Ini adalah haji pertama dan terakhir yang dilakukan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam semasa hidupnya ibadah haji diwajibkan. Pada
hari itu Allah menurunkan wahyu terakhir kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam. Yang dengannya sempurna pula tugas Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai pembawa wahyu terakhir.
Sebuah momen yang langka, dimana puluhan ribu sahabat, baik yang dari
Madinah, Mekkah dan kabilah-kabilah Arab yang telah masuk Islam, mereka
semua berkumpul untuk melaksanakan haji bersama Rasulullah.
Peristiwa itu seolah menjadi puncak dari proses panjang diturunkannya wahyu
kepada umat manusia. Terbentang di hadapan mereka serangkaian firman
Allah dari surat Al-Fatihah hingga Al-Baqarah, terhampar di hadapan mereka
hadits-hadits Nabi yang direkam oleh para sahabat dan perjalanan dakwah
beliau. Semua itu menjadi panduan umat manusia dalam menjalankan tugas di
bumi sebagai hamba Allah.
Ketika Rasul berdiri di hadapan puluhan ribu sahabat, di tanah Arafah, beliau
bersabda:
شهر ُك ْم
ِ في،يومكُم ّهذّا
ِ علّ ْيكُم ّك ُح ْرمة ّ وأموالّكم وأعْرا
ّ ضكُم حرا ٌم ْ ،إن دِما ّءكُم َّ
في بلّ ِدكُم ّهذّا،ّهذّا
Artinya, “Sesungguhnya darah dan harta kalian suci (haram ditumpahkan)
seperti sucinya hari ini, seperti sucinya bulan ini (Dzulhijjah) di tanah yang
suci ini.”
Inilah pesan pertama yang meluncur dari lisan mulia Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam, di hari yang mulia, di tempat yang mulia dan pada momen
yang mulia.
Darah dan harta umat Islam begitu agung nilainya di sisi Allah Subhanahu wa
ta’aala, dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
صلهى ه
َّللاُ َعلَ ْي ِه َ َِّللا سو ِل ه ُ س ِعي ٍد ْال ُخ ْد ِري ِ َوأ َ َبي ُه َري َْرة َ رضي هللا عنهما َع ْن َر َ عن أبي
للَاُ فِي َّ شت ّ ّركُوا فِي د ِّم ُم ْؤ ِم ٍن ّْل ّ ّكبَّ ُه ْم ِ اء ّوأ ّ ْه ّل ْاْل ّ ْر
ْ ضا َّ (لّ ْو أ ّ َّن أ ّ ْه ّل ال: سله َم قَا َل
ِ س ّم َ َو
.” . وصححه اْللباني في “صحيح الترمذي، )1398( ار) رواه الترمذي ِ َّالن
Artinya, “ Dari Abu Said Al-Khudri dan Abu Hurairah – radhiyallahu
anhuma- dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika
penduduk langit dan bumi berskontribusi dalam menumpahkan darah
seorang mukmin, maka Allah akan seret mereka ke dalam neraka.” (HR
Tirmidzi dan dishahihkan oleh Albani)
Hari ini, apakah jiwa seorang muslim diperlakukan sama sucinya dengan
kesucian Ka'bah dan haji?
Kita bisa saksikan bagaimana nyawa kaum muslimin menjadi mainan musuh-
musuh Islam. Rusia setiap hari bisa menjatuhkan bom ke pemukiman-
pemukiman kaum muslimin di Suriah. Israel bisa kapan saja menembakkan
rudal ke pemukiman umat Islam di Gaza dan Amerika dengan leluasa
mengoperasikan drone-drone yang meluncurkan misil-misil ke perkampungan
umat Islam di Afghanistan.
ّ علّ ْي ِه أ ّ ْه ُل
ص ْن ّعا ّء لّقّت ّ ْلت ُ ُه ْم ّج ِميعًا ّ ّ لّ ْو ت ّ ّم ّاْل
Artinya, “Kalau seandainya penduduk Shon’a berkompromi membunuhnya,
niscaya akan aku hukum (qishash) mereka semua.” (Muwaththo’)
Dan yang menyedihkan, rangkaian perang terhadap umat Islam juga dilakukan
oleh mereka yang mengaku beragama Islam, namun mereka menjalankan
program-program musuh Islam, mereka membuat aturan-aturan yang
mengkriminalkan ajaran Islam, mereka mengkampanyekan hal-hal buruk
terhadap simbol-simbol Islam, memberikan stigma-stigma negatif terhadap
syariat Islam. Mereka lakukan itu semua agar mendapatkan pujian, kenaikan
pangkat dan gelontoran dana dari musuh-musuh Islam. Oleh karenanya mereka
menggunakan tangan-tangan kaum muslimin yang lemah hatinya, mudah
diperalat dan bisa dijadikan kacung mereka demi menjalankan proyek-proyek
deislamisasi di negeri kaum muslimin.
Kalau bangsa Yahudi dahulu hanya mau berperang dari desa yang kuat dan
benteng yang kokoh, maka musuh Islam hari ini juga seperti itu. Dalam perang
terhadap ajaran Islam, mereka tidak mau head-to head menentang syariat Islam,
akan tetapi mereka menggunakan istilah-istilah lain, namun pada hakikatnya
mereka memerangi Islam.
Iya, cinta dunia, lebih sibuk menghasilkan uang, lebih takut kehilangan
pekerjaan, lebih memilih hidup tenang dan tidak berbuat apa-apa untuk
kejayaan Islam. Lebih memiih berdiam diri di rumah, berangkat kerja, shalat ke
masjid, baca koran, bermain dan santai dengan keluarga dan tidak
mempedulikan kaum muslimin yang tertindas.
Dan takut mati, takut berjuang, takut berdakwah dan takut menghadapi resiko-
resiko perjuangan. Dua sifat inilah yang menyebabkan izzah dan kemuliaan
Islam terpendam dan tersimpan rapi di buku para ulama. Tidak hadir di dunia
nyata.
Sejarah mencatat bahwa orang-orang besar dalam sejarah Islam, lahir dari
keluarga yang peduli terhadap tarbiyah islamiyah (pendidikan Islam). Seorang
Imam Syafi’i diasuh oleh seorang ibu yang rela mendermakan seluruh hartanya
demi mencari guru terbaik untuk anaknya.
اب أ ّ ِلي ٌم ّ ون ع ّْن أ ّ ْم ِر ِه أّن ت ُ ِصيبّ ُه ْم فِتْنّةٌ أ ّ ْو يُ ِصيبّ ُه ْم
ٌ ّعذ ّ فّ ْليّ ْحذّ ِر الَّذ
ّ ُِين يُ ّخا ِلف
Artinya, “Hendaknya takutlah mereka yang menyelisihi perintah-Nya dari
ditimpa fitnah dan azab yang pedih.” (QS An-Nur: 63)
Dan para sahabat adalah sebaik-baik contoh dalam berpegang teguh kepada
wahyu. Ketika Allah mengharamkan khamr, maka seketika itu pula para
sahabat langsung menuangkan persediaan khamr mereka, sehingga memenuhi
parit-parit Madinah. Begitu pula, ketika turun ayat hijab, para shahabiyat
bersegera menutupi kepala mereka dengan kain apapun yang mereka miliki.
Bahkan gorden-gorden mereka dijadikan penutup kepala demi menjalankan
perintah hijab.
Poin ini harus dipegang teguh oleh setiap muslim, baik dia pemerintah,
maupun rakyat, lelaki atau perempuan, kaya ataupun miskin, ulama ataupun
awam, kewajiban bagi semua untuk menjadi wahyu sebagai acuan tertinggi
di dalam hidup.
Oleh karenanya, mari kita perhatian terhadap kesucian darah, harta, dan harga
diri kaum muslimin, meninggalkan segala bentuk sistem, tata kelola jahiliyah
yang tidak sejalan dengan wahyu, memperkokoh peran keluarga dalam
melahirkan generasi yang mampu memanggul beratnya perjuangan dan
menjadikan wahyu sebagai pelita penerang jalan hidup kita.
Kita tutup khutbah Idul Adha ini dengan memanjatkan doa kepada Allah
Subhanahu wa ta’aala :