INDONESIA
Email: adjieperdana@gmail.com
Abstract
Movies are one of the best media for delivering messages, due to its nature that
combines two types of audio and visual messages. In modern times, movies have
become an entertainment that can be enjoyed by everyone, according to the age
segment. The filmmakers are trying to steal the attention of the target market, one
of them with cultural content. One of the films released in the market is Yowis
Ben, a film with 80% dialogue using East Java Language. This research discusses
local language films in the Indonesian entertainment industry.
Abstrak
Film adalah salah satu media terbaik untuk menyampaikan pesan, karena sifatnya
yang menggabungkan dua jenis pesan audio dan visual. Di zaman modern saat ini,
film sudah menjadi hiburan yang dapat dinikmati semua orang, sesuai dengan
segment usia. Para pembuat film berusaha mencuri perhatian target market, salah
satunya dengan konten budaya kedaerahan. Salah satu film yang rilis di pasar
adalah Yowis Ben, sebuah film dengan 80% dialog menggunakan Bahasa Jawa
Timur. Penelitian ini membahas film berbahasa daerah dalam industri hiburan
Indonesia.
Kata Kunci: Film Indonesia, Yowis Ben, Jawa Timur, Industri Hiburan
1. Pendahuluan
“Industri film seperti yang kita kenal sekarang berasal dari awal abad 19
melalui serangkaian perkembangan teknologi: penciptaan fotografi, penemuan
ilusi gerak dengan menggabungkan gambar diam individu, dan studi tentang
pergerakan manusia dan hewan. Sejarah yang dipaparkan di sini dimulai pada
puncak perkembangan teknologi ini, dimana gagasan tentang film sebagai industri
hiburan pertama kali muncul. Sejak saat itu, industri ini telah mengalami
transformasi yang luar biasa, beberapa didorong oleh visi artistik peserta
perorangan, beberapa oleh kebutuhan komersial, dan yang lainnya secara tidak
sengaja” (Lule, 2010, p. 328)
"Sebetulnya orang India dan China aktif di awal 1920-an sampai 1950-an
membangun film dan masuk ke dalam gagasan bahwa film itu komersial,
menghibur, dan bisa ditonton sebanyak mungkin orang," (CNNIndonesia.com,
2017)
Dengan dibangunnya film sejak era itu, ada aspek yang kemudian
menampilkan Indonesia dalam bentuk visual, menimbang kala itu Indonesia
belum lahir sebagai sebuah negara (CNNIndonesia.com, 2017).
“Pada 1930-an belum ada Indonesia, tapi ada gagasan soal itu dan para
pembuat film dari etnis China dan India itu yang berjasa untuk menciptakan
produk populer, yang bisa membangun imajinasi penonton tentang apa itu diri
kita walaupun tidak secara sadar atau ideologis," ujarnya lebih lanjut. Di sisi lain,
keberadaan keturunan India di ranah perfilman menurut Hikmat bisa dilatari oleh
aturan yang pernah diterapkan bahwa mereka tidak boleh berada di ranah politik
atau sosial sehingga mencoba jalur bisnis (CNNIndonesia.com, 2017).
Walau demikian, karena sifatnya yang dapat menggambarkan secara jelas
sebuah adegan, karena menggabungkan 2 media, audio dan visual. Film dapat
menjadi alat propaganda yang sangat efektif. Seperti yang dilakukan oleh presiden
kedua Republik Indonesia, H. M. Soeharto, melalui film Pemberontakan G30S PKI.
Jajang C. Noer, istri dari Arifin C. Noer sutradara film pemberontakan G30S
PKI mengakui film tersebut memang dibuat dengan tujuan agar orang membenci
Partai Komunis Indonesia (PKI). "Memang target film itu, mesti saya tekankan
sekali lagi supaya kita membenci PKI. Supaya kita mengerti bahwa PKI tidak benar.
Ya, kalau mau dikatakan jahat," (Kompas.com, 2017)
Jajang tidak menampik bila ada yang menganggap film karya suaminya itu
merupakan satu bentuk propaganda dari pemerintah berkuasa saat itu, yakni
pemerintahan Orde Baru. "Bahwa itu dikatakan propaganda Soeharto, ya apa
boleh buat. Soeharto memang ada di peristiwa tersebut. Dia kepala pemerintahan
dan yang mengongkosi itu semua," imbuh Jajang. Jajang menambahkan, sang
sutradara tidak pernah mengira sebelumnya bahwa film itu akan diputar setiap
tahun jelang 30 September. Bahkan anak-anak sekolah diwajibkan menonton.
Sepengetahuan si pembuat film, film docudrama itu hanya akan menjadi semacam
arsip nasional (Kompas.com, 2017).
Tercatat sejak tahun 2007, film produksi Indonesia berkualitas sudah bisa
mencapat jumlah sampai dengan 1 juta penonton. Laskar Pelangi menjadi film
pertama buatan Indonesia, yang bisa mencapai 4 juta penonton di tahun 2008.
Sejak itu setiap tahun Indonesia selalu mencatatkan film-film dengan jumlah
penonton diatas 2 juta (filmindonesia.or.id, 2018)
Puncaknya saat film Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1, rilis di tahun
2016. Jumlah total mencapai 6.858.616 penonton. Film ini menjadi film dengan
jumlah penonton terbesar sepanjang masa di Indonesia, dan belum bisa dikejar
oleh film lain. Jumlah penonton film warkop DKI Reborn sedang dikejar oleh film
Dilan 1990, yang sudah mencapai 6.243.703 penonton, dan saat tulisan ini dibuat
film Dilan 1990 masih tayang di bioskop Indonesia (filmindonesia.or.id, 2018).
Film Yowis Ben yang rilis di tanggal 22 februari 2018, sampai dengan
tanggal 7 maret 2018 (14 hari tayang) sudah mencatatkan perolehan 563.413
penonton, dan menjadikan Yowis Ben sebagai film dengan perolehan penonton
terbesar ke 3 di tahun 2018. Sementara posisi nomor 1 dipegang oleh film Dilan
1990 (6.243.703 penonton), dan posisi kedua adalah film Eiffel… I'm In Love 2
(975.448 penonton) (filmindonesia.or.id, 2018).
Film Yowis Ben menjadi menarik ketika menyajikan 80% dialog dalam
filmnya adalah berbahasa Jawa, khususnya Jawa Timur (Kompas.com, 2018).
Dimana karakter Bahasa Jawa Timur bisa dikatakan cukup kasar. Cara bicaranya
yang sedikit lantang, tegas, cepat dan juga ceplas-ceplos seperti preman,
membuat orang Jawa Timur terkesan seperti orang kasar yang sopan santunnya
kurang baik dibandingkan orang Jawa Tengah (Hipwee.com, 2016).
Orang Jawa Tengah dikenal dengan sifatnya yang kalem, lembut, lemah
gemulai, sungkanan dan bahkan sering dibilang klemar-klemer (lelet). Sedangkan
orang Jawa Timur itu lebih cekatan, tegas, tidak sungkan, blak-blakan, dan tidak
suka berbelit-belit. Oleh karena itu, orang Jawa Timur terkesan sebagai orang yang
kasar (Hipwee.com, 2016).
Watak orang Jawa Timur sedikit lebih keras jika dibandingkan dengan
orang Jawa Tengah. Pada umumnya, orang Jawa Tengah terkenal dengan sikapnya
yang “pakewuhan”, mereka selalu susah untuk menolak permintaan orang lain,
sehingga terkesan “mbulet”. Orang Jawa Timur, umumnya jauh lebih bisa
bertindak tegas mengenai hal ini. Orang jawa timur tidak terbisasa untuk bersikap
manis-manis dan sungkanan. Mereka lebih senang berbicara secara terang-
terangan dan langsung to the point (Hipwee.com, 2016).
Skenario film Yowis Ben ditulis oleh Bayu Skak, seorang content creator
Youtube, disebut Youtuber. Bayu adalah seorang pemuda asli Malang, dimana
selain menulis skenario Bayu juga menjadi Co-Director untuk film ini. Bayu
mengungkapkan bahwa ia ingin membuat Sebuah karya yang dapat
merepresentasikan keberagaman di Indonesia. Penggunaan bahasa Jawa menjadi
hal yang sengaja ingin ia tonjolkan. Menurutnya, dengan menggunakan bahasa
Jawa, ia bisa menunjukkan keragaman yang ada di Indonesia.
“Saya lahir di Malang, besar di Malang, Jadi saya ingin berkarya sesuatu hal
tentang tanah kelahiran saya,” ujar Bayu. (TribunNews.com, 2018)
Saat trailer film Yowis Ben dirilis, banyak sekali hujatan dan kecaman dari
netizen (internet citizen). Dimana penggunaan Bahasa jawa dalam film Yowis Ben
dikatakan sebagai sesuatu yang norak dan tidak pantas ditayangkan dalam sebuah
film. Namun Bayu Skak menanggapi hal tersebut dengan sangat baik, dan dijawab
melalui sebuah video youtube berjudul ‘Aku Wong Jowo’ berdurasi 10 menit 53
detik (TribunNews.com, 2018).
Gambar 3. Video ‘Aku Wong Jowo’
2. Metodologi Penelitian
Munculnya film Yowis Ben ini menjadi bahan pengamatan peneliti apakah
film berbahasa daerah mampu bersaing dengan film-film lainnya di Industri
hiburan saat ini. Dalam pengamatan peneliti secara keseluruhan film Yowis Ben
yang dirilis pada 22 Februari 2018 merupakan film komedi drama dimana setiap
adegan yang disuguhkan menggunakan Bahasa Jawa yang alur ceritanya simpel
dan mudah dicerna oleh penonton meskipun penonton tidak bisa berbahasa jawa
sekalipun. Disetiap pemutaran film Yowis Ben ini apresiasi penonton terlihat
sangat antusias terbukti dengan banyaknya jumlah penonton yang memenuhi
studio film. Hal ini terbukti dalam 11 hari penayangannya di bioskop film ini
mendapatkan 563.413 apresiasi dari penonton yang telah menyaksikan film
tersebut.
Film Yowis Ben film drama komedi berbahasa daerah menjadi warna baru
dalam perindustrian perfilman di Indonesia. Film ini mampu memberikan sesuatu
yang baru dimana target dari film ini tidak hanya dari masyarakat Jawa Timur dan
Jawa Tengah saja melainkan masyarakat Indonesia yang berasal dari berbagai
daerah dengan beragam budaya dan bahasa daerah masing -masing. Dengan
menggunakan dialeg khas Jawa Timuran ditambah dengan lokasi tempat shooting
adalah daerah Jawa Timur yaitu Malang yang terkenal dengan tempat pariwisata
seperti tempat wisata museum angkot dan kampung pelangi menambah semakin
keinginan tahuan penonton terhadap film ini.
Ketertarikan penonton akan film terlihat dari jumlah penonton yang
bertambah setiap harinya jika telah menembus angka 1 juta penonton berarti
menjadi film terlaris (box office). Film dengan tema budaya daerah di Indonesia
masih jarang ditemui ditengah- tengah masyarakat yang serba modern untuk itu
apresiasi penonton terhadap film ini sangatlah diharapkan untuk mengangkat
budaya daerah lokal setempat.
3. Fokus Penelitian
Harus diakui bahwa hubungan antara film dan masyarakat memiliki sejarah
yang panjang dalam kajian para ahli komunikasi. Oey Hong Lee (1965:40) dalam
Alex Sobur (2013:126), misalnya, menyebutkan, “film sebagai alat komunikasi
massa yang kedua muncul di dunia, mempunyai masa pertumbuhannya pada
akhir abad ke 19, dengan perkataan lain pada waktu unsur – unsur yang
merintangi perkembangan surat kabar sudah dibikin lenyap. Ini berarti bahwa dari
permulaan sejarahnya film dengan lebih mudah dapat menjadi alat komunikasi
yang sejati, karena tidak mengalami unsur – unsur teknik, politik, ekonomi, sosial
dan demografi yang merintangi kemajuan surat kabar pada masa
pertumbuhannya dalam abad ke 18 dan permulaan abad ke 19”. Film, kata Oey
Hong Lee, mencapai puncaknya di antara perang dunia I dan perang dunia II,
namun kemudian merosot tajam setelah tahun 1945, seiring dengan munculnya
medium televisi.
Namun, seiring dengan kebangkitan film pula muncul film – film yang
mengumbar seks, kriminal dan kekerasan. Inilah yang kemudian melahirkan
berbagai studi komunikasi massa. Sayangnya, perkembangan awal studi
komunikasi kerap berkutat di sekitar kajian mengenai dampak media. Selama
beberapa dekade, paradigm yang mendominasi penelitian komunikasi tidak jauh
beranjak dari “model komunikasi mekanistik”, yang pertama kali diintrodusir oleh
Shannen dan Weaver (1949) dalam Alex Sobur (2013:127). Komunikasi selalu
diasumsikan oleh paradigma ini sebagai entitas pasif dalam menerima pengaruh
dari media massa.
Setiap orang, dalam arti tertentu, membutuhkan sarana atau media untuk
berkomunikasi. Media ini terutama ada dalam bentuk – bentuk simbolis sebagai
pembawa maupun pelaksana makna atau pesan yang akan dikomunikasikan.
Makna atau pesan sesuai dengan maksud pihak komunikator atau (diharapkan)
ditangkap dengan baik oleh pihak lain. Hanya, perlu diingat bahwa simbol – simbol
komunikasi tersebut adalah kontekstual dalam suatu masyarakat dan
kebudayaannya. Ada memang sekian banyak definisi kebudayaan. Dari
kemungkinan lebih dari seratus macam definisi tentang kebudayaan, definisi yang
diajukan ilmuwan Amerika “spesialis” jawa, Clifford Geertz, barangkali lebih
relevan dalam kaitan dengan simbol – simbol komunikasi. Dikatakan (Geertz,
dalam Susanto, 1992:57 dalam Sobur, 2013:178) : kebudayaan adalah sebuah pola
dari makna – makna yang tertuang dalam simbol – simbol yang diwariskan melalui
sejarah. Kebudayaan adalah sebuah sistem dari konsep – konsep yang diwariskan
dan diungkapkan dalam bentuk – bentuk simbolik melalui mana manusia
berkomunikasi, mengekalkan dan memperkembangkan pengetahuan tentang
kehidupan dan bersikap terhadap kehidupan ini.
Bahasa adalah kombinasi kata yang diatur secara sistematis, sehingga bisa
digunakan sebagai alat komunikasi. Kata itu sendiri, merupakan bagian integral
dari simbol yang dipakai oleh kelompok masyarakatnya. Itu sebabnya, kata
bersifat simbolis. Simbol itu, menurut Robert Sibarani (Wibowo, 2013:3-4 dalam
Sobur, 2015:42), mengutip pendapat Van Zoest, adalah sesuatu yang dapat
menyimbolkan dan mewakili ide, pikiran, perasaan, benda, dan tindakan secara
arbitrer, konvensional, dan representatif-interpretatif. Dalam hal ini, tidak ada
hubungan alamiah antara yang menyimbolkan dan yang disimbolkan. Implikasinya
berarti, baik yang batiniah (perasaan, pikiran atau ide), maupun lahiriah (benda
dan tindakan) dapat disimbolkan atau diwakili simbol. Dengan begitu, antara
“bendera warna kuning yang dipasang disudut jalan” (yang disimbolkan), misalnya,
“ada orang yang meninggal” (yang menyimbolkan), tidak perlu ada pertalian
langsung. Mengapa harus memasang bendera kuning, dan mengapa bendera
kuning itu harus menyimbolkan di situ ada orang yang meninggal, inilah hasil
konvensi yang arbitrer.
Sudah lama para ahli antropologi melihat adanya hubungan antara bahasa
dengan kebudayaan, baik hubungan yang timbal-balik, saling mempengaruhi,
ataupun hubungan yang lebih menentukan yang bersifat satu arah: kebudayaan
mempengaruhi bahasa atau sebaliknya, bahasa mempengaruhi kebudayaan. Oleh
karena itu tidak mengherankan bilamana sebagian ahli antropologi ada yang
kemudian mencari inspirasi dengan sengaja dari disiplin linguistik untuk
menyelesaikan masalah – masalah yang orang hadapi dalam mempelajari
kebudayaan (Ahimsa-putra, 2001:23 dalam Sobur, 2013:290). Jadi, bukan hal yang
aneh ataupun baru jika seorang ahli antropologi seperti Levi-Strauss kemudian
memilih menggunakan model – model dari linguistik.
Film merupakan salah satu bidang dalam media massa yang sangat dikenal
di masyarakat. Media massa secara umum memiliki fungsi sebagai penyalur
informasi, pendidikan, dan hiburan. Film juga dianggap sebagai media komunikasi
yang ampuh terhadap massa yang menjadi sasatannya, karena sifatnya yang audio
visual. Dengan gambar dan suara, film mampu bercerita banyak dalam waktu
singkat. Ketika menonton film, penonton seakan-akan dapat menembus ruang
dan waktu yang dapat menceritakan kehidupan dan bahkan dapat mempengaruhi
audiens.
Film merupakan sebuah bentuk seni dan estetika yang selain bertujuan
untuk dinikmati juga merupakan media yang efektif bagi penyadaran masyarakat.
Selain itu, film seringkali berperan sebagai wahana pengembangan kebudayaan,
bukan saja dalam pengertian pengembangan bentuk seni dan simbol, tetapi juga
dalam pengertian pengembangan tata cara, mode, gaya hidup, dan norma-norma
(McQuail 1989, hal. 14). Pentingnya pemanfaatan film dalam upaya pembelajaran
masyarakat tersebut sebagian didasari oleh pertimbangan bahwa film memiliki
kemampuan untuk menarik perhatian orang dan sebagian lagi didasari oleh alasan
bahwa film memiliki kemampuan mengatur pesan secara unik. Karakterisitik film
sebagai media massa mampu membentuk suatu visual public consensus. Hal ini
disebabkan karena isi film selalu bertautan sengan nilai-nilai yang hidup dalam
selera publik (Jowett dalam Irawanto 1993, hal. 13). Penyampaian pesan
mengenai isu-isu dalam masyarakat, dapat disampaikan melalui film karena film
merupakan salah satu bentuk dari media massa dan cerita dalam film biasanya
berangkat dari sebuah fenomena yang terjadi di sekitar kita.
4. Cultural Studies Theory - Representasi Bahasa Jawa Timur Dalam Film Yowis Ben
Film Yowis Ben terinspirasi dari film Uang Panai yang rilis di Makassar
dengan menggunakan bahasa daerah setempat. Kebudayaan dalam film Yowis
Ben ditampilkan melalui penggunaan bahasa daerah Jawa Timur hampir 80% di
setiap dialognya, di samping bahasa Indonesia. Namun, Yowis Ben tetap bisa
dinikmati oleh semua orang di luar orang Jawa karena
menggunakan subtittle bahasa Indonesia. Ucapan idiom lokal yang menggelitik
juga tertuang pada dialog. Yowis Ben berusaha merepresentasikan sekumpulan
pemuda yang ingin menunjukkan kemampuannya lewat sebuah band.
Menariknya, band yang diberi nama Yowis Ben ini mengusung lagu-lagu yang
berbahasa Jawa seperti Gak Iso Turu (Tidak bisa tidur), Konco Sing Apik (Teman
yang baik), Mangan Pecel (Makan Pecel), dan Ojo Bolos Pelajaran (Jangan Bolos
Pelajaran). Lagu-lagu yang begitu sarat makna dan pesan moral.
5. Pembahasan
Remaja dalam film Yowis Ben merupakan konstruksi remaja di film remaja
pada umumnya. Belajar di sekolah menengah, membentuk music band, dan mulai
mengalami ketertarikan romantis. Gambaran dominan tersebut kemudian
dihantarkan dengan bahasa yang tidak dominan. Penggunaan bahasa daerah
Jawa dialek Jawa Timur 80% di film Yowis Ben adalah logis mengingat film tersebut
berlatar tempat di Malang, Jawa Timur.
Selain itu, pemilihan aktor asal dan beberapa landmark di Malang juga
semakin menguatkan bahwa Yowis Ben ingin menggoyang hegemoni film remaja
Indonesia yang Jakarta-sentris. Antonio Gramsci-yang sangat kuat dipengaruhi
tulisan-tulisan Karl Marx-menjelaskan (Griffin, 2011: 346), hegemoni adalah
dominasi atau pengaruh berlebihan suatu negara terhadap negara lain. Dalam
konteks ekonomi, kelompok yang menguasai aset dan kapital akan menguasai
kekuatan ekonomi (Lule, 2010: 602). Dalam konteks kebudayaan dalam film YWB,
berarti dominasi budaya Jakarta terhadap budaya bukan Jakarta.
Dalam satu adegan, seorang teman band Bayu sempat heran mengapa
sejak berpacaran dengan Susan Bayu mulai mengubah bahasa kesehariannya
menjadi Bahasa Indonesia? Di titik itu, Bayu yang tergila-gila pada Susan tentu tak
peduli. Ia sedang terbuai kebahagiaan yang meluap-luap sebab bisa memacari
gadis pujaan yang tidak se-Jawa dirinya. Kesan bahwa prestasi seorang Jawa
adalah dengan bisa memacari anak yang gaul adalah sebuah klise dalam film
televisi (FTV) atau sinetron Indonesia dan stereotipnya (Tirto.id, 2018).
Meski berbahasa Jawa dengan dialek Jawa Timur, film Yowis Ben diproduksi rumah
produksi Starvision Plus yang berlokasi di Jakarta. Sejak 1997 hingga saat ini,
Starvision telah merilis 95 judul film, Yowis Ben merupakan film pertama
Starvision yang didominasi bahasa daerah. (filmindonesia.or.id, 2018)
6. Kesimpulan
Dalam setiap produksi karya film, selalu terbagi menjadi 2 jenis, yaitu film
box office dan film festival. Dimana karakteristik keduanya sangat berbeda. Film
box office dikenal sebagai karya yang menyuguhkan kebutuhan penonton akan
hiburan tontonan massal, sedangkan film festival menyuguhkan kebutuhan akan
film personal, sesuai selera dan referensi (filmindonesia.or.id, 2013).
Gambar 8. Peran dan posisi film