HIPONATREMIA
HIPONATREMIA
PENDAHULUAN
1
hiponatremia dan (3) terapi yang terlalu cepat pada pasien hiponatremia kronik
dapat menyebabkan kerusakan neuron dan kematian.
1.1
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
b. Hiponatremia Hipotonik
Jika konsentrasi natrium plasma < 135 mEq/L dan osmolalitas
plasma normal yaitu < 280 mOsm/Kg/H2O. Hiponatremia hipotonik
selalu menggambarkan ketidakmampuan ginjal dalam mengekskresikan
cairan yang masuk. Berdasarkan jumlah cairan intravaskular
hiponatremia hipotonik dapat dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Hipovolemik
Hiponatremia hipotonik hipovolemik dapat terjadi akibat kehilangan
natrium renal atau ekstrarenal, dan penyebab kehilangan dapat
dibedakan berdasarkan konsentrasi natrium urin. Pada kondisi ini terjadi
penurunan jumlah CES dan deplesi solut. Hiponatremia dengan deplesi
volume dapat terjadi pada berbagai keadaan. Gejala klinis dari deplesi
volume yaitu penurunan tekanan darah ortostatik, peningkatan denyut
nadi, keringnya membran mukosa dan turgor kulit menurun. Pada
pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan peningkatan blood urea
nitrogen (BUN), kreatinin dan peningkatan asam urat.
Gangguan gastrointestinal
Diare dan muntah yang berlebihan dan tidak langsung diberi
cairan pengganti dapat menyebabkan kehilangan sejumlah cairan
dan natrium. Pada pemeriksaan laboratorium akan ditemukan
3
penurunan natrium urin pada keadaan diare, tetapi mungkin dapat
meningkat pada pasien dengan muntah yang berlebihan sehingga
pemeriksaan laboratorium yang baik dalam menggambarkan deplesi
volume yaitu pemeriksaan klorida.
Keringat yang berlebihan
Aktifitas fisik yang berlebihan seperti maraton dapat
menyebabkan deplesi volume, kehilangan natrium dan klorida pada
keringat yang berlebihan.
Penggunaan diuretik yang berlebihan
Menurut literatur, 73 % kasus hiponatremi disebabkan
karena penggunaan thiazid, 20% karena kombinasi thiazid dengan
antikaliuretik dan 7 % disebakan oleh furosemid.
2. Euvolemik
Hiponatremia hipotonik euvolemik berhubungan dengan adanya
kelompok sindroma klinis yang selanjutnya harus dibedakan menurut
pemeriksaan osmolalitas urin. Hal ini terjadi karena intake cairan yang
berlebihan sedangkan ginjal tidak mampu untuk mengeksresikan. Hal
ini dapat terjadi pada keadaan dibawah ini:
4
SIADH (syndrome inappropiate anti diuretic hormon): Konsentrasi
natrium yang rendah karena kelenjar hipofisis di dasar otak
mengeluarkan terlalu banyak hormon antidiuretik.
Sindroma nefrogenik.
Defisiensi glukokortikoid.
Hipotiroid : Pada hipotiroid terjadi peningkatan resistensi vaskular
dan penurunan curah jantung yang menyebakan gangguan perfusi
ginjal.
Keringat yang berlebihan.
Intake cairan yang rendah.
Polidipsia primer : Polidipsia primer terjadi pada 20 % pasien
psikiatrik khususnya skizofrenia. Pada kondisi ini intake cairan
berlebihan tidak diikuti dengan diuresis.
3. Hipervolemik
Hiponatremia hipotonik hipervolemik terjadi akibat adanya
peningkatan total cairan tubuh yang selanjutnya dapat dibedakan dengan
pemeriksaan konsentrasi natrium pada urin. Dapat terjadi karena
kegagalan ginjal dalam mengkeksresikan cairan. Pada pasien ini
ditemukan edema karena retensi cairan dan natrium.
Gagal jantung
Hiponatremia hipervolemik pada gagal jantung pada awalnya terjadi
akibat penurunan curah jantung dan tekanan darah, yang
menstimulasi vasopressin, katekolamin dan renin-angiotensin-
aldosteron. Kadar vasopressin yang meningkat telah dilaporkan
pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri sebelum gagal jantung
muncul. Pada pasien gagal jantung yang memburuk, berkurangnya
stimulasi mekanoreseptor di ventrikel kiri, sinus karotis, arkus aorta
dan arteriol aferen ginjal memicu peningkatan aktivitas simpatis,
system RAA, dan pelepasan vasopressin tanpa rangsang osmotik,
ditengah-tengah berbagai neurohormon lain. Walaupun total air
tubuh meningkat, peningkatan aktivitas simpatis ikut menyebabkan
5
retensi natrium dan air. Pelepasan vasopresin yang bertambah
menyebabkan bertambahnya jumlah saluran akuaporin di duktus
koligentes ginjal. Ini memacu retensi air yang bersifat abnormal dan
hiponatremia hipervolemik.
Sirosis
Hiponatremi yang terjadi pada pasien sirosis dikarenakan gagal
jantung, pelepasan AVP.
Sindroma nefrotik, gagal ginjal akut dan kronik.
c. Hiponatremia hipertonik
Jika konsentrasi natrium plasma <135 mEq/L dan osmolalitas plasma
normal yaitu >285 mOsm/Kg/H2O. Contoh : hiperglikemia dan pemberian
cairan hipertonik seperti manitol.
6
4. Berdasarkan waktu
a. Hiponatremia akut
Disebut akut bila kejadian hiponatremi berlangsung kurang dari 48 jam.
Pada keadaan ini akan terjadi gejala yang berat seperti penurunan kesadaran
dan kejang. Hal ini terjadi akibat adanya edema sel otak karena air dari
ekstrasel masuk ke intrasel yang osmolalitasnya lebih tinggi. Kelompok ini
disebut juga hiponatremi simptomatik atau hiponatremi berat.
b. Hiponatremia kronik
Disebut kronik bila kejadian hiponatremia berlangsung lambat yaitu
lebih dari 48 jam. Pada keadaan ini tidak terjadi gejala yang berat seperti
penurunan kesadaran ataupun kejang. Gejala yang terjadi seperti mengantuk
dan lemas. Kelompok ini disebut juga hiponatremi asimptomatik atau
hiponatremi ringan.
7
2. Hiponatremia Hipotonik
Osmolalitas antara cairan intraseluler sama dengan cairan ekstraseluler.
Pada keadaan hiponatremi hipotonik, jumlah cairan plasma lebih besar
dibandingkan jumlah solut sehingga osmolalitas plasma menjadi turun.
a) Hiponatremia Hipotonik Euvolemik
Hiponatremia hipotonik euvolemik berhubungan dengan
adanya kelompok sindroma klinis yang selanjutnya harus dibedakan
menurut pemeriksaan osmolalitas urin. Kondisi euvolemik dengan
osmolalitas urin <100 mOsm/kg menunjukkan kondisi seperti
polidipsia psikogenik dan low-solute potomania.
Polidipsia psikogenik (polidipsia primer) muncul paling
sering pada pasien skizofrenik, terlihat dari adanya intake air yang
berlebihan, dan biasanya melebihi 10 l/hari. Kondisi euvolemik
dipertahankan dengan supresi osmotik terhadap pelepasan AVP dan
eksresi ginjal terhadap H2O bebas. Sehingga, urin terdilusi dan
osmolalitas rendah (biasanya < 100 mOsm/kg).
Mekanisme hiponatremia masih belum jelas, namun dapat
berhubungan dengan adanya reduksi osmotik threshold untuk
pelepasan AVP dan disregulasi stimulus osmotik terhadap
rangsangan haus. Terlebih lagi, pada penggunaan antipsikotik
tipikal dapat memperburuk polidipsia, sehingga lebih dianjurkan
penggunaan antipsikotik atipikal pada pasien seperti ini.
8
Low-solute potomania disebabkan adanya intake yang
berlebihan terhadap cairan rendah solut yang menyebabkan
hiponatremia hipotonik euvolemik. Contohnya adalah konsumsi
alkohol yang berlebihan yaitu bir, yang rendah solut (seringkali < 5
mEq/L dari natrium). Cairan rendah solut dapat menyebabkan dan
memperburuk hiponatremia terutama pada pasien sirosis alkoholik,
dimana seringkali mengalami peningkatan sirkulasi AVP dan
memiliki insufisiensi ginjal. Meskipun begitu potomania sendiri
seringkali tidak sufisien untuk mengakibatkan kondisi hiponatremia,
sehingga adanya disregulasi dan gangguan pada ekskresi ginjal
dibutuhkan untuk dapat menyebabkan kondisi hiponatremia.
Reset osmostat syndrome (osmolalitas urin bervariasi) and
cerebral salt-wasting syndrome (CSWS; osmolalitas urin tinggi)
juga dilaporkan dapat menyebabkan hiponatremia pada pengguna
alkohol.
Hiponatremia hipotonik euvolemik pada pasien dengan
osmolalitas urin >100 mOsm/kg menunjukkan kondisi dimana
terdapat peningkatan AVP yang mengakibatkan adanya urin yang
kurang terdilusi. Kondisi lainnya seperti endokrinopati dan
syndrome of inappropriate antidiuresis (SIADH), dimana adanya
sindroma sekresi hormon antidiuretik yang tidak apropriat dan
sindrom nefrogenik antidiuresis yang tidak apropriat. Selain itu,
pada SIADH terdapat peningkatan ekskresi asam urat pada urin dan
kalkulasi dari fraksi ekskresi asam urat yang dapat memberikan
tanda untuk diagnosis, dimana pada pasien normal fraksi ekskresi
asam urat kurang dari 10 %.
Endokrinopati, termasuk gangguan tiroid dan adrenal,
penting untuk diperhatikan sebagai diagnosis banding terhadap
hiponatremia hipotonik euvolemik karena juga dapat
mengakibatkan peningkatan sirkulasi AVP. Hipotiroid jarang
menyebabkan hiponatremia hipotonik euvolemik, namun dapat
bermanifestasi sebagai hiponatremia berat (105–110 mEq/L), dan
9
meskipun mekanisme penyebabnya masih belum jelas, adanya
peningkatan sirkulasi AVP yang tidak sesuai dapat menjadi
penyebab adanya retensi cairan.
Hipokortisol dapat menyebabkan hiponatremia hipotonik
euvolemik, meskipun mekanisme penyebabnya masih kurang jelas
dan juga berhubungan dengan insufisiensi adrenal dan peningkatan
plasma AVP.
SIADH, mengakibatkan kondisi hiponatremia hipotonik
euvolemik dan gangguan ekskresi H2O bebas dengan tidak
ditemukannya insufisiensi renal, insufisiensi adrenal, ataupun
adanya stimulus pelepasan AVP lainnnya.
SIADH ditemukan beberapa tahun sebelum
teridentifikasinya AVP sebagai hormon penyebab. Awalnya,
pelepasan AVP diperkirakan menjadi penyebab independen
terhadap osmolalitas plasma, namun hal ini tidak ditemukan pada
semua pasien SIADH. Contohnya pada pasien hiponatremia dengan
urin yang terdilusi, pelepasan AVP biasanya tersupresi walaupun
pada konsentrasi natrium plasma dibawah normal, kondisi yang
disebut reset osmostat syndrome.
Selain itu, kasus SIADH ditemukan karena adanya mutasi
genetik yang menghasilkan adanya urin yang terkonsentrasi dengan
tidak adanya pelepasan AVP, fenomena yang disebut NSIAD.
Contohnya adanya aktivasi mutasi dari reseptor V2, mutasi pada gen
yang mengkontrol ekspresi saluran aquaporin air pada tubulus
kolektivus ginjal, dan mutasi yang memproduksi molekul yang
memiliki mimik AVP.
Terdapat kriteria spesifik untuk diagnosis SIADH. Untuk
dapat terdiagnosis dengan SIADH, pasien harus euvolemik,
memiliki osmolalitas urin lebih dari 100 mOsm/kg dan memiliki
efektivitas osmolalitas plasma yang rendah. Selain itu, intake air
yang berlebihan dibutuhkan untuk terjadinya hiponatremia.
10
Penyebab SIADH sangat bervariasi. Obat yang memiliki
aksi mimik AVP. Menstimulasi untuk pelepasannya. Atau
menguatkan aksi AVP dapat menyebabkan SIADH. Termasuk AVP
analog, narkotik, atau antipsikotik. Contohnya oksitosin yang
memiliki AVP-like effect yang dapat menyebabkan intoksikasi air.
Inhibitor reuptake serotonin selektif juga dapat meningkatkan efek
AVP, terutama pada lansia, dan wanita, pengguna diuretik, atau pada
konsentrasi plasma natrium yang rendah. Exercise-associated
hiponatremia juga menjadi kriteria diagnosis esensial pada SIADH.
Konsumsi cairan hipotonik pada saat olahraga yeng berlebihan
mengakibatkan adanya absorbsi yang tertunda, mengakibatkan
elevasi sirkulasi AVP yang memanjang dan retensi air. Intake air
yang berlebihan dan perubahan hormon saat olahraga merupakan
faktor utama dibandingkan faktor-faktor lainnya. Stimuli
nonosmostik lainnya juga berhubungan saat olahraga yang cukup
lama. Meskipun volume intravaskular diperbaiki, rangsangan
nonosmotik terus merangsang pelepasan AVP. Pada akhirnya,
regulasi normal volume cairan ekstraseluler dan translokasi natrium
yang aktif pada sirkulasi ke tempat penyimpanan tidak dapat terjadi.
11
Kondisi -Inflamasi (meningitis, systemic lupus erythematosus)
intracranial
-Trauma, massa atau cairan (operasi, tumor, perdarahan
subaraknoid, hidrosefalus)
-AIDS
-Idiopatik
12
terdilusi. Meskipun tidak normal, kadar AVP terkait erat
hubungannya dengan peningkatan osmolalitas plasma,pada
osmolalitas plasma yang sangat rendah pelepasan AVP tersupresi.
Namun, saat osmolalitas plasma kembali mendekati normal,
pelepasan AVP tampak tidak sesuai karena ambang osmotik yang
normal telah diturunkan. Pelepasan AVP pada ambang subnormal
ini sebenarnya sesuai tapi dikalibrasi untuk batas dibawah normal.
Urin yang terdilusi sesuai masih bisa dicapai, hanya pada
osmolalitas plasma yang rendah. Reset osmotat syndrome ini sering
terlihat pada orang tua, pasien dengan penyakit paru (misalnya,
tuberkulosis), dan malnutrisi. Reset osmotat syndrome dapat terjadi
secara fisiologis selama kehamilan, menyebabkan osmolalitas
plasma turun sekitar 10 mOsm / kg air.
b) Hiponatremia Hipotonik Hipovolemik
Dalam kondisi deplesi total natrium tubuh, terjadi
peningkatan AVP meningkat dan retensi H2O bebas untuk
mempertahankan volume intravaskular. Namun, retensi H2O bebas
saja tidak cukup untuk mengembalikan volume ekstraseluler cairan
pada keadaan hipovolemia. Selain itu, penggantian kehilangan
natrium dan H2O dengan H2O bebas dapat mempotensiasi
peningkatan kadar plasma AVP yang tidak sesuai, yang dapat
memperburuk hiponatremia.
Hipovolemia dengan natrium urin kurang dari 20 mEq / L
atau FENa kurang dari 1% menunjukkan retensi natrium ginjal yang
aktif untuk mengkompensasi kehilangan ekstrarenal, seperti
kehilangan pencernaan atau insensible water loss dengan
penggantian H2O bebas. Pasien hipovolemik dengan natrium urin
melebihi 20 mEq / L atau melebihi FENa 1% menunjukkan adanya
kehilangan natrium ginjal akibat pemberian diuretik, osmotik
diuresis, salt-losing nephropaty, alkalosis metabolik, atau
insufisiensi adrenal.
13
Sebagian besar kasus dari natriuresis primer disebabkan oleh
pemberian diuretik thiazide dibandingkan dengan loop-diuretics.
Diuretik thiazide dapat menyebabkan kehilangan natrium ginjal
yang berlebihan dan deplesi volume, sehingga timbul hiponatremia
berat segera setelah mulai terapi.
Yang termasuk Salt losing nephropathy yaitu tubular
asidosis ginjal, penyakit polikistik ginjal, dan uropati obstruktif.
Baik tubular asidosis ginjal tipe II dan alkalosis metabolik
menyebabkan hiponatremia sebagai akibat dari bikarbonaturia, yang
menimbulkan ekskresi natrium.
Kedua insufiensi adrenal primer dan sekunder dapat
mengakibatkan defisiensi glukokortikoid dan / atau
mineralokortikoid, yang mengakibatkan hiponatremia.
Tabel 3. Penyebab hiponatremia hipovolemik
Renal loss of sodium with water retention Extrarenal loss of sodium with
water retention
Diuretic therapy Gastrointestinal losses
Cerebral salt wasting o Vomiting
Mineralcorticoid deficiency o diarrhea
o Autoimmune Third space losses
Adrenal only o Bowel
Polyglandular obstruction
endocrinopathy o Pancreatitis
o Adrenal hemorrhage o Muscle trauma
Meningococcemia o burns
Idiopathic Sweat losses
o Infection o Endurance
TB exercise
Fungus
cytomegalovirus
14
o Adrenal enzyme deficiencies
(congenital adrenal
hyperplasia)
Salt wasting nephropaty
Bicarbonaturia, glycosuria, ketonuria
Euvolemic
SIADH
o Tumor
Pulmonary/mediastinal (bronchogenic carcinoma
mesotheliom a,thymoma)
15
Nonches (duodenal carcinoma, pancreatic carcinoma,
ureteral,uterine carcinoma, nonpharyngeal carcinoma,
leukemia)
o CNS disorders
Mass lesion (tumors, brain abcesses, subdural hematoma)
Inflammatory diseases (enchepalities, meningitis, SLE)
Degenerative/demyelinative disease (SGB, spinal cord
lesions)
Miscellaneous (SAH, head trauma, acute psychosis,
delirium tremens, pituitary stalk section, hydrochepalus)
o Drug induced
Stimulated AVP release (nicotine, phenotiazines, tricyclics)
Direct renal effect and ot potentiation of AVP effects
(DDAVP, oxytocin, prostaglandin synthesis inhibitor)
Mixed or uncertain action (ACE inhibitors, carbamazepine
and oxcarbazepine, chlorpropamide, clofibrate, clozapine,
3,4-methylendioxymethamphetamine (ectasy),
omeprazole, serotonin reuptake inhibitors, vincristine)
o Pulmonary disease
Infection (TB, pneumonia,aspergilosis, empyema)
Mechanical/ventilator (acute respiratory failure, COPD,
positive pressure ventilation)
o Other
AIDS and ARC
Prolonged strenuous exercise (marathon)
Senile atrophy
Idiopathic
Glucocorticoid defisiensy
Hypothyroidsm
Decreased urinary solute excretion
o Beer potomania
o Very low protein diet
16
Hypervolemic
CHF
Chirrosis
Nephrotic syndrome
Renal failure
o Acute
o Chronic
Excessive water intake
Primary polydipsia
Dilute infant formula
Freshwater drowning
3. Hiponatremia Hipertonik
Terjadi jika osmolalitas plasma > 285 mOsm/Kg/H2O. Hipertonisitas
bisa terjadi karena peningkatan zat terlarut yang tidak bebas keluar masuk
kompartemen, contohnya glukosa manitol, gliserol, atau sorbitol sehingga
terjadi perpindahan cairan dari ICF ke ECF sehingga menurunkan kadar
natrium ECF. Hiponatremia jenis ini biasanya dihubungkan dengan
peningkatan osmolalitas. Contohnya, pada pasien hiperglikemia setiap
kenaikan glukosa 3 mmol/L, natrium serum turun 1 mmol/L.
17
Sistem tubuh Hiponatremia
Ginjal Oligouria
Tabel 5. Manifestasi klinis menurut sistem yang dipengaruhi
2.4 Diagnosis
Manifestasi klinis dari hiponatremia biasanya akibat adanya edema otak,
yang menyebabkan gejala neurologis dan sistemik. Pada kondisi kronik (CHF,
Sirosis), hiponatremia dapat asimtomatik akibat adanya adaptasi sel dengan
mempertahankan gradien osmolar dan melindungi dari terjadinya edema serebri.
Pada hiponatremia akut (postoperatif, drug-induced), gejala tidak spesifik dan
sangat luas. Gejala awal yaitu adanya anoreksia, kesemutan, mual, muntah, sakit
kepala, iritabilitas, disorietasi, konfusi, fatigue, dan letargi, dimana gejala lanjut
yang dapat ditemukan adalah adanya gangguan status mental, kejang, koma, dan
gagal napas, dan dapat menyebabkan kematian. Saat gejala neurologis dari
hiponatremia muncul, disebut sebagai ensefalopati hiponatremia.
Hiponatremia terklasifikasi berdasarkan osmolalitas plasma yang
ditentukan melalui pemeriksaan penunjang laboratorium dan status volume yang
ditentukan melalui pemeriksaan fisik. Penentuan hiponatremia secara sistematik
diperlukan untuk menentukan penyebab dan terapi yang akan diberikan. Dapat
18
dilakukan pengukuran osmolalitas plasma, status volume, konsentrasi natrium urin
dan osmolalitas.
Osmolalitas plasma, pertama dilakukan untuk menyingkirkan hiponatremia
hipertonik >295 mOsm/kg dan pseudohiponatremia, hiponatremia isotonik, 280–
295 mOsm/kg. Sedangkan pada penurunan osmolalitas plasma, hiponatremia
hipotonik < 280 mOsm/kg diperlukan penentuan volume status yang akurat.
Meskipun begitu, pengukuran osmolalitas plasma seringkali kurang akurat dan
tidak dapat digunakan sebagai penentuan terapi. Cara perhitungan osmolaritas
plasma yaitu: Osmolaritas plasma (mOsm/kg) = [Na+] x 2 + (glukosa/18) +
(BUN/2,8).
Pengukuran konsentrasi natrium urin merupakan pemeriksaan penunjang
yang paling sering dan paling dapat digunakan untuk menentukan diagnosis
banding. Status volume diklasifikasikan secara klinis sebagai hipervolemik,
euvolemik, atau hipovolemik, dan merupakan pemeriksaan penunjang yang baik
dilakukan untuk diagnosis akurat dan terapi yang adekuat. Manifestasi klinis pada
kondisi hipervolemik seperti edema, crackles pada paru, tekanan vena jugular leher
terdistensi, dan terdapat S3 pada auskultasi jantung. Manifestasi klinis pada kondisi
hipovolemik yaitu adanya hipotensi orthostatik, takikardia, dan oliguria/anuria. Jika
tidak ditemukan tanda-tanda diatas, status volume dikategorikan sebagai keadaan
euvolemik. Monitor ketat dan evaluasi serial diperlukan pada hiponatremia.
19
Langkah 3. Pengukuran natrium urin dan osmolalitas
(ditambahkan informasi status volume)
Hiponatremia hipotonik hipervolemik
UNa > 20 mEq/L or Azotemia (gagal ginjal kronis)
FENa > 1%
UNa < 20 mEq/L or Edema (CHF, sirosis, sindroma nefrotik)
FENa < 1%
20
2.5 Penatalaksanaan Hiponatremia
Penentuan osmolalitas plasma memberikan dasar terapi inisial
hiponatremia. Pada hiponatremia hipertonik, tatalaksana diberikan langsung
pada penyebabnya. Tidak ada terapi spesifik pada hiponatremia isotonik
selain memberikan terapi pada gangguan metabolisme lipid dan protein
yang mendasari. Untuk hiponatremia hipotonik diberikan secara
simptomatis,dan berdasarkan status volume.2,7
Pada hiponatremia hipotonik, gejala biasanya semakin terlihat saat
konsentrasi plasma natrium <120 mEq/L. Tergantung pada status volume,
terapi hiponatremia hipotonik diberikan bertahap, dari pemberian salin
hipertonik pada kasus berat sampai pemberian salin isotonik pada kasus
ringan dan sedang, dan restriksi H2O bebas pada kasus asimtomatik. Pada
kasus berat pemberian salin hipertonik atau isotonik harus diberikan secara
agresif untuk pencegahan komplikasi neurologis yang mengancam nyawa.
Salin hipertonik hanya diberikan pada kasus berat dengan konsultasi ahli
dan hanya dalam waktu singkat.
Diuretik dapat diberikan untuk mengobati kemungkinan adanya
potensial volume overload. Saat gejala sudah berkurang, terapi harus
dikurangi dan terfokus pada koreksi penyebab dari ketidakseimbangan air
dan natrium. Reevaluasi serial dan tappering down harus dilakukan secara
hati-hati sampai tercapai kondisi normonatremia euvolemik.
Secara umum, pada satu setengah dari total defisit dapat digantikan
dalam 12 jam pertama, dengan 0.5 mEq/L/jam (12 mEq/L/hari). Rumus
21
dibawah dapat digunakan dalam mengestimasi efek 1 L infus natrium dalam
konsentrasi plasma natrium.
Total body water (l) dikalkulasi dengan mengkalikan berat badan (kg)
dengan 0.5 pada perempuan, 0,6 pada laki-laki, 0,45 pada lansia wanita, dan
0,5 pada lansia pria.
Koreksi natrium:
22
pasien rawat inap, khusus SIADH dan CHF. Karena haus adalah salah satu
efek samping dari obat ini, diperlukan restriksi cairan.
23
Conivaptan hiponatremia Antagonis AVP- 20 mg IV
hipotonik R loading dose
hipervolemik dalam 30
simtomatik (cth : menit;
CHF) Meningkatkan selanjutnya
ekskresi dari 20 mg IV
hiponatremia
elektrolit- H2O selama 24
hipotonik euvolemik
bebas jam
kronis (cth : SIADH)
Dapat
ditingkatkan
sampai 40
mg selama 24
jam;
maksimal
dalam 1-4
hari
Fludrokortison Cerebral salt- Meningkatkan 1 x 0,05-0,2
wasting syndrome reabsorbsi mg perhari
natrium dan
kehilangan
kalium pada
tubulus distal
ginjal
24
Yang penting untuk diperhatikan adalah salin hipertonik merupakan
kontraindikasi relatif pada hipervolemia, sehingga penggunaan salin
isotonik lebih direkomendasikan pada pasien sebagai terapi inisial. Sekali
gejala mayor membaik, pengobatan harus kemudian menjadi kurang agresif
dan diarahkan pada memperbaiki penyebab dasar hiponatremia. Akhirnya,
restriksi cairan adalah pengobatan pilihan, dengan batas 0,5 sampai 1 L /
hari, dengan atau tanpa diuretik, mengoreksi tidak lebih dari 0,5 mEq/
L/jam. AVP-R antagonis dapat diperlukan pada pasien simptomatik dengan
CHF. Perawatan awal pasien asimtomatik adalah restriksi air bebas dengan
atau tanpa diuretik untuk memperbaiki hiponatremia dan meningkatkan
status volume.
25
dengan demeclocycline. Agen ini memberikan efek antagonis AVP pada
tubulus distal, pada dasarnya dapat menginduksi
diabetes insipidus nefrogenik. Namun, demeclocycline memiliki onset
lambat,sehingga membatasi kegunaannya pada SIADH kronis. antagonis
AVP-R diindikasikan untuk pasien rawat inap dengan SIADH simptomatik.
26
2.6. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Hiponatremia
1. Dasar Data Pengkajian Pasien
Umum
a. Aktivitas/Istirahat
Gejala : Malaise
Kelemahan umum, pingsan, kram otot
b. Integritas Ego
Gejala : Ansietas
Tanda : Gelisah,, ketakutan
c. Makanan/cairan
Gejala : Mual, anoreksia, haus
Diet rendah natrium
d. Neurosensori
Gejala : Sakit kepala, penglihatan kabur, vertigo
Tanda : Kehilangan koordinasi, stupor, koma
Penggunaan agen hipoglikemia, diuretic poten, NSAID
e. Sirkulasi
Tanda : Hipotensi, takikardia
Penurunan nadi perifer
f. Eliminasi
Gejala : Kram abdomen, diare
Tanda : Penurunan haluaran urine
g. Makanan/cairan
Gejala : Anoreksia, mual/muntah
Tanda : Turgor kulit buruk ; bola mata cekung, membrane mukosa
kering, penurunan saliva/keringat
h. Neurosensori
Tanda : Kedutan otot
Letargi, gelisah, kacau mental, stupor
i. Pernapasan
Tanda : Takipnea
27
j. Keamanan
Tanda : Kulit kemerahan, kering, panas, demam
k. Sirkulasi
Tanda : Hipertensi, edema umum
l. Eliminasi : Peningkatan haluaran urine
28
h. Ht : Tergantung pada keseimbangan cairan, mis., kelebihan cairan versus
dehidrasi.
3. Intervensi
Tindakan/intervensi Rasional
Mandiri
1. Identifikasi pasien beresiko 1. Memberikan petunjuk untuk
terhadap hiponatremia dan intervensi dini.
penyebab khusus, mis;
kehilangan natrium atau
kelebihan cairan
2. Pantau masukan dan 2. Indikator keseimbangan cairan
haluaran. Hitung adalah penting, karena baik
keseimbangan cairan. kehilangan atau kekurangan
Timbang berat badan setiap cairan dapat terjadi karena
hari. hiponatremia
29
6. Dorong makanan dan cairan 6. Kecuali kekurangan natrium
tinggi natrium mis. Susu, menyebabkan gejala serius yang
daging, telur, wortel, bit, memerlukan penggantian IV
dan seledri. Gunakan jus segera, pasien mendapat
buah dan kaldu sebagai keuntungan dari pergantian yang
pengganti air biasa. lebih lambat melalui metode oral
atau pembuangan pembatasan
garam sebelumnya.
7. Irigasi selang NGT (bila di 7. Irigasi isotonik akan
gunakan) dengan salin meminimalkan kehilangan
normal sebagai pengganti elektrolit GI
air
Kolaborasi
1. Bantu dalam 1. Rujuk pada daftar faktor
identifikasi/pengobatan predisposisi/pemberat
penyebab dasar
2. Pantau elektrolit dan 2. Evaluasi kebutuhan/keefektifan
osmolalitas serum dan urine terapi
3. Berikan/batasi cairan 3. Pada adanya hipovolemia,
tergantung pada status kehilangan volume diganti
volume cairan. dengan salin isotonik (mis. Salin
normal) atau kadang-kadang
larutan hipertonik (NaCl 3%)
bila hiponatremia mengancam
hidup. Pada adanya kelebihan
volume cairan, atau SIADH,
pembatasan cairan diindikasikan
4. Pemberian obat-obatan 4. Pemberian obat-obatan sesuai
sesuai indikasi, mis: indikasi:
a. Furosemid (lazix) a. Efektif pada penurunan
kelebihan cairan untuk
30
memperbaiki
b. Natrium klorida natrium/keseimbangan air
b. Digunakan untu
menggantikan
kekurangan/mencegah
kekambuhan pada adanya
kehilangan kronis/terus
c. Klorida kalium menerus
c. Memperbiaki kekurangan
kalium, khususnya bila
d. Demeklosiklin digunakan diuretik
(Declomycin) d. Bermanfaat dlam mengatasi
SIADH kronis, atau bila
pembatasan air berat tidak
ditoleransi, mis., PPOM.
Catatan: mungkin
kontraindikasi pada pasien
dengan penyakit hepar saat
terjadinya nefrotoksisitas
e. Kaptopril (Capoten) e. Dapat digunakan dalam
kombinasi dengan diuretik
loop (mis. lasix) untuk
memperbaiki kelebihan
volume cairan khususnya
pada adanya GJK
5. Siapkan/bantu dengan 5. Dapat dilakukan untuk
dialisis sesuai indikasi memperbaiki keseimbangan Na
tanpa meningkatkan kadar cairan
bila hiponatremia berat atau
respons terhadap terapi diuretik
tidak adekuat.
31
BAB III
KESIMPULAN
32
DAFTAR PUSTAKA
Guyton AC, Hall JE.Textbook of medical physiology. 9th ed. Pennsylvania: W.B.
Saunders company. 1997
Brenner B, Singer G. Fluid and electrolyte disturbances. In: Kasper DL, Braunwald
E, Fauci A, et al, editors. Harrison’s principles of internal medicine. 16th
ed. New York: McGraw-Hill; 2005:251–63.
Reynolds RM, Padfield PL, Seckl JR. Disorders of sodium balance. BMJ 2006;
332:702-5.
Sudoyo AW, Setiohadi B, Alwi I, setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II. 4rd ed. Jakarta:pusat penerbitan departemen ilmu penyakit dalam
fakultas kedokteran universitas indonesia; 2006: 136-137
Price SA. Wilson LM. Patofisiologi Konsep klinis proses-proses penyakit. 6td ed.
Jakarta: EGC,2005; 335-339
33