Anda di halaman 1dari 29

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penyusun panjatkan ke hadirat Allah SWT karena


dengan rahmat-Nya jualah penyusun dapat menyelesaikan referat yang berjudul
“Juvenile Angiofibroma Nasofaring”.
Referat ini ditulis sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik
senior di bagian Ilmu Penyakit Telinga-Hidung-Tenggorok Fakultas Kedokteran
Universitas Abulyatama Rumah Sakit Umum Daerah Langsa dan juga sebagai salah
satu syarat untuk mengikuti ujian akhir di bagian ini.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing dr. Cut Elvira,
M.Ked ORL HSN Sp.THT-KL, yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan
kepada penulis sehingga refarat ini dapat diselesaikan.
Kritik dan saran terhadap refarat ini diharapkan dapat memberi masukan untuk
perbaikan di kemudian hari. Semoga refarat ini dapat bermanfaat dalam menambah
khasanah pengetahuan di bidang kedokteran terutama dalam bidang THT bagi para
pembacanya.

Langsa, maret 2019

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak pembuluh darah di daerah


nasofaring yang secara histologik jinak, namun secara klinis bersifat seperti tumor
ganas karena mempunyai kemampuan mendekstruksi tulang dan meluas ke jaringan
sekitarnya. Tumor ini dapat meluas ke daerah sinus paranasal, pipi, mata, dan
tengkorak, serta sangat mudah menimbulkan perdarahan dan susah untuk dihentikan.
Tumor yang kaya pembuluh darah ini memperoleh aliran darah dari arteri faringealis
asenden atau arteri maksilaris interna. Angiofibroma kaya dengan jaringan fibrosa
yang timbul dari atap nasofaring atau bagian dalam dari fossa pterigoid. Setelah
mengisi nasofaring, tumor ini meluas ke dalam sinus paranasal, rahang atas, pipi dan
orbita serta dapat meluas ke intra kranial setelah mengerosi dasar tengkorak.1
Angiofibroma nasofaring paling sering ditemukan pada anak lak-laki
prepubertas dan remaja, yang umumnya terdapat pada rentang usia 7 sampai 21 tahun
dengan insidens terbanyak antara usia 14-18 tahun. Angiofibroma nasofaring jarang
terjadi pada usia diatas 25 tahun sehingga tumor ini disebut juga Juvenile
Nasopharyngeal Angiofibroma. Istilah juvenile tidak sepenuhnya tepat, karena
neoplasma ini kadang ditemukan juga pada pasien yang lebih tua. Juvenile
Nasopharyngeal Angiofibroma jarang ditemukan dan diperkirakan hanya 0,05% dari
seluruh tumor kepala dan leher. Insiden angiofirboma nasofaring diperkirakan antara 1
: 5.000-60.000 pada pasien THT.1,2
Gejala klinik yang dapat ditemukan pada juvenile angiofibroma nasofaring
dapat berupa hidung tersumbat (80-90%), merupakan gejala yang paling sering, diikuti
epistaksis (45-60%) yang kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala (25%)
khususnya bila sudah meluas ke sinus paranasal, pembengkakan wajah (10-18%).
Gejala lain seperti anosmia, rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum serta
deformitas pipi juga dapat ditemukan pada penderita angiofibroma nasofaring.
Angiofibroma nasofaring sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus sangat hati-hati
karena sentuhan jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan perdarahan yang
ekstensif. Diagnosis angiofibroma nasofaring ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologis. Trias gejala dan tanda klinis dari tumor
ini adalah epistaksis masif berulang, sumbatan hidung dan massa di nasofaring sangat
mendukung kecurigaan adanya angiofibroma nasofaring. 2,3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Anatomi
Ruang nasofaring yang relatif kecil mempunyai hubungan yang erat dengan
beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting. Nasofaring berhubungan
dengan rongga hidung di anterior melalui koana, dan orofaring di bagian inferior
melalui bagian terbawah dari palatum molle. Sedangkan di bagian superior dan
posterior, nasofaring berhubungan dengan korpus vertebra. Tuba eustachius memasuki
nasofaring di sebelah lateralnya, dan bagian superior dan posterior muara tuba ini
ditutupi oleh kartilago, yang disebut sebagai torus tubarius. Fossa Rosenmuller (lateral
dari resesus nasofaring) terletak di bagian superior dan posterior torus tubarius dan
merupakan predileksi dari karsinoma nasofaring. Banyak terdapat foramen kranial
yang membawa struktur syaraf dan pembuluh darah penting yang terletak di dekat
nasofaring. Nasofaring diliputi oleh mukosa yang terdiri atas epitel squamous
kompleks atau epitel kolumner pseudokompleks.4

Gambar 1. Anatomi nasofaring


2.2 Definisi
Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara
histologik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan
mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal, pipi,
mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan.1,5
Sebutan lain untuk angiofibroma di dalam literatur antara lain: juvenile
angiofibroma, juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA), nasal cavity tumor,
nasal tumor, benign nasal tumor, tumor hidung (nose tumor), nasopharyngeal tumor,
atau angiofibroma nasofaring belia.6

2.3 Etiologi
Etiologi JNA masih belum jelas. Berbagai teori banyak diajukan, salah satunya
adalah teori jaringan asal,yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan spesifik
angiofibroma adalah didinding posterolateral atap rongga hidung. Faktor ketidak
seimbangan hormonal juga banyak dikemukakan sebagai penyebab dari tumor ini,
bahwa JNA berasal dari sex steroid-stimulated hamartomatous tissue yang terletak di
turbinate cartilage. Pengaruh hormonal yang dikemukakan ini dapat menjelaskan
mengapa beberapa JNA jarang terjadi (ber-involute) setelah masa remaja (puberty).
1,4,6,8

2.4 Patogenesis
Permukaan tumor dilapisi oleh mukosa yang dibawahnya terdapat anyaman
pembuluh darah. Massa tumor terdiri dari jaringan ikat padat dan gumpalan sel serta
terisi pembuluh vena lebar yang menumpuk di bagian pinggir. Tumor ini tidak
bermetastasis tetapi dapat tumbuh mendesak, dapat menginvasi orbita, sinus paranasal,
fossa pterigoid dan temporal atau ke ruang intrakranial. Tumor pertama kali tumbuh di
bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan lateral koana di atap nasofaring. Tumor
akan tumbuh besar dan meluas dibawah mukosa sepanjang atap nasofaring, mencapai
tepi posterior septum dan meluas ke arah bawah membentuk tonjolan massa diatap
rongga hidung posterior.
Perluasan ke arah anterior akan mengisi rongga hidung, mendorong septum ke
sisi kontralateral dan memipihkan konka. Pada perluasan kearah lateral, tumor melebar
kearah foramen sfenopalatina, masuk ke fisura pterigomaksila dan akan mendesak
dinding posterior sinus maksila. Bila meluas terus, akan masuk ke fossa intratemporal
yang akan menimbulkan benjolan di pipi, dan “rasa penuh” di wajah. Apabila tumor
mendorong salah satu atau kedua bola mata maka akan tampak gejala yang khas pada
wajah, yang akan disebut “muka kodok”.1,8
Perluasan ke intrakranial dapat terjadi melalui fossa infratemporal dan
pterigomaksila masuk ke fossa serebri media. Dari sinus ethmoid masuk ke fossa
serebri anterior atau dari sinus sfenoid ke sinus kavernosus dan fossa hipofise.1

Gambar 2. Angifibroma nasofaring yang sudah dioperasi

2.5 Gejala klinik


Gejala yang sering ditemukan adalah sumbatan hidung yang progresif dan
epistaksis berulang yang masif. Timbul rinorea kronik diikuti gangguan penciuman,
rinolalia, dan anosmia. Tuli atau otalgia akibat okulasi pada tuba eustachius, dan dapat
terjadi otitis media. Sefalgia hebat terjadi bila tumor sudah meluas ke intrakranial.
Dapat pula menyebabkan deformitas pada muka, disfagi, proptosis dan gangguan
visus. Gejala-gejala dini adalah kongesti dari sumbatan hidung dengan disertai
perdarahan. Perdarahan ini kadang-kadang merupakan komplikasi berat. Suara
menjadi datar atau “mati”, pernafasan dan proses menelan terhalang jika proses
berlanjut. Pada stadium lanjut timbul rasa nyeri dan sekret muko purulen. Jika
pertumbuhan tumor mencapai besar tertentu, maka wajah seperti “muka kodok” jelas
terlihat, tulang maksila merenggang dan tampak eksopthalmus yang menonjol. Sering
disertai “aprosexsia” dan rasa ngantuk.5,7
Gejala lanjut meningkat lebih berat sesuai dengan makin besarnya tumor, sampai
penyerapan jaringan tulang meningkat, kecuali jika tumor meluas ke luar rongga hidung
atau faring, seperti misalnya ke rongga intrakranial. Pada keadaan ini nekrosis akibat
penekanan tulang tidak terlalu besar.7

2.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang
seperti x-foto polos, CT scan, angiografi atau MRI. Gejala yang paling sering
ditemukan (>80%) ialah hidung tersumbat yang progresif dan epistaksis yang berulang
dan masif, infeksi sekunder dapat terjadi pada ruangan di belakang hidung akibat
berkurangnya drainase di tempat tersebut.2 Gejala-gejala lain muncul tergantung dari
luasnya tumor dan arah pembesarannya.1,2

Gambar 2. Penampang koronal CT scan yang memperlihatkan adanya lesi angiofibroma yang mengisi
cavum nasal kiri dan sinus ethmoid, memenuhi sinus maksilaris dan menyebabkan deviasi septum nasi
ke kanan

Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi posterior akan terlihat massa tumor
yang konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu sampai merah muda.
Bagian tumor yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh selaput lendir berwarna
keunguan, sedangkan bagian yang meluas ke luar nasofaring berwarna putih atau abu-
abu. Pada usia muda warnanya merah muda, pada usia yang lebih tua warnanya
kebiruan, karena lebih banyak komponen fibromanya. Mukosanya mengalami
hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan adanya ulserasi.1
Karena tumor sangat mudah berdarah, sebagai pemeriksaan penunjang
diagnosis dilakukan pemeriksaan radiologik konvensional CT scan serta pemeriksaan
arteriografi. Pada pemeriksaan radiologik konvensional (foto kepala potongan antero-
posterior, lateral dan posisi waters) akan terlihat gambaran klasik yang disebut sebagai
tanda “Holman Miller” yaitu pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang,
sehingga fisura pterigopalatina melebar. Akan terlihat juga adanya massa jaringan
lunak di daerah nasofaring yang dapat mengerosi dinding orbita, arkus zigoma dan
tulang disekitar nasofaring. Pada pemeriksaan CT scan dengan zat kontras akan tampak
secara tepat perluasan massa tumor serta destruksi tulang ke jaringan sekitarnya.1,4
Pada pemeriksaan arteriografi arteri karotis interna, akan memperlihatkan
vaskularisasi tumor yang biasanya berasal dari cabang a. maksila interna homolateral.
Kadang-kadang juga sekaligus dilakukan embolisasi agar terjadi trombosis
intravaskular, sehingga vaskularisasi berkurang dan akan mempermudah
pengangkatan tumor.1
Pemeriksaan patologi anatomik tidak dapat dilakukan, karena biopsi
merupakan kontraindikasi, sebab akan mengakibatkan perdarahan yang masif.2

Gambar 3. Gambaran angiogram yang memperlihatkan adanya angifibroma sebelum


emboli

Gambar 4. Gambaran angiogram yang memperlihatkan adanya angiofibroma setelah emboli


Untuk menentukan perluasan tumor, dibuat sistem staging. Ada 2 sistem
yang paling sering digunakan yaitu Sessions dan Fisch.1,3
Klasifikasi menurut Sessions sebagai berikut :
- Stage IA :Tumor terbatas pada nares posterior dan/atau nasofaring
- Stage IB :Tumor melibatkan nares posterior dan/atau nasofaring
dengan perluasan ke satu sinus paranasal.
- Stage IIA : Perluasan lateral minimal ke dalam fossa pterygomaksila.
- Stage IIB : Mengisi seluruh fossa pterygomaksila dengan atau tanpa erosi
ke tulang orbita.
- Stage IIIA :Mengerosi dasar tengkorak; perluasan intrakranial yang
minimal.
- Stage IIIB : Perluasan ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke
dalam sinus kavernosus.

Klasifikasi menurut Fisch :


Stage I : Tumor terbatas pada kavum nasi, nasofaring tanpa destruksi
tulang.
Stage II : Tumor menginvasi fossa pterygomaksila, sinus paranasal
dengan destruksi tulang. Stage
Stage III : Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dan/atau daerah
parasellar sampai sinus kavernosus
Stage IV : Tumor menginvasi sinus kavernosus, chiasma
dan/atau fossa pituitary
:
2.7 Histopatologi
Pada pemeriksaan histopatologi angiofibroma nasofaring, ditemukan jaringan
fibrous yang matur yang terdiri dari berbagai ukuran pembuluh darah dengan dinding
yang tipis. Pembuluh darah tersebut dibatasi endotelium tetapi pada dinding pembuluh
darahnya sedikit mengandung elemen kontraktil otot yang normal. Hal inilah yang
menyebabkan angiofibroma nasofaring mudah berdarah.

Gambar 5. Gambaran histopatologi angiofibroma nasofaring

2.8 Penatalaksanaan
Tindakan operasi merupakan pilihan utama selain terapi hormonal atau
radioterapi, namun ada buku yang menyebutkan bahwa tumor ini cenderung
mengalami regresi ketika penderita tumor ini masuk ke masa pubertas, jadi operasi
diindikasikan jika ada komplikasi akibat tumor ini seperti jika angiofibroma tumbuh
membesar, menghalangi saluran udara atau menyebabkan epistaksis menahun.1,4
Operasi tumor ini sendiri harus dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas cukup,
karena resiko perdarahan yang hebat. Berbagai pendekatan operasi dapat dilakukan
sesuai dengan lokasi tumor dan perluasannya, seperti melalui transpalatal, rinotomi
lateral, rinotomi sublabial atau kombinasi dengan kraniotomi bila sudah meluas ke
intrakranial. Untuk tumor yang sudah meluas ke jaringan sekitarnya dan mendestruksi
dasar tengkorak sebaiknya diberikan radioterapi prabedah yakni dengan penanaman
radium dan sinar rontgen yang dilanjutkan dengan elektrokoagulasi atau dapat pula
diberikan terapi hormonal meskipun hasilnya tidak sebaik radioterapi.3 Pada
pemberian hormonal terapi menggunakan testosterone receptor blocker flutamide
didapatkan penurunan staging pada staging I dan II sebesar 44%.3
Perlu dicatat bahwa pengangkatan tumor seringkali sulit dilakukan karena
tumor terbungkus dan menyusup ke dalam, sehingga setelah pengangkatan tumor
seringkali terjadi kekambuhan. Cara lain yang dapat digunakan yaitu embolisasi
(penyumbatan arteri dengan suatu bahan) yang bisa menyebabkan terbentuknya
jaringan parut pada tumor dan menghentikan perdarahan. Embolisasi dilakukan dengan
cara menyuntikkan suatu zat ke dalam pembuluh darah untuk menyumbat aliran darah
yang melaluinya. Embolisasi efektif untuk mengatasi perdarahan hidung dan tindakan
ini bisa diikuti dengan pembedahan untuk mengangkat tumor.6

2.7 Prognosis
Prognosis lebih baik jika cepat diketahui dan segera di ekstirpasi juga lebih
menguntungkan jika umur diatas 25 tahun. Dengan kata lain, fibroma kecil yang tidak
memenuhi rongga nasofaring lebih muda diangkat daripada yang telah memenuhi
rongga tersebut sesudah umur 25 tahun pertumbuhan cenderung berkurang.6
Pada kasus-kasus di mana pertumbuhan tumor dapat diatasi dengan
pambedahan dapat dikatakan memiliki prognosis yang baik. Biasanya ini terjadi pada
pasien dengan usia yang lebih tua. Pada kasus yang lain, terutama pada pasien berusia
lebih muda, tumor jenis ini dapat berkembang menjadi degenerasi yang ganas dan
memiliki prognosis yang buruk.1
BAB III

KESIMPULAN

Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara


histologik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan
mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal, pipi,
mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan. Angiofibroma
nasofaring khusus menyerang jenis kelamin laki-laki prepubertas dan remaja.
Etiologi tumor ini masih belum jelas, ada dua teori yaitu teori asal jaringan asal
dan teori ketidakseimbangan hormonal.
Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan
lateral koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas dibawah
mukosa sepanjang atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke arah
bawah membentuk tonjolan massa diatap rongga hidung posterior.
Gejala yang sering ditemukan adalah sumbatan hidung yang progresif dan
epistaksis berulang yang masif. Gejala-gejala lain muncul tergantung dari luasnya
tumor dan arah pembesarannya.
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang
seperti x-foto polos, CT scan, angiografi atau MRI. Tindakan operasi merupakan
pilihan utama selain terapi hormonal atau radioterapi.
Pada kasus-kasus di mana pertumbuhan tumor dapat diatasi dengan
pambedahan dapat dikatakan memiliki prognosis yang baik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Roezin A. Dharmabaktio S. Angiofibroma Nasofaring Belia. Dalam: Soepardi


AIN, editors: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher.
Edisi keenam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007:188-190.
2. Asroel HA, Angiofibroma Nasofaring Belia, http://library.usu.ac.id, diakses
tanggal 20 April 2007.
3. Mansfield E. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. June 26, 2006. Available
from : http:/www.emedicine.com/med/topic 2758.htm.
4. Adam G. Penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam : EffendiH, Santoso
K, editors Boeis. Buku Ajar Penyakit THT, Jakarta: EGC,1991:322-346
5. Mansjoer A, Triyanti K,Savitri R, Wardhani IW, Setiowulan W. Angiofibroma
Nasofaring Belia. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1. Jakarta.1999.111
6. Pradhana D. 2009. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Referat Kepaniteraan
Klinik Ilmu Penyakit THT Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. Jakarta.
7. Ballengger JJ.Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala Dan leher, jilid 1.
Edisi 13. Jakarta: Binarupa Aksara, 1994.
8. Anonymous, Juvenile Angifibroma Nasopharynx , http://www.brownmed.com,
9. diakses tanggal 22 April 2007

Anda mungkin juga menyukai