Anda di halaman 1dari 12

RIBA DALAM PANDANGAN UMMAT MANUSIA

Di ajukan untuk memenuhi tugas individu


Materi : Pendidikan Agama Islam (PAI)
Jurusan : Ilmu Ekonomi Pembangunan/B
Dosen pengampu : Bapak Abdurrahman, S.Ag

Disusun Oleh :

Nama: Dedi Zamrani

FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS TRUNOJOYO
BANGKALAN MADURA
2010
DAFTAR ISI

I. Kata Pengantar...........................................................................i

II. Daftar Isi.....................................................................................ii

III. BAB I PENDAHULUAN..............................................................1

A. Latar Belakang Masalah......................................................1


B. Rumusan Masalah...............................................................1
C. Tujuan Pembahasan............................................................1

IV. BAB II PEMBAHASAN...............................................................2

A. Riba dalam pandangan agama...........................................2


B. Perbedaan Investasi dengan Membungakan Uang.........6
C. Perbedaan Hutang Uang dan Hutang Barang..................7
D. Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil..........................7

V. BAB III PENUTUP......................................................................8

A. Kesimpulan..........................................................................8
B. Saran 8

Daftar Pustaka
Kata Pengantar

Alhamdhulillah saya bersyukur kepada kehadirat ALLAH S.W.T kerena bisa


menyelesaikan tugas ini,meskipun hasil daripada tugas yang di berikan oleh guru kami yaitu :
Bapak Abdurrahman, S.Ag. yang membingbing sebagai Guru (Dosen) Pendidikan Agama Islam
(PAI) tahun ajaran 2010-2011 kurang sempurna karena hal ini kelemahan daripada saya sendiri
karena saya masih tahap pembelajaran untuk itu, apa bila makalah ini kurang sempurna kami
harap untuk dimaklumi
Sholawat serta salam kami haturkan kepada nabi kita yaitu Nabi Muhammad SAW karena
beliaulah kita tau jalan hidup yang sesungguhnya. sehingga kita menjadi manusia-manusia yang
punya kepribadian-kepribadian yang berbudi pekerti.dan saya sangat berterimakasih kepada Guru
(dosen) kami yaitu; Bapak Abdurrahman, S.Ag. karena beliu juga yang membingbing kami untuk
menjadi mahasiswa yang ber-intlektual, berwawasan luas, mengerti akan kepribadiannya sendiri.
Dan taklupa saya ucapkan terimakasih kepada Ayah dan Ibu saya karena beliu telah
memberikan Support kepada saya sehinga saya bisa disekolahkan sampai saat ini.yang telahir
saya mohon maaf apa bila tulisan makalah ini kurang sempurna di hati anda karena saya masih
tahap pembelajaran.dan semoga tulisan makalah ini dapat berguna kepada kita semua amin
yarobbal alamin.

Sampang,15-juli-2010

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang

Riba berarti menetapkan bunga/melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian


berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada
peminjam. Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain,
secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah
teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada
beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah
yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-
beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat
dalam Islam.

B. Rumusan masalah

Dalam penyusunan makalah ini kami lebih menitik beratkan pada pembahasan
tentang :

1. Apa yang di maksud dengan Riba?


2. Apa hukum dari Riba tersebut dalam islam?
3. Bagaimana pandangan ummat kristen terhadap Riba?
4. Apa perbedaan Investasi dengan Membungakan Uang?
5. Apa perbedaan hutang uang dengan hutang barang?
6. Apa perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil?

C. Tujuan pembahasan

Penyusunan makalah ini bertujuan :

1. Untuk memberi peneranga terhadap para pembaca tentang Riba


2. Untuk mengetahui hukum dari perbuatan riba
3. Agar kita dapat membandingkan pemikiran orang islam dan orang kristen
dalam menilai suatu perkara yang jelek
4. Agar para pembaca dapat membedakan antara investasi dengan bunga, hutang
barang dengan hutang uang, juga antara bunga dan bagi hasil
BAB II
PEMBAHASAN

A. Riba dalam pandangan agama

Riba bukan cuma persoalan masyarakat Islam, tapi berbagai kalangan di luar
Islam pun memandang serius persoalan riba. Kajian terhadap masalah riba dapat dirunut
mundur hingga lebih dari 2.000 tahun silam. Masalah riba telah menjadi bahasan
kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi. Kalangan Kristen dari masa ke masa
juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba.

1. Riba dalam agama Islam

Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman
adalah haram. Ini dipertegas dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 275 :

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”

Pandangan ini juga yang mendorong maraknya perbankan syariah dimana konsep
keuntungan bagi penabung didapat dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga seperti
pada bank konvensional, karena menurut sebagian pendapat (termasuk Majelis Ulama
Indonesia), bunga bank termasuk ke dalam riba. bagaimana suatu akad itu dapat
dikatakan riba? hal yang mencolok dapat diketahui bahwa bunga bank itu termasuk riba
adalah ditetapkannya akad di awal. jadi ketika kita sudah menabung dengan tingkat suku
bunga tertentu, maka kita akan mengetahui hasilnya dengan pasti. berbeda dengan prinsip
bagi hasil yang hanya memberikan nisbah bagi hasil bagi deposannya. dampaknya akan
sangat panjang pada transaksi selanjutnya. yaitu bila akad ditetapkan di awal/persentase
yang didapatkan penabung sudah diketahui, maka yang menjadi sasaran untuk menutupi
jumlah bunga tersebut adalah para pengusaha yang meminjam modal dan apapun yang
terjadi, kerugian pasti akan ditanggung oleh peminjam. berbeda dengan bagi hasil yang
hanya memberikan nisbah tertentu pada deposannya. maka yang di bagi adalah
keuntungan dari yang didapat kemudian dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati oleh
kedua belah pihak. contoh nisbahnya adalah 60%:40%, maka bagian deposan 60% dari
total keuntungan yang didapat oleh pihak bank.

Jenis-jenis riba dalam agama Islam

Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua.Yaitu riba hutang-piutang dan
riba jual-beli.Riba hutang-piutang terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah.
Sedangkan riba jual-beli terbagi atas riba fadhl dan riba nasi’ah.
 Riba Qardh

Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang
berhutang (muqtaridh).

 Riba Jahiliyyah

Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar
hutangnya pada waktu yang ditetapkan.

 Riba Fadhl

Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda,


sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.

 Riba Nasi’ah

Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan


dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya
perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang
diserahkan kemudian.

2. Riba dalam agama Yahudi

Agama Yahudi melarang praktek pengambilan bunga. Pelarangan ini banyak


terdapat dalam kitab suci agama Yahudi, baik dalam Perjanjian Lama maupun undang-
undang Talmud. Kitab Keluaran 22:25 menyatakan:

“Jika engkau meminjamkan uang kapada salah seorang ummatku, orang yang
miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap
dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya.”

Kitab Ulangan 23:19 menyatakan:

“Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan


makanan, atau apa pun yang dapat dibungakan.”

Kitab Ulangan 23:20 menyatakan:

“Dari orang asing boleh engkau memungut bunga, tetapi dari saudaramu
janganlah engkau memungut bunga … supaya TUHAN, Allahmu, memberkati engkau
dalam segala usahamu di negeri yang engkau masuki untuk mendudukinya."

Kitab Imamat 35:7 menyatakan:


“Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau
harus takut akan Allahmu, supaya saudara-mu bisa hidup di antaramu. Janganlah
engkau memberi uang-mu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu
janganlah kau berikan dengan meminta riba.”

Konsep Bunga di Kalangan Kristen

Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas. Namun,
sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6:34-5
sebagai ayat yang mengecam praktek pengambilan bunga. Ayat tersebut menyatakan :

“Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap
akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun
meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak.
Tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan
tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-
anak Tuhan Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu
berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat.”

Ketidaktegasan ayat tersebut mengakibatkan munculnya berbagai tanggapan dan


tafsiran dari para pemuka agama Kristen tentang boleh atau tidaknya orang Kristen
mempraktekkan pengambilan bunga. Berbagai pandangan di kalangan pemuka agama
Kristen dapat dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu pandangan para pendeta
awal Kristen (abad I hingga XII) yang mengharamkan bunga, pandangan para sarjana
Kristen (abad XII - XVI) yang berkeinginan agar bunga diperbolehkan, dan pandangan
para reformis Kristen (abad XVI - tahun 1836) yang menyebabkan agama Kristen
menghalalkan bunga. Kitab Ulangan 23:20 menyatakan:

“Dari orang asing boleh engkau memungut bunga, tetapi dari saudaramu janganlah
engkau memungut bunga … supaya TUHAN, Allahmu, memberkati engkau dalam segala
usahamu di negeri yang engkau masuki untuk mendudukinya.”

Pandangan Para Pendeta Awal Kristen (Abad I - XII)

Pada masa ini, umumnya pengambilan bunga dilarang. Mereka merujuk masalah
pengambilan bunga kepada Kitab Perjanjian Lama yang juga diimani oleh orang Kristen.
St. Basil (329 - 379) menganggap mereka yang memakan bunga sebagai orang yang tidak
berperi-kemanusiaan. Baginya, mengambil bunga adalah mengambil keuntungan dari
orang yang memerlukan. Demikian juga mengumpulkan emas dan kekayaan dari air mata
dan kesusahan orang miskin.

St. Gregory dari Nyssa (335 - 395) mengutuk praktek bunga karena menurutnya
pertolongan melalui pinjaman adalah palsu. Pada awal kontrak seperti membantu tetapi
pada saat menagih dan meminta imbalan bunga bertindak sangat kejam. St. John
Chrysostom (344 - 407) berpendapat bahwa larangan yang terdapat dalam Perjanjian
Lama yang ditujukan bagi orang-orang Yahudi juga berlaku bagi penganut Perjanjian
Baru. St. Ambrose mengecam pemakan bunga sebagai penipu dan pembelit (rentenir). St.
Augustine berpendapat pemberlakuan bunga pada orang miskin lebih kejam
dibandingkan dengan perampok yang merampok orang kaya. Karena dua-duanya sama-
sama merampok, satu terhadap orang kaya dan lainnya terhadap orang miskin. St. Anselm
dari Centerbury (1033 - 1109) menganggap bunga sama dengan perampokan. Larangan
praktek bunga juga dikeluarkan oleh gereja dalam bentuk undang-undang (Canon):
Council of Elvira (Spanyol tahun 306) mengeluarkan Canon 20 yang melarang para
pekerja gereja mem-praktekkan pengambilan bunga. Barangsiapa yang melanggar, maka
pangkatnya akan diturunkan. Council of Arles (tahun 314) mengeluarkan Canon 44 yang
juga melarang para pekerja gereja mempraktekkan pengambilan bunga. First Council of
Nicaea (tahun 325) mengeluarkan Canon 17 yang mengancam akan memecat para
pekerja gereja yang mempraktekkan bunga. Larangan pemberlakuan bunga untuk umum
baru dikeluarkan pada Council of Vienne (tahun 1311) yang menyatakan barangsiapa
menganggap bahwa bunga itu adalah sesuatu yang tidak berdosa maka ia telah keluar dari
Kristen (murtad).

Pandangan Para Pendeta awal Kristen dapat disimpulkan sebagai berikut bahwa
Bunga adalah semua bentuk yang diminta sebagai imbalan yang melebihi jumlah barang
yang dipinjamkan. Mengambil bunga adalah suatu dosa yang dilarang, baik dalam
Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Keinginan atau niat untuk mendapat imbalan
melebihi apa yang dipinjamkan adalah suatu dosa. Bunga harus dikembalikan kepada
pemiliknya. Harga barang yang ditinggikan untuk penjualan secara kredit juga
merupakan bunga yang terselubung.

Pandangan Para Sarjana Kristen (Abad XII - XVI)

Pada masa ini terjadi perkembangan yang sangat pesat di bidang perekonomian
dan perdagangan. Pada masa tersebut, uang dan kredit menjadi unsur yang penting dalam
masyarakat. Pinjaman untuk memberi modal kerja kepada para pedagang mulai
digulirkan pada awal Abad XII. Pasar uang perlahan-lahan mulai terbentuk. Proses
tersebut mendorong terwujudnya suku bunga pasar secara meluas. Para sarjana Kristen
pada masa ini tidak saja membahas permasalahan bunga dari segi moral semata yang
merujuk kepada ayat-ayat Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, mereka juga
mengaitkannya dengan aspek-aspek lain. Di antaranya, menyangkut jenis dan bentuk
undang-undang, hak seseorang terhadap harta, ciri-ciri dan makna keadilan, bentuk-
bentuk keuntungan, niat dan perbuatan manusia, serta per-bedaan antara dosa individu
dan kelompok.

Mereka dianggap telah melakukan terobosan baru sehubungan dengan


pendefinisian bunga. Dari hasil bahasan mereka untuk tujuan memperhalus dan
melegitimasi hukum, bunga dibedakan menjadi interest dan usury. Menurut mereka,
interest adalah bunga yang diperbolehkan, sedangkan usury adalah bunga yang
berlebihan. Para tokoh sarjana Kristen yang memberikan kontribusi pendapat yang sangat
besar sehubungan dengan bunga ini adalah Robert of Courcon (1152-1218), William of
Auxxerre (1160-1220), St. Raymond of Pennaforte (1180-1278), St. Bonaventure (1221-
1274), dan St. Thomas Aquinas (1225-1274). Kesimpulan hasil bahasan para sarjana
Kristen periode tersebut sehubungan dengan bunga adalah sebagai berikut : Niat atau
perbuatan untuk mendapatkan keuntungan dengan memberikan pinjaman adalah suatu
dosa yang bertentangan dengan konsep keadilan. Mengambil bunga dari pinjaman
diperbolehkan, namun haram atau tidaknya tergantung dari niat si pemberi hutang.

Pandangan Para Reformis Kristen (Abad XVI - Tahun 1836)

Pendapat para reformis telah mengubah dan membentuk pandangan baru


mengenai bunga. Para reformis itu antara lain adalah John Calvin (1509-1564), Charles
du Moulin (1500 - 1566), Claude Saumaise (1588-1653), Martin Luther (1483-1546),
Melanchthon (1497-1560), dan Zwingli (1484-1531).

Beberapa pendapat Calvin sehubungan dengan bunga antara lain:

 Dosa apabila bunga memberatkan.


 Uang dapat membiak (kontra dengan Aristoteles).
 Tidak menjadikan pengambil bunga sebagai profesi.
 Jangan mengambil bunga dari orang miskin.

Du Moulin mendesak agar pengambilan bunga yang sederhana diperbolehkan


asalkan bunga tersebut digunakan untuk kepentingan produktif. Saumise, seorang
pengikut Calvin, membenarkan semua pengambilan bunga, meskipun ia berasal dari
orang miskin. Menurutnya, menjual uang dengan uang adalah seperti perdagangan biasa,
maka tidak ada alasan untuk melarang orang yang akan menggunakan uangnya untuk
membuat uang. Menurutnya pula, agama tidak perlu repot-repot mencampuri urusan yang
berhubungan dengan bunga.

B. Perbedaan Investasi dengan Membungakan Uang

Ada dua perbedaan mendasar antara investasi dengan mem-bungakan uang.


Perbedaan tersebut dapat ditelaah dari definisi hingga makna masing-masing.

1. Investasi adalah kegiatan usaha yang mengandung risiko karena berhadapan


dengan unsur ketidakpastian. Dengan demikian, perolehan kembaliannya (return)
tidak pasti dan tidak tetap.
2. Membungakan uang adalah kegiatan usaha yang kurang mengandung risiko
karena perolehan kembaliannya berupa bunga yang relatif pasti dan tetap.

Islam mendorong masyarakat ke arah usaha nyata dan produktif. Islam


mendorong seluruh masyarakat untuk melakukan investasi dan melarang membungakan
uang. Sesuai dengan definisi di atas, menyimpan uang di bank Islam termasuk kategori
kegiatan investasi karena perolehan kembaliannya (return) dari waktu ke waktu tidak
pasti dan tidak tetap. Besar kecilnya perolehan kembali itu ter-gantung kepada hasil usaha
yang benar-benar terjadi dan dilakukan bank sebagai mudharib atau pengelola dana.
Dengan demikian, bank Islam tidak dapat sekadar menyalurkan uang. Bank Islam
harus terus berupaya meningkatkan kembalian atau return of investment sehingga lebih
menarik dan lebih memberi kepercayaan bagi pemilik dana.

C. Perbedaan Hutang Uang dan Hutang Barang

Ada dua jenis hutang yang berbeda satu sama lainnya, yakni hutang yang terjadi
karena pinjam-meminjam uang dan hutang yang terjadi karena pengadaan barang.
Hutang yang terjadi karena pinjam-meminjam uang tidak boleh ada tambahan, kecuali
dengan alasan yang pasti dan jelas, seperti biaya materai, biaya notaris, dan studi
kelayakan. Tambahan lainnya yang sifatnya tidak pasti dan tidak jelas, seperti inflasi dan
deflasi, tidak diperbolehkan. Hutang yang terjadi karena pembiayaan pengadaan barang
harus jelas dalam satu kesatuan yang utuh atau disebut harga jual. Harga jual itu sendiri
terdiri dari harga pokok barang plus keuntungan yang disepakati. Sekali harga jual telah
disepakati, maka selamanya tidak boleh berubah naik, karena akan masuk dalam kategori
riba fadl. Dalam transaksi perbankan syariah yang muncul adalah kewajiban dalam
bentuk hutang pengadaan barang, bukan hutang uang.

D. Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil

Sekali lagi, Islam mendorong praktek bagi hasil serta mengharamkan riba.
Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya
mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan itu dapat dijelaskan sebagai berikut:

 Bunga : Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu
untung.
 Bagi Hasil : Penentuan besarnya rasio/ nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad
dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi.
 Bunga : Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang
dipinjamkan.
 Bagi Hasil : Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang
diperoleh
 Bunga : Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan
apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi.
 Bagi hasil : tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha
merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
 Bunga : Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan
berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming”
 Bagi hasil : Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah
pendapatan.
 Bunga : Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh beberapa kalangan.
 Bagi hasil : Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.
BAB III
PENUTUPAN

A. Kesimpulan

Riba berarti menetapkan bunga/melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian


berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada
peminjam. Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain,
secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah
teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada
beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah
yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-
beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat
dalam Islam.

Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua.Yaitu riba hutang-piutang dan
riba jual-beli.Riba hutang-piutang terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah.
Sedangkan riba jual-beli terbagi atas riba fadhl dan riba nasi’ah.

Sedangkan dalam Agama Yahudi juga melarang praktek pengambilan bunga.


Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci agama Yahudi, baik dalam Perjanjian
Lama maupun undang-undang Talmud. Kitab Keluaran 22:25 menyatakan:

“Jika engkau meminjamkan uang kapada salah seorang ummatku, orang yang
miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap
dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya.”

B. Saran

Setelah membaca dan mengkaji makalah yang telah kami susun, kami berharap
kepada semua teman-teman untuk mengamalkannya dalam keidupan sehri-hari. Dan
kami juga berharap kritik yang membangun agar kami dapat memperbaiki penyusunan
makalah kami.
DAFTAR PUSTAKA

 Ad-Daaimah, Al-Lajnah. 2009. Fatwa-Fatwa Jual Beli. Pustaka Imam Syafii. Jakarta.
 Ahmad, Al-Amien. 2009. Jual Beli Kredit Bagaimana Hukumnya?. Gema Insani
Press. Jakarta.
 Arifin, Muhammad bin Badri M.A. 2010. Riba dan Tinjauan Praktis Perbankan
Syariah. Pustaka Darul Ilmi. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai