Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

TEORI BELAJAR CONNECTIONISM (THORNDIKE)

Diajukan Sebagai Tugas Kelompok Mata Kuliah Psikologi Belajar

Dosen Pengampu:

M. Iksan,MA

Oleh:

Bernas Wiraning (16410030)

Yuni Hadziqotul Fuadah (16410182)

M. Naufal Firosa Ahda (16410187)

M. Johan Firmansyah ( 16410193)

Kelas: B

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM

MALANG

TAHUN 2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada umumnya manusia tidak terlepas dari proses belajar. Banyak tokoh
yang mengemukakan mengenai teori-teori belajar, seperti Skinner, Pavlov,
dan yang lainnya, tak terkecuali Thorndike. Secara umum proses belajar
terdiri dari yang namanya stimulus dan respon. Thorndike di sini
mengemukakan teori mengenai belajar connectionism yang merupakan
pembentukan koneksi antara keduanya, yaitu stimulus dengan respon. Pada
makalah ini dipaparkan mengenai biografi dari Edward Lee Thorndike, teori
belajar connectionism itu sendiri, pengaplikasian teori tersebut, serta kekurang
dan kelebihan dari teori connectionism.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana biografi Edward Lee Thorndike?
2. Bagaimana teori belajar koneksionisme?
3. Bagaimana aplikasi dari teori belajar koneksionisme?
4. Apa saja kekurangan dan kelebihan dari teori belajar koneksionisme?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui biografi dari tokoh yang bersangkutan.
2. Untuk mengetahui teori belajar konseksionisme.
3. Untuk mengetahui bagaimana aplikasi dari teori belajar koneksionisme.
4. Untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan teori belajar koneksionisme.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Biografi Thorndike


Edward Lee Thorndike merupakan seorang psikolog yang dilahirkan di
Williamsburg, Massachusetts pada 31 Agustus 1874, dia merupakan anak dari
seorang pendeta metodis di Lowell. Thordnike semasa belajarnya
menghabiskan waktunya di Teachers College, Columbia University. Dia
merupakan lulusan Harvard pada tahun 1897 dan menadapat gelar MA di
universitas tersebut. Selama berada di Harvard dia tertarik pada fokus tentang
bagaimana hewan dapat belajar, dalam keilmuan ini disebut dengan Etologi,
dimana merupakan keilmuan yang membahas bagaimana hewan tersebut
dapat belajar dari suatu hal. Di sana Thorndike juga bekerja sama dalam
penelitian dengan William James. Setelah itu dia lebih tertarik pada hewan
‘manusia’ dan kemudian dia mengabdikan dirinya demi penelitian ini dan
menulis buku yang berjudul Animal Intelligence, An Experimental Study Of
Association Process in Animal, buku tersebut merupakan hasil penelitian
Thorndike terhadap tingkah beberapa jenis hewan seperti kucing, anjing, dan
burung yang mencerminkan prinsip dasar dari proses belajar yang dianut oleh
Thorndike, yaitu dasar bahwa dari belajar tidak lain sebenarnya adalah
asosiasi, suatu stimulus akan menimbulkan suatu respon tertentu.. Setelah
lulus Thorndike mulai kembali ke awal yakni psikologi pendidikan dan pada
tahun 1898 ia menyelesaikan PhD-nya di Universitas Columbia di bawah
pengawasan James Mckeen Cattel, salah satu pendiri psikometri.
Thorndike juga mempunyai karya semasa hidupnya yaitu di bidang
psikologi perbandingan dan proses pembelajaran sehingga membuahkan teori
connectionism (selanjutnya disebut dengan koneksionisme) dan membantu
meletakkan dasar ilmiah untuk psikologi pendidikan modern, di sisi lain dia
juga bekerja di pengembangan sumber daya manusia di tempat industri,
seperti ujian dan pengujian karyawan, dia juga merupakan anggota dari dewan
Psychological Corporation dan pernah menjabat sebagai presiden APA
(American Psychological Association) pada tahun 1912. Thorndike sendiri
dalam penelitiannya mengungkapkan tentang teori S-R dimana dalam proses
belajarnya, pertama kali organisme (hewan atau manusia) belajar dengan cara
coba salah (Trial and Error). Jika sebuah organisme berada dalam suatu
situasi yang mengandung masalah maka organisme itu akan mengeluarkan
serentakan tingkah laku dari kumpulan tingkah laku yang ada padanya untuk
memecahkan masalah itu. Maka dengan mengacu pada pengalaman itu maka
ketika pada saat mengahadapi sebuah masalah yang serupa, organisme sudah
tahu tingkah laku mana yang harus dikeluarkannya untuk memecahkan
masalah. Ia mengasosiasikan suatu masalah tertentu dengan sutau tingkah laku
tertentu. Seekor kucing misalnya yang dimasukkan dalam kandang yang
terkucni maka dia akan bergerak, mengaum, mencakar dsb. Hingga suatu
ketika secara kebetulan ia menginjak atau menekan sebuah tombol yang ada di
dalam kandang tersebut sehingga kandang itu terbuka, maka dari adanya
asosiasi dari masalah sebelumnya maka jika pada suatu waktu kucing tersebut
dimasukkan ke dalam kandang lagi maka ia akan menekan tombol yang sama
lagi agar kadandang tersebut dapat dibukanya.

2.2 Teori Belajar Connectionism


Pada mulanya, pendidikan dan pengajaran di Amerika Serikat didominasi
oleh pengaruh dari Thorndike (1874-1949) teori belajar Thorndike disebut
“Connectionism” karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi-
koneksi antara stimulus dan respon. Teori ini sering juga disebut “Trial and
error” dalam rangka menilai respon yang terdapat bagi stimulus tertentu.
Thorndike mendasarkan teorinya atas hasil-hasil penelitiannya terhadap
tingkah laku beberapa binatang antara lain kucing, dan tingkah laku anak-anak
dan orang dewasa. Teori koneksionisme adalah teori yang ditemukan dan
dikembangkan oleh Edwar L. Thorndike berdasarkan eksperimen yang ia
lakukan pada tahun 1890-an. Eksperimen ini menggunakan hewan-hewan
terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar. Seekor kucing yang
lapar ditempatkan dalam sangkar berbentuk kotak berjeruji yang dilengkapi
dengan peralatan, seperti pengungkit, gerendel pintu, dan tali yang
menghubungkan pengungkit dengan gerendel tersebut. Peralatan ini ditata
sedemikian rupa sehingga memungkinkan kucing tersebut memperoleh
makanan yang tersedia di depan sangkar tadi. Keadaan bagian dalam sangkar
yang disebut puzzle box (teka-teki) itu merupakan situasi stimulus yang
merangsang kucing untuk bereaksi melepaskan diri dan memperoleh makanan
yang ada di muka pintu. Mula-mula kucing tersebut mengeong, mencakar dan
berlari-larian, namun gagal membuka pintu untuk memperoleh makanan yang
ada di depannya. Akhirnya, entah bagaimana, secara kebetulan kucing itu
berhasil menekan pengungkit dan terbukalah pintu sangkar tersebut.
Eksperimen puzzle box ini kemudian terkenal dengan nama instrumental
conditioning. Artinya, tingkah laku yang dipelajari berfungsi sebagai
instrumental (penolong) untuk mencapai hasil atau ganjaran yang
dikehendaki.
Berdasarkan eksperimennya tersebut Thorndike menyimpulkan bahwa
belajar merupakan hubungan antara stimulus dengan respon. Belajar
merupakan suatu proses interaksi antara stimulus dengan respon. Stimulus di
sini maksudnya adalah apa-apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar
seperti pikiran, perasaan, dan hal lain yang dapat ditangkap melalui indera.
Sedangkan respon adalah reaksi atau hasil dari proses penangkapan stimulus
tadi oleh alat indera, bentuknya dapat berupa perasaan atau gerakan/tindakan
yang berwujud konkrit maupun tidak. Teori koneksionisme Thorndike ini
disebut juga sebagai “S-R Bond Theory” dan “S-R Psychology of Learning”,
dikenal juga dengan “Trial and Error”.
Ciri-ciri belajar trial and error menurut Thorndike adalah sebagai berikut:
1. Ada motif pendorong aktivitas.
2. Ada respon terhadap sesuatu.
3. Ada eliminasi respon-respon yang gagal atau salah.
4. Ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan dari penelitiannya itu.
Selain itu Thorndike juga mengemukakan beberapa hukum-hukum belajar
dalam teorinya, yaitu: hukum latihan (law of exercise), hukum akibat (law of
effect), dan hukum kesiapan (law of readiness).

a. Hukum latihan mengandung 2 hal, yaitu law of use dan law of disuse.
Dalam hukum ini menyatakan bahwa suatu proses belajar akan
menghasilkan respon yang kuat ketika stimulus yang ada dilakukan
secara berulang-ulang (latihan/exercise). Law of use ini dimaksudkan
ketika responnya kuat, sedangkan law of disuse ini dimaksudkan ketika
responnya menjadi lemah karena tidak adanya proses pengulangan.
b. Hukum akibat juga mengandung 2 hal, yaitu: suatu tindakan/perbuatan
yang menghasilkan rasa puas (menyenangkan) akan cenderung
diulang, dan sebaliknya suatu tindakan/perbuatan yang menghasilkan
rasa tidak puas (tidak menyenangkan) akan cenderung tidak diulang
lagi.
c. Hukum kesiapan menjelaskan mengenai kesiapan individu dalam
melakukan sesuatu. Maksud kesiapan di sini adalah kecenderungan
untuk bertindak. Untuk menghasilkan proses belajar yang maksimal,
maka individu harus memiliki kesiapan untuk melakukan sesuatu. Ada
3 keadaan yang menunjukkan hukum ini berlaku, yaitu:
1. Bila pada individu ada kesiapan dan dapat melakukan kesiapan
tersebut, maka individu akan mengalami kepuasan.
2. Bila individu ada kesiapan dan tidak dapat melakukan kesiapan
tersebut, individu akan mengalami kekecewaan.
3. Bila individu tidak ada kesiapan untuk bertindak dan individu
tersebut dipaksa untuk melakukannya, maka akan menimbulkan
keadaan yang tidak memuaskan.

Ada satu konsep penting dari teori belajar koneksionisme ini, yaitu
transfer of training. Konsep ini menjelaskan bahwa apa yang telah dipelajari
oleh individu sekarang harus dapat dilakukan di masa yang akan mendatang.
Seperti misal, belajar membaca di sekolah. Individu yang telah belajar
membaca dan memiliki keterampilan untuk membaca harus dapat
menggunakan keterampilannya tersebut untuk membaca apapun selain dari
bacaan di sekolah, misal membaca koran atau majalah di luar sekolah.

Selain itu, Thorndike juga mengemukakan beberapa hukum-hukum


tambahan, yaitu: law of multiple respond, law of attitude, law of partial
activity, law of response by analogy, dan law of assciative shifting. Penjelasan
dari beberapa hukum tersebut sebagai berikut.

1. Law of multiple respond. Individu belajar berbagai respon dari


stimulus sebelum mendapat respon yang tepat.
2. Law of attitude. Proses belajar dapat berlangsung ketika ada attitude
atau sikap individu yang mendukung (positif).
3. Law of partial activity. Individu dapat memilih reaksi atau respon
mana terhadap situasi atau stimulus tertentu. Individu dapat memilih
hal-hal yang pokok dan mendasarkan tingkah lakunya kepada hal-hal
yang pokok, dan meninggalkan tingkat lakunya kepada hal-hal yang
kecil.
4. Law of response by analogy. Individu cenderung memiliki reaksi atau
respon yang sama terhadap situasi baru yang berbeda/mirip dengan
situasi sebelumnya.
5. Law of assciative shifting. Sikap respon yang telah dimiliki oleh
individu dapat melekat pada stimulus baru.

Thorndike juga mengemukakan mengenai prinsip-prinsip belajar, yaitu:

1. Pada saat individu menemui situasi yang dianggapnya baru, individu


tersebut akan mengeluarkan respon yang beragam sampai yang
bersangkutan mendapat respon yang benar.
2. Apa yang ada pada diri seseorang (pengalaman, kepercayaan, sikap, dll.)
turut memengaruhi tercapainya tujuan yang ingin dicapai.
3. Individu memiliki potensi untuk mengadakan seleksi terhadap respon apa
yang tepat untuk dimunculkan.
4. Orang cenderung memberikan respon yang sama terhadap situasi yang
sama.
5. Orang cenderung menghubungkan respon yang ia kuasai dengan situasi
yang membuatnya tersadar bahwa respon yang dikuasainya tersebut saling
memiliki hubungan.
6. Ketika suatu respon cocok dengan suatu situasi maka relatif mudah untuk
dipelajari.

2.3 Aplikasi Teori Belajar Connectionism


Teori koneksionisme dimaksudkan untuk menjadi teori belajar umum bagi
hewan dan manusia. Thorndike mengkhususkan minatnya pada penerapan
teori koneksionsime bagi pendidikan termasuk matematika, mengeja dan
membaca, pengukuran inteligensia, dan pembelajaran bagi orang dewasa.
Dengan memahami prinsip koneksionisme, maka tugas pertama pendidik
di dalam kelas adalah, membuat anak didiknya memahami manfaat pelajaran
yang akan disampaikan. Manfaat yang dimaksud tentunya bukan manfaat
yang “diawang-awang” atau dibayangkan, tetapi manfaat praktis yang dapat
dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut prinsip koneksionisme, mata
pelajaran yang tidak dipahami manfaat kesehariannya, akan sulit pula
dipahami oleh siswa. Andaikata pelajaran itu dapat dihafalkan, akan cepat
sekali dilupakan, karena apa saja yang tidak dibutuhkan pasti akan dibuang.
Saat ini, banyak sekali pelajaran yang sulit dimengerti manfaat praktisnya
oleh anak didik. Sebagai contoh, anak SMA sudah diajarkan masalah ekspor-
impor. Pertanyaannya sederhana, apakah ekspor-impor adalah dunia anak-
anak SMA? Apakah benar mereka membutuhkan pelajaran itu untuk survive
dalam kehidupan sehari-hari? Akhirnya yang terjadi adalah, “hafal-menghafal,
asal hafal saja”. Dan masih banyak lagi kalau mau dicari satu per satu,
pelajaran di sekolah yang jauh dari kehidupan anak didiknya.

2.4 Kekurangan dan Kelebihan Teori Belajar Connectionism


Kekurangan:
1. Kurang mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks karena banyak
varibel yang berkaitan dengan pendidikan tidak dapat diubah menjadi
sekadar hubungan antara stimulus dan respon.
2. Kurang mampu menjelaskan alasan-alasan yang mengacaukan hubungan
antara stimulus dan respon sehingga tidak mampu menjawab hal-hal yang
menyebabkan terjadinya penyimpangan antara stimulus yang diberikan
dengan responnya.
3. Terlalu memandang manusia sebagai mekanismus belaka yang disamakan
dengan hewan. Trial and error tidak berlaku mutlak bagi manusia.
4. Memandang belajar hanya merupakan asosiasi belaka antara stimulus dan
respon, sehingga yang dipentingkan dalam belajar hanyalah memperkuat
asosiasi tersebut dengan pengulangan atau latihan.
5. Pengertian belajar tidak begitu diperhatikan sebagai unsur yang pokok
dalam belajar.

Kelebihan:

1. Ketika sering melakukan pengulangan dalam memecahkan suatu masalah,


maka individu akan memiliki sebuah pengalam yang berharga.
2. Konsep trial and error membuat individu bisa menguasai hubungan
stimulus dan respon sebanyak-banyaknya sehingga ia akan terbiasa
berpikir dan terbiasa mengembangkan pikirannya.
3. Teori ini mengarahkan individu untuk berpikiran secara pembentukan atau
shapping yang menuju target tertentu.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

1. Teori belajar yang dikemukakan oleh Edward Lee Thorndike adalah teori
belajar connectionism dengan konsep trial and error.
2. Belajar merupakan asosiasi dari koneksi antara stimulus dan respon.
3. Ada beberapa hukum dalam teori belajar koneksionisme, yaitu: hukum
latihan, akibat, kesiapan, multiple respond, attitude, partial activity, dan
response by analogy.
4. Terdapat beberapa kekurangan dan kelebihan dari teori belajar
koneksionisme.
DAFTAR PUSTAKA

George, Boeree, Sejarah Psikologi, Jakatra: Prima Shopie.2005


Imran, Ali. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Pustaka Jaya. 1996
Muhibinsyah. Psikologi Belajar. Jakarta: Logos. 1999
Sanjaya Wina. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2008
Sartito Wirawan, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi.
Jakarta: Bulan Bintang. 2006

Anda mungkin juga menyukai