menggunakan kuesioner dengan item pertanyaan 20 soal
dan analisis data menggunakan rata-rata, minimum, maksimum, standar
deviasi dan distribusi frekuensi. Hasil Penelitian yang diperoleh adalah
mayoritas responden merupakan remaja pertengahan (umur 13 -15
tahun) yaitu 84,8% dan mayoritas responden memiliki pengetahuan
kurang tentang Dismenore sebesar 78,3%. Kesimpulan mayoritas
responden memiliki pengetahuan kurang tentang Dismenore yaitu
sebesar 36 siswi (78,3%).
Upaya penanganan Dismenore saat menstruasi, terdapat beberapa
terapi yaitu dengan menggunakan obat-obat anti sakit (analgetic). Obat-
obat penghambat pengeluaran hormon Prostaglandin seperti Aspirin,
Endomethacin, dan Asam Mefenamat. Selain menggunakan terapi,
penanganan Dismenore dapat juga dilakukan dengan terapi

8
nonfarmakologi, yaitu dengan olah raga ringan, mengkonsumsi buah
dan sayur, serta mengurangi kadar gula dan kafein. Apabila
permasalahan semakin parah, maka harus berkonsultasi dengan dokter
(Yatim, 2001 ; Dianawati, 2003).
Berdasarkan penelitian Rahayuningrum (2016), salah satu terapi
non farmakologis yang bisa dilakukan untuk mengurangi dismenore
teknik relaksasi nafas dalam dan kompres hangat. Tujuan dari penelitian
untuk mengetahui perbedaan pengaruh teknik relaksasi nafas dalam dan
kompres hangat dalam menurunkan dismenore pada remaja putri di
SMA Negeri 3 Padang. Penelitian ini menggunakan desain Quasi
Eksperiment. Sampel sebanyak 32 orang remaja yang dibagi dua pada
masing-masing perlakuan dengan waktu pelaksanaan 20 menit. Uji
statistik yang digunakan adalah uji t-test sampel berpasangan dan uji t-
test sampel bebas. Hasil menunjukkan terdapat penurunan yang
bermakna pada skala dismenore pada masing-masing kelompok
(p=0,000). Analisa bivariat menunjukkan tidak terdapat perbedaan
bermakna penurunan skala dismenore pada remaja yang diberi teknik
relaksasi nafas dalam dan kompres hangat. Berdasarkan penelitian ini
disarankan kepada remaja menggunakan teknik relaksasi nafas dalam
dan kompres hangat sebagai salah satu alternatif penurunan nyeri
dismenore.
Menurut Marlinda, dkk (2013), kejadian dismenore dapat dikurangi
dengan senam dismenore. Senam merupakan salah satu teknik relaksasi
yang dapat digunakan untuk mengurangi nyeri karena saat melakukan
senam, otak dan susunan saraf tulang belakang akan menghasilkan
endorphin, hormon yang berfungsi sebagai obat penenang alami dan
menimbulkan rasa nyaman. Penelitian ini menggunakan rancangan
eksperimen semu dengan desain penelitian non equivalent control
group design. Populasi pada penelitian ini adalah remaja putri yang
mengalami dismenore yang berjumlah 42 orang. Sampel yang diambil
15 orang untuk masing - masing kelompok kontrol dan perlakuan.
Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling. Alat

9
pengumpulan data menggunakan lembar observasi senam dismenore
dan lembar observasi skala nyeri. Analisa data dilakukan dengan
bantuan software SPSS dengan uji nonparametrik Mann-Whitney. Hasil
penelitian dengan menggunakan uji nonparametrik Mann-Whitney
menunjukkan p-value sebesar 0,041 dan karena p-value 0,041 < 
(0,05), maka Ho ditolak yang berarti ada pengaruh senam dismenore
terhadap penurunan dismenore pada remaja putri di Desa Sidoharjo
Kecamatan Pati, sehingga senam dismenore dapat digunakan sebagai
alternatif terapi non farmakologi untuk penatalaksanaan dismenore.
Selain senam dismenore, menurut Siahaan, dkk (2012) yoga dapat
menjadi alternative latihan fisik untuk mengurangi dismenore.
Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apakah ada
pengaruh yoga terhadap tingkat dismenore pada mahasiswi Fakultas
Ilmu Keperawatan Unpad. Jenis penelitian yang digunakan adalah quasi
eksperimen dengan only one grouppretest dan posttest design,
menggunakan instrumen Visual Analog Scale (VAS) skala 1-10.
Responden adalah mahasiswi yang berjumlah 20 orang diambil secara
purposive sampling. Penelitian dilakukan di Fakultas Ilmu Keperawatan
dan yoga dilakukan selama 30 menit. Pengolahan data menggunakan uji
statistik nonparametric t-test of related dengan two tail test atau paired-
sampel t test dengan nilai α 0,05. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa saat sebelum yoga, 50% responden mengalami dismenore pada
kategori nyeri sedang dan 10% mengalami nyeri berat terkontrol.
Sedangkan sesudah yoga, 70% responden mengalami dismenore pada
kategori nyeri ringan, 15% tidak mengalami nyeri dan 0% yang
mengalami nyeri berat terkontrol sehingga dapat disimpulkan terdapat
pengaruh yoga terhadap dismenore dengan p-value = 0.000.
Berdasarkan hasil penelitian, maka yoga dapat dijadikan sebagai salah
satu alternatif intervensi untuk dismenore.
Terapi non farmakologi lain yang dapat dipakai untuk mengurangi
dismenore salah satunya dengan mengonsumsi coklat hitam dan jahe.
Menurut Amelia dan Maharani (2017) dalam jurnalnya yang berjudul :

10
“Effectiveness Of Dark Chocolate And Ginger On Pain Reduction Scale
In Adolescent Dysmenorhea”, dark chocolate atau cokelat hitam kaya
akan kalsium, kalium, natrium, magnesium serta vitamin A, B1, C, D,
dan E, Magnesium berguna untuk merelaksasikan otot dan dapat
memberikan rasa rileks yang dapat mengendalikan suasana hati yang
murung (Hill, 2002). Magnesium berfungsi memperbesar pembuluh
darah sehingga mencegah kejang otot dan dinding pembuluh darah.
Magnesium berfungsi untuk meringankan dismenore atau rasa nyeri
saat haid (Devi, 2012). Sementara itu jahe (ginger) merupakan
antiinflamasi dan anti karsinogenik yang efektif (Ali 2008). Uji
laboratorium memperlihatkan bahwa ekstrak jahe dalam air panas
menghambat aktivitas lipoksigenase dan siklooksigenase sehingga
menurunkan kadar prostaglandin dan leukotriena (mediator inflamasi).
Menetralkan efek merusak yang disebabkan oleh radikal bebas.
Sehingga dapat digunakan oleh wanita yang memiliki keluhan setiap
datang bulanannya. Rasa jahe yang hangat juga dapat memberikan efek
nyaman pada pencernaan yang mengalami ketidaknyamanan saat
menstruasi di hari pertama sampai ketiga.
Amelia dan Maharani (2017) melakukan penelitian dengan metode
Quasi Experimental Design dengan pendekatan Pretest-Posttest
Control Group Design. Subyek penelitian ini adalah seluruh remaja
putri di kota Semarang. Populasi terjangkau penelitian ini adalah semua
mahasiswa tingkat I yang tinggal di asrama Bakti Husada Poltekkes
Kemenkes Semarang pada tahun akademik 2016/2017. Teknik
pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah consecutive sampling.
Hasil penelitian membuktikan terdapat perbedaan bermakna antara
tingkatan nyeri menstruasi pada remaja sebelum dan sesudah pemberian
intervensi berupa coklat hitam dan jahe dibandingkan dengan kelompok
kontrol (p value 0,029). Itu artinya bahwa kelompok responden yang
menerima terapi berupa coklat hitam dan jahe lebih mengalami

11
penurunan tingkat nyeri menstruasi dibandingkan kelompok kontrol
yang tidak diberikan keduanya.
b. Remaja dan Keputihan
Fluor albus (keputihan, leukorea, vaginal discharge) merupakan
istilah yang digunakan untuk cairan yang keluar dari genitalia wanita
yang bukan berupa darah. Fluor albus adalah masalah yang sering
ditemukan pada pasien ginekologi. Sepertiga pasien ginekologi datang
dengan keluhan fluor albus. Penyebab tersering fluor albus (keputihan)
patologis adalah infeksi. Proses infeksi dapat dipicu oleh banyak hal,
salah satunya adalah karena pemakaian panty liner. Panty liner memiliki
susunan yang sama dengan pembalut ketika menstruasi namun
ukurannya lebih tipis. Pemakaian panty liner bertujuan untuk menyerap
cairan vagina, keringat, bercak darah, sisa darah menstruasi dan
terkadang juga dipakai sebagai penyerap urin bagi wanita inkontinensia.
Berdasarkan penelitian Farage, panty liner meningkatkan populasi
Eubacterium species di vagina dan menurunkan jumlah Lactobacillus
species di vagina sebagai flora normal. Pemakaian panty liner juga
dapat mentransfer flora intestinal seperti Eschericia coli ke dalam
vagina dan pemakaian panty liner non breathable dapat meningkatkan
risiko Kandidiasis. Laporan dermatitis kontak alergi akibat pemakaian
panty liner tetap ada. Biasanya masalah alergi tersebut terkait dengan
dermatosis vulva, infeksi vulva dan akibat hipersensitifitas terhadap
parfum, bahan perekat maupun bahan penyusun lainnya pada panty
liner. Kulit vulva memiliki perbedaan dengan kulit lengan bawah pada
lapisan sratum corneum. Kulit vulva akan mengalami peningkatan
hidrasi apabila terjadi gesekan pada permukaanya dan keadaan ini tidak
ditemukan pada kulit lengan bawah.
Persia, dkk (2015) dalam jurnal berjudul “Hubungan Pemakaian
Panty Liner dengan Kejadian Fluor Albus pada Siswi SMA di Kota
Padang Berdasarkan Wawancara Terpimpin (Kuisioner)”melakukan
penelitian untuk menentukan hubungan antara pemakaian panty liner
dengan kejadian fluor albus pada siswi SMA. Penelitian dilakukan pada

12
siswi di enam SMA di kota Padang. Penelitian ini menggunakan desain
cross sectional study dengan responden sebanyak 289 orang.
Pengumpulan data responden dilakukan dengan wawancara terpimpin
(pengisian kuisioner). Analisis statistik yang digunakan adalah uji chi-
square. Hasil penelitian didapatkan bahwa lebih dari separuh responden
yang memakai panty liner mengalami fluor albus (69,2%) dan 80%
diantaranya mengganti panty liner.
Penelitian lain dengan judul “Tujuan Penelitian untuk mengetahui
Perbedaan Penggunaan Pembalut Dan Pantyliner Jenis Biasa, Herbal
Dan Kain Dengan Kejadian Keputihan” (Susanti dan Wijaya, 2018)
melakukan penelitian non eksperimental dengan pendekatan cross
sectional. Pengambilan kesimpulan menggunakan analitik komparatif.
Teknik pengumpulan data menggunakan data primer berupa lembar
observasi yang dibagikan ke responden. Analisis data menggunakan
analisis univariat dan bivariat menggunakan chi square dan koefisien
kontingensi untuk mengetahui kekuatan perbedaannya. Hasil Penelitian
menunjukkan tidak ada perbedaan antara penggunaan pembalut dan
panty liner jenis biasa, herbal dan kain dengan kejadian keputihan pada
Mahasiswa prodi D III Kebidanan Stikes Paguwarmas.
c. Remaja dan Perilaku Seks
Perubahan fisik yang cepat dan terjadi secara berkelanjutan pada
remaja menyebabkan para remaja sadar dan lebih sensitif terhadap
bentuk tubuhnya dan mencoba membandingkan dengan teman-teman
sebaya. Jika perubahan tidak berlangsung secara lancar maka
berpengaruh terhadap perkembangan psikis dan emosi anak, bahkan
terkadang timbul ansietas, terutama pada anak perempuan bila tidak
dipersiapkan untuk menghadapinya. Sebaliknya pada orangtua keadaan
ini dapat menimbulkan konflik bila proses anak menjadi dewasa ini
tidak dipahami dengan baik.
Perubahan psikososial pada remaja dibagi dalam tiga tahap yaitu
remaja awal (early adolescent), pertengahan (middle adolescent), dan
akhir (late adolescent).14,17- 19 Periode pertama disebut remaja awal

13
atau early adolescent, terjadi pada usia usia 12-14 tahun. Pada masa
remaja awal anak-anak terpapar pada perubahan tubuh yang cepat,
adanya akselerasi pertumbuhan, dan perubahan komposisi tubuh
disertai awal pertumbuhan seks sekunder. Karakteristik periode remaja
awal ditandai oleh terjadinya perubahan-perubahan psikologis seperti :
krisis identitas, jiwa yang labil, meningkatnya kemampuan verbal untuk
ekspresi diri, pentingnya teman dekat/sahabat, berkurangnya rasa
hormat terhadap orangtua, kadang-kadang berlaku kasar, menunjukkan
kesalahan orangtua, mencari orang lain yang disayangi selain orangtua,
kecenderungan untuk berlaku kekanak-kanakan, dan terdapatnya
pengaruh teman sebaya (peer group) terhadap hobi dan cara berpakaian.
Pada fase remaja awal mereka hanya tertarik pada keadaan sekarang,
bukan masa depan, sedangkan secara seksual mulai timbul rasa malu,
ketertarikan terhadap lawan jenis tetapi masih bermain berkelompok
dan mulai bereksperimen dengan tubuh seperti masturbasi. Selanjutnya
pada periode remaja awal, anak juga mulai melakukan eksperimen
dengan rokok, alkohol, atau narkoba. Peran peer group sangat dominan,
mereka berusaha membentuk kelompok, bertingkah laku sama,
berpenampilan sama, mempunyai bahasa dan kode atau isyarat yang
sama. Periode selanjutnya adalah middle adolescent terjadi antara usia
15-17 tahun, secara seksual sangat memperhatikan penampilan, mulai
mempunyai dan sering berganti-ganti pacar. Sangat perhatian terhadap
lawan jenis. Sudah mulai mempunyai konsep role model dan mulai
konsisten terhadap cita-cita. Periode late adolescent dimulai pada usia
18 tahun ditandai oleh tercapainya maturitas fisik secara sempurna.
Pada fase remaja akhir lebih memperhatikan masa depan, termasuk
peran yang diinginkan nantinya. Mulai serius dalam berhubungan
dengan lawan jenis, dan mulai dapat menerima tradisi dan kebiasaan
lingkungan.
ndahuluan Perilaku seksual remaja, terutama perilaku seks
pranikah, masih mendominasi perdebatan dari sisi moral, psikologis,

14
dan fisik. Hubungan seks pranikah pada remaja adalah masalah serius
karena berkaitan dengan rendahnya penggunaan kontrasepsi dan remaja
cenderung memiliki lebih banyak pasangan seksual jika mulai
berhubungan seks pranikah pada usia yang lebih dini.1,2Menurut
Glasier et al.,3seks yang tidak aman merupakan faktor risiko terpenting
kedua bagi timbulnya kecacatan dan kematian di negara-negara miskin,
serta faktor risiko terpenting ke-9 di negara-negara maju. Hubungan
seks pranikah pada remaja mengalami peningkatan selama abad ke-20.
Usia remaja mulai berhubungan seks pranikah bervariasi di tiap-tiap
negara, berkisar dari 12 – 17,5 tahun dan rata-rata dimulai sejak usia 15
tahun. Studi sebelumnya di Indonesia tentang perilaku seks pranikah
remaja, memperoleh hasil sekitar 25% – 51% remaja telah berhubungan
seks pranikah. Hasil penelitian Utomo dan McDonald, menunjukkan
perilaku seks pranikah disebabkan oleh rangsangan secara terus-
menerus melalui materi-materi seksual di media cetak, internet, serta
melalui teman sebaya (peer). Berdasarkan Theory of Planned Behavior,
SocialLearning Theory, Diffusion of Innovations Theory, dan Ideation
Model, teman sebaya berperan penting sebagai determinan utama dari
perilaku.
Menurut Aritonang (2015), masalah kesehatan reproduksi
merupakan salah satu masalah yang terjadi pada remaja saat ini. Untuk
itu diperlukan pemahaman tentang: (1) pemeliharaan kebersihan alat
reproduksi, (2) proses-proses reproduksi serta (3) dampak dari perilaku
yang tidak bertanggung jawab seperti kehamilan yang tidak diinginkan,
aborsi, dan penyakit menular seksual. Aritonang (2016) melakukan
sebuah penelitian dengan tujuan untuk mengetahui hubungan
pengetahuan dan sikap tentang kesehatan reproduksi dengan perilaku
seks pranikah. Sampel yang digunakan sebanyak 103 orang yaitu
remaja usia (15-17 tahun). Metode yang digunakan adalah deskriptif
analitik dengan pendekatan cross sectional. Data dianalisis secara
univariat dan bivariat dengan uji Chi-Square, menggunakan SPSS 16.

15
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) terdapat hubungan yang
signifikan antara pengetahuan dan sikap tentang kesehatan reproduksi
dengan perilaku seks pranikah pada remaja usia (15-17 tahun), (2)
pengetahuan dan sikap yang baik akan mempengaruhi perilaku seks
pranikah. (3) pengetahuan dan sikap merupakan faktor predisposisi
yang terdapat dalam diri seseorang yang memotivasi untuk bertindak,
baik positif maupun negatif.
Rahyani, dkk (2012) melakukan penelitian dengan tujuan untuk
mengeksplorasi inisiasi hubungan seksual sebelum nikah pada remaja
level 10 dan 11 berdasarkan kerangka kerja IBM, meliputi komunikasi
tentang seks kelompok peers, orang tua, paparan perilaku pornografi,
kepercayaan normatif, agen personal, dan keinginan hubungan seksual.
Metode yang digunakan adalah menyertakan 626 responden dalam
survei awal. Responden adalah siswa sekolah menengah atas level 10 –
11 di kota Denpasar. Data dikumpulkan dengan kuesioner laporan
sendiri khususnya prediktor inisiasi hubungan seksual sebelum
menikah. Penelitian ini menemukan bahwa pajanan pornografi, perilaku
langsung dan tidak langsung berhubungan secara signifikan dengan
inisiasi hubungan seksual sebelum nikah (nilai p < 0,05). Remaja laki-
laki tampaknya melakukan lebih banyak aktivitas seksual daripada
remaja perempuan. Penelitian ini berimplikasi terhadap pemahaman
perilaku langsung dan pajanan pornografi mungkin digunakan dalam
meningkatkan program kesehatan dan kesehatan remaja.
Pengetahuan remaja tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi
masih rendah, meskipun telah terdapat inisiatif pendidikan seksualitas
dan kesehatan reproduksi seperti yang ditunjukan oleh berbagai
penelitian sebelumnya. Pakasi dan Kartikawati (2013) dalam jurnal
yang berjudul “Antara Kebutuhan dan Tabu: Pendidikan Seksualitas
dan Kesehatan Reproduksi bagi Remaja di SMA” melakukan penelitian
dengan mixed methods, yaitu kuantitatif yang didukung oleh kualitatif.
Metode kuantitatif, yaitu survei dilakukan terhadap 918 siswa dan 128
guru SMA dan didukung oleh diskusi kelompok terfokus dan

16
wawancara mendalam di delapan kota di Indonesia. Diskusi kelompok
terfokus dilakukan terhadap organisasi masyarakat sipil, forum guru,
dan kelompok remaja, sedangkan wawancara mendalam dilakukan
terhadap pemerintah daerah, orang tua murid, komite sekolah, dan
tokoh agama/masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi tidak sesuai dengan
realitas perilaku seksual dan resiko seksual yang dihadapi remaja
karena: (1) Pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi yang sudah
diberikan pada jenjang SMA lebih menitikberatkan pada aspek biologis
semata; (2) Masih adanya anggapan bahwa seksualitas merupakan hal
yang tabu untuk diberikan di sekolah; (3) Pendidikan cenderung
menekankan pada bahaya dan resiko seks pranikah dari sudut pandang
moral dan agama; (4) Pendidikan belum memandang pentingnya aspek
relasi gender dan hak remaja dalam kesehatan reproduksi dan seksual
remaja. Konstruksi seksualitas remaja dan wacana mengenai pendidikan
seksualitas berperan terhadap isi dan metode pendidikan seksualitas dan
kesehatan reproduksi bagi remaja.
Remaja sangat membutuhkan informasi tentang seksualitas dan
peran ibu sangat penting. Meilani, dkk (2014) dalam jurnal berjudul
“Perilaku Ibu dalam Memberikan Pendidikan Seksualitas pada Remaja
Awal” dilakukan penelitian untuk mengetahui determinan perilaku ibu
yang meliputi umur, pekerjaan, pendidikan, pengetahuan kesehatan
reproduksi remaja, persepsi kemampuan diri dan sikap dalam
pendidikan seksualitas. Jenis penelitian adalah survei dengan
pendekatan potong lintang. Populasi terjangkau adalah ibu yang
mempunyai anak remaja berusia 10 _ 14 tahun dan mengikuti program
Bina Keluarga Remaja percontohan di Kabupaten Magelang. Pemilihan
sampel menggunakan klaster sampling dan berjumlah 92 orang.
Pengumpulan data menggunakan kuesioner. Analisis bivariat
menggunakan uji kai kuadrat dan analisis mulitivariat menggunakan
regresi logistik. Hasil penelitian menunjukkan mayoritas ibu belum

17
memberikan pendidikan seksualitas dengan baik. Variabel yang
berhubungan adalah pendidikan ibu, pengetahuan ibu tentang kesehatan
reproduksi remaja, persepsi kemampuan diri ibu dan sikap ibu. Persepsi
kemampuan diri ibu merupakan variabel yang paling berpengaruh
terhadap perilaku ibu dalam memberikan pendidikan seksualitas.
Adapun Buzarudina (2013) dalam jurnal berjudul “Efektivitas
Penyuluhan Kesehatan Reproduksi Remaja Terhadap Tingkat
Pengetahuan Siswa Sman 6 Kecamatan Pontianak Timur Tahun 2013”
melakukan penelitian untuk mengetahui efektivitas penyuluhan
mengenai kesehatan reproduksi remaja terhadap tingkat pengetahuan
siswa SMA Negeri 6 Kecamatan Pontianak Timur Kota Pontianak usia
15-18 tahun pada tahun 2013. Penelitian ini menggunakan metode quasi
eksperimental dengan menggunakan rancangan one group pretest-
postest design yang dilakukan pada 87 orang responden. Uji hipotesis
menggunakan uji Wilcoxon. Didapatkan hasil dengan uji Wilcoxon,
diperoleh nilai significancy (sig) sebesar 0,000 (p<0,05) menunjukan
bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara skor sebelum
penyuluhan dan setelah penyuluhan. Penyuluhan mengenai kesehatan
reproduksi remaja efektif dalam meningkatkan pengetahuan responden
mengenai kesehatan reproduksi remaja.
d. Remaja dan HIV/AIDS
Salah satu fase yang mempunyai kerentanan yang tinggi terhadap
penularan HIV-AIDS adalah masa remaja, suatu masa yang mempunyai
mobilitas sosial yang paling tinggi dibandingkan masa usia lainnya.
Pada tahun terakhir ini terdapat kecenderungan peningkatan kasus
penyakit HIV-AIDS khususnya pada kelompok remaja yang merupakan
usia reproduktif. Remaja yang aktif secara seksual berisiko hamil dan
tertular infeksi menular seksual (IMS). Hampir 20 juta dari 46 juta
adalah unsafe abortions dan 13% berakhir dengan kematian. Hal
tersebut meningkatkan kerentanan remaja terhadap berbagai penyakit,
terutama yang berhubungan dengan kesehatan seksual dan reproduksi,
termasuk peningkatan ancaman terhadap HIV/AIDS.

18
Penularan (transmisi) HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak
antara sekresi cairan vagina atau cairan preseminal seseorang dengan
rektum, alat kelamin, atau membran mukosa mulut pasangannya.
Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung lebih berisiko daripada
hubungan seksual insertif tanpa pelindung, dan risiko hubungan seks
anal lebih besar dari pada risiko hubungan seks biasa dan seks oral.
Seks oral tidak berarti tak berisiko karena HIV dapat masuk melalui
seks oral reseptif maupun insertif. Kekerasan seksual secara umum
meningkatkan risiko penularan HIV karena pelindung umumnya tidak
digunakan dan sering terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang
memudahkan transmisi HIV. Infeksi menular seksual memerlukan
pengamatan atau deteksi dini yang terus-menerus karena Infeksi
menular seksual (IMS) adalah salah satu pintu untuk memudahkan
terjadinya penularan HIV.
Pratiwi dan Basuki (2011) dalam jurnalnya yang berjudul
“Hubungan Karakteristik Remaja Terkait Risiko Penularan Hiv-Aids
Dan Perilaku Seks Tidak Aman Di Indonesia” menganalisis hubungan
karakteristik remaja dalam risiko kerentanan dalam penularan HIV-
AIDS dengan Perilaku seksual tidak aman pada remaja usia 15–24
tahun. Metode analisis berdasarkan jenis data karakteristik remaja
sebagai variabel independen dan perilaku seks tidak aman remaja
sebagai variabel dependen. Pencegahan penularan HIV-AIDS yang
bersifat nominal sebagai variabel dependen, maka uji analisis melalui 2
tahap analisis. Analisis tahap pertama yaltu analisis univariat, dan
bivariat. Analisis tahap kedua untuk analisis hubungan dua variabel
yang kemudian dilanjutkan dengan analisis regressi binomial. Hasil
analisis menunjukkan bahwa pengetahuan remaja tentang cara
pencegahan HIV-AIDS dengan hanya dengan satu pasangan tetap yang
tidak berisiko persentasenya 86,0%, sedangkan pengetahuan remaja
bahwa cara pencegahan dengan tidak menggunakan jarum suntik
bersama baru 78,9% remaja. Hasil uji regressi ditemukan hubungan

19
yang bermakna secara signifikan antara tempat tinggal dengan perilaku
seks tidak aman dengan p = 0,000 pada alfa 0,05 yang berarti remaja
yang tinggal di desa lebih berisiko berperilaku seksual tidak aman
dibandingkan remaja yang tinggal di kota. Peningkatan penyuluhan
pada kelompok remaja melalui peer group di desa lebih diprioritaskan
mengingat akses informasi upaya preventif HIV-AIDS di desa yang
kurang dibandingkan kota.
Penelitian lain di tahun yang sama dengan judul : “Pengetahuan
HIV Dan AIDS Pada Remaja Di Indonesia (Analisis Data Riskesdas
2010)” dengan tujuan untuk mengetahui gambaran pengetahuan HIV
dan AIDS pada remaja di Indonesia. Digunakan metode penelitian
deskriptif dengan desain potong lintang. Populasi penelitian adalah
semua individu sampel Riskesdas 2010 pada remaja yang berumur 15-
19 tahun. Kriteria inklusi sampel pada penelitian ini adalah semua
remaja yang berumur 15-19 tahun, termasuk dalam sampel Riskesdas
2010 yang belum menikah dan menandatangani inform consent. Data
yang digunakan Riskesdas 2010 dengan rincian kuesioner RKDIO.RT
dan RKDIO.IND. Data yang dikumpulkan meliputi pengenalan tempat
dan keterangan anggota rumah tangga (wilayah, umur, jenis kelamin,
status kawin, pendidikan, pekerjaan, status ekonomi), pengetahuan HIV
dan AIDS dan perilaku seksual. Pengetahuan HIV dan AIDS merupakan
nilai komposit dari pertanyaan pada RKDIO.IND. Blok C02 sampai
dengan C03. Pengetahuan HIV dan AIDS dikatakan baik jika di atas
atau sama dengan median, dan kurang jika di bawah nilai median. Hasil
penelitian menunjukan presentase pengetahuan HIV dan AIDS dengan
katagori baik pada remaja di perkotaan sebesar 54 persen dan di
perdesaan sebesar 46,6 persen. Kesimpulan Pengetahuan HIV dan
AIDS dengan katagori baik pada remaja dengan pendidikan di atas
SMP sebesar 58,6 persen lebih tinggi dibandingkan remaja dengan
pendidikan di bawah SMP (48,3%).
e. Remaja dan Pernikahan Dini

20
Pernikahan dini (early mariage) merupakan suatu pernikahan
formal atau tidak formal yang dilakukan dibawah usia 18 tahun
(UNICEF, 2014). Suatu ikatan yang dilakukan oleh seseorang yang
masih dalam usia muda atau pubertas disebut pula pernikahan dini
(Sarwono, 2007). Sedangkan Al Ghifari (2008) berpendapat bahwa
pernikahan muda adalah pernikahan yang dilaksanakan diusia remaja.
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan remaja adalah antara usia 10 – 19
tahun dan belum kawin.
Salah satu faktor terjadinya pernikahan dini lainnya adalah
pendidikan remaja dan pendidikan orang tua. Dalam kehidupan
seseorang, dalam menyikapi masalah dan membuat keputusan termasuk
hal yang lebih kompleks ataupun kematangan psikososialnya sangat
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan seseorang (Sarwono, 2007).
Tingkat pendidikan maupun pengetahuan anak yang rendah dapat
menyebabkan adanya kecenderungan melakukan pernikahan di usia
dini (Alfiyah, 2010). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Nandang, dkk (2009) yang menunjukkan bahwa remaja muda yang
berpendidikan rendah memiliki resiko (ods ratio) 4,259 kali untuk
menikah dini daripada remaja muda yang berpendidikan tinggi. Remaja
yang memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi memiliki resiko
lebih kecil untuk menikah dini dibandingkan dengan remaja yang
memiliki latar pendidikan rendah. Tingkat pendidikan merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi seseorang dalam menyikapi masalah
dan membuat keputusan ataupun kematangan psikososialnya.
Desiyanti (2015) dalam jurnal berjudul “Faktor-Faktor yang
Berhubungan Terhadap Pernikahan Dini Pada Pasangan Usia Subur di
Kecamatan Mapanget Kota Manado” melakukan penelitian untuk
mengetahui faktor peran orang tua dalam komunikasi keluarga,
pendidikan orang tua, pendidikan responden dan pekerjaan responden
dengan kejadian pernikahan dini. Hasil penelitian menunjukkan faktor
yang berhubungan dengan pernikahan dini adalah faktor peran orang
tua dalam komunikasi keluarga, pendidikan orang tua dan pendidikan

21
responden. Faktor yang paling dominan terhadap pernikahan dini dalam
penelitian ini adalah peran orang tua dalam komunikasi keluarga. Hal
tersebut Oleh karena itu diharapkan masyarakat khususnya orang tua
(keluarga) dapat meningkatkan dukungan dan kepedulian terhadap
generasi muda agar menjadi lebih baik di masa yang akan datang.
f. Peranan Program PKPR
Salah satu upaya pemerintah dalam menangani permasalahan
remaja adalah dengan pembentukan Program Pelayanan Kesehatan
Peduli Remaja (PKPR). Program ini dapat dilaksanakan di Puskesmas,
Rumah Sakit atau sentra-sentra dimana remaja berkumpul seperti mall
(Depkes, 2005). Dalam pelaksanaan PKPR di Puskesmas, remaja
diberikan pelayanan khusus melalui perlakuan khusus yang disesuaikan
dengan keinginan, selera dan kebutuhan remaja. Secara khusus, tujuan
dari program PKPR adalah meningkatkan penyediaan pelayanan
kesehatan remaja yang berkualitas, meningkatkan pemanfaatan
Puskesmas oleh remaja untuk mendapatkan pelayanan kesehatan,
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan remaja dalam pencegahan
masalah kesehatan dan meningkatkan keterlibatan remaja dalam
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pelayanan kesehatan remaja.
Adapun yang menjadi sasaran program ini adalah laki-laki dan
perempuan usia 10-19 tahun dan belum menikah.
Arsani, dkk (2014) dalam jurnal berjudul “Peranan Program Pkpr
(Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja) Terhadap Kesehatan Reproduksi
Remaja Di Kecamatan Buleleng” melakukan penelitian untuk
mengetahui: 1) Peranan Puskesmas dalam Program Pelayanan
Kesehatan Peduli Remaja (PKPR); 2) Keterlaksanaan program PKPR
terhadap kesehatan reproduksi remaja; 3) Peranan program PKPR
terhadap kesehatan reproduksi remaja. Penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui
wawancara, observasi, dan focus group discussion. Informan dipilih
secara purposive sampling. Data dianalisis dengan menggunakan
analisis interaktif model dari Miles dan Huberman terdiri dari empat

22
tahap yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan
penarikan simpulan/verifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1)
Peranan Puskesmas dalam program PKPR adalah sebagai ujung tombak
pemberi pelayanan kesehatan di masyarakat termasuk remaja; 2)
Program PKPR yang dicanangkan Puskesmas Buleleng 1 sebagian
besar sudah terlaksana dengan baik, namun masih terdapat 1 sasaran
yang belum tercapai yaitu pembentukan konselor sebaya serta belum
maksimalnya sosialisasi kepada remaja secara luas; 3) PKPR dirasakan
memiliki peranan yang sangat penting bagi remaja.

2. Kesehatan Reproduksi Ibu dan Pasangan Usia Subur


a. Pemeriksaan IVA dan Papsmear
Kanker Serviks merupakan jenis kanker terbanyak yang ditemukan
oleh Yayasan Kanker Indonesia setelah kanker payudara. Menurut
WHO, 490.000 perempuan didunia setiap tahun didiagnosa terkena
kanker serviks dan 80 % berada di Negara Berkembang termasuk
Indonesia. Setiap 1 menit muncul 1 kasus baru dan setiap 2 menit
meninggal 1 orang perempuan karena kanker serviks. Di Indonesia
diperkirakan setiap hari muncul 40-45 kasus baru, 20-25 orang
meninggal, berarti setiap 1 jam diperkirakan 1 orang perempuan
meninggal dunia karena kanker serviks.
Penyebab utama tingginya angka kejadian kanker serviks di
negara-negara berkembang adalah karena tidak adanya program
skrining yang efektif yang ditujukan untuk mendeteksi dan menata
laksana secara dini kanker serviks, yaitu pada fase lesi prakanker. Jika
saja lesi prakanker serviks dapat diidentifikasi (lesi ini pada umumnya
tetap merupakan lesi prakanker selama bertahun-tahun sebelum berubah
menjadi kanker serviks) dan ditata laksana dengan tepat, lesi ini tidak
akan berkembang menjadi kanker serviks. Angka harapan hidup lima
tahun perempuan dengan lesi prakanker mendekati seratus persen bila
ditata laksana dengan tepat.

23
Insiden kanker serviks sebenarnya dapat ditekan dengan melakukan
upaya pencegahan primer seperti meningkatkan atau intensifikasi
kegiatan penyuluhan kepada masyarakat untuk menjalankan pola hidup
sehat, menghindari faktor risiko terkena kanker, melakukan immunisasi
dengan vaksin HPV dan diikuti dengan deteksi dini kanker serviks
tersebut melalui pemeriksaan pap smear atau IVA (inspeksi visual
dengan menggunakan asam acetat). Saat ini cakupan “screening”
deteksi dini kanker serviks di Indonesia melalui pap smear dan IVA
masih sangat rendah (sekitar 5 %), padahal cakupan “screening” yang
efektif dalam menurunkan angka kesakitan dan angka kematian karena
kanker serviks adalah 85 %.
Hasil penelitian D. Ocviyanti dalam jurnal Departemen Obstetri
dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Vol 31 No 4
tahun 2007, berjudul Tes Pap, Tes HPV dan Servikografi sebagai
Pemeriksaan Triase untuk Tes IVA Positif: Upaya Tindak Lanjut
Deteksi Dini Kanker Serviks pada Fasilitas Kesehatan dengan Sumber
Daya Terbatas beserta Analisis Sederhana Efektivitas Biayanya,
didapatkan hasil tes IVA positif pada 130 perempuan (10,4%) dari 1250
perempuan usia 25-45 tahun yang diperiksa. Hasil pemeriksaan
histopatologi menunjukkan hasil positif lesi prakanker pada 67
perempuan (persentasenya sekaligus menggambarkan Nilai Prediksi
Positif dari pemeriksaan kolposkopi + biopsi pada kasus dengan tes IVA
positif, yaitu: 51,5%). Prevalensi lesi prakanker serviks pada penelitian
ini adalah 5,4% dengan prevalensi lesi derajat tinggi 0,2% yaitu sekitar
2% dari seluruh kasus IVA positif yang dirujuk. Satu kasus yang dirujuk
dengan kanker serviks ternyata memang positif menderita kanker
serviks stadium 3B. Seluruh kasus lesi derajat tinggi (3 kasus) adalah
NIS2. Hasil Nilai Prediksi Positif yang sekaligus menggambarkan
efektivitas masing-masing pemeriksaan sebagai triase pada tes tes IVA
positif: tes Pap 82% (CI 95% 75%; 88%), tes HPV 58% (CI 95% 49%;
66%), servikografi 94% (CI 95% 90%; 98%), tes Pap+HPV 73% (CI

24
95% 64%; 79%), tes Pap+servikografi 86% (CI 95% 81%; 90%), tes
HPV+servikografi 78% (CI 95% 72%; 84%), tes
Pap+HPV+servikografi 77% (CI 95% 72%; 82%). Pemeriksaan triase
yang lebih efektif biaya dibandingkan rujukan langsung tes IVA positif
untuk kolposkopi apabila diasumsikan bahwa pasien dari dalam kota
adalah servikografi, tes Pap dan gabungan tes Pap+servikografi,
sedangkan bila diasumsikan pasien dari luar kota maka seluruh
pemeriksaan triase yang diteliti terbukti lebih efektif biaya. Dapat
disimpulkan bahwa pemeriksaan triase dengan tes Pap, tes HPV dan
servikografi maupun gabungannya dapat meningkatkan efektivitas
pemeriksaan dan efektivitas biaya tes IVA dalam mendeteksi lesi
prakanker serviks.
b. Infertilitas
Pengertian klinis mengenai infertilitas yang digunakan WHO
adalah sebuah permasalahan sistem reproduksi yang digambarkan
dengan kegagalan untuk memperoleh kehamilan setelah 12 bulan atau
lebih melakukan hubungan seksual minimal 2-3 kali seminggu secara
teratur tanpa menggunakan alat kontrasepsi. Berdasarkan laporan
WHO, secara global diperkirakan adanya kasus infertilitas pada 8-10%
pasangan, yaitu sekitar 50 juta hingga 80 juta pasangan. Di Amerika
sekitar 5 juta orang mengalami permasalahan infertilitas, sedangkan di
Eropa angka kejadiannya mencapai 14%. Pada tahun 2002, dua juta
wanita usia reproduktif di Amerika merupakan wanita infertil3.
Sedangkan di Indonesia, berdasarkan survei kesehatan rumah tangga
tahun 1996, diperkirakan ada 3,5 juta pasangan (7 juta orang) yang
infertil. Mereka disebut infertil karena belum hamil setelah setahun
menikah. Kini, para ahli memastikan angka infertilitas telah meningkat
mencapai 15-20 persen dari sekitar 50 juta pasangan di Indonesia.
Infertilitas dikatakan infertilitas primer jika sebelumnya pasangan
suami istri belum pernah mengalami kehamilan. Sementara itu,
dikatakan infertilitas sekunder jika pasangan suami istri gagal untuk
memperoleh kehamilan setelah satu tahun pasca persalinan atau pasca

25
abortus tanpa menggunakan kontrasepsi apapun. Infertilitas dapat
disebabkan oleh pihak istri maupun suami. Kondisi yang menyebabkan
infertilitas dari faktor istri 65%, faktor suami 20%, kondisi lain-lain dan
tidak diketahui 15%. Suatu penelitian menunjukkan penyebab
infertilitas terkait dengan permasalahan dari pihak istri adalah tuba
(27,4%), tidak diketahui (24,5%), masalah menstruasi (20%), uterus
(9,1%), ovarium (3,6%), kelainan seksual (2,7%). Angka kejadian
infertilitas pada wanita terjadi pada berbagai rentang umur, 20-29 tahun
(64,5%), 30-39 tahun (20%), 4049 tahun (11,8%), diatas 50 tahun
(3,7%).
Hasil penelitian yang dilakukan Anastasia Oktarina, Adnan Abadi,
dan Ramli Bachsin tahun 2014 berjudul Faktor-faktor yang
Memengaruhi Infertilitas pada Wanita di Klinik Fertilitas
Endokrinologi Reproduksi, merupakan penelitian observasional
deskriptif dengan desain cross sectional (potong lintang) berdasarkan
data sekunder, yaitu rekam medik. Mayoritas (71%) wanita infertil
dalam penelitian ini berada pada rentang umur 2535 tahun. Sebanyak
66.1% wanita infertil merupakan wanita karir. Rata-rata wanita infertil
(69.4%) berdomisili di Palembang. Mayoritas wanita infertil (61.3%)
mengalami infertilitas lebih dari tiga tahun. Berdasarkan jenis
infertilitas, sebanyak 79% merupakan infertilitas primer. Jenis
pemeriksaan lanjutan yang paling banyak dilakukan adalah
pemeriksaan USG dan Laparoskopi diagnostik. Endometriosis (25.6%)
dan mioma uteri (20.2%) merupakan jenis penyakit penyerta yang
paling banyak ditemukan pada wanita infertil. Jenis tatalaksana
terbanyak yang dilakukan adalah dengan tindakan operatif (55%).
Sebagian besar wanita infertil yang menjadi sampel dalam penelitian ini
merupakan wanita infertil jenis infertilitas primer yang berumur 25-35
tahun dengan lama infertil diatas tiga tahun. Penyakit penyerta yang
banyak ditemukan pada wanita infertil adalah endometriosis dan mioma
uteri.

26
Sebagaimana diketahui infertilitas dapat berpengaruh pada hampir
semua aspek kehidupan pasangan suami isteri, terutama berdampak
pada kondisi fisik dan psikologis. Sebelum era teknologi reproduksi,
terapi infertilitas sangat terbatas namun saat ini telah tersedia berbagai
metode teknologi reproduksi berbantu sehingga meningkatkan angka
keberhasilan kehamilan bagi pasangan infertil.
Fertilisasi in vitro merupakan salah satu metode pada teknologi
reproduksi berbantu yang pelaksanaannya membutuhkan 6 langkah
tindakan yaitu stimulasi ovarium, maturasi final oosit, ovum pick-up,
fertilisasikultur embrio, transfer embrio dan penunjang fase luteum.
Pada setiap langkah tindakan tersebut berisiko terjadi kegagalan yang
berupa folikel ovarium tidak berkembang, maturasi oosit dan fertilisasi
tidak terjadi, embrio gagal implantasi, ketakutan hasil gagal saat
dilakukan tes kehamilan dan sebagainya. Selain itu 6 langkah
dilaksanakan dengan waktu yang ketat dan dapat menyebabkan
ketidaknyamanan karena dilakukan suntikan stimulasi ovarium setiap
hari sehingga sebagian besar pasangan infertil menyatakan bahwa
mengikuti program fertilisasi in vitro menimbulkan stres, tidak hanya
melibatkan fisik namun juga emosi.
Hasil penelitian yang dilakukan Hendy Hendarto tahun 2015
berjudul Stres Infertilitas Menghambat Maturasi Oosit dan Hasil
Fertilisasi In Vitro, penelitian ini dengan menggunakan skor Infertility
Reaction Scale, 30 orang perempuan infertil menjadi subyek penelitian
dengan memenuhi kriteri inklusi dan ekslusi yang sudah disepakati.
Semua subyek penelitian tersebut adalah peserta fertilisasi in vitro
menggunakan protokol antagonis GnRH.
Berdasarkan data karakteristik subyek penelitian didapatkan rerata
usia subyek penelitian 29.36 + 2.65 tahun, relatif muda artinya tidak
terlalu tua yang dapat mengganggu maturasi oosit. Rerata lama menikah
5.30 + 1.51 tahun, menunjukkan kesesuaian untuk dilakukan
penanganan infertilitas dengan fertilisasi in vitro. Rerata Body Mass
Index (BMI) adalah 22.27 + 1.98 kg/m2 yang masuk kategori normal

27
yaitu tidak obesitas yang akan mengganggu proses maturasi oosit.
Pemeriksaan hormon basal FSH, LH, estradiol dan pemeriksaan
pencitraan ultrasonografi hitung folikel antral memberikan hasil normal
semua. Didapatkan semua subyek penelitian mengalami stres yaitu stres
ringan 33.3%, stres sedang 46.7% dan stres berat 20%. Pengukuran
skor IRS dilakukan paling lambat pada saat awal dimulainya fertilisasi
in vitro yaitu saat haid hari ketiga, berarti merupakan gabungan antara
stres yang dirasakan sebelum dan beban yang akan dirasakan nanti saat
fertilisasi in vitro berjalan. Hasil penelitian ini hampir sama dengan data
hasil review Eugster yang mendapatkan sepertiga kasus mengalami
stres berat dan sisanya sebagian besar mengalami stres sedang. Selain
itu baik pasangan pria dan perempuan mengalami anxiety, yang
merupakan tanda ketidakefektifan strategi koping.
3. Keluarga Berencana
Di dunia, lebih dari 508.000 wanita meninggal karena kanker payudara
pada 2011. Data tahun 2008 menunjukkan angka kejadian (incidence rate)
kanker payudara di dunia sangat bervariasi, dari 19,3 per 100.000 wanita di
Afrika Timur sampai 89,7 per 100.000 wanita di Eropa Barat. Angka
bertahan hidup dari kanker payudara (breast cancer survival rate) juga
bervariasi, dari 80% di Amerika Utara, Swedia, dan Jepang; 60% di negara
ekonomi menengah; sampai di bawah 40% di negara ekonomi bawah.1
GLOBOCAN juga memaparkan data tentang kasus kanker payudara pada
2012. Secara keseluruhan, kasus kanker payudara yang terjadi di dunia
pada 2012 mencapai 1.677.000 dan angka kematian mencapai 522.000. Di
Asia Tenggara sendiri, pada tahun 2012 kasus kanker payudara mencapai
240.000 dan angka kematian mencapai 110.000. Dilihat dari data tahun
sebelumnya, yaitu pada tahun 2011, angka kematian karena kanker
payudara meningkat dari 508.000 menjadi 522.000 di seluruh dunia.
Banyak hal yang menjadi faktor risiko kanker payudara, antara lain
jarak yang lama antara menarke dan menopause, ada keluarga yang
memiliki riwayat kanker payudara, obesitas dan diet tinggi lemak, usia
produktif ke atas, hamil pertama di usia tua, dan hormon. Hormon diduga

28
ikut meningkatkan risiko kanker payudara lebih sebagai promotor daripada
inisiator. Hormon yang dimaksud adalah paparan hormon seks seperti
estrogen dan progesteron yang berlebihan sehingga mengganggu proses
fisiologis dalam tubuh, termasuk jaringan mammae.
Dalam kehidupan sehari-hari, ternyata estrogen, progesteron, maupun
kombinasi keduanya banyak dikonsumsi oleh masyarakat, terutama wanita.
Salah satu contoh dari penggunaan hormon estrogen dan progesteron
adalah kontrasepsi hormonal yang digunakan sebagai salah satu alat
kontrasepsi. Prevalensi kanker payudara yang tinggi dan teori tentang
paparan hormon estrogen serta progesteron sebagai salah satu faktor risiko
kanker payudara melatarbelakangi penelitan untuk mengetahui hubungan
antara pemakaian KB hormonal dengan kejadian kanker payudara.
Berdasarkan penelitian Setiowati, dkk (2015) dalam jurnal “Hubungan
antara Pemakaian KB Hormonal dengan Kejadian Kanker Payudara di Poli
Onkologi Satu Atap RSUD Dr. Soetomo, Februari–April 2015” dilakukan
penelitian menggunakan metode analisis dengan desain kasus kontrol.
Kelompok kasus adalah wanita di POSA RSUD Dr. Soetomo yang
menderita kanker payudara, dan kelompok kontrol adalah wanita di POSA
RSUD Dr. Soetomo yang tidak menderita kanker payudara. Kemudian
Rasio Odds dihitung menggunakan tabel 2x2 dan nilai p menggunakan tes
chi square dengan program SPSS. Ada 96 kelompok kasus dan 96
kelompok kontrol yang ada dalam penelitian ini. Setelah dihitung dengan
analisis multivariat regresi logistik menunjukkan bahwa ada hubungan
bermakna antara penggunaan KB hormonal dengan kejadian kanker
payudara pada wanita di POSA RSUD Dr. Soetomo dengan nilai p= 0,001
dan OR=2,990 yang berarti wanita yang menggunakan KB hormonal
memiliki risiko 2,990 kali lebih besar terkena kanker payudara dibanding
yang tidak menggunakan. Kesimpulannya, ada hubungan bermakna antara
pemakaian KB hormonal dengan kejadian kanker payudara pada wanita di
POSA RSUD Dr. Soetomo dan wanita yang menggunakan KB hormonal
memiliki risiko 2,990 kali lebih besar terkena kanker payudara dibanding
yang tidak menggunakan.

29
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa genetik bukan satu-satunya
faktor risiko kanker payudara, tetapi banyak hal yang bisa memicu kanker.
Dalam penelitian ini, telah dihitung bahwa wanita yang tidak memiliki
riwayat kanker payudara ternyata 78 (64,4%) orang memakai KB hormonal
dan 43 (35,5%) orang saja yang tidak memakai KB hormonal. Dari 78
orang tersebut, 48 (61,5%) di antaranya terkena kanker payudara dan hanya
30 (38,4%) wanita yang tidak terkena kanker payudara. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa memakai KB hormonal berisiko 2,990 kali lebih besar
terkena kanker payudara dibandingkan yang tidak memakai KB hormonal
dengan nilai p=0,001 setelah dihitung menggunakan analisis regresi
logistik dengan metode backward . Hasil penelitian ini didukung oleh
penelitian lain yang dilakukan oleh Al-Amri, Fahad et al., pada tahun yang
lebih baru, yaitu 2015, yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara pemakaian kontrasepsi oral dengan terjadinya kanker
payudara dengan nilai p=0,042. Penelitian tersebut dilakukan di Saudi
Arabia menggunakan desain penelitian kasus kontrol.11 Penelitian lain
yang dilakukan Barnard, Mollie E, et al., pada 2015 dengan judul
Established Breast Cancer Risk Factor and Risk Factor of Intrinsic Tumor
Subtypes menunjukkan subtipe kanker payudara sangat bervariasi dalam
ekspresi gen dan fenotipenya, yang secara garis besar dikelompokkan
menjadi 4, yaitu luminal A, luminal B, HER2-overexpressing, dan triple
negative (or basal-like); dan penggunaan kontrasepsi oral meningkatkan
faktor risiko kanker payudara subtype triple negative (or basal-like) .20
Kedua penelitian tersebut mendukung hasil dari penelitian ini, yaitu
terdapat hubungan yang signifikan antara pemakaian KB hormonal dengan
terjadinya kanker payudara dengan risiko pemakai KB hormonal berisiko
2,304 kali lebih besar terkena kanker payudara dibandingkan mereka yang
tidak menggunakan KB hormonal. Hasil ini didukung oleh landasan teori
tentang ketidakseimbangan hormon progesteron dan estrogen yang
notabene digunakan untuk bahan alat KB hormonal. Ada dua teori yang
membahas tentang cara estrogen dan progesteron menyebabkan kanker

30
payudara. Yang pertama, risiko mutasi sel saat pembelahan meningkat
karena proliferasi sel oleh peningkatan estrogen dan progesteron juga
meningkat.21 Teori yang kedua, estrogen dan progesteron merangsang
pertumbuhan sel-sel punca kanker payudara.

4. Kesehatan Reproduksi Usia Lanjut


Salah satu masalah yang dihadapi dalam pembangunan kesehatan saat
ini adalah terjadinya pergeseran pola penyakit dari penyakit menular ke
penyakit tidak menular. Laporan dari WHO menunjukkan bahwa PTM
sejauh ini merupakan penyebab utama kematian di dunia, yang mewakili
63% dari semua kematian tahunan.PTM membunuh lebih dari 36 juta
orang setiap tahun. Kematian akibat penyakit kardiovaskular paling banyak
disebabkan oleh PTM yaitu sebanyak 17,3 juta orang per tahun, diikuti oleh
kanker (7,6 juta), penyakit pernafasan (4,2 juta), dan DM (1,3 juta).
Keempat kelompok jenis penyakit ini menyebabkan sekitar 80% dari
semua kematian PTM. Menurut profil PTM WHO tahun 2014, di Indonesia
memperkirakan bahwa 71% kematian disebabkan oleh PTM. Menurut hasil
riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013 bahwa peningkatan kematian
terjadi akibat prevalensi penyakit PTM yang tinggi. Prevalensi PTM,
diantaranya: penyakit stroke 12,1 per 1000, penyakit jantung koroner 1,5%,
gagal jantung 0,3%, diabetes mellitus 6,9%, gagal ginjal 0,2%, kanker 1,4
per 1000, penyakit paru kronik obstruktif 3,7%, dan cidera 8,2%.
Peningkatan prevalensi PTM berdampak pada peningkatan beban
pembiayaan kesehatan. Hal ini karena penanganan penyakit tidak menular
memerlukan waktu yang lamadan teknologi yang mahal. Dengan demikian,
penyakit tidak menularmemerlukan biaya yang tinggi dalam pencegahan
dan penanggulangannya.Publikasi World Economic Forum April 2015
menunjukkan bahwa potensikerugian akibat penyakit tidak menular di
Indonesia pada periode 2012-2030 diprediksi mencapai US$ 4,47 triliun,
atau 5,1 kali GDP 2012.
Berdasarkan UndangUndang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan
pasal 158-161 bahwa pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat
melakukan upaya pencegahan, pengendalian, dan penanganan penyakit

31
tidak menular beserta akibat yang ditimbulkannya.vSelain itu, Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 71 tahun 2015 tentang
penanggulangan penyakit tidak menularpada BAB III bahwa pemerintah
pusat, pemerintah daerah, dan masyarakatbertanggung jawab
menyelenggarakan penanggulanganPTM serta akibat yang
ditimbulkannya.Penyelenggaraan penanggulangan PTM dilaksanakan
melalui upaya kesehatan masyarakat (UKM) dan upaya kesehatan
perorangan (UKP).
Salah satu kebijakan dalam pengendalian PTM yang efisien dan efektif
adalah pemberdayaan dan peningkatan peran serta masyarakat. Posbindu
ini menjadi salah satu bentuk UKMyang selanjutnya berkembang menjadi
upaya kesehatan bersumber daya masyarakat (UKBM) di bawah
pembinaan puskesmas. Adanya Posbindu PTM diharapkan dapat
terlaksananya pencegahan dan pengendalian melalui deteksi dini,
pemantauan, dan tindak lanjut dini faktor risiko PTM secara terpadu dan
periodik. Program Posbindu ini menjadi salah satu rencana aksi
pemerintah dalam penanggulangan penyakit tidak menular. Hal tersebut
sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 5 tahun 2017 tentang
rencana aksi nasional penanggulangan penyakit tidak menular tahun 2015-
2019. Posbindu mulai dikembangkan di Indonesia sejak tahun 2011. Pada
tahun 2014, persentase Desa/Kelurahan yang melaksanakan kegiatan
Posbindu PTM sebesar 4,7% dan pada 2015 sebesar 8,6 %. Capaian
tersebut belum sesuai target nasional dalam rencana strategi kementrian
kesehatan pada tahun 2015-2019 yaitu sebesar 10% ditahun 2015.
Pengabdian Pemberdayaan Kader Posbindu Lansia sebagai Upaya
Peningkatan Kualitas Hidup Lansia di Desa Kangkung Demak oleh Yunie
Armiyati, Edy Soesanto, dan Tri Hartiti Tahun 2014, simpulan dari
kegiatan pengabdian ini adalah: 1) Meningkatnya jumlah kader posbindu
lansia yang aktif, 2) Tersedianya media promosi kesehatan bagi lansia
berupa leaflet dan lembar balik, 3) Peningkatan pengetahuan kader
posbindu lansia tentang pencegahan dan penanganan masalah kesehatan
pada lansia dengan hipertensi, DM, hiperuresimia dan anemia yang

32
ditandai dengan peningkatan nilai post test dibandingkan dengan nilai pre
test, 4) Peningkatan pengetahuan kader posbindu lansia tentang manajemen
komplementer untuk mengatasi permasalahan kesehatan lansia yang
ditandai dengan peningkatan nilai post test dibandingkan dengan nilai pre
test, 5) Meningkatnya ketrampilan kader kader posbindu lansia dalam
melakukan deteksi dini melalui pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
laboratorium sederhana, 6) Tersedianya peralatan yang dapat mendukung
pengolahan tanaman obat keluarga (herbal) dalam rangka meningkatkan
kualitas hidup lansia, 7) Kader mampu memproduksi bahan herbal berupa
sirup, serbuk, ekstrak, dan minyak atsiri.
Penelitian yang dilakukan oleh Anugrah tahun 2010 berjudul Pengaruh
Senam Ergonomis terhadap tekanan darah pada penderita DM tipe 2.
Penelitian ini menggunakan metode cohort eksperimental dengan
rancangan penelitian yang digunakan adalah randomized control group pre-
test dan post-test design , menggunakan uji statistik independent T-test.
Hasil penelitian didapatkan pemberian senam ergonomis dapat berpengaruh
terhadap penurunan tekanan darah sistolik, sedangkan pada tekanan darah
diastolik hanya berpengaruh secara klinis.

33
BAB IV
PENUTUP

Evidence Based Midwifery (EBM) dalam pelayanan kesehatan


reproduksi dan keluarga berencana menitikberatkan pada bukti klinis terbaik
yang terintegrasi dengan keterampilan klinis serta asuhan yang berpusat pada
klien sehingga timbul suatu keadaan klinis yang lebih baik. Secara khusus
berkaitan dengan kesehatan reproduksi perempuan dan Keluarga Berencana
(KB).
EBM dalam pelayanan kesehatan reproduksi dan Keluarga Berencana
(KB) membahas perempuan berdasarkan siklus hidupnya. EBM dalam
pelayanan kesehatan reproduksi dan Keluarga Berencana (KB) meliputi
pembahasan mengenai kesehatan reproduksi remaja, kesehatan reproduksi ibu
dan anak serta Pasangan Usia Subur, Pencegahan Infeksi menular dan HIV
AIDS serta pelayanan kesehatan reproduksi usia lanjut.
Banyaknya evidence based yang telah dikemukakan membuat kita
sebagai bidan harus lebih kritis dalam menanggapinya. Diperlukan critical
thinking dan critical appraisal dalam pelaksanaannya. Sehingga EBM yang
akan kita aplikasikan sesuai dengan kondisi klien dan masalah yang dihadapi.

34
DAFTAR PUSTAKA

Adjie, Seno. 2013. Kesehatan Remaja Dalam Aspek Sosial.


http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/kesehatan-reproduksi-
remaja-dalam-aspek-sosial. Diakses 13 November 2018.

Amelia dan Maharani. 2016. Effectiveness Of Dark Chocolate And Ginger On


Pain Reduction Scale In Adolescent Dysmenorhea. JURNAL KEBIDANAN
Vol. 6 No.12, April 2017 ISSN.2089-7669. Diakses 13 November 2018.

Aritonang. 2015. Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Tentang Kesehatan


Reproduksi Dengan Perilaku Seks Pranikah Pada Remaja Usia (15-17
Tahun) Di SMK Yadika 13 Tambun, Bekasi. Jurnal Ilmiah WIDYA Volume
3 Nomor 2 September - Desember 2015, ISSN 2337-6686, ISSN-L 2338-
3321. Diakses 14 November 2018.

Armiyati Yuni, dkk. 2014. Pengabdian Pemberdayaan Kader Posbindu Lansia


sebagai Upaya Peningkatan Kualitas Hidup Lansia di Desa Kangkung
Demak. Universitas Muhamadiyah Semarang

Batubara. 2010. Adolescent Development (Perkembangan Remaja). Departemen


Ilmu Kesehatan Anak, RS Dr Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta. Sari Pediatri, Vol. 12, No. 1, Juni 2010.
Diakses 14 November 2018.

Basuki dan Pratiwi. 2011. Hubungan Karakteristik Remaja Terkait Risiko


Penularan Hiv-Aids Dan Perilaku Seks Tidak Aman Di Indonesia. Buletin
Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 14 No. 4 Oktober 2011: 346–357
http://ejournal.litbang.kemkes.go.id/index.php/hsr/article/view/1372.
Diakses 14 November 2018.

Beckmann, C.R.B., F.W. Ling, B.M. Barzansky, W.N.P Herbert, D.W. Laube, R.P.
Smith. 2010. Obstetrics and Gynecology sixth edition. Lippincott Wiliams &

iii
Wilkins, a Wolters Kluwer collaboration with American Collage of
Obstetricians and gynecologists. Philadelphia. London. Halaman 337.

Desiyanti. 2015. Faktor-Faktor yang Berhubungan Terhadap Pernikahan Dini


Pada Pasangan Usia Subur di Kecamatan Mapanget Kota Manado. JIKMU,
Vol. 5, No. 2, April 2015. Diakses 14 November 2018.

Harper DM, Franco EL, Wheeler C, Ferris DG, Jenkins D, Schuind A, Zahaf T,
Innis B, Naud P, De Carvalho NS, Roteli-Martins CM, Teixeira J, Blatter
MM, Korn AP, Quint W, Dubin G; GlaxoSmithKline HPV Vaccine Study
Group. 2004. Efficacy of a bivalent L1 virus-like particle vaccine in
prevention of infection with human papillomavirus types 16 and 18 in young
women: a randomised controlled trial. Lancet : 364(9447):1757-65. PMID
15541448

Franco EL, Franco ED, Ferenczy A. 2001. Cervical cancer: epidemiology,


prevention and the role of human papillomavirus infection. CMAJ : 164(7):
1017-25.

Hasanah. 2016. Pemahaman Kesehatan Reproduksi Bagi Perempuan: Sebuah


Strategi Mencegah Berbagai Resiko Masalah Reproduksi Remaja. SAWWA
– Volume 11, Nomor 2, April 2016. Diakses 13 November 2018

Herdman C, Sherris J, Bishop A. 2000. Planning appropriate cervical cancer


prevention programs. 2nd Ed. USA: PATH, 1-89.

Hendarto, H. 2015. Stres Infertilitas Menghambat Maturasi Oosit dan Hasil


Fertilisasi In Vitro. Majalah Obstetri & Ginekologi, Vol. 23 No. 1 Januari -
April 2015 : 17-21.

Marlinda, dkk.2013. Pengaruh Senam Dismenore Terhadap Penurunan Dismenore


Pada Remaja Putri Di Desa Sidoharjo Kecamatan Pati. Jurnal Keperawatan
Maternitas . Volume 1, No. 2, November 2013; 118-123. Diakses 13
November 2018.

iv
Nafiroh dan Indrawati.2013. Gambaran Pengetahuan Remaja Tentang Dismenore
Pada Siswa Putri Di MTS NU Mranggen Kabupaten Demak. Bidan Prada :
Jurnal Ilmiah Kebidanan, Vol. 4 No. 1 Edisi Desember 2013, hlm. 157-166.
Diakses 13 November 2018.

Ocviyanti, D. 2007. Tes Pap, Tes HPV dan Servikografi sebagai Pemeriksaan
Triase untuk Tes IVA Positif: Upaya Tindak Lanjut Deteksi Dini Kanker
Serviks pada Fasilitas Kesehatan dengan Sumber Daya Terbatas beserta
Analisis Sederhana Efektivitas Biayanya. Jakarta: Departemen Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Vol 31 No 4.

Permenkes No. 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi

Permenkes No.28 Tahun 2017 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan

Rahayuningrum. 2016. Perbedaan Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam Dan


Kompres Hangat Dalam Menurunkan Dismenore Pada Remaja SMA
Negeri 3 Padang. Volume7, Nomor 2, Desember 2016 e-ISSN : 2540-9611 |
p-ISSN :2087-8508. Diakses 14 November 2018.

Siahaan, dkk. 2012. Penurunan Tingkat Dismenore Pada Mahasiswi Fakultas Ilmu
Keperawatan Unpad Dengan Menggunakan Yoga. Bandung :Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Padjadjaran. Diakses 14 November 2018.

Rahyani , dkk. 2012. Premarital Sexual Inisiation of Adolescence. Kesmas, Jurnal


Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 7, No. 4, November 2012. Diakses 14
November 2018.

Sudikno, dkk. 2011. Pengetahuan HIV Dan AIDS Pada Remaja Di Indonesia
(Analisis Data Riskesdas 2010). Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 3,
Agustus 2011 : 145 -154. Diakses 14 November 2018.

Pakasi dan Kartikawati. 2011. Antara Kebutuhan dan Tabu: Pendidikan


Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi bagi Remaja di SMA. Makara Seri

v
Kesehatan, 2013, 17(2): 79-87 DOI: 10.7454/msk.v17i2.xxxx. Diakses 14
November 2018.

Meilani, dkk. 2014. Perilaku Ibu dalam Memberikan Pendidikan Seksualitas pada
Remaja Awal. Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 8, No. 8,
Mei 2014. Diakses 14 November 2018.

Persia,dkk. 2015. Hubungan Pemakaian Panty Liner dengan Kejadian Fluor Albus
pada Siswi SMA di Kota Padang Berdasarkan Wawancara Terpimpin
(Kuisioner). Jurnal Kesehatan Andalas. http://jurnal.fk.unand.ac.id. Diakses
14 November 2018.

Susanti dan Wijaya. 2018. Perbedaan Penggunaan Pembalut Dan Pantyliner Jenis
Biasa, Herbal, Dan Kain Dengan Kejadian Keputihan. Indonesia Jurnal
Kebidanan Vol. 2 No.1 (2018) 31-36. Diakses 14 November 2018.

PAHO. 1996. Early detection: Trends in cervical cancer mortality in the


Americas. Bulletin of the Pan American Health Organization: 30(4)

Kiviat N. 1996. Natural history of cervical neoplasia: Overview and update. Am J


Obstet Gynecol ; 175 (4): 1099-104

Prawirohardjo, S. Infertilitas. Dalam : Mohammad, A., A. Baziad, P. Prabowo


( Editor). 2011. Ilmu Kandungan (halaman 424-434). Jakarta : PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo

Setiowati, dkk. 2015. Hubungan antara Pemakaian KB Hormonal dengan


Kejadian Kanker Payudara di Poli Onkologi Satu Atap RSUD Dr. Soetomo,
Februari–April 2015. Indonesian Journal of Cancer Vol. 10, No. 1 January
- March 2016. Diakses 14 November 2018.

vi

Anda mungkin juga menyukai