Anda di halaman 1dari 41

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Tinjauan Teori


Diabetes mellitus pada kehamilan adalah intoleransi karbohidrat
ringan (toleransi glukosa terganggu) maupun berat (DM), terjadi atau
diketahui pertama kali saat kehamilan berlangsung. Definisi ini mencakup
pasien yang sudah mengidap DM (tetapi belum terdeteksi) yang baru
diketahui saat kehamilan ini dan yang benar-benar menderita DM akibat
hamil.
Dalam kehamilan terjadi perubahan metabolisme endokrin dan
karbohidrat yang menunjang pemasokan makanan bagi janin serta persiapan
untuk menyusui. Glukosa dapat berdifusi secara tetap melalui plasenta
kepada janin sehingga kadarnya dalam darah janin hampir menyerupai kadar
darah ibu. Insulin ibu tidak dapat mencapai janin sehingga kadar gula ibu
yang mempengaruhi kadar pada janin. Pengendalian kadar gula terutama
dipengaruhi oleh insulin, disamping beberapa hormon lain : estrogen, steroid
dan plasenta laktogen. Akibat lambatnya resopsi makanan maka terjadi
hiperglikemi yang relatif lama dan ini menuntut kebutuhan insulin.

1.2. Tujuan Dan Manfaat


Dalam kesempatan kali ini kita akan berusaha menguak dan
membahas secara menyeluruh tentang Diabetes pada kehamilan serta
manifestasi klinik yang akan didapatkan serta dikeluhkan pada seseorang
yang kita curigai mengalami abortus.
Kami berharap dengan adanya makalah ini akan lebih bermanfaat dan
menambah wawasan pembaca khususnya para Dokter Muda, Dokter serta
Tenaga medis lain tentang abortus yang meliputi Pengertian, Etiologi,
Patogenesis, Diagnosa, serta bagaimana Prognosa dan Penatalaksanaannya.
2

BAB II
PEMBAHASAN

2. Diabetes pada kehamilan


2.1. Pengertian
Diabetes mellitus gestasional (GDM) didefinisikan sebagai derajat
apapun intoleransi glukosa dengan onset atau pengakuan pertama selama
kehamilan. (WHO-World Health Organisation 2011). Hal ni berlaku baik
insulin atau modifikasi diet hanya digunakan untuk pengobatan dan apakah
atau tidak kondisi tersebut terus berlangsung setelah kehamilan. Ini tidak
mengesampingkan kemungkinan bahwa intoleransi glukosa yang belum
diakui mungkin telah dimulai bersamaan dengan kehamilan.

2.2. Etiologi
Selama kehamilan, peningkatan kadar hormon tertentu dibuat dalam
plasenta (organ yang menghubungkan bayi dengan tali pusat ke rahim)
nutrisi membantu pergeseran dari ibu ke janin. Hormon lain yang diproduksi
oleh plasenta untuk membantu mencegah ibu dari mengembangkan gula
darah rendah.
Selama kehamilan, hormon ini menyebabkan terganggunya intoleransi
glukosa progresif (kadar gula darah yang lebih tinggi). Untuk mencoba
menurunkan kadar gula darah, tubuh membuat insulin lebih banyak supaya
sel mendapat glukosa bagi memproduksi sumber energi.
Biasanya pankreas ibu mampu memproduksi insulin lebih (sekitar tiga
kali jumlah normal) untuk mengatasi efek hormon kehamilan pada tingkat
gula darah. Namun, jika pankreas tidak dapat memproduksi insulin yang
cukup untuk mengatasi efek dari peningkatan hormon selama kehamilan,
kadar gula darah akan naik, mengakibatkan GDM.
3

2.3. Faktor Resiko


Faktor-faktor berikut meningkatkan risiko terkena GDM selama
kehamilan:
a. Kelebihan berat badan sebelum hamil (lebih 20% dari berat badan
ideal). Merupakan anggota kelompok etnis risiko tinggi (Hispanik,
Black, penduduk asli Amerika, atau Asia).
b. Gangguan toleransi glukosa atau glukosa puasa terganggu (kadar
gula darah yang tinggi, tetapi tidak cukup tinggi untuk menjadi
diabetes).
c. Riwayat keluarga diabetes (jika orang tua atau saudara kandung
memiliki diabetes).
d. Sebelumnya melahirkan bayi lebih dari 4 kg. Sebelumnya
melahirkan bayi lahir mati.
e. Mendapat diabetes kehamilan dengan kehamilan sebelumnya.
f. Memiliki terlalu banyak cairan ketuban (suatu kondisi yang
disebut polihidramnion).

Banyak wanita yang mengalami GDM tidak memiliki faktor risiko


yang diketahui.

2.4. Patofisiologi
Sebagian kehamilan ditandai dengan adanya resistensi insulin dan
hiperinsulinemia,yang pada beberapa perempuan akan menjadi faktor
predisposisi untuk terjadinya DM selama kehamilan. Resistensi ini berasal
dari hormon diabetogenik hasil sekresi plasenta yang terdiri atas hormon
pertumbuhan (growth hormon), corticotropin releasing hormon,placental
lactogen, dan progesteron. Hormon ini dan perubahan endokrinologik serta
metabolik akan menyebabkan perubahan dan menjamin pasokan bahan bakar
dan nutrisi ke janin sepanjang waktu. Akan terjadi diabetes mellitus
4

gestasional apabila fungsi pankreas tidak cukup untuk mengatasi keadaan


resistensi insulin yang diakibatkan oleh perubahan hormon diabetogenik
selama kehamilan
Kadar glukosa yang meningkat pada ibu hamil sering menimbulkan
dampak yang kurang baik terhadap bayi yang dikandungnya. Bayi yang lahir
dari ibu dengan DM biasanya lebih besar, dan bisa terjadi juga pembesaran
dari organ-organnya (hepar,kelenjar adrenal, jantung). Segera setelah lahir,
bayi dapat mengalami hipoglikemia karena produksi insulin janin yang
meningkat, sebagai reaksi terhadap kadar glukosa ibu yang tinggi. Oleh
karena itu, setelah bayi dilahirkan, kadar glukosanya perlu dipantau dengan
ketat.
lbu hamil penderita diabetes mellitus yang tidak terkontrol dengan
baik akan meningkatkan risiko terjadinya keguguran atau bayi lahir mati.
Bila diagnosis diabetes mellitus sudah dapat ditegakkan sebelum kehamilan,
tetapi tidak terkontrol dengan baik, maka janin berisiko mempunyai kelainan
congenital.

2.5. Klasifikasi
Diabetes kini diklasifikasikan berdasarkan proses patogenik yang
berperan. Defisiensi insulin absolut diabetes tipe I. sementara defek sekresi
insulin atau menandai diabetes tipe 2 . Istilah diabetes melitus bergantung
insulin (Insulin Dependent Diabetes Mellitus-IDDM) dan diabetes melitus
tak bergantung insulin (Non lnsulin Dependent Diabetes Mellitus-NlD-DM)
tidak lagi dipakai. Usia tidak lagi digunakan dalam klasifikasi, karena
destruksi sel B pankreas dapat dimulai pada setiap usia. Umumnya awitanya
sebelum usia 30 tahun,tetapi pada 5 sampal 10 persen orang yang terkena,
awitan teradi setelah usia 30 tahun. Diabetes tipe 2, meskipun biasanya
seiring pertumbuhan usia, Juga terjadi obesitas
a. Klasifikasi selama kehamilan
5

Diabetes adalah penyulit medis tersering pada kehamilan. Wanita


dapat dipisahkan menjadi mereka yang diketahui mengidap diabetes
sebelum hamil-pragestasional atau overt (nyata) dan mereka yang
didiagnosis sewaktu hamil-gestasional. Pada tahun 2OO6, lebih dari
179.898 wanita Amerika Serikat mengalami kehamilan dengan penyulit
suatu bentuk diabetes yang mencerminkan 4,2 persen dari semua kelahir
hidup (Martin dkk., 2OO9). Di Amerika Serikat,wanita Amerika-
Afrika,Amerika asli, Asia, dan Spanyol berisiko lebih besar mengidap
diabetes gestasional dibandingkan wanita kulit putih (Ferrara, 2OO7).
Meningkatnya gestasional selama 15 tahun terakhir

b. Klasifikasi white pada kehamilan


Perkembangan klasifikasi diabetes pada kehamilan selama 20
tahun terakhir penting untuk di uraikan karena banyak istilah lama yang
masih di gunakan. Sebagai contoh orang sering meruuk ke klasifikasi
yang di buat oleh White (1978). Karena kebanyakan literatur yang saat
ini mengandung data dari klasifikasi-klasifikasi lama ini maka
klasifikasikan yang di anjurkan oleh American College Of Obstetri cians
and Gynecologists pada tahun 1986. Klasifikasi ini di ganti pada
tahun1994 karena, menurut college ”satu klasifikasi yang di dasarkan
pada ada tidaknya kontrol metabolik ibu yang baik dan ada tidaknya
vaskulopati diabetes pada ibu lebih bermanfaat”.
Pada klasifikasi tahun 1986, wanita yang didiagnosis mengidap
diabetes gestasional di bagi lagi, dan mereka yang dengan hiperglikemia
puasa 105 mg/dL atau lebih di masukkan ke kelas A. Sekitar 15 % wanita
dengan diabetes gestasional memperlihatkan hiperglikemia puasa.
Mengidap diabetes sebelum hamil, sistem White menekankan bahwa
kerusakan end organ khususnya yang mengenai mata,ginal,dan jantung
menimbulkan efek signifikan pada hasil akhir kehamilan
6

2.6. Diagnosis Diabetes Selama Kehamilan


a. Diabetes Overt
Wanita dengan kadar glukosa plasma yang tinggi glukosuria dan
ketoasidosis tidak menimbulkan masalah diagnosis.Demikian juga wanita
dengan kadar glukosa plasma sewaktu lebih dari 2OO mg/dL plus gejala
dan tanda klasik misalnya polidipsia, poliuria, dan penurunan berat badan
tanpa sebab jelas atau glukosa puasa melebihi 125 mg/dL oleh American
Diabetes Association (2OO4) dianggap mengidap overt (diabetes nyata).
Nilai ambang diagnosis untuk diabetes overt adalah glukosa plasma puasa
126 mg/dl atau lebih. Angka ini digunakan karena data menunjukkan
resiko retinopati meningkat drastis pada kadar puasa ini. Wanita yang
berada di ujung yang berlawanan dalam spektrum atau mereka yang
gangguan metaboliknya minimal mungkin sulit diidentifikasi.
Kemungkinan gangguan metabolisme karbohidrat meningkat bermakna
pada wanita yang memiliki riwayat diabetes dalam keluarga pernah
melahirkan bayi besar, memperlihatkan glukosuria persisten, atau
mengalami kematian janin yang tidak jelas sebabnya
Bahan-bahan perreduksi sering ditentukan dalam urine wanita
hamil . Uji celup (dipstick) yang tersedia di pasaran dapat digunakan
untuk mendeteksi glukosurin sekaligus menghindari reaksi positif dari
laktosa. Meskipun demikian,glukosuria umumnya tidak mencerminkan
gangguan toleransi glukosa, tetapi lebih merupakan peningkatan filtrasi
glomerolus. Bagaimanapun deteksi glukosuria selama kehamilan
mengisyaratkan perlunya pemeriksaan lebih lanjut.
b. Diabetes Gestasional
Hal ini didefinisikan sebagai intoleransi karbohidrat dengan
keparahan bervariasi dan awitan atau di kenali pertama kali selama
kehamilan. Definisi ini berlaku tanpa memandang apakah insulin
digunakan untuk mengobatinya. Jelaslah,sebagian wanita dengan diabetes
7

gestasional telah mengidap diabetes overt tanpa terdiagnosis. Sheffield


dkk , (1999) meneliti hasil akhir pada 1190 wanita diabetes yang
melahirkan di Parkland Hospital antara tahun 1991 sampai 1995. Mereka
mendapatkan "bahwa wanita dengan hiperglikemia puasa yang
didiagnosis sebelum 24 minggu memperlihatkan hasil akhir kehamilan
yang serupa dengan wanita dengan diabetes overt. Bartha (2000) dan
Most (2009) serta rekan-rekan mereka melaporkan hasil serupa. Karena
itu, hiperglikemia puasa pada awal kehamilan hampir selalu
mencerminkan diabetes overt (Cunningham,G.2016).
1) Pemeriksaan Penapisan
Meskipun telah dilakukan riset selama lebih dari 40
tahun,belum tercapai konsensus mengenai pendekatan optimal dalam
melakukan pemeriksaa penapisan untuk diabetes gestasional
(American College of Obstetricians and Gynecologists, 2001).
Masalah-masalah utama antara lain adalah apakah digunakan
pemeriksaan penapisan universal atau selektif dan berapa kadar
glukosa plasma setelah uji glukosa 50 g yang paling untuk mendeteksi
wanita yang berisiko mengalami diabetes gestasional
Sejak tahun 1980. telah diselenggnarakan lima lnternational
Workshop Conference tentang diabetes gestasional,dan para peserta
telah berupaya untuk menghasilkan pernyataan kesepakatan tentang
pemeriksaan penapisan,mereka yang ikut dalam konferensi kelima
menganjurkan pemakaian definisi. kriteria klasifikasi, dan strategi
untuk mendeteksi dan mendiagnosis diabetes gestasional yang
disarankan oleh Fourth Workshop Conference pada tahun 1997.
Pemerikasaan penapisan perlu di lakukan antara 24 dan 28
minggu pada wanita yang tidak di ketahui mengidap intoleransi
glukosa pada awal kehamilan. Evaluasi ini biasanya dilakukan dalam
dua tahap. Dalam prosedur dua tahap ini, dilakukan pemberian
glukosa 50 g yang diikuti oleh tes toleransi glukosa oral —TTGO
8

(oral glucose tolerance test) 1OO g jika hasil awal melebihi


konsentrasi glukosa plasma yang telah ditentukan sbelumnya
(Cunningham,G.2016).
Kadar glukosa plasma biasanya diukur 1 jam setelah
pemberian glukosa 50 g tanpa memperhitungkan waktu dalam suatu
hari atau lama setelah makan terakhir. Nilai ≥140 mg/dl (7,8 mmol/L)
mengidentifikasi 80 persen dari semua wanita dengan diabetes
gestasional. Dengan menggunakan nilai >130 mg/dL (7,2 mmol/L)
maka hasil akan lebih besar dari pada 90 %. namun 20-25 % wanita
akan memberi hasil positif palsu di bandingkan dengan hanya 14
sampai 18 % jika nilai ambang yang di gunakan adalah ≥ 140 mg/dL
(Cunningham,G.2016).
Reproduksibilitas hari ke hari pcmeriksaan penapisan yang
menggunakan glukosa 50 g telah dievaluasi oleh Espinosa de los
Monteros dkk., (1993 ). Meskipun 90 persen hasil normal dapat di
ulang hasilnya ke esokan harinya,hanya 83 persen dari hasil tes
abnormal yang dapat diulang keesokan harinya. Murphy dkk., (1994)
meneliti presisi fotometer reflectance-Accu-Check III-sebagai
pemeriksaan penapisan. Karena metode ini memerlukan redefinisi
prasarat pemeriksaan penapisan ini sebaiknya di hindari
(Cunningham,G.2016).
Gabbe dkk., (2004) menyurvei dokter kebidana-kandungan
yang berpraktik pada tahun 2003 dan melaporkan bahwa 96 persen
melakukan pemeriksaan penapisan universal untuk diabetes
gestasional. Hal integral yang membenarkan praktik ini adalah
kebutuhan untuk memperlihatkan bahwa wanita yang memberi hasil
positif akan memperoleh manfaat dari pengobatan. Alasan untuk
melakukan pemeriksaan penapisan, dan dengan perluasan,
pengobatan wanita dengan diabetes gestasional mendapat dorongan
cukup besar oleh suatu studi yang dilaporkan oleh Crowther dkk.,
9

(2005). Mereka memhagi 1000 wanita dengan gestasional antara 24


sampai 34 minggu kehamilan kelompok yang mendapat petunjuk diet
disertai pemantauan glukosa darah plus terapi insulin kelompok
intervensi dan kelompok yang hanya menjalani perawatan pranatal
rutin. Wanita didiagnosis mengidap diabetes gestasional jika glukosa
darah mereka <l00 mg/dL setelah puasa semalam dan antara 140 dan
198 mg/dL 2jam setelah mendapat larutan glukosa 75 g. Wanita
dalam kelompok intervensi memperlihatkan penurunan
bermaknaresiko serangkaian gangguan hasil akhir yang mencakup
satu atau lebih kematian perinatal,distosia bahu,fraktur tulang,dan
kelumpuhan saraf. Makrosomia yang didefinisikan sebagai berat lahir
≥4.000 g menjadi penyulit pada 10 persen pelahiran di kelompok
intervensi dibandingkan dengan 21 persen pada kelompok perawatan
pranatal rutin (p <0,001). Angka bedah caesar hampir identik pada
kedua kelompok studi. Dalam suatu editorial yang menyertai laporan
ini, Greene dan Solomon (2005) menyimpulkan bahwa studi ini
menyajikan bukti penting bahwa identifikasi dan terapi diabetes
gestasional dapat secara substansial menurunkan risiko gangguan
hasil akhir perinatal

2.7. Diabetes Gestasional


Kata gestasional mengisyamtkan bahwa diabetes dipicu oleh kehamilan
tampaknya karena perubahan-perubaban fisiologis yang mencolok dalam
metabolisme glukosa. Penjelasan lain adalah bahwa diabetes gestasional
inilah diabetes tipe 2 yang terungkap atau ditemukan selama kehamilan.
Karena insiden diabetes tipe 2 meningkat dengan usia dan dipengaruhi oleh
faktor diabetogenik lain yaitu obesitas, maka besar kemungkinannya bahwa
baik pengaruh kehamilan maupun insulinopenia berperan. Sebagai contoh,
Hams (1988) mendapatkan bahwa prevalensi intoleransi glukosa yang tak
10

terdiagnosis pada wanita tak hamil berusia antnra 2O dan 44 tahun hampir
ldentik dengan prevalens diabetes gestasional Catalano dkk,(1999)
membandingkan perubahan lungitudmal dalam sensitivitas insulin, respons
insulin, dan produksi glukosa endogen pada wanita yang toleransi glukosanya
normal dengan perubahan perubahan yang dijumpai pada wanita dengan
diabetes gestasional. Wanita dan kelompok diabetes gestaslonal
memperlihatkan kelainan dalam metabolisme glukosa yang yang merupakan
tanda metabolisme (Cunningham,G.2016).
Istilah diagnostik diabetes gesnasional dianjurkan digunakan untuk
menyatakan perlunya peningkatan surveilans serta untuk merangsang wanita
mencari pengobatan untuk pemeriksaan lebih lanjut pascapartum.
Kemungkinan kematian anin pada diabetes gestasional yang ditangani denga
benar tidak berbeda dari pada populasi umum (Metzger dan coustan.1998).
Kekhawatiran perinatal terpenting adalah janin yang berlebihan, yang
menyebabkan trauma lahir pada bayi dan ibunya. Lebih dari separuh wanita
dengan diabetes gestasional akhirnya mengalami diabetes overt dalam 20
tahun kemudian, dan semakin banyak bukti tentang penyulit-penyulit yang
mencakup obesits dan diabetes pada keturunan (Cunningham,G.2016).

Efek lbu dan Janin

Terdapat perbedaan penting mengenai efek buruk diabetes gestasional


pada janin. Tidak seperti wanita dengan diabetes overt, anomali janin tidak
meningkat (Sheffield dkk., 2002). Sama halnya kehamilan pada wanita
dengan diabetes overt yang berisiko besar mengalami kematian janin, bahaya
ini tidak terlalu nyata pada mereka yang menderita hiperglikemia pasca
merekan yang diterapi dengan diet.
Sebaliknya, wanita dengan peningkatan kadar glukosa puasa
memperlihatkan peningkatan angka lahir mati tanpa sebab jelas serupa
dengan pada wanita dengan diabetes sebelum hamil (Johnstone dkk., 1990).
11

Secara spesifik,American Diabetes Association (1999) menyimpulkan bahwa


hiperglikemia puasa >105 mg/dL mungkin berkaitan dengan peningkatan
risiko kematian janin selama 4 sampai 8 minggu terakhir kehamilan. Efek
buruk pada ibu mencakup peningkatan frekuensi hipertensi dan bedah Caesar
a. Makrosomia
Ukuran janin yang berlebihan dapat menimbulkan masalah, dan
makrosomia didefinisikan secara berbeda oleh berbagai penulis.
American College of Obstetricians and Gynecologists (2OOO)
mendefinisikan bayi makrosomik sebagai bayi yang berat lahirnya lebih
dari 4.500 g. Sekitar sepertiga wanita yang melahirkan bayi sebesar ini
akan melahirkan bayi serupa pada kehamilan berikutnya (Mahony
dkk.,2006). Tujuan perawatan perinatal adalah menghindari kesulitan
persalinan akibat makrosomia, serta trauma kelahiran yang berkaitan
dengan distosia bahu. Kecuali otak, sebagian besar organ janin
terpengaruh oleh makrosomia yang tersering menandai janin dari ibu
dengan diabetes.
Bayi makrosomik dari ibu diabetes dilaporkan berbeda dari bayi
besar masa kehamilan (large for gestational age) lainnya secara
antropometris (Druhwald dkk., 2004; McFarland dkk., 2OOO). Secara
spesifik, mereka yang ibunya mengidap diabetes memperlihatkan
penimbunan lemak berlebihan di bahu dan badan, yang mempermudah
terjadinya distorsia bahu dan meningkatkan angka bedah caesar.
Untungnya, distosia bahu jarang terjadi, bahkan pada wanita dengan
diabetes gestasional. Sebagai contoh, Magee dkk., (1993) mendiagnosis
distosia bahu pada 3 persen dari wanita dengan diabetes kelas A. Tidak
ada satu bayi pun yang mengalami cedera pleksus brakialis
(Cunningham,G.2016).
Hiperglikemia ibu mendorong terjadinya hiperinsulinemia pada
janin terutama selama paruh kedua gestasi,yang pada gilirannya
merangsang pertumbuhan somatik berlebihan. Terjadilah makrosomia.
12

Demikian juga hiperinsulinemia neonatus dapat memicu hipoglikemia


dalam beberapa menit setelah lahir. lnsiden sangat bervariasi bergantung
pada ambang yang digunakan untuk mendefinisikan hipoglikemia
neonatus. Sebagai contoh American Diabetes Association (1995)
mendefinisikan nilai <35 mg/dl. sebagai abnormal pada bayi aterm dan
kadar yang lebih rendah untuk bayi kurang bulan karena simpanan
glikogen lebih sedikit. Bayi-Bayi yang dilaporkan oleh HAPO Study
Cooperative Research Group (2OO8) memiliki insiden hipoglikemia
neonatus klinis yang meningkat seiring dengan peningatan nilai TTGO
ibu.
Terdapat banyak bukti bahwa faktor pertumbuhan mirip insulin l
(insulin like growth factor I, IGF-1) dan II (IGF-II) juga berperan dalam
regulasi pertumbuhan janin. Faktor-faktor pertumbuhan ini, yang secara
struktural adalah polipeptida mirip proinsulin, dihasilkan oleh hampir
semua organ janin dan merupakan stimulator kuat diferensiasi dan
pembelahan sel. Verhaeghe, dkk (1993) mengukur konsentrasi IGF dan
insulin (peptida-C) tali pusat sepanjang kehamilan pada wanita tanpa
diabetes dan mendapatkan bahwa kadarnya berkorelasi dengan berat
lahir. Bayi yang besar untuk usia kehamilannya memperlihatkan
peningkatan signfikan faktor-faktor ini. Para peneliti HAPO juga
melaporkan peningkatan drastis kadar peptidae C serum tali pusat dengan
meningkatnya kadar glukosa ibu setelah TTGO 75 g. Tingkat diatas
persentil ke 9O ditemukan pada hampir sepertiga neonatus dalam
kategori glukosa tertinggi. Faktor-faktor lain yang diperkirakan berpetan
dalam makrosomia adalah faktor pertumbuhan epidermis (EGF), leptin,
dan adiponektin.
Obesitas ibu adalah faktor resiko tersendiri dan lebih penting untuk
terbentuknya bayi besar pada wanita dengan diabetes gestasional daripada
faktor intoleransi giukosa (Ehrenberg, dkki, ZOO4; Lucas dkk., 1993).
Seiain itu, obesitas ibu adalah faktor perancu penting dalam diagnosis
13

diabetes gestasional. Johnson dkk., (1987) melaporkan bahwa 8 persen


dari 588 wanita yang memiliki berat lebih dari 250 pon mengalami
diabetes gestasional dibandingkan dengan kurang dari 1 persen dari
wanita yang beratnya kurang dari 2OO pon. Distribusi berat juga
tampaknya berperan karena Landon ( 1994) dam Zhang dkk., (1995)
mendapatkan bahwa risiko diabetes gestasional memngkat pada obesitas
badan (truncal obesity).
1) Penatalaksanaan
Wanita dengan diabetes gestasional dapat dibagi menjadi dua
kategori fungsional berdasarkan kadar glukosa puasa. Terapi insulin
biasanya dianjurkan jika penanganan diet standar tidak secara
konsisten mempertahankan glukosa plasma puasa <95 mg/dL atau
glukosa plasma 2 jam pasca makan <l2O mg/clL (American College
of Obstetricians and Gynecologists, 2OO1). Apakah insulin perlu
diberikan kepada wanita dengan derajat hiperglikemia puasa yang
lebih rendah 105 mg/dL, atau kurang sebelum intervensi diet masih
belum jelas karena belum ada uji terkontrol untuk mengidentifikasi
sasaran glikemia ideal untuk mencegah risiko pada janin. Namun,
The Fifth International Workshop Conference on Qestational
Diabetes menganjurkan kadar glukosa kapiler ibu dipertahankan ≤
95 mg/tll, pada keadaan puasa.

2) Diet
Seperti telah dibahas, laporan-laporan terakhir oleh Crowther
dkk., (2OO5) serta Landon dkk., (2009) menyampaikan manfaat
konsultasi dan pemantauan diet pada wanita dengan diabetes
gestasional. American Diabetes Association (ADA) (2009)
menganjurkan konsultasi nutrisi yang disesuaikan dengan tinggi dan
berat pasien serta diet dengan rerata 3O kkal/kg/hari berdasarkan
14

berat prahamil untuk wanita nonobesitas. Meskipun diet yang tepat


untuk wanita dengan diabetes gestasional belum diketahui pasti,
ADA menyatakan bahwa wanita obes dengan indeks massa tubuh
(IMT) >30 kg/m2 mungkin memperoleh manfaat dari pembatasan
kalori 3O persen. Hal ini perlu dipantau dengan pemeriksaan untuk
ketonuria setiap minggu, karena ketonemia pada ibu dilaporkan
berkaitan dengan gangguan perkembangan psikomotor anak (Rizzo
dkk., 1995). Namun, Langer dkk., (2005) mendapatkan bahwa untuk
mengontrol glukosa pada wanita obes diperlukan insulin.

3) Olahraga
Karena olahraga diketahui penting pada pasien tak hamil,
American College of Obstetricians and Gynecologists (2OO1)
membahas tiga uji klinis teracak tentang olahraga pada wanita
dengan diabetes gestasional (Avery,1997; Bung, 1993; Jovanovic-
Peterson dkk., 1989). Hasil-hasilnya mengisyaratkan bahwa olahraga
memperbaiki kebugaran kardiorespirasi tanpa memperbaiki basil
akbat kehamilan. Dempsey dkk., (2OO4) mendapatkan bahwa
aktivitas fisik selama bamil mengurangi risiko diabetes gestasional.
Brankston dkk., (2OO4) melapotkan bahwa olahraga resistensi
menghilangkan kebutuhan akan terapi insulin pada wanita obes
dengan diabetes gestasional (Cunningham,G.2016).
4) Pemantauan Glukosa
Membandingkan hasil akibat pada 315 wanita dengan diabetes
gestasional yang diterapi dengan diet dan menggunakan pengawas
glukosa pribadi dengan yang diperoleh dari 615 pengidap diabetes
gestasional yang juga diterapi dengan diet tetapi hanya menjalani
evaluasi glukosa puasa secara intermiten selama pemeriksaan
obstetris dua minggu sekali. Wanita yang melakukan sendiri
pemantauan glukosa darah setiap hari memiliki lebih sedikit bayi
15

makrosomik dan lebib sedikit mengalami penambahan berat setelah


diagnosis median 0,56 dibandingkan dengan 0,74 pon per minggu
dari pada wanita yang hanya dievaluasi saat kunjungan pranatal.
Temuan-temuan para peneliti ini mendukung praktik pemantauan
glukosa darah sendiri bagi wanita dengan diabetes gestasional yang
hanya diterapi dengan diet.
Surveilans pascamakan untuk diabetes gestasional dilaporkan
lebih superior dari pada surveilans pramakan. De Veciana dkk,
(1995) mempelajari 66 wanita hamil dengan diabetes kelas A2 yang
mendapat insulin untuk hiperglikemia puasa. Wanita-wanita tersebut
dibagi secara acak menjadi kelompok yang menjalani surveilans
konsentrasi glukosa darah kapiler dengan glukometer sebelum
makan atau 1 jam setelah makan. Survielans setelah makan terbukti
lebih baik yaitu bahwa kontrol glukosa darah secara bermakna
membaik dan berkaitan dengan penurunan kasus hipoglikemia
neonatus versus 21 persen, penurunan kasus makrosomia 12 versus
42 persen, dan penurunan kasus bedah caesar atas indikasi distosia
bahu-24 Versus 39 persen (Cunningham,G.2016).
5) Insulin
Insulin yang diberikan untuk mengurangi penyulit yang
berkaitan dengan makrosomia pada wanita dengan diabetes
gestasional dan euglikemia puasa telah lama diperdebatkan. Langer
dkk., (1994) mengulas 23 laporan dari tahun 1979 sampai 1993 dan
mendapatkan tidak ada yang membuktikan adanya perbaikan hasil
akhir perinatal yang berkaitan dengan pendekatan tata laksana
manapun, termasuk terapi insulin profilaktik. Empat penelitian
teracak yang dilaporkan antara tahun 1989 dan 2OO1
memperlihatkan bahwa terapi intensif tidak banyak berefek pada
berat lahir, trauma lahir,persalinan operatif, atau penyulit neonatus.
16

Sebagian besar dokter 93 persen menurut Owen dkk.,(1995 )


memulai terapi insulin pada wanita dengan diabetes gestasional jika
kadar glukosa puasa melebihi 105 mg/dL yang menetap meskipun
pasien telah menjalani terapi diet. Di Parkland Hospital, hal ini
dilakukan di klinik rawat jalan khusus tetapi kadang diperlukan
rawat inap. Para pakar berbeda pendapat tentang pendekatan
terhadap terapi insulin pada diabetes gestasional. Pada awal terapi
biasanya diberikan dosis total 2O sampai 3O unit sekali sehari,
sebelum sarapan. Dosis total biasanya dibagi menjadi dua pertiga
insulin kerja sedang (intermediate-acting) dan sepertiga insulin kerja
singkat (short acting). Dapat juga diberikan insulin dosis terbagi
berdasarkan berat yang diberikan dua kali sehari. Jika terapi telah
dimulai, perlu disadari bahwa kadar kontrol glikemik untuk
mengurangi penyulit di janin dan neonatus belum diketahui pasti.

6) Obat Hipoglikemik Oral


American College of Obstetricians and Gynecologists (2001)
belum menganjurkan pemberian obat golongan ini pada wanita
hamil. Langer dkk., (2000, 2005) membagi secara acak 405 wanita
dengan diabetes gestasional menjadi terapi insulin versus terapi
gliburid. Kedua regimen dapat menyebabkan kadar mendekati
normoglikemik dan tidak dijumpai penyulit neonatus yang berkaitan
dengan pemberian gliburid. Dalam suatu studi follow-up, Conway
dkk., (2004) melaporkan bahwa wanita dengan kadar glukosa puasa
>110 mg/dL tidak berespons secara adekuat terhadap pemberian
gliburid. Hasil serupa dilaporkan oleh Chmait (2004) dan Kahn dkk.,
(2006). Sampai baru-baru ini, gliburid diperkirakan tidak melewati
plasenta. Namun, Hebert dkk., (2008) mengambil sampel dari 20
spesimen ibu dan tali pusatnya yang mendapat gliburid dan
17

mendapatkan bahwa konsentrasi obat di tali pusat separuh dari


konsentrasi di dalam darah ibu.
Semakin banyak bukti yang menunjang pemakaian gliburid
sebagai alternatif terhadap insulin dalam penatalaksanaan diabetes
gestasional (Durnwald dan Landon, 2005; Saade, 2005). Suatu
survei terhadap hampir 1.400 anggota American College of
Obstetricians and Gynecologsits mendapatkan bahwa 13 persen
responden menggunakan gliburid sebagai terapi lini pertarna untuk
diabetes gestasional yang gatal diatasi dengan diet (Gabbe clkk.,
2004). Bukti lebih lanjut tentang perluasan pemakaian gliburid
disajikan oleh Kremer (2004) dan Jacobson dkk., (2005). Mereka
melaporkan studi-studi retrospektif gliburid sebagai alternatif bagi
insulin pada total 309 wanita yang gagal dengan terapi diet.
Sebagian besar wanita ini memerlukan dosis gliburid <7,5 mg/hari
untuk mencapai kontrol glukosa. Hipoglikemia dilaporkan lebih
jarang terjadi pada penggunaan gliburid dibandingkan dengan
insulin (Yogev dkk.,2004). Dalam suatu meta-analisis baru-baru ini,
Moreai dkk., (2008) melaporkan bahwa tidak terjadi peningkatan
risiko perinatal pada terapi gliburid dan merekomendasikan uji-uji
teracak lebih lanut.
Metformin digunakan sebagai terapi untuk penyakit ovarium
polikistik dan dilaporkan mengurangi insiden diabetes gestasional
pada wanita yang menggunakan obat ini sepanjang kehamilan
(Glueck clkk., ZOO4). Meskipun demikian, metformin biasanya
dianjurkan untuk dihentikan jika kehamilan sudah dipastikan karena
telah lama diketahui bahwa obat ini dapat mencapai janin (Harborne
clkk., 2003). Fifth International Workshop Conference
menganjurkan bahwa terapi metformin untuk diabetes gestasional
dibatasi untuk uji-uji klinis dengan follow-up bayi jangka panjang
18

Kemudian, Rowan dkk., (ZOO8) melaporkan hasil-hasil dari


sebuah penelitian dengan mereka membagi secara acak 751 wanita
dengan diabetes gestasional menjadi kelompok yang mendapat
metformin atau insulin. Hasil akhir utama adalah gabungan dari satu
atau lebih hipoglikemia neonatus, distres pernapasan, fototerapi,
trauma lahir, skor Apgar 5 dalam menit 7 atau kurang, dan
persalinan kurang bulan. Kesamaan dalam hasil akhir gabungan
antara kelompok metfonnin dan insulin mendorong para peneliti ini
menyimpulkan bahwa metformin tidak menyebabkan peningkatan
penyulit perinatal. Seperti diperkirakan wanita lebih menyukai
metformin dari pada insulin. Perlu dicatat bahwa 46 Persen wanita
dalam uji metformin memerlukan insulin tambahan dibandingkan
dengan hanya 4 persen pada wanita yang diterapi dengan gliburid
oleh Langer dkk., (2000).
7) Penatalaksanaan Obstetris
Pada umumnya, wanita dengan diabetes gestasional yang tidak
memerlukan insulin jarang melahirkan kurang bulan atau
membutuhkan intervensi lain. Bedah caesar elektif untuk
menghindari cedera pleksus brakialis pada bayi makrosomik
merupakan suatu masalah penting. American College of
Obstetricians and Gynecologists (2001) menyarankan bahwa bedah
caesar perlu diper timbangkan pada wanita dengan berat janin yang
diperkirakan secara sonografis ≥ 4500 g. Efek dari kebijakan
semacam ini telahbdianalisis secara retrospektif oleh Gonen dkk.,
(2000) pada populasi Obstetris umum yang mencakup lebih dari
16.000 wanita. Bedah caesar elektif tidak berdampak signifikan Pada
insiden cedera pleksus brakialis.
Induksi elektif untuk mencegah distosia bahu pada wanita yang
secara sonografis didiagnosis mengandung janin makrosomik,
dibandingkan dengan persalinan spontan, juga kontroversial.
19

Conway dan Langer (1996) mendapatkan bahwa pelahiran elekrif


mengurangi angka distosia bahu dari 2,2 menjadi 0,7 persen.
Sebaliknya, Combs dkk., (1993) serta Adasheck dkk., (1996), tidak
melaporkan adanya manfaat. Chauhan dkk., (2005) membahas
literatur dan menyimpulkan bahwa kecurigaan adanya janin
makrosomik dengan sonografi terlalu tidak akurat untuk
menganjurkan induksi atau bedah caesar primer tanpa persalinan
percobaan.
Belum terclapat kesepakatan mengenai apakah diperlukan
pengujian janin antepartum, dan jika dilakukan kapan pemeriksaan
semacam ini dimulai pada wanita tanpa hiperglikemia berat
(American College of Obstetricians and Gynecologists, 2001;
Metzger dkk., 2007). Hal ini karena risiko kematian janin pada
diabetes gestasional yang rendah. Namun, para wanita yang
memerlukan terapi insulin untuk hiperglikemia puasa biasanya
menjalani uji janin dan ditangani seolah-olah mereka mengidap
diabetes overt (Cunningham,G.2016).
8) Evaluasi pasca partum
Fifth International Workshop Conference on Gestasional
Diabetes menganjurkan agar wanita yang di diagnosis diabetes
gestasional menjalani evaluasi dengan tes toleransi glukosa oral 75 g
pada 6-12 minggu pascapartum dan interval – interval lain
sesudahnya (Metzger dkk., 2007).
Meskipun sepanjang tahun 1990an pemeriksaan pascapartum
terhadap wanita yang di diagnosis diabetes gestasional telah
dianjurkan, laporan – laporan tentang kepatuhan hanya baru baru ini
diperoleh. Smirnakis dkk., (2005) membahas rekamedis elektronik
dari 197 wanita yang di diagnosis diabetes gestasional pada tahun
2000 dan 2001 dan mendapatkan bahwa hanya 37% yang menjalani
pemeriksaan penapisan pascapartum. Dalam sebuah studi yang lebih
20

baru, almario dkk., (2008) melaporkan angka kepatuhan 33% di


sebuah rumah sakit akademik. Di Parkland Hospital, setelah
dipulangkan, wanita dengan diabetes gestasional yang diterapi
insulin menjalani evaluasi glukosa plasma puasa pada 2 dan 6
minggu pascapartum.
Rekomendasi untuk follow-up pascapartum didasarkan pada
50% kemungkinan terjadinya diabetes overt pada wanita dengan
diabetes gestasional dalam 20 tahun (O’Sullivan, 1982). Jika terjadi
hiperglikemia puasa selama kehamilan, diabetes akan lebih besar
kemungkinannya menetap pascapartum. Sebagai contoh, pada
wanita dengan kadar glukosa puasa 105 – 130 mg/dl, 43% terbukti
menderita diabetes overt (Metzger dkk., 1985). Jika glukosa puasa
melebihi 130 mg/dl selama kehamilan, dan khususnya sebelum 24
minggu, merupakan prediktor kuat untuk timbulnya diabetes
persisten (Dacus dkk., 1994; Greenberg dkk., 1995).
Wanita dengan riwayat diabetes gestasional juga beresiko
mengalami penyulit kardiovaskular yang berkaitan dengan
dislipidemia, hipertensi dan obesitasabdomen-sindrom metabolik.
Pallardo dkk., (1999) mengevaluasi faktor resiko penyakit
kardiovaskular 3-6 bulan pascapartum pada 788 wanita dengan
diabetes gestasional. Mereka mendapatkan bahwa derajat intoleransi
glukosa pascapartum sangat berkaitan dengan faktor-faktor resiko
tersebut. Sebuah penelitian baru-baru ini di Kanada oleh Shah dkk.,
(2008) mencatat adanya peningkatan berlebihan penyakit
kardiovaskuler pada para wanita ini bahkan setelah 10 tahun
dibandingkan dengan kontrol non-diabetes. Yang terakhir, Akinci
dkk., (2009) ,elaporkan bahwa kadar glukosa puasa ≥ 100 mg/dl
dengan indeks TTGO adalah prediktor independen terjadinya
sindrom metabolik.
21

Kambuhnya diabetes gestasional pada kehamilan berikutnya


ditemukan pada 40% dari 344 wanita primipara yang diteliti oleh
Holmes dkk., (2003). Wanita obes lebih besar kemungkinannya
mengalami gangguan toleransi glukosa pada kehamilan berikutnya.
Karena itu, perubahan gaya hidup, termasuk kontrol berat badan dan
olahraga diantara kehamilan, kemungkinan dapat mencegah
kambuhnya diabetes gestasional serta memodifikasi awitan dan
keparahan diabetes tipe 2 di masa mendatang (kim dkk., 2008; Pan
dkk., 1997). Yang menarik, hasil akhir perinatal pada wanita dengan
riwayat diabetes gestasional tetapi dengan uji toleransi glukosa yang
normal pada kehamilan berikutnya tidak membaik dalam hal berat
lahir, makrosomia, rute pelahiran, dan penyulit neonatus (Danilenko-
dixon dkk., 2000). Yang terakhir lu dkk., (2000) mendapatkan
bahwa wanita tanpa diabetes gestasional pada kehamilan pertama
kecil kemungkinannya menderuta diabetes gestasional ketika
diperiksa pada kehamilan kedua.
9) Kontrasepsi
Kontrasepsi hormonal dosis rendah dapat digunakan dengan
aman oleh wanita yang baru mengidap diabetes gestasional. Resiko
diabetes pada pemakai kontrasepsi oral ini tidak berbeda bermakna
dari mereka yang tidak menggunakan kontrasepsi hormonal (Kjos
dkk., 1990).

2.8. Diabetes Pragestasional


Tidak diragukan lagi bahwa diabetes pragestasional atau diabetes
overt memiliki dampak signifikan pada hasil akhir kehamilan. Mudigah,
janin dan ibunya sering mengalami berbagai penyulit serius yang disebabkan
secara langsung oleh diabetesnya. Kemungkinan keberhasilan hasil akhir
pada diabetes overt sedikit banyak bergantung pada derajat kontrol glikemik,
tetapi yang lebih penting, pada derajat penyakit kardiovaskular atau ginjal
22

yang ada. Karena itu, sering dengan memburuknya klasifikasi alfabetis hasil
akhir kehamilan semakin memburuk.
Yang dkk., (2006) meneliti efek-efek diabetes overt terhadap hasil
akhir kehamilan di Nova Scotia dari tahun 1998 sampai 2002. Mereka
membandingkan hasil akhir dari 516 wanita pengidap diabetes overt dengan
hasil akhir dari 150.589 kehamilan pada wanita non diabetes. Seperti
diperlihatkan di tabel wanita dengan diabetes memperlihatkan hasil akhir
kehamilan yang secara signifikan lebih buruk. Insiden hipertensi kronik dan
gestasional dan khususnya preklamsiajelas meningkat. Wanita dengan
diabetes tipe 1 yang berada di kelas White yang lebih tinggi lebih sering
mengalami preeklamasi. Hasil-hasil serupa juga dilaporkan untuk Inggris dan
Australia.
1) Efek Janin
Meningkatnya surveilans janin, perawatan interensif neonatus, dan
kontrol metabolik ibu telah mengurangi kematian perinatal pada wanita
hamil dengan diabetes overt menjadi 2-4%. Dari Edinburgh, Johnstone
dkk., (2006) menilai akhir kehamilan pada wanita dengan diabetes tipe 1
dan melaporkan penurunan drastis angka kematian perinatal dari 22%
pada tahun 1960an menjadi 1% pada tahun 1990an tetapai tidak terjadi
perubahan pada pertumbuhan janin. Salah satu alasan mengapa angka
kematian perinalat tampak stabil adalah karena dua penyebab utama
kematian janin malformasi kongenital dan kematian janin yang tidak jelas
sebabnya tetap tidak berubah oleh intervensi medis.
a. Keguguran
Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa kurangnya kontrol
glikemik berkaitan dengan abortus dini. Pada 215 wanita dengan
diabetes tipe 1 yang mengikuti perawatan pranatal sebelum 9 minggu ,
24% mengalami keguguran. Hanya mereka yang konsentrasi awal
glikohemoglobin A1c-nya > 120% atau konsentrasi glukosa
pramakannya >120 mg/dl yang mengalami peningkatan resiko.
23

b. Persalinan Kurang Bulan


Diabetes overt jelas merupakan faktor resiko terjadinya
persalinan kurang bulan. Hampir 9% dari para wanita ini melahirkan
secara spontan sebelum 35 minggu dibandingkan dengan 2% pada
wanita nondiabetes.
c. Malformasi
Insiden malformasi mayor pada wanita dengan diabetes tipe 1
adalah sekitar 5%. Hal ini merupakan penyebab hampir separuh dari
kematian perinatal pada kehamilan wanita diabetik. Jenis-jenis spesifik
anomali yang berkaitan dengan diabetes ibu dan isnsiden relatifnya
diringkas pada tabel . diabetes tidak berkaitan dengan peningkatan
resiko kelainan kromosom janin.
TABEL : Malformasi Kongenital Pada Bayi dan Wanita Dengan
Diabetes Overt
Anomali Rasio insidens
Regresi kaudal 252
Situs inversus 84
Spina bifida, hidrosefalus, atau 2
cacat susunan saraf pusat lainnya
Anensefalus 3
Anomali jantung 4
Atresia anus/rektum 3
Anomali ginjal 5
Agenesis 4
Ginjal kistik 4
Ureter dupleks 23
Rasio insiden adalah perbandingan dengan populasi umum. Anomali
jantung mencakup transposisi pembuluh besar serta cacat sekat ventrikel
atau atrium.
24

Secara umum dipercaya bahwa meningkatnya resiko malformasi


adalah konsekuensi dari kurangnya kontrol diabetes, baik prakonsepsi
maupun pada awal kehamilan. Eriksson (2009) menyimpulkan bahwa
etiologinya multifaktor. Salah satu mekanisme yang dihipotesiskan
untuk cacat jantung adalah bahwa stres oksidatif yang dipicu oleh
hiperglikemia menghambat ekspresi mingrasi krista saraf jantung.
Miller dkk., (1981) menyatakan bahwa wanita dengan kadar
hemoglobin terglikosilasi yang lebih rendah pada saat konsepsi lebih
jarang mengandung janin dengan anomali dibandingkan dengan
wanita yang kadarnya tinggi. Diabetes in Early Pregnancy Study tidak
secara penuh mendukung temuan-temuan ini. Secara spesifik, Mills
dkk., (1988) menyertakan lebih dari 600 wanita diabetes dalam
penelitian ini, dari mereka menyimpulkan bahwa distribusi
hemoglobin terglikosilasi yang normal tidak menjamin terhindarnya
pasien dariu semua anomali terkait diabetes. Sebaliknya, tidak semua
wanita yang kadarnya meningkat memperlihatkan hasil akhir yang
buruk. Namun, wanita yang kontrol glukosa perikonsepsinya
diperbaiki memilik nangka malformasi janin sebesar 5% dibandingkan
dengan 9% pada kelompok yang ebrobat setelah organogesis selesai.

d. Perubahan Pertumbuhan Janin


Insiden makrosomia meningkat bermakna jika konsentrasi
glukosa ibu melebihi 130 mg/dl. Beberapa penulis menolak klasifikasi
bayi-bayi ini sebagai “makrosomik” atau “non-makrosomik”, karena
hal ini mengabaikan pengamatan bahwa hampir semua bayi
mengalami peningkatan pertumbuhan (Bradley dkk., 1988). Seperti
diperlihatkan di gambar , distribusi beral lahir bayi dari ibu diabetes
selalu cenderung ke berat lahir yang lebih tinggi dibandingkan dengan
bayi dari kehamilan normal. Sebaliknya dapat dijumpai hambatan
pertumbuhan janin pada wanita dengan diabetes yang mungkin
25

berkaitan dengan kekurangan substrat akibat penyakit vaskular ibu


tingkat lanjut atau akibat malformasi kongenital.
Landon dkk., (1989) melakukan pemeriksaan sonografi serial
selama trimester ketiga pada 79 wanita dengan diabetes dan
mengamati bahwa pertumbuhan lingkar abdomen janinyang
berlebihan dapat terdeteksi pada 32 minggu. Ben Haroush dkk., (2007)
menganalisis pengukuran sonografi janin atara 29 dan 34 minggu pada
423 kehamilan diabetik dan mendapatkan bahwa akselerasi
pertumbuhan janin paling nyata pada wanita dengan kontrol glikemik
yang buruk.
e. Kematian Janin Tanpa Sebab Jelas
Lahir mati tanpa penyebab yang jelas adalah suatu penomena
yang unik bagi kehamilan dengan penyulit diabetes overt. Kematian
ini disebut “tanpa sebab jelas” karena tidak ditemuka faktor-faktor
seperti insufisiensi plasenta , solusio, hambatan pertumbuhan janin,
atau oligohidramnion. Para bayi ini biasanya berukuran besar untuk
masa kehamilan dan emninggal sebelum persalinan, biasanya pada 35
minggu atau lebih. Studi-studi yang menggunakan kordosintesis telah
memberi sedikit pemahaman tenatang metabolisme asam basa pada
janin dari ibu diabetes. Salvesn dkk ., (1992, 1993) melaporkan
penurunan ph akan meningkatkan kadar Pco2, laktat, dan eritropoetin
pada sebagian janin ini. Temuan –temuan ini memperkuat anggapan
lama bahwa kematian janin berkaitan dengan penyimpangan kronik
tranpor oksigen dan metabolit janin yang dipicu oleh hiperglikemia.
Dua pengamatan juga memberi sedikit pemahaman tentang
kematian ini. Richey dkk ., (1995) di Parkland Hospital berada di
samping dua wanita diabetes yang kehamilannya mengalami penyulit
janin makrosomik dan hidramnion. Tampaknya saat ini kematian
janintanpa sebab jelas sedang berlangsung. Pada kedua situasi klinis
yang jarang ini, kedua janin mengalami asidemia sebelum lahir, dan
26

kedua plasenta mengalami hidrops akibat edem vilus korion.


Gambaran ini dikaitkan dengan hiperglikemia ibu dan di hipotesiskan
bahwa edema vilus yang dipicu oleh tekanan osmotik menyebabkan
gangguan penyaluran oksigen ke janin. Pengamatan Daskalakis dkk.,
(2008), yang mendapatkan bukti mikroskopik disfungsi plasenta pada
40 kehamilan dari wanita dengan diabetes gestasional, juga
mendukung hipotesis ini.
Lahir mati dengan sebab jelas akibat insufisiensi plasenta juga
meningkat frekuensinya pada wanita dengan diabetes overt, biasanya
berkaitan dengan preeklamsia berat. Hal ini, sebaiknya meningkat
pada wanita dengan diabetes stadium lanjut dan penyulit vaskular.
Ketoasidosis dapat menyebabkan kematian janin.

f. Hidramnion
Meskipun kehamilan dengan diabetes sering mengalami penyulit
hidramnion, namun penyebab hal ini belum jelas. Penjelasan yang
mungkin meskipun belum terbukti adalah bahwa hiperglikemia janin
menyebabkan iran poliuria. Dalam suatu penelitian di Parkland
Hospital, Dashe dkk., (2000) mendapatkan bahwa pada wanita dengan
diabetes, indeks cairan amnion sebanding dengan kadar glukosa cairan
amnion. Temuan ini menunjukan bahwa hidramnion yang berkaitan
dengan diabtes terjadi karena meningkatnya konsentrasi glukosa cairan
amnion. Dukungan lebih lanjut atas hipotesis ini diberikan oleh Vink
dkk., (2006), yang mengaitkan kurangnya kontrol glukosa ibu dengan
makrosomia dan hidramnion.
2) Mortalitas Dan Morbiditas Neonatus
Sebelum pemeriksaan kesehatan dan kematangan janin tersedia,
janin secara sengaja dilahirkan kurang bulan untuk menghindari kematian
janin tanpa sebab jelas. Meskipun praktek ini telah ditinggalkan,
27

frekuensi persalinan kurang bulan pada wanita dengan diabetes tetap


meningkat. Kebanyakan persalinan kurang bulan berkaitan dengan
diabetes tahap lanjut dan adanya preeklamsia.
Perawatan neonatus modern yang bertumpang tindih telah
meniadakan sebagian besar kematian neonatus akibat imaturitas. Lebih
dari 15 tahun lalu, Cnattingius dkk., (1994) melaporkan bahwa hanya 1
keatian neonatus akibat imaturitas dari 914 persalinan janin tunggal dari
wanita dengan diabetes overt. Sebaliknya, morbiditas neonatus akibat
persalinan kurang bulan masih menjadi konsekuensi yang serius.
Memang, sebagian morbiditas pada bayi ini dianggap khas berkaitan
dengan penyimpangan metabolisme glukosa ibu.
a. Sindrom Distres Pernapasan
Pendidikan obstetris konvensional sepanjang tahun 1980an
umumnya beranggapan bahwa pada kehamilan dengan diabtes terjadi
keterlambatan pematangan paru janin. Karena itu, saat itu diajarkan
bahwa para bayi ini beresiko tinggi mengalami distres pernapasan
(Gluck dan Kulovich, 1973). Pengamatan – pengamatan selanjutnya
mempertanyakan konsep ini, dan usia gestasional, bukan diabetes
overt, yang kemungkinan besar menjadi faktor terpenting yang
berkaitan dengan distres pernapasan (Berkowitz dkk., 1996, Kjos dkk.,
1990).
b. Hipoglikemia
Penurunan cepat konsentrasi glukosa plasma setelah pelahiran
merupakan gambaran khas pada bayi dari ibu yang mengidap diabetes.
Hal ini disebabkan oleh hiperplasia sel islet β janin yang dipicu oleh
hiperglikemia kronik pada ibu. Tailor dkk., (2002) mendapatkan
bahwa hipoglikemia neonatus kadar glukosa darah < 45 mg/dl
sebelum pemberian makan kedua berkaitan dengan kadar glukosa
darah ibu yang > 145 mg/dl, sewaktu persalinan. Pengenalan dan
28

terapi dini hipoglikemia bayi yang dapat menimbulkan sekuele yang


merugikan.
c. Hipokalsemia
Hipokalsemia yang didefinisikan sebagai konsentrasi kalsium
serum yang < 8 mg/dl adalah salah satu gangguan metabolik utama
pada bayi dari ibu diabetes. Kausanya belum diketahua pasti. Teori-
teori yang diajukan mencakup penyimpangan pemakain magnesium
kalsium, asfiksia, dan persalinan kurang bulan (Cruikshank dkk.,
1980). Dalam suatu penelitian teracak oleh DeMarini dkk., (1994),
137 wanita hamil dengan diabtes tipe 1 diterapi dengan kontrol
glukosa ketat versus kontrol biasa. Hampis sepertiga bayi dikelompok
kontrol biasa mengalami hipokalsemia dibandingkan dengan hanya
18% dikelompok dengan kontrol ketat. Usia gestasi dan pereklamsia
juga diperkirakan berperan.
d. Hiperbilirubinemia dan Polisitemia
Patogenesis hiperbilirubinemia pada bayi dari ibu diabetes masih
belum jelas. Faktor-faktor yang diperkirakan berperan adalah
persalinan kurang bulan dan polisitemia disertai hemolisis. Hematokrit
vena sebesar 65-70% pernah dijumpai pada hampir 40% dari para bayi
ini (salvesn dkk., 1992). Trombosis vena ginjal juga pernah dilaporkan
terjadi akibat polisiyemia ini.
e. Kardiomiopati
Bayi dan ibu diabetes mungkin mengalami kardiomiopati
hipertrofik yang kadang berkembang menjadi gagal jantung kongestif
(Gandhi dkk.., 1995, Reller dan Kaplan, 1988). Para bayi ini biasanya
mengalami makrosomia dan hiperinsulinemia janin diperkirakan
berperan dalam patogenesis penyakit jantung ini. Girsen dkk., (2008)
melaporkan bahwa 32 neonatus yang lahir dari wanita diabetes tipe 1
memperlihatkan peningkatan kadar peptida natriuretik proatrium N-
terminal (NT-proANP) dan peptida natriuretik pro-otak (proBNP)
29

dibandingkan dengan bayi kontrol. Mereka juga mendapatkan bahwa


kadar NT-proANP lebih tinggi pada janindari ibu diabetes yang
kontrol glikeminya kurang. Way (1979) melaporkan bahwa
kardiomiopati umumnya lenyap pada usia 6 bulan.
f. Perkembangan Kognitif Jangka Panjang
Rizzo dkk., (1995) menggunakan berbagai uji intelegensia dan
perkembangan psikomotor untuk menilai 196 anak dari ibu diabetes
hingga usia 9 tahun. Mereka menyimpulkan bahwa diabetes ibu dapat
dikatakan hampir tidak berefek pada perkembangan kognitif.

g. Pewarisan Diabetes
Anak yang lahir dari ibu penderita diabetes overt memiliki resiko
1-3% mengidap diabetes tipe 1 (Garner, 1995). Resiko menjadi 6%
jika hanya ayah yang mengidap diabetes. Jika kedua orang tua
mengidap diabetes tipe 1 maka resikonya 20%. MCKinney dkk.,
(1999) mempelajari 196 anak dengan DM tipe 1 dan mendapatkan
bahwa usia ibu yang lebih tua dan diabetes tipe 1pada ibu merupakan
faktor resiko penting. Plagemann dkk., (2002) menyatakan bahwa
menyususi oleh ibu diabetes berperan dalam terjadinya diabetes pada
anak.
3) Efek Ibu
Diabetes dan kehamilan dapat berinteraksi secara signifikan
sedemikian sehingga kesehatan ibu dapat sangat terpengaruh. Namun
dengan kemungkinan pengecualian retinopati diabetik, perjalanan jangka
panjang diabtes tidak dipengaruhi oleh kehamilan.
Meskipun kematian ibu jarang di jumpai, angka pada wanita
dengan diabtes masih meningkat 10 kali lipat (Cousins, 1987). Kematian
umumnya terjadi akibat ketoasidosis, hipertensi, preekslamsia dan
pielonefritis. Yang paling berbahaya adalah penyakit jantung iskemik.
Pombar dkk., (1995) meneliti 17 wanita dengan penyakit arteri koronaria
30

diabetes kelas H dan melaporkan bahwa hanya 10 yang kehamilannya


selamat.
a. Nefropati Diabetik
Diabetes adalah penyebab utama penyakit ginjal stadium akhir di
Amerika Serikat. Insiden gagal ginjal mencapai 30% pada orang
dengan DM tipe 1 dan berkisar dari 4-20% pada yang mengidap DM
tipe 2. Yang penting , insiden nefropati pada orang DM tipe 1
menurun selama tahun 1980an, mungkin karena membaiknya kontrol
glukosa. Pada penelitian diabtes Control dan Complications Trial
(2002) melaporkan bahwa terjadi penurunan angka nefropati sekitar
25% untuk setiap penurunan 10% kadar hemoglobin A1c.
Nefropati yang terdeteksi secara klinis pada DM tipe 1 dimulai
dengan mikroalbuminuria 30-300mg per 24 jam albumin. Hal ini dapat
muncul dalam waktu sedini 5 tahun setelah awitan diabetes. Setelah 5-
10 tahun kemudian pada pasien yang di takdirkan menderita penyakit
ginjal stadium akhir, terjadi proteinuria nyata > 300mg/24jam.
Hipertensi hampir selalu timbul selama periode ini, dan gagal ginjal
biasanya muncul pada 5-10 tahun berikutnya.
Sekitar 5% wanita hamil dengan diabtes telah terlebih dahulu
mengalami kelainan ginjal kelas F White. Para wanita ini
memperlihatkan peningkatan signifikan resiko preeklamsia dan
persalinan kurang bulan terindikasi. Combs dkk (1993) melaporkan
bahwa 38% dari 311 wanita dengan proteinuria >500mg/hari sebelum
20 minggu mengalami preeklamsia. Mereka juga mendapatkan bahwa
wanita dengan mikroproteinuria 190-500mg/h- memperlihatkan
peningkatan resiko preeklamsia. Sebaliknya dalam suatu analisis
terhadap 460 wanita dengan diabetes kelas B sampai FR, How dkk,
(2004) tidak mendapatkan keterkaitan antara preeklamsia dan
mikroproteinuria. Namun hipertensi kronik dengan nefropati diabetik
meningkatkan resiko preeklamsia hingga 60%. Gordon dkk., (1996)
31

melaporkan bahwa insufisiensi ginjal kronik dan proteinuria berat


sebelum 20 minggu bersifat prediktif untuk preeklamsia.
Tampaknya tidak terdapat skuele jangka panjang kehamilan pada
nefropati diabetes. Chaturvedi dkk., (1995) melakukan penelitian
follow up jangka panjang terhadap 1358 wanita Eropa dengan DM tipe
1, dengan 582 diantaranya hamil. Insiden mikro atau
makroalbuminuria tidak meningkat pada wanita yang pernah hamil
dibandingka dengan nulipara. Namun, keterlibatan ginjal
menyebabkan prognosis jangka panjang bagi para wanita ini.
Kemudian mendapatkan bahwa ¼ diantara 46 wanita dengan diabetes
kelas F mengalami gagal ginjal stadium akhir rerata 6 tahun setelah
kehamilan. Hal ini serupa dengan wanita hamil dengan glumerulopati
nondiabetik yang dilaporkan oleh Stettler dan Cunningham (1992).
b. Retinopati diabetic
Vaskulopati retina adalah penyulit yang sangat spesifik untuk
DM tipe 1 dan 2. Prevalensinya berkaitan dengan durasi diabetes.
Hampir 8% orang dengan gangguan toleransi glukosa telah mengalami
retinopati dan 13% dari mereka baru di diagnosis diabetes telah
mengalaminya. Di Amedrika Serikat, retinopati diabetik adalah
penyebab terpenting gangguan penglihatan pada orang berusia <60
tahun.
Lesi pertama dan paling lazim yang terlihat adalah
mikroaneurisma-mikroaneurisma kecil diikuti oleh bercak perdarahan
yang terbentuk ketika eritrosit keluar dari aneurisma tersebut. Bagian-
bagian ini mengeluarkan cairan serosa yang berbentuk eksudat keras.
Gambaran semacan ini disebut retinopati jinak atau latar atau
nonproliperatif. Dengan bertambah parahnya retinopati pembuluh-
pembuluh abnormal dimata yang mengalami retinopati latar tersebut
tersumbat sehingga terjadi iskemik dan infark retina yang tampak
sebagai cotton wool exsudate. Kelainan ini dianggap sebagai retinopati
32

proproliperatif sebagai respon terhadap iskemik, terjadi


neovaskularisasi permukaan retina yang kemudian keluar ke dalam
rongga vitreum. Penglihatan terganggu jika terjadi perdarahan.
Fotokoagulasi laser sebelum perdarahan, menguarangi laju penurunan
penglihatan dan kebutaan hingga separuhnya. Prosedur ini dapat
dilakukan selama kehamilan sesuai indikasi.
Sidik dkk., (1991) melaporkan bahwa hampir 1/3 dari 175 wanita
hamil bergantung insulin yang diperiksa pada 10 minggu
memperlihatkan kelainan retina latarv kelas D, atau retinopati
proliferatif kelas. Efek kehamilan pada retinopati proliferatif masih
diperdebatkan. Telah lama diajarkan bahwa penyulit ini adalah suatu
contoh jarang dari efek samping jangka panjang kehamilan. Sementara
bahwa kehamilan memperparah retinopati proliferatif, mendapatkan
prevalens retinopati yang sebanding pada wanita multipara dan
nulipara. Dalam sebuah studi follow up 5 tahun pascapartum
prospektif terhadap 59 wanita mengidap DM tipe 1, memastikan
bahwa retinopati basal adalah satu-satunya faktor resiko independent
untuk perburukan. Saat ini, sebagian besar penulis sepakat bahwa
fotokoagulasi laser dan kontrol glikemik yang ketat selama kehamilan
dapat meminimalkan kemungkinan efek buruk kehamilan. Yang ironis
terdapat laporan-laporan kasus yang mengaitkan kontrol metabolik
ketat yang akut selama kehamilan dengan perburukan akut retinopati.
Dalam suatu penelitian terhadap 201 wanita dengan retinopati,
mendapatkan bahwa hampir 30% menderita perburukan penyakit mata
sebelum kehamilan meskipun kadar glukosa dikontrol secara ketat.
Meskipun demikian mengamati bahwa retinopati memburuk selama
bulan bulan kerits kontrol glukosa ketat, tetapi dalam jangka panjang
perburukan melambat. Perkembangan retinopati berkaitan dengan
penurunan pertumbuhan janin. Lauszuz dkk..,(1998) melaporkan
33

bahwa retinopati proliperatif pada dasarnya memperburuk hasil akhir


perinatal.
Dalam suatu laporan pendahulu, memperlihatkan peran lispro
insulin, yaitu insulin kerja singkat, dalam pembentukan retinopati
proliperatif selama kehamilan. Sebaliknya, tidak menemukan bukti
bahwa terapi tersebut berkaitan dengan pembentukan atau
perkembangan retinopati diabetik. Selain itu tidak melaporkan
penyulit seperti itu pada pemberian insulin lispro.
c. Neuropati Diabeteik
Neuropati diabetik sensorimotorik simetris perifer jarang terjadi
wanita hamil. Tetapi suatu bentuk dari kelainan ini, yang dikenal
sebagai gastropati diabetik, menyebabkan gangguan pada keahmilan
karena menimbulkan rasa mual dan muntah, gangguan gizi, dan
kesulitan pengendalian glukosa. Terapi dengan metoklopramid dan
antagonis reseptor H2 kadang berhasil.
d. Preeklamsia
Hipertensi yang dipicu atau menjadi kambuh oleh kehamilan
adalah penyulit utama yang paling sering memaksa persalinan kurang
bulan pada wanita diabetes. Menurun Garner (1995), angka kematian
perinatal 20 kali lipat bagi wanita dengan preeklamsia dan diabetes
dibandingkan dengan mereka yang tetap normotensif. Faktor resiko
khusus untuk preeklamsia antaralain mencakup semua penyulit
vaskular dan adanya proteinuria, dengan atau tanpa hipertensi kronik.
Resiko preeklamsia adalah 11-12% pada kelas B, 21-22% pada kelas
C, 21-23% pada kelas D, dan 36-54% pada kelas FR. Savidou dkk.,
(2002) melaporkan gangguan reaktifitas vaskular pada wanita hamil
dengan diabetes tipe 1. Secara prospektif meneliti kadar HBA1c pada
24 minggu pada 290 wanita dengan diabetes tipe 1 dan mendapatkan
bahwa preeklamsia berkaitan dengan kontrol glukosa.
34

e. Ketoasidosis Diabetik
Meskipun hanya mengenai sekitar 1% dari kehamilan dengan
diabetes, ketoasidosis merupakan salah satu penyulit paling serius.
Penyulit ini khas untuk diabetes tipe 1 dan ketoasidosis ini dapat
terjadi bersama hiperemis gravidarum, pemberian obat β mimetik
untuk tokolisis, infeksi, dan kortikosteroid yang diberikan untuk
menginduksi pematangan paru janin. Bahwa hanya separuh dari
wanita muda dengan ketoasidosis berulang berhasil menyelesaikan
kehamilannya dibandingkan dengan 95% pada wanita tanpa
ketoasidosis Kent dkk., (1994).
Insiden kematian janin pada ketoasidosis sekitar 20%.
Ketidakpatuhan adalah faktor yang menonjol dan hal ini serta
ketoasidosis telah lama dianggap sebagai tanda prognostik buruk pada
kehamilan. Wanita hamil biasanya mengalami pada kadar glukosa
darah yang lebih rendah dibandingkan dengan ketika tidak hamil.
Dalam sebuah penelitian di Cina, kadar glukosa rerata wanita hamil
dengan ketoasidosis diabetes adalah 293mg/dl dibandingkan dengan
495mg/dl untuk wanita tidak hamil. Para peneliti ini melaporkan
seseorang wanita yang glukosa plasmanya hanya 124 mg/dl.
Melaporkan bahwa ketoasidosis pada seorang wanita hamil yang
glukosa plasmanya hanya 87 mg/dl Chico dkk., (2008).
f. Infeksi
Hampir semua jenis infeksi meningkat pada kehamilan dengan
diabetes. Hampir 80% wanita dengan diabetes tipe 1 mengalami paling
sedikit 1 infeksi selama kehamilan dibandingkan dengan hanya 25%
pada mereka yang tidak mengidap diabetes. Takoudes dkk., (2004)
mendapatkan bahwa diabetes pragestasi berkaitan dengan peningkatan
2-3 kali lipat penyulit luka setelah bedah caesar. Infeksi yang sedang
dijumpai adalah vulvovaginitis candida, infeksi saluran kemih, infeksi
35

saluran nafas dan infeksi panggul masa nifas. Pielonefritis antepatum


terjadi pada 4% wanita dengan diabtes tipe 1 dibandingkan dengan 1%
pada mereka yang tidak mengidap diabete. Infeksi ginjal yang utama
dilaporkan berkaitan dengan peningkatan persalinan kurang bulan.
Untungnya, infeksi yang terakhir ini dapat dikurangi melalui uji tapis
dan eradikasi bakteriuria asimtomatik.

2.9. Penatalaksanaan Diabetes Melitus pada kehamilan


a. Perawatan prakonsepsi
Untuk meminimalkan kematian janin dan malformasi kongenital
pada bayi dari ibu dengan diabtes, perawatan dan edukasi medis yang
optimal dianjurkan sebelum diaberikan konsepsi. Sayangnya hingga 60%
kehamilan pada para wanita ini tidak direncanakan. Karena itu wanita
diabetes sering memulai kehamilan dengan kontrol glukosa yang
suboptimal (Casele dkk., 2005).
Amerika Diabetes Association (1999) mendefinisikan kontrol
glukosa prakonsepsi yang optimal dengan menggunakan insulin dengan
memasukkan kadar glukosa pramakan yang dipantau sendiri sebesar 70-
100mg/dl. Dan kadar 1 dan 2 jam pascamakan masing-masing <
140mg/dl dan < 120 mg/dl. Pengukuran Hb terglikosilasi,
mencerminakan kadar glukosa darah rerata selama 4-8 minggu terakhir,
bermanfaat untuk menilai kontrol metabolik awal. Badan ini juga
mendefinisikan kadar Hb terglikosilasi prakonsepsi yang optimal sebagai
nilai yang berada di dalam atau dekat dengan batas atas normal untuk
laboratorium spesifik atau didalam 3 simpang baku dari rerata normal.
Resiko paling signifikan untuk malformasi adalah kadar yang melebihi
10%. Yang terakhir, folat, 400µg/hari, diberikan prakonsepsi dan selama
awal kehamilan untuk mengurangi resiko cacat tabung saraf.
b. Trimester Pertama
36

Pemantauan kadar glukosa secara cermat sangatlah penting karena


itu banyak dokter merawat wanita dengan diabetes overt selama awal
kehamilan untuk melaksanakan program kontril glukosa yang
disesuaikan dengan keadaan pasien dan untuk memberikan edukasi
mengenai penanganan kehamilan selanjutnya. Rawat inap ini juga
merupakan kesempatan untuk menilai tingkat penyulit vaskular dan
secara tepat menentukan usia gestasi.

c. Terapi insulin
Digunakan untuk wanita hamil dengan diabtes overt. Meskipun
obat hipoglikemik oral dilaporkan berhasil digunajan untuk diabetes
gestasional, obat-obat ini saat ini belum direkomendasikan untuk diabetes
overt kecuali untuk penelitian (Amerikan Collage Off Obstetriciansnand
Ginecologists, 2005). Kontrol glikemik ibu biasanya dapat dicapai
dengan penyuntikan insulin harian multiple dan penyesuaian asupan
makan.

Selama kehamilan dapat dilakukan pemberian infus insulin


subcutan oleh suatu pompa terkalibrasi. Cara ini memiliki kelebihan dan
kekurangan tetapi seperti yang dibuktikan dalam suatu kajian Cochrane
Database oleh Farar dkk., (2007), tidak banyak bukti kuat tentang efek
positifnya pada kehamilan. Dalam suatu study retrospektif terhadap 42
wanita hamil gagal membuktikan perbaikan terhadap kontrol glikemi
atau penurunan berat lahir janin yang membandingkan mereka yang
menggunakan pompa dengan mereka yang ditangani dengan terapi
insulin konvensional.

Pemantauan sendiri kadar glukosa kapiler dengan menggunakan


glukometer dianjurkan karena melibatkan wanita yang bersangkutan
untuk merawat dirinya sendiri. Mengukur respon glukosa kapiler ibu
terhadap makan pada 51 kehamilan normal untuk lebih mengetahui
37

tujuan pengendalian glukosa dalam penatalaksanaan wanita dengan


diabtes.

d. Pemantauan Inpasif
Saat ini sedang dikembangkan teknologi yang menghasilkan
metode untuk memantau glukosa secara noninvasif. Metode otomatis dan
tidak nyeri untuk memperoleh informasi tentang glukosa darah ini jelas
akan sangan meningkatkan kepatuhan pasien. Tamada., dkk (1999)
melaporkan hasil uji klinis alat pemantau semacam ini pada wanita
diabetes tidak hamil. Alat ini mengekstraksi glukosa melalui kulit dengan
iontoforesis, yang memanfaatkan potensial listrik. Alat tersebut
kemuadian mengukur konsentrasi glukosa dalam sample yang
diekstraksi. Alat ini dapat menghasilkan hingga 3 pembacaan perjam dan
hanya menyebabkan iritasi kulit ringan di tempat sensor. Para peneliti ini
menemukan adanya kesesuaian yang erat antara pengukuran glukosa
noninvasif dan pengukuran yang diperoleh melalui fungsi ujung jari
standar.

e. Diet
Bagi wanita yang beratnya normal merekomendasikan asupan
kalori 30-35 kkal/kg, yang dikonsumsi sebagai tiga kali makan dan tiga
kali makanan ringan setiap hari. Untuk wanita yang beratnya kurang,
jumlah ini ditingkatkan menjadi 40 kkal/kg/hari. Bagi mereka yang
beratnya di atas 120% berat ideal, asupan dikurangi menjadi 24
kkal/kg/hari. Komposisi diet ideal adalah 55% karbohidrat, 20% protein,
dan 25% lemak dengan kurang dari 10% lemak jenuh.

f. Hipoglikemia
Diabetes cenderung kurang stabil pada trimester pertama. Rosenn
dkk., (1995) menilai dampak hipoglikemia ibu pada 284 wanita hamil
dengan diabetes overt. Hipoglikemia yang signifikan secara klinis dengan
38

nilai glukometer <35mg/dl tercatat pada 70% dari para wanita tersebut,
dengan insiden puncak antara 10 dan 15 minggu. Hampir 25% dari 84
wanita ini mengalami kehilangan kesadaran, dan 15% mengalami kejang
akibat hipoglikemia.

Kami telah melaporkan bahwa hasil akhir kehamilan yang dapat


dicapai pada wanita dengan kadar glukosa plasma pramakan rerata
hingga 143 mg/dl (Leveno dkk., 1979). Pada wanita dengan diabetes
tetapi tidak hamil, Diabetes Control anf Complication Trial Research
Croup (1993) mendapatkan bahwa kadar glukosa serupa-kontrol intensif
didefinisikan sebagai kadar rearat <155 mg/dl-menunda dan
memperlambat retinopati, nefropati dan neuropati diabetik. Karena itu,
wanita dengan diabetes overt yang kadar glukosanya jauh di atas kadar
yang didefinisikan normal selama dan setelah kehamilan dapat berharap
hasil akhir yang baik.

g. Trimester Kedua
Dalam upaya untuk mendeteksi cacat tabung saraf dan anomali
lain, dilakukan pengukuran alfa –fetoprotein serum ibu pada 16-20
minggu dalam kaitannya dengan pemeriksaan sonografik terarah pada
18-20 minggu. Kadar alfa-fetoprotein ibu pada kehamilan dengan
diabetes mungkin lebih rendah, dan karena itu interpretasinya perlu
disesuaikan. Sonografi terarah penting dilakukan, dan Albert dkk., (1996)
mengidentifikasi72% dari 29 anomali janin pada 289 kehamilan dengan
diabetes. Meskipun demikian, Dahse dkk., (2009) memperingatkan
bahwa deteksi anomali janin pada wanita diabetes dengan obesitas lebih
sulit darpada pada wanita dengan ukuran tubuh serupa tanpa diabetes.

Euglikemia dengan pemantauan yang dilakukan oleh pasien


sendiri tetap menjadi tujuan tatalaksana. Diperlukan program perorangan
untuk menghindari hiperglikemia berlebihan dan serangan serang
39

hipoglikemi. Setelah instabilitas trimester pertama biasanya tercapai


periode stabil. Hal ini diikuti oleh peningkatan kebutuhan insulin setelah
sekita 24 minggu Steel dkk.,(1994). Peningkatan ini terjadi karena
peningkatan produksi hormon-hormon kehamilan yang bersifat antagonis
terhadap insulin. Para peneliti melaporkan bahwa peningkatan absolut
kebutuhan insulin rerata adalah 52 unit pada 237 wanita dengan diabetes
tipe 1 tetapi yang penting adalah bahwa terdapat variasi yang luas. Besar
peningkatan berbanding lurus dengan berat ibu dan berbanding terbalik
dengan durasi diabetes.

h. Trimester Ketiga dan Pelahiran


Pada wanita dengan diabetes kelas white B atau C, bedah caesar
sering dilakukan untuk menghindari persalinan traumatik pada bayi besar
menjelang atau saat aterm. Pada wanita dengan diabetes tahap lanjut,
khususnya mereka yang mengidap kelainan vaskular, penurunan
kemungkinan keberhasilan induksi persalinan yang jauh dari aterm juga
berperan besar meningkatkan angka bedah caesar. Induksi persalinan
dapat diupayakan jika janin tidak terlalu besar dan keadaan serviks cukup
mendukung. Angka bedah caesar berkisar dari 50-80%. Di Parklan
Hospital, jumlah wanita dengan diabetes overt menetap sekitar 80%
selama 30 tahun terakhir.

Dosis insulin kerja lama yang diberikan pada hari persalinan perlu
sangat dikurangi atau dihilangkan. Perlu digunakan insulin regular untuk
memenuhi sebagian besar atau seluruh kebutuhan insulin ibu pada saat
ini, karena kebutuhan insulin biasanya sangat berkurang setelah
melahirkan. Kami mendapatkan bahwa infus insulin kontinu dengan
pompa berkalibrasi adalah metode yang paling memuaskan. Selama
persalinan dan setelah pelahiran, wanita yang bersangkutan perlu
mendapat hidrasi adekuat secara intravena dan diberi glukosa dalam
jumlah memadai untuk mempertahankan normoglikemia. Kadar glukosa
40

kapiler atau plasma perlu sering diperiksa, dan insulin regular perlu
diberikan sesuai kebutuhan. Tidak jarang seorang wanita sama sekali
tidak memerlukan insulin selama 24 jam pertama pascapartum dan
kemudian fluktuasi mencolok kebutuhan insulin dalam beberapa hari
berikutnya. Infeksi harus segera di deteksi dan diatasi.

BAB III
PENUTUP
41

Kehamilan kedua dalam waktu 1 tahun dari kehamilan sebelumnya yang


mempunyai GDM memiliki tingkat kekambuhan tinggi. Wanita didiagnosa dengan
GDM memiliki peningkatan risiko terkena diabetes melitus di masa depan.

Wanita yang membutuhkan insulin pengobatan sewaktu kehamilan kerana


didiagnosa dengan GDM mempunyai risiko tinggi untuk mendapat diabetes kerana
telah mempunyai antibodi yang terkait dengan diabetes (seperti antibodi terhadap
dekarboksilase glutamat, islet sel antibodi dan / atau antigen insulinoma-2),
berbanding wanita dengan dua kehamilan sebelumnya dan pada wanita yang gemuk.

Wanita membutuhkan insulin untuk mengelola gestational diabetes memiliki


resiko 50% terkena diabetes dalam lima tahun ke depan. Tergantung pada populasi
yang diteliti, kriteria diagnostik dan panjang tindak lanjut, risiko dapat bervariasi
sangat besar. Risiko tampaknya tertinggi dalam 5 tahun pertama, mencapai dataran
tinggi setelahnya. Penelitian lain menemukan risiko diabetes setelah GDM lebih dari
25% setelah 15 tahun.

Ada data statistik terhadap risiko kondisi lain pada wanita dengan GDM,
dalam studi Perinatal Yerusalem, 410 dari 37.962 pasien dilaporkan telah GDM, dan
ada kecenderungan lebih mendapat kanker payudara dan kanker pankreas , tetapi
lebih banyak penelitian diperlukan untuk mengkonfirmasi temuan ini.

Anda mungkin juga menyukai