Anda di halaman 1dari 7

Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.

1, Maret 2015, hal 38-44


pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203

PELAYANAN KEPERAWATAN PRIMA BERBASIS BUDAYA


BERPENGARUH TERHADAP TINGKAT KEPUASAN PASIEN
DI RUMAH SAKIT
Suroso1,2*, Rr Tutik Sri Haryati3, Mustikasari3, Enie Novieastari3

1. Rumah Sakit TNI AL Dokter Soedibjo Sardadi, Jayapura 59112, Indonesia


2. Program Studi Magister, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
3. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

*E-mail: nifina_farhan@yahoo.com

Abstrak

Kepuasan pelanggan terhadap pelayanan kesehatan yang diterima dapat diwujudkan dengan melaksanakan pelayanan
prima. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pelayanan prima berbasis budaya terhadap tingkat kepuasan pasien di
rumah sakit. Metode penelitian menggunakan quasi experiment dengan rancangan pre and post with control group design.
Jumlah sampel adalah tiga puluh lima perawat dan seratus empat puluh pasien. Teknik pengambilan sampel untuk perawat
menggunakan total sampling, sementara untuk pasien dilakukan dengan consecutive sampling. Hasil penelitian menunjukkan
adanya pengaruh yang bermakna (p< 0,05) terhadap tingkat kepuasan pasien setelah perawat mendapatkan pelatihan
pelayanan prima berbasis budaya pada sebelum dan sesudah di kelompok intervensi. Rekomendasi yang dapat diberikan
adalah perlunya meningkatkan peran supervisi agar keberlangsungannya tetap terjaga. Selain itu, untuk penelitian berikut
dapat juga dilakukan dengan model triangulasi.

Kata kunci: budaya, keperawatan, kepuasan pasien, pelayanan prima

Abstract

Nursing Care Prima Culture-Based Influence to Patient Satisfaction in Hospitals. This research aimed to determine
the effect of service excellent based on culture to patient satisfaction level in installation of hospitalization Hospital
Jayapura. This research is a quasi experiment with pre and post with control group design. The number of samples is
someone 35 nurses and 140 patients. The results showed have significant effect (p< 0.05) on the level of patient
satisfaction after nurses receive training excellent service based onculture pre and post intervention group.
Recommendations can be given is the need to enhance the role of supervision in order to maintain continuity, for the
following research maybe done by triangulation models.

Keywords: culture, nursing, patient satisfaction, service excellence

Pendahuluan menjelaskan, menginterpretasikan, dan mem-


prediksikan fenomena asuhan keperawatan serta
Pelayanan prima dalam keperawatan adalah memberikan panduan dalam pengambilan ke-
pelayanan yang berdasarkan perilaku caring, putusan dan tindakan keperawatan. Keperawatan
dengan sepuluh karatif caring. Menurut Leinenger transkultural adalah disiplin ilmu perawatan
dan McFarland (2002), yang didasarkan pada humanistik dan profesi yang memiliki tujuan
kebudayaan adalah suatu aspek esensial untuk utama untuk melayani individu dan kelompok.
memperoleh kesejahteraan, kesehatan, partum-
buhan dan ketahanan, serta kemampuan untuk Praktik perawatan dipengaruhi oleh keyakinan
menghadapi rintangan maupun kematian. Pera- dan nilai budaya yang cenderung tertanam dalam
watan yang mendasarkan budaya adalah bagian pandangan dunia, bahasa, filosofi, agama, ke-
komprehensif serta holistik untuk mengetahui, keluargaan, sosial, politik, pendidikan, ekonomi,
Suroso, et al., Pelayanan Keperawatan Prima Berbasis Budaya Berpengaruh 39

teknologi, etnohistory, dan lingkungan kebudayaan. kompetensi peka budaya juga meningkatkan
Keperawatan yang berdasarkan budaya dapat kepercayaan pasien dan kepuasan pasien (DeRosa
meningkatkan kepuasan pasien sehingga dapat & Kochurka, 2006).
memengaruhi derajat kesehatan dan kesejahteraan
individu, keluarga, kelompok, dan komunitas Nilai kultural adalah prinsip-prinsip atau kualitas
di dalam lingkungannya. Keperawatan yang ber- yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat
dasarkan budaya dapat terwujud apabila pola, dan diyakini tentang hal-hal baik dan berguna
nilai budaya dan perawatan digunakan secara bagi kelompoknya. Setiap kelompok masyarakat
tepat, aman dan bermakna (Bhui, Warfa, Edonya, mempunyai nilai-nilai yang berbeda. Perawat
McKenzie, & Bhugra, 2007). sebagai tenaga profesional harus mempunyai
pengetahuan yang cukup tentang nilai-nilai yang
Raso (2006) menyatakan bahwa memahami dianut oleh kliennya sehingga interaksi dapat
bahasa sangat penting. Ketidakmampuan untuk berjalan dengan baik (Sumijatun, 2011).
berkomunikasi tidak hanya membuat frustasi
bagi kedua belah pihak, tetapi juga menimbulkan Perawat sebagai bagian dari sumberdaya manusia
risiko keselamatan pasien dalam rangka untuk yang bekerja di rumah sakit (RS) memiliki nilai
merencanakan dan mengoordinasikan sesuai budaya tertentu, yang menyangkut masyarakat
perawatan. Douglas, et al., (2009) menyatakan kecil dengan kebudayaannya sendiri yang sangat
bahwa perawat perlu mendapatkan pendidikan mirip dengan suatu desa petani atau suatu masya-
tentang budaya dalam melakukan pelayanan, rakat rumpun kecil dengan suatu kebudayaan
sehingga perawat mempunyai kompetensi atau tertentu (Foster & Anderson, 2009). Meskipun
kemampuan tentang kebudayaan pasien yang demikian, rumah sakit memiliki kebudayaannya
dirawat. Standar praktik untuk kompetensi sendiri, kebudayaan secara umum sulit untuk
perawat berbasis budaya terdiri atas keadilan dicirikan, keperawatan merupakan ilmu tentang
sosial, pemikiran kritis, pengetahuan tentang manusia dan pengalaman sehat-sakit manusia
perawatan lintas budaya, praktik lintas budaya, yang disampaikan melalui transaksi profesional,
sistem kesehatan dan organisasi, pemberdayaan ilmiah, estetis, dan etis. Perawatan kesehatan yang
dan advokasi pasien, tenaga kerja yang bermacam benar adalah yang berfokus pada gaya hidup,
ragam budaya, pendidikan dan pelatihan, komu- kondisi sosial dan lingkungan, bukan proses
nikasi lintas budaya, kepemimpinan lintas budaya, diagnosa penyakit atau pengobatan (Watson,
kebijakan pengembangan, dan penelitian berbasis 2002; Tomey & Alligood, 2006).
evidence base.
Menurut Bosek dan Savage (2007), perawat perlu
Model keperawatan transkultural adalah panduan melengkapi dirinya dengan cultural competency,
yang baik bagi perawat dalam memberikan terutama bagi perawat yang bertugas pada tatanan
pelayanan kepada pasien dengan struktur budaya komunitas. Apabila klien dirujuk dan dirawat
masyarakat yang bermacam ragam (Gulbu, 2006; di rumah sakit, klien akan membawa budaya
Maier-Lorentz, 2008; Foster & Anderson, 2009). yang selama ini dianut sehingga perlu bantuan
perawat dalam beradaptasi dengan lingkungannya
Kemampuan tentang budaya dalam keperawatan yang baru. Kebiasaan hidup klien sehari-hari
profesional sangat penting untuk mengatasi masa- dapat berubah secara drastis, seperti kebiasaan
lah kesehatan pasien. Perawatan peka budaya makan, mandi, tidur, dan sebagainya. Oleh karena
mengelola konflik yang dapat menyebabkan itu, perawat perlu memahami aspek budaya yang
frustrasi, baik kepada pasien maupun keluarga. dianut kliennya. Dengan demikian, pengkajian
Manfaat yang diperoleh dengan menyiapkan perlu dilakukan secara komprehensif dan juga
kompetensi budaya kesehatan adalah mening- melibatkan orang-orang terdekat klien.
katkan efisiensi waktu. Pasien lebih mendapat
informasi dan dapat menurunkan rasa stress Penelitian ini dilakukan di sebuah rumah sakit
pada pasien dan tenaga perawat, kemampuan di Papua dengan dilatarbelakangi bahwa pasien
40 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 38-44

banyak mengeluh tentang sikap perawat yang Pada kelompok perlakuan diberi pelatihan tentang
kurang perhatian dalam pemberian pelayanan pelayanan prima, sedangkan kelompok kontrol
sebesar 48%, perawat kurang komunikasi terhadap tidak diberi pelatihan. Sebelum perlakuan
pasien dan keluarga 53%, sikap perawat yang terhadap kedua kelompok dilakukan melalui
lambat dalam merespons keluhan atau panggilan pengukuran awal (pretest) untuk tingkat kepuasan
pasien sebesar 46%, sarana dan prasarana penun- responden atau pasien. Setelah intervensi, dilaku-
jang yang kurang memuaskan sebesar 30%. kan pengukuran akhir (post test) terhadap semua
kelompok untuk menentukan efek perlakuan
Berdasarkan hasil wawancara dengan lima orang inap. pada responden yang dalam hal ini pasien
perawat tentang tingkat kepuasan pasien dida- rawat
patkan hasil bahwa hampir setiap bulan terjadi
komplain atau keluhan baik dari pasien maupun Hasil analisis data univariat untuk data numerik
keluarga. Keluhan yang dirasakan adalah sikap disajikan dalam bentuk mean (rerata), median,
petugas administrasi yang kurang ramah, sikap standar deviasi, nilai maksimum-minimum,
perawat yang cerewet, judes, dan lamban dalam dan CI 95%. Sementara data kategori disajikan
merespons keluhan pasien serta komunikasi yang dalam bentuk distribusi frekuensi dan proporsi.
kurang baik terhadap pasien. Selanjutnya dilakukan uji kesetaraan karakteristik
pasien (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan,
Hasil observasi penulis juga mendapatkan bahwa penghasilan, dan suku/budaya) dan karakteristik
sebagian besar perawat terutama yang shift perawat (umur, status kepegawaian, dan tingkat
sore atau malam tidak memakai seragam yang pengetahuan) menggunakan uji Chi Square (CS).
lengkap, ada yang memakai sandal jepit, ada yang Hasil uji kesetaraan karakteristik pasien dan
tidak memakai kap, ada yang menggunakan karakteristik perawat didapatkan data yang
seragam atasan saja, ada yang memakai seragam homogen. Kemudian dilanjutkan dengan analisis
hanya bawahan saja, penampilan terlihat kurang bivariat menggunakan uji Paired t-test. Pene-
rapi, dan kurang komunikasi kepada pasien. Ber- litian ini sudah lulus uji etik di Fakultas Ilmu
dasarkan kondisi tersebut, pertanyaan penelitian Keperawatan Universitas Indonesia (FIK UI).
adalah “apakah ada pengaruh pelayanan prima
berbasis budaya terhadap tingkat kepuasan Hasil
pasien di rumah sakit X Jayapura?”
Intervensi yang dilakukan dengan memberikan
Metode pelatihan pelayanan prima berbasis budaya selama
dua hari untuk dua gelombang. Pelatihan yang
Penelitian ini adalah penelitian quasi experiment diberikan kepada perawat kelompok intervensi
dengan rancangan pre and post with control meliputi materi pelayanan prima, caring, komuni-
group design. Jumlah sampel adalah tiga puluh kasi terapeutik, dan budaya. Setelah mendapatkan
lima perawat dan seratus empat puluh pasien. materi pelatihan dilakukan kegiatan role play,
Teknik pengambilan sampel untuk perawat tentang cara komunikasi dengan pasien meng-
menggunakan total sampling, sementara untuk gunakan dialek Papua, peserta disimulasikan
pasien dilakukan dengan consecutive sampling. sebagai pasien dan perawat. Kegiatan ini
berlangsung selama dua jam, memang tidak
Perawat yang menjadi responden dalam penelitian semua peserta mendapat kesempatan untuk
ini ada dua, yaitu perawat dalam kelompok melakukan simulasi karena keterbatasan waktu
intervensi berasal dari RS X dan perawat pelatihan.
dalam kelompok kontrol berasal dari RS Y.
Sementara pasien yang dirawat inap sebagai Kegiatan selanjutnya adalah pendampingan,
responden yang berasal dari RS X (kelompok pendampingan untuk perawat pelaksana dilakukan
intervensi) dan pasien yang dirawat inap sebagai selama dua minggu, perawat diberikan pendam-
responden berasal dari RS Y (kelompok kontrol). pingan oleh peneliti dibantu oleh tiga kepala
Suroso, et al., Pelayanan Keperawatan Prima Berbasis Budaya Berpengaruh 41

ruang. Kegiatan pendampingan meliputi kegiatan sehingga ada yang melakukan dan ada yang
pelayanan prima berbasis budaya, seperti cara tidak. Selain itu, belum adanya aturan yang
menyapa pasien dengan dialek Papua, cara men- tertulis berapa kali pasien diberi kesempatan,
jelaskan informasi berkaitan dengan pelayanan berapa lama waktu yang disediakan, dan perlu
keperawatan yang diberikan kepada pasien, adanya pemberitahuan dari keluarga untuk bisa
cara memfasilitasi pasien jika ada kunjungan dijadwalkan dalam kegiatan harian perawat untuk
dari keluarga, tetangga, atau perkumpulan gereja. memfasilitasi keluarga dalam memberikan doa
Kendala yang dihadapi pada saat pendampingan kepada pasien sehingga tidak terjadi penumpukan
adalah kurangnya tenaga pendamping atau atau jadwal yang sama dalam satu waktu.
mentor sehingga hanya kepala ruang yang
diharapkan bisa memberikan pendampingan. Kegiatan pelayanan prima berbasis budaya
Jika kepala ruangan memiliki jadwal yang yang lain adalah dengan menganalisis budaya
padat, seperti rapat, dan kegiatan sosialisasi, masyarakat Papua yang biasa makan pinang,
perawat pelaksana sedikit sekali mendapatkan dan membuang ludah pinang di sembarang
bimbingan. tempat. Berdasarkan hal tersebut, perawat
berinisiatif untuk menyediakan suatu tempat
Kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan prima yang sudah disiapkan, seperti bak pasir tempat
berbasis budaya yang dilakukan di rumah sakit membuang ludah pinang, para pasien atau
kelompok intervensi, yaitu dengan memfasilitasi pengunjung yang akan makan pinang diarahkan
pengunjung pasien yang membesuk untuk diberi ketempat tersebut, secara fasilitas tempat tersebut
waktu dalam memberikan doa kepada pasien. masih perlu pembenahan agar representatif.
Pasien yang mendapat kunjungan dari kelompok Tanggapan dari keluarga pasien atau pengunjung
gereja atau jemaatnya disiapkan ruangan khusus. juga baik, bahkan ada yang menyarankan agar
Dalam kegiatan ini, sementara, ruangan yang ruangannya diperluas dan dibuat permanen
dipakai adalah ruangan pertemuan perawat. Pasien sehingga para pengunjung dapat menikmatinya
yang mendapat kunjungan dari jemaat gereja dengan nyaman.
di dorong ke ruangan tersebut, di sinilah para
jemaat atau keluarga yang ingin mendoakan Tabel 1 menunjukkan bahwa rerata skor kepuasan
diberi waktu 15-20 menit untuk mendoakan pasien sebelum intervensi adalah -8,81 dan
agar pasien lekas sembuh. Ternyata kegiatan rerata skor kepuasan pasien setelah intervensi
yang dilakukan seperti ini mendapatkan respons menjadi 4,95. Hal ini menunjukkan adanya
positif dari pasien dan keluarga serta pengun- peningkatan rerata skor kepuasan pasien sebelum
jung sehingga banyak keluarga dan pengunjung dan sesudah pelaksanaan intervensi pelatihan
pasien yang menyatakan bahwa hal semacam pelayanan prima berbasis budaya pada kelompok
ini baik dan tetap terus untuk ditingkatkan dan intervensi (p= 0,000). Artinya ada pengaruh
dipertahankan. Pelaksanaan kegiatan ini belum pelatihan pelayanan prima berbasis budaya ter-
tersosialisasi dengan baik ke seluruh petugas hadap kepuasan pasien pada kelompok intervensi.

Tabel 1. Perbedaan Kepuasan Pasien Sebelum dan Sesudah Pelatihan terhadap Kelompok Intervensi dan
Kontrol

Mean SD CI 95% p
Kelompok intervensi
a. Pretest -8.81 14.226 -20,26–7,24 0,001*
b. Postest 4.95 14.795
Kelompok kontrol
a. Pretest 3,11 12,020 0,37–7,39 0,075
b. Postest 0,41 8,930
*bermakna pada α= 0,05
42 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 38-44

Hasil analisis pada Tabel 1 menunjukkan bahwa terhadap pasien dan keluarga. Akhtari-Zavare,
skor rerata kepuasan pasien sebelum intervensi Abdullah, Hassan, Said, dan Kamali (2010)
di kelompok kontrol terjadi penurunan tingkat menjelaskan caring adalah esensi dari kepe-
kepuasan pasien sebelum dan sesudah pelatihan rawatan yang berarti juga pertanggung jawaban
pelayanan prima berbasis budaya kontrol. hubungan antara perawat dengan klien, dimana
perawat melibatkan klien untuk berpartisipasi
Pembahasan dalam memperoleh pengetahuan, dan mening-
katkan derajat kesehatan. Caring adalah kegiatan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata skor langsung untuk memberikan bantuan, dukungan
kepuasan pasien sebelum intervensi dan setelah perilaku kepada individu atau kelompok melalui
intervensi mengalami peningkatan satu setengah antisipasi kebutuhan untuk meningkatkan kondisi
kali lipat lebih puas dari kondisi awal. Artinya ada manusia atau kehidupan (Leininger & McFarland,
pengaruh pelatihan pelayanan prima berbasis 2002).
budaya terhadap kepuasan pasien pada kelompok
intervensi. Komunikasi perawat terhadap pasien Praktik perawatan yang berbasis nilai budaya
menjadi faktor yang penting dalam pemberian dipengaruhi oleh bahasa, filosofi, agama, keke-
pelayanan prima berbasis budaya. luargaan, sosial, politik, pendidikan, ekonomi,
teknologi, etnohistory, dan lingkungan. Keun-
Pelayanan prima menurut Budiono (2012) adalah tungan dari keperawatan yang berbasis budaya
pelayanan jasa yang dapat membuat pelanggan dapat memberikan kepuasan kepada pasien
merasa mendapatkan pelayanan sesuai harapan, sehingga mempengaruhi derajat kesehatan dan
sesuai dengan indikator yang ditentukan serta kesejahteraan individu, keluarga, kelompok, dan
dapat dipertanggungjawabkan, sehingga merasa komunitas di dalam lingkungannya. Kebudayaan
puas. Pelayanan prima harus memberikan yang dan keperawatan yang seimbang dapat terwujud
terbaik bagi pelanggan, melakukan apapun yang apabila pola dan nilai-nilai perawatan digunakan
mungkin untuk memuaskan pelanggan, serta secara tepat, aman dan bermakna (Beach, et
membuat keputusan yang dapat memberikan al., 2006).
keuntungan pada pelanggan tapi tidak merugikan
perusahaan (Gerson, 2011). Pelayanan prima Faktor komunikasi. Komunikasi adalah sesuatu
dilaksanakan dalam rangkaian kegiatan secara utuh untuk dapat menyusun dan menghantarkan suatu
yang bersifat wajar, lancar, terbuka, sederhana, pesan dengan cara yang gampang sehingga orang
tepat sasaran, terjangkau, lengkap, dan tidak lain dapat mengerti dan menerima (Nursalam,
rumit. 2002). Komunikasi dalam praktik keperawatan
profesional merupakan unsur utama bagi perawat
Menurut Narayanasamy (2002), “Caring” yang dalam melaksanakan pelayanan keperawatan
berdasarkan kebudayaan adalah aspek asensial untuk mencapai hasil yang optimal. Adapun
untuk mengobati dan menyembuhkan dimana faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan
pengobatan tidak akan mungkin dilakukan tanpa komunikasi terapeutik antara lain: pendidikan,
perawatan, sebaliknya perawatan dapat tetap eksis lama bekerja, dan pengetahuan, sikap dan
tanpa pengobatan. Konsep keperawatan kultural, kondisi psikologi (Sumijatun, 2011).
arti, ekspresi, pola-pola, proses, dan struktur dari
bentuk perawatan transkultural yang beragam Komunikasi yang baik dalam pelayanan prima
dengan perbedaan dan persamaan yang ada. yang berkualitas akan membuat pasien menjadi
Setiap kebudayaan manusia memiliki pengetahuan puas. Suatu pelayanan dinilai memuaskan apabila
dan praktik keperawatan tradisional serta praktik pelayanan tersebut dapat memenuhi kebutuhan
profesional yang bersifat budaya dan individual. dan harapan pelanggan. Jika pelanggan merasa
tidak puas terhadap suatu pelayanan yang
Pelayanan prima dalam keperawatan adalah disediakan, maka pelayanan tersebut dapat
pelayanan yang didasari oleh tindakan caring dipastikan tidak efektif dan tidak efisien
Suroso, et al., Pelayanan Keperawatan Prima Berbasis Budaya Berpengaruh 43

(Suryawati, 2006). Supranto (2006) mengemukakan sehingga ilmu yang didapat setelah pelatihan
bahwa jika pelayanan keperawatan yang dapat diaplikasikan kepada pasien sehingga
dirasakan tidak sesuai dengan harapan maka meningkatkan kepuasan pasien yang dirawat.
pasien akan merasakan ketidakpuasan terhadap Sikap dan perilaku perawat juga mengalami
layanan tersebut dan akan menimbulkan keluhan perubahan dari yang kurang care menjadi lebih
atau klaim dari pasien. care terhadap pasien, lebih ramah dengan pasien,
penampilan perawat juga menjadi lebih baik,
Menurut Bail (2008) mengemukakan bahwa cara komunikasi lebih efektif dengan pasien dan
ketidakpuasan pasien dalam menerima pelayanan sebagian perawat sudah mulai menggunakan
keperawatan berhubungan dengan ketidakjelasan dialek Papua ketika berinteraksi dengan pasien,
prognosis, ketidakjelasan penyampaian informasi, khususnya pasien yang berasal dari suku Papua.
dan pembuatan keputusan. Tingkat kepuasan
pasien mengalami peningkatan setelah perawat Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat
mendapatkan pelatihan tentang pelayanan prima kepuasan pasien terhadap kelompok intervensi
berbasis budaya, artinya bahwa ada pengaruh terjadi peningkatan jika dibandingkan antara
intervensi tentang pelayanan prima berbasis sebelum pelatihan dan setelah pelatihan. Hal
budaya terhadap tingkat kepuasan pasien. ini terjadi karena pemberian pelayanan prima
berbasis budaya yang dilakukan oleh perawat
Rumah sakit mempunyai tanggung jawab untuk dapat diterima dan sesuai dengan budaya lokal
selalu meningkatkan kepuasan pasien sehingga di Papua, artinya dalam pemberian pelayanan
rumah sakit juga mempunyai tanggung jawab prima, kita perlu mempertimbangkan budaya
untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan lokal yang tidak dapat kita hilangkan, tetapi
tindakan perawatnya agar dapat memberikan dapat kita modifikasi sehingga antara budaya
pelayanan prima kepada pasien maupun keluarga. dan pelayanan dapat berjalan seiring, tujuan
akhirnya adalah kepuasan bagi pasien, keluarga
Kesimpulan maupun pengunjung (HH, TN).

Intervensi yang diberikan tentang pelayanan prima Referensi


berbasis budaya local, khususnya budaya Papua
seperti menyediakan tempat khusus bagi keluarga Bail, K. (2008). Patient and professional dissatis-
dan para pengunjung untuk memberikan doa bagi faction: A literature review of prognosis
pasien yang sakit, menyediakan bak pasir tempat communication related to hospital settings.
membuang ludah pinang, dan membudayakan Contemporary Nurse, 29 (2), 135–146.
perawat agar dalam berkomunikasi dengan pasien
Budiono. (2012). Pelayanan Prima dalam memuaskan
memakai dialek Papua mendapat respons yang
konsumen. Yogyakarta: Penerbit Buku
baik oleh pasien, keluarga maupun pengunjung Kedokteran EGC.
yang datang.
DeRosa, N., & Kochurka, K. (2006). Implement
Tingkat pengetahuan perawat terkait pelayanan culturally competent healthcare in your
prima terhadap kelompok intervensi sebelum workplace. Nursing Management, 37(10),
dan sesudah pelatihan pelayanan prima ada 18–26
peningkatan sebesar dua kali lipat, demikian
juga hasil observasi yang dilakukan terhadap Douglas, M.K., Pierce, J.U., Rosenkoetter, M., Callister,
perawat yang melakukan pelayanan prima ber- L.C., Hattar-Pollara, M., Lauderdale, J. &
basis budaya terdapat peningkatan sebesar tiga Pacquiao, D. (2009). Standards of practice for
culturally competent nursing care: A request for
kali lipat jika dibandingkan dengan sebelumnya.
comments. Journal of Transcultural Nursing, 20,
Peningkatan tersebut terjadi karena perawat 257–269. doi: 10.1177/1043659609334678
telah mendapatkan pelatihan berupa teori, juga
mendapatkan bimbingan selama dua minggu
44 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 38-44

Foster, G., & Anderson, B. (2009). Antropologi interventions. BMC Public Health, 24 (6)
kesehatan. (Priyanti Suryadarma dan Meutia 104.
F Hatta, Penerjemah). Jakarta: Universitas
Indonesia. Akhtari-Zavare, M., Abdullah, M.Y., Hassan, T.S.,
Said, S.B., & Kamali, M. (2010). Patient
Gerson, F.R. (2011). Beyound customer service, satisfaction: Evaluating nursing care for
program-program untuk mempertahankan patients hospitalized with cancer in Tehran
pelanggan. Jakarta: Lutan Edukasi. Teaching Hospitals, Iran. Global Journal of
Health Science, 2 (1), 117–126.
Gulbu, T. (2006). The implications of transcultural
nursing models in the provision of culturally Narayanasamy, A. (2002). The ACCESS model: A
competent care. Icus Nurs Web J, 25, 1–11. transcultural nursing practice framework. Br
J Nurs, 11 (9), 643–650.
Bhui, K., Warfa, N., Edonya, P., McKenzie, K., &
Bhugra, D. (2007). Cultural competence in Raso, R. (2006). Cultural competence: Integral in
mental healthcare: A review of model diverse populations. Journal of Nursing
evaluations. BMC Health Serv Res., 7 (15), Management, 37 (7), 56.
1–10. doi: 10.1186/1472-6963-7-15.
Sumijatun. (2011). Membudayakan etika dalam
Leininger, M., & McFarland, M.R. (2002). praktek keperawatan. Jakarta: Medika
Transcultural nursing: Concepts, theories, Salemba.
research, and practice. United States: The
McGraw-Hill Companies. Supranto, J. (2006). Pengukuran tingkat kepuasan
pelanggan untuk menaikkan pangsa pasar.
Maier-Lorentz, MM. (2008). Transcultural nursing Jakarta: Rineka Cipta.
is importance in nursing practice. Journal of
Cultural Diversity, 15 (1), 37–43. Suryawati, C., Dharminto., & Zahroh, S (2006).
Penyusunan indikator kepuasanpasien rawat
Beach, M.C., Gary, T.L., Price, E.G., Robinson, K., inap rumah sakit di propinsi Jawa Tengah.
Gozu, A., Palacio, A., Smarth, C., Jenckes, Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, 9
M., Feuerstein, C., Bass, E.B., Powe, N.R., (4), 177–184.
& Cooper, L.A. (2006). Improving health
care quality for racial/ethnic minorities: A Watson, J. (2002). Caring science as sacred
systematic review of the best evidence science. Philadelphia: Davis Company.
regarding provider and organization

Anda mungkin juga menyukai