PENDAHULUAN
Penyakit dan hospitalisasi seringkali menjadi masalah utama yang harus dihadapi anak.
Stressor utama hospitalisasi pada anak adalah perpisahan dengan keluarga, kehilangan kendali,
cidera tubuh dan nyeri(Wong, 2009). Nyeri merupakan pengalaman umum yang dialami oleh anak.
Prosedur pemasangan infus menjadi sumber kedua dari nyeri yang paling dirasakan anak setelah
penyakit yang dideritanya (Rudolph, 2014). Perbedaan usia, tingkat perkembangan anak dan
kemampuan dalam berkomunikasi dapat mempengaruhi anak ketika menyampaikan rasa sakit
(O'neal & Olds, 2016).
Reaksi anak prasekolah pada saat pemasangan infus adalah menangis, menggigit bibir,
mengatupkan gigi, menendang, memukul, dan berlari keluar ruangan (Hockenberry & Wilson,
2009). Nyeri yang tidak dapat diatasi biasanya menimbulkan dampak secara fisik maupun perilaku.
Dampak fisik nyeri terdiri dari dampak akut (jangka pendek) yang ditandai dengan peningkatan
laju metabolisme, peningkatan produksi kortisol dan peningkatan retensi cairan. Sedangkan
dampak kronis (jangka panjang) ditandai dengan meningkatnya stress pada anak yang
mengakibatkan ketidakmampuan dalam melakukan aktivitas (Astuti & Khasanah, 2017).
Infus intravena (IV) merupakan instilasi cairan, elektrolit, obat-obatan, darah, atau zat
nutrien ke vena. Terapi infus intravena adalah tindakan terapi yang paling sering dilakukan
dirumah sakit (Kozier & Erb, 2009). Menurut United of Central for Nursing, Midwifery and
Health Visiting (UKCC) terapi melalui infus sekarang ini merupakan bagian integral dalam
praktek keperawatan professional tidak hanya mengawasi masuknya infus, akan tetapi dengan
perkembangan ilmu keperawatan seorang perawat professional akan terlibat dan bertanggung
jawab akan pemasangan dan pelepasan kateter, dan juga bertanggung jawab akan komplikasi
akibat pemasangn kateter (Royal College of Nursing, 2010).
Prosedur pungsi vena termasuk hal yang menakutkan bagi anak-anak, disamping
sesuatu yang menyakiti tubuh dan menimbulkan rasa nyeri yang berat dapat menjadikan
trauma pada anak saat dilakukan hal yang sama. Sifat dari kondisi anak meningkatkan
kecenderungan bahwa mereka akan mengalami prosedur yang lebih invasif dan traumatik pada
saat mereka menjalani hospitalisasi (Wong, et al., 2009, hlm.764).
Kondisi yang membuat tidak nyaman pada anak saat dirawat di rumah sakit salah
satunya yaitu dengan adanya tindakan yang menimbulkan nyeri. Hasil penelitian Mariyam
(2012), menunjukkan ada pengaruh guided imagery terhadap tingkat nyeri anak saat
pemasangan infus.
Nyeri akut merupakan suatu perasaan yang tidak menyenangkan dan pengalaman
emosional yang muncul akibat kerusakan yang aktual atau potensial atau digambarkan dalam
kondisi akibat kerusakan yang tibatiba atau lambat dengan berbagai tingkatan baik sedang
hingga tinggi dengan diantisipasi atau diprediksi serta waktunya kurang dari 6 bulan (NANDA,
2012).
Nyeri pada anak merupakan satu hal yang kompleks, individual, subjektif, dan
merupakan hal yang umum terjadi. Nyeri dapat diartikan sebagai suatu perasaan tidak nyaman
atau tidak menyenangkan yang sering dialami oleh individu (Andarmoyo, 2013).
Nyeri pada anak yang tidak segera diatasi akan berdampak secara fisikmaupun
perilaku. Dampak fisik dari nyeri terbagi atas dampak akut (jangka pendek), yang ditandai
dengan peningkatan laju metabolisme dan curah jantung, kerusakan respon insulin,
peningkatan produksi kortisol, dan meningkatnya retensi cairan. Adapun dampak kronis
(jangka panjang), dimana nyeri berlangsung terus-menerus dan dalam waktu yang lama, akan
meningkatkan stres pada anak serta mengakibatkan ketidakmampuan melakukan aktifitas.
Anak yang harus mendapatkan perawatan di Rumah Sakit seringkali mendapatkan pengalaman
dari berbagai prosedur invasif yang perlu dijalani. Pemasangan infus merupakan salah satu
tindakan invasif awal yang menentukan keberhasilan prosedur tindakan
selanjutnya. Apabila kesan pertama saat dilakukan prosedur tindakan anak merasa nyaman,
untuk dilakukan tindakan selanjutnya akan lebih mudah, karena dalam presepsi anak tindakan
sebelumnya tidak menyakitkan. Hal ini sebagaimana konsep atraumatic care yang seharusnya
dilakukan perawat. Atraumatic care adalah ketentuan dalam konsep perawatan terapeutik,
yang dilakukan perawat melalui tindakan menghilangkan atau meminimalkan tekanan
psikologis dan fisik yang dialami oleh anak dan keluarga dalam sistem perawatan kesehatan
(Hockenberry & Wilson, 2009).
Salah satu teknik distraksi yang dapat dilakukan pada anak dalam penatalaksanaan
nyeri adalah menonton kartun animasi (Wong, 2009). Pada film kartun animasi terdapat unsur
gambar, warna, dan cerita sehingga anak-anak menyukai menonton film kartun animasi
(Windura, 2008). Ketika anak lebih fokus pada kegiatan menonton film kartun, hal tersebut
membuat impuls nyeri akibat adanya cidera tidak mengalir melalui tulang belakang, pesan
tidak mencapai otak sehingga anak tidak merasakan nyeri (Brannon dkk, 2013).
DATA AWAL
Berdasarkan uraian di atas peneliti merasa tertarik untuk meneliti adakah pengaruh
teknik distraksi menonton kartun animasi terhadap skala nyeri anak usia prasekolah saat
pemasangan infus di ruang anak Rumah Sakit Islam Siti Khodijah Palembang 2019.
Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka pertanyaan peneliti adalah adakah
pengaruh teknik distraksi menonton kartun animasi terhadap skala nyeri anak usia prasekolah
saat pemasangan infus di ruang anak Rumah Sakit Islam Siti Khadijah Palembang 2019.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi baru bagi
mahasiswa di masa yang akan datang, serta menambah wawasan pengembangan ilmu
keperawatan tentang pengaruh teknik distraksi menonton kartun animasi terhadap skala nyeri
pada anak prasekolah saat pemasangan infus.
1.5.3 Bagi Peneliti
Ruang lingkup pada penelitian ini di bidang keperawatan anak, tentang pengaruh
teknik distraksi menonton kartun animasi terhadap skala nyeri pada anak prasekolah saat
pemasangan infus di ruang anak Rumah Sakit Islam Siti Khadijah Palembang Tahun 2019.