Anda di halaman 1dari 9

HAK KEPEMILIKAN (PROPERTY RIGHTS)

Abdalia
Andi Mi’rajusysyakur M

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bangsa Indonesia terdiri atas 17.502 buah pulau, dan garis pantai sepanjang 81.000 km
dengan Luas wilayah perikanan di laut sekitar 5,8 juta Km2, yang terdiri dari perairan kepulauan
dan teritorial seluas 3,1 juta Km2 serta perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI)
seluas 2,7 juta Km2. Fakta tersebut menunjukkan bahwa prospek pembangunan perikanan dan
kelautan Indonesia dinilai sangat cerah dan menjadi salah satu kegiatan ekonomi yang strategis
Beberapa sumber daya alam di wilayah pesisir dan lautan telah mengalami over
exploitasi. Sumberdaya perikanan laut baru dimanfaatkan sekitar 63,49% dari total potensi
lestarinya (MSY, Maximum Suistainable Yield), namun di beberapa kawasan perairan beberapa
stok sumberdaya ikan telah mengalami kondisi tangkap lebih (over fishing). (Adisanjaya, 2009).
Tidak seperti sumberdaya alam lainnya, seperti pertanian dan peternakan yang sifat
kepemilikannya jelas, sumberdaya ikan umumnya terdapat pada rezim akses terbuka (open
access). Artinya, siapa saja bisa berpartisipasi tanpa harus memiliki dan bertanggungjawab
atas sumberdaya tersebut. Kondisi sumberdaya perikanan yang bersifat akses terbuka
cenderung mengindikasikan ketiadaan hak kepemilikan yang jelas.
Salah satu penyebab utama terjadinya penangkapan ikan berlebihan (overfishing) di
perairan laut dunia, termasuk Indonesia, adalah akses terbuka perikanan (fisheries open
access). Akses terbuka perikanan terjadi bila aturan pengelolaan yang diterapkan belum
mampu mencegah terjadinya perlombaan menangkap ikan (race to fish). Nelayan terus
termotivasi untuk menangkap ikan sebanyak-banyaknya karena jika tidak, maka nelayan lain
yang akan menangkapnya. Jika dibiarkan, hal ini dapat berujung pada kepunahan sumber daya
laut milik bersama (tragedy of the commons) (Halim A, 2017).

1.2 Tujuan

Mengetahui bagaimana Sistem hak kepemilikan sumberdaya perikanan agar dapat efektif
BAB II PEMBAHASAN
Hak kepemilikan (property right) merupakan hak yang dimiliki individu, masyarakat,
negara atas suatu sumberdaya (asset/endowment) untuk mengelola, memperoleh manfaat,
memindah tangankan, bahkan untuk merusaknya (North 1990). Hak kepemilikan merupakan
sebuah kelembagaan karena hak kepemilikan mengandung implikasi hubungan antara
sumberdaya dengan aktor yang terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya, artinya apabila aktor
berdiri sendiri tanpa ada sumberdaya yang dimanfaatkan, atau sumberdaya yang tersedia
tanpa ada aktor yang memanfaatkannya, maka pendefinisian hak kepemilikan tidak diperlukan.
Hak kepemilikan ini merupakan kumpulan hak‐hak (bundle of rights) yang diatur melalui
aturan tertentu, sehingga North (1990) menyatakan bahwa hak kepemilikan merupakan
institusi, karena di dalamnya mengandung norma‐norma dan aturan main pemanfaatannya dan
merupakan alat pengatur hubungan antar individu. Hak tersebut dapat diperoleh melalui
pembelian, pemberian dan hadiah atau melalui pengaturan administrasi pemerintah.
Terdapat empat tipe kepemilikan, yaitu : tidak ada pemilik (open access), milik bersama
(communal property), milik negara (state property) dan milik pribadi (private property) (Kissling-
N¨af & Kurt Bisang 2001).

Akses terbuka (open access property)


Open access property adalah properti yang tata kelolanya tanpa pengaturan, dimana
siapa pun dapat menggunakan dan mengambil manfaat dari properti. Properti dalam kondisi
akses terbuka ini mrupakan penggunaan yang tanpa kontrol sehingga sering menyebabkan
kemunduran / kerusakan dari sumber daya.
Jika setiap orang dapat menggunakan sebuah sumber daya maka tidak seorang pun
memiliki insentif untuk melakukan konservasi penggunaannya atau melakukan invetasi untuk
mengembangkannya. Contoh: daerah penggembalaan, penangkapan ikan dekat pantai, dan
hutan.
Tiga tipe rezim open access: (1) rezim open access karena kekurangan aturan yang
efektif untuk menentukan hak kepemilikan, (2) rezim open access sebagai akibat dari kebijakan
publik yang disengaja untuk menjamin akses bagi semua warga untuk menggunakan sebuah
sumber daya alam dalam suatu yurisdiksi tertentu, (3) rezim open access yang dihasilkan dari
ketidakefektifan pelarangan terhadap mereka yang bukan pemilik oleh entits yang ditugaskan
memiliki hak formal kepemilikan terhadap sumber daya tersebut.
Kepemilikan oleh komunal (communal / common property)
Kebanyakan definisi tentang common property mencakup elemen-elemen: (a) sebuah
kelompok yang terdefinisikan dengan jelas sebagai pemilik bersama, yang (b) mengembangkan
atau menganut rejim pengelolaan yang terdefinisikan dengan jelas, dimana (c0 pemilik bisa
melakukan pelarangan akses dan mengeluarkan / melakukan pelarangan terhadap yang bukan
pemilik dan meliputi (d) hak-hak dan tugas-tugas dari pemilik berkaitan dengan penentuan
tingkat penggunaan dari sumber daya comon property tersebut.
Ostrom (1990) mengajukan 8 prinsip dalam mempelajari pengelolaan common property:
1. Batas akses dan penggunaan dari common property terdefinisikan dengan jelas
2. Relevansi aturan terhadap kondisi sumber daya lokal
3. Pengaturan piihan kolektif dalam pengambilan keputusan
4. Monitoring efektif terhadap akses dan penggunaan sumber daya common property
5. Sanksi gradual terhadap pelanggar aturan
6. Mekanisme penyelesaian konflik
7. Pengakuan minimal terhadap hak untuk mengelola dari otoritas eksternal.
8. Manajemen jaringan dari sistem pengelolaan common property yang lebih besar (tiap
lapisan dario manamejemen berkaitan dengan lapisan manajemen yang lebih tinggi.
Common property kerapkali dicampuradukan dengan istilah open access terutama dengan
adanya tulisan dari Hardin: “The Tragedy of Common”

Kepemilikan oleh negara (state property)


Di bawah kepemilikan oleh negara, pemerintah menjadi pemilik hak tunggal dari sumber
daya, termasuk akases terhadap sumber daya itu dan menentukan tingkat penggunaannnya.
Instrumen yang ada untuk mempengaruhi perilaku individu berkaitan dengan pengelolaan state
property adalah zoning, pajak, peraturan-peraturan dan perizinan
.
Kepemilikan pribadi (private property)
Kepemilikan pribadi memberikan hak kepada individu untuk mengeluarkan / melarang
pihak lain untuk memperoleh aliran manfaat dari sumber daya itu dan mengggunakannya pada
suatu tingkat atau suatu cara yang ditentukan oleh individu yang bersangkutan
Adapun syarat kesempurnaan hak kepemilikan adalah (1) dapat diperjual belikan
(tradable), (2) dapat dipindah-tangankan (transferable); (3) dapat mengeluarkan pihak yang
tidak berhak (excludable) dan (4) dapat ditegakkan hak‐haknya (enforceable). Hak memindah-
tangankan (transferable right) di Indonesia dapat dipilah lagi menjadi 2 (dua) hak yaitu hak
untuk memperjualbelikan dan untuk mewariskan termasuk menghibahkan. Dengan
menggabungkan kedua konsep tersebut, untuk konteks Indonesia, maka hak-hak tersebut
dapat dipilah menjadi enam hak yaitu hak untuk memperjual-belikan,
mewariskan/menghibahkan, mengeksklusi, mengelola, memanfaatkan dan memasuki/akses
(Nugroho 2012).
Suatubarang (property) yang dapat diperjualkan belikan, maka akan mendorong pemilik
barang tersebut untuk mengelolanya dengan baik. Apabila dia gagal mengelola dengan baik,
maka harga barang tersebut akan merosot. Begitu pula dengan sifat dapat dipindah‐tangankan
misalnya melalui pewarisan. Tata nilai masyarakat akan mendorong untuk memberikan warisan
yang baik kepada penerima warisan. Sementara sifat excludable dan enforceable
mengindikasikan bahwa apabila suatu barang (walaupun dimiliki oleh seseorang, kelompok
ataupun negara) dapat dimanfaatkan oleh individu/kelompok lain atau siapa saja yang tidak
berhak, maka insentif untuk penghematan dan/atau pengelolaan yang baik akan hilang. Di lain
pihak, asset tersebut juga harus mendapat perlindungan baik oleh masyarakat maupun oleh
entitas pelindung hak‐hak warga. Akan menjadi sia‐sia apabila kepemilikan
seseorang/kelompok tidak dihormati oleh orang/kelompok lain.
Kategori dan tipe hak kepemilikan sumberdaya milik bersama yang disampaikan
Schlager dan Ostrom (1992), yaitu 1) hak memasuki dan memanfaatkan (access &
withdrawal), 2) hak mengelola (management), 3) hak mengeluarkan (exclution), dan 4) hak
memindahtangankan (alienation). Sedangkan menurut Kasper dan Streit (1998) kesempurnaan
hak meliputi: 1) hak mengeluarkan (excludability);2) hak memindahtangankan (transferability);
3) hak mendapatkan/persaingan (divisibility/rivalry); dan 4) penegakan hak (enforceability).
Kelestarian/keberlanjutan hak kepemilikan didukung oleh aspek legal (de jure rights).
Sedangkan hak yang belum mendapatkan pengakuan pemerintah disebut hak de facto rights.
Hak yang legal (de jure rights) penting untuk kondisi tertentu, misalnya untuk: 1) menghindari in-
efisiensi dan alasan kepunahan SDA; 2) dapat disesuaikan dengan pasti dengan kondisi SDA
sebenarnya; 3) pengguna akan lebih efektif mengadopsi regulasi yang dibuat sendiri (de facto);
dan 4) ongkos monitoring dan exclusion ditanggung oleh beneficiaries (pemanfaat sumberdaya
alam).
Konsep hak kepemilikan memiliki implikasi terhadap konsep hak (right) dan kewajiban
(obligation) yang diatur oleh hukum, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan
antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. Hak tersebut
dapat diperoleh melalui pembelian, pemberian dan hadiah atau melalui pengaturan
administrasipemerintah (Fernandez 2006). Konsekuensinya diperlukan persyaratan‐persyaratan
tertentu agar hak dapat ditegakkan, yaitu:
1. Adanya pengakuan atas hak dan kewajiban atas sumberdaya. Dalam banyak hal hak
kepemilikan merupakan produk dari tradisi atau adat kebiasaan dalam masyarakat atau
pengaturan administratif pemerintah, sehingga tidak seorangpun dapat menyatakan hak
milik tanpa pengakuan dari masyarakat dan negara. Dengan demikian, hak seseorang
harus mampu menumbuhkan kewajiban orang lain untuk menghormatinya dan hak
seseorang harus dapat menjadi sumber kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap
sumberdaya yang dimaksud.
2. Memperoleh perlindungan komunitas dan negara. Konsep pengakuan dan
penghormatan hak perlu diikuti dengan tindakan perlindungan atas hak oleh komunitas
dan negara melalui pemberian sanksi‐sanksi atas pelanggarannya. Sepanjang
sanksi‐sanksi tersebut tidak dapat dihadirkan dan ditegakkan atau kalau toh ditegakkan
memerlukan biaya transaksi dan penegakan hak (transaction and enforcement costs)
yang sangat mahal, maka kelembagaan hak kepemilikan yang mengatur hubungan
antar individu tersebut akan sia‐sia. Kasper dan Streit (1998) mengingatkan bahwa
institusi tanpa sanksi adalah tidak ada artinya (institution without sactions is useless).
3. Hak kepemilikan memerlukan biaya penegakan dan biaya eksklusi (exclusion costs).
Semakin mahal biaya‐biaya tersebut, semakin tidak berharga suatu asset/sumberdaya.
Demikian pula apabila manfaat yang dapat diperoleh dari sumberdaya tersebut jauh
lebih rendah dari biaya penegakan dan eksklusi, maka sumberdaya tersebut akan
ditinggalkan dan tidak terurus.
4. Karakteristik manfaat sumberdaya menentukan tingkat kesulitan penegakannya.
Menurut North (1990) hak relatif mudah ditegakkan apabila aliran manfaat dapat
diketahui dan konstan, atau aliran manfaat bervariasi ‐ tetapi dapat diprediksi.
Sebaliknya hak tidak mudah ditegakkan (biaya penegakan hak mahal) apabila aliran
manfaat dengan mudah dapat dinikmati pihak lain dan aliran manfaat bervariasi dan
tidak dapat diprediksi, maka biaya untuk menegakkan hak akan sangat mahal, akibatnya
masing‐masing pihak akan berlomba mengeksploitasi manfaat tersebut.
Pengelolaan Perikanan berbasis Hak Kepemilikan di Indonesia
Sumberdaya ikan Indonesia yang open access dan common property menyebabkan
akses dari masyarakat untuk memanfaatkan menjadi tidak terbatas. Hal ini tentunya akan
berakibat pada degradasi sumberdaya ikan dan berujung pada overfishing. Tidak adanya
sistem hak kepemilikan sumberdaya dan informasi tentang sumberdaya ikan yang tidak
tersedia akan menimbulkan masalah pada keberlanjutan sumberdaya ikan. Hal ini disiasati
dengan memberlakukan beberapa hal seperti; 1. Kuota yang dapat diperjualbelikan; 2. Pajak; 3.
Subsidi; dan 4. Pembayaran layanan ekologis.
Luasnya wilayah perairan Indonesia menjadi salah satu penyebab pengelolaan
perikanan menjadi tidak efektif. Hal ini dikarenakan pengawasan yang dilakukan oleh
pemerintah sangat terbatas oleh anggaran untuk pengadaan sarana dan prasarana. Salah satu
upaya yang dapat dilakukan adalah melibatkan masyarakat dalam upaya pengelolaan
perikanan Indonesia. Namun, dalam menerapkan sistem tersebut, terlebih dahulu harus
dijelaskan hak pengelolaan masyarakat. Untuk menjelaskan hal tersebut maka konsep Property
Right (PR) harus dapat diimplementasikan.
Kebijakan penerapan PR ini di satu segi akan mendorong ke arah pemanfaatan
sumberdaya kelautan secara berkelanjutan (sustainability) dan di sisi lain dapat
memaksimalkan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat (maximum social welfare) yang di
dalammnya terlaksana sistem pengawasan sumberdaya kelautan secara simultan (Sitorus H,
2017).
Tietenberg (1998) dalam Sitorus H (2017) menjelaskan bahwa Property Right (PR)
adalah hak yang menyatakan tentang pengelolaan, hak istimewa, maupun pembatasan dalam
penggunaan sumberdaya alam. Dengan mengetahui hak dan bagaimana pengaruhnya
terhadap perilaku manusia dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan, maka
kebijakan pemerintah maupun alokasi pasar dapat direncanakan. Dengan adanya PR yang
jelas, maka pemanfaatan sumberdaya hayati laut akan lebih efisien dan berkelanjutan, karena
seluruh biaya yang timbul dalam pengelolaan sumberdaya hayati tersebut menjadi
tanggungjawab pemilik PR tersebut.
Agar PR itu dapat berjalan efektif dalam implementasinya, haruslah dipenuhi 4 kriteria
berikut, yaitu : 1) hak pengelolaan harus dapat dinyatakan secara spesifik (universality), 2)
semua manfaat dan biaya sebagai konsekuensi dari hak pengelolaan sumberdaya laut tersebut
menjadi tanggungjawab pemilik PR (exclusivity), 3) hak pengelolaan laut dapat ditransfer
kepada pihak lain tanpa adanya paksaan (transferability), dan 4) hak pengelolaan sumberdaya
kelautan dan perikanan harus terjamin keamanannya dari perampasan dan gangguan pihak lain
(enforceability).
Sesuai dengan UU Nomor 29 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, khususnya Pasal 3
dan 10 yang menyatakan bahwa kewenangan propinsi dalam pengelolaan laut adalah 4 – 12
mil laut, dan kabupaten/kota 0 – 4 mil laut, maka penerapan PR ini lebih baik diserahkan
kepada daerah (desentralisasi kebijakan), sedangkan untuk wilayah perairan Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE), PR ini sebaiknya diberikan oleh pemerintah pusat karena menyangkut hak dan
kewajiban hukum laut internasional (UNCLOS).
Undang-undang Perikanan RI No. 45 Tahun 2009 tentang perikanan khusunya Pasal 7
telah memberikan landasan hukum yang kuat dalam penerapan PR ini. Agar sistem dan
kebijakan PR ini dapat diimplementasikan lebih cepat, maka seyogianya pemerintah dapat
mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Hak Pengelolaan Laut yang di dalamnya
mengatur secara detail mengenai PR tersebut.
Dalam penerapan PR tersebut, wilayah laut tetap milik negara (state property) sesuai
UUD 1945, tetapi hak (izin) pengelolaan diberikan kepada suatu kelompok masyarakat atau
kepada pihak swasta. Hal seperti ini telah lama berlangsung di Jepang, Filipina, Amerika
Serikat, dan negara lainnya. Sistem yang mereka terapkan pada dasarnya merupakan
implementasi dari Ekonomi Biru (Blue Economy) yang diperkenalkan Gunter Pauli (2010) dan
secara nyata telah mensejahterakan masyarakat nelayan.
Di Jepang, pengelolaan sumberdaya perikanan laut di wilayah perairan tertentu
diserahkan kepada Koperasi Nelayan, dan bahkan koperasi itu diberikan hak oleh pemerintah
untuk mengeluarkan izin pemanfaatan sumberdaya laut kepada pihak lain dengan aturan yang
lengkap. Sistem ini memungkinkan sumberdaya perikanan laut dapat terlindungi dari kegiatan
penangkapan ikan ilegal, pembatasan hasil tangkapan (allowable catch) melalui pengaturan
waktu penangkapan, ukuran dan jenis ikan yang boleh ditangkap, dan alat tangkap yang dapat
digunakan, sehingga sumberdaya laut dapat dimanfaatkan secara efisien, optimal dan
berkelanjutan.
Demikian juga di Filipina, hak pengelolaan diberikan kepada masyarakat lokal (desa
pantai), dan pendapatan dari pajak dan retribusi kegiatan usaha perikanan sebagian
dikembalikan ke desa nelayan tersebut untuk biaya pelestarian dan pengawasan sumberdaya
pesisir (ikan, terumbu karang dan hutan mangrove). Hal yang sama juga telah lama diterapkan
pada pengelolaan perikanan di Canada.
Di Indonesia, praktik serupa Hak Pengelolaan Perikanan yang didasarkan pada wilayah
penangkapan ikan, seperti sasi di Maluku dan Papua, sudah diterapkan sejak ratusan tahun
lalu. Dalam praktik sasi, kelompok-kelompok masyarakat adat yang bermukim di sekitar
Kepulauan Maluku menguasai wilayah-wilayah ulayat (adat) di pesisir laut. Wilayah ulayat yang
dimiliki kelompok masyarakat adat tertentu dikenal sebagai Petuanan Laut. Wilayah yang dapat
dimanfaatkan bersama disebut wilayah Petuanan Umum. Praktik sasi menunjukkan bahwa
konsep hak milik terhadap sumber daya alam, termasuk sumber daya ikan di wilayah tertentu,
oleh kelompok masyarakat adat bukan hal yang baru dan bukan hal yang tidak mungkin di
Indonesia.

Penerapan pengelolaan perikanan berbasis hak di berbagai negara terbukti mampu


menghentikan dan bahkan membalikkan kecenderungan laju penurunan sumber daya ikan,
mengurangi peluang terjadinya penangkapan berlebihan (overfishing), meningkatkan kepatuhan
terhadap peraturan termasuk batasan jumlah tangkapan, dan menjamin ketersediaan lapangan
kerja dan keuntungan bagi nelayan. Hal ini menunjukkan efisiensi menurut Bernard Tania
dalam Sondakh J, 2014 yaitu terjaminnya hak kepemilikan dan kualitas lingkungan yang
terjaga.
Sehingga untuk mendukung penerapan hak pengelolaan perikanan di Indonesia perlu
dukungan legal melalui undang-undang dan studi perikanan—seperti dinamika populasi ikan,
termasuk di antaranya pendugaan kondisi stok sumber daya ikan yang hendak dikelola. Elemen
eksklusifitas dalam hak pengelolaan perikanan harus didukung oleh undang-undang karena
implikasinya tidak membolehkan orang lain yang bukan anggota kelompok masyarakat
penerima (pemegang) hak pengelolaan perikanan menangkap ikan tertentu di wilayah
pengelolaan yang telah ditentukan.
Status stok sumber daya ikan yang hendak dikelola, yang bisa menjadi indikator
keberhasilan penerapan hak pengelolaan perikanan, harus dapat diduga dengan menggunakan
metode yang dapat diterima secara ilmiah dan mudah diterapkan untuk kondisi perikanan
dengan data yang terbatas seperti di Indonesia. Dari sisi sains perikanan, pendugaan stok
untuk perikanan dengan data yang sangat terbatas seperti di Indonesia, juga telah mengalami
kemajuan pesat. Saat ini telah dikembangkan model pendugaan status stok jenis ikan
berdasarkan informasi Rasio Potensi Pemijahan (Spawning Potential Ratio, SPR) yang dapat
diduga hanya berdasarkan data panjang ikan (length frequency) dan informasi parameter
pertumbuhan ikan (growth parameters).
BAB III PENUTUP
Pengelolaan perikanan di Indonesia tentunya diharapkan akan menemukan titik terang yang
akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan sumberdaya perikanan. Salah
cara yang dapat dilakukan untuk menciptakan pengelolaan yang efisien adalah pengelolaan
perikanan berbasis masyarakat. Penetapan hak pengelolaan masyarakat akan memberikan
masyarakat hak untuk memanfaatkan sumberdaya dalam pemenuhan kebutuhan hidup mereka
serta keinginan untuk melakukan konservasi agar sumberdaya dapat berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA
Derek A, Hein M, Le Van An,Melissa M, Truong VT.2012.Do collective property rights make
sense? Insights from central Vietnam.International Journal of the Commons Vol. 6, no 1
February 2012, pp. 1–27

Halim A. 2017. Pengelolaan Perikanan Berbasis Hak Berpotensi Mengurangi Penangkapan


Ikan Berlebih. [online][ http://theconversation.com/pengelolaan-perikanan-berbasis-hak-
berpotensi-mengurangi-penangkapan-ikan-berlebihan-85807] diakses pada 17 November
2018

Harlyan, LI. 2015. Modul Manajemen Sumberdaya Perikanan. Jurusan Pemanfaatan


Sumberdaya Perikanan dan Kelautan. Universitas Brawijaya. Malang

Kustanti, Asihing. 2013. Evolusi Hak Kepemilikan Dan Penataan Peran Para Pihak Pada
Pengelolaan Ekosistem Hutan Mangrove Dengan Kemunculan Tanah Timbul. Thesis.
Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor.

Sondakh J, 2014, HAK MILIK ATAS TANAH MENURUT HUKUM ADAT (Eksistensi
Pemanfaatan dan Tantangannya dalam Hukum Indonesia), Karya Ilmiah, Fakultas Hukum
Universitas Sam Ratulangi, Manado

Sitorus H. 2017. Hak Pengelolaan Sumberdaya Laut. [online]


[https://hasitopan64.wordpress.com/2015/02/10/hak-pengelolaan-sumberdaya-laut/]
diakses pada 17 November 2018

https://bebasbanjir2025.wordpress.com/04-konsep-konsep-dasar/property-right/

Anda mungkin juga menyukai