Penataan Ruang Berbasis Pembangunan Berk PDF
Penataan Ruang Berbasis Pembangunan Berk PDF
1
Materi
pendukung
mata
kuliah
Manajemen
Perkotaan,
Program
Pasca
Sarjana
Gambar
3
:
Pilar
Pembangunan
Kota
Berkelanjutan
Sumber
:
Forum
Sustainable
Urban
Development
(SUD)
Pilar
governance
sebagai
perangkat
pengaturan,
pelaksanaan,
dan
pengendalian
dielaborasi
sebagai
prinsip
analisis
5R,
meliputi
(i)
kewajiban
dan
tanggungjawab
(responsibility)
untuk
melaksanakan
dan
mengimplementasi-‐
kan
pembangunan
kota
berkelanjutan;
(ii)
hak
(right)
untuk
menjalankan
kebijakan
dan
program
pembangunan
kota
keberlanjutan
yang
menjadi
kepentingan
publik
secara
luas;
(iii)
risiko
(risk),
sebagai
pertimbangan
pengambilan
keputusan
pembangunan
kota
berkelanjutan
kini
dan
pada
masa
mendatang;
(iv)
manfaat
(revenue)
penyelenggaraan
kebijakan
dan
program
pembangunan
kota
berkelanjutan
bagi
publik
kini
dan
pada
masa
mendatang;
(v)
hubungan
(relation),
sebagai
manifestasi
koordinasi
para
pemangku
kepentingan
untuk
mengoptimalkan
perwujudan
pembangunan
kota
berkelanjutan.
Munasinghe
mengelaborasi
elemen
pokok
ketiga
pilar,
yakni
pilar
ekonomi
oleh
elemen
pertumbuhan,
efisiensi,
dan
stabilitas;
pilar
sosial
oleh
elemen
pemberdayaan,
peranserta,
dan
kelembagaan;
dan
pilar
lingkungan
oleh
elemen
keanekaragaman,
sumberdaya
alam,
dan
pencemaran.
Gambar
4
:
Diagram
Elemen
Pokok
Pembangunan
Berkelanjutan
Sumber
:
Sumber:
Munasinghe,
M.,
Sustainable
Development
Triangle,
‘Sustainable
Development’,
edited
by
Cleveland,
C.
J.
(2007)
Sumber:
Setyabudi,
2009
• Penapisan
Sesuai
dengan
namanya,
kegiatan
ini
menentukan
dilakukannya
KLHS
terhadap
KRP
RTR.
Langkah
ini
diperlukan
untuk
(i)
memokuskan
telaahan
pada
KRP
bernilai
stratejik;
(ii)
memokuskan
telaah
pada
KRP
terindikasi
berdampak
penting;
(iii)
memberikan
gambaran
umum
metodologi
pendekatan
yang
digunakan.
Mempertimbangkan
RTRW
yang
bersifat
wajib,
penapisan
tidak
perlu
dilakukan
terkecuali
pada
rencana
rinci
tata
ruang.
• Pelingkupan
Pelingkupan
merupakan
proses
sistematis
dan
terbuka
untuk
mengidentifikasi
isu
penting
atau
konsekuensi
lingkungan
yang
akan
timbul
berkenaan
dengan
KRP
RTR.
Dengan
demikian,
pokok
bahasan
KLHS
lebih
pada
isu
atau
konsekuensi
lingkungan
• Telaah
dan
Analisis
Teknis
Tahapan
ini
berupa
proses
identifikasi,
deskripsi,
dan
evaluasi
konsekuensi
dan
efek
lingkungan
diterapkannya
RTRW,
serta
pengujian
efektivitas
RTRW
dalam
menerapkan
prinsip
berkelanjutan.
Jenis
kerangka
telaah
antara
lain:
(i)
telaah
daya
dukung
dan
daya
tampung
ingkungan;
(ii)
telaah
hubungan
timbal
balik
kegiatan
manusia
dan
ekosistem;
(iii)
telaah
kerentanan
masyarakat
dan
kapasitas
terhadap
perubahan
iklim
dan
bencana
lingkungan;
(iv)
telaah
ketahanan
dan
potensi
keanekaragaman
hayati.
• Pengembangan
Alternatif
Alternatif
yang
dikembangkan
dapat
mencakup
(i)
sunbstansi
pokok/dasar
RTRW;
(ii)
program
atau
kegiatan
penerapan
muatan
RTRW
(missal
pilihan
intensitas
pemanfaatan
ruang);
(iii)
kegiatan
operasional
pengelolaan
efek
lingkungan
hidup
(misal
penerapan
kode
bangunan
hemat
energi).
• Pengambilan
Keputusan
Pada
tahapan
ini
dilaksanakan
pemilihan
alternatif
rencana/program
yang
dapat
dilaksanakan.
• Pemantauan
dan
Tindak
Lanjut
Kegiatan
ini
disesuaikan
dengan
pengaturan
RTRW
• Partisipasi
dan
Konsultasi
Masyarakat
Seluruh
rangkaian
KLHS
bersifat
partisipatif.
Namun
tingkat
keterlibatan
masyarakat
beragam
sesuai
dengan
tingkatan
RTR,
dan
peraturan
yang
diacu.
Keterlibatan
masyarakat
bukan
formalitas
sehingga
masyarakat
diberi
waktu
yang
cukup
untuk
menelaah,
memberi
masukan,
dan
mendapatkan
tanggapan.
C. KLHS dalam Perencanaan Tata Ruang
Efektivitas
KLHS
sebagai
instrumen
pengelolaan
lingkungan
hidup
(LH)
menuju
pembangunan
berkelanjutan
cukup
baik
karena
kajian
lingkungan
tersebut
dilaksanakan
pada
tahap
awal
proses
pengambilan
keputusan
perencanaan
pembangunan.
Pada
tahap
awal
ini
terdapat
berbagai
alternatif
yang
belum
tertutup
oleh
keputusan
tertentu.
Dengan
demikian,
sebuah
studi
dampak
lingkungan
atas
KRP
memberi
kesempatan
untuk
memasukkan
aspek
LH
dalam
proses
perencanaan
pada
tahap
sangat
awal
sehingga
dapat
sepenuhnya
memprakirakan
dampak
lingkungan
potensial,
termasuk
yang
bersifat
kumulatif
jangka
panjang
dan
sinergistik,
baik
pada
tingkat
lokal,
regional,
nasional
maupun
global
(Lee
dan
Walsh,
1992;
Partidario,
1996;
Annandale
dan
Bailey,
1999;
Therivel,
2004).
Dengan
kata
lain,
KLHS
bergerak
di
bagian
hulu
dari
suatu
proses
pengambilan
keputusan,
yaitu
KRP.
Definisi
serupa,
tapi
berbeda
perspektif
dan
penekanannya
dapat
dilihat
sebagai
berikut:
“SEA
is
a
systematic
process
for
evaluating
the
environmental
consequences
of
proposed
policy,
plan,
or
program
initiatives
in
order
to
ensure
they
are
fully
included
and
appropriately
addressed
at
the
earliest
appropriate
stage
of
decision-‐
making
on
par
with
the
economic
and
social
considerations”
(Sadler
dan
Verheem,
1996).
Definisi
tersebut
menunjukkan
bahwa
skala
sasaran
kajian
KLHS
lebih
luas
daripada
instrumen
pengelolaan
LH
lain,
misalnya
AMDAL
karena
analisis
dampak
KRP
mempunyai
implikasi
dampak
lebih
luas/makro.
Selain
itu,
KLHS
fokusnya
adalah
pada
tataran
konsep
dan
bukan
pada
tataran
disain
teknis
yang
bersifat
fisik.
Yang
terakhir
ini
menjadi
tekanan/fokus
studi
AMDAL.
Kata
“stratejik”
dalam
KLHS
menjadi
kata
kunci
yang
membedakan
antara
instrumen-‐instrumen
pengelolaan
lingkungan
yang
telah
dilaksanakan
dan
instrumen
KLHS.
Istilah
“stratejik”
dalam
konteks
KLHS
secara
umum
dapat
diartikan
secara
konseptual
berkaitan
dengan
“akar”
permasalahan
yang
harus
menjadi
fokus
kajian
lingkungan
yang
dilakukan,
yaitu
proses
dan
hasil
pengambilan
keputusan.
Pengertian
“stratejik”
dalam
KLHS
pada
umumnya
berasosiasi
dengan
tiga
hal
berikut
(Partidario,
1994)
(i)
strategis
dalam
konteks
pengambilan
keputusan;
(ii)
keberlanjutan
proses
pengambilan
keputusan,
yaitu
proses
penyempurnaan
KRP
secara
terus
menerus;
(iii)
fokus
pada
manfaat
hasil
keputusan,
merujuk
pada
beragamnya
alternatif
pilihan
KRP
dalam
proses
perencanaan
pembangunan
yang
bersifat
“strategis”.
D.
Kota
Hijau:
Penerapannya
di
Indonesia.
Kota
hijau
pada
hakekatnya
adalah
kota
berkelanjutan
yang
mampu
menerapkan
dalam
praktik
nyata
prinsip-‐prinsip
pembangunan
yang
berkelanjutan,
baik
secara
ekonomi,
sosial
budaya
dan
lingkungan
secara
terintegrasi.
Inisiatif
mewujudkan
kota
hijau
ini
memiliki
makna
strategis
karena
dilatarbelakangi
oleh
beberapa
faktor,
antara
lain
perkembangan
kota
yang
begitu
cepat
dan
berimplikasi
terhadap
timbulnya
permasalahan
perkotaan
seperti
banjir
dan
kemacetan,
permukiman
kumuh,
kesenjangan
sosial
dan
berkurang
luas
ruang
terbuka
hijau.
Ada
tiga
aspek
minimal
yang
harus
terpenuhi
dalam
aplikasi
suatu
kota
hijau,
yaitu
sosial,
ekonomi
dan
lingkungan.
Ketiga
aspek
ini
harus
berimbang
dalam
suatu
kota
hijau.
Tidak
bisa
hanya
fokus
pada
pengembangan
aspek
ekonomi
sementara
aspek
sosial
dan
lingkungan
terabaikan,
yang
akan
berdampak
buruk
kepada
kota
dan
warganya.
Tata
ruang
adalah
alat
untuk
menerpadukan
berbagai
aspek
di
perkotaan
seperti
sosial,
ekonomi
dan
lingkungan,
agar
kota
itu
menjadi
sejahtera
berkelanjutan
bagi
warga
yang
mendiaminya.
Di
Indonesia,
saat
ini
melalui
Kementerian
Pekerjaan
Umum
telah
diinisiasi
Program
Kota
Hijau
(P2KH).
Maksud
P2KH
adalah
(i)
menjabarkan
amanat
UU
Penataan
Ruang
tentang
perwujudan
30
persen
dari
wilayah
kota
sebagai
Ruang
Terbuka
Hijau;
(ii)
menindaklanjuti
10
prakarsa
Bali
dari
forum
Sustanaible
Urban
Development
(SUD)
khususnya
butir
7
yaitu
mendorong
peran
pemangku
kepentingan
perkotaan
dalam
mewujudkan
kota
hijau,
berupa
inisiatif
bersama
antara
pemerintah
kabupaten/kota,
masyarakat
dan
dunia
usaha
secara
nasional.
Sementara
tujuannP2KH
adalah
(i)
meningkatkan
kualitas
ruang
kota
khususnya
melalui
perwujudan
RTH
30%
sekaligus
implementasi
RTRW
kabupaten/kota;
(ii)
meningkatkan
partisipasi
pemangku
kepentingan
dalam
implementasi
agenda
hijau
perkotaan.
Sebagai
sasaran
P2KH
ditetapkan
berupa
terinisiasinya
aksi
nyata
sebagai
perwujudan
kota
hijau
dalam
rangka
implementasi
RTRW
kabupaten/kota
secara
nasional
melalui
(i)
penyusunan
peta
hijau;
(ii)
penyusunan
rencana
induk
RTH;
(iii)
pelaksanaan
kampanye
public/sosialisasi;
(iv)
pelaksanaan
peningkatan
kapasitas;
(v)
pelaksanaan
percontohan
RTH.
Sebagai
penanda,
kota
hijau
dapat
dikenali
dari
8
(delapan)
atribut
yang
menyertainya,
yaitu
;
• Perancangan
dan
perencanaan
kota
yang
ramah
lingkungan
• Ketersediaan
ruang
terbuka
hijau
yang
memadai,
minimal
30
persen
dari
luas
kota
• Konsumsi
energi
yang
efisien
• Pengelolaan
air
yang
efektif
• Pengelolaan
limbah
dan
sampah
dengan
prinsip
3R
(reuse,
reduce
dan
recycle)
• Bangunan
hemat
energi
(green
building)
• Penerapan
sistem
transportasi
yang
berkelanjutan
• Peningkatan
peran
masyarakat
sebagai
komunitas
hijau
Upaya
pemerintah
patut
dihargai
namun
memperhatikan
desain
dari
P2KH
terlihat
bahwa
walaupun
disebutkan
terdapat
8
(delapan)
atribut
kota
hijau
tetapi
sepertinya
hanya
4
(empat)
atribut
yang
tercakup
dalam
P2KH
yaitu
perancangan
dan
perencanaan
kota
ramah
lingkungan,
ketersediaan
RTH
minimal
30
persen
dari
luas
kota,
bangunan
hemat
energi,
dan
peningkatan
peran
masyarakat
sebagai
komunitas
hijau.
Sehingga
sangat
kental
nuansa
bahwa
P2KH
bukan
sebuah
program
Kota
Hijau
tetapi
lebih
sebagai
program
Kota
Taman.
Kota
hijau
seharusnya
dimaknai
sebagai
kota
yang
ramah
lingkungan
berdasarkan
penerapan
ke
delapan
atribut
tersebut
di
atas.
3.3
Praktek
Unggulan
Salah
satu
contoh
praktek
unggulan
yang
banyak
dibicarakan
adalah
People
Centered
Ecological
City
yang
merupakan
terjemahan
dari
konsep
pembangunan
berkelanjutan
di
perkotaan.
Konsep
ini
diterapkan
di
kota
Curitiba,
Brazil.
Prinsip
dasarnya
memadukan
perencanaan
lingkungan
dan
perencanaan
kota
dalam
kerangka
pembangunan
berkelanjutan
dengan
focus
utama
keberlanjutan
lingkungan
dan
pemeliharaan
kualitas
kehidupan
warga
kota.
Curtiba
merupakan
kota
berpenduduk
Boks
1.
Rangkuman
Praktek
Unggulan
Kota
1,6
juta
dan
luas
432
km
persegi,
dengan
Berkelanjutan
segala
persoalan
kota
besar
dunia
Upaya
penerapan
pembangunan
kota
diantaranya
tingkat
pertumbuhan
penduduk
berkelanjutan
telah
berhasil
dilakukan
pada
beberapa
kota
di
dunia,
diantaranya:
mencapai
5,7
persen
per
tahun.
Ø Pengurangan
polusi
Curitiba
merupakan
salah
satu
contoh
Di
Mexico
City,
pada
tahun
1989
perencanaan
kota
jangka
panjang
yang
diperkenalkan
program
Hoy
no
Circula
(hari
tanpa
kendaraan
bermotor),
yang
berhasil
inovatif
dalam
menciptakan
kota
menjadi
menurunkan
emisi
polusi
udara
sampai
21%
tempat
tinggal
yang
nyaman,
yang
pada
tahun
pertama.
dituangkan
dalam
Master
Plan
kota
tahun
Ø Perencanaan
transportasi
dan
guna
lahan
terpadu
1965.
§ Di
kota
Curitiba,
Brasil
sistem
Salah
satu
kunci
keberhasilan
adalah
transportasi
bus
terpadu
berupa
lintasan
program
peningkatan
kesejahteraan
terpadu
khusus
bus
telah
terbangun
di
sepanjang
koridor
utama
kota.
Kepadatan
tinggi
di
dengan
program
lingkungan,
semisal
sepanjang
koridor
bus
didorong
melalui
program
green
exchange
dan
garbage
not
pengaturan
guna
lahan.
Kebijakan
ini
garbage
pemerintah
berhasil
melibatkan
telah
mengurangi
penggunaan
kendaraan
bermotor
dan
mengurangi
pemakaian
masyarakat
dalam
pemeliharaan
lingkungan.
bahan
bakar
sampai
sebesar
25%.
Warga
kota
daerah
kumuh
dapat
menukar
§ Di
Los
Angeles,
program
sejenis
sampahnya
dengan
tiket
bus
dan
makanan.
diperkenalkan
untuk
mengurangi
polusi
udara.
Kebijakannya
berupa
peningkatan
Anak-‐anak
juga
dapat
menukar
sampah
jumlah
penumpang
per
kendaraan,
dengan
mainan,
alat
tulis
bahkan
tiket
peningkatan
‘telecommuting’,
dan
pertunjukan.
peningkatan
kendaraan
ramah
lingkungan.
Program
ini
telah
berhasil
mendaur
Ø Daur
ulang
ulang
sampah
sampai
70
persen.
Selain
itu,
Operasi
pemulihan
sumberdaya
berskala
program
ini
juga
menciptakan
lapangan
kerja
luas
dicanangkan
di
Provinsi
Shanghai
pada
tahun
1957.
Sekarang
jumlah
pekerja
bagi
para
tunawisma
di
tempat
penyortiran
mencapai
30
ribu
orang,
yang
mengolah
dan
sampah.
Tak
kalah
penting
adalah
menjual
produk
daur
ulang.
(Haughton
dan
mewujudkan
tata
pemerintahan
yang
baik,
Hunter
,
1994)
.