Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam sebuah organisai, pekerjaan individual maupun sekelompok
pekerja saling terkait dengan pekerjaan pihak-pihak lain. Ketika suatu
konflik muncul di dalam sebuah organisasi, penyebabnya selalu
diidentifikasikan sebagai komunikasi yang kurang baik. Demikian pula
ketika suatu keputusan yang buruk dihasilkan, komunikasi yang tidak
efektif selalu menjadi kambing hitam.Para manajer bergantung kepada
ketrampilan berkomunikasi mereka dalam memperoleh informasi yang
diperlukan dalam proses perumusan keputusan,demikian pula untuk
mensosialisasikan hasil keputusan tersebut kepada pihak-pihak
lain.
Organisasi terdiri dari berbagai macam komponen yang berbeda
dan saling memiliki ketergantungan dalam proses kerjasama untuk
mencapai tujuan tertentu. Perbedaan yang terdapat dalam organisasi
seringkali menyebabkan terjadinya ketidakcocokan yang akhirnya
menimbulkan konflik. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya ketika
terjadi suatu organisasi, maka sesungguhnya terdapat banyak
kemungkinan timbulnya konflik . Konflik dapat menjadi masalah yang
serius dalam setiap organisasi, tanpa peduli apapun bentuk dan tingkat
kompleksitas organisasi tersebut, jika konflik tersebut dibiarkan berlarut-
larut tanpa penyelesaian. Karena itu keahlian untuk mengelola konflik
sangat diperlukan bagi setiap pimpinan atau manajer organisasi.
Makalah ini mencoba menyajikan apa yang sebenarnya didefinisikan
sebagai konflik dalam suatu organisasi, pandangan mengenai konflik,
sumber dan jenis konflik, serta bagaimana melaksanakan manajemen
konflik dalam organisasi.
Riset membuktikan bahwa manajer menghabiskan waktu sebanyak
80 persen dari total waktu kerjanya untuk interaksi verbal dengan orang
lain. Ketrampilan memproses informasi yang dituntut dari seorang manajer

1
termasuk kemampuan untuk mengirim dan menerima informasi ketika
bertindak sebagai monitor, juru bicara (Spekesperson), maupun penyusun
strategi. Sudah menjadi tuntutan alam dalam posisi dan kewajiban sebagai
manajer untuk selalu dihadapkan pada konflik. Salah satu titik pening dari
tugas seorang manajer dalam melaksanakan komunikasi yang efektif
didalam organisasi bisnis yang ditanganinya adalah memastikan bahwa
arti yang dimaksud dalam instruksi yang diberikan akan sama dengan arti
yang diterima olh penerima instruksi demikian pula sebaliknya (the
intended meaning of the same). Hal ini harus menjadi tujuan seorang
manejer dalam semua komunikasi yag dilakukannya.
Dalam hal me-manage bawahannya, manajer selalu dihadapkan
pada penentuan tuntuan pekerjaan dari setiap jabatan yang dipegang dan
ditangani olehbawahannya (role expectaties) dan konflik dapat
menimbulkan ketegangan yang akan berefleksi buruk kepada sikap kerja
dan perilaku individual. Manajer yang baik akan berusaha untuk
meminimasasi konsukensi negatif ini dengan cara membuka dan
mempertahankan komunikasi dua arah yang efektif kepada setiap anggota
bawahannya. Disinilah manajer dituntut untuk memenuhi sisi lain dari
ketrampilan interpersonalnya, yaitu kemampuan untuk menangani dan
menyelesaikan konflik. Manajer menghabiskan 20 persen dari waktu kerja
mereka berhadapan dengan konflik.
Dalam hal ini, manajer bisa saja sebagai pihak pertama yang
langsung terlibat dalam konflik tersebut, dan bisa saja sebagai pihak
pertama yang langsung terlibat dalam konflik tersebut, dan bisa pula
sebagai mediator atau pihak ketiga, yang perannya tidak lain dari
menyelesaikan konflik antar pihak lain yang mempengaruhi organisasi
bisnis maupun individual yang terlibat di dalam organisasi
bisnis yang ditanganinya. Tulisan ini akan membahas apa yang dimaksud
dengan konflik itu sendiri, bagaimana konflik muncul dalam suatu
organisasi, dan yang paling penting, caracara untuk me-manage dan
menyelesaikan konflik yang disebut juga manajemen konflik.

2
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah dari manajemen konflik ?
2. Bagaimana kategori dari manajemen konflik ?
3. Bagaimana proses dari manajemen konflik ?
4. Bagaimana penyelesaian dari manajemen konflik ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah dari manajemen konflik.
2. Untuk mengetahui kategori dari manajemen konflik.
3. Untuk mengetahui proses dari manajemen konflik.
4. Untuk mengetahui penyelesaian dari manajemen konflik.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Manajemen Konflik


Sejarah terjadinya suatu konflik pada suatu organisasi dimulai
seratus tahun yang lalu, dimana konflik adalah suatu kejadian yang
alamiah dan peristiwa yang pasti terjadi organisasi. Pada awal abad ke 20,
konflik diindikasikan sebagai suatu kelemahan manajeman pada suatu
organisasi yang harus dihindari. Keharmonisan suatu organisasi sangat
diharapkan, tetapi konflik akan selalu merusaknya. Ketika monflik mulai
terjadi pada suatu organisasi, meskipun hindari dan ditolak, namun harus
tetap diselesaikan secepatnya. Konflik sebenarnya dapat dihindari dengan
mengarahkan staf kepada tujuan yang jelas dalam melaksanakan tugas dan
memfasilitasi agar staf dapat mengekspresikan ketidakpuasaannya secara
langsung, sehingga masalah tidak menumpuk dan bertambah banyak.
Pada pertengahan abad ke 19, ketika ketidakpuasan staf dan umpan
balik dari atasan tidak ada, maka konflik diterima secara pasif sebagai
suatu kejadian yang normal dalam organisasi. Oleh karena itu, seorang
manager harus belajar banyak tentang bagaimana menyelesaikan konflik
tersebut daripada berusaha menghindarinya. Meskipun konflik dalam
organisasi merupakan suatu unsur menghambat staf dalam melaksanakan
tugasnya, tetapi diakui bahwa konflik dan kerja sama dapat terjadi secara
bersamaan.
Teori interaksi pada tahun 1970 mengemukakan bahwa konflik
merupakan suatu hal yang penting, dan secara aktif mengajak organisasi
untuk menjadikan konflik sebagai salah satu pertumbuhan produksi. Teori
ini menekankan bahwa konflik dapat mengakibatkan pertumbuhan
produksi sekaligus kehancuran organisasi, keduanya tergantung bagaimana
manager mengelolanya. Mengingat konflik adalah sesuatu yang tidak
dapat dihindarkan dalam organisasi, maka manager harus dapat
mengelolanya dengan baik.

4
Konflik dapat berupa suatu yang kualitatif atau kuantitatif.
Meskipun konflik berakibat terhadap stress, tetapi dapat meningkatkan
produksi dan kreativitas. Manajemen konflik yang konstruktif akan
menghasilkan lingkungan yang kondusif untuk didiskusikan sebagai suatu
fenomena utama, komunikasi yang terbuka melalui pengutaraan perasaan,
dan tukar pikiran serta tanggung jawab yang menguntungkan dalam
menyelesaikan suatu perbedaan (Erwin, 1992).
2.2 Kategori Manajemen Konflik
Didalam organisasi, konflik di pandang secara vertical dan
horizontal (Marques dan Huston, 1998). Konflik vertical terjadi antara
atasan dan bawahan. Sedangkan konflik horizontal terjadi antara staf
dengan posisi dan kedudukan yang sama, misalnya konflik yang meliputi
wewenang, keahlian, dan praktik. Konflik dapat dibedakan menjadi 3 jenis
yakni, konflik intrapersonal, interpersonal dan antar kelompok.
1. Konflik Intrapersonal
Konflik yang terjadi pada individu sendiri. Keadaan ini merupakan
masalah internal yang mengklarifikasi nilai dan keinginan dari konflik
yang terjadi. Hal ini sering dimanifestasikan sebagai akibat dari
kompetisi peran. Misalnya, manajer mungkin merasa mempunyai
konflik intrapersonal dengan loyalitas terhadap profesi keperawatan,
loyalitas terhadap pekerjaan, dan loyalitas kepada pasien.
Ada tiga macam bentuk konflik intrapersonal yaitu :
a. Konflik pendekatan-pendekatan, contohnya orang yang dihadapkan
pada dua pilihan yang sama-sama menarik.
b. Konflik pendekatan penghindaran, contohnya orang yang
dihadapkan pada dua pilihan yang sama menyulitkan.
c. Konflik penghindaran-penghindaran, contohnya orang yang
dihadapkan pada satu hal yang mempunyai nilai positif dan negatif
sekaligus
2. Konflik interpersonal
Konflik interpersonal terjadi antara dua orangatau lebih dimana nilai,
tujuan, dan keyakinan berbeda. Konflik ini sering terjadi karena

5
seseorang secara konstan berinteraksi dengan orang lain, sehingga
ditemukan perbedaan-perbedaan. Manajer sering mengalami konflik
dengan teman sesama. Manajer, atasan, dan bawahannya.
3. Konflik antar kelompok (intergroup)
Konflik terjadi antara dua atau lebih, kelompok, departemen, atau
organisasi, sumber konflik jenis ini adalah hambatan dalam mencapai
kekuasaan dan otoritas (kualitas jasa layanan), serta keterbatasan
perasaan.
4. Konflik antar organisasi
Konflik juga bisa terjadi antara organisasi yang satu dengan yang lain.
Hal ini tidak selalu disebabkan oleh persaingan dari perusahaan-
perusahaan di pasar yang sama. Konflik ini bisa terjadi karena adanya
ketidak cocokan suaut badan terhadap kinerja suatu organisasi. Sebagai
contoh badan serikat pekerja di cocok dengan perlakuan suatu
perusahaan terhadap pekerja yang menjadi anggota serikatnya. Konflik
ini dimulai dari ketidak sesuaian antara para manajer sebagai individu
yang mewakili organisasi secara total. Pada situasi konflik seperti ini
para manajer tingkat menengah kebawah bisa berperan sebagai
penghubung-penghubung dengan pihak luar yang berhubungan dengan
bidangnya. Apabila konflik ini bisa diselesaikan dengan prioritas
keorganisasian atau perbaikan pada kegiatan organisasi, maka konflik-
konflik bisa dijadikan perbaikan demi kemajuan organisasi.
2.3 Proses Manajemen Konflik
Proses konflik dibagi menjadi beberapa tahapan:
1. Konflik Laten
Tahapan konflik yang terjadi terus menerus (laten) dalam suatu
organisasi. Misalnya, kondisi tentang keterbatasan staf dan perubahan
yang cepat. Kondisi tersebut memicu pada ketidakstabilan organisasi
dan kualitas produksi, meskipun konflik yang ada kadang tidak
nampak secara nyata atau tidak pernah terjadi.

6
2. Konflik yang Dirasakan (felt conflict)
Konflik yang terjadi karena adanya sesuatu yang dirasakan sebagai
ancaman, ketakutan, tidak percaya, dan marah. Konflik ini disebut juga
konflik affectiveness. Hal ini penting bagi seseorang untuk menerima
konflik dan tidak merasakan konflik tersebut sebagai suatu masalah
atau ancaman terhadap keberadaannya.
3. Konflik yang tampak atau sengaja dimunculkan
Konflik yang sengaja dimunculkan untuk dicari solusinya. Tindakan
yang dilaksanakan mungkin menghindar, kompetisi, debat, atau
penyelesaian konflik. Setiap orang secara tidak sadar belajar
menggunakan kompetisi, kekuatan, dan agresivitas dalam
menyelesaikan konflik. Sementara itu, penyelesaian konflik dalam
suatu organisasi memerlukan upayadan strategi sehingga dapat
mencapai tujuan organisasi.
4. Resolusi konflik
Resolusi konflik adalah suatu penyelesaian masalah dengan cara
memuaskan semua orang yang terlibat didalamnya dengan prinsip win-
win solution.
5. Konflik aftermate
Merupakan konflik yang terjadi akibat dari tidak terselesaikannya
konflik yang pertama. Konflik ini akan menjadi masalah besar dan bias
menjadi penyebab dari konflik yang utama bila tidak segera diatasi
atau dikurangi.

7
2.4 Penyelesaian Manajemen Konflik

KONFLIK LATEN

KONFLIK YANG
KONFLIK YANG
DIALAMI
DIRASAKAN

KONFLIK YANG TAMPAK

PENYELESAIAN/MANAJEMAN
KONFLIK

KONFLIK
AFTERMATH

Strategi Penyelesaian Konflik :


Dalam menyelesaikan konflik kita membutuhkan beberapa metode. Metode yang
sering digunakan untuk menangani konflik adalah :
1. Mengurangi konflik
Untuk metode pengurangan konflik salah satu cara yang sering efektif adalah
dengan mendinginkan persoalan terlebih dahulu (cooling thing down).
Meskipun demikian cara semacam ini sebenarnya belum menyentuh persoalan
yang sebenarnya. Cara lain adalah dengan membuat “musuh bersama”,
sehingga para anggota di dalam kelompok tersebut bersatu untuk menghadapi
“musuh” tersebut. Cara semacam ini sebenarnya juga hanya mengalihkan
perhatian para anggota kelompok yang sedang mengalami konflik.

8
2. Menyelesaikan konflik
3.
Cara dengan metode penyelesaian konflik yang ditempuh adalah sebagai
berikut :
a. Dominasi (Penekanan)
Metode-metode dominasi biasanya memilki dua macam persamaan, yaitu
 Mereka menekan konflik, dan bahkan menyelesaikannya dengan
jalan memaksakan konflik tersebut menghilang “di bawah tanah”;
 Mereka menimbulkan suatu situasi manang-kalah, di mana pihak
yang kalah terpaksa mengalah karena otoritas lebih tinggi, atau
pihak yang lebih besar kekuasaanya, dan mereka biasanya
menjadi tidak puas, dan sikap bermusuhan muncul.
Tindakan dominasi dapat terjadi dengan macam-macam cara sebagai
berikut:
1. Memaksa (Forcing)
Apabila orang yang berkuasa pada pokoknya menyatakan “Sudah,
jangan banyak bicara, saya berkuasa di sini, dan Saudara harus
melaksanakan perintah saya”, maka semua argumen habis sudah.
Supresi otokratis demikian memang dapat menyebabkan timbulnya
ekspresi-ekspresi konflik yang tidak langsung, tetapi destruktif seperti
misalnya ketaatan dengan sikap permusuhan (Malicious obedience)
Gejala tersebut merupakan salah satu di antara banyak macam bentuk
konflik, yang dapat menyebar, apabila supresi (peneanan) konflik
terus-menerusa diterapkan.
2. Membujuk (Smoothing)
Dalam kasus membujuk, yang merupakan sebuah cara untuk menekan
(mensupresi) konflik dengan cara yang lebih diplomatic, sang
manager mencoba mengurangi luas dan pentingnya ketidaksetujuan
yang ada, dan ia mencoba secara sepihak membujuk phak lain, untuk
mengkuti keinginannya. Apabila sang manager memilki lebih banyak
informasi dibandingkan dengan pihak lain tersebut, dan sarannya
cukup masuk akal, maka metode tersebut dapat bersifat efektif. Tetapi

9
andaikata terdapat perasaan bahwa sang menejer menguntungkan
pihak tertentu, atau tidak memahami persoalan yang berlaku, maka
pihak lain yang kalah akan menentangnya.
3. Menghindari (Avoidence)
Apabila kelompok-kelompok yang sedang bertengkar datang pada
seorang manajer untuk meminta keputusannya, tetapi ternyata bahwa
sang manajer menolak untuk turut campur dalam persoalan tersebut,
maka setiap pihak akan mengalami perasaan tidak puas. Memang
perlu diakui bahwa sikap pura-pura bahwa tidak ada konflik,
merupakan seuah bentuk tindakan menghindari. Bentuk lain adalah
penolakan (refusal) untuk menghadapi konflik, dengan jalan
mengulur-ulur waktu, dan berulangkali menangguhkan tindakan,
“sampai diperoleh lebih banyak informasi”.
4. Keinginan Mayoritas (Majority Rule)
Upaya untuk menyelesaikan konflik kelompok melalui pemungutan
suara, dimana suara terbanyak menang (majority vote) dapat
merupakan sebuah cara efektif, apabla para angota menganggap
prosedur yang bersangkutan sebagai prosedur yang “fair” Tetapi,
apabila salah satu blok yang memberi suara terus-menerus mencapai
kemenangan, maka pihak yang kalah akan merasa diri lemah dan
mereka akan mengalami frustrasi.
b. Penyelesaian secara integrative
Dengan menyelesaikan konflik secara integratif, konflik antar kelompok
diubah menjadi situasi pemecahan persoalan bersama yang bias
dipecahkan dengan bantuan tehnik-tehnik pemecahan masalah (problem
solving). Pihak-pihak yang bertentangan bersama-sama mencoba
memecahkan masalahnya,dan bukan hanya mencoba menekan konflik
atau berkompromi. Meskipun hal ini merupakan cara yang terbaik bagi
organisasi, dalam prakteknya sering sulit tercapai secara memuaskan
karena kurang adanya kemauan yang sunguh-sungguh dan jujur untuk
memecahkan persoalan yang menimbulkan persoalan.

10
Menurut (Winardi, 1994 : 84- 89) ada tiga macam tipe metode
penyelesaian konflik secara integrative yaitu metode :
 Consensus (concencus);
 Konfrontasi (Confrontation);
 Penggunaan tujuan-tujuan superordinat (Superordinate goals)
c. Kompetisi
Penyelesaian konflik yang menggambarkan satu pihak mengalahkan atau
mengorbankan yang lain. Penyelesaian bentuk kompetisi dikenal dengan
istilah win-lose orientation. Win-Lose Orientation terdiri dari lima
orientasi sebagai berikut:
1. Win-Lose (Menang – Kalah)
Paradigma ini mengatakan jika “saya menang, anda kalah “. Dalam
gaya ini seseorang cenderung menggunakan kekuasaan, jabatan,
mandat, barang milik, atau kepribadian untuk mendapatkan apa yang
diinginkan dengan mengorbankan orang lain. Dengan paradigma ini
seseorang akan merasa berarti jika ia bisa menang dan orang lain
kalah. Ia akan merasa terancam dan iri jika orang lain menang sebab
ia berpikir jika orang lain menang pasti dirinya kalah. Jika menang
pun sebenarnya ia diliputi rasa bersalah karena ia menganggap
kemenangannya pasti mengorbankan orang lain. Pihak yang kalah
pun akan menyimpan rasa kecewa, sakit hati, dan merasa diabaikan.
Sikap Menang-Kalah dapat muncul dalam bentuk :
 Menggunakan orang lain , baik secara emosional atau pun fisik,
untuk kepentingan diri.
 Mencoba untuk berada di atas orang lain.
 Menjelek-jelekkan orang lain supaya diri sendiri nampak baik.
 Selalu mencoba memaksakan kehendak tanpa memperhatikan
perasaan orang lain.
 Iri dan dengki ketika orang lain berhasil
2. Lose-Win (Kalah – Menang)
Dalam gaya ini seseorang tidak mempunyai tuntutan, visi, dan
harapan. Ia cenderung cepat menyenangkan atau memenuhi tuntutan

11
orang lain. Mereka mencari kekuatan dari popularitas atau
penerimaan. Karena paradigma ini lebih mementingkan popularitas
dan penerimaan maka menang bukanlah yang utama. Akibatnya
banyak perasaan yang terpendam dan tidak terungkapkan sehingga
akan menyebabkan penyakit psikosomatik seperti sesak napas, saraf,
gangguan sistem peredaran darah yang merupakan perwujudan dari
kekecewaan dan kemarahan yang mendalam.
3. Lose-Lose (Kalah – Kalah)
Biasanya terjadi jika orang yang bertemu sama-sama punya
paradigma Menang-Kalah. Karena keduanya tidak bisa bernegosiasi
secara sehat, maka mereka berprinsip jika tidak ada yang menang ,
lebih baik semuanya kalah. Mereka berpusat pada musuh, yang ada
hanya perasaan dendam tanpa menyadari jika orang lain kalah dan
dirinya kalah sama saja dengan bunuh diri.
4. Win (Menang)
Orang bermentalitas menang tidak harus menginginkan orang lain
kalah. Yang penting adalah mereka mendapatkan apa yang mereka
inginkan. Orang bermentalitas menang menjadi egois dan akan
mencapai tujuannya sendiri. Jika hal ini menjadi pola hidupnya maka
ia tidak akan bisa akrab dengan orang lain, merasa kesepian, dan sulit
kerja sama dalam tim.
5. Win-Win (Menang-Menang)
Menang-Menang adalah kerangka pikiran dan hati yang terus
menerus mencari keuntungan bersama dalam semua interaksi.
Menang-Menang berarti mengusahakan semua pihak merasa senang
dan puas dengan pemecahan masalah atau keputusan yang diambil.
Paradigma ini memandang kehidupan sebagai arena kerja sama bukan
persaingan. Paradigma ini akan menimbulkan kepuasan pada kedua
belah pihak dan akan meningkatkan kerja sama kreatif
d. Kompromi
Melalui kompromi mencoba menyelesaikan konflik dengan menemukan
dasar yang di tengah dari dua pihak yang berkonflik. Cara ini lebih

12
memperkecil kemungkinan untuk munculnya permusuhan yang
terpendam dari dua belah pihak yang berkonflik, karena tidak ada yang
merasa menang maupun kalah. Meskipun demikian, dipandang dari
pertimbangan organisasi pemecahan ini bukanlah cara yang terbaik,
karena tidak membuat penyelesaian yang terbaik pula bagi organisasi,
hanya untuk menyenangkan kedua belah pihak yang saling bertentangan
atau berkonflik.
Yang termasuk kompromi diantaranya adalah:
1. Akomodasi
Penyelesaian konflik yang menggambarkan kompetisi bayangan
cermin yang memberikan keseluruhannya penyelesaian pada pihak
lain tanpa ada usaha memperjuangkan tujuannya sendiri. Proses
tersebut adalah taktik perdamaian.
2. Sharing
Suatu pendekatan penyelesaian kompromistis antara dominasi
kelompok dan kelompok damai. Satu pihak memberi dan yang lain
menerima sesuatu. Kedua kelompok berpikiran moderat, tidak
lengkap, tetapi memuaskan.
e. Konflik Antara Karyawan dengan Pimpinan
Konflik jenis ini relatif sulit karena sering tidak dinyatakan secara
terbuka. Umumnya karyawan pihak karyawan lebih cenderung untuk
diam, meskipun mengalami pertentangan dengan pihak atasan. Yang
penting bagi suatu organisasi adalah agar setiap konflik hendaknya bisa
diselesaikan dengan baik. Kebanyakan suatu konflik menjadi makin berat
karena lama terpendam. Karena itulah penting bagi suatu organisasi
“menemukan” konflik atau sumbernya sedini mungkin. Cara yang
ditempuh adalah dengan menggalakkan saluran komunikasi ke atas ( up
ward channel of communication ). Menurut Heidjrachman Ranupandojo
ada beberapa cara yang bisa dipakai untuk menemukan konflik atau
sumbernya, yaitu :
1. Membuat prosedur penyelesaian konflik (grievance procedure)

13
Dengan adanya “grievance procedure” ini memberanikan karyawan
untuk mengadu kalau dirasakan adanya ketidak adilan. Keberanian
untuk segera memberitahukan masalah, merupakan suatu keuntungan
bagi organisasi/perusahaan.
2. Observasi langsung
Tidak semua konflik disuarakan oleh karyawan. Oleh karena itu
ketajaman observasi dari pimpinan akan dapat mendeteksi ada
tidaknya suatu (sumber) konflik, sehingga dapat segera ditangani
sebelum mengalami eskalasi.
3. Kotak saran (suggestion box)
Cara semacam ini banyak digunakan oleh perusahaan atau lembaga-
lembaga lain. Cara ini cukup efektif karena para karyawan ataupun
para pengadu tidak perlu bertatap muka dengan pimpinan. Bahkan
bisa merahasiakan identitasnya. Namun, lembaga juga harus hati-hati
karena adanya kemungkinan adanya “fitnah” dari kotak saran
tersebut.
4. Politik pintu terbuka
Politik pintu terbuka memang sering diumumkan, tetapi hasilnya
sering tidak memuaskan. Hal ini sering terjadi karena pihak pimpinan
tidak sungguh-sungguh dalam “membuka” pintunya. Paling tidak ini
dirasakan oleh karyawan. Juga adanya keseganan dari pihak karyawan
sering menjadi penghalang terhadap keberhasilan cara semacam ini.
5. Mengangkat konsultan personalia
Konsultan personalia pada umumnya seorang ahli dalam bidang
psikologi dan biasanya merupakan staf dari bagian personalia.
Kadang-kaang karyawan segan pergi menemui atasannya, tetapi bisa
menceritakan kesulitannya pada konsultan psikologi ini.
6. Mengangkat “ombudsman”
Ombudsman adalah orang yang bertugas membantu “mendengarkan”
kesulitan-kesulitan yang ada atau dialami oleh karyawan untuk
diberitahukan kepada pimpinan. Ombudsman biasanya adalah orang
yang disegani karena kejujuran dan keadilannya.

14
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Konflik dapat terjadi dalam organisasi apapun. Untuk itulah manajer
atau pimpinan dalam organisasi harus mampu mengelola konflik yang
terdapat dalam organisasi secara baik agar tujuan organisasi dapat tercapai
tanpa hambatan-hambatan yang menciptakan terjadinya konflik.
Terdapat banyak cara dalam penanganan suatu konflik.
Manajer atau pimpinan harus mampu mendiagnosis sumber konflik
serta memilih strategi pengelolaan konflik yang sesuai sehingga diperoleh
solusi tepat atas konflik tersebut. Dengan pola pengelolaan konflik yang
baik maka akn diperoleh pengalaman dalam menangani berbagai macam
konflik yang akan selalu terus terjadi dalam organisasi.

3.2 Saran
Konflik akan timbul bila terjadi ketidak harmonisan antara seseorang
dalam suatu kelompok dan orang lain dari kelompok lain. Pada dasarnya
konflik sesuatu yang wajar terjadi. Konflik akan selalu terjadi, karena
manusia dalam suatu organisasi atau perusahaan masing-masing memiliki
latar belakang keluarga dan pendidikan yang berbeda-beda. Kadang kala
juga ada perbedaan kebiasaan atau pribadi yang kurang baik.

15
DAFTAR PUSTAKA

Nursalam, 2011 manajemen keperawatan : aplikasi dalam praktik keperawatan


professional salemba .jakarta
https://ahmaftuhin.wordpress.com/2013/11/24/makalah-tentang-manajemen-
konflik/
http://www.academia.edu/11967057/Sejarah_Terjadinya_Manajemen_Konflik

16

Anda mungkin juga menyukai