Anda di halaman 1dari 22

FILM BERBAHASA DAERAH DALAM INDUSTRI HIBURAN

INDONESIA

Aji Aditra Perdana


Nesya Karuniawati
Tesa Alia
Tri Agustina
Tyas Hakiki

Magister Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi


Universitas Pelita Harapan

Email: adjieperdana@gmail.com

Abstract

Movies are one of the best media for delivering messages, due to its nature that
combines two types of audio and visual messages. In modern times, movies have
become an entertainment that can be enjoyed by everyone, according to the age
segment. The filmmakers are trying to steal the attention of the target market, one
of them with cultural content. One of the films released in the market is Yowis
Ben, a film with 80% dialogue using East Java Language. This research discusses
local language films in the Indonesian entertainment industry.

Keywords: Indonesian movies, Yowis Ben, entertainment, East Java

Abstrak

Film adalah salah satu media terbaik untuk menyampaikan pesan, karena sifatnya
yang menggabungkan dua jenis pesan audio dan visual. Di zaman modern saat ini,
film sudah menjadi hiburan yang dapat dinikmati semua orang, sesuai dengan
segment usia. Para pembuat film berusaha mencuri perhatian target market, salah
satunya dengan konten budaya kedaerahan. Salah satu film yang rilis di pasar
adalah Yowis Ben, sebuah film dengan 80% dialog menggunakan Bahasa Jawa
Timur. Penelitian ini membahas film berbahasa daerah dalam industri hiburan
Indonesia.

Kata Kunci: Film Indonesia, Yowis Ben, Jawa Timur, Industri Hiburan
1. Pendahuluan

“Industri film seperti yang kita kenal sekarang berasal dari awal abad 19
melalui serangkaian perkembangan teknologi: penciptaan fotografi, penemuan
ilusi gerak dengan menggabungkan gambar diam individu, dan studi tentang
pergerakan manusia dan hewan. Sejarah yang dipaparkan di sini dimulai pada
puncak perkembangan teknologi ini, dimana gagasan tentang film sebagai industri
hiburan pertama kali muncul. Sejak saat itu, industri ini telah mengalami
transformasi yang luar biasa, beberapa didorong oleh visi artistik peserta
perorangan, beberapa oleh kebutuhan komersial, dan yang lainnya secara tidak
sengaja” (Lule, 2010, p. 328)

Industri film awalnya masuk Indonesia di tahun 1920-an, melalui warga


Indonesia keturunan India dan Cina. Hal ini diungkapkan oleh Hikmat Darmawan,
Pengamat sekaligus komite film Dewan Kesenian Jakarta, yang dikutip dari
CNNIndonesia.com (CNNIndonesia.com, 2017)

Sejarah panjang perfilman Indonesia turut dijajaki oleh mereka yang


merupakan keturunan India. Mereka ikut andil dalam perkembangan melahirkan
film-film populer lewat rumah produksi yang berada di bawah
kepemilikannya. Sebut saja Rapi Film didirikan Gope T Samtani, Soraya Intercine
Film didirikan Ram Soraya, Multivision Plus (MVP) didirikan Raam Punjabi,
Starvision Plus didirikan Chand Parwez Servia, kemudian MD Pictures didirikan
Dhamoo dan Manoj Punjabi, hingga yang paling bungsu Falcon Pictures didirikan
HB Naveen (CNNIndonesia.com, 2017).

"Sebetulnya orang India dan China aktif di awal 1920-an sampai 1950-an
membangun film dan masuk ke dalam gagasan bahwa film itu komersial,
menghibur, dan bisa ditonton sebanyak mungkin orang," (CNNIndonesia.com,
2017)

Dengan dibangunnya film sejak era itu, ada aspek yang kemudian
menampilkan Indonesia dalam bentuk visual, menimbang kala itu Indonesia
belum lahir sebagai sebuah negara (CNNIndonesia.com, 2017).

“Pada 1930-an belum ada Indonesia, tapi ada gagasan soal itu dan para
pembuat film dari etnis China dan India itu yang berjasa untuk menciptakan
produk populer, yang bisa membangun imajinasi penonton tentang apa itu diri
kita walaupun tidak secara sadar atau ideologis," ujarnya lebih lanjut. Di sisi lain,
keberadaan keturunan India di ranah perfilman menurut Hikmat bisa dilatari oleh
aturan yang pernah diterapkan bahwa mereka tidak boleh berada di ranah politik
atau sosial sehingga mencoba jalur bisnis (CNNIndonesia.com, 2017).
Walau demikian, karena sifatnya yang dapat menggambarkan secara jelas
sebuah adegan, karena menggabungkan 2 media, audio dan visual. Film dapat
menjadi alat propaganda yang sangat efektif. Seperti yang dilakukan oleh presiden
kedua Republik Indonesia, H. M. Soeharto, melalui film Pemberontakan G30S PKI.

Jajang C. Noer, istri dari Arifin C. Noer sutradara film pemberontakan G30S
PKI mengakui film tersebut memang dibuat dengan tujuan agar orang membenci
Partai Komunis Indonesia (PKI). "Memang target film itu, mesti saya tekankan
sekali lagi supaya kita membenci PKI. Supaya kita mengerti bahwa PKI tidak benar.
Ya, kalau mau dikatakan jahat," (Kompas.com, 2017)

Jajang tidak menampik bila ada yang menganggap film karya suaminya itu
merupakan satu bentuk propaganda dari pemerintah berkuasa saat itu, yakni
pemerintahan Orde Baru. "Bahwa itu dikatakan propaganda Soeharto, ya apa
boleh buat. Soeharto memang ada di peristiwa tersebut. Dia kepala pemerintahan
dan yang mengongkosi itu semua," imbuh Jajang. Jajang menambahkan, sang
sutradara tidak pernah mengira sebelumnya bahwa film itu akan diputar setiap
tahun jelang 30 September. Bahkan anak-anak sekolah diwajibkan menonton.
Sepengetahuan si pembuat film, film docudrama itu hanya akan menjadi semacam
arsip nasional (Kompas.com, 2017).

Tercatat sejak tahun 2007, film produksi Indonesia berkualitas sudah bisa
mencapat jumlah sampai dengan 1 juta penonton. Laskar Pelangi menjadi film
pertama buatan Indonesia, yang bisa mencapai 4 juta penonton di tahun 2008.
Sejak itu setiap tahun Indonesia selalu mencatatkan film-film dengan jumlah
penonton diatas 2 juta (filmindonesia.or.id, 2018)

Puncaknya saat film Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1, rilis di tahun
2016. Jumlah total mencapai 6.858.616 penonton. Film ini menjadi film dengan
jumlah penonton terbesar sepanjang masa di Indonesia, dan belum bisa dikejar
oleh film lain. Jumlah penonton film warkop DKI Reborn sedang dikejar oleh film
Dilan 1990, yang sudah mencapai 6.243.703 penonton, dan saat tulisan ini dibuat
film Dilan 1990 masih tayang di bioskop Indonesia (filmindonesia.or.id, 2018).

Keberhasilan film garapan sineas Indonesia di dalam negeri ini, membuat


banyak produsen film mencoba berbagai genre film yang belum pernah dibuat
sebelumnya. Jika diamati film Indonesia hanya berkutat pada genre drama
percintaan, action, dunia anak, dan horror. Pasar penonton Indonesia tentunya
mengharapkan film dengan genre berbeda, ditengah sesaknya bioskop Indonesia
dengan film-film dengan genre sejenis (filmindonesia.or.id, 2018).
Gambar 1 – Data Penonton Film Indonesia Tahun Edar 2018

Film Yowis Ben yang rilis di tanggal 22 februari 2018, sampai dengan
tanggal 7 maret 2018 (14 hari tayang) sudah mencatatkan perolehan 563.413
penonton, dan menjadikan Yowis Ben sebagai film dengan perolehan penonton
terbesar ke 3 di tahun 2018. Sementara posisi nomor 1 dipegang oleh film Dilan
1990 (6.243.703 penonton), dan posisi kedua adalah film Eiffel… I'm In Love 2
(975.448 penonton) (filmindonesia.or.id, 2018).

Film Yowis Ben menjadi menarik ketika menyajikan 80% dialog dalam
filmnya adalah berbahasa Jawa, khususnya Jawa Timur (Kompas.com, 2018).
Dimana karakter Bahasa Jawa Timur bisa dikatakan cukup kasar. Cara bicaranya
yang sedikit lantang, tegas, cepat dan juga ceplas-ceplos seperti preman,
membuat orang Jawa Timur terkesan seperti orang kasar yang sopan santunnya
kurang baik dibandingkan orang Jawa Tengah (Hipwee.com, 2016).

Orang Jawa Tengah dikenal dengan sifatnya yang kalem, lembut, lemah
gemulai, sungkanan dan bahkan sering dibilang klemar-klemer (lelet). Sedangkan
orang Jawa Timur itu lebih cekatan, tegas, tidak sungkan, blak-blakan, dan tidak
suka berbelit-belit. Oleh karena itu, orang Jawa Timur terkesan sebagai orang yang
kasar (Hipwee.com, 2016).

Watak orang Jawa Timur sedikit lebih keras jika dibandingkan dengan
orang Jawa Tengah. Pada umumnya, orang Jawa Tengah terkenal dengan sikapnya
yang “pakewuhan”, mereka selalu susah untuk menolak permintaan orang lain,
sehingga terkesan “mbulet”. Orang Jawa Timur, umumnya jauh lebih bisa
bertindak tegas mengenai hal ini. Orang jawa timur tidak terbisasa untuk bersikap
manis-manis dan sungkanan. Mereka lebih senang berbicara secara terang-
terangan dan langsung to the point (Hipwee.com, 2016).

Skenario film Yowis Ben ditulis oleh Bayu Skak, seorang content creator
Youtube, disebut Youtuber. Bayu adalah seorang pemuda asli Malang, dimana
selain menulis skenario Bayu juga menjadi Co-Director untuk film ini. Bayu
mengungkapkan bahwa ia ingin membuat Sebuah karya yang dapat
merepresentasikan keberagaman di Indonesia. Penggunaan bahasa Jawa menjadi
hal yang sengaja ingin ia tonjolkan. Menurutnya, dengan menggunakan bahasa
Jawa, ia bisa menunjukkan keragaman yang ada di Indonesia.
“Saya lahir di Malang, besar di Malang, Jadi saya ingin berkarya sesuatu hal
tentang tanah kelahiran saya,” ujar Bayu. (TribunNews.com, 2018)

Gambar 2. Kecaman Netizen kepada Bayu Skak

Saat trailer film Yowis Ben dirilis, banyak sekali hujatan dan kecaman dari
netizen (internet citizen). Dimana penggunaan Bahasa jawa dalam film Yowis Ben
dikatakan sebagai sesuatu yang norak dan tidak pantas ditayangkan dalam sebuah
film. Namun Bayu Skak menanggapi hal tersebut dengan sangat baik, dan dijawab
melalui sebuah video youtube berjudul ‘Aku Wong Jowo’ berdurasi 10 menit 53
detik (TribunNews.com, 2018).
Gambar 3. Video ‘Aku Wong Jowo’

Dalam video tersebut, Bayu Skak mengungkapkan kekecewaannya


terhadap generasi muda Indonesia, yang menghina Jawa. Pemahaman konsep
kebhinekaan Indonesia yang keliru, mejadi sorotan Bayu Skak. Bahwa berbhineka
bukan hanya menjadi satu, namun bhineka memiliki arti keberagaman
(TribunNews.com, 2018).

2. Metodologi Penelitian

Dalam melakukan penelitian terhadap film Yowis Ben yang di sutradarai


Fajar Nugros dan diproduksi oleh Starvision Plus yang menceritakan seputar
kehidupan anak SMA untuk meningkatkan kepopulerannya dengan membuat
sebuah grup band, dimana 80 % dialog yang digunakan menggunakan bahasa Jawa
Timur, penulis menggunakan teknik observasi. Penulis melakukan pengamatan
terhadap film ini apakah film berbahasa jawa ini dapat diterima di kalangan
penonton nasional, walaupun dalam film ini dihadirkan subtitle terhadap dialog –
dialog yang menggunakkan bahasa Jawa Timuran ini.

Metode Observasi ini digunakan untuk melihat dan mengamati secara


langsung keadaan dilapangan agar peneliti memperoleh gambaran yang lebih luas
tentang permasalahan yang diteliti (Dr.Basrowi & Suwandi, 2008) Beberapa alasan
mengapa dalam penelitian kualitatif, penulis melakukan pengamatan seperti yang
dikemukaan oleh Guba dan Lincoln 1981 (Dr.Basrowi & Suwandi, 2008, pp. 95-96)
yaitu:

a. Teknik pengamatan (observasi) ini didasarkan atas pengalaman secara


langsung. Tampak pengalaman secara langsung merupakan alat yang
ampuh untuk mengetes kebenaran. Jika suatu data yang diperoleh
kurang meyakinkan, biasanya peneliti ingin menanyakan kepada subyek,
tetapi karena penulis hendak memperoleh keyakinan tentang keabsahan
data tersebut, jalan yang ditempuh adalah mengamati sendiri yang
berarti mengaami langsung peristiwa.

b. Teknik pengamatan ini juga memungkinkan peneliti melihat dan


mengamati sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kejadian
sebagaimana yang terjadi sebagaimana yang terjadi pada keadaan
sebenarnya.

c. Pengamatan memungkinkan peneliti mencatat peristiwa dalam situasi


yang berkaitan dengan pengetahuan proposional maupun pengetahuan
yang langsung diperoleh dari data.

Munculnya film Yowis Ben ini menjadi bahan pengamatan peneliti apakah
film berbahasa daerah mampu bersaing dengan film-film lainnya di Industri
hiburan saat ini. Dalam pengamatan peneliti secara keseluruhan film Yowis Ben
yang dirilis pada 22 Februari 2018 merupakan film komedi drama dimana setiap
adegan yang disuguhkan menggunakan Bahasa Jawa yang alur ceritanya simpel
dan mudah dicerna oleh penonton meskipun penonton tidak bisa berbahasa jawa
sekalipun. Disetiap pemutaran film Yowis Ben ini apresiasi penonton terlihat
sangat antusias terbukti dengan banyaknya jumlah penonton yang memenuhi
studio film. Hal ini terbukti dalam 11 hari penayangannya di bioskop film ini
mendapatkan 563.413 apresiasi dari penonton yang telah menyaksikan film
tersebut.

Gambar 4. Apresiasi Penonton Bioskop Per Tanggal 8 Mar 2018


Dalam rating IMDb film Yowis Ben mendapatkan rating sebesar 9,8/10 dari 1629
user, ukuran yang baik untuk suatu film sehingga memang film ini bisa menjadi
referensi untuk penonton yang akan menonton film ini. IMDb adalah situs web
yang menyediakan informasi mengenai film dari seluruh dunia, termasuk orang –
orang yang terlibat didalamnya mulai dari aktor/aktris, sutradara, penulis sampai
penata rias dan musikus. Dengan melihat rating IMDb dari film tersebut seseorang
dapat menentukan sendiri apakah mutu dari film itu bagus atau tidak, sehingga
dengan nilai rating di IMDb userlah yang menentukan ketertarikan terhadap suatu
film.

Gambar 5. Rating IMDb

Film Yowis Ben film drama komedi berbahasa daerah menjadi warna baru
dalam perindustrian perfilman di Indonesia. Film ini mampu memberikan sesuatu
yang baru dimana target dari film ini tidak hanya dari masyarakat Jawa Timur dan
Jawa Tengah saja melainkan masyarakat Indonesia yang berasal dari berbagai
daerah dengan beragam budaya dan bahasa daerah masing -masing. Dengan
menggunakan dialeg khas Jawa Timuran ditambah dengan lokasi tempat shooting
adalah daerah Jawa Timur yaitu Malang yang terkenal dengan tempat pariwisata
seperti tempat wisata museum angkot dan kampung pelangi menambah semakin
keinginan tahuan penonton terhadap film ini.
Ketertarikan penonton akan film terlihat dari jumlah penonton yang
bertambah setiap harinya jika telah menembus angka 1 juta penonton berarti
menjadi film terlaris (box office). Film dengan tema budaya daerah di Indonesia
masih jarang ditemui ditengah- tengah masyarakat yang serba modern untuk itu
apresiasi penonton terhadap film ini sangatlah diharapkan untuk mengangkat
budaya daerah lokal setempat.

3. Fokus Penelitian
Harus diakui bahwa hubungan antara film dan masyarakat memiliki sejarah
yang panjang dalam kajian para ahli komunikasi. Oey Hong Lee (1965:40) dalam
Alex Sobur (2013:126), misalnya, menyebutkan, “film sebagai alat komunikasi
massa yang kedua muncul di dunia, mempunyai masa pertumbuhannya pada
akhir abad ke 19, dengan perkataan lain pada waktu unsur – unsur yang
merintangi perkembangan surat kabar sudah dibikin lenyap. Ini berarti bahwa dari
permulaan sejarahnya film dengan lebih mudah dapat menjadi alat komunikasi
yang sejati, karena tidak mengalami unsur – unsur teknik, politik, ekonomi, sosial
dan demografi yang merintangi kemajuan surat kabar pada masa
pertumbuhannya dalam abad ke 18 dan permulaan abad ke 19”. Film, kata Oey
Hong Lee, mencapai puncaknya di antara perang dunia I dan perang dunia II,
namun kemudian merosot tajam setelah tahun 1945, seiring dengan munculnya
medium televisi.

Namun, seiring dengan kebangkitan film pula muncul film – film yang
mengumbar seks, kriminal dan kekerasan. Inilah yang kemudian melahirkan
berbagai studi komunikasi massa. Sayangnya, perkembangan awal studi
komunikasi kerap berkutat di sekitar kajian mengenai dampak media. Selama
beberapa dekade, paradigm yang mendominasi penelitian komunikasi tidak jauh
beranjak dari “model komunikasi mekanistik”, yang pertama kali diintrodusir oleh
Shannen dan Weaver (1949) dalam Alex Sobur (2013:127). Komunikasi selalu
diasumsikan oleh paradigma ini sebagai entitas pasif dalam menerima pengaruh
dari media massa.

Kekuatan dan kemampuan film menjangkau banyak segmen sosial, lantas


membuat para ahli bahwa film memiliki potensi untuk mempengaruhi
khalayaknya. Sejak itu, maka merebaklah berbagai penelitian yang hendak melihat
dampak film terhadap masyarakat. Ini, misalnya, dapat dilihat dari sejumlah
penelitian film yang mengambil berbagai topik seperti: pengaruh film terhadap
anak, film dan agresivitas, film dan politik, film dan kebudayaan, dan seterusnya.

Dua tema yang umumnya menimbulkan kecemasan dan perhatian


masyarakat ketika disajikan dalam film adalah adegan – adegan seks dan
kekerasan. Kadangkala perhatian ini dikemukakan oleh karena penggambarannya
bertentangan dengan standar selera baik dari masyarakat. Namun seringkali
kecemasan masyarakat berasal dari keyakinan bahwa isi seperti itu mempunyai
efek moral, psikologis, dan sosial yang merugikan, khususnya kepada generasi
muda, dan menimbulkan perilaku antisosial. Baik seks maupun kekerasan telah
menjadi subjek penelitian komisi – komisi yang disponsori secara federal akhir –
akhir ini mengenai efek komunikasi massa, ditambah berbagai macam penelitian
lainnya (Wright, 1986:173-174 dalam Sobur, 2013:127).

Dalam banyak penelitian tentang dampak film terhadap masyarakat,


hubungan antara film dan masyarakat selalu dipahami secara linier. Artinya, film
selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan
(message) di baliknya, tanpa pernah berlaku sebaliknya. Kritik yang muncul
terhadap perspektif ini didasarkan atas argumen bahwa film adalah potret dari
masyarakat di mana film itu dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat, dan kemudian memproyeksikannya ke atas layar
(Irawanto, 1999:13 dalam Sobur, 2013:127).

Graeme Turner (Irawanto, 1999:14 dalam Sobur, 2013:127-128) menolak


perspektif yang melihat film sebagai refleksi masyarakat. Makna film sebagai
representasi dari realitas masyarakat, bagi Turner, berbeda dengan film sekadar
sebagai refleksi dari realitas. Sebagai refleksi dari realitas, film sekadar “memindah”
realitas ke layar tanpa mengubah realitas tersebut. Sementara itu, sebagai
representasi dari realitas, film membentuk dan “menghadirkan kembali” realitas
berdasarkan kode – kode, konvensi – konvensi, dan ideologi dari kebudayaannya.

Simbol Bahasa & Budaya

“Semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol – simbol,”


kata James P. Spradley (1997:121) dalam Sobur (2013:177). “Makna hanya dapat
disimpan di dalam simbol,” ujar Clifford Geertz (1992:51) dalam sobur (2013:177).
Pengetahuan kebudayaan lebih dari suatu kumpulan simbol, baik istilah – istilah
rakyat maupun jenis – jenis simbol lain. Semua simbol, baik kata – kata yang
terucapkan, sebuah objek seperti bendera, suatu gerak tubuh seperti
melambaikan tangan, sebuah tempat seperti masjid atau gereja, atau suatu
peristiwa seperti perkawinan, merupakan bagian – bagian suatu sistem simbol.
Simbol adalah objek atau peristiwa apa pun yang menunjuk pada sesuatu. Simbol
itu meliputi apa pun yang dapat kita rasakan atau kita alami.

Sedemikian tak terpisahkan hubungan antara manusia dengan


kebudayaan, sampai disebut makhluk budaya. Kebudayaan sendiri terdiri atas
gagasan – gagasan, simbol – simbol, dan nilai – nilai sebagai hasil karya dari
tindakan manusia, sehingga tidaklah berlebihan jika ada ungkapan, “begitu
eratnya kebudayaan manusia dengan simbol – simbol, sampai manusia pun
disebut makhluk dengan simbol – simbol. Manusia berpikir, berperasaan, dan
bersikap dengan ungkapan – ungkapan yang simbolis .” (Sobur, 2013:177)

Setiap orang, dalam arti tertentu, membutuhkan sarana atau media untuk
berkomunikasi. Media ini terutama ada dalam bentuk – bentuk simbolis sebagai
pembawa maupun pelaksana makna atau pesan yang akan dikomunikasikan.
Makna atau pesan sesuai dengan maksud pihak komunikator atau (diharapkan)
ditangkap dengan baik oleh pihak lain. Hanya, perlu diingat bahwa simbol – simbol
komunikasi tersebut adalah kontekstual dalam suatu masyarakat dan
kebudayaannya. Ada memang sekian banyak definisi kebudayaan. Dari
kemungkinan lebih dari seratus macam definisi tentang kebudayaan, definisi yang
diajukan ilmuwan Amerika “spesialis” jawa, Clifford Geertz, barangkali lebih
relevan dalam kaitan dengan simbol – simbol komunikasi. Dikatakan (Geertz,
dalam Susanto, 1992:57 dalam Sobur, 2013:178) : kebudayaan adalah sebuah pola
dari makna – makna yang tertuang dalam simbol – simbol yang diwariskan melalui
sejarah. Kebudayaan adalah sebuah sistem dari konsep – konsep yang diwariskan
dan diungkapkan dalam bentuk – bentuk simbolik melalui mana manusia
berkomunikasi, mengekalkan dan memperkembangkan pengetahuan tentang
kehidupan dan bersikap terhadap kehidupan ini.

Titik sentral rumusan kebudayaan Geertz terletak pada simbol, bagaimana


manusia berkomunikasi lewat simbol. Di satu sisi, simbol terbentuk melalui
dinamisasi interaksi sosial, merupakan realitas empiris, yang kemudian diwariskan
secara historis, bermuatan nilai – nilai dan di sisi lain simbol merupakan acuan
wawasan, memberi “petunjuk” bagaimana warga budaya tertentu menjalani
hidup, media sekaligus pesan komunikasi, dan representasi realitas sosial. (Sobur,
2013:178)

Oleh karena dalam suatu kebudayaan terdapat bermacam – macam sikap


dan kesadaran dan juga bentuk – bentuk pengetahuan yang berbeda – beda, maka
di sana juga terdapat “sistem – sistem kebudayaan” yang berbeda – beda untuk
mewakili semua itu. Seni bisa berfungsi sebagai sistem kebudayaan, sebagimana
seni juga bisa menjadi anggapan umum (common sense), ideologi, politik dan hal
– hal lain yang senada dengan itu. (Sobur, 2013:178)

Proses komunikasi, seperti dikatakan Tubbs dan Moss (1994:66) dalam


Sobur (2015:41) dalam Human Communication-nya, “involves sending messages
from one person’s nervous system to another’s with the intention of creating a
meaning similar to the one in the sender’s mind. The verbal message does this
through words, the basic elemets of language, and words, of course, are verbal
symbols.” Dengan demikian jelas bahwa proses komunikasi itu sebenarnya
mencakup pengiriman pesan dari sistem saraf seseorang kepada sistem saraf
orang lain, dengan maksud untuk menghasilkan sebuah makna yang sama dengan
yang ada dalam benak si pengirim. Pesan verbal melakukan hal tersebut melalui
kata – kata, yang merupakan unsur dasar bahasa, dan kata – kata, sudah jelas
merupakan simbol verbal.

Banyak kesalahan komunikasi (miscommunication) terjadi dalam


masyarakat karena tidak memahami simbol – simbol lokal. Hafied Cangara bahkan
menyebutkan, “Di beberapa daerah pedalaman yang masih tradisional, banyak
pendatang kesasar dan menjadi korban penduduk asli karena tidak mengenal
simbol atau kode yang digunakan oleh penduduk setempat” (Cangara, 2000:103
dalam Sobur, 2015:42).

Bahasa adalah kombinasi kata yang diatur secara sistematis, sehingga bisa
digunakan sebagai alat komunikasi. Kata itu sendiri, merupakan bagian integral
dari simbol yang dipakai oleh kelompok masyarakatnya. Itu sebabnya, kata
bersifat simbolis. Simbol itu, menurut Robert Sibarani (Wibowo, 2013:3-4 dalam
Sobur, 2015:42), mengutip pendapat Van Zoest, adalah sesuatu yang dapat
menyimbolkan dan mewakili ide, pikiran, perasaan, benda, dan tindakan secara
arbitrer, konvensional, dan representatif-interpretatif. Dalam hal ini, tidak ada
hubungan alamiah antara yang menyimbolkan dan yang disimbolkan. Implikasinya
berarti, baik yang batiniah (perasaan, pikiran atau ide), maupun lahiriah (benda
dan tindakan) dapat disimbolkan atau diwakili simbol. Dengan begitu, antara
“bendera warna kuning yang dipasang disudut jalan” (yang disimbolkan), misalnya,
“ada orang yang meninggal” (yang menyimbolkan), tidak perlu ada pertalian
langsung. Mengapa harus memasang bendera kuning, dan mengapa bendera
kuning itu harus menyimbolkan di situ ada orang yang meninggal, inilah hasil
konvensi yang arbitrer.

Istilah bahasa dapat digunakan dalam arti harfiah dan metaforis


(Sudaryanto, 2000:233 dalam Sobur, 2015:43). Dalam arti harfiah, istilah itu
mengacu pada bahasa biasa, yang dialami, yang dipakai di keseharian, yang di
Indonesia jumlahnya tidak kurang dari 650 buah dan di dunia tidak kurang dari
5000 buah. Dalam arti metaforis, istilah itu mengacu pada berbagai cara
berkomunikasi atau berkontak (kedipan mata, lambaian tangan, nyala lampu
berwarna tertentu, gambar pada rambu – rambu, bunyi kentongan, dan
sebagainya). Istilah bahasa dalam arti metaforis tidak kena-mengena dengan
linguistik. Yang langsung kena-mengena dengan linguistik adalah istilah bahasa
dalam arti harafiah, yang mengacu pada bahasa sebagaimana dikatakan diatas.
Dapat dikatakan bahwa linguistik berurusan dengan bahasa biasa, yang alami,
yang dipakai di keseharian.
Bahasa, menurut Levi-Strauss, dapat dikatakan merupakan suatu kondisi
budaya, dan ini berlaku dalam dua hal. Bahasa adalah kondisi budaya secara
diakronis, karena terutama melalui bahasalah orang mengenal budaya sendiri.
Orang diajar oleh orang tua, dibentaknya, diberi ucapan selamat, dengan bahasa.
Akan tetapi dari titik pandang yang jauh lebih teoritis, bahasa dapat pula dikatakan
sebagai kondisi budaya karena bahan pembentuknya berasal dari jenis yang sama
dengan bahan pembentuk budaya sebagai suatu keseluruhan: hubungan logis,
pertentangan, korelasi, dan semacamnya. Dari sudut pandang ini, kata Strauss
dalam Sobur (2013:289), mungkin kelihatan bahwa bahasa meletakkan semacam
landasan bagi struktur – struktur yang lebih rumit dan selaras atau mirip dengan
berbagai segi bahasa (dalam Kaplan dan Manners, 2000:228 dalam Sobur,
2013:290).

Bahasa adalah cerminan pemahaman pemakai bahasa tentang


kebudayaannya, masa silam dan masa sekarang. Perkembangan bahasa
dipengaruhi perubahan – perubahan sosio-budaya. Karena itu, tatkala situasi
historis berubah, bahasa pun sedikit banyak mengalami perubahan. Perubahan itu
pada umumnya berlangsung lambat dan evolusioner (Azra, 1996:232 dalam Sobur,
2013:290). Kata – kata baru diperkenalkan dan kata – kata lama mendapatkan
pengertian baru atau bahkan ditinggalkan sama sekali.

Sudah lama para ahli antropologi melihat adanya hubungan antara bahasa
dengan kebudayaan, baik hubungan yang timbal-balik, saling mempengaruhi,
ataupun hubungan yang lebih menentukan yang bersifat satu arah: kebudayaan
mempengaruhi bahasa atau sebaliknya, bahasa mempengaruhi kebudayaan. Oleh
karena itu tidak mengherankan bilamana sebagian ahli antropologi ada yang
kemudian mencari inspirasi dengan sengaja dari disiplin linguistik untuk
menyelesaikan masalah – masalah yang orang hadapi dalam mempelajari
kebudayaan (Ahimsa-putra, 2001:23 dalam Sobur, 2013:290). Jadi, bukan hal yang
aneh ataupun baru jika seorang ahli antropologi seperti Levi-Strauss kemudian
memilih menggunakan model – model dari linguistik.

Film merupakan salah satu bidang dalam media massa yang sangat dikenal
di masyarakat. Media massa secara umum memiliki fungsi sebagai penyalur
informasi, pendidikan, dan hiburan. Film juga dianggap sebagai media komunikasi
yang ampuh terhadap massa yang menjadi sasatannya, karena sifatnya yang audio
visual. Dengan gambar dan suara, film mampu bercerita banyak dalam waktu
singkat. Ketika menonton film, penonton seakan-akan dapat menembus ruang
dan waktu yang dapat menceritakan kehidupan dan bahkan dapat mempengaruhi
audiens.

Film merupakan sebuah bentuk seni dan estetika yang selain bertujuan
untuk dinikmati juga merupakan media yang efektif bagi penyadaran masyarakat.
Selain itu, film seringkali berperan sebagai wahana pengembangan kebudayaan,
bukan saja dalam pengertian pengembangan bentuk seni dan simbol, tetapi juga
dalam pengertian pengembangan tata cara, mode, gaya hidup, dan norma-norma
(McQuail 1989, hal. 14). Pentingnya pemanfaatan film dalam upaya pembelajaran
masyarakat tersebut sebagian didasari oleh pertimbangan bahwa film memiliki
kemampuan untuk menarik perhatian orang dan sebagian lagi didasari oleh alasan
bahwa film memiliki kemampuan mengatur pesan secara unik. Karakterisitik film
sebagai media massa mampu membentuk suatu visual public consensus. Hal ini
disebabkan karena isi film selalu bertautan sengan nilai-nilai yang hidup dalam
selera publik (Jowett dalam Irawanto 1993, hal. 13). Penyampaian pesan
mengenai isu-isu dalam masyarakat, dapat disampaikan melalui film karena film
merupakan salah satu bentuk dari media massa dan cerita dalam film biasanya
berangkat dari sebuah fenomena yang terjadi di sekitar kita.

Keberadaan film di tengah - tengah masyarakat mempunyai makna yang


unik diantara media komunikasi lainnya. Selain dipandang sebagai media hiburan
ternyata film pun merupakan media komunikasi yang efektif dalam
penyebarluasan ide dan gagasan, film juga merupakan media ekspresi seni yang
memberikan jalur pengungkapan kreatifitas, dan media budaya yang melukiskan
kehidupan manusia dan kepribadian suatu bangsa.

Dari sekian banyak film yang mengangkat tema kebudayaan Indonesia,


pada tahun 2018, muncul film drama komedi berjudul Yowis Ben yang disutradari
oleh Fajar Nugros dan Bayu Skak sebagai co-director. Menurut peneliti, film ini
menarik untuk dikaji lebih lanjut. Alasannya, pertama, film drama komedi Yowis
Ben yang di tayangkan pada tanggal 22 februari 2018 memperoleh jumlah
penonton sebanyak 563.413 berdasarkan data yang dirilis oleh filmindonesia.or.id
dan mendapat tanggapan baik dari penonton film Indonesia. Selain itu, dalam film
ini, para pemain yang berperan dalam film ini menggunakan bahasa jawa dalam
setiap dialognya dan mengambil lokasi adegan di kota batu malang yang memiliki
tempat – tempat menarik untuk dikunjungi seperti museum angkut, kampung
warna – warni Jodipan dan masih banyak lokasi menarik lainnya. Film Yowis Ben
mengisahkan bayu yang menyukai susan. Namun bayu tidak percaya diri karena
merasa serba pas-pasan. Demi mendapat perhatian susan dan bersaing dengan
pacarnya susan, bayu membentuk band musik bersama tiga temannya. Setiap
adegan yang mengalir akan dengan mudah dicerna penonton, walau dengan
bahasa jawa. Alurnya yang simpel sangat cocok untuk penonton yang suka dengan
genre komedi drama dengan bumbu romansa di dalamnya.

Yang menjadi perhatian peneliti di sini adalah penggunaan bahasa daerah


yang digunakan dalam setiap dialog para pemain film Yowis Ben. Di jaman
sekarang jarang film yang menggunakan bahasa daerah secara keseluruhan di
dalam setiap dialog pemainnya. Serta masyarakat yang tidak terbiasa mendengar
bahasa daerah apalagi bahasa jawa timur yang jarang di dengar di kota – kota
besar yang mayoritasnya menggunakan bahasa Indonesia bukan bahasa daerah.
Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah ‘Bagaimana film berbahasa
daerah mampu bersaing dengan film-film lainnya di Industri hiburan saat ini?’

4. Cultural Studies Theory - Representasi Bahasa Jawa Timur Dalam Film Yowis Ben

Film dapat mencerminkan kebudayaan suatu bangsa dan mempengaruhi


kebudayaan itu sendiri. Kemampuan dan kekuatan film menjangkau banyak orang
menjadi potensi untuk mempengaruhi masyarakat yang menontonnya. Di
Indonesia sendiri, film merupakan salah satu faktor utama yang dapat
membangun stereotip atas suatu kebudayaan. Apabila sebuah film menampilkan
ciri khas budaya misalnya daerah Jawa Timur, maka sebagian besar penonton yang
bukan merupakan masyarakat Jawa Timur akan membentuk persepsi mereka atas
realitas pada budaya Jawa Timur berdasarkan film tersebut. Karena itu film
memainkan peranan penting dalam membentuk pandangan masyarakat antara
satu dengan lainnya.

Film Yowis Ben terinspirasi dari film Uang Panai yang rilis di Makassar
dengan menggunakan bahasa daerah setempat. Kebudayaan dalam film Yowis
Ben ditampilkan melalui penggunaan bahasa daerah Jawa Timur hampir 80% di
setiap dialognya, di samping bahasa Indonesia. Namun, Yowis Ben tetap bisa
dinikmati oleh semua orang di luar orang Jawa karena
menggunakan subtittle bahasa Indonesia. Ucapan idiom lokal yang menggelitik
juga tertuang pada dialog. Yowis Ben berusaha merepresentasikan sekumpulan
pemuda yang ingin menunjukkan kemampuannya lewat sebuah band.
Menariknya, band yang diberi nama Yowis Ben ini mengusung lagu-lagu yang
berbahasa Jawa seperti Gak Iso Turu (Tidak bisa tidur), Konco Sing Apik (Teman
yang baik), Mangan Pecel (Makan Pecel), dan Ojo Bolos Pelajaran (Jangan Bolos
Pelajaran). Lagu-lagu yang begitu sarat makna dan pesan moral.

Gambar 6. Adegan Cak Kartolo dan Cak Sapari


Meskipun film ini menceritakan kehidupan kalangan millennial namun
tetap berusaha memperkenalkan budaya khas Jawa Timur kepada masyarakat
luas. Salah satunya dengan menghadirkan legenda pelawak Jawa Timur yaitu Cak
Kartolo dan Cak Sapari. Selain itu, Yowis Ben mengambil latar kota Malang
tepatnya di Museum Angkut, Alun-Alun, Gereja Hati Kudus, dan Kampung Warna-
Warni Jodipan. Tempat-tempat tersebut merupakan representasi ikonik kota
Malang. Representasi sendiri dimaknai suatu produksi makna melalui sistem
penandaan yang tersedia seperti dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan
sebagainya (Hall dalam Newsletter Kunci, 2000). Secara ringkas, representasi
adalah produksi makna melalui bahasa. Representasi juga merupakan bagian
terbesar bahkan unsur utama cultural studies, yang dapat dipahami sebagai studi
kebudayaan sebagai praktik signifikansi representasi. Bagaimana dunia
dikonstruksi dan direpresentasikan secara sosial kepada dan oleh masyarakat di
dalam pemaknaan tertentu. Cultural studies memfokuskan diri kepada bagaimana
proses pemaknaan representasi itu sendiri (Barker, 2004:9).

Karakteristik film sebagai media massa juga mampu membentuk semacam


konsensus publik secara visual, karena film selalu bertautan dengan nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat dan selera publik (Irawanto, 1999:14). Melalui film ini,
masyarakat Indonesia banyak belajar tentang bahasa daerah Jawa Timur. Film juga
dilihat sebagai media sosialisasi dan media publikasi budaya yang ampuh dan
persuasif. Ketika menonton film Yowis Ben maka pada dasarnya masyarakat
sedang melihat cerminan dari budaya remaja generasi millenial yang tetap fasih
dan melestarikan bahasa daerah mereka, Jawa Timur.

Sedangkan menurut Stuart Hall, representasi adalah tindakan


menghadirkan atau mempresentasikan suatu baik orang, peristiwa, maupun objek
lewat sesuatu yang di luar dirinya, biasanya berupa tanda atau simbol.
Representasi ini belum tentu bersifat nyata tetapi bisa juga menunjukkan dunia
khayalan, fantasi, dan ide-ide abstrak. (Hall, 1997:28). Pembuatan film telah
membingkai realitas sesuai dengan subjektifitasnya yang dipengaruhi oleh kultur
dan masyarakatnya. Sebuah film tentu dapat mewakili pula pandangan
pembuatannya. Film mampu menangkap gejala-gejala dan perubahan yang terjadi
dalam masyarakat yang kemudian disajikan kembali kepada masyarakat untuk
mendapat apresiasi. Film karya Fajar Nugros dan youtuber Bayu Skak tampaknya
ingin mempopulerkan kembali bahasa daerah Jawa Timur dengan menyegarkan
pikiran masyarakat Indonesia terutama generasi millenial untuk tetap
melestarikan budaya daerah.
Sebagai salah satu media komunikasi, film mengandung berbagai pesan
yang ingin disampaikan oleh penciptanya. Pesan yang terkandung dalam film
timbul dari keinginan untuk merefleksikan kondisi masyarakat dan bahkan
mungkin juga bersumber dari keinginan untuk memanipulasi (McQuail, 2011).
Yowis Ben secara tidak langsung menyentil masyarakat Jawa agar bangga menjadi
orang Jawa dan film ini didedikasikan untuk generasi muda agar tidak lupa dengan
budayanya.

5. Pembahasan

Remaja dalam film Yowis Ben merupakan konstruksi remaja di film remaja
pada umumnya. Belajar di sekolah menengah, membentuk music band, dan mulai
mengalami ketertarikan romantis. Gambaran dominan tersebut kemudian
dihantarkan dengan bahasa yang tidak dominan. Penggunaan bahasa daerah
Jawa dialek Jawa Timur 80% di film Yowis Ben adalah logis mengingat film tersebut
berlatar tempat di Malang, Jawa Timur.

Selain itu, pemilihan aktor asal dan beberapa landmark di Malang juga
semakin menguatkan bahwa Yowis Ben ingin menggoyang hegemoni film remaja
Indonesia yang Jakarta-sentris. Antonio Gramsci-yang sangat kuat dipengaruhi
tulisan-tulisan Karl Marx-menjelaskan (Griffin, 2011: 346), hegemoni adalah
dominasi atau pengaruh berlebihan suatu negara terhadap negara lain. Dalam
konteks ekonomi, kelompok yang menguasai aset dan kapital akan menguasai
kekuatan ekonomi (Lule, 2010: 602). Dalam konteks kebudayaan dalam film YWB,
berarti dominasi budaya Jakarta terhadap budaya bukan Jakarta.

Hegemoni film remaja Jakarta-sentris adalah hasil fungsi consent-making


media massa. Stuart Hall menjelaskan, media massa meyakinkan khalayak bahwa
mereka memiliki ketertarkan yang sama dengan mereka yang berkuasa atau
dominan (Griffin, 2011: 7).

Dalam satu adegan, seorang teman band Bayu sempat heran mengapa
sejak berpacaran dengan Susan Bayu mulai mengubah bahasa kesehariannya
menjadi Bahasa Indonesia? Di titik itu, Bayu yang tergila-gila pada Susan tentu tak
peduli. Ia sedang terbuai kebahagiaan yang meluap-luap sebab bisa memacari
gadis pujaan yang tidak se-Jawa dirinya. Kesan bahwa prestasi seorang Jawa
adalah dengan bisa memacari anak yang gaul adalah sebuah klise dalam film
televisi (FTV) atau sinetron Indonesia dan stereotipnya (Tirto.id, 2018).

Yowis Ben menambah keberagaman film-film nasional di bisokop


konvensional. Pada 2014, dirilis film-film yang dibuat rumah produksi di luar Jawa
atau mendapat dukungan produksi dari pemerintah daerah. Film-film seperti
Bombe’ (Kota Makassar) dan Cahaya Dari Timur (Kota Ambon). Khusus Sulawesi,
tumbuh beberapa rumah produksi yang menghasilkan film dan mengedarkannya
lewat jaringan bioskop konvensional sejak 2014 (filmindonesia.or.id, 2018).

Gambar 7. Film-film hasil produksi dari luar Jawa dari 2014-2017

Meski berbahasa Jawa dengan dialek Jawa Timur, film Yowis Ben diproduksi rumah
produksi Starvision Plus yang berlokasi di Jakarta. Sejak 1997 hingga saat ini,
Starvision telah merilis 95 judul film, Yowis Ben merupakan film pertama
Starvision yang didominasi bahasa daerah. (filmindonesia.or.id, 2018)

6. Kesimpulan

Stereotip dalam film Yowis Ben memungkinkan dapat disebut‘film rasa


sinetron’. Meski demikian, Yowis Ben sebagai film dengan perolehan penonton
terbesar ke-3 pada 2018, merupakan bukti bahwa film buatan rumah produksi
arus utama seperti Starvision, yang menggunakan bahasa daerah, dapat menjadi
film dengan potensi pendapatan yang tinggi.

Dalam setiap produksi karya film, selalu terbagi menjadi 2 jenis, yaitu film
box office dan film festival. Dimana karakteristik keduanya sangat berbeda. Film
box office dikenal sebagai karya yang menyuguhkan kebutuhan penonton akan
hiburan tontonan massal, sedangkan film festival menyuguhkan kebutuhan akan
film personal, sesuai selera dan referensi (filmindonesia.or.id, 2013).
Gambar 8. Peran dan posisi film

“Gabungan penonton massal dan penonton kritis disebut sebagai publik:


penonton film. Merekalah target market para pembuat film. Sangat
memungkinkan untuk seorang pembuat film untuk berusaha menjawab kedua
capaian tersebut bersamaan, walaupun belum tentu memberikan hasil yang
maksimal di salah satunya. Akan tetapi yang perlu dicatat adalah esensi bahwa
belum tentu film yang berhasil di festival akan mencapai jumlah Box Office. Sama
seperti belum tentu film Box Office akan berhasil di ajang festival film
internasional” (filmindonesia.or.id, 2013).

Film Yowis Ben mencoba menggabungkan karakteristik film festival dan


film box office, dimana mencoba mengambil target market yang spesifik namun
juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Dengan perolehan 563.413 penonton,
bahkan sudah melewati target dari Co-Director film Yowis Ben, Bayu Skak
sejumlah 500.000 penonton (Kompas.com, 2018). Bisa diartikan tentu saja dengan
500 ribu penonton, maka biaya produksi dan profit yang diharapkan oleh
Starvision Plus sudah tercapai.

Munculnya berbagai medium juga memungkinkan pembuat-pembuat film


yang berada di luar Jakarta dan Jawa untuk mengedarkan karyanya tanpa harus
masuk ke jaringan bioskop konvensional. Mengunggah ke internet, mengedarkan
sebagai home video, memutar dari kampus ke kampus, serta menjual ke stasiun-
stasiun TV atau distributor merupakan opsi yang dapat dipilih agar film daerah
tidak melulu di daerah.

Terdapat sepuluh bahasa daerah di Indonesia dengan penutur terbanyak,


yaitu bahasa Jawa, Sunda, Madura, Minangkabau, Musi, Bugis, Banjar, Aceh, Bali
dan Betawi Soal popularitas dan raihan penonton terbanyak, daftar tersebut dapat
menjadi rujukan bagi pembuat-pembuat film jika ingin menunjukkan
keberagaman di Indonesia, khususnya bahasa (sindonews.com, 2017).
Daftar Pustaka

Lule, J. (2010). Understanding Media and Culture: An INtroduction to Mass


Communication. Minneapolis: University of Minnesota.
Griffin, Em. 2011. A First Look ot Communication Theory 8th ed. New York:
McGraw-Hill.
Dr.Basrowi, & Suwandi. (2008). Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka
Cipta.
Sobur, Alex. 2013. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sobur, Alex. 2015. Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk Analisis
Wacana, Analisis Semiotika, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Barker, Chris. 2004. Cultural Studies Theory and Practice, New Delhi: Sage
McQuail, D. 2011. Teori Komunikasi Massa McQuail. Jakarta: Salemba Humanika
Irawanto, Budi. 1999. Film, Ideologi, dan Militer: Hegemoni Militer dalam Sinema
Indonesia. Yogyakarta: Media Pressindo
Hall, Stuart. 1997. Representation : Cultural Representation and Signifying
Practises. London : Sage
CNNIndonesia.com. (2017, April 1). Berita Film. Retrieved from
CNNIndonesia.com:
https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20170331124838-220-
204034/india-rasuki-film-indonesia-sejak-sebelum-merdeka/1
Kompas.com. (2017, September 23). Nasional. Retrieved from kompas.com:
https://nasional.kompas.com/read/2017/09/23/13241541/jajang-c-noer-
memang-target-film-g30spki-agar-orang-membenci-pki
filmindonesia.or.id. (2018). Data Penonton. Retrieved from filmindonesia.or.id:
http://filmindonesia.or.id/movie/viewer/2016#.WqAD6ZNuauU
Hipwee.com. (2016). Inspirasi. Retrieved from Hipwee.com:
https://www.hipwee.com/hiburan/serba-serbi-kehidupan-yang-dialami-
oleh-arek-arek-jowo-timur/
Kompas.com. (2018, Februari 10). Film. Retrieved from Kompas.com:
https://entertainment.kompas.com/read/2018/02/10/143921010/bayu-
skak-film-yowis-ben-80-persen-berbahasa-jawa
TribunNews.com. (2018, Februari 18). Cinema & TV. Retrieved from
tribunnews.com:
http://surabaya.tribunnews.com/2018/02/18/penggunaan-bahasa-jawa-
di-film-yo-wis-ben-banyak-dinyinyiri-netizen-begini-jawab-bayu-skak
TribunNews.com. (2018, Februari 18). Cinema & TV. Retrieved from
tribunnews.com: http://jogja.tribunnews.com/2018/02/12/banyak-
dihujat-akibat-film-yowis-ben-bayu-skak-beri-klarifikasi-yang-
mengharukan
Tirto.id. (2018, Maret 7). Film. Retrieved from Tirto.id: https://tirto.id/yowis-ben-
dan-stereotip-orang-jawa-di-industri-tontonan-cFKX
filmindonesia.or.id. (2018, February 17). Kaleidoskop 2017: Mengukur detak
jantung industri film Indonesia. Retrieved from filmindonesia.or.id:
http://filmindonesia.or.id/article/kaleidoskop-2017-mengukur-detak-
jantung-industri-film-indonesia#.WqFeAZNuauU
filmindonesia.or.id. (2018, Maret 2). PT Kharisma Starvision Plus. Retrieved from
filmindonesia.or.id:
(http://filmindonesia.or.id/movie/name/nma4b864893d558c_pt-
kharisma-starvision-plus/filmography#.WqD05-hubIU).
sindonews.com. (2017, Mei 3). 10 bahasa daerah dengan penutur terbanyak.
Retrieved from sindonews.com:
https://nasional.sindonews.com/read/1252853/15/ini-dia-10-bahasa-
daerah-dengan-penutur-terbanyak-di-indonesia-1509344321
filmindonesia.or.id. (2013, April 29). Box Office vs Film Festival. Retrieved from
filmindonesia.or.id: http://filmindonesia.or.id/article/box-office-vs-film-
festival#.WqFiR5NuauU
Kompas.com. (2018, Februari 10). Bayu Skak Targetkan Yowis Ben Raih 500.000
Penonton Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Bayu Skak
Targetkan Yowis Ben Raih 500.000 Penonton",
https://entertainment.kompas.com/read/2018/02/10/151117810/bayu-
skak-targetkan-yowis-ben-raih-5. Retrieved from kompas.com:
https://entertainment.kompas.com/read/2018/02/10/151117810/bayu-
skak-targetkan-yowis-ben-raih-500000-penonton
(n.d.).

Anda mungkin juga menyukai