Disusun Oleh :
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS TRUNOJOYO
BANGKALAN MADURA
2010
DAFTAR ISI
I. Kata Pengantar...........................................................................i
A. Kesimpulan..........................................................................8
B. Saran 8
Daftar Pustaka
Kata Pengantar
Sampang,15-juli-2010
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
B. Rumusan masalah
Dalam penyusunan makalah ini kami lebih menitik beratkan pada pembahasan
tentang :
C. Tujuan pembahasan
Riba bukan cuma persoalan masyarakat Islam, tapi berbagai kalangan di luar
Islam pun memandang serius persoalan riba. Kajian terhadap masalah riba dapat dirunut
mundur hingga lebih dari 2.000 tahun silam. Masalah riba telah menjadi bahasan
kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi. Kalangan Kristen dari masa ke masa
juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba.
Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman
adalah haram. Ini dipertegas dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 275 :
Pandangan ini juga yang mendorong maraknya perbankan syariah dimana konsep
keuntungan bagi penabung didapat dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga seperti
pada bank konvensional, karena menurut sebagian pendapat (termasuk Majelis Ulama
Indonesia), bunga bank termasuk ke dalam riba. bagaimana suatu akad itu dapat
dikatakan riba? hal yang mencolok dapat diketahui bahwa bunga bank itu termasuk riba
adalah ditetapkannya akad di awal. jadi ketika kita sudah menabung dengan tingkat suku
bunga tertentu, maka kita akan mengetahui hasilnya dengan pasti. berbeda dengan prinsip
bagi hasil yang hanya memberikan nisbah bagi hasil bagi deposannya. dampaknya akan
sangat panjang pada transaksi selanjutnya. yaitu bila akad ditetapkan di awal/persentase
yang didapatkan penabung sudah diketahui, maka yang menjadi sasaran untuk menutupi
jumlah bunga tersebut adalah para pengusaha yang meminjam modal dan apapun yang
terjadi, kerugian pasti akan ditanggung oleh peminjam. berbeda dengan bagi hasil yang
hanya memberikan nisbah tertentu pada deposannya. maka yang di bagi adalah
keuntungan dari yang didapat kemudian dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati oleh
kedua belah pihak. contoh nisbahnya adalah 60%:40%, maka bagian deposan 60% dari
total keuntungan yang didapat oleh pihak bank.
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua.Yaitu riba hutang-piutang dan
riba jual-beli.Riba hutang-piutang terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah.
Sedangkan riba jual-beli terbagi atas riba fadhl dan riba nasi’ah.
Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang
berhutang (muqtaridh).
Riba Jahiliyyah
Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar
hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
Riba Fadhl
Riba Nasi’ah
“Jika engkau meminjamkan uang kapada salah seorang ummatku, orang yang
miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap
dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya.”
“Dari orang asing boleh engkau memungut bunga, tetapi dari saudaramu
janganlah engkau memungut bunga … supaya TUHAN, Allahmu, memberkati engkau
dalam segala usahamu di negeri yang engkau masuki untuk mendudukinya."
Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas. Namun,
sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6:34-5
sebagai ayat yang mengecam praktek pengambilan bunga. Ayat tersebut menyatakan :
“Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap
akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun
meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak.
Tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan
tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-
anak Tuhan Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu
berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat.”
“Dari orang asing boleh engkau memungut bunga, tetapi dari saudaramu janganlah
engkau memungut bunga … supaya TUHAN, Allahmu, memberkati engkau dalam segala
usahamu di negeri yang engkau masuki untuk mendudukinya.”
Pada masa ini, umumnya pengambilan bunga dilarang. Mereka merujuk masalah
pengambilan bunga kepada Kitab Perjanjian Lama yang juga diimani oleh orang Kristen.
St. Basil (329 - 379) menganggap mereka yang memakan bunga sebagai orang yang tidak
berperi-kemanusiaan. Baginya, mengambil bunga adalah mengambil keuntungan dari
orang yang memerlukan. Demikian juga mengumpulkan emas dan kekayaan dari air mata
dan kesusahan orang miskin.
St. Gregory dari Nyssa (335 - 395) mengutuk praktek bunga karena menurutnya
pertolongan melalui pinjaman adalah palsu. Pada awal kontrak seperti membantu tetapi
pada saat menagih dan meminta imbalan bunga bertindak sangat kejam. St. John
Chrysostom (344 - 407) berpendapat bahwa larangan yang terdapat dalam Perjanjian
Lama yang ditujukan bagi orang-orang Yahudi juga berlaku bagi penganut Perjanjian
Baru. St. Ambrose mengecam pemakan bunga sebagai penipu dan pembelit (rentenir). St.
Augustine berpendapat pemberlakuan bunga pada orang miskin lebih kejam
dibandingkan dengan perampok yang merampok orang kaya. Karena dua-duanya sama-
sama merampok, satu terhadap orang kaya dan lainnya terhadap orang miskin. St. Anselm
dari Centerbury (1033 - 1109) menganggap bunga sama dengan perampokan. Larangan
praktek bunga juga dikeluarkan oleh gereja dalam bentuk undang-undang (Canon):
Council of Elvira (Spanyol tahun 306) mengeluarkan Canon 20 yang melarang para
pekerja gereja mem-praktekkan pengambilan bunga. Barangsiapa yang melanggar, maka
pangkatnya akan diturunkan. Council of Arles (tahun 314) mengeluarkan Canon 44 yang
juga melarang para pekerja gereja mempraktekkan pengambilan bunga. First Council of
Nicaea (tahun 325) mengeluarkan Canon 17 yang mengancam akan memecat para
pekerja gereja yang mempraktekkan bunga. Larangan pemberlakuan bunga untuk umum
baru dikeluarkan pada Council of Vienne (tahun 1311) yang menyatakan barangsiapa
menganggap bahwa bunga itu adalah sesuatu yang tidak berdosa maka ia telah keluar dari
Kristen (murtad).
Pandangan Para Pendeta awal Kristen dapat disimpulkan sebagai berikut bahwa
Bunga adalah semua bentuk yang diminta sebagai imbalan yang melebihi jumlah barang
yang dipinjamkan. Mengambil bunga adalah suatu dosa yang dilarang, baik dalam
Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Keinginan atau niat untuk mendapat imbalan
melebihi apa yang dipinjamkan adalah suatu dosa. Bunga harus dikembalikan kepada
pemiliknya. Harga barang yang ditinggikan untuk penjualan secara kredit juga
merupakan bunga yang terselubung.
Pada masa ini terjadi perkembangan yang sangat pesat di bidang perekonomian
dan perdagangan. Pada masa tersebut, uang dan kredit menjadi unsur yang penting dalam
masyarakat. Pinjaman untuk memberi modal kerja kepada para pedagang mulai
digulirkan pada awal Abad XII. Pasar uang perlahan-lahan mulai terbentuk. Proses
tersebut mendorong terwujudnya suku bunga pasar secara meluas. Para sarjana Kristen
pada masa ini tidak saja membahas permasalahan bunga dari segi moral semata yang
merujuk kepada ayat-ayat Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, mereka juga
mengaitkannya dengan aspek-aspek lain. Di antaranya, menyangkut jenis dan bentuk
undang-undang, hak seseorang terhadap harta, ciri-ciri dan makna keadilan, bentuk-
bentuk keuntungan, niat dan perbuatan manusia, serta per-bedaan antara dosa individu
dan kelompok.
Ada dua jenis hutang yang berbeda satu sama lainnya, yakni hutang yang terjadi
karena pinjam-meminjam uang dan hutang yang terjadi karena pengadaan barang.
Hutang yang terjadi karena pinjam-meminjam uang tidak boleh ada tambahan, kecuali
dengan alasan yang pasti dan jelas, seperti biaya materai, biaya notaris, dan studi
kelayakan. Tambahan lainnya yang sifatnya tidak pasti dan tidak jelas, seperti inflasi dan
deflasi, tidak diperbolehkan. Hutang yang terjadi karena pembiayaan pengadaan barang
harus jelas dalam satu kesatuan yang utuh atau disebut harga jual. Harga jual itu sendiri
terdiri dari harga pokok barang plus keuntungan yang disepakati. Sekali harga jual telah
disepakati, maka selamanya tidak boleh berubah naik, karena akan masuk dalam kategori
riba fadl. Dalam transaksi perbankan syariah yang muncul adalah kewajiban dalam
bentuk hutang pengadaan barang, bukan hutang uang.
Sekali lagi, Islam mendorong praktek bagi hasil serta mengharamkan riba.
Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya
mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
Bunga : Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu
untung.
Bagi Hasil : Penentuan besarnya rasio/ nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad
dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi.
Bunga : Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang
dipinjamkan.
Bagi Hasil : Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang
diperoleh
Bunga : Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan
apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi.
Bagi hasil : tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha
merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
Bunga : Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan
berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming”
Bagi hasil : Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah
pendapatan.
Bunga : Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh beberapa kalangan.
Bagi hasil : Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua.Yaitu riba hutang-piutang dan
riba jual-beli.Riba hutang-piutang terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah.
Sedangkan riba jual-beli terbagi atas riba fadhl dan riba nasi’ah.
“Jika engkau meminjamkan uang kapada salah seorang ummatku, orang yang
miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap
dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya.”
B. Saran
Setelah membaca dan mengkaji makalah yang telah kami susun, kami berharap
kepada semua teman-teman untuk mengamalkannya dalam keidupan sehri-hari. Dan
kami juga berharap kritik yang membangun agar kami dapat memperbaiki penyusunan
makalah kami.
DAFTAR PUSTAKA
Ad-Daaimah, Al-Lajnah. 2009. Fatwa-Fatwa Jual Beli. Pustaka Imam Syafii. Jakarta.
Ahmad, Al-Amien. 2009. Jual Beli Kredit Bagaimana Hukumnya?. Gema Insani
Press. Jakarta.
Arifin, Muhammad bin Badri M.A. 2010. Riba dan Tinjauan Praktis Perbankan
Syariah. Pustaka Darul Ilmi. Jakarta.