Konflik Nelayan Indonesia
Konflik Nelayan Indonesia
Konflik antar
nelayan
Peraturan
tradisional
Menteri
bengkulu denga Perbedaan Alat
9 2017 Kelautan dan
n nelayan yang Tangkap
Perikanan
menggunakan
Nomor 2/2015
pukat di
Bengkulu
https://www.s
uaralidik.com
/dinas-
3 nelayan
Nelayan kelauatan-
Pasal 7 Ayat 2 Bulukumba
Kabupaten Para nelayan asal dan-
Undang- mengalami
Bulukuma dan Kabupaten Bantaeng perikanan-
undang Nomor cidera akibat
10 2018 Nelayan masuk mencari ikan janji-akan-
45 Tahun 2009 penganiaayaa
Kabupaten di perairan selesaikan-
Tentang n oleh
Bantaeng, Bulukumba komplik-
Perikanan nelayan
Sulawesi Selatan nelayan-
Bantaeng
bantaeng-
dan-
bulukumba/
Adanya https://www.
penahanan merdeka.com
sampan milik /peristiwa/cur
nelayan i-ikan-dan-
sumut, hasil-laut-di-
Nelayan dari Pasal 7 Ayat 2
ditembaknya perairan-
wilayah perairan Undang-
nelayan rokan-hilir-
sumut dan Wilayah undang Nomor
11 2018 sumut oleh nelayan-
Nelayan di penangkapan ikan 45 Tahun 2009
polisi air ditembak-
sekitar daerah Tentang
yang mati.html
Rokan Hilir Riau Perikanan
menyebab 1
orang
meninggal
dan 2 orang
terluka
Konflik Konflik terjadi
antara warga lantaran nelayan yan Terjadi
Desa g bermunkim di pertikaian
Pajjukukang,Bo Pajjukukang dan antara
ntoa, Maros dan Sarappo tidak nelayan
12 2018
Pulau dizinkan untuk berupa
Kodingareng menangkap ikan di pembakaran
Makassar serta laut yang berada di kapal milik
Pulau Sarappo, Kodingareng, nelayan lain
Pangkep Makassar.
Dari berbagai tabel diatas dapat disimpulkan bahwa konflik antar nelayan di Indonesia
sangat rentan terjadi dengan akibat yang juga tidak sedikit. Konflik antar nelayan biasanya
disebabkan oleh perbedaan alat tangkap yang dimiliki oleh para nelayan dan juga perbatasan
wilayah tangkap yang masih belum jelas.
Dalam pemanfaatan sumber daya perikananan laut terjadi kompetisi baik antara nelayan
lokal maupun dengan nelayan pendatang. Kompetisi terjadi dalam penggunaan teknologi alat
tangkap juga perebutan sumberdaya lokasi wilayah penangkapan (fishing ground). Hal ini
kemudian menjadi potensi konflik yang suatu saat akan mengakibatkan terjadinya konflik
terbuka. Pemanfaatan teknologi penangkapan sangat tergantung pada kemampuan modal dan
ketrampilan nelayan dalam menggunakaannya. Tidak semua lapisan masyarakat dapat
memanfaatkan teknologi penangkapan modern. Sementara laut sebagai common property
resources (sumberdaya milik bersama) tidak memiliki batasan wilayah yang jelas. Dalam
kondisi demikian, sering terjadi benturan atau konflik diantara para nelayan yang sangat
tergantung secara ekonomis terhadap laut. Konflik nelayan terjadi diantara kelompok nelayan
yang menggunakan sumberdaya alam yang sama dengan penggunaan alat tangkap yang sama
pula atau dinatara para nelayan yang menggunakan peralatan tangkap yang berbeda pada
daerah penangkapan yang sama.
Dalam hal ini, aktor-aktor yang terlibat adalah nelayan tradisional, nelayan modern (aktor
bisnis), dan pemerintah. Nelayan tradisional merupakan aktor yang paling menderita kerugian
dalam konflik ini. Mereka menjadi kelompok yang ditundukkan dan didominasi oleh nelayan
modern dan pemerintah. Kepentingan mereka untuk memperoleh pendapatan yang cukup
dikalahkan oleh tindakan-tindakan pemerintah yang cenderung mendukung over-eksploitasi
melalui kebijakan revolusi biru yang lebih berideologi produktivitas. Nelayan yang
menggunakan mini trawl pun cenderung dibiarkan oleh pemerintah. Ketika kepentingan
tersebut tidak disadari maka tidak akan memunculkan konflik, namun ternyata nelayan
tradisional ini menyadarinya dan akhirnya memunculkan konflik terbuka. Dengan demikian
nelayan tradisional lebih merupakan sebagai subordinat dan pemerintah sebagai superordinat.
Sedangkan nelayan modern berperan sebagai subordinat terhadap Negara namun berperan
sebagai superordinat terhadap nelayan tradisional.
Seperti yang dikatakan oleh Dahrendorf bahwa seseorang yang berwenang dalam
lingkungan tertentu tak harus memegang posisi otoritas dalam lingkungan lain. Nelayan
modern bertindak sebagai superordinat terhadap nelayan tradisional karena ia tidak dapat
dijatuhkan oleh nelayan tradisional. Superordinat yang seharusnya mengaturnya, yakni
negara, malah seakan-akan tidak peduli dengan kondisi tersebut padahal negara adalah
pemegang otoritas tertinggi. Bahkan disebutkan bahwa terdapat indikasi adanya perlindungan
aparat keamanan setempat terhadap pengguna mini trawl tertentu.
Asumsi Ralf tentang masyarakat ialah bahwa setiap masyarakat setiap saat tunduk pada
proses perubahan, dan pertikaian serta konflik ada dalam sistem sosial juga berbagai elemen
kemasyarakatan memberikan kontribusi bagi disintegrasi dan perubahan. Suatu bentuk
keteraturan dalam masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang
memiliki kekuasaan, sehingga ia menekankan tentang peran kekuasaan dalam
mempertahankan ketertiban dalam masyarakat.
Bagi Dahrendorf, masyarakat memiliki dua wajah, yakni konflik dan konsesus yang
dikenal dengan teori konflik dialektika. Dengan demikian diusulkan agar teori sosiologi dibagi
menjadi dua bagian yakni teori konflik dan teori konsesus. Teori konflik harus menguji
konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat sedangkan teori
konsesus harus menguji nilai integrasi dalam masyarakat. Bagi Ralf, masyarakat tidak akan
ada tanpa konsesus dan konflik. Masyarakat disatukan oleh ketidakbebasan yang dipaksakan.
Dengan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas
terhadap posisi yang lain.
Fakta kehidupan sosial ini yang mengarahkan Dahrendorf kepada tesis sentralnya bahwa
perbedaan distribusi ‘otoritas” selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial
sistematis. Hubungan Otoritas dan Konflik Sosial Ralf Dahrendorf berpendapat bahwa posisi
yang ada dalam masyarakat memiliki otoritas atau kekuasaan dengan intensitas yang berbeda-
beda. Otoritas tidak terletak dalam diri individu, tetapi dalam posisi, sehingga tidak bersifat
statis. Jadi, seseorang bisa saja berkuasa atau memiliki otoritas dalam lingkungan tertentu dan
tidak mempunyai kuasa atau otoritas tertentu pada lingkungan lainnya. Sehingga seseorang
yang berada dalam posisi subordinat dalam kelompok tertentu, mungkin saja menempati
posisi superordinat pada kelompok yang lain.