Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut World Health Organization (WHO), penyakit diare adalah suatu
penyakit yang ditandai dengan perubahan bentuk dan konsistensi tinja yang
lembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi buang air besar yang lebih
dari biasa, yaitu 3 kali atau lebih dalam sehari yang mungkin dapat disertai dengan
muntah atau tinja yang berdarah. Penyakit ini paling sering dijumpai pada anak
balita, terutama pada 3 tahun pertama kehidupan, dimana seorang anak bisa
mengalami 1-3 episode diare berat. 5
Disentri merupakan tipe diare yang berbahaya dan seringkali menyebabkan
kematian dibandingkan dengan tipe diare akut yang lain. Penyakit ini dapat
disebabkan oleh bakteri (disentri basiler) dan amoeba (disentri amoeba) (1). Di
Amerika Serikat, insiden disentri amoeba mencapai 1-5% sedangkan disentri
basiler dilaporkan kurang dari 500.000 kasus tiap tahunnya. Sedangkan angka
kejadian disentri amoeba di Indonesia sampai saat ini masih belum ada, akan tetapi
untuk disentri basiler dilaporkan 5% dari 3848 orang penderita diare berat
menderita disentri basiler.2
Di dunia sekurangnya 200 juta kasus dan 650.000 kematian terjadi akibat
disentri basiler pada anak-anak di bawah umur 5 tahun. Kebanyakan kuman
penyebab disentri basiler ditemukan di negara berkembang dengan kesehatan
lingkungan yang masih kurang. Disentri amoeba tersebar hampir ke seluruh dunia
terutama di negara yang sedang berkembang yang berada di daerah tropis. Hal ini
dikarenakan faktor kepadatan penduduk, higiene individu, sanitasi lingkungan dan
kondisi sosial ekonomi serta kultural yang menunjang. Penyakit ini biasanya
menyerang anak dengan usia lebih dari 5 tahun.2
Spesies Entamoeba menyerang 10% populasi didunia. Prevalensi yang tinggi
mencapai 50% di Asia, Afrika dan Amerika selatan. Sedangkan pada shigella di

1
Ameriksa Serikat menyerang 15.000 kasus. Dan di Negara-negara 1 berkembang
Shigella flexeneri dan S. dysentriae menyebabkan 600.000 kematian per tahun.7

1.2 Tujuan Penulisan


Untuk dapat mengetahui definisi, etiologi, epidemiologi, patofisiologi dan
gejala klinis sehingga dapat menegakkan diagnosis disentri serta
penatalaksanaannya secara tepat.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Disentri berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys (gangguan) dan enteron
(usus), yang berarti radang usus yang menimbulkan gejala meluas dengan gejala
buang air besar dengan tinja berdarah, diare encer dengan volume sedikit, buang
air besar dengan tinja bercampur lender (mucus) dan nyeri saat buang air besar
(tenesmus).1
Disentri merupakan peradangan pada usus besar yang ditandai dengan
sakit perut dan buang air besar yang encer secara terus menerus (diare) yang
bercampur lendir dan darah. Disentri merupakan suatu infeksi yang menimbulkan
luka yang menyebabkan tukak terbatas di colon yang ditandai dengan gejala khas
yang disebut sebagai sindroma disentri, yakni: 1) sakit di perut yang sering
disertai dengan tenesmus, 2) berak-berak, dan 3) tinja mengandung darah dan
lendir.4

2.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, insidensi penyakit ini rendah. Setiap tahunnya
kurang dari 500.000 kasus yang dilaporkan ke Centers for Disease Control
(CDC). Di Bagian Penyakit Dalam RSUP Palembang selama 3 tahun (1990-
1992) tercatat di catatan medis, dari 748 kasus yang dirawat karena diare ada 16
kasus yang disebabkan oleh disentri basiler. Sedangkan hasil penelitian yang
dilakukan di beberapa rumah sakit di Indonesia dari Juni 1998 sampai dengan
Nopember 1999, dari 3848 orang penderita diare berat, ditemukan 5% shigella.
Prevalensi amebiasis sangat bervariasi, diperkirakan 10% populasi terinfeksi.
Prevalensi tertinggi di daerah tropis (50-80%). Manusia merupakan host dan
reservoir utama. Penularannya lewat kontaminasi tinja ke makanan dan
minuman, dengan perantara lalat, kecoak, kontak interpersonal, atau lewat

3
hubungan seksual anal-oral. Sanitasi lingkungan yang jelek, penduduk yang
padat dan kurangnya sanitasi individual mempermudah penularannya.2

2.3 Etiologi
Etiologi dari disentri ada 2, yaitu : Disentri basiler, disebabkan oleh
Shigella,sp. Shigella adalah basil non motil, gram negatif, family
enterobacteriaceae. Ada 4 spesies Shigella, yaitu S.dysentriae, S.flexneri,
S.bondii dan S.sonnei. Terdapat 43 serotipe O dari shigella. S.sonnei adalah satu-
satunya yang mempunyai serotipe tunggal. Karena kekebalan tubuh yang didapat
bersifat serotipe spesifik, maka seseorang dapat terinfeksi beberapa kali oleh tipe
yang berbeda. Genus ini memiliki kemampuan menginvasi sel epitel intestinal
dan menyebabkan infeksi dalam jumlah 102-103 organisme. Penyakit ini kadang-
kadang bersifat ringan dan kadang-kadang berat. Suatu keadaan lingkungan yang
jelek akan menyebabkan mudahnya penularan penyakit. Secara klinis
mempunyai tanda-tanda berupa diare, adanya lendir dan darah dalam tinja, perut
terasa sakit dan tenesmus.6, 9
Amoeba (Disentri amoeba), disebabkan Entamoeba hystolitica.
E.histolytica merupakan protozoa usus, sering hidup sebagai mikroorganisme
komensal (apatogen) di usus besar manusia. Apabila kondisi mengijinkan dapat
berubah menjadi patogen dengan cara membentuk koloni di dinding usus dan
menembus dinding usus sehingga menimbulkan ulserasi. Siklus hidup amoeba
ada 2 bentuk, yaitu bentuk trofozoit yang dapat bergerak dan bentuk kista.
Bentuk trofozoit ada 2 macam, yaitu trofozoit komensal (berukuran < 10 mm)
dan trofozoit patogen (berukuran > 10 mm). Trofozoit komensal dapat dijumpai
di lumen usus tanpa menyebabkan gejala penyakit. Bila pasien mengalami diare,
maka trofozoit akan keluar bersama tinja. Sementara trofozoit patogen yang
dapat dijumpai di lumen dan dinding usus (intraintestinal) maupun luar usus
(ekstraintestinal) dapat mengakibatkan gejala disentri. Diameternya lebih besar

4
dari trofozoit komensal (dapat sampai 50 mm) dan mengandung beberapa
eritrosit di dalamnya. Hal ini dikarenakan trofozoit patogen sering menelan
eritrosit (haematophagous trophozoite). Bentuk trofozoit ini bertanggung jawab
terhadap terjadinya gejala penyakit namun cepat mati apabila berada di luar
tubuh manusia. Bentuk kista juga ada 2 macam, yaitu kista muda dan kista
dewasa. Bentuk kista hanya dijumpai di lumen usus. Bentuk kista bertanggung
5 jawab terhadap terjadinya penularan penyakit dan dapat hidup lama di luar
tubuh manusia serta tahan terhadap asam lambung dan kadar klor standard di
dalam sistem air minum. Diduga kekeringan akibat penyerapan air di sepanjang
usus besar menyebabkan trofozoit berubah menjadi kista. 7,8

2.4 Patogenesis dan Patofisiologi


a. Disentri basiler
Semua strain kuman Shigella menyebabkan disentri, yaitu suatu keadaan
yang ditandai dengan diare, dengan konsistensi tinja biasanya lunak, disertai
eksudat inflamasi yang mengandung leukosit polymorfonuclear (PMN) dan
darah. Kuman Shigella secara genetik bertahan terhadap pH yang rendah, maka
dapat melewati barrier asam lambung. Ditularkan secara oral melalui air,
makanan, dan lalat yang tercemar oleh ekskreta pasien. Setelah melewati lambung
dan usus halus, kuman ini menginvasi sel epitel mukosa kolon dan berkembang
biak didalamnya. 9
Kolon merupakan tempat utama yang diserang Shigella namun ileum
terminalis dapat juga terserang. Kelainan yang terberat biasanya di daerah
sigmoid, sedang pada ilium hanya hiperemik saja. Pada keadaan akut dan fatal
ditemukan mukosa usus hiperemik, lebam dan tebal, nekrosis superfisial, tapi
biasanya tanpa ulkus. Pada keadaan subakut terbentuk ulkus pada daerah folikel
limfoid, dan pada selaput lendir lipatan transversum didapatkan ulkus yang

5
dangkal dan kecil, tepi ulkus menebal dan infiltrat tetapi tidak berbentuk ulkus
bergaung.6
S.dysentriae, S.flexeneri, dan S.sonei menghasilkan eksotoksin antara lain
ShET1, ShET2, dan toksin Shiga, yang mempunyai sifat enterotoksik, sitotoksik,
dan neurotoksik. Enterotoksin tersebut merupakan salah satu faktor virulen
sehingga kuman lebih mampu menginvasi sel eptitel mukosa kolon dan
menyebabkan kelainan pada selaput lendir yang mempunyai warna hijau yang
khas. Pada infeksi yang menahun akan terbentuk selaput yang tebalnya sampai
1,5 cm sehingga dinding usus menjadi kaku, tidak rata dan lumen usus mengecil.
Dapat terjadi perlekatan dengan peritoneum.6, 9

b. Disentri Amoeba
Trofozoit yang mula-mula hidup sebagai komensal di lumen usus besar
dapat berubah menjadi patogen sehingga dapat menembus mukosa usus dan
menimbulkan ulkus. Akan tetapi faktor yang menyebabkan perubahan ini sampai
saat ini belum diketahui secara pasti. Diduga baik faktor kerentanan tubuh pasien,
sifat keganasan (virulensi) amoeba, maupun lingkungannya mempunyai peran.
Amoeba yang ganas dapat memproduksi enzim fosfoglukomutase dan lisozim
yang dapat mengakibatkan kerusakan dan nekrosis jaringan dinding usus. Bentuk
ulkus amoeba sangat khas yaitu di lapisan mukosa berbentuk kecil, tetapi di
lapisan submukosa dan muskularis melebar (menggaung). Akibatnya terjadi
ulkus di permukaan mukosa usus menonjol dan hanya terjadi reaksi radang yang
minimal. Mukosa usus antara ulkus-ulkus tampak normal. Ulkus dapat terjadi di
semua bagian usus besar, tetapi berdasarkan frekuensi dan urut-urutan tempatnya
adalah sekum, kolon asenden, rektum, sigmoid, apendiks dan ileum terminalis.4
Stadium trofozoit dapat bersifat patogen dan menginvasi jaringan usus
besar. Dengan aliran darah, menyebar ke jaringan hati, paru, otak, kulit dan
vagina. Hal tersebut disebabkan sifatnya yang dapat merusak jaringan sesuai

6
dengan nama spesiesnya E.hystolitica histo = jaringan, lysis = hancur). Stadium
trofozoit berkembangbiak secara belah pasang. Stadium kista dibentuk dari
stadium trofozoit yang berada di rongga usus besar, stadium trofozoit dapat
berubah menjadi stadium precyst yang berinti satu enkistasi), kemudian
membelah menjadi berinti 2, dan akhirnya berinti 4 yang dikeluarkan bersama
tinja. Stadium kista tidak pathogen, tetapi merupakan stadium yang infektif.8

7
2.5 Gejala Klinis
a. Disentri Basiler
Masa tunas berkisar antara 7 jam sampai 7 hari. Lama gejala rerata 7 hari
sampai 4 minggu. Pada fase awal pasien mengeluh nyeri perut bawah, diare
disertai demam yang mencapai 400C. Selanjutnya diare berkurang tetapi tinja
masih mengandung darah dan lendir, tenesmus, dan nafsu makan menurun.
Bentuk klinis dapat bermacam-macam dari yang ringan, sedang sampai yang
berat. Sakit perut terutama di bagian sebelah kiri, terasa melilit diikuti
pengeluaran tinja sehingga mengakibatkan perut menjadi cekung. Bentuk yang
berat (fulminating cases) biasanya disebabkan oleh S. dysentriae. Gejalanya
timbul mendadak dan berat, berjangkitnya cepat, berak-berak seperti air dengan
lendir dan darah, muntah-muntah, suhu badan subnormal, cepat terjadi
dehidrasi, renjatan septik dan dapat meninggal bila tidak cepat ditolong.
Akibatnya timbul rasa haus, kulit kering dan dingin, turgor kulit berkurang
karena dehidrasi. Muka menjadi berwarna kebiruan, ekstremitas dingin dan
viskositas darah meningkat (hemokonsentrasi). Kadang-kadang gejalanya tidak
khas, dapat berupa seperti gejala kolera atau keracunan makanan.6
Kematian biasanya terjadi karena gangguan sirkulasi perifer, anuria dan
koma uremik. Angka kematian bergantung pada keadaan dan tindakan
pengobatan. Angka ini bertambah pada keadaan malnutrisi dan keadaan darurat
misalnya kelaparan. Perkembangan penyakit ini selanjutnya dapat membaik
secara perlahan-lahan tetapi memerlukan waktu penyembuhan yang lama. Pada
kasus yang sedang keluhan dan gejalanya bervariasi, tinja biasanya lebih
berbentuk, mungkin dapat mengandung sedikit darah/lendir. Sedangkan pada
kasus yang ringan, keluhan/gejala tersebut di atas lebih ringan. Berbeda dengan
kasus yang menahun, terdapat serangan seperti kasus akut secara menahun.
Kejadian ini jarang sekali bila mendapat pengobatan yang baik. 1

8
b. Disentri Amuba
Masa inkubasi bervariasi, dari beberapa hari sampai beberapa bulan atau
tahun, tetapi secara umum berkisar antara 1 sampai 4 minggu. Sebanyak 90%
individu yang terinfeksi E.hystolitica tidak memperlihatkan gejala klinis dan
hospes data mengeleminasi parasite tanpa adanya penyakit. Walaupun demikian,
sebanyak 10% individu yang asimptomatik dapat berkembang menjadi
simptomatik dalam waktu lebih dari 1 tahun, sehingga kelompok ini akan menjadi
sumber penularan bagi sekelilingnya.8
Bentuk klinis yang dikenal adalah: 1. Amebiasis intestinal dan 2.
Amebiasis ekstra intestinal.8
 Amebiasis intestinal meliputi amebiasis usus dan kolon
Gejala klinis yang biasa ditemukan adalah nyeri perut dan diare yang berupa
tinja cair, tinja berlendir atau tinja berdarah. Frekuensi diare dapat mencapai
10x per hari. Demam dapat ditemukan pada sepertiga penderita. Pasien
terkadang tidak nafsu makan sehingga berat badannya dapat menurun. Pada
stadium akut di tinja dapat ditemukannya darah, dengan sedikit leukosit serta
stadium trofozoit E.hystolitica. secara klinis sulit dibedakan dengan diare yang
disebabkan oleh bakteri seperi Shigella, Salmonela, E.coli, Campylobacter
yang sering ditemukan di daerah tropis. Selain itu juga harus dibedakan dengan
non infectious diare seperti ischemic colitis, inflammatory bowel disease,
diverticulitis, karena pada amebiasis intestinalis penderita biasanya tidak
demam.

Amebiasis kolon menahun


Amebiasis kolon menahun mempunyai gejala yang tidak begitu jelas. Biasanya
terdapat gejala usus yang ringan, antara lain rasa tidak enak di perut, diare yang
diselingi obstipasi sembelit). Gejala tersebut dapat diikuti oleh reakivasi gejala
akut secara periodic. Dasar penyakit ialah radang usus besar dengan ulkus

9
menggaung, disebut juga colitis ulseratif. Penderita terlihat sakit berat, demam,
diare dengan lendir dan darah, nyeri perut dengan tanda iritaqsi peritoneum.
Bila terjadi perforasi usus atau pemberian anti amuba tidak memperlihatkan
hasil, dialkukan tindakan bedah. Ameboma berasal dari pembentukan jaringan
granulasi kolon yang berbentuk seperti cincin anuler), dapat tunggal atau
multipel. Biasanya ditemukan di sekum atau colon ascendens. Gambaran
histologi menunjukkan jaringan kolagen dan fibrblas dengan tanda peradangan
menahun disertai granulasi. Ameboma ini menyerupai karsinoma kolon.
Amebiasis kolon bila tidak diobati akan menjalar eluar dari usus dan
menyebabkan amebiasis ekstraintestinal. Hal ini dapat terjadi secara
hematogen atau perkontinuitatum. Cara hematogen terjadi bula amuba telah
masuk submukosa kemudian ke kapiler darah, dibawa oleh aliran darah
melalui vena porta ke hati dan menimbulkan abses hati.

 Amebasis ekstra intestinal


Sebagian besar penderita memperlihatkan gejala dalam waktu yang relative
singkat sekitar 2 sampai 4 minggu. Penderita memperlihatkan gejala demam,
batuk dan nyeri perut kuadran kanan atas. Bila permukaan diafragma hati
terinfeksi, maka penderita dapat terjadi nyeri pleura kanan atau nyeri yang
menjalar sampai bahu kanan. Dapat ditemukan gangguan gastrointestinal
berupa mual, muntah, kejang otot perut, perut kembung, diare dan konstipasi.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan hepatomegali. Pada fase sub akut dapat
ditemukan penurunan berat badan, demam dan nyeri abdomen yang difus.
Abses hati lebih banyak ditemukan pada orang dewasa dibandingkan anak
anak. Kebanyakan abses terbentuk di lobus kanan hati, biasanya soliter. Abses
hati berisi nanah yang berwarna coklat

10
Berdasarkan derajat penyakit:
 Carrier (Cyst Passer)
Pasien ini tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali. Hal ini disebabkan
karena amoeba yang berada dalam lumen usus besar tidak mengadakan invasi
ke dinding usus
 Disentri amoeba ringan
Timbulnya penyakit (onset penyakit) perlahan-lahan. Penderita biasanya
mengeluh perut kembung, kadang nyeri perut ringan yang bersifat kejang.
Dapat timbul diare ringan, 4-5 kali sehari, dengan tinja berbau busuk. Kadang
juga tinja bercampur darah dan lendir. Terdapat sedikit nyeri tekan di daerah
sigmoid, jarang nyeri di daerah epigastrium. Keadaan tersebut bergantung pada
lokasi ulkusnya. Keadaan umum pasien biasanya baik, tanpa atau sedikit
demam ringan (subfebris). Kadang dijumpai hepatomegali yang tidak atau
sedikit nyeri tekan.
 Disentri amoeba sedang
Keluhan pasien dan gejala klinis lebih berat dibanding disentri ringan, tetapi
pasien masih mampu melakukan aktivitas sehari-hari. Tinja biasanya disertai
lendir dan darah. Pasien mengeluh perut kram, demam dan lemah badan disertai
hepatomegali yang nyeri ringan.
 Disentri amoeba berat
Keluhan dan gejala klinis lebih berat lagi. Penderita mengalami diare disertai
darah yang banyak, lebih dari 15 kali sehari. Demam tinggi (400C-40,50C)
disertai mual dan anemia.
 Disentri amoeba kronik
Gejalanya menyerupai disentri amoeba ringan, serangan-serangan diare
diselingi dengan periode normal atau tanpa gejala. Keadaan ini dapat berjalan
berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Pasien biasanya menunjukkan gejala

11
neurastenia. Serangan diare yang terjadi biasanya dikarenakan kelelahan,
demam atau makanan yang sulit dicerna.6

2.6 Pemeriksaan Penunjang


a. Disentri amoeba
1. Pemeriksaan tinja
Pemeriksaan tinja ini merupakan pemeriksaan laboratorium yang
sangat penting. Biasanya tinja berbau busuk, bercampur darah dan lendir.
Untuk pemeriksaan mikroskopik diperlukan tinja yang segar. Kadang
diperlukan pemeriksaan berulang-ulang, minimal 3 kali seminggu dan
sebaiknya dilakukan sebelum pasien mendapat pengobatan.
Pada pemeriksaan tinja yang berbentuk (pasien tidak diare), perlu
dicari bentuk kista karena bentuk trofozoit tidak akan dapat ditemukan.
Dengan sediaan langsung tampak kista berbentuk bulat dan berkilau seperti
mutiara. Di dalamnya terdapat badan-badan kromatoid yang berbentuk
batang dengan ujung tumpul, sedangkan inti tidak tampak. Untuk dapat
melihat intinya, dapat digunakan larutan lugol. Akan tetapi dengan larutan
lugol ini badan-badan kromatoid tidak tampak. Bila jumlah kista sedikit,
dapat dilakukan pemeriksaan menggunakan metode konsentrasi dengan
larutan seng sulfat dan eterformalin. Dengan larutan seng sulfat kista akan
terapung di permukaan sedangkan dengan larutan eterformalin kista akan
mengendap.
Dalam tinja pasien juga dapat ditemukan trofozoit. Untuk itu
diperlukan tinja yang masih segar dan sebaiknya diambil bahan dari bagian
tinja yang mengandung darah dan lendir. Pada sediaan langsung dapat dilihat
trofozoit yang masih bergerak aktif seperti keong dengan menggunakan
pseudopodinya yang seperti kaca. Jika tinja berdarah, akan tampak amoeba

12
dengan eritrosit di dalamnya. Bentik inti akan nampak jelas bila dibuat
sediaan dengan larutan eosin.1,6,9

2. Pemeriksaan sigmoidoskopi dan kolonoskopi


Pemeriksaan ini berguna untuk membantu diagnosis penderita dengan
gejala disentri, terutama apabila pada pemeriksaan tinja tidak ditemukan
amoeba. Akan tetapi pemeriksaan ini tidak berguna untuk carrier. Pada
pemeriksaan ini akan didapatkan ulkus yang khas dengan tepi menonjol,
tertutup eksudat kekuningan, mukosa usus antara ulkus-ulkus tampak
normal.1

3. Foto rontgen kolon


Pemeriksaan rontgen kolon tidak banyak membantu karena seringkali
ulkus tidak tampak. Kadang pada kasus amoebiasis kronis, foto rontgen
kolon dengan barium enema tampak ulkus disertai spasme otot. Pada
ameboma Nampak filling defect yang mirip karsinoma.1

4.Pemeriksaan uji serologi


Uji serologi banyak digunakan sebagai uji bantu diagnosis abses hati
amebik dan epidemiologis. Uji serologis positif bila amoeba menembus
jaringan (invasif). Oleh karena itu uji ini akan positif pada pasien abses hati
dan disentri amoeba dan negatif pada carrier. Hasil uji serologis positif belum
tentu menderita amebiasis aktif, tetapi bila negatif pasti bukan amebiasis.1

b. Disentri basiler
1. Pemeriksaan tinja.
Pemeriksaan tinja secara langsung terhadap kuman penyebab serta
biakan hapusan (rectal swab). Untuk menemukan carrier diperlukan

13
pemeriksaan biakan tinja yang seksama dan teliti karena basil shigela mudah
mati . Untuk itu diperlukan tinja yang baru.

2. Polymerase Chain Reaction (PCR).


Pemeriksaan ini spesifik dan sensitif, tetapi belum dipakai secara luas.
Enzim immunoassay. Hal ini dapat mendeteksi toksin di tinja pada sebagian
besar penderita yang terinfeksi S.dysentriae tipe 1 atau toksin yang dihasilkan
E.coli.

3. Sigmoidoskopi.
Sebelum pemeriksaan sitologi ini, dilakukan pengerokan daerah sigmoid.
Pemeriksaan ini biasanya dilakukan pada stadium lanjut. Aglutinasi. Hal ini
terjadi karena aglutinin terbentuk pada hari kedua, maksimum pada hari keenam.
Pada S.dysentriae aglutinasi dinyatakan positif pada pengenceran 1/50 dan pada
S.flexneri aglutinasi antibody sangat kompleks, dan oleh karena adanya banyak
strain maka jarang dipakai. Gambaran endoskopi memperlihatkan mukosa
hemoragik yang terlepas dan ulserasi. Kadang-kadang tertutup dengan eksudat.
Sebagian besar lesi berada di bagian distal kolon dan secara progresif berkurang
di segmen proksimal usus besar.3

2.7 Diagnosis Banding


Diagnosis banding untuk diare berdarah adalah :
a. Disentri amuba
Timbulnya penyakit biasanya perlahan-lahan, diare awal tidak Ada jarang.
Toksemia ringan dapat terjadi, tenesmus jarang dan sakit berbatas. Tinja
biasanya besar, terus menerus, asam, berdarah, bila berbentuk biasanya
tercampur lendir. Lokasi tersering daerah sekum dan kolon asendens, jarang

14
mengenai ileum. Ulkus yang ditimbulkan dengan gaung yang khas seperti
botol.

b. Disentri basiler
Penyakit ini biasanya timbul secara akut, sering disertai adanya toksemia,
tenesmus akan tetapi sakit biasanya sifatnya umum. Tinja biasanya kecil-
kecil, banyak, tak berbau, alkalis, berlendir, nanah dan berdarah, bila tinja
berbentuk dilapisi lendir. Daerah yang terserang biasanya sigmoid dan dapat
juga menyerang ileum. Biasanya daerah yang terserang akan mengalami
hiperemia superfisial ulseratif dan selaput lendir akan menebal.
Eschericiae coli
 Escherichia coli Enteroinvasive (EIEC), patogenesisnya seperti Shigelosis
yaitu melekat dan menginvasi epitel usus sehingga menyebabkan
kematian sel dan respon radang cepat (secara klinis dikenal sebagai
kolitis). Serogroup ini menyebabkan lesi seperti disentri basiller, ulserasi
atau perdarahan dan infiltrasi leukosit polimorfonuklear dengan khas
edem mukosa dan submukosa. Manifestasi klinis berupa demam,
toksisitas sistemik, nyeri kejang abdomen, tenesmus, dan diare cair atau
darah.
 Escherichia coli Enterohemoragik (EHEC)
Manifestasi klinis dari EHEC dapat menyebabkan penyakit diare sendiri
atau dengan nyeri abdomen. Diare pada mulanya cair tapi beberapa hari
menjadi berdarah (colitis hemoragik). Meskipun gambarannya sama
dengan Shigelosis yang membedakan adalah terjadinya demam yang
merupakan manifestasi yang tidak lazim. Beberapa infeksi disertai dengan
sindrom hemolitik uremik.

15
2.8 Diagnosis
a. Disentri basiler
Perlu dicurigai adanya Shigellosis pada pasien yang datang dengan
keluhan nyeri abdomen bawah, dan diare. Pemeriksaan mikroskopik tinja
menunjukkan adanya eritrosit dan leukosit PMN. Untuk memastikan diagnosis
dilakukan kultur dari bahan tinja segar atau hapus rektal. Pada fase akut infeksi
Shigella, tes serologi tidak bermanfaat. Pada disentri subakut gejala klinisnya
serupa dengan colitis ulserosa. Perbedaan utama adalah kultur Shigella yang
positif dan perbaikan klinis yang bermakna setelah pengobatan dengan
antibiotic yang adekuat.6

b. Disentri amuba
Pemeriksaan tinja sangat penting di mana tinja penderita amebiasis tidak
banyak mengandung leukosit tetapi banyak mengandung bakteri. Diagnosis
pasti baru dapat ditegakkan bila ditemukan amoeba (trofozoit). Akan tetapi
ditemukannya amoeba bukan berarti meyingkirkan kemungkinan penyakit lain
karena amebiasis dapat terjadi bersamaan dengan penyakit lain. Oleh karena
itu, apabila penderita amebiasis yang telah menjalani pengobatan spesifik
masih tetap mengeluh nyeri perut, perlu dilakukan pemeriksaan lain, misalnya
endoskopi, foto kolon dengan barium enema atau biakan tinja. Abses hati
ameba sukar dibedakan dengan abses piogenik dan neoplasma. Pemeriksaan
ultrasonografi dapat membedakannya dengan neoplasma, sedang
ditemukannya echinococcus dapat membedakannya dengan abses piogenik.
Salah satu caranya yaitu dengan dilakukannya pungsi abses.3

16
2.9 Komplikasi
a. Disentri amoeba
Beberapa penyulit dapat terjadi pada disentri amoeba, baik berat maupun
ringan. Berdasarkan lokasinya, komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi :

Komplikasi intestinal
 Perdarahan usus. Terjadi apabila amoeba mengadakan invasi ke dinding
usus besar dan merusak pembuluh darah.
 Perforasi usus. Hal ini dapat terjadi bila abses menembus lapisan muscular
dinding usus besar. Sering mengakibatkan peritonitis yang mortalitasnya
tinggi. Peritonitis juga dapat disebabkan akibat pecahnya abses hati amoeba.
 Ameboma. Peristiwa ini terjadi akibat infeksi kronis yang mengakibatkan
reaksi terbentuknya massa jaringan granulasi. Biasanya terjadi di daerah
sekum dan rektosigmoid. Sering mengakibatkan ileus obstruktif atau
penyempitan usus.
 Intususepsi. Sering terjadi di daerah sekum (caeca-colic) yang memerlukan
tindakan operasi segera.
 Penyempitan usus (striktura). Dapat terjadi pada disentri kronik akibat
terbentuknya jaringan ikat atau akibat ameboma.

Komplikasi ekstraintestinal
 Amebiasis hati. Abses hati merupakan komplikasi ekstraintestinal yang
paling sering terjadi. Abses dapat timbul dari beberapa minggu, bulan atau
tahun sesudah infeksi amoeba sebelumnya. Infeksi di hati terjadi akibat
embolisasi ameba dan dinding usus besar lewat vena porta, jarang lewat
pembuluh getah bening. Mula-mula terjadi hepatitis ameba yang merupakan
stadium dini abses hati kemudian timbul nekrosis fokal kecil-kecil (mikro
abses), yang akan bergabung menjadi satu, membentuk abses tunggal yang

17
besar. Sesuai dengan aliran darah vena porta, maka abses hati ameba
terutama banyak terdapat di lobus kanan. Abses berisi nanah kental yang
steril, tidak berbau, berwarna kecoklatan (chocolate paste) yang terdiri atas
jaringan sel hati yang rusak bercampur darah. Kadang-kadang dapat
berwarna kuning kehijauan karena bercampur dengan cairan empedu.
 Abses pleuropulmonal. Abses ini dapat terjadi akibat ekspansi langsung
abses hati. Kurang lebih 10-20% abses hati ameba dapat mengakibatkan
penyulit ini. Abses paru juga dapat terjadi akibat embolisasi ameba langsung
dari dinding usus besar. Dapat pula terjadi hiliran (fistel) hepatobronkhial
sehingga penderita batukbatuk dengan sputum berwarna kecoklatan yang
rasanya seperti hati.
 Abses otak, limpa dan organ lain. Keadaan ini dapat terjadi akibat
embolisasi ameba langsung dari dinding usus besar maupun dari abses hati
walaupun sangat jarang terjadi.
 Amebiasis kulit. Terjadi akibat invasi ameba langsung dari dinding usus
besar dengan membentuk hiliran (fistel). Sering terjadi di daerah perianal
atau dinding perut. Dapat pula terjadi di daerah vulvovaginal akibat invasi
ameba yang berasal dari anus.

b. Disentri basiler
Beberapa komplikasi ekstra intestinal disentri basiler terjadi pada pasien
yang berada di negara yang masih berkembang dan seringnya kejadian ini
dihubungkandengan infeksi S.dysentriae tipe 1 dan S.flexneri pada pasien dengan
status gizi buruk. Komplikasi lain akibat infeksi S.dysentriae tipe 1 adalah
haemolytic uremic syndrome (HUS). SHU diduga akibat adanya penyerapan
enterotoksin yang diproduksi oleh Shigella. Biasanya HUS ini timbul pada akhir
minggu pertama disentri basiler, yaitu pada saat disentri basiler mulai membaik.
Tanda-tanda HUS dapat berupa oliguria, penurunan hematokrit (sampai 10%

18
dalam 24 jam) dan secara progresif timbul anuria dan gagal ginjal atau anemia
berat dengan gagal jantung. Dapat pula terjadi reaksi leukemoid (leukosit lebih
dari 50.000/mikro liter), trombositopenia (30.000-100.000/mikro liter),
hiponatremia, hipoglikemia berat bahkan gejala susunan saraf pusat seperti
ensefalopati, perubahan kesadaran dan sikap yang aneh.
Artritis juga dapat terjadi akibat infeksi S.flexneri yang biasanya muncul
pada masa penyembuhan dan mengenai sendi-sendi besar terutama lutut. Hal ini
dapat terjadi pada kasus yang ringan dimana cairan sinovial sendi mengandung
leukosit polimorfonuklear. Penyembuhan dapat sempurna, akan tetapi keluhan
artsitis dapat berlangsung selama berbulan-bulan. Bersamaan dengan artritis dapat
pula terjadi iritis atau iridosiklitis. Sedangkan stenosis terjadi bila ulkus sirkular
pada usus menyembuh, bahkan dapat pula terjadi obstruksi usus, walaupun hal ini
jarang terjadi. Neuritis perifer dapat terjadi setelah serangan S.dysentriae yang
toksik namun hal ini jarang sekali terjadi.
Komplikasi intestinal seperti toksik megakolon, prolaps rectal dan
perforasi juga dapat muncul. Akan tetapi peritonitis karena perforasi jarang terjadi.
Kalaupun terjadi biasanya pada stadium akhir atau setelah serangan berat.
Peritonitis dengan perlekatan yang terbatas mungkin pula terjadi pada beberapa
tempat yang mempunyai angka kematian tinggi. Komplikasi lain yang dapat
timbul adalah bisul dan hemoroid.1

2.10 Pengobatan
a. Disentri basiler
Prinsip dalam melakukan tindakan pengobatan adalah istirahat,
mencegah atau memperbaiki dehidrasi dan pada kasus yang berat diberikan
antibiotika. Dehidrasi ringan sampai sedang dapat dikoreksi dengan cairan
rehidrasi oral. Jika frekuensi buang air besar terlalu sering, dehidrasi akan
terjadi dan berat badan penderita turun. Dalam keadaan ini perlu diberikan

19
cairan melalui infus untuk menggantikan cairan yang hilang. Akan tetapi jika
penderita tidak muntah, cairan dapat diberikan melalui minuman atau
pemberian oralit.10
Diberikan makanan lunak sampai frekuensi berak kurang dari 5kali/hari,
kemudian diberikan makanan ringan biasa bila ada kemajuan. Menurut
pedoman WHO, bila telah terdiagnosis shigelosis pasien diobati dengan
antibiotika. Jika setelah 2 hari pengobatan menunjukkan perbaikan, terapi
diteruskan selama 5 hari. Bila tidak ada perbaikan, antibiotika diganti dengan
jenis yang lain. Resistensi terhadap sulfonamid, streptomisin, kloramfenikol
dan tetrasiklin hampir universal terjadi. Kuman Shigella biasanya resisten
terhadap ampisilin, namun apabila ternyata dalam uji resistensi kuman terhadap
ampisilin masih peka, maka masih dapat digunakan dengan dosis 100
mg/kgbb/hari dibagi 4 selama 5 hari. Begitu pula dengan trimethoprim
sulfametoksazol,dosis yang diberikan trimetroprim 8mg/kgbb/hari dan
sulfametoksasol 40mg/kgbb/hari selama 3-5 hari. Amoksisilin tidak dianjurkan
dalam pengobatan disentri basiler karena tidak efektif.10
Di negara-negara berkembang di mana terdapat kuman S.dysentriae tipe
1 yang multiresisten terhadap obat-obat, diberikan asam nalidiksik dengan dosis
55 mg/kgbb/hari dibagi 4 selama 5 hari. Tidak ada antibiotika yang dianjurkan
dalam pengobatan stadium carrier disentri basiler.10

b. Disentri amuba
Pada penderita amebiasis invasive terutama diberikan golongan
nitroimidazol yaitu metronidazole. Obat lain yang dapat diberikan adalah
tinidazol, seknidazol dan ornidazol. Setelah pemberian nirotimidazol, biasanya
40 sampai 60% penderita masih mengandung parasit, karena itu sebaiknya
diikuti pemberian paromisin atau diloksanid furoat untuk mengeleminasi
infeksi dalam lumen usus. Pemberian metronidazole sebaiknya tidak bersamaan

20
dengan paromisin, sebab yang terakhir dapat menyebabkan dare sebagai efek
samping obat. Pada penderita abses hati ameba dapat dilakukan drainasi abses
seain pemberian obat anti ameba. Hal in dapat dilakukan pada penderita abses
hati yang setelah pengobatan 5 sampai 7 hari tidak memperlihatkan perbaikan
klnis.8
Obat amebisid dapat dikelompokkan menjadi 2 kategori:
 Obat yang bekerja pada lumen usus
Merupakan obat yang tidak diabsorpsi dengan baik dalam usus, sehingga
dapat membunuh stadium trofozoit dan kista yang berada dalam lumen usus.
- Paromisin / humatin
Merupakan antibiotic golongan amnioglikosida yang tidak diabsorpsi
dalam lumen usus. Obat tersebut hanya membunuh stadium yang
berada dalam lumen usus. Digunakan untuk mengeleminasi kista
setelah pengobatan dengan metronidazole atau tinidazol.
Pemberiannya harus hati hati pada penderita dengan kelainan ginjal.
Dosisnya adalah 25 sampai 35 mg/kgbb/hari, terbagi dalam 8 jam,
selama 7 hari, untuk anak 8mg/kgbb/hari dibagi 3 dosis selama 7
sampai 10 hari. Tidak dianjurkan penggunaan jangka panjang karena
toksik.
- Diloksanid furoat / furamid, entamizol
Merupakan obat pilihan untuk E.hystolotica yang berada dalam lumen.
Efeka sampng yang sering ditemukan adalah kembung. Mual, muntah
dan diare kadang kadang dilaporkan. Dosisnya 3 x 500 g perhari selama
10 hari, untuk anak 7 sampai 10 mg/kgbb/hari dibagi 3 dosis selama 7
sampai 10 hari.
- Iodoquinol/iodoksin
Termasuk golongan hidroksikuinolon. Tdak boleh diberikan pada
penderia dengan gangguan fungsi ginjal. Dosisnya 3 x 650 mg perhari

21
selama 20 hari, untuk anak 10mg/kgbb/hari dibagi 3 dosis selama 7
sampai 10 hari. Merupakan amebisid luminal yang bekerja di lumen.
Dapat digunakan untuk stadium kista setelah pemberian metronidazole.

 Obat yang bekerja pada jaringan:


- Emetin hidrosiklorida
Obat ini berkhasiat terhadap stadum trofozoit E.hystolitica. pemberian
emetin ini efektif bila diberikan secara parenteral, karena pada
pemberian oral absorpsinya tidak sempurna. Dapat diberikan melalui
suntikan intramuscular atau subkutis setiap hari selama 10 hari.
Pemberian secara intravena toksisitasnya relative tinggi, terutama
terhadap otot jantung. Dosis maksimal untuk dewasa adalah 65 mg
sehari, sedangkan untk anak di bawah 8 tahun 10mg sehari atau 0,5
sampai 1 mg/kgbb maksimal 90 mg/hari sampai 5 hari, tergantung dari
reaksi obat terhadap terapi amebiasis. Lama pengobatan 4 sampai 6
hari. Pada orang tua dan orang yang sakit berat, dosis harus dikurangi.
Pemberian emetin tidak dianjurkan pada ibu hamil, penderita dengan
gangguan jantung dan ginjal.
Dihiroemetin relative kurang toksik dibandingkan dengan emetin dan
dapat diberikan secara oral. Dosis maksimum adalah 0,1 gr sehari,
diberikan selama 4 sampai 6 hari. Emetin dan dehidroemetin efektif
untuk pengobatan abses hati.
- Metronidazole
Metronidazole merupakan obat pilihan untuk amebiasis koli atau abses
hati ameba, karena efektif terhadap stadum trofozoit dalam dinding
usus dan jaringan. Obat ini tidak dapat membunuh stadium ksita. Efek
sampingnya antara lain mual, muntah, dan pusing. Pada infeksi
E.hystolitica dilumen usus, hanya 50% parasite mati dengan obat in.

22
karena itu danjurkan pemberian kombinasi obat metronidazole atau
tinidazol dengan diloksanid furoat ditambah paromisin atau tetrasiklin,
dosisnya 50 mg/kgbb/hari dibagi 4 selama hari. Sampai saat ini belum
dilaporkan resistensi E.hystolitica terhadap metronidazole. Selain
metronidazole, dapat juga diberikan tinidazol atau ornidazol dengan
dosis yang berbeda. Dosis yang digunakan pada dewasa adalah 3 x 750
mg / hari selama 7 sampai 10 hari. Pada anak anak 15 sampai
30mg/kgbb/hari dibagi 3 selama 5 sampai 10 hari. Pada amebiasis berat
dan abses hati pada anak dapat digunakan dosis 50 mg/kgbb/hari dibagi
dalam 3 dosis peroral atau intravena selama 10 hari. Pada ibu hamil
hindari pemakainnya pada trimester 1.
- Klorokuin
Merupakan amebisid jaringan yang efektif terhadap amebiasis hati.
Efek samping dan toksisitasnya ringan, antara lain mual, muntah, diare,
sakit kepala. Dosis untuk dewasa 1 gr sehari dibagi 4 dalam 2 hari,
kemudian 500mg sehari dibagi 2 selama 2 sampai 3 minggu. Pada anak
dosisnya 10 mg/kgbb selama 2 sampai 3 hari, maksimal300 mg/hari.

23
24
25
26
27
2.11 Prognosis
Prognosis ditentukan dari berat ringannya penyakit, diagnosis dan
pengobatan dini yang tepat serta kepekaan ameba terhadap obat yang diberikan.
Pada umumnya prognosis amebiasis adalah baik terutama pada kasus tanpa
komplikasi. Prognosis yang kurang baik adalah abses otak ameba. Pada bentuk
yang berat, angka kematian tinggi kecuali bila mendapatkan pengobatan dini.
Tetapi pada bentuk yang sedang, biasanya angka kematian rendah; bentuk
dysentriae biasanya berat dan masa penyembuhan lama meskipun dalam bentuk
yang ringan. Bentuk flexneri mempunyai angka kematian yang rendah.1

2.12 Pencegahan
a. Disentri amoeba
Makanan, minuman dan keadaan lingkungan hidup yang memenuhi
syarat kesehatan merupakan sarana pencegahan penyakit yang sangat penting.
Air minum sebaiknya dimasak dahulu karena kista akan binasa bila air
dipanaskan 500C selama 5 menit. Penting sekali adanya jamban keluarga,
isolasi dan pengobatan carrier. Carrier dilarang bekerja sebagai juru masak
atau segala pekerjaan yang berhubungan dengan makanan. Sampai saat ini
belum ada vaksin khusus untuk pencegahan. Pemberian kemoprofilaksis bagi
wisatawan yang akan mengunjungi daerah endemis tidak dianjurkan.1

28
b. Disentri basiler
Belum ada rekomendasi pemakaian vaksin untuk Shigella. Penularan
disentri basiler dapat dicegah dan dikurangi dengan kondisi lingkungan dan
diri yang bersih seperti membersihkan tangan dengan sabun, suplai air yang
tidak terkontaminasi, penggunaan jamban yang bersih.1
Shigella disebarkan oleh makanan, jari, tinja, dan lalat dari orang ke
orang. Banyak kasus infeksi shihgella terjadi pada anak di bawah 10 tahun.
S. dysentriae dapat menyebar secara luas. Chemoprophylaxis untuk periode
waktu terbatas (misalnya orang orang militer) sudah dicoba, tetapi strain
yang tahan dari shigella cenderung muncul secara cepat. Ketika manusia
menjadi host pathogenic shigella, control harus diarahkan pada pengurangan
organisme pada tandn air dengan cara: 1) control sanitasi air, makanan dan
susu; 3) pendeteksian kasus subklinis dan penyebab, khususnya pembawa
makanan; 4) pengobatan antibiotic pada indivisu yang terinfeksi. 9

29
BAB III
KESIMPULAN

Disentri merupakan tipe diare yang berbahaya dan seringkali menyebabkan


kematian dibandingkan dengan tipe diare akut yang lain. Penyakit ini dapat disebabkan
oleh bakteri (disentri basiler) biasanya disebabkan oleh Shigella sp. dan amoeba
(disentri amoeba) yang disebabkan oleh Entamoeba hystolitica. Disentri merupakan
peradangan pada usus besar yang ditandai dengan sakit perut dan buang air besar encer
yang bercampur lendir dan darah. Manifestasi klinis disentri basiler berupa diare
berlendir, alkalis, tinja kecil-kecil dan banyak, darah dan tenesmus serta tinja berlendir
karena adanya eksudat dari leukosit polimorfonuklear. Manifestasi klinis disentri
amuba berupa tinja biasanya besar, asam, berdarah dantenesmus jarang. Diagnosis dari
disentri dapat ditegakkan melalui anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yang biasanya dengan pemeriksaan feses. Prinsip dalam melakukan
tindakan pengobatan pada disentri adalah istirahat, mencegah atau memperbaiki
dehidrasi dan pemberian antibiotic yang tepat sesuai dengan derajat keparahan
penyakit. Prognosis dari penyakit ini baik apabila cepat ditangani, dan jika lambat akan
berlanjut menjadi komplikasinya seperti amebiasis hepar pada disentri amoeba dan
perforasi usus yang menjadi peritonitis pada disentri basiler. Pencegahan yang paling
ialah menjaga kebersihan karena penularan penyakit ini secara fecal oral, dan biasanya
dari makanan yang terkontaminasi.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Siti., Setiati., 2014. Disentri Basiler. Buku Ajar Penyakit Dalam.


FKUI:Jakarta.
2. Simanjuntak C. H., 2011. Epidemiologi Disentri. Diakses dari
http://www.kalbe.co.id/files/cdk.
3. Oesman, Nizam. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi III. Jakarta. Fakultas
kedokteran UI.: 2010.
4. Dhawan V.K., Amebiasis. Diakses dari http://www.emedicine.com/
med/topic116.htm. 2017.
5. World Health Organization (WHO). Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah
Sakit, Pedoman bagi Rumah Sakit Rujukan tingkat pertama di kabupaten/kota.
Jakarta: WHO: 2009.
6. Kroser A. J., Shigellosis. Diakses dari http://www.emedicine.com/
med/topic2112.htm. 2016.
7. Juffrie M, dkk, Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi Jilid 1, Jakarta: Badan
Penerbit IDAI, 2012
8. Utama H. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran Edisi Keempat. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI.2013
9. Jawetz, Melnick, Adelberg’s. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit
Salemba Medika. 2012
10. Wiharta, A.S, dkk. Gastroenterologi Anak Praktis. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2012

31

Anda mungkin juga menyukai